KODE JUDUL : N.2
LAPORAN AKHIR INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA
MANAJEMEN HABITAT DAN POPULASI SATWALIAR LANGKA PASCA BENCANA ALAM ERUPSI DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI
KEMENTERIAN/LEMBAGA:
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN Peneliti: 1. 2. 3. 4. 5.
Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si Dr. Ir. A. Fauzi Mas’ud, M.Sc Ir. Endro Subiandono Dr. Haruni Krisnawati, S.Hut., M.Si. Ir. N.M. Heriyanto
INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA
KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI 2012
EXECUTIVE SUMMARY Erupsi besar Gunung Merapi tahun 2010 menyebabkan kerusakan ekosistem hutan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) mencapai 82,10% yang berdampak pada rusaknya habitat dan terganggunya populasi satwaliar. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah manajemen satwaliar dan habitatnya pasca erupsi Merapi dalam rangka menjaga kelestariannya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan rekomendasi manajemen habitat dan populasi satwaliar di TNGM pasca erupsi.
Penelitian berlokasi di
TNGM yang terletak di Provinsi DIY dan Jawa Tengah.
Fokus penelitian ini
adalah Tugas dan Fungsi Lembaga, dalam hal ini untuk mendukung manajemen satwaliar dan habitatnya pasca erupsi.
Tujuan yang ingin dicapai melalui
penelitian ini meliputi informasi tentang: kesesuaian habitat satwa, jenis pohon asli untuk restorasi habitat, perkiraan rekolonisasi areal terdampak erupsi dan koridor pengungsian satwa.
Bentuk kegiatan penelitian ini meliputi survei
satwaliar menggunakan GPS, wawancara, analisis vegetasi dan analisis spasial. Tahapan kegiatan meliputi konsultasi dan koordinasi dengan para pihak dilanjutkan dengan orientasi lapangan dan pengumpulan data primer dan sekunder yang mencapai 50% (April), 65% (Juni), 75% (Juli) dan 100% (Agustus) dan pengolahan data serta penyusunan laporan bulan September. Kendala dan hambatan dalam pelaksanaan kegiatan relatif tidak ada berkat adanya koordinasi dan wetworking dengan para pihak yang sudah dijalin dengan baik. Biaya penelitian ini adalah Rp.250.000.000,- dengan rencana alokasi untuk gaji dan upah (37,5%), pembelian bahan habis pakai (2,0%), perjalanan dinas (50,9%) dan biaya lain-lain (9,6%).
Realisasi SPJ termin ke I sebanyak
Rp.92.780.000,- (37,11%); SPJ termin ke II Rp.112.220.000,- (44,89%) dan SPJ termin ke III Rp. 45.000.000,- (18,00%) sehingga kumulatif penyerapan dana Rp. 250.000.000,- (100,00%).
Kendala dalam administrasi adalah jadwal kegiatan
yang telah disusun matang tidak dibarengi dengan turunnya anggaran yang tepat pada waktunya. Target kinerja dirancang selesai dalam delapan bulan dengan tahapan pencapaian 50% pada bulan April dan 100% pada bulan Agustus. Pengumpulan data lapangan dengan output berupa data sebaran satwa dan jenis pohon asli serta data sekunder berupa citra satelit, peta dan statistik diselesaikan hingga Agustus. Pada bulan Agustus hingga September dilakukan pengolahan data dan
penyusunan laporan dengan output Peta Sebaran Satwa Mamalia Penting, Peta Kesesuaian Habitat Satwa, Daftar jenis pohon-pohon asli sebagai tanaman restorasi habitat dan Peta Rekomendasi Koridor Satwa. Hasil penelitian ini berupa daftar jenis pohon asli, ke depan dapat dimanfaatkan untuk pembinaan habitat satwa melalui restorasi dan pengayaan habitat dengan jenis-jenis pohon asli yang berfungsi sebagai habitat (sumber pakan, sarang, tempat berlindung, dll). Peta sebaran mamalia penting dan peta kesesuaian habitat lutung jawa untuk menentukan jenis dan intensitas pengelolaan habitat pasca erupsi serta peta koridor digunakan sebagai pedoman membuat jalur pengungsian satwa jika terjadi erupsi lagi di masa mendatang. Penelitian ini memerlukan koordinasi dengan lembaga dan program TNGM sebagai lokasi dan pengguna hasil penelitian. Koordinasi ini sudah dilakukan untuk mensinergikan program melalui pertemuan formal dan informal. Koordinasi juga dilakukan dengan lembaga lain yang bekerja untuk Merapi yaitu JICA, UGM dan LSM INFRONT dan LSM Kutilang. kegiatan PKPP di BAPPEDA DIY.
Tim juga mengikuti rapat koordinasi
Koordinasi telah berjalan dengan lancar
dengan indikator terlaksananya kegiatan ini dengan lancar dan sukses. Agar hasil penelitian ini efektif pemanfaatannya maka sejak awal kegiatan, pengguna telah diajak serta sejak dari merumuskan aspek dan lokasi penelitian hingga pengumpulan data dan diskusi.
Hasil penelitian ini sangat dibutuhkan
sebagai acuan pengelolaan satwaliar pasca erupsi. Data-data hasil penelitian juga dimanfaatkan oleh para tenaga lapangan yang umumnya adalah fungsional TNGM untuk pembuatan laporan dan pengumpulan angka kredit.
Indikator
keberhasilan pemanfaatan ditunjukkan oleh digunakannya data dan informasi hasil penelitian ini oleh TNGM sebagai institusi maupun oleh para tenaga fungsional. Dari hasil penelitian ini, ke depan perlu dibuat pedoman manajemen habitat dan satwaliar di kawasan konservasi yang terdegradasi akibat erupsi. Strategi pengembangannya adalah dengan melengkapi hasil penelitian ini dengan penelitian lain dan referensi kemudian mendiskusikannya dalam suatu workshop untuk menghasilkan pedoman tersebut.
Untuk pembiayaan dapat diusulkan
melalui DIPA atau sponsor. DIsamping itu, publikasi melalui jurnal maupun poster akan meningkatkan distribusi hasil penelitian ini lebih luas sebagai bentuk dukungan ristek bagi pengelolaan kawasan konservasi secara umum.
LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN HASIL PENGELOLAANNYA Identitas Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian dan Pengembangan Nama Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Pimpinan
Ir. Adi Susmianto, M.Sc.
Alamat
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp. 0251 8633234; 7520067; Fax. 0251 8638811 Email :
[email protected]
Identitas Kegiatan Judul Abstraksi
Tim Peneliti 1. Nama Koordinator/ Peneliti Utama (PU) 2. Alamat Koordinator/PU 3. Nama Anggota Peneliti
Waktu Pelaksanaan Publikasi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan
Manajemen Habitat Dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 menyebabkan kerusakan ekosistem hutan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang berdampak pada rusaknya habitat dan terganggunya populasi satwaliar. Penelitian ini bertujuan memperoleh rekomendasi manajemen satwaliar dan habitatnya pasca erupsi. Metode penelitian meliputi survei satwaliar menggunakan GPS, analisis vegetasi dan analisis spasial. Tahapan kegiatan meliputi konsultasi dan koordinasi dengan para pihak dilanjutkan orientasi lapangan dan pengumpulan data primer dan sekunder serta pengolahan data dan penyusunan laporan. Manfaat hasil penelitian ini adalah sebagai acuan dalam pemilihan jenis pohon asli untuk restorasi habitat; acuan pengelolaan habitat menurut kesesuaiannya dan pertimbangan penentuan lokasi koridor pengungsian satwa. Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.S.i
Vila Ciomas Indah Blok G.3/No.1 Ciomas Rahayu, Kec. Ciomas, Kab. Bogor Dr. Ir. A. Fauzi Mas’ud, M.Sc Ir. Endro Subiandono Dr. Haruni Krisnawati, S.Hut., M.Si. Ir. N.M. Heriyanto Februari – Oktober 2012 Manajemen Habitat Dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi
Identitas Kekayaan Intelektual dan Hasil Litbang Ringkasan Kekayaan Intelektual • Perlindungan Kekayaan Intelektual 1. Paten Waktu Pendaftaran: ............................... 2. Hak Cipta Waktu Pendaftaran: ............................... 3. Merek Waktu Pendaftaran: ............................... 4. Disain Industri Waktu Pendaftaran: ............................... 5. Disain Tata Letak Sirkuit Terpadu Waktu Pendaftaran: ............................... 6. Varietas Tanaman Waktu Pendaftaran: ............................... •
Nama Penemuan Baru
Tidak ada penemuan yang diajukan hak kekayaan intelektualnya
•
Nama Penemuan Baru Non Komersial
Publikasi Ilmiah berjudul : Manajemen Habitat Dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi •
Cara Alih Teknologi
1. Publikasi. Ringkasan Hasil Penelitian dan Pengembangan 1. Hasil Penelitian dan Pengembangan (Tulisan ilmiah akan diterbitkan) Hasil penelitian ini membuktikan bahwa erupsi Gunung Merapi pada bulan Oktober 2010 telah menyebabkan kesesuaian ekosistem Merapi bagi satwaliar berubah. Secara umum dari enam jenis mamalia yang diteliti tersebar di hutan yang tidak terdampak 44%, di areal rusak ringan 15%, di areal rusak sedang 15%, sementara di areal rusak berat tidak ditemukan namun di luar kawasan hutan ditemukan 22%. Pasca erupsi, kawasan TNGM yang masih memiliki kesesuaian tinggi bagi habitat lutung hanya tinggal 16,70%. Sebagian besar (58,61%) kawasan telah mengalami kerusakan sehingga memiliki kesesuaian yang rendah (tidak sesuai) sebagai habitat lutung jawa, sementara sisanya (24,69%) masih memiliki kesesuaian sedang. Untuk memulihkan kembali kesesuaian habitat yang telah hilang dan menurun diperlukan upaya restorasi hebitat berupa penanaman dan pengayaan vegetasi pohon sumber pakan dan pohon tempat berlindung (cover). Dari penelitian dapat diidentifikasi 50 jenis pohon asli yang dapat digunakan sebagai tanaman restorasi. Penelitian ini menemukan bahwa alam mampu memulihkan diri sendiri pasca gangguan melalui proses suksesi alam dan kolonisasi oleh ekosistem di sekitarnya. Kemampuan kolonisasi alami areal-areal terdampak erupsi oleh ekosistem yang tidak terdampak bervariasi menurut tingkat kerusakan dan jarak dari sumber kolonisasi. Pada areal terdampak erupsi setelah satu tahun sudah ditemukan berbagai jenis tumbuhan bawah (10 – 48 jenis) dan anakan pohon (7-19 jenis). Penelitian ini juga menghasilkan alternatif lokasi koridor pengungsian satwa untuk mengantisipasi erupsi Gunung Merapi yang selalu berulang. Koridor pengungsian satwa yang potensial dibuat adalah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu melalui sempadan sungai yang menghubungkan kedua gunung tersebut. 2. Produk, spesifikasi, dan pemanfaatannya. Produk berupa laporan dan peta kesesuaian habitat lutung jawa dan peta rekomendasi koridor pengungsian satwa. Untuk dimanfaatkan sebagai acuan dalam manajemen satwaliar pasca erupsi di Gunung Merapi.
3. Gambar/Photo Produk Hasil Penelitian dan Pengembangan
PETA SEBARAN ENAM JENIS MAMALIA DI GUNUNG MERAPI PASCA ERUPSI
PETA KESESUAIAN HABITAT LUTUNG JAWA
PETA REKOMENDASI KORIDOR PENGUNGSIAN SATWA
Pengelolaan 1. Sumber Pembiayaan Penelitian dan Mitra Kerja a. APBN : Rp ……............................................... b. APBD : Rp ……............................................... c. Mitra Kerja : Rp ...................................................... - Dalam Negeri : Rp. ……............................................... - Mitra : Rp. ...................................................... - Luar Negeri : Rp. …….............................................. - Mitra : Rp. ...................................................... 2. Sarana dan Prasarana a. Sarana : tidak ada b. Prasarana : tidak ada 3. Pendokumentasian Ada dokumentasi foto-foto kegiatan penelitian disimpan dalam file tersendiri dalam satu CD dengan laporan.
Bogor, 17 September 2012 Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP. 19571221 198203 1 002
LAPORAN AKHIR PELAKSANAAN PKPP 2012
MANAJEMEN HABITAT DAN POPULASI SATWALIAR LANGKA PASCA BENCANA ALAM ERUPSI DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI KEMENTERIAN/LEMBAGA:
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN
Peneliti: 1. 2. 3. 4. 5.
Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si Dr. Ir. A. Fauzi Mas’ud, M.Sc Ir. Endro Subiandono Dr. Haruni Krisnawati, S.Hut., M.Si. Ir. N.M. Heriyanto
KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI 2012
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI
I.
II.
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
1
2. Pokok Permasalahan
1
3. Maksud dan Tujuan
2
4. Metodologi Pelaksanaan
2
a. Lokus Kegiatan
2
b. Fokus Kegiatan
2
c. Bentuk Kegiatan
3
PERKEMBANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN 1. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
4
a. Perkembangan Kegiatan
4
b. Kendala-Hambatan Pelaksanaan Kegiatan
4
2. Pengelolaan Administrasi Manajerial
III.
4
a. Perencanaan Anggaran
4
b. Mekanisme Pengelolaan Anggaran
5
c. Rancangan dan Perkembangan Pengelolaan Aset
5
d. Kendala – Hambatan Pengelolaan Administrasi Manajerial
5
METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA 1. Metode-Proses Pencapaian Target Kinerja
6
a. Kerangka Metode-Proses
6
b. Indikator Keberhasilan
6
c. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Litbangyasa
7
2. Potensi Pengembangan Ke Depan
48
a. Kerangka Pengembangan Ke Depan
48
b. Strategi Pengembangan Ke Depan
48
IV. SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN
i
1. Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program a. Kerangka Sinergi Koordinasi
50
b. Indikator Keberhasilan Sinergi
51
c. Perkembangan Sinergi Koordinasi
52
2. Pemanfaatan Hasil Litbangyasa
V.
50
52
a. Kerangka dan Strategi Pemanfaatan Hasil
52
b. Indikator Keberhasilan Pemanfaatan
53
c. Perkembangan Pemanfaatan Hasil
54
PENUTUP 1. Kesimpulan
55
a. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan dan Anggaran
55
b. Metode Pencapaian Target Kinerja
55
c. Potensi Pengembangan Ke Depan
55
d. Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program
56
e. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa
56
2. Saran
56
a. Keberlanjutan Pemanfaatan Hasil Kegiatan
56
b. Keberlanjutan Dukungan Program Ristek
56
DAFTAR PUSTAKA
ii
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
Tabel 1. Rencana alokasi anggaran
4
Tabel 2. Kerangka metode proses pencapaian target kinerja.
6
Tabel 3. Indikator keberhasilan pencapaian target kinerja
7
Tabel 4. Beberapa jenis pohon yang tumbuh secara`alami di TN. Gunung Merapi yang dapat dikembangkan untuk merestorasi habitat satwa
9
Tabel 5. Beberapa jenis satwa penting yang ditemukan di beberapa lokasi dengan tingkat kerusakan yang berbeda
22
Tabel 6. Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia penting di TNGM pasca erupsi
23
Tabel 7. Jenis-jenis burung di dua lokasi dengan kondisi habitat berbeda (terdampak erupsi dan tidak terdampak erupsi) di TN. Gunung Merapi
28
Tabel 8. Kelas kerusakan dan potensial rekolonisasinya
34
iii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1.
Proporsi sebaran enam jenis satwa mamalia menurut kelas kerusakan kawasan TNGM pasca erupsi
23
Gambar 2.
Peta sebaran enam jenis mamalia di Gunung Merapi pasca erupsi
24
Gambar 3.
Sebaran lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) di TNGM pasca erupsi.
25
Gambar 4.
Sebaran monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di TNGM pasca erupsi
25
Gambar 5.
Sebaran kucing hutan (Prionailurus bengalensis Kerr 1792) di TNGM pasca erupsi
25
Gambar 6.
Sebaran kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann 1780) di TNGM pasca erupsi
25
Gambar 7.
Sebaran babi hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758) di TNGM pasca erupsi
26
Gambar 8.
Sebaran luwak (Paradoxurus hermaphroditus Pallas 1777) di TNGM pasca erupsi
26
Gambar 9.
Kelompok lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 27 1812) di Girtengah, Mriyan
Gambar 10.
Jejak yang diduga jejak Kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann 1780) ditemukan di Ngargomulyo
27
Gambar 11.
Elang jawa (Nisaetus bartelsi Stresemann 1924) yang dijumpai di Plawangan
30
Gambar 12.
Komposisi komunitas burung di Kinahrejo yang terdampak erupsi (6 bulan pasca erupsi)
30
Gambar 13.
Komunitas burung di Plawangan yang tidak terdampak erupsi (6 bulan pasca erupsi)
30
Gambar 14.
Peta kesesuaian habitat lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) di TNGM pasca erupsi.
32
Gambar 15.
Jumlah jenis anakan pohon dan tumbuhan bawah pada areal terdampak erupsi setelah satu tahun pasca erupsi
33
Gambar 16.
Kiri : rekolonisasi 3 bulan pasca erupsi dan Kanan : rekolonisasi 18 bulan pasca erupsi di Resor Kemalang
33
Gambar 17.
Aliran sungai DAS Pabelan dengan vegetasi riparian potensial menjadi koridor pengungsian satwa dari Gunung Merapi ke Gunung Merbabu di Blok Lencoh, Resor Selo (Boyolali).
39
iv
Gambar 18.
Pertanian intensif, pemukiman dan jalan raya menjadi kendala pengembangan koridor Merapi-Merbabu
39
Gambar 19.
Wilayah administrasi areal yang potensial menjadi koridor antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu (Sumber: Marhaento et al., 2010)
40
Gambar 20.
Tata guna lahan areal yang potensial menjadi koridor antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu (Sumber: Marhaento et al., 2010)
41
Gambar 21.
Peta rancangan koridor yang direkomendasikan dari penelitian ini
41
Gambar 22.
Kerangka pengembangan ke depan hasil penelitian
48
Gambar 23.
Kerangka sinergi koordinasi kegiatan penelitian
50
Gambar 24.
Pertemuan dalam rangka koordinasi dengan stakeholder yang dilakukan sebelum (atas) dan sesudah penelitian dilaksanakan (bawah)
51
Gambar 25.
Kerangka pemanfaatan hasil penelitian
53
Gambar 26.
Penyerahan laporan hasil penelitian oleh Ketua Tim Peneliti kepada Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi dan penyerahan dari Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi kepada Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi
54
v
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dengan luas + 6.410 Ha mengalami erupsi besar pada 26 Oktober hingga 6 November 2010 yang menyebabkan kerusakan ekosistem hutan mencapai 82,10% dari tingkat ringan sampai parah. Disamping erupsinya sendiri menyebabkan kematian satwa, kerusakan ekosistem hutan akibat erupsi juga menyebabkan menurunnya luasan dan kualitas habitat satwa sehingga daya dukungnya menurun. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah manajemen habitat dan populasi satwaliar pasca erupsi Merapi dalam rangka menjaga kelestariannya.
2. Pokok Permasalahan Gunung Merapi ditetapkan sebagai Taman Nasional karena merupakan salah satu kantong habitat jenis-jenis satwaliar endemik Jawa seperti macan tutul, kijang, rusa, lutung dan elang jawa.
Erupsi hebat
Gunung Merapi yang terjadi pada 26 Oktober 2010 menyebabkan kerusakan parah pada hutan yang menjadi habitat utama satwaliar dan secara langsung juga menyebabkan kematian berbagai jenis satwa. Tanpa adanya campur tangan manusia dalam penanganan habitat dan satwaliar pasca erupsi, dikhawatirkan banyak jenis yang akan mengalami kepunahan lokal, baik secara perlahan maupun secara cepat. Untuk itu perlu segera ditemukan teknik manajemen habitat dan populasi satwaliar pasca erupsi Merapi. Manajemen habitat ditujukan untuk memulihkan kembali habitat yang rusak dan meningkatkan kualitasnya sehingga mampu mendukung kehidupan satwaliar secara normal. Manajemen populasi ditujukan untuk menangani individu-individu satwa yang mengalami luka, kelaparan dan penyakit yang memerlukan rehabilitasi serta kemungkinan translokasi ke tempat lain yang lebih dapat mendukung kehidupannya.
3. Maksud dan Tujuan Penelitian
ini
dimaksudkan
untuk
memberikan
rekomendasi
manajemen habitat dan populasi satwaliar di TNGM pasca erupsi. Untuk itu penelitian bertujuan mendapatkan data dan informasi guna mengetahui: (1) Kesesuaian ekologis jenis-jenis vegetasi untuk restorasi habitat satwa pasca erupsi (2) Kesesuaian ekosistem Merapi pasca erupsi sebagai habitat jenisjenis satwa penting (3) Perkiraan kemampuan rekolonisasi alami areal-areal terdampak erupsi oleh ekosistem yang tidak terdampak (4) Kemungkinan membuat koridor migrasi satwa ke hutan di sekitar Merapi.
4. Metodologi Pelaksanaan a. Lokus Kegiatan Penelitian ini berlokasi di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang secara administrasi terletak di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kab. Sleman) dan Provinsi Jawa Tengah (Kab. Boyolali, Kab. Klaten dan Kab. Magelang).
TNGM dipilih karena
memerlukan penanganan segera setelah erupsi besar bulan Oktober 2010. Penanganan yang urgen dari TNGM ini adalah menyelamatkan satwaliar agar dapat bertahan hidup dan tetap lestari pasca erupsi melalui upaya-upaya manajemen habitat dan populasinya.
b. Fokus Kegiatan Penelitian ini difokuskan pada manajemen satwaliar dan habitatnya di TNGM pasca erupsi.
Satwaliar menjadi fokus karena
belum ada yang secara khusus melakukan penelitian maupun penanaganan satwaliar sebagai korban erupsi Merapi.
Sementara
korban berupa kerusakan vegetasi dam kerugian masyarakat (manusia) sudah banyak yang menanganinya.
2
c. Bentuk Kegiatan Bentuk
kegiatan
penelitian
ini
adalah
survei
satwaliar
menggunakan GPS, analisis vegetasi dan analisis spasial. Tahapan kegiatannya meliputi konsultasi dan koordinasi dengan para pihak dilanjutkan dengan orientasi lapangan dan pengumpulan data primer dan sekunder, kemudian pengolahan data serta penyusunan laporan.
3
II. PERKEMBANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN 1. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan a. Perkembangan Kegiatan Target kinerja dirancang untuk dicapai dalam waktu 8 (delapan) bulan dimana kegiatan penelitian di lapangan diselesaikan dengan tahapan 50% sampai bulan April 2012 dan 100% pada bulan Agustus 2012. Sampai awal bulan April dapat dicapai target kinerja 50% berupa pengumpulan data lapangan, baik primer maupun sekunder. Data yang sudah dikumpulkan sntara lain : citra satelit; jenis dan sebaran mamalia; sebaran burung; jenis-jenis pohon asli dan data sekunder berupa peta dan data statistik TNGM. Sampai bulan Juni 2012 perkembangan pencapaian kinerja fisik lapangan mencapai 65%. Hingga bulan Juli dicapai target kinerja 75% dan pada akhir Agustus 2012 kegiatan pengambilan data lapangan telah dicapai 100%.
Dengan demikian perkembangan
kegiatan berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
b. Kendala-Hambatan Pelaksanaan Kegiatan Tidak ada kendala atau hambatan teknis yang berarti dalam pencapaian target kinerja.
Semua rencana berjalan lancar berkat
terjalinnya koordinasi dan jejaring yang baik dengan para pihak terkait.
2. Pengelolaan Administrasi Manajerial a. Perencanaan Anggaran Perencanaan alokasi anggaran penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rencana alokasi anggaran No.
Uraian
Jumlah (Rp)
1.
Gaji dan upah (Honor peneliti dan upah kerja lapangan)
2.
Bahan Habis Pakai (bahan perlengkapan penelitian)
3.
Perjalanan dalam reangka pengumpulan data lapangan dan presentasi hasil penelitian pada pengguna (TNGM Biaya Lain-Lain (fotokopi, pencetakan laporan, dll)
4.
Jumlah Biaya
Persentase
93,760,000
37.50
5,000,000
2.00
127,240,000
50.90
24,000,000
9.60
250,000,000
100.00
4
b. Mekanisme Pengelolaan Anggaran Penggunaan anggaran menurut tahapan termin pencairan anggaran adalah sebagai berikut : • Realisasi SPJ Termin ke I = Rp. 92.780.000,- (37,11%) • Realisasi SPJ Termin ke II = Rp. 112.220.000,- (44,89%) • Realisasi SPJ Termin ke III = 45.000.000,- (18,00%) • Reailsasi kumulatif SPJ sampai awal akhir kontrak Oktober 2012 = Rp. 250.000.000,- (100,00%).
c. Rancangan dan Perkembangan Pengelolaan Aset Penelitian ini tidak menghasilkan aset. Sehingga tidak ada rancangan dan perkembangan pengelolaan aset.
d. Kendala-Hambatan Pengelolaan Administrasi Manajerial Kendala dalam pengelolaan administrasi adalah turunnya anggaran yang tidak sinkron dengan jadwal kegiatan yang telah ditetapkan.
Meskipun demikian, hal ini tidak sampai menghambat,
karena kegiatan penelitian dilaksankan sesuai jadwal yang telah direncakan, dan biaya ditagihkan pada Termini berikutnya. Realisasi kegiatan fisik tercapai 100%.
5
III. METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA 1. Metode-Proses Pencapaian Target Kinerja a. Kerangka Metode-Proses Kerangka kerja pencapaian target kinerja penelitian dimulai dari penetapan tujuan yang sinergi dengan program dari pengelola (calon pengguna hasil penelitian) yaitu Balai Taman Nasional Gunung Merapi, kemudian menetapkan target output untuk bisa menjawab tujuan tersebut secara efektif.
Untuk mencapai target tersebut maka
ditetapkan metode yang tepat dan efisien. Kerangka metode proses tersebut disajikan pada Tabel 2 di bawah ini Tabel 2. Kerangka metode proses pencapaian target kinerja. Tujuan
Target Kinerja (Output)
Metode Pencapaian Target
Kesesuaian ekologis jenisjenis vegetasi untuk restorasi habitat satwa pasca erupsi
Daftar jenis-jenis pohon asli merapi untuk restorasi habitat satwa
Analisis vegetasi dan wawancara
Kesesuaian ekosistem Merapi pasca erupsi sebagai habitat jenis-jenis satwa penting
Peta Kesesuaian Habitat Satwa Indikator (Lutung Jawa) pasca erupsi
Survei satwaliar menggunakan GPS dan analisis spasial
Perkiraan kemampuan rekolonisasi alami areal-areal terdampak erupsi oleh ekosistem yang tidak terdampak
Informasi hasil rekolonisasi alami areal terdampak erupsi pada berbagai tingkat kerusakan
Analisis vegetasi
Kemungkinan membuat koridor migrasi satwa ke hutan di sekitar Merapi
Peta rekomendasi koridor pengungsian satwa dari Gunung Merapi ke Gunung Merbabu
Analisis spasial dan survei lapangan (ground checking)
b. Indikator Keberhasilan Karena target kinerja merupakan output yang terukur maka keberhasilannya dapat diukur melalui indikator-indikatornya yang disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini.
6
Tabel 3. Indikator keberhasilan pencapaian target kinerja. Target Kinerja (Output)
Indikator (Parameter Terukur) Keberhasilan
Tingkat Pencapaian Keberhasilan
Daftar jenis-jenis pohon asli merapi untuk restorasi habitat satwa Peta Kesesuaian Habitat Satwa Indikator (Lutung Jawa) pasca erupsi Informasi hasil rekolonisasi alami areal terdampak erupsi pada berbagai tingkat kerusakan Peta rekomendasi koridor pengungsian satwa dari Gunung Merapi ke Gunung Merbabu
Tersedianya daftar nama-nama pohon asli Merapi yang dapat digunakan untuk restorasi habitat satwa Tersedianya peta kesesuaian habitat lutung jawa
Berhasil dicapai 100%
Tersedianya informasi kondisi rekolonisasi secara alami di areal terdampak erupsi dengan berbagai tingkat kerusakan Tersedianya peta rekomendasi koridor pengungsian satwa dari Gunung Merapi ke Gunung Merbabu
Berhasil dicapai 100%
Berhasil dicapai 100%
Berhasil dicapai 100%
c. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Litbangyasa Sampai berakhirnya kontrak, telah dicapai hasil penelitian dengan volume 100% dari target yang direncanakan. Adapun hasilnya disajikan sebagai berikut :
(1) Jenis-Jenis Pohon Asli Untuk Restorasi Habitat Satwa Salah satu kunci keberhasilan restorasi hutan adalah identifikasi tipe dan tingkat restorasi yang sesuai dengan kondisi sosial dan fisik yang ada.
Pada ekosistem yang telah sangat rusak sehingga tidak
mampu memulihkan diri melalui proses suksesi alam, maka upaya restorasi lebih baik difokuskan pada pemulihan dan pemeliharaan proses-proses seperti hidrologi, siklus hara dan transfer energi daripada mengembalikan hutan seperti aslinya (Maginnis dan Jackson, 2006). Untuk memulihkan fungsi hutan diperlukan jenis-jenis asli yang sama dengan jenis yang telah hilang akibat erupsi.
Untuk itu perlu
diinventarisasi jenis-jenis asli dari hutan yang tidak terdampak erupsi. Inventarisasi juga untuk mempelajari pola penyebarannya di alam (menurut ketinggian tempat, mengelompok atau individual), kondisi pertumbuhannya (jenis dominan, ko-dominan, atau submerge) dan sifat-sifatnya (jenis toleran atau intoleran; jenis pionir atau jenis klimaks).
Pengetahuan ini penting sebagai pertimbangan dalam
pengadaan bibit, teknik penanaman dan pemeliharannya.
7
Hasil penelitian ini menemukan 50 jenis pohon asli Gunung Merapi yang dapat digunakan untuk restorasi habitat satwa. Beberapa jenis merupakan pionir yang mudah dan cepat tumbuh serta menyukai tempat terbuka sehingga sangat baik sebagai tumbuhan perintis pasca erupsi. Banyak jenis merupakan pohon pakan satwa dan pohon tempat tidur primata.
Jenis-jenis Ficus spp. sangat baik sebagai tanaman
untuk konservasi air dan habitat berbagai jenis satwa, khususnya burung.
(2) Kesesuaian Habitat Jenis-Jenis Satwa Penting a) Sebaran beberapa satwa mamalia penting pasca erupsi Enam jenis satwa mamalia penting di TNGM tersebar di berbagai areal dengan tingkat kerusakan bervariasi, namun paling banyak berada di kawasan hutan yang tidak terkena erupsi yaitu mencapai 44% dari total perjumpaan enam jenis satwa. Bahkan 22% ditemukan di luar kawasan hutan TNGM. Hal ini menunjukkan adanya penurunan daya dukung habitat di dalam TNGM akibat rusak karena terkena dampak erupsi. Pada areal yang mengalami kerusakan parah (tidak bervegetasi) karena tertutup pasir panas hasil erupsi, sama sekali tidak ditemukan satwa mamalia besar. Beberapa jenis satwa mampu beradaptasi dengan kerusakan habitat yang parah, sedang atau ringan. Beberapa jenis mungkin tidak toleran terhadap kerusakan habitat, khususnya kerusakan vegetasi sebagai cover (pelindung). Berikut ini beberapa jenis satwa penting yang ditemukan pada beberapa tingkat kerusakan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi.
Lutung jawa dan macan tutul jawa merupakan satwa
langka penting yang sulit beradaptasi dengan kerusakan habitat akibat erupsi.
8
Tabel 4. Beberapa jenis pohon yang tumbuh secara`alami di TN. Gunung Merapi yang dapat dikembangkan untuk merestorasi habitat satwa. No
Nama Lokal
Nama Botani
Habitat (m dpl)* Habitat terganggu, pegunungan, 1 900 mdpl Dataran rendah sampai ketinggian 1.700 m dpl2 Hutan pegunungan sampai 3.100 m dpl
1.
Semutan
Glochidion zeylanicum JUSS.
Polygalaceae
2.
Cepogo, Majegau, Pingku, Kedoya
Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq.
Meliaceae
3.
Sengon gunung, kayu mata
Albizia montana (Jungh.) Benth.
Mimosaceae
4.
Ande-ande, ki seuheur, huni peucang
Antidesma tetrandrum Blume
Euphorbiaceae (Phyllanthaceae)
Hutan pegunungan sampai 2.400 m dpl
5.
Aren
Arenga pinnata (Wurmb) Merr.
Palmae
6.
Gintungan
Bischofia javanica Blume
Euphorbiaceae Asli Asia Tenggara5
Tumbuh liar di lereng-lereng atau tebing sungai sampai ketinggian 2.000 m dpl Tahan kekeringan; sampai
Manfaat** Buah dimakan satwa, tumbuhan obat (daun) Kayu bangunan suci di Bali: ukiran; perkapalan: alat olah 3 raga
Tumbuh dari biji walaupun pertumbuhannya lambat
Daunnya pakan ternak, akarnya penyubur dan pengikat tanah; kayunya untuk kayu bakar dan kontruksi ringan kayunya yang ulet digunakan sebagai gagang kapak. Kulit batangnya digunakan sebagai obat dan buahnya dapat dimakan Pohon serbaguna (hampir semua bagian pohon dapat dimanfaatkan); pakan satwa, habitat satwa (musang, luwak dan babi)4
Mudah tumbuh, cepat menyebar dengan biji, mudah terbakar
Tempat cakaran macan tanda teritorial; daun pakan ternak; kayu kontruksi,
6 Biji, anakan, stem cutting , cepat tumbuh, besar, tajuk menyebar7;
* Berdasarkan pengamatan dan referensi; ** Berdasarkan referensi dan wawaancara dengan masyarkat 1 http://floranegeriku.blogspot.com/2011/06/mareme-glochidion-arborescens-blume.html 2 http://www.proseanet.org/prohati2/browser.php?docsid=102 3 http://informasi-budidaya.blogspot.com/2011/03/majegau-dysoxylum-densiflorum-identitas.html 4 http://id.wikipedia.org/wiki/Enau 5 http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/AFTPDFS/Bischofia_javanica.pdf
Keterangan***
*** Berdasarkan referensi
Perbanyakan dengan biji, penyebaran alami oleh hewan musang, luwak
No
Nama Lokal
Nama Botani
7.
Bintangur
Calophyllum soulattri Burman f., Fl.
Clusiaceae
8.
Kenanga
Cananga odorata (Lam.) Hook.f. & Thomson
Annonaceae
Habitat (m dpl)* ketinggian 1.500 m dpl Ditemukan pada tanah miskin miskin berpasir dan tanah ultrabasic, tetapi juga pada batu kapur. Di hutan sekunder biasanya hadir sebagai pohon sisa-sisa pragangguan; 700 8 m dpl. Habitat hutan hujan, memerlukan cahaya penuh atau sebagian, menyukai 9 tanah masam ; 1.200 m dpl.
Manfaat**
Keterangan***
kerajinan; pulp; arang Kayu konstruksi, pohon obat, biofuel
Perbanyakan dengan biji;
Kayu akustik, minyak kenanga,
Cepat tumbuh; asli Indonesia; bibit tanaman secara generatif dari biji dari bunga yang telah matang atau vegetatif melalui stek 10 cm yang diolesi Rhizopon untuk mempercepat tumbuhnya akar dengan media campuran pasir dan tanah subur atau dapat juga 10 melalui cangkok
6
http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/products/afdbases/af/asp/SpeciesInfo.asp?SpID=1783#Propagation http://en.wikipedia.org/wiki/Bischofia_javanica http://floranegeriku.blogspot.com/2011/06/bintangor-calophyllum-soulattri-burman.html 9 http://distan.riau.go.id/index.php/home/52-tanaman-hias/190-kenanga 10 http://minyakatsiriindonesia.wordpress.com/budidaya-kenanga/artikel-budidaya-kenanga/ 7 8
10
No
Nama Lokal
Nama Botani
Berangan, Ki Hiur, Sarangan, Saninten, Wrakas
Castanopsis argentea (BL.) DC.
Fagaceae
10.
Sintok, Huru gading, ki teja, ki amis
Cinnamomum iners Reinw. ex Blume Sinonim : Cinnamomum nitidum BL.
Lauraceae
11.
Marong
Cratoxylum formosum (Jack) Dyer
Clusiaceae
9.
Habitat (m dpl)* Hutan pegunungan; 1750 m dpl
Hutan tropis yang selalu basah mulai ketiinggian 600 – 2000 m dpl; bisa campur konifer, di hutan terganggu dan sekunder Sebagian besar ditanah aluvial, tetapi juga di lereng bukit dan pergunungan. Di hutan sekunder biasanya hadir
Manfaat**
Keterangan***
Kayu bangunan, lantai, papan, jembatan, bak kayu, rangka pintu dan jendela, 11 genting ; biji sebagai bahan makanan dengan cara direbus atau dibakar; Pohon sebagai habitat burung dan mamalia, untuk mencari pakan, beristirahat, dan bersarang12.
Tumbuhan asli kawasan Asia tropika dan subtropika; berbunga pada AgustusOktober dan berbuah pada November-Februari; Buah tidak dapat disimpan lama karena daya berkecambahnya cepat menurun, buah segar memiliki daya berkecambah sekitar 75% Musim berbunga: JanuariFebruari; berbuah MaretAgustus13
Kayu konstruksi dan perabot; kulit dan daun untuk rempah dan obat
Bahan bangunan
11
http://dishut.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=567&idMenu=641 http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/131073442_1410-4377.pdf 13 http://www.biotik.org/laos/species/c/cinin/cinin_en.html 12
11
No
Nama Lokal
Nama Botani
12.
Parengpeng, tapen kebo
Croton argyratus Blume
Euphorbiaceae
13.
Bintami
Podocarpus sp.
Podocarpaceae
14.
Sowo, Mersawa, Kukrup, Ki hujan
Engelhardia spicata Lech.ex Bl.).
Juglandaceae
15.
Cangkring
Erythrina fusca Lour. Sinonim : E. ovatifolia Roxb.
Fabaceae
Habitat (m dpl)* sebagai pohon sisa pragangguan; ketinggian 1.200 m dpl Dapat hidup di lereng bukit, tanah liat berpsir sampai ketinggian 1.500 m dpl.14 Hutan pegunungan 1400 m dpl (> 500 m dpl) Hutan pegunungan sampai ketinggian 2.300 m dpl Tumbuh liar di daerah tropis sampai 2.000 m dpl; menyukai daerah litoral dengan tanah
Manfaat**
Keterangan***
Pohon pelindung/ penghijauan
Berbunga sepanjang tahun
Jenis kayu indah15; pohon 16 pelindung/ penghijauan ; menyerap dan menjerap (intersepsi) debu dan unsur pencemar udara17. Buahnya 18 dimakan lutung Buahnya makanan lutung; habitat lutung
Tumbuhan obat; jenis pionir setelah letusan gunung berapi Krakatau; habitat satwa; tempat tidur primata; pohon pelindung
Perbanyakan dengan stek mudah tumbuh atau biji mudah berkecambah.19
14
http://www.globinmed.com/index.php?option=com_content&view=article&id=100872:croton-argyratus-blume&catid=367:c&Itemid=116 http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kayu_di_Indonesia 16 http://rioardi.wordpress.com/nama-lokal-dan-latin-tumbuhan/jenis-jenis-pohon-yang-dapat-diintroduksi-untuk-tanaman-pelindungpenghijauan-1/ 17 http://akarrumput21.blogspot.com/2011/01/tugas-akhir-dendrologi.html 18 http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/03520035-zainal-fuadi-p.ps 19 http://www.proseanet.org/prohati2/browser.php?docsid=151 15
12
No
Nama Lokal
Nama Botani
16.
Dadap srep, cangkring
Erythrina lithosperma Miq. non Bl
Fabaceae
17.
Dadap ayam, dadap laut, Blendung
Erythrina orientalis (L.) Merr.
Fabaceae
18.
Dadap duri
Erythrina subumbrans (Hassk.) Merr.
Fabaceae
19.
Duwet
Syzygium cumini (L.) Skeels
Myrtaceae
Habitat (m dpl)* berdrainase tidak bagus seperti rawarawa dan aliran tepi sungai dan rawa-rawa sungai di dataran tinggi. Tempat tumbuh Hutan campuran, kebun, semak Tempat tumbuh Hutan campuran, kebun, semak; 2.100 m dpl Tempat tumbuh Hutan campuran, kebun, semak; 2.200 m dpl Tumbuh di daerah tropik sampek 1.800 m dpl, toleran terhadap kekeringan
Manfaat**
Keterangan***
Penahan erosi, habitat tempat tidur monyet
Cepat tumbuh, stek, tanah pasir lembab, terbuka
Penahan erosi, habitat tempat tidur monyet
Cepat tumbuh, stek, tanah pasir lembab, terbuka
Tumbuhan obat (daun dan kulit kayu)20
Cepat tumbuh, stek, tanah pasir lembab, terbuka
Buah, bunga dan daun pakan satwa, Kulit batang, daun, buah dan bijinya sebagai obat21; daun pakan ternak; kayu konstruksi dan kayu bakar;22 Perakraran kuat baik untuk mencegah erosi, penahan angin
Biji bersifat rekalsitran (tidak dapat disimpan lama), karena akan menyebabkan hilangnya daya kecambah dan menimbulkan kematian biji, sehingga biji semacam ini harus segera disemaikan.
20
http://tamansafari.com/flora/preview.php?id=21 http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/artikel/ttg_tanaman_obat/depkes/buku1/1-118.pdf 22 http://id.wikipedia.org/wiki/Jamblang 21
13
No
Nama Lokal
Nama Botani
Habitat (m dpl)*
Manfaat**
20.
Salam batu
Syzygium polyanthum (Wight) Wallpers
Myrtaceae
Tumbuh liar di dataran rendah sampai pegunungan dan pekarangan; hutan primer dan sekunder; 24 1.800 m dpl . Tanaman ini tumbuh baik di tanah berpasir tekstur tanah liat dengan kandungan bahan organik tinggi25.
Kayu bahan bangunan dan perabot rumah tangga26; daun untuk rempah; kulit untuk obat tradisional; buah pakan satwa;
21.
Karet Bulu
Ficus annulata Blume
Moraceae
Sampai ketinggian < 1.500 m dpl
Buahnya pakan burung dan monyet
Keterangan*** Perkecambahannya fipe epigeal (di atas tanah). Biji Syzygium cumini berkecambah pada hari ke-18 setelah tanam dengan persentase 53.33% dengan nilai Daya Kecambah Normal sebesar 6.67%23 Penanaman membutuhkan tanah yang gembur, subur, dan sangat cocok dengan tanah vulkanik, memiliki drainase yang baik. Penanaman tanaman salam dilakukan melalui bibit yanag berasal dari stek atau bijinya. Penanaman dengan menggunakan stek lebih mudah dan lebih cepat. Pembuatan bibit stek dilakukan dengan memilih cabang yang produktif, pilih cabang batang yang memiliki minimal 3 27 ranting . Merupakan tumbuhan parasit, sejak tertempel di pohon lain ia akan
23
Mudiana (2007) dalam http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D0801/D080108.pdf http://menurunkanasamurat.blogspot.com/2010/07/daun-salam-untuk-obat-tradisional-asam.html http://tanamanherbal.info/index.php/2011/11/penanaman-tanaman-salam/ 26 http://id.wikipedia.org/wiki/Salam_%28tumbuhan%29 27 http://tanamanherbal.info/index.php/2011/11/penanaman-tanaman-salam/ 24 25
14
No
Nama Lokal
Nama Botani
Habitat (m dpl)*
22.
Beringin, ipik
Ficus benjamina L. Sinonim Ficus retusa L.
Moraceae
23.
Wilodo, Ara/Beunying
Ficus fistulosa Reinw. ex Blume
Moraceae
24.
Elo, lowa, karet kebo, bulu, bunut, gondang putih
Ficus racemosa L. Sinonim : Ficus glomerata Roxb
Moraceae
25.
Hamerang, Ki Ciat, Sehang
Ficus grossularioides Bum.f.
Moraceae
Di temukan sampai ketinggian 1.200 m dpl Hutan subpegunungan Pada lereng bukit dan pegunungan dengan tanah liat berpasir tanah. Di hutan sekunder biasanya hadir sebagai sisa pra-gangguan. 29 . Ditemukan sampai ketinggian 2.000 m dpl Hutan dataran rendah sampai pegunungan sampai ketinggian (100 - 2.500 m dpl) Hutan pegunungan;
Manfaat**
Buah dan daun pakan satwa; pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa seperti burung dan primata Buah dan daun pakan satwa; pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa
Keterangan*** menyerap nutrisi dari 28 pohon inangnya Baik untuk konservasi air dan tanah Baik untuk konservasi air dan tanah
Buah dimakan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)30 dan lutung; pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa termasuk lutung
Baik untuk konservasi air dan tanah
Buah dimakan primata
Getahnya berwarna putih dan digunakan untuk
28
http://alamendah.wordpress.com/2011/09/02/ara-pencekik-menumpang-untuk-membunuh/ http://floranegeriku.blogspot.com/2011/06/arabeunying-ficus-fistulosa-reinw.html 30 http://tjiliwoeng.blogspot.com/2011/03/elo-lowa-atau-ara.html 29
15
No
Nama Lokal
Nama Botani
26.
Preh, amis mata, walen, kopeng
Ficus ribes Reinw
Moraceae
27.
Kebak
Ficus Alba Reinw
Moraceae
28.
Gondang putih
Ficus variegata Bl.
Moraceae
29.
Rukem, Gandarukem
Flacourtia rukam Zoll.& Mor.
Flacourtiaceae
Habitat (m dpl)* 1.700 m dpl
Manfaat**
Hutan dataran rendah sampai pegunungan: ditemukan di 1.200 m dpl Hutan primer, sekunder, semak Hutan dataran rendah sampai pegunungan: ditemukan di 1500 m dpl Hutan primer dan sekunder; ditemukan di 2.100 m dpl; Kebanyakan pada tanah berpasir dangkal miskin dan batu gamping. Di hutan sekunder biasanya hadir sebagai pohon sisa-sisa pra32 gangguan
Merupakan tumbuhan obat (malaria); buahnya dimakan satwa
Keterangan*** industri batik sebagai bahan pengawet kain batik31 Baik untuk konservasi air dan tanah
Pohon pelindung/ penghijauan
Baik untuk konservasi air dan tanah
Habitat lutung, buahnya dimakan lutuung
Baik untuk konservasi air dan tanah
Buahnya bisa dimakan satwa dan manusia, kayunya untuk perabot33
Mempunyai adaptasi yang cukup terhadap kisaran suhu, curah hujan dan kondisi tanah.
31
http://clearinghouse.bplhdjabar.go.id/ http://floranegeriku.blogspot.com/2011/06/rukam-flacourtia-rukam-zoll-mor.html 33 http://alamendah.wordpress.com/2010/02/27/rukam-atau-rukem-pijit-dulu-baru-makan/ 32
16
No
Nama Lokal
Nama Botani
30.
Jebukan/jebugan
Galearia filiformis PAX.
Euphorbiaceae
31.
Dempul lelet, Ki pare
Glochidion rubrum Bl.
Polygalaceae
32.
Kendung
Helicia javanica Bl.
Proteaceae
33.
Waru lanang, tisuk
Hibiscus macrophyllus Roxb.
Malvaceae
34.
Waru gunung, waru gombong
Hisbiscus similis bl
Malvaceae
Habitat (m dpl)* Hutan dataran rendah sampai pegunungan; ditemukan pada 2.200 m dpl Hutan datran rendah sampai pegunungan; ditemukan pada 1.500 m dpl Hutan pegunungan; ditemukan pada 2.000 m dpl Tumbuh liar ketinggian lk. 800 m dpl hingga 1.700 m dpl
Tumb uh liar, sering di sekitar sungai
Manfaat**
Keterangan***
Pohon pelindung/ penghijauan/pagar; pucuknya dimakan satwa
Daunnya obat batuk34; Buah dimakan satwa
Pohon pelindung/ penghijauan; Buah dimakan satwa Pohon pelindung/ penghijauan; kayunya untuk bahan bangunan atau perahu, roda pedati, gagang perkakas, ukiran, serta kayu 35 bakar.
Tajuknya rimbun. Perkecambahan dilakukan dengan menabur benih pada media pasir halus hasil ayakan; pembibitan dilakukan dengan media sapih pupuk kandang : tanah dengan perbandingan (1:3)36.
Pohon pelindung/ penghijauan; kayunya untuk bahan bangunan atau perahu, roda pedati, gagang perkakas, ukiran, serta kayu
Tajuknya rimbun; Kemampuan bertahannya tinggi karena toleran terhadap kondisi masin dan kering
34
http://kitabherba.blogspot.com/2012/03/khasiat-dempul-lelet.html http://rimbakayu.blogspot.com/2012/05/legenda-kayu-waru.html 36 http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/3210art2_2085-2967.pdf 35
17
No
Nama Lokal
Nama Botani
35.
Kareumbi
Homalanthus populneus (Giesel.) Pax
Euphorbiaceae
36.
Kayu batu
Homalium grandifolium Benth.
Flacourtiaceae
37.
Girang, saradan
Leea indica (Burm.F.) Merr
Leeaceae
38.
Puspa
Schima wallichii (DC.) Korth.
Theaceae
Habitat (m dpl)*
Manfaat**
Pada lahan sangat tergaggu, terbuka tempat-tempat seperti semaksemak atau pinggir jalan. Sampai 3.000 m dpl Terpencar di hutan ; ketinggian 600 m dpl Tumbuh terpencar di tanah kering atau kering sekali sampai ketinggian 1.300 m dpl; Hidup pada pelbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat. Sering ditemukan tumbuh melimpah di hutan primer dataran rendah hingga
Kayunya jelek tapi cocok untuk penghutanan kembali37; daun dimakan satwa; buah, akar dan daun dipakai obat.
Keterangan***
bakar. Mungkin pohon pionir setelah kebakaran karena banyak tumbuh di bekas kebakaran Gunung Ciremai
Pohon pelindung/ penghijauan; kayu bangunan yang kuat Pohon pelindung/ penghijauan; buahnya dimakan satwa
Kayu bangunan yang kuat
Cepat tumbuh; setelah erupsi cepat bertunas kembali
37
http://floranegeriku.blogspot.com/2011/06/kareumbi-homalanthus-populneus-giesel.html
18
No
39.
Nama Lokal
Nama Botani
Klepu, picisan
Nauclea kanceolata BL.
Rubiaceae
Habitat (m dpl)* pegunungan, pohon ini juga umum dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang terganggu, bahkan juga di padang ilalang. Bisa hidup hingga ketinggian 3.900 m dpl., puspa tidak memilih-milih kondisi tekstur dan kesuburan tanah. Meski lebih menyukai tanah yang berdrainase baik, pohon puspa diketahui mampu tumbuh baik di daerah berawa dan tepian 38 sungai Terpencar di hutan sampai ketinggian 1.500 m dpl
Manfaat**
Keterangan***
Kayu bangunan yang kuat
38
http://id.wikipedia.org/wiki/Puspa_%28kayu%29
19
No
Nama Lokal
Nama Botani
40.
Jirak, putihan
Symplocos javanica Kruz.
Symplocaceae
41.
Gorang/gurang/jurang
Trevesia sundaica Rosc.
Araliaceae
42.
Sembung, sembung dedek
Vernonia arborea Ham.
Compositae
43.
Tutup putih
Mallotus paniculatus (Lam.) Mull.Arg
Euphorbiaceae
Habitat (m dpl)* Ditemukan pada ketinggian 1.700 m dpl sampai 2.200 m dpl Tumbuh di pegunungan sampai ketinggian 1.500 m dpl Tumbuh tersebar sampai ketinggian 2.500 m dpl Tempat terbuka dan terganggu di hutan pesisir sampai pegunungan; sering di daerah terdegradasi, sebagian besar pada tanah berpasir atau lempung; sampai ketinggian 1.500 m dpl
Manfaat**
Keterangan***
Pohon habitat satwa; daun 39 pakan rusa ; kulit sebagai 40 obat
Kayu tidak berharga, biasa digunakan untuk pagar
Kayunya lunak tidak digunakan; baik untuk batang korek api. Daunnya dimakan lutung
39 40
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/43574/Burhanudin%20Masy%27ud.pdf?sequence=1 http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/196402261989032-R._KUSDIANTI/Makalah_2.pdf
20
No
Nama Lokal
Nama Botani
44.
Wuru teja
Litsea javanica BL.
Lauraceae
45.
Macaranga rhizinoides Muell. Arg
Euphorbiaceae
46.
Mara, tutup awu, calik angin Pasang balung
Quercus teysmannii Bl..
Fagaceae
47.
Pasang jambe
Quercus turbinata BL.
Fagaceae
48.
Wuru payung, huru dapung
Phoebe macrophylla BL.
Lauraceae
49.
Cantigi/manis rejo
Weinmannia blumei Planch
Cunoniaceae
50.
Wuru ketek
Myrica javanica BL.
Myricaceae
Habitat (m dpl)* Ditemukan di atas ketinggian 1.500 m dpl Hutan pegunungan Tumbuh di hutan yang banyak naungan; ditemukan pada 2.300 m dpl Hutan pegunungan; ditemukan pada 2.000 m dpl Hutan dataran rendah sampai ketinggian 1.200 m dpl Hutan pegunungan; ditemukan pada 2.200 m dpl. Hutan pegunungan sampai ketinggian 1.500 m dpl.
Manfaat**
Keterangan***
Pohon pelindung/ penghijauan; buah dimakan satwa Pohon pelindung/ penghijauan Buahnya makanan lutung33; kayunya untuk bangunan rumah
Buahnya makanan lutung33; kayunya untuk bangunan
Kayunya untuk papan
Kayunya jarang digunakan
Buahnya dimakan satwa; kayunya sebagai kayu bakar
Baik untuk penghijauan lereng gunung yang gundul
21
Tabel 5. Beberapa jenis satwa penting yang ditemukan di beberapa lokasi dengan tingkat kerusakan yang berbeda. No.
Jenis Satwa
Kondisi Kerusakan Vegetasi hutan Utuh
Ringan
Sedang
Parah
Keterangan
1
Landak
√
-
-
-
Sarang
2
Babi hutan
√
√
√
-
Info masyarakat
3
Kijang
√
√
-
-
Jejak
4
Luwak
√
√
√
-
Kotoran
5
Kucing hutan
√
√
√
-
Jejak
6
Monyet ekor panjang
√
√
√
-
Mencari makan
7
Lutung jawa
√
-
-
-
Perjumpaan
8
Elang jawa
√
√
√
-
Mencari makan
9
Macan tutul jawa
√
-
-
-
Jejak
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) merupakan salah satu jenis mamalia primata dilindungi yang menerima dampak erupsi Gunung Merapi. Oleh karena itu satwa ini perlu diketahui kondisi populasi dan sebarannya setelah erupsi. Kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann 1780) juga merupakan satwa yang banyak menerima dampak dari erupsi merapi. Dampak yang diterima pada awal pasca erupsi adalah kehilangan pakan berupa tumbuhan bawah yang hangus terbakar atau tertutup abu vulkanik.
Dampak setelah beberapa bulan setelah erupsi adalah
melimpahnya pakan berupa tumbuhan bawah yang mulai tumbuh karena terangsang oleh sinar matahari yang dapat mencapai lantai hutan akibat terbukanya tajuk pohon-pohon besar yang mati terbakar. Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia besar di TNGM disajikan pada Tabel 6 dan persentasenya disajikan pada Gambar 1.
Tabel 6.
Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia penting di TNGM pasca erupsi. Jenis Satwa
Jumlah individu dan frekuensi perjumpaan selama penelitian *) Vegetasi Utuh
Rusak Ringan
Rusak Sedang
Rusak Berat
Di luar hutan
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821)
6
4
4
0
5
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812)
26
1
4
0
5
Luwak (Paradoxurus hermaphroditus Pallas 1777)
1
4
2
0
2
Babi Hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758).
1
1
1
0
0
Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis Kerr 1792)
2
2
1
0
3
Kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann 1780)
O
3
0
0
2
*) Diolah dari data survei dan data TNGM (2011)
Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)
Gambar 1. Proporsi sebaran enam jenis satwa mamalia menurut kelas kerusakan kawasan TNGM pasca erupsi.
23
Gambar 2. Peta sebaran enam jenis mamalia di Gunung Merapi pasca erupsi.
Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)
Gambar 3. Sebaran lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) di TNGM pasca erupsi.
Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)
Gambar 4. Sebaran monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di TNGM pasca erupsi.
Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)
Gambar 5. Sebaran kucing hutan (Prionailurus bengalensis Kerr 1792) di TNGM pasca erupsi.
Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)
Gambar 6. Sebaran kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann 1780) di TNGM pasca erupsi.
Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)
Gambar 7. Sebaran babi hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758) di TNGM pasca erupsi.
Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)
Gambar 8. Sebaran luwak (Paradoxurus hermaphroditus Pallas 1777) di TNGM pasca erupsi.
26
Gambar 9. Kelompok lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) di Girtengah, Mriyan
Gambar 10. Jejak yang diduga jejak Kijang (Muntiacus Zimmermann 1780) ditemukan di Ngargomulyo.
muntjak
b. Sebaran satwa burung (aves) di TNGM pasca erupsi Hasil inventarisasi jenis burung di dua kondisi habitat (terdampak erupsi dan tidak terdampak erupsi) disajikan pada Tabel 7. Bukan hanya terdapat perbedaan jumlah jenis burung, namun juga terdapat perbedaan komposisi komunitas burung di dua lokasi dengan kondisi habitat yang berbeda (terdampak dan tidak terdampak erupsi). Hal ini ditunjukkan oleh nilai indeks kemiripan komunitasnya yang rendah (0,33) dan komposisinya dapat dilihat dari Gambar 12 dan Gambar 13.
27
Tabel 7. Jenis-jenis burung di dua lokasi dengan kondisi habitat berbeda (terdampak erupsi dan tidak terdampak erupsi) di TN. Gunung Merapi. No
Nama Jenis
Nama Latin
Tidak terdampak Erupsi (Plawangan) 0
Terdampak Erupsi (Kinahrejo)
1
Ayam-hutan Hijau
Gallus varius
0
2
Bentet kelabu
Lanius schach
0
√
3
Berencet berkening
Napothera epilepidota
0
0
4
Berencet kerdil
Pnoepyga pusilla
0
0
5
Betet Biasa
Psittacula alexandri
√
0
6
Bondol Jawa
Lonchura leucogastroides
0
√
7
Brinji gunung
Ixos virescens
√
0
8
Burung-madu gunung
Aethopyga eximia*
0
0
9
Burung-madu sriganti
Cinnyris jugularis*
√
√
10
Cabai gunung
Dicaeum sangiunolentum
0
0
11
Cabai Jawa
Dicaeum trochileum
√
√
12
Caladi ulam
Dendrocopos macei
0
√
13
Cekakak sungai
Todirhampus chloris*
0
√
14
Cica-daun sayap-biru
Chloropsis cochinchinensis
0
0
15
Cica-kopi melayu
Pomatorhinus montanus
0
0
16
Cikrak Daun
Phylloscopus trivirgatus
√
0
17
Cinenen kelabu
Orthotomus ruficeps
0
√
67
Cipoh kacat
Aegithina tiphia
0
√
18
Ciu besar
Pteruthius flaviscapis
0
0
19
Ciung-batu kecil
Myiophoneus glaucinus
√
0
20
Cucak gunung
Pycnonotus bimaculatus
√
0
21
Cucak Kutilang
Pycnonotus aurigaster
0
√
22
Elang hitam
Ictinaetus malayensis*
√
√
23
Elang jawa
Nisaetus bartelsi*
√
√
24
Elang ular bido
Spilornis chella*
√
√
25
Elang-alap
Accipiter trivirgatus*
√
0
26
Empuloh janggut
Criniger bres
√
0
27
Gelatik-batu kelabu
Parus major
√
√
68
Gemak loreng
Turnix suscitator
0
√
28
Jingjing batu
Hemipus hirundinaceus
√
0
29
Kacamata Biasa
Zosterops palpebrosus
√
√
30
Kapinis rumah
Apus nipalensis
0
0
31
Kepudang kuduk-hitam
Oriolus chinensis
0
0
32
Coracina larvata
0
0
33
Kepudang-sungu gunung Kipasan ekor-merah
Rhipidura phoenicura*
√
0
34
Kirik-kirik senja
Merops lenschenaulti
0
0
35
Layang-layang api
Hirundo rustica
0
√
28
No
Nama Jenis
Nama Latin
Terdampak Erupsi (Kinahrejo)
36
Layang-layang loreng
Hirundo striolata
37
Layang-layang rumah
Delichon dasypus
0
0
38
Merbah belukar
Pycnonotus plumosus
√
0
39
Munguk beledu
Sitta frontalis
√
0
40
Munguk loreng
Sitta azurea
0
0
41
Opior Jawa
Lophozosterops javanicus*
√
0
42
Perenjak coklat
Prinia polychroa
0
√
43
Sepah Gunung
Pericrocotus miniatus
√
0
44
Sepah Kecil
Pericrocolus cinnamomeus
0
0
45
Serindit Jawa
Loriculus pusillus
√
0
46
Sikatan belang
Ficedula westermanni
√
√
47
Sikatan kepala-abu
Culicicapa ceylonensis
0
0
48
Sikatan ninon
Eumyias indigo
√
0
49
Sikep madu asia
Pernis ptilorhynchus*
0
√
50
Srigunting hitam
Dicrurus macrocercus
√
0
51
Srigunting kelabu
Dicrurus leucophaeus
√
0
52
Takur Bultok
Megalaima lineata
0
0
53
Takur tulungtumpuk
Megalaima javensis*
√
0
54
Tekukur biasa
Streptopelia chinensis
0
√
55
Uncal loreng
Macropygia unchall
0
0
64
Uncal Loreng
Macropygia unchall
√
0
56
Unidentified Sikatan
-
0
√
57
-
0
√
58
Unidentified walet/kapinis Walet
Collocalia vulcanorum
0
0
59
Walet Linci
Collocalia linchi
√
√
60
Walet sarang
Collocalia sp.
0
0
61
Walik kembang
Ptilinopus melanospila
√
0
62
Walik Kepala-Ungu
Ptilinopus parphyreus
8
0
63
Wergan Jawa
Alcippe pyrrhoptera*
0
0
65
Wiwik kelabu
Cacomantis merulinus
0
√
66
Wiwik uncuing
Cacomantis sepulcralis
0
0
31
24
Jumlah Jenis
Keterangan :
0 : Teramati
Tidak terdampak Erupsi (Plawangan) 0
√ : Tidak teramati
0
* : dilindungi berdasarkan PP No.7 Tahun 1999
29
Gambar 11. Elang jawa (Nisaetus bartelsi Stresemann 1924) yang dijumpai di Plawangan.
Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)
Gambar 12. Komposisi komunitas burung di Kinahrejo yang terdampak erupsi (6 bulan pasca erupsi)
Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)
Gambar 13. Komunitas burung di Plawangan yang tidak terdampak erupsi (6 bulan pasca erupsi).
30
c.
Kesesuaian Habitat Lutung Jawa di TN Gunung Merapi Pasca Erupsi Hasil analisis spasial kesesuaian habitat lutung jawa di Gunung
Merapi pasca erupsi disajikan pada Gambar 14.
Dari Gambar tersbut
tampak bahwa kawasan TNGM yang masih memiliki kesesuaian tinggi bagi habitat lutung hanya tinggal 16,70%. Sebagian besar (58,61%) kawasan telah mengalami kerusakan sehingga memiliki kesesuaian yang rendah (tidak sesuai) sebagai habitat lutung jawa, sementara sisanya (24,69%) masih memiliki kesesuaian sedang. Model spasial kesesuaian habitat lutung di TNGM memiliki validitas model 87,10 % atau dapat dikatakan valid.
Berdasarkan uji Χ2 juga
menunjukkan bahwa model tersebut bisa diterima (χ2hitung < χ2tabel), dimana χ2tabel = 5.99 dan χ2hitung = 2.94. Dengan demikian model tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan satwa lutung jawa ke depan. Habitat-habitat dengan kesesuaian sedang perlu diperkaya dengan jenis-jenis pohon pakan dan pohon tempat berlindung (tempat tidur). Sementara habitat-habitat dengan kesesuaian rendah perlu direstorasi atau dikembalikan kondisinya seperti semula sehingga dapat berfungsi sebagai habitat lutung jawa dan satwa lainnya.
Karena primata bisa
menjadi indikator kesehatan suatu hutan (Bismark, 2007), maka, model kesesuaian habitat ini penting sebagai ukuran keberhasilan dari kegiatan restorasi. Apabila hasil restorasi sudah bisa menjadi habitat primata maka dapat dikatakan sudah berhasil. Menurut Bismark (2007) kualitas hutan berkorelasi dengan kepadatan populasi primata.
(3) Prospek Rekolonisasi Alami Areal-Areal Terdampak Erupsi Alam secara apabila mengalami gangguan akan memulihkan dirinya sendiri melalui proses suksesi. Areal areal yang tak bervegetasi karena hilang akibat luncuran awan panas sehingga menjadi padang pasir, secara perlahan akan direkolonisasi oleh jenis-jenis tumbuhan pionir.
Sumber
rekolonisasi adalah hutan yang selamat dari dampak erupsi yang ada di dekatnya.
31
Gambar 14. Peta kesesuaian habitat lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) di TNGM pasca erupsi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rekolonisasi sudah dimulai tiga bulan setelah erupsi. Setahun pasca erupsi sudah ditemukan banyak anakan pohon dan tumbuhan bawah yang mengkolonisasi areal hamparan pasir vulkanik bekas erupsi.
Pengamatan kolonisasi vegetasi di empat
lokasi areal terdampak erupsi disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15. Jumlah jenis anakan pohon dan tumbuhan bawah pada areal terdampak erupsi setelah satu tahun pasca erupsi.
Januari 2011
April 2012
Gambar 16. Kiri : rekolonisasi 3 bulan pasca erupsi dan Kanan : rekolonisasi 18 bulan pasca erupsi di Resor Kemalang.
Meskipun sebagian besar hutan di TNGM mengalami kerusakan dan hanya 23,19% yang relatif tidak terdampak erupsi, namun tampak dari hasil observasi visual bahwa proses rekolonisasi alami berlangsung cukup baik. Untuk mempercepat proses restorasi, beberapa areal perlu campur tangan manusia. Misalnya di areal yang rusak berat, dimana tidak ada vegetasi yang tersisa, perlu dilakukan penanaman secara menyeluruh
dengan jenis-jenis asli.
Untuk areal dengan kerusakan ringan, proses
suksesi alam dapat dibantu dengan bantuan pemeliharaan atau stimulasi pertumbuhan (misalnya pembersihan gulma dan pemupukan). Sedangkan areal yang mengalami rusak sedang, campur tangan manusia dapat sampai pada pengayaan dengan penanaman di lokasi-lokasi yang kekurangan permudaan. Tabel 8. Kelas kerusakan dan potensial rekolonisasinya. Kelas Kerusakan
Luas (Ha) *)
Kerusakan Berat
Persen (%)
766.67
Potensial Rekolonisasi
12.48 Penanaman menyeluruh
Kerusakan Sedang
2,207.61
35.93 Suksesi alam dengan pengayaan
Kerusakan Ringan
1,745.54
28.41 Sukses alam dengan bantuan pemeliharaan dan stimulasi
Tidak Terkena Erupsi
1,425.22
23.19 -
Jumlah
6,145.05
*)
100.00
Hasil olahan interpretasi citra satelit.
(4) Kemungkinan Membuat Koridor Migrasi Satwa Ke Hutan Di Sekitar Merapi. Ketika Gunung Merapi meletus (erupsi) banyak satwa mengungsi atau bermigrasi keluar dari Gunung Merapi. Lokasi tujuan pengungsian terdekat adalah hutan di Gunung Merbabu, namun untuk sampai ke sana harus melalui pemukiman dan lahan garapan yang ada di antara kedua gunung tersebut.
Beberapa jenis satwa mengungsi di lahan-lahan
pertanian yang memiliki vegetasi tanaman keras yang rapat. laporan
masyarakat,
monyet
ekor
panjang
(Macaca
Menurut
fascicularis)
mengungsi ke arah Gunung Merbabu melewati kebun dan pemukiman di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu (Kecamatan Selo). Sementara macan tutul (Panthera pardus melas) juga ditemukan keluar dari kawasan hutan turun dari Gunung Merapi. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa beberapa jenis satwa mamalia mengungsi keluar kawasan hutan). Hal ini menunjukkan bahwa banyak satwa mengungsi keluar kawasan hutan bahkan hingga satu tahun
34
setelah erupsi.
Secara total rata-rata dari enam jenis mamalia yang
diamati 22% frekuensi pertemuan berada di luar kawasan hutan. Secara individual jenis satwaliar yang keluar dari kawasan hutan berkisar antara 14% sampai 40% frekuensi perjumpaan. Satwa-satwa mengungsi dari Merapi saat erupsi dengan mengikuti daerah-daerah bervegetasi seperti tepi sungai dan kebun karena vegetasi tersebut memberikan perlindungan (cover) dan pakan. Rute perjalanan pengungsian satwa tersebut dapat disebut sebagai koridor perpindahan. Koridor merupakan komponen lanskap berbentuk strip atau jalur lahan yang berbeda dengan matrix di sekitarnya. Koridor merupakan areal yang menghubungkan antar kantong-kantong habitat (patch) sehingga berperan sebagai lintasan atau saluran bagi organisme untuk bertukar atau berpindah dari suatu patch ke patch lain. Koridor dapat dibagi ke dalam tiga kategori yaitu: koridor habitat, koridor perpindahan (movement) dan koridor penghalang (barrier) yang dideskripsikan sebagai berikut (Forman 1995) : (a) Koridor habitat – elemen lanskap linear yang memberikan daya survival, natalitas dan pergerakan, juga dapat memberikan habitat, baik sementara maupun permanen.
Koridor ini secara pasif
meningkatkan konektivitas kantong-kantong habitat. (b) Koridor
perpindahan
yang
memfasilitasi
perpindahan–elemen
lanskap linear yang memberikan daya survival dan perpindahan antara kantong-kantong habitat tetapi tidak sampai diperlukan untuk melahirkan di dalam koridor. Koridor yang memfasilitasi perpindahan secara aktif meningkatkan konektivitas. (c) Koridor penghalang (barrier) atau penyaring (filter) – elemen lanskap linear yang menghalangi (barrier) atau menghambat (filter) aliran energi, mineral, nutrien dan/atau spesies untuk melintasinya (seperti : aliran tegak lurus terhadap panjang koridor).
Sebagai
contoh koridor barrier atau filter adalah suatu jalan tol yang menghalangi satwa melintasinya.
35
Manfaat atau keuntungan potensial dari koridor satwaliar adalah (Meret, 2007) : (a) Meningkatkan
laju
imigrasi
antara
populasi
sehingga
dapat
memelihara keragaman, meningkatkan ukuran populasi, menurunkan kemungkinan kepunahan dan menghindarkan inbreeding. (b) Meningkatkan areal untuk mencari makan bagi spesies dengan jelajah yang luas. (c) Memberikan tempat melarikan diri dan bersembunyi dari predator, kebakaran dan gangguan lainnya. Koridor juga memiliki kerugian, seperti meningkatnya predasi terhadap spesies asli terutama jenis-jens satwa kecil serta meningkatnya perburuan atau perusakan oleh manusia karena lebih mudah dilakukan terutama di koridor yang sempit. Koridor juga dapat menjadi saluran bagi alien species yang bersifat invasif, penyakit dan patogen.
Prinsipnya
semakin lebar koridor adalah semakin baik karena menurunkan peluang predator menemukan mangsanya, memberikan habitat bagi jenis-jenis interior dan memberikan fungsi yang lebih baik bagi pergerakan satwa. Potensi merugikan lainnya dari koridor bagi satwaliar adalah (Meret 2007): (a) Meningkatkan imigrasi dapat menyebarkan penyakit, hama, spesies asing,
menurunkan
tingkat
keragaman
genetik
dan
tekanan
outbreeding. (b) Memfasilitasi penyebaran kebakaran dan meningkatkan keterbukaan terhadap predator, pemburu dan pencuri. (c) Biaya Kajian
tentang
kemungkinan
membuat
koridor
yang
menghubungkan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu pernah dilakukan oleh Marhaento et al. (2010) dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, sebelum Gunung Merapi mengalami erupsi.
Dalam kajiannya,
Marhaento mendefinisikan areal yang potensial menjadi daerah koridor sebagaimana digambarkan pada peta di Gambar 19. Meskipun demikian, areal yang memungkinkan dijadikan koridor, kondisinya saat ini merupakan
36
areal budidaya dan pemukiman dengan tata guna lahan sebagaimana disajikan pada Gambar 20 (Marhaento et al., 2010) Agar dapat memberikan fungsinya sebagai koridor yang mampu memberikan perlindungan bagi satwa dari predator, tempat bersembunyi, istirahat dan menyediakan makanan, maka koridor harus bervegetasi hutan. Oleh karena koridor itu harus dihutankan dengan jenis-jenis pohon yang memberikan keragaman pakan dan habitat satwa.
Koridor juga
dipayakan memiliki lebar yang cukup sehingga mampu memberikan perlindungan bagi satwa-satwa interior yang menyukai berada di tengah hutan. Dengan demikian koridor juga harus berada jauh dari lokasi aktifitas manusia yang intensif, seperti pemukiman dan jalan.
Koridor juga
sebaiknya sependek mungkin untuk memperkecil resiko bagi satwa selama perjalanan pengungsian atau migrasi. Selain harus memenuhi kriteria ekologis, ada hal penting yang perlu diperhatikan yaitu status kepemilikan lahan.
Sebaiknya lahan yang
digunakan sebagai koridor merupakan lahan milik negara atau kawasan hutan negara. Apabila lahan yang akan digunakan masih berstatus milik perorangan atau perusahaan maka perlu diselesaikan dengan cara : (1) dibebaskan dengan dibeli oleh pemerintah atau (2) disewa oleh pemerintah.
Disamping itu juga perlu adanya persetujuan atau
kesepakatan dan dukungan masyarakat di sekitar daerah koridor. Hal ini untuk menghindari konflik antara satwa dan manusia.
Oleh karena itu
pembangunan koridor memerlukan proses yang panjang dan harus dilakukan
secara
kolaboratif
partisipatif
dengan
masyarakat
para
stakeholders dan terintegrasi dengan program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya. Areal di sepanjang alur sungai memiliki beberapa unggulan menjadi koridor perpindahan satwa karena biasanya masih memiliki vegetasi tepi sungai, atau sempadan dan memiliki persediaan air yang dibutuhkan oleh berbagai satwa. Oleh karena itu, koridor akan lebih efisien (hemat biaya) dan efektif jika dibuat di sepanjang kiri dan kanan sungai. Mengingat areal yang dicadangkan untuk koridor Merapi-Merbabu oleh Marhaento et al., (2010) sudah padat pemukiman, jaringan jalan dan
37
pertanian intensif, maka pembuatan koridor menemui kesulitan. Dari hasil analisis dengan mempertimbangkan kondisi tersebut maka diputuskan untuk membuat buffer sungai dan buffer jalan selebar 100 m. sehingga lebar minimal koridor adalah 200 m, dengan lebar ini diharapkan mampu memberikan perlindungan bagi satwa yang akan melintas dari Gunung Merapi ke Gunung Merbabu atau sebaliknya. Luas areal koridor yang harus dihutankan atau vegetasi berkayu adalah seluas ± 394,91 Ha. Sementara jarak yang harus ditempuh satwa dari Gunung Merapi sampai Gunung Merbabu adalah sekitar 6,95 km. Jarak ini harus ditempuh dengan menyeberangi jalan raya alternatif Boyolali-Magelang.
Oleh karena itu, ke depan perlu dipikirkan adanya
penyebrangan satwa, baik melalui kolong jembatan maupun di atas jalan. Penyeberangan di kolong jembatan tampaknya lebih memungkinkan. Koridor selebar 200 meter sebenarnya masih kurang memberikan rasa aman kepada satwa yang bersifat sensitif terhadap aktifitas manusia atau jenis-jenis satwa interior, namun mengingat koridor ini diperuntukan bagi keadaan darurat pada saat terjadi erupsi, maka diharapkan bisa menjadi sarana penyelamatan bagi satwaliar dari dampak erupsi. Koridor dengan lebar 200 m ini kemungkinan digunakan oleh satwa pada malam hari, dimana kondisi sekitarnya sepi dari aktifitas manusia. Ke depan, koridor bisa diperlebar dengan kesepakatan kompensasi kepada pihak-pihak yang lahannya digunakan untuk koridor.
Meskipun
demikian, tampaknya agak sulit untuk membebaskan lahan di daerah ini karena sudah dikepung oleh pemukiman dan jaringan jalan yang rapat serta aktifitas pertanian yang intensif. Daerah ini juga merupakan sentra daerah pengembangan Agropolitan bagi Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali.
38
Gambar 17. Aliran sungai DAS Pabelan dengan vegetasi riparian potensial menjadi koridor pengungsian satwa dari Gunung Merapi ke Gunung Merbabu di Blok Lencoh, Resor Selo (Boyolali).
Gambar 18. Pertanian intensif, pemukiman dan jalan raya menjadi kendala pengembangan koridor Merapi-Merbabu.
39
Gambar 19. Wilayah administrasi areal yang potensial menjadi koridor antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu (Sumber: Marhaento et al., 2010)
Gambar 20. Tata guna lahan areal yang potensial menjadi koridor antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu (Sumber: Marhaento et al., 2010)
41
Gambar 21. Peta rancangan koridor yang direkomendasikan dari penelitian ini.
42
(5) Implikasi Manajemen a) Kesesuaian ekosistem Merapi pasca erupsi sebagai habitat jenisjenis satwa Erupsi Gunung Merapi pada Oktober 2010 telah menyebabkan 82,10% kawasan TNGM (5.263,06 Ha) dari total 6.145,45 Ha mengalami kerusakan ekosistem dari level ringan hingga parah. Akibatnya, sebagian besar kawasan TNGM mengalami penurunan fungsi habitat, baik secara kuantitas maupun kualitas bagi satwaliar yang hidup di dalamnya. Kerusakan ekosistem yang bervariasi telah menyebabkan kawasan TNGM pasca erupsi juga memiliki kesesuaian habitat yang bervariasi. Lutung jawa (Trachypithecus auratus) menjadi satwa indikator untuk pembuatan model kesesuaian habitat karena satwa ini merupakan satwa yang sensitif terhadap gangguan, tergantung pada keberadaan vegetasi untuk mendapatkan makanan (buah dan daun), tempat tidur, tempat berlindung dan untuk pergerakan (penjelajahan) karena lutung lebih banyak hidup secara arboreal (di atas pohon) daripada di atas permukaan tanah. Dengan demikian, apabila suatu habitat memiliki kesesuaian bagi lutung jawa maka juga memiliki kesesuaian bagi banyak satwa lainnya. Berdasarkan model spasial kesesuaian habitat, diketahui bahwa 58,61% kawasan TNGM memiliki kesesuaian habitat rendah bagi lutung jawa, sedangkan yang masih memiliki kesesuaian tinggi hanya tinggal 16,70% dan kesesuaian sedang 24,69%.
Hal ini berimplikasi bahwa
58,61% habitat satwaliar perlu direstorasi atau dikembalikan fungsinya sebagai habitat satwa melalui penanaman jenis-jenis asli yang sesuai untuk pemulihan habitat berbagai satwaliar.
Sementara 24,69% perlu
dilakukan pengayaan dan pembinaan habitat agar dapat meningkat kesesuaiannya bagi satwaliar. Jenis-jenis pohon yang ditanam antara lain yang dapat menjadi sumber pakan, tempat berlindung, tempat tidur, tempat bersarang dan untuk pergerakan.
43
b) Kesesuaian ekologis jenis-jenis vegetasi untuk restorasi habitat satwa pasca erupsi Degradasi eksistem yang disebabkan oleh hilangnya atau rusaknya vegetasi perlu direstorasi dengan melakukan penanaman jenis-jenis vegetasi asli yang pernah ada dalam ekosistem tersebut.
Sebenarnya
secara alami, ekosistem yang terganggu akan dapat memulihkan dirinya sendiri melalui proses suksesi alam, namun mengingat kerusakan ekosistem hutan di TNGM yang terbakar dan tertutup awan panas sangat parah sehingga yang tersisa hanya hamparan abu vulkanik maka proses suksesinya akan memerlukan waktu yang sangat lama. Sementara itu, pemulihan ekosistem perlu segera dilakukan untuk mengembalikan fungsifungsi hutan yang hilang seperti fungsi habitat satwa, fungsi lindung hidrologi dan fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Untuk itu diperlukan
campur
tangan
manusia
dalam
rangka
membantu
mempercepat proses recovery (pemulihan) ekosistem yang terdegradasi. Campur tangan manusia dalaam rangka membantu pemulihanm fungsi-fungsi hutan yang terdegardasi berupa upaya-upaya restorasi ekosistem.
Kegiatan restorasi ekosistem akan melibatkan kegiatan
penanaman yang perlu didukung oleh teknik-teknik silvikuktur mulai dari teknik pembuatan atau pengadaan bibit, teknik penanaman, teknik pemeliharaan dan desain pola tanam sesuai dengan karakteristik kerusakan dan tujuan fungsi yang akan dipulihkan. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan restorasi melalui penanaman pohon adalah seleksi jenis pohon.
Jenis-jenis pohon yang dipilih antara lain harus
memiliki kriteria : (1) Jenis asli (secara alami ada di TNGM); (2) Memiliki kesesuaian dengan kondisi tapak yang akan direstorasi, (3) Memiliki daya hidup tinggi, (4) Cepat tumbuh, (5) Bibitnya mudah diperoleh dan (6) Menghasilkan berbagai fungsi (ekologi, hidrologi, sosial-ekonomibudaya)
44
Penelitian ini telah mengidentifikasi 50 jenis pohon asli yang tumbuh secara alami di TNGM yang dapat dijadikan tanaman restorasi. Berbagai sifat dan manfaat jenis-jenis tersebut ditelusuri dari berbagai literatur hasilhasil penelitian. Daftar jenis pohon ini dapat dijadikan pedoman pemilihan bibit untuk restorasi sesuai dengan kondisi tapak dan tujuan fungsi yang akan dipulihkan.
c) Perkiraan kemampuan rekolonisasi alami areal-areal terdampak erupsi oleh ekosistem yang tidak terdampak Meskipun sebagian areal TNGM mengalami kehilangan vegetasi secara total dan menjadi hamparan abu vulkanik, namun di sekitarnya masih ada ekosistem hutan yang utuh tidak terkena dampak erupsi atau hanya mengalami kerusakan ringan dan sedang sehingga masih memiliki pohon-pohon
yang
mampu
menghasilkan
mengkolonisasi areal kosong di dekatnya.
permudaan
untuk
Proses kolonisasi areal
terdampak oleh hutan yang ada dapat terjadi karena adanya penyebaran biji secara alami. Penyebaran biji-biji di alam dapat dilakukan oleh : (1) Tiupan angin, khususnya biji-biji yang ringan dan bersayap (2) Diluncurkan oleh air hujan atau gravitasi, khususnya biji-biji yang terjatuh di lantai hutan yang miring (3) Menempel pada tubuh satwa atau manusia kemudian jatuh di lokasi lain (4) Buahnya dimakan oleh satwa dan bijinya keluar bersama fecesnya di tempat lain Jangkauan penyebaran biji masing-masing jenis pohon berbedabeda dan sangat dipengaruhi oleh vektor atau media penyebarannya. Secara umum, areal terdampak erupsi semakin dekat dengan sumber benih (pohon induk), maka semakin mudah dikolonisasi dan memulihkan diri secara alami melalui suksesi. Semakin jauh dari sumber benih maka semakin sulit kolonisasi atau suksesi alam terjadi secara alami. Dengan dasar pemikiran ini maka, sesungguhnya areal-areal terdampak dengan
45
jarak tertentu (misalnya radius 500 m) dari sumber benih bisa mengandalkan suksesi alam dalam proses restorasinya. Sehubungan dengan itu perlu dilakukan pemetaan sumber benih dan pemetaan tingkat kerusakan ekosistem.
Dengan menghubungkan
kedua hal tersebut dan operasi spasial dapat ditentukan lokasi-lokasi yang retorasinya mengandalkan sukses alam atau kolonisasi alami dan lokasilokasi yang harus ditanami secara total. Hasil penelitian ini mendapati areal-areal yang terdampak erupsi parah (hamparan abu vulkanik dengan semua pohonnya mati) setelah 18 bulan telah ditumbuhi kembali tumbuhan bawah dan diikuti oleh beberapa jenis anakan pohon. Hal ini mengindikasikan bahwa proses suksesi dan kolonisasi secara alami telah berlangsung dengan baik.
Masalahnya
adalah adanya jenis-jenis alien (asing atau eksotik) yang bersifat invasif yang kemudian menguasai penutupan lahan di areal bekar erupsi, khususnya yang parah (tanah terbuka). Jenis invasif ini adalah Acacia decurrens yang sebelumnya memang sudah ada di kawasan TNGM. Sehubungan adanya jenis invasif yang bukan asli Gunung Merapi maka perlu dikendalikan agar tidak sampai mengganggu fungsi ekosistem, khususnya fungsi ekologinya sebagai habitat satwaliar. Diperlukan teknik pengendalian Acacia decurrens yang ramah lingkungan agar tumbuhan ini tidak menjadi pengganggu.
Untuk menekan Acacia decurrens yang
bersifat pionir dan intoleran diperlukan jenis lokal yang memiliki sifat sama. Hasil
pengamatan
lapangan
menunjukkan
bahwa
anakan
Acacia
decurrens tidak berkembang di bawah naungan tajuk pohon, meskipun ada pohon induknya didekatnya.
Beberapa jenis asli Gunung Merapi yang
memiliki sifat pionir dan intoleran telah disajikan pada Tabel 4.
d) Kemungkinan membuat koridor migrasi satwa ke hutan di sekitar Merapi. Menurut para ahli vulkanologi, Gunung Merapi merupakan Gunung yang sangat aktif dan secara periodik mengalami erupsi konsekuensinya masyarakat di radius dampak harus disiapkan jalur evakuasi dan teknikteknik penyelamatan diri. Demikian juga dengan satwaliar, perlu disiapkan
46
jalur evakuasi atau jalur pengungsian satwaliar ke lokasi yang aman, sehingga setiap ada kejadian erupsi, tidak banyak satwa yang menjadi korban. Lokasi aman di sekitar TN. Gunung Merapi adalah TN. Gunung Merbabu, namun kedua gunung ini dipisahkan oleh lahan tak berhutan yang cukup lebar berupa pemukiman, ladang dan jalan raya. Untuk memfasilitasi satwaliar mengungsi dari Gunung Merapi ke Gunung Merbabu pada saat terjadi erupsi diperlukan koridor pengungsian yang menghubungkan kedua gunung tersebut. Pembuatan koridor bukan lagi
merupakan pilihan tapi merupakan keharusan, mengingat Gunung
Merapi secara periodik mengalami erupsi. Oleh karena itu, pembangunan koridor ini memiliki kepentingan jangka panjang dalam rangka menjaga kelestarian keanekaragaman hayati di kedua gunung tersebut. Pembuatan
koridor
Merapi-Merbabu
melibatkan
banyak
stakeholders dan sektor karena melintasi areal dengan tata guna lahan yang bermacam-macam. Stakeholder paling penting adalah masyarakat yang tinggal di sekitar koridor yang umumnya adalah petani. Partisipasi dan dukungan dari mereka mutlak diperlukan agar pembangunan koridor ini berhasil dan efektif sebagai jalur pengungsian satwaliar.
Disamping
pengelola Taman Nasional Gunung Merapi dan TN. Gunung Merbabu, pengelola Daerah Aliran Sungai, pengelola jalan raya dan pembina sektor pertanian merupakan stakeholders yang harus berkolaborasi dalam pembangunan dan pengelolaan koridor. Suatu studi kemungkinan membuat koridor Merapi-Merbabu telah dilakukan oleh Tim dari Fakultas Kehutanan UGM dan ditambah hasil dari penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan awal dalam mendesain koridor Merapi-Merbabu.
Masalahnya adalah tinggal implementasinya
yang harus didukung oleh pembiayaan yang cukup.
Mengingat
kepentingan jangka panjang, pembuatan koridor ini merupakan investasi yang menguntungkan bagi pelestarian keanekaragaman hayati di kedua taman nasional. Hal ini karena koridor tidak hanya akan digunakan pada saat terjadi bencana erupsi, namun juga digunakan sepanjang waktu sebagai sarana pertukaran genetik antar individu dari Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Dengan lancarnya proses aliran genetik ini, maka 47
kualitas gen satwaliar akan terjaga (tidak terjadi degradasi atau penurunan kualitas genetik) sehingga survival satwa semakin baik dan kelestariannya terjaga.
2. Potensi Pengembangan Ke Depan a. Kerangka Pengembangan Ke Depan Hasil penelitian ini potensial dikembangkan ke depan menjadi pedoman bagi pengelola Taman Nasional Gunung Merapi dalam rangka
manajemen
satwaliar
pasca
erupsi.
Kerangka
pengembangannya secara bagan alir disajikan di bawah ini. Kesesuaian ekologis jenis vegetasi
Kemampuan rekolonisasi areal terdampak
Pedoman Pemilihan jenis asli pohon restorasi Merapi
Ditambah data dan informasi silvikultur
Dibuat klasifikasi kelas kerusakan dan sebarannya
Zonasi Restorasi
Kesesuaian Habitat Satwa Pasca Erupsi
Kemungkinan koridor migrasi satwa
Gambar 22.
Panduan Pembinaan Habitat Satwaliar Ditambah data sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, dukungan stakeholders dan kebijakan
Master Plan Koridor Merapi ‐ Merbabu
Kerangka pengembangan ke depan hasil penelitian.
b. Strategi Pengembangan Ke Depan Strategi pengembangan ke depan agar hasil penelitian dapat diaplikasikan oleh pengguna adalah memadukan dan memperkaya dengan hasil penelitian lain yang sinergi dengan penelitian ini untuk kemudian
dirumuskan
menjadi
pedoman
yang
dapat
langsung
diaplikasikan, berupa : •
Pedoman pemilihan jenis asli pohon restorasi Merapi
•
Zonasi restorasi 48
•
Panduan pembinaan habitat satwaliar
•
Master plan koridor Merapi – Merbabu Agar
dapat
pengembangannya
cepat
dilakukan
terwujud, oleh
bidang
maka
pelaksanaan
pengembangan
dan
diseminasi dengan pembiayaan bisa dari DIPA atau sumber anggaran lainnya.
Untuk itu hasil penelitian ini perlu disosialisasikan kepada
pihak-pihak terkait yang berkepentingan untuk dapat ditindaklanjuti.
49
IV. SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN 1. Sinergi Koordinasi Kelembagaan Program a. Kerangka Sinergi Koordinasi Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan penelitian ini diperlukan koordinasi
kelembagaan
dengan
lembaga-lembaga
yang
berkepentingan dan memiliki program atau kegiatan yang sinergi dengan kegiatan penelitian ini yaitu: •
Taman Nasional Gunung Merapi
•
Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
•
Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Jawa Tengahs
•
Taman Nasional Gunung Merbabu
•
JICA RECA
•
Fakultas Kehutanan Universita Gadjahmada
•
LSM Infront
•
LSM Kutilang
•
PPS (Pusat Penyelamatan Satwa)
Kerangka sinergi koordinasi digambarkan sebagai berikut
Stakeholders memberikan feedback
Tim Peneliti PKPP Memaparkan Rencana Program di depan Stakeholders
Stakeholders memberikan feedback
Stakeholders Koordinasi Tim Peneliti Mensinergikan program & terus berkoordinasi
Output yang Bermanfaat dan Applicable
Koordinasi Stakeholders
Gambar 23. Kerangka sinergi koordinasi kegiatan penelitian
50
b. Indikator Keberhasilan Sinergi Indikator keberhasilan sinergi dapat dilihat dari beberapa hal yaitu : •
Kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan penelitian ini sejalan dan memberi kontribusi pada kegiatan atau program stakeholder, khususnya Taman Nasional Gunung Merapi. Dalam hal ini kegiatan inventarisasi satwa dan analisis vegetasi sejalan dengan kegiatan yang dibutuhkan oleh TNGM.
•
Data yang dihasilkan dibutuhkan dan digunakan oleh stakeholder, khususnya TNGM dalam rangka tindak pengelolaan.
•
Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan penelitian ini meliputi para stakeholder antara lain : Petugas TNGM, LSM lokal (Kutilang) dan masyarakat.
•
Terlaksananya pertemuan-pertemuan konsultasi, diskusi dan koordinasi baik secara formal maupun personal dengan stakeholder, antara lain dengan manajemen dan tenaga teknis TNGM, peneliti dari Fakultas Kehutanan UGM, BKSDA Jawa Tengah, BKSDA DIY, LSM Infront, LSM Kutilang dan JICA-RECA.
Gambar 24. Pertemuan dalam rangka koordinasi dengan stakeholder yang dilakukan sebelum (atas) dan sesudah penelitian dilaksanakan (bawah).
51
c. Perkembangan Sinergi Koordinasi Bentuk Koordinasi dengan kelembagaan program yang telah dilaksanakan : •
Konsultasi dan diskusi informal dengan Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM); UGM; JICA-RECA; LSM Infront; LSM Kutilang
•
Presentasi proposal sebelum melaksanakan kegiatan penelitian
•
Melibatkan petugas fungsional dari TNGM dan LSM Kutilang serta masyarakat di sekitar
•
Presentasi hasil penelitian di depan pengguna (TNGM) yang dipimpin langsung oleh Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi dan disaksikan oleh Kepala Balai TNGM beserta jajarannya, Kepala Bidang Perencanaan dan Evaluasi Penelitian; Kepala Sub Bidang Evaluasi dan Pelaporan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi dan para fungsional dan mahasiswa pascasarjana UGM yang sedang penelitian di TNGM Sinergi koordinasi dilaksanakan jauh sebelum kegiatan penelitian
ini dilakukan. Judul penelitian ini merupakan kristalisasi dari berbagai aspirasi yang diserap melalui suatu diskusi dengan para stakeholder pada tanggal 15 Desember 2010 atau dua bulan setelah Gunung merapi meletus.
Koordinasi terus dilaksanakan melalui pertemuan
formal dan informal antara lain pada bulan Juni 2011 kemudian pada Februari 2012 dan terakhir pada awal September 2012 sekaligus presentasi hasil dan penyerahan laporan hasil penelitian kepada pengguna (TNGM).
Sinergi koordinasi berjalan dengan lancar dan
berhasil baik.
2. Pemanfaatan Hasil Litbangyasa a. Kerangka dan Strategi Pemanfaatan Hasil Hasil penelitian harus sampai ke pengguna agar dapat dimanfaatkan, oleh karena itu perlu dibuat strategi dan kerangka pemanfaatan
hasil.
Kerangka
pemanfaatan
hasil
penelitian 52
sebagaimana digambarkan di bawah ini.
Bentuk pemanfaatan hasil
penelitian antara lain berupa pemanfaatan data dan informasi sebagai bahan perumusan kebijakan; implementasi rekomendasi hasil penelitian dan pemanfaatan sebagian atau seluruh informasi sebagai referensi oleh pihak-pihak yang membutuhkan.
JURNAL
HASIL PENELITIAN
LAPORAN
PENGGUNA DISPLAY
Gambar 25. Kerangka pemanfaatan hasil penelitian Agar hasil penelitian mudah diaplikasikan maka disajikan dalam laporan lengkap dengan narasi yang mudah dimengerti.
Untuk
memperluas jangkauan pemanfaatan, maka laporan hasil penelitian juga ditulis dalam bentuk Jurnal Ilmiah dan display (poster/peta) yang dipasang di kantor atau di pameran.
b. Indikator Keberhasilan Pemanfaatan Berhasil tidaknya pemanfaatan hasil penelitian dapat dilihat dari indikator-indikatornya seperti : •
Terdistribusinya laporan hasil penelitian, jurnal dan poster/peta ke pengguna
•
Dimanfaatkannya sebagian atau seluruhnya data dan informasi hasil penelitian ini oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
•
Diimplementasikanya sebagian atau seluruhnya rekomendasi yang dihasilkan penelitian ini oleh pengguna. Hasil penelitian ini telah dipresentasikan di depan pengguna dan
mendapat masukan (feedback) dari peserta. Presentasi hasil dipimpin oleh Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi dan Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Secara formal laporan hasil penelitian 53
diserahkan dari Pusaat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi kepada Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Tahapan pemanfaatan hasil penelitian sudah dilaksanakan sejak pengumpulan data lapangan pertama yang dimanfaatkan oleh para tenaga fungsional TNGM untuk pembuatan laporan kegiatan dan pengumpulan angka kredit, tahap berikutnya adalah pemanfaatan hasil penelitian yang sudah disajikan dalam bentuk laporan akhir untuk pengambilan kebijakan dan pemanfaatan dari hasil publikasi (jurnal) maupun poster oleh para pengguna.
Gambar 26.
Penyerahan laporan hasil penelitian oleh Ketua Tim Peneliti kepada Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi dan penyerahan dari Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi kepada Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi.
c. Perkembangan Pemanfaatan Hasil Hingga saat ini hasil penelitian baru diserahkan kepada pengguna yaitu Balai Taman Nasional Gunung Merapi.
Meskipun
demikian pemanfaatan data dan informasi secara parsial sudah dilakukan oleh para petugas fungsional Balai TNGM. Hasil penelitian sedang ditulis dalam bentuk jurnal ilmiah agar distribusinya dapat lebih luas menjangkau para pengguna sehingga nilai manfaatnya meningkat.
54
V. PENUTUP 1. Kesimpulan a. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan dan Anggaran Tahapan kegiatan meliputi konsultasi dan koordinasi dengan para pihak dilanjutkan dengan orientasi lapangan dan pengumpulan data primer dan sekunder yang dilanjutkan pengolahan data serta penyusunan laporan dapat diselesaikan 100% tepat pada waktunya. Tahapan pencairan anggaran meskipun tidak sinkron dengan rencana kegiatan
lapangan
namun
dapat
terealisasi
Rp.250.000.000,-
(100,00%) dan tidak mengurangi target volume kegiatan.
b. Metode Pencapaian Target Kinerja Pencapaian target kinerja penelitian dimulai dari penetapan tujuan yang sinergi dengan program dari pengelola TN Gunung Merapi (pengguna hasil penelitian), kemudian menentukan target output untuk bisa menjawab tujuan tersebut. Untuk mencapai target secara efektif maka ditetapkan metode yang tepat dan efisien yang meliputi konsultasi dan koordinasi dengan para pihak dilanjutkan dengan orientasi lapangan dan pengumpulan data primer melalui analisis vegetasi, wawancara, survei sebaran satwa menggunakan GPS, analisis spasial dan ground checking. Selanjutnya pengolahan data dan penyusunan laporan yang dipresentasikan di depan pengguna
c. Potensi Pengembangan Ke Depan Hasil penelitian ini potensial dikembangkan ke depan menjadi pedoman bagi pengelola Taman Nasional Gunung Merapi dalam melakukan tindakan manajemen satwaliar pasca erupsi.
Pedoman
yang dapat dibuat dari hasil penelitian ini antara lain : Pedoman pemilihan jenis asli pohon restorasi Merapi; Zonasi restorasi; Panduan pembinaan habitat satwaliar; dan Master plan koridor Merapi – Merbabu.
55
d. Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program Untuk kelancaran pelaksanaan penelitian dan sinergitas serta meningkatkan manfaat hasil penelitian maka telah dilakukan langkahlangkah koordinasi kelembagaan dan program dengan TN Gunung Merapi; BKSDA Provinsi DIY; BKSDA Jawa Tengah; TN Gunung Merbabu; JICA RECA; Fakultas Kehutanan UGM; LSM Infront LSM Kutilang dan PPS (Pusat Penyelamatan Satwa).
e. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa Agar hasil penelitian dapat dimanfaatkan maka disajikan dalam bentuk laporan lengkap dengan narasi yang mudah dimengerti. Untuk memperluas jangkauan pemanfaatan, maka laporan hasil penelitian juga ditulis dalam bentuk Jurnal Ilmiah dan display (poster/peta) yang dapat dipasang di kantor atau di pameran.
2. Saran a. Keberlanjutan Pemanfaatan Hasil Kegiatan Agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan mudah diaplikasikan oleh ujung tombak pelaksana di lapangan maka perlu diramu dalam bentuk pedoman teknis yang praktis dengan menambah dan memadukannya dengan hasil penelitian lain serta referensi yang relevan.
Untuk implementasi pemanfaatan hasil penelitian perlu
pengawalan oleh lembaga penelitian dan dukungan dana yang memadai.
b. Keberlanjutan Dukungan Program Ristek Keberlanjutan hasil penelitian yang perlu dukungan program ristek antara lain adalah : •
Penelitian dan pengembangan koridor pengungsian satwa di Gunung Merapi sebagai mitigasi bencana erupsi.
•
Penelitian dan penghembangan zona penyangga habitat satwa di Gunung Merapi sebagai mitigasi bencana erupsi.
56
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009b. Statistik Balai Taman Nasional Gunung Merapi Tahun 2009. Tidak diterbitkan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2010. Penataan Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi Setelah Erupsi Tahun 2010. Tidak diterbitkan. Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009a. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Tidak diterbitkan Bismark, M. 2007. Konservasi Primata Endemik Mentawai : Analisis Habitat dan Populasi Primata di Siberut Utara. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian 2007. http://www.dephut.go.id/files/Bismark.pdf. Diakses Tanggal 30 Juli 2012. Clewell, A., J. Rieger, and J. Munro. 2005. Society for Ecological Restoration International: Guidelines for Developing and Managing Ecological Restoration Projects, 2nd Edition. http://www.ser.org/pdf/SER_International_Guidelines.pdf. Diunduh Tanggal 5 Maret 2011. Departemen Kehutanan. 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Dierben, K. 2006. Sustainability, Landscape Services, Ecosystem Health, Ecological Integrity and Ecosystem Management. http://www.ecology.uni-kiel.de. Diunduh Tanggal 20 Maret 2006. Elkie, P.C., R.S. Rempel and A.P. Carr. 1999. Patch Analyst User’s Manual. Ontario Ministry of Natureal Resources, Northwest Science & Technology. Thunder Bay. Ontario. Erupsi Merapi 2010 Hampir Menyamai Erupsi 1872. Sabtu, 06 November 2010 | 14:07 WIB. http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/11/06/brk, 20101106289866,id.html. Diunduh Tanggal 17-11-2010. Erupsi Merapi Rusak 867 Hektare Hutan. Selasa, 9 November 2010 02:31 WIB. http://www.antaranews.com/berita/1289244701/erupsi-merapirusak-867-hektare-hutan. Diunduh Tanggal 17-11-2010. Erupsi Merapi Tahun Ini Terburuk dalam100 Tahun Terakhir. Kamis, 4 November 2010 19:14 WIB. http://nasional.tvone.co.id/berita/view/45313/ 2010/11/04/erupsi_merapi_tahun_ini_terburuk_dalam100_tahun_ter akhir. Diunduh Tanggal 17-11-2010. ESRI. 1998. ArcView GIS. ESRI Press. Redlands, California.
57
Forman R.T.T. 1995. Land mosaics: the ecology of landscapes and regions. Cambridge University Press, Cambridge, 632 pp. Gazpersz, V. 1994. Metode Perancangan Percobaan untuk Ilmu-Ilmu Pertanian, Ilmu-Ilmu Teknik Biologi. Armico. Bandung 472p. Gunawan, H. 2010. Habitat Dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) Di Lansekap Terfragmentasi Di Jawa Tengah. Disertasi Program Doktor, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Gunawan, H., M. Bismark dan H. Krisnawati. 2010. Pemanfaatan Zona Penyangga Taman Nasional Untuk Mendukung Ketahanan Pangan : Studi Kasus Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Program Insentif Ristek Tahun 2010. Tidak diterbitkan. Gunawan, H., M. Bismark dan M. Takandjandji. 2010. Laporan Penilaian Cepat (Rapid Assessment) Dalam Rangka Penyelamatan Satwaliar Pasca Erupsi Gunung Merapi. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Konservasi Dan Rehabilitasi, Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak diterbitkan. http://akarrumput21.blogspot.com/2011/01/tugas-akhir-dendrologi.html http://bisniskeuangan.kompas.com . Percepat Restorasi Kawasan http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/01/28/05205961/Perc epat.Restorasi.Kawasan. Jumat, 28 Januari 2011. Diakses tanggal 10 November 2011 http://dishut.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=56 7&idMenu=641 http://distan.riau.go.id/index.php/home/52-tanaman-hias/190-kenanga http://en.wikipedia.org/wiki/Bischofia_javanica http://floranegeriku.blogspot.com/2011/06/bintangor-calophyllum-soulattriburman.html http://floranegeriku.blogspot.com/2011/06/mareme-glochidion-arborescensblume.html http://id.wikipedia.org. Letusan Merapi 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Letusan_ Merapi_2010. Diakses tanggal 10 November 2011. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kayu_di_Indonesia http://id.wikipedia.org/wiki/Enau http://id.wikipedia.org/wiki/Jamblang http://informasi-budidaya.blogspot.com/2011/03/majegau-dysoxylumdensiflorum-identitas.html http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/131073442_1410-4377.pdf
58
http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/artikel/ttg_tanaman_obat/depkes/buku1/1 -118.pdf http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/03520035-zainal-fuadi-p.ps http://merbabu.com. Satwa Merapi pindah ke Merbabu. http://merbabu.com. November 11, 2010. Diakses tanggal 10 November 2011 http://minyakatsiriindonesia.wordpress.com/budidaya-kenanga/artikelbudidaya-kenanga/ http://nationalgeographic.co.id. Pemulihan Ekosistem Merapi Pascaerupsi. http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/1668/pemulihanekosistem-merapi-pascaerupsi. 28-07-2011. Diakses tanggal 10 November 2011 http://rioardi.wordpress.com/nama-lokal-dan-latin-tumbuhan/jenis-jenispohon-yang-dapat-diintroduksi-untuk-tanamanpelindungpenghijauan-1/ http://suaramerdeka.com . Satwa Dilindungi Dievakuasi dari Lereng Merapi. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/01/69340 /Satwa-Dilindungi-Dievakuasi-dari-Lereng-Merapi. Diakses tanggal 10 November 2011 http://tamansafari.com/flora/preview.php?id=21 http://tipswisatamurah.blogspot.com . Macan Tutul Merapi Turun Gunung. http://tipswisatamurah.blogspot.com/2010/11/macan-tutul-merapiturun gunung.html. Diakses tanggal 10 November 2011 http://wartaonline.com . Macan Kumbang Masih ada di Merapi http://wartaonline.com/news/macan-kumbang-masih-ada-di-merapi1469/. November 19, 2010. Diakses tanggal 10 November 2011. http://www.antaranews.com. Ratusan Satwa Merapi Bermigrasi. http://www.antaranews.com/berita/1289721859/ratusan-satwamerapi-bermigrasi. Minggu, 14 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011 http://www.biotik.org/laos/species/c/cinin/cinin_en.html http://www.globinmed.com/index.php?option=com_content&view=article&id =100872:croton-argyratus-blume&catid=367:c&Itemid=116 http://www.kabarbisnis.com. Kerugian erupsi Merapi capai Rp3,56 triliun. http://www.kabarbisnis.com/read/2819637. Senin, 18 April 2011. Diakses tanggal 10 November 2011 http://www.mediaindonesia.com. ProFauna Kesulitan Evakuasi Macan Tutul di Gunung Merapi http://www.mediaindonesia.com/ . Jumat, 12 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011 http://www.proseanet.org/prohati2/browser.php?docsid=102 http://www.proseanet.org/prohati2/browser.php?docsid=151 59
http://www.republika.co.id.. Letusan Merapi 2010 Terburuk Sejak 1870. Republika, Jumat, 05 November 2010 06:12 WIB http://www.republika.co.id. Diakses tanggal 10 November 2011 http://www.sabili.co.id . Macan Merapi Turun Ke Perkampungan http://www. sabili.co.id/sahabat-alam/macan-merapi-turun-keperkampungan. Rabu, 17 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011. http://www.tempointeraktif.com . Dampak Merapi, Macan Tutul dan Monyet Turun ke Pemukiman. TEMPO Interaktif, Kamis, 11 November 2010. http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/11/11/brk,20101111291275,id.html. Diakses tanggal 10 November 2011 http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/AFTPDFS/Bischofia_javanica.pd f http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/products/afdbases/af/asp/Speci esInfo.asp?SpID=1783#Propagation Kochert, M.N. 1986. Raptors. Pp. 313–349 in Inventory And Monitoring of Wildlife Habitat. Cooperrider, A.Y., R.J. Boyd and H.R. Stuart. US Department of Interior Bureau of Land Management. Kusmana, C. 1997. Metode Survei Vegetasi. IPB Press. Bogor. Lee, D.K. and J.A. Sayer, 2004 . Restoration and research on degraded forest ecosystems. Forest Ecology and Management Volume: 201. 144p. Maginnis, A. And W. Jackson. 2006. Restoring Forest Landscapes. http://www.iucn.Org/themes/fcp/publication/files/restoring_forest_lan dscapes. pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2006. Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm. London. Marhaento, H., L. Rahayu, M.T.T. Hernawan, K.F. Wianti. 2010. Penataan Kawasan Koridor Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu dengan Pendekatan Analisis Resiko Bencana. Prodi Konservasi Sumberdaya hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakartas. Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors. http://www. science.mcmaster.ca.htm. Diakses Tanggal 02-11-2007. Odum, E.P. 1994. Fundamentals of Ecology, Third Edition. T. Samingan (terj.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 607p. [SER Primer ] The SER International Primer on Ecological Restoration. 2004. Society for Ecological Restoration International Science & Policy Working Group (Version 2, October, 2004) (1). http://www.ser.org/content/ ecological_restoration_primer.asp
60
Sulfiantono, A. 2011. Pengelolaan Kawasan TNGM Pasca Erupsi. Kedaulatan Rakyat, 26/10/2011 http://www.kr.co.id/web/. Diakses tanggal 10 November 2011 Sutherland, W.J. 2004. Mammals. Pp. 260 – 280 In Sutherland, W.J. (ed). Ecological Census Techniques, A Hanbook. Cambridge University Press. Sambridge, UK. Update Jumlah Korban Letusan Gunung Merapi. http://news.solowebspace.com/ update-jumlah-korban-letusangunung-merapi.html. Diunduh Tanggal 17-11-2010. Van Lavieren, L.P. 1983. Wildlife Management in The Tropics, II. School of Environmental Conservation management. Bogor.
61