63
BAB VI PEMBAHASAN
Berdasarkan
data
hasil
analisis
kesesuaian,
pengaruh
proses
pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende dapat dibahas sebagai berikut : data umur responden sebanyak 98 orang (98%) tergolong umur produktif (kisaran umur 15 s.d. 64 tahun) dan hanya dua orang (2%) responden yang berada pada kisaran umur non produktif (lebih tinggi dari 64 tahun). Rendahnya persentase kelompok yang berumur di atas 64 tahun, erat kaitannya dengan aktivitas usaha tani yang lebih banyak memerlukan kemampuan fisik. Dengan demikian petani dalam kategori umur produktif, memiliki kemampuan fisik yang memadai akan memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi. Mengetahui rasio berdasarkan jenis kelamin menjadi hal yang penting berdasarkan salah satu prinsip dasar pelaksanaan FMA yaitu sensitif gender yang telah ditetapkan dalam pedoman umum (PEDUM). Responden perempuan peserta FMA sebanyak 24 orang (24%) dan 76 orang (76%) responden laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi kaum perempuan dalam menyatakan sikap misalnya dalam pengambilan keputusan masih rendah karena belum sesuai dengan persyaratan pada PEDUM bahwa keterlibatan perempuan dalam FMA minimal 40% . Pendidikan formal petani adalah jenjang pendidikan yang ditempuh oleh petani, dihitung dari sistem pendidikan sekolah yang telah berhasil ditamatkan oleh petani. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi 63
64
kebijakan dalam mengambil suatu keputusan pada kegiatan usahatani. Semakin pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini membutuhkan seseorang dengan tingkat pendidikan semakin tinggi agar dapat mengikuti perkembangan teknologi tersebut dengan baik, sehingga akan berdampak positif pada produktivitas, pendapatan dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani yang tidak tamat SD sebanyak 16 orang (16%) dan tidak ada petani yang pernah mengikuti pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Dewasa ini pada umumnya tingkat pendidikan petani masih sangat rendah (sebagian besar SD sampai SMP). Ibrahim (2001) dalam Supartha (2005) melaporkan bahwa 83,6% tingkat pendidikan petani masih antara SD sampai SMP. Perbedaan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap keinovatifan, kecepatan proses adopsi inovasi, dan perilaku seseorang. Luas lahan garapan usahatani mempunyai arti yang sangat penting karena berkaitan dengan besar kecilnya pendapatan yang diterima petani. Luas lahan dapat mempengaruhi sikap petani dalam percepatan alih teknologi yang sesuai dengan skala ekonomis sehingga usahatani menjadi efisien. Luas lahan garapan yang sempit (Tabel 5.8) yang dimiliki oleh sebagian besar responden menyebabkan dalam menerapkan konsep agribisnis kakao belum optimal. Menurut Scott (1989, dalam Supartha, 2005) petani kecil memiliki tanah sawah antara 0,25 s.d. 0,50 ha dan atau tegalan 0,50 s.d. 1,00 ha. Dengan demikian, tidak mudah bagi petani kecil mempengaruhi pasar. Sebagian besar status petani sebagai petani penyakap sehingga terdapat ketidakpastian dalam berusahatani (Tabel 5.9). Status kepemilikan lahan tersebut
65
di atas mempengaruhi perilaku petani dalam mengelola lahan dengan baik karena khawatir apabila produksi kakao meningkat maka pemilik lahan dapat mengambil kembali lahannya. Kondisi tersebut dapat terjadi karena tidak ada perjanjian yang mengikat antara petani penyakap dengan pemilik lahan. Status kekeluargaan menjadi penghambat sehingga tidak dibuat suatu perjanjian tertulis antara petani penyakap dan pemilik lahan. Demikian pula dalam penerapan teknologi menggunakan sarana produksi, pemilik lahan sering tidak setuju dengan usulan perlakuan yang disampaikan sehingga produktivitas kakao tidak maksimal. Beberapa keragaman yang sering menjadi kendala penyuluhan pertanian adalah : (1) keragaman zona ekologi pertanian, yang sering kali hanya cocok untuk komoditi-komoditi dan teknologi tertentu yang akan diterapkan, (2) keragaman dalam kemampuannya untuk menyediakan sumberdaya yang diperlukan (pengetahuan, ketrampilan, dana, kelembagaan), (3) keragaman jenis kelamin, yang bersama-sama dengan nilai-nilai sosial budaya. Kaum perempuan masih belum dilibatkan dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian, padahal kaum perempuan merupakan tenaga kerja (baik sebagai pengelola maupun pelaksana) yang potensial dalam kegiatan pertanian dan belum memperoleh perhatian yang sederajad dengan kaum pria, baik dalam kegiatan penyuluhan maupun dalam pelaksanaan kelompok
seluruh
kegiatan pertanian, (4) keragaman
umur
sasaran,
pemuda tani berumur 15 tahun s.d. 24 tahun merupakan sasaran
yang potensial, tetapi seringkali
juga
penyuluhan pertanian, Deptan (2010).
belum dilibatkan secara aktif dalam
66
6.1 Kesesuaian antara PEDUM dengan Variabel Proses Pelaksanaan, Hasil dan Dampak Keberhasilan FMA Agribisnis Kakao Pada Tabel 5.11, variabel proses pelaksanaan FMA menunjukkan pelaksanaan yang kurang sesuai dengan pedum antara lain memilih pengurus FMA untuk mengelola keuangan dan administrasi, melakukan pengkajian kelayakan usaha agribisnis kakao, memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan dan pemanfaatan dana FMA Desa, dan peserta pembelajaran sebagian besar perempuan. Hal ini diduga karena masih rendahnya wawasan tentang organisasi dan manajemen agribisnis yang dimiliki oleh pengurus FMA. Sedangkan proses pelaksanaan FMA yang sangat sesuai dengan PEDUM adalah memilih pengurus FMA dan penyuluh swadaya secara demokratis, partisipatif serta kesetaraan gender. Diduga karena setiap keputusan yang dibuat melalui musyawarah dengan prinsip dari, oleh dan untuk petani serta melibatkan pelaku utama, pelaku usaha termasuk kelompok terpinggirkan untuk berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan penyuluhan. Variabel hasil pelaksanaan FMA (Tabel 5.12) menunjukkan hasil yang kurang sesuai dengan pedum antara lain rendahnya kemampuan pengurus FMA terpilih untuk mengelola keuangan dan administrasi, proposal agribisnis kakao belum memenuhi syarat kelayakan usaha, keahlian penyuluh swadaya, PPL, dan Kepala BPP untuk memfasilitasi petani dalam pengembangan agribisnis kakao, fungsi kelompok belajar dalam memfasilitasi petani, belum teratasinya masalah dalam memperoleh saprodi, jiwa kewirausahaan. Diduga karena masih rendahnya tingkat pemahaman penyuluh dan petani pemandu dalam mengimplemetasikan FMA dan belum optimalnya peran organisasi untuk bekerjasama dengan pihak
67
Koperasi atau toko-toko pertanian dalam menyiapkan saprodi. Sedangkan hasil pelaksanaan FMA yang sesuai dengan PEDUM yang memiliki nilai tertinggi adalah teratasinya masalah tentang budidaya, panen, pasca panen, pengolahan, dan pemasaran kakao. Diduga karena proses kegiatan pembelajaran
baik
fasilitator, materi, metode penyajian, dan waktu dilaksanakan taat azas sesuai persyaratan dan kriteria proses pembelajaran agribisnis kakao. Adanya kerjasama kemitraan antara PT MARS di Ujung Pandang dengan petani kakao di Kecamatan Nangapanda maupun petani pada daerah-daerah sentra kakao di Kabupaten Ende Variabel dampak FMA (Tabel 5.13) menunjukkan bahwa dampak yang kurang sesuai dengan pedum antara lain kesepakatan aturan sumber daya alam (air, lahan), peran organisasi petani dalam mengelola penyuluhan di Desa, tumbuhnya organisasi petani yang menerapkan prinsip penyuluhan. Diduga karena tingkat sosial dan kekeluargaan menjadi faktor penghambat perjanjian kesepakatan penggunaan lahan dan air, masih rendahnya organisasi petani menerapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan penyuluhan pertanian antara lain (prinsip otonomi daerah dan desentralisasi, kemitrasejajaran, kesejahteraan, keswadayaan, akuntabilitas, integrasi, keberpihakan) Anonim (2009, dalam Deptan, 2010). Dampak keberhasilan FMA yang sesuai dengan PEDUM yang memiliki nilai tertinggi adalah produktivitas kakao meningkat. Diduga karena kegiatan pembelajaran baik materi, metode penyajian, dan waktu difokuskan pada sistem budidaya kakao. Berdasarkan hasil analisis dari masing-masing variabel proses pelaksanaan, hasil, dan dampak keberhasilan FMA diperoleh rata-rata skor
68
berurutan 66,48%, 63,66%, dan 65,51% katagori sedang dibandingkan dengan PEDUM FMA. Katagori sedang dibandingkan dengan PEDUM FMA dibenarkan akibat dari (1) tingkat pendidikan responden sebagian besar SD bahkan ada yang tidak tamat SD, (2) sumber daya manusia petani beragribisnis memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan, terutama dalam hal pendidikan, pengetahuan, ketrampilan, sikap mental, penguasan teknologi, perolehan (akses) informasi, dan wawasan
manajemen
sistem
agribisnis,
(3)
waktu
pembelajaran
FMA
beragribisnis kakao di Kecamatan Nangapanda baru satu tahun berjalan yaitu mulai tahun 2010. Supartha (2005) mengatakan bahwa untuk meningkatkan perilaku agribisnis diperlukan pendekatan penyuluhan sistem agribisnis, yang materi penyuluhannya mencakup keseluruhan aspek teknis produksi, manajemen agribisnis, dan aspek manajemen hubungan sistem agribisnis dengan wawasan industri, terutama etika kesisteman, kemampuan kewirausahaan, dan kepribadian sebagai pengusaha agribisnis agar para pelaku sistem agribisnis dapat memiliki persepsi dan sikap yang sama tentang: visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran dan rencana kerja bersama yang dirumuskan dengan cara terbuka. Metode penyuluhan maupun media komunikasi yang digunakan agar lebih beragam, inovatif, dan kreatif sesuai dengan kebutuhan sasaran penyuluhan. Lebih lanjut Supartha (2005) mengatakan bahwa penyuluhan sistem agribisnis adalah jasa layanan dan informasi agribisnis yang dilakukan melalui proses pendidikan non formal untuk petani dan pihak-pihak terkait yang memerlukan, agar kemampuannya dapat berkembang secara dinamis untuk
69
menyelesaikan sendiri setiap permasalahan yang dihadapinya dengan baik, menguntungkan, dan memuaskan. Mutu jasa layanan dilihat dari segi keterpercayaan (realibility), keterjaminan (assurance), penampilan (tangiability), kepemerhatian (empaty), dan ketanggapan (responsiveness). 6.2
Pengaruh Simultan, Parsial, dan Dominan antar proses pelaksanaan dan
hasil terhadap dampak keberhasilan FMA 6.3.1 Pengaruh parsial proses pelaksanaan terhadap hasil Pengaruh proses pelaksanaan terhadap hasil menunjukkan hubungan linier dan nyata dengan koefisien determinasi (R²) 53,9% dengan peluang sebesar 0,000, dengan persamaan sebagai berikut : X2 = 0,458 + 0,539 X1 artinya pengaruh proses pelaksanaan FMA terhadap hasil kegiatan FMA sebesar 53,9% . 6.4.2 Pengaruh parsial proses pelaksanaan terhadap dampak keberhasilan FMA Pengaruh proses pelaksanaan terhadap
dampak keberhasilan FMA
menunjukkan hubungan linier dan nyata dengan koefisien determinasi (R²) 52,2% dengan peluang sebesar 0,000. Persamaan Y = 0,307 + 0,264X1 artinya pengaruh proses pelaksanaan terhadap dampak keberhasilan FMA sebesar 52,2% . 6.4.3 Pengaruh parsial hasil pelaksanaan terhadap dampak keberhasilan FMA Pengaruh hasil pelaksanaan terhadap
dampak keberhasilan FMA
menunjukkan hubungan linier dan nyata dengan koefisien determinasi (R²) 58,7% dengan peluang sebesar 0,000. Persamaan Y = 0,658 + 0,382 X2 artinya pengaruh
hasil pelaksanaan FMA terhadap dampak keberhasilan FMA
sebesar 58,7%.
70
6.4.4 Pengaruh simultan dan dominan proses pelaksanaan dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA Pengaruh proses pelaksanaan dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA menunjukkan hubungan linier dan nyata dengan koefisien determinasi (R²) sebesar 64,2%, peluang sebesar 0,000. Hal ini ditunjukkan dengan persamaan Y = 0,190 + 0,127 X1 + 0,255X2.
Antara
proses
pelaksanaan
dan
hasil
mempengaruhi
keberhasilan FMA yang lebih dominan adalah hasil dengan 0,511 0,255X2
dan
koefisien
determinasi
beta
dampak (ᵦ)
(R²) 58,7%. Persamaan Y = 0,190 +
artinya pengaruh bersama proses pelaksanaan dan hasil terhadap
dampak keberhasilan FMA sebesar 64,2% . Sedangkan, pengaruh hasil terhadap dampak keberhasilan FMA sebesar 58,7%, maka pengaruh proses pelaksanaan setelah hasil terhadap dampak keberhasilan FMA sebesar 5,5%. Masih rendahnya persentase pengaruh proses pelaksanaan dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di Kecamatan Nangapanda, diduga karena pengembangan SDM agribisnis di Kecamatan Nangapanda menghadapi beberapa kendala dalam hal manajerial, kewirausahaan dan kepemimpinan. Menurut Supartha (2005) rendahnya pengembangan SDM agribisnis dan agroindustri
disebabkan oleh beberapa kendala : (1) kendala
substansial, meliputi kurangnya kemampuan untuk memahami pasar (market intelegent), kurangnya upaya untuk meningkatkan stándar mutu hasil pertanian, dan kurangnya kemampuan yang memadai dalam manajemen agribisnis; (2) kendala organisasi atau kelembagaan, meliputi minimnya lembaga pemasaran domestik atau ekspor, lemahnya manajemen pemasaran terutama di daerah
71
pedesaan, dan masih rendahnya peran asosiasi kakao, (3) kendala sikap mental bisnis dan kewirausahaan, meliputi kemauan bekerja keras, tekun, ulet, rajin, percaya diri, kreatif, inovatif, berani, serta motivasi kuat yang senantiasa mengejar prestasi; dan kendala etika bisnis, meliputi aturan, norma, dan perilaku bisnis, serta kendala-kendala lainnya . Lebih
lanjut
Supartha
(2005)
mengatakan
bahwa
rendahnya
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani karena terlalu berorientasi kepada produksi dan produktivitas, kurang berorientasi kepada kebutuhan pasar dan hubungan sistem agribisnis sehingga perolehan nilai tambah rendah. Sinergi antara perusahaan usahatani dengan perusahaan agribisnis lainnya kurang solid. Akibatnya, permintaan produk pertanian menjadi tidak jelas dan harganya cenderung kurang menguntungkan petani. Hal ini disebabkan rendahnya perilaku agribisnis tidak hanya terjadi pada petani tetapi juga terjadi pada pelaku perusahaan agribisnis lainnya serta lembaga terkait pada sektor penunjang.
72