Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG ASEUPAN A.
Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia Kehadiran satwaliar khususnya mamalia merupakan bio-indikator suatu
kawasan hutan dapat dikatakan baik atau terganggu. Keseimbangan ekosistem suatu kawasan hutan akan terganggu apabila pada kawasan hutan telah mengalami banyak perubahan terutama perubahan fungsi lahan. Kekayaan jenis satwaliar saat ini terancam akibat adanya perubahan fungsi lahan dan kerusakan habitat
(Hadi
S.
Alikodra,
2010).
Perubahan
fungsi
kawasan
tersebut
menyebabkan keseimbangan ekologis terganggu yang meliputi perubahan lingkungan
dan
kehilangan
sumberdaya
pakan
(Anderson,
1985).
Keanekaragaman mamalia di Indonesia saat ini terancam kepunahan. Ancaman tersebut datang bersamaan dengan meningkatnya kegiatan/aktivitas manusia seperti perubahan land use untuk berbagai tujuan. Pengamatan satwaliar kelompok mamalia di kawasan Gunung Aseupan sangat penting dilakukan mengingat kawasan tersebut merupakan salah satu kawasan yang masih berhutan. Beberapa satwaliar kelompok mamalia berhasil diidentifikasi pada lokasi penelitian. Pada Tabel V.1 berikut menyajikan hasil penelitian satwaliar kelompok mamalia di kawasan Gunung Aseupan.
Tabel V-1. No
Kehadiran satwaliar kelompok mamalia di kawasan Gunung Aseupan. Nama Jenis
Famili
Metode Pengamatan
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1
Monyet ekor panjang
Macaca fascicularis
Cercopithecidae
Pengamatan
2
Kijang muntjak
Muntiacus muntjak
Cervidae
Jejak
3
Pelanduk
Tragulus sp
Tragulidae
Jejak
4
Babi hutan
Sus barbatus
Suidae
Jejak, Sarang
5
Tenggalung malaya
Viverra tangalunga
Viverridae
Pengamatan
6
Musang akar
Arctogalidia trivirgata
Viverridae
Pengamatan
7
Tupai
Tupaia sp
Tupaidae
Pengamatan
8
Tikus
Rattus sp
Muridae
Pengamatan
BLHD Propinsi Banten
V. 1
Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
Berdasarkan data pada tabel V.1 menunjukkan bahwa terdapat 8 jenis satwaliar kelompok mamalia yang berhasil teridentifikasi melalui beberapa metode pengamatan seperti pengamatan jejak, pengamatan langsung dan pengamatan sarang. Kawasan Gunung Aseupan memiliki ketinggian puncak ± 1.120
mdpl
dan
diduga
keanekaragamanhayati
pada
(KEHATI)
kawasan yang
tersebut
tinggi,
menyimpan
namun
hasil
potensi
penelitian
menunjukkan bahwa kehadiran satwa kelompok mamalia di kawasan tersebut relatif sedikit. Apabila dilihat dari jumlah famili (suku) hanya terdapat 7 famili yang dapat dilihat pada Gambar V.1 berikut.
5
Jumlah Jenis
4 3 2 1 0
Famili
Gambar V.1.
Keragaman satwaliar kelompok mamalia berdasarkan famili di kawasan Gunung Aseupan.
Data pada Gambar V.1 menunjukkan bahwa kehadiran mamalia berdasarkan famili berjumlah 7 famili. Kehadiran satwaliar khususnya kelompok mamalia yang relatif sedikit disebabkan oleh adanya pembukaan lahan untuk perkebunan. Pada saat penelitian dilakukan, pembukaan lahan telah mencapai ketinggian ± 820 mdpl sehingga hanya satwa-satwa tertentu yang dapat bertahan hidup pada kondisi kawasan habitat yang terdegradasi misalnya satwa-satwa generalis atau satwa yang memiliki kemampuan berdaptasi lebih baik dari pada
BLHD Propinsi Banten
V. 2
Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
satwa-satwa lainnya serta memiliki pola pakan yang beragam (Rayadin dkk, 2014). Berdasarkan data yang dimiliki, kawasan Gunung Aseupan memiliki luas mencapai 8.093 ha, namun kawasan yang tersisa dengan status hutan lindung hanya 366 ha. Kondisi ini sangat memprihatinkan selain sebagai habitat satwaliar juga sebagai sumber air bagi masyarakat yang berada di sekitar gunung tersebut. Kawasan yang telah dibuka untuk kegiatan perkebunan mencapai ± 4.700 ha. Pada saat melakukan pengamatan satwaliar, di sekitar areal perkebunan ditemukan jejak satwa jenis sus barbatus.
Gambar V.2.
Penemuan jejak satwa jenis Sus barbatus di kawasan Gunung Aseupan.
Penemuan jejak satwa jenis Sus barbatus merupakan salah satu bio-indikator kualitas habitat pada kawasan hutan Gunung Aseupan telah terganggu sehingga memaksa jenis Sus barbatus mencari sumber pakan di perkebunan. Kondisi tersebut yang membuat jenis Sus barbatus dianggap hama karena sering merusak tanaman masyarakat. Sumber pakan jenis Sus barbatus meliputi biji-bijian, akar, dan material tumbuhan lainnya serta cacing tanah dan binatang kecil lainnya BLHD Propinsi Banten
V. 3
Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
(Francis, 2008). Sehingga cukup beralasan satwa tersebut dapat bbertahan hidup pada habitat yang terdegradasi (Rayadin dkk, 2014). Secara umum, satwaliar memiliki berbagai perilaku yang beragam dan menarik. Beberapa perilaku satwaliar khususnya kelompok mamalia yang umum diamati adalah perilaku makan, waktu aktif dan stratifikasi ekologi. Pada Tabel V.2 berikut dapat dilihat secara lengkap perilaku satwa yang ditemukan di Gunung Aseupan. Tabel V-2.
Klasifikasi jenis mamalia berdasarkan kelas makan, waktu aktif dan stratifikasi ekologi. Family
Kelas Makan
Waktu aktif
Stratifikasi
No
Nama Ilmiah
1
Macaca fascicularis
Cercopithecidae
2
Muntiacus muntjak
Cervidae
√
√
√
3
Tragulus sp
Tragulidae
√
√
√
4
Sus barbatus
Suidae
√
√
√
5
Viverra tangalunga
Viverridae
√
√
√
6
Arctogalidia trivirgata
Viverridae
√
√
7
Tupaia sp
Tupaidae
Car
Her
√
Omn
Diu
√
√
√
Noc
Met
Arb
Ter
√
√ √
√
8 Rattus sp Muridae √ √ √ √ *keterangan : Car = Carnivora, Her = Herbivora, Omn = Omnivora, Diu = Diurnal, Noc = Nocturnal, Met = Metaturnal, Arb = Arboreal, Ter = Terresterial
Berdasarkan data pada Tabel V.2 menunjukkan bahwa perilaku adanya keragaman mamalia berdasarkan perilaku ekologi. Kondisi ini dapat dijadikan indikator positif penilaian kondisi habitat dalam suatu ekositem. Kehadiran mamalia dari berbagai perilaku ekologi memungkinkan terbentuknya fungsi rantai makanan secara alami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi keragaman jenis pohon maka jenis mamalia yang hadir juga semakin beragam (Rayadin dkk, 2011). Kondisi ini menunjukkan bahwa komposisi vegetasi mempunyai peranan yang penting terhadap pergerakan dan penyebaran satwaliar. Kondisi tersebut dapat dilihat dengan adanya beberapa satwa dengan perilaku kelas makan herbivora. Pada Gambar V.3 berikut dapat dilihat jumlah jenis perilaku satwaliar kelompok mamalia.
BLHD Propinsi Banten
V. 4
Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
(a)
(b)
(c)
Gambar V.3.
(a) Kehadiran satwa berdasarkan kelas makan, (b) Kehadiran satwa berdasarkan waktu aktif, dan (c) Kehadiran satwa berdasarkan stratifikasi ekologi.
BLHD Propinsi Banten
V. 5
Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
Berdasarkan Gambar V.3 (a), hadirnya mamalia di kelas makan herbivora menunjukkan masih tersedianya sumber pakan berupa material tumbuhan baik dedaunan, buah-buahan maupun bagian-bagian tumbuhan lainnya. Jenis herbivora yang hadir yaitu Muntiacus muntjac dan Tupaia sp (Rayadin dkk, 2013). Muntiacus muntjac umunya lebih banyak memakan daun-daunan, kemudian buah-buahan tertentu dan hanya memilih bagian tertentu dari tumbuhan, serta mampu bertahan sepanjang tahun hanya dengan memakan satu atau beberapa jenis vegetasi saja (Meijaard dkk., 2006).
Gambar V.4.
Jejak mamalia jenis Muntiacus muntjac ditemukan di kawasan hutan Gunung Aseupan.
Hadirnya mamalia herbivora pada kawasan Gunung Aseupan nampaknya menarik perhatian bagi jenis mamalia omnivora (pemakan tumbuhan dan satwa) jenis Viverra tangalunga yang berperan sebagai pemangsa tingkat II. Jenis tersebut umumnya memakan binatang kecil baik invertebrata maupun vertebrata (Francis, 2000).
BLHD Propinsi Banten
V. 6
Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
Berdasarkan data pada Gambar V.3 (b), hanya terdapat 2 jenis satwaliar kelompok mamalia yang merupakan satwa diurnal. Sedangkan satwaliar kelompok mamalia yang aktif pada malam dan siang hari sebanyak 6 jenis mamalia. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber pakan yang diduga berkurang diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk pertanian sehingga membuat
satwa-satwa tertentu harus bergerak
lebih lebih luas untuk
mendapatkan sumber pakan. Selanjutnya, kondisi tersebut dapat merubah perilaku aktif satwa-satwa tersebut. Saat penelitian dilakukan pohon pakan didominansi oleh jenis Ficus (buah ara). Berdasarkan data pada Gambar V.3 (c), terdapat kehadiran mamalia pada kelas stratifikasi ekologi. Kehadiran mamalia pada kelas stratifikasi ekologi dapat dijadikan bio-indikator terhadap kondisi tutupan vegetasi dan kerapatan tajuk pada sebuah kawasan hutan. Berdasarkan Tabel V.2 satwa arboreal yang berhasil diidentifikasi adalah jenis Macaca fascicularis. Jenis tersebut merupakan satwa yang bergerak diantara pepohonan meskipun terkadang ditemukan pada lantai hutan (Rayadin dkk, 2013). Meskipun demikian, kondisi hutan di kawasan Gunung Aseupan sangat memprihatinkan dikarenakan kualitas habitat semakin hari semakin memburuk dengan adanya pemanfaatan lahan yang tidak terkontrol.
BLHD Propinsi Banten
V. 7
Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
B.
Kehadiran Satwaliar Kelompok Burung Hutan hujan tropis merupakan habitat penting bagi burung dan satwa liar
lainnya, karena di daerah ini banyak ditumbuhi tanaman sebagai sumber pakan dan tempat perlindungan. Burung mempunyai manfaat yang tidak kecil artinya bagi masyarakat antara lain membantu mengendalikan serangga hama, membantu proses penyerbukan bunga, mempunyai nilai ekonomi. Burung dapat digunakan untuk berbagai atraksi rekreasi, sebagai sumber plasma nutfah, dan sebagai objek penelitian dan pendidikan (Hernowo dan Prasetyo, 1989). Tingginya pertambahan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan serta maraknya kegiatan konversi lahan menjadi perkebunan dan pemukiman menyebabkan tekanan ekologis terhadap ekosistem hutan semakin meningkat. Perubahan kondisi vegetasi yang berbeda dengan hutan alam mengakibatkan perubahan komunitas dan penurunan jenis burung di dalamnya (Utari, 2000). Pada dasarnya, pengamatan burung dilakukan seharian penuh untuk masing-masing hari kerja. Namun dari kegiatan pengamatan terkonsentrasi pada dua waktu, pagi dan sore hari. Dua periode waktu tersebut merupakan waktu dimana kelompok burung aktif dalam melakukan aktifitasnya. Dari total jenis burung selama waktu pengamatan tercatat sekitar 34 jenis burung. Dengan jumlah jenis burung sebanyak itu dirasakan sebagai satu jumlah yang cukup tinggi, mengingat cakupan daerah studi yang tidak begitu luas dan waktu pengamatan yang relatif singkat. Peluang menemukan jenis baru tentu akan selalu terbuka jika luasan areal ditambah dan waktu pengamatan diperpanjang. Daftar jenis berikut (Tabel V-3) memperlihatkan jenis-jenis yang berhasil diidentifikasi dengan menggunakan ketiga kombinasi metode yang dilakukan lengkap dengan famili, nama lokal dan latin serta kelas makannya.
BLHD Propinsi Banten
V. 8
Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
Tabel V-3.
No
Kehadiran satwaliar kelompok burung Aseupan. Nama Jenis Lokal
Latin
1
Raja Udang Kalung Biru Alcedo euryzona
2
Raja Udang Meninting
3
di kawasan Gunung
Kelas Makan
Famili
Status Nasional
Alcedinidae
Insec/Pisc
D
Alcedo meninting
Alcedinidae
Insec/Pisc
D
Udang Api
Ceyx erithacus
Alcedinidae
Insec/Pisc
D
4
Layang-layang Rumah
Delichon dasypus
Alaudidae
5
Delimukan Zamrud
Chalcophaps indica
Columbidae
AF
TD
6
Tekukur Biasa
Streptopelia chinensis
Columbidae
AFGI
7
Perkutut Jawa
Geopelia striata
Columbidae
AFGI
8
Cica daun kecil
Chloropsis cyanopogon
Chloropseidae
AFGI
9
Gagak Hutan
Corvus enca
Corvidae
AFGI
10
Bubut Alang-alang
Centropus bengalensis
Cuculidae
AFGI
11
Bentet kelabu
Lanius schach
12
Aethopyga eximia Anthreptes singalensis
NIF
D
13
Burung madu gunung Burung madu belukar
Laniidae Nectariniidae Nectariniidae
NIF
D
14
Burung madu kelapa
Anthreptes malacensis
Nectariniidae
NIF
D
15
Pijantung Kecil
Arachnothera longirostra
Nectariniidae
NI
D
16
Pjantung Besar
Arachnothera robusta
Nectariniidae
NI
17
Kepudang kuduk hitam Oriolus chinensis
Oriolidae
AFGI/F
TD
18
Gelatik jawa
Padda oryzivora
Ploceidae
TF
TD
19
Bondol Rawa
Lonchura malacca
Ploceidae
TF
TD
20
Empuloh Irang
Alophoixus phaeocephalus
Pycnonotidae
AFGI/F
21
Cucak Kutilang
Pycnonotus aurigaster
Pycnonotidae
AFGI/F
22
Cucak kuning
Pycnonotus melanicterus
Pycnonotidae
AFGI/F
TD
23
Merbah Kaca Mata
Pycnonotus erythrophthalmos
Pycnonotidae
AFGI/F
TD
24
Cucak Kuricang
Pycnonotus atriceps
Pycnonotidae
AFGI/F
25
Alophoixus bres Pycnonotus goavier
Pycnonotidae
AFGI/F
26
Empuloh janggut Merbah Cerukcuk
Pycnonotidae
AFGI/F
27
Paok Pancawarna
Pitta guajana
Pittidae
28
Cinenen Pisang
Orthotomus sutonus
Silviidae
AFGI
29
Cinenen Jawa
Orthotomus sepium
Silviidae
AFGI
30
Cinenen Kelabu
Orthotomus ruficeps
Silviidae
AFGI
TD
31
Cinenen Merah
Orthotomus sericeus
Silviidae
AFGI
TD
32
Pelanduk Semak
Malacocinla sepiarium
Timaliidae
TI
33
Kacamata Gunung
Zosterops montanus
Zosteropidae
34
Kacamata biasa
Zosterops palpebrosus
Zosteropidae
BLHD Propinsi Banten
V. 9
Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
Sebanyak 34 jenis dari 15 famili berhasil teridentifikasi selama studi berlangsung. Burung-burung dari suku Alcedinidae (burung raja udang), dan Nectariniidae (burung madu) merupakan kelompok-kelompok burung yang dilindungi. Secara ekologis tentu sangat menarik melihat kehadiran dari jenisjenis burung yang ada kaitannya dengan keberadaan jenis makanan yang tersedia di dalam kawasan tersebut. Beberapa jenis burung yang hadir di areal reklamasi/rehabilitasi umumnya adalah jenis-jenis yang termasuk ke dalam kelompok pemakan serangga (Insectivore) dan atau campuran antara serangga dan buah-buahan. Jenis-jenis yang memiliki variasi makanan yang cukup luas (generalist) umumnya adalah jenis yang mampu bertahan hidup lebih baik terhadap perubahan lingkungan dibandingkan jenis-jenis yang terspesialisasi kepada satu jenis makanan tertentu saja. Kacamata
biasa
(Zosterops
palpebrosus),
pada
pengamatan
pertama
ditemukan empat individu dan pengamatan kedua ditemukan 15 individu. Saat melakukan pengamatan yang terdengar hanya suaranya saja. Kacamata biasa memiliki karakteristik Burung yang bertubuh kecil, sehingga menyebabkannya menjadi lincah, ukuran panjang tubuh dari ujung paruh dari ujung paruh hingga ujung ekor sekitar 10–11 cm. Sisi atas tubuh kacamata biasa tertutup bulu-bulu berwarna kehijauan atau hijau kekuningan (hijau zaitun), sedangkan sisi bawahnya sedikit bervariasi bergantung rasnya, kecuali leher dan dadanya yang berwarna kuning terang. Sayapnya membundar dan kaki-kakinya kuat. Disebut “kacamata”, white-eye karena terdapat lingkaran bulu-bulu kecil berwarna putih di sekeliling matanya. Gemar berkelompok, burung ini kerap membentuk gerombolan besar yang bergerak bersama di antara tajuk pepohonan; bahkan sering juga bercampur dengan spesies lain seperti burung sepah (Pericrocotus). Meskipun utamanya burung kacamata bersifat pemakan serangga, namun ia pun memakan nektar dan aneka jenis buah. Sembari mencari mangsanya di sela-sela dedaunan, burung ini terus bergerak dari satu ranting ke lain ranting, dan kemudian berpindah ke lain pohon yang berdekatan, sambil terus mengeluarkan suara berkeciap tinggi setiap beberapa saat sekali untuk berkomunikasi dengan anggota kelompok yang lainnya. BLHD Propinsi Banten
V. 10
Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
Gambar V.5.
Jenis Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) yang berhasil teridentifikasi dengan menggunakan kamera jarak jauh.
Kacamata biasa sering ditemukan di pulau Jawa, burung ini bertelur mulai dari Januari hingga Oktober. Telur berjumlah kurang lebih tiga (2–5) butir yang berwarna biru pucat,dan diletakkan pada sarang berbentuk seperti cawan kecil yang khas bentuknya. Sarang ini terbuat dari akar-akaran, tangkai dan tulang daun, dan bahan-bahan tumbuhan lainnya, serta dihiasi dengan lumut. Sarang diletakkan di percabangan ranting atau rumpun bambu, sekitar 2–4 m di atas tanah. Cinenen
Pisang
(Orthotomus
sutorius),
pada
pengamatan
pertama
ditemukan sembilan individu dan pengamatan kedua ditemukan tujuh individu. Saat melakukan pengamatan terlihat Cinenen pisang yang sedang terbang. Cinenen pisang memiliki karakteristik tubuh yang berukuran kecil dan ramping. Terlihat bulu-bulu halus di dahi dan mahkota (di atas kepala) yang berwarna merah karat, kekang,sisi kepala keputihan, dan alis kekuningan. Cinenen pisang memiliki tengkuk yang berwarna keabu-abuan, serta punggung, sayap dan ekor BLHD Propinsi Banten
V. 11
Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
berwarna hijau zaitun. Tubuh cinenen pisang jantan dan betina sedikit sama yaitu sisinya berwarna abu-abu, namun pada saat musim berbiak bulu tengah pada ekor cinenen jantan tumbuh menanjang. Cinenen pisang sering bergerak dengan lincah di antara ranting-ranting dan dari pohon ke pohon,cinenen pisang merupakan burung yang setia dengan pasangannya karena selalu bersama dengan pasangannya. Burung ini memburu aneka serangga kecil-kecil, ulat dan laba-laba dari antara dedaunan.
Gambar V.6.
Jenis Cinenen pisang (Orthotomus sutorius) yang teramati.
Cinenen pisang biasa ditemukan di pekarangan, kebun, hutan sekunder dan hutan-hutan lain yang terbuka. Biasanya cinenen pisang membuat sarang di semak dan belukar, cara burung ini membuat sarang sedikit unik, dengan menjahit tepian satu atau beberapa helai daun lebar yang berdekatan, dengan serat tumbuhan atau jaring laba-laba. Sehingga terbangun semacam kantung, di mana di tengahnya di anyam sarang berbentuk bola dari rumput, ranting yang lembut dan serat tumbuhan umumnya. Oleh sebab itu burung ini dikenal sebagai tailorbird (burung penjahit). Cinenen pisang meletakkan sekitar 2-3 butir telur yang berwarna putih kehijauan dengan bercak merah jambu. Jenis Cingcoang coklat (Brachypteryx leucophrys), terlihat sedang beraktivitas seperti makan, berjalan, dan bersuara saja. Karakteristik Cingcoang Coklat yaitu tubuhnya berukuran sangat kecil (11 cm). Memiliki ekor yang pendek,kaki yang panjang,alis mata pucat samar-samar,lingkar mata kuning tua dan paruh BLHD Propinsi Banten
V. 12
Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten
besar,untuk ukuran Cingcoang dewasa tubuh bagian atas berwarna coklat merah,tubuh bagian bawah keputihan,sisi tubuh coklat kuning tua dan dada berbintik - bintik. pada tubuh bagian bawah Cingcoang cokelat berwarna kuning tua. Cingcoang remaja memiliki tubuh yang bercorak garis-garis dan berbintikbintik. Serta memiliki iris yang berwarna coklat muda, paruh hitam kecokelatan, kaki ungu kemerah jambuan. Cingcoang cokelat mempunyai sifat sedikit pemalu, sering terlihat berdiam di semak bawah dan lantai hutan. Makanan cingcoang coklat yaitu siput, keong, tempayak, pupa kumbang. Bentuk sarang cingcoang Cokelat seperti kantung yang terbuat dari tangkai daun, akar halus, atau bahan lain, terdapat pada tebing tanah berlumut, pohon atau semak dekat tanah. Telur dari Cingcoang cokelat berwarna abu-abu hijau berkilau, jumlah 1-2 butir. Waktu untuk berkembang biak yaitu bulan Oktober-April. Habitat cingcoang coklat yaitu di hutan perbukitan atau pegunungan, yang tersebar pada ketinggian 900-1.900 m dpl. Penyebarannya di Himalaya, Cina selatan, Asia tenggara, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Sunda Kecil.
Gambar V.7.
Jenis Cingcoang cokelat (Brachypteryx leucophrys) teridentifikasi dengan menggunakan jala kabut.
BLHD Propinsi Banten
yang
V. 13