POPULASI DAN AUTEKOLOGI Acacia decurrens (WENDL.) WILD DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI
SUNARDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Populasi dan Autekologi Acacia decurrens (Wendl.) Wild di Taman Nasional Gunung Merapi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Sunardi G353124021
RINGKASAN SUNARDI. Populasi dan Autekologi Acacia decurrens (Wendl.) Wild di Taman Nasional Gunung Merapi. Dibimbing oleh SULISTIJORINI dan TITIEK SETYAWATI. Erupsi gunung Merapi tahun 2010 telah mengubah komposisi vegetasi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Perubahan kondisi lingkungan pasca erupsi disertai penurunan jumlah spesies tumbuhan asli dan tergantikan oleh spesies asing invasif. Spesies asing atau alien adalah spesies yang dibawa/terbawa masuk ke suatu ekosistem secara tidak alami. Spesies invasif adalah spesies, baik spesies asli maupun bukan, yang secara luas mempengaruhi habitatnya, dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, atau membahayakan manusia. Spesies asing invasif memiliki kemampuan mendegradasi spesies asli dan mendominasi lokasi yang mengalami gangguan atau kerusakan. Pengendalian spesies asing invasif perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran dan dampak negatif terhadap ekosistem. Langkah awal pengendalian spesies tumbuhan invasif adalah mempelajari karakter biologi spesies tersebut dengan lingkungannya. Studi mengenai karakter biologi, faktor ekologi, dan interaksi spesies dengan lingkungannya disebut Autekologi. Secara umum penelitian ini dilaksanakan untuk menjelaskan populasi dan Autekologi tumbuhan asing invasif Acacia decurrens di TNGM. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan: 1) Mengetahui komposisi dan keanekaragaman spesies serta persebaran tumbuhan asing di kawasan TNGM yang terkena dampak oleh erupsi gunung Merapi; 2) Mengkaji autekologi A. decurrens sebagai langkah awal dalam penanggulangan invasi tumbuhan asing tersebut di TNGM; 3) Mengetahui perlakuan pendahuluan yang tepat dalam pematahan dormansi biji A. decurrens; 4) Mengetahui perlakuan pengendalian yang efektif untuk menghambat perkecambahan dan pertumbuhan A. decurrens. 5) Menganalisis risiko invasif dari Invasive Alien Species (IAS) di Taman Nasional Gunung Merapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa erupsi gunung Merapi berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies khususnya di daerah terdampak erupsi. Daerah yang terkena dampak erupsi (Cangkringan dan Kemalang) memiliki jumlah tumbuhan Invasive Alien Species (IAS) yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tidak terkena dampak erupsi (Selo). Tumbuhan IAS yang ditemukan pada lokasi penelitian merupakan spesies herba dan pohon. A. decurrens adalah IAS yang mendominasi sejumlah area di kawasan TNGM berdasarkan Indeks nilai penting (INP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah yang terinvasi oleh A. decurrens merupakan daerah terkena dampak erupsi yaitu Resort Cangkringan dan Resort Kemalang. Erupsi gunung Merapi yang disertai luncuran awan panas mengakibatkan vegetasi tumbuhan mengalami kematian, sehingga di kedua lokasi tersebut menjadi lahan yang terbuka. Kondisi lahan terbuka dimanfaatkan oleh A. decurrens untuk tumbuh dengan baik. Erupsi disertai awan panas diduga memecah dormansi biji yang tersimpan dalam tanah. Spesies A. decurrens memiliki biji yang keras sehingga mampu bertahan untuk tetap dorman pada kondisi tertentu. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian bahwa suhu tinggi merupakan stimulan yang dapat meningkatkan viabilitas dan kemampuan perkecambahan biji A. decurrens. Perlakuan yang efektif dalam memecah dormansi biji A. decurrens adalah perendaman, pemanasan serta pemberian zat kimia dan hormon pertumbuhan. Hasil penelitian ini juga memaparkan data bahwa viabilitas biji A. decurrens dapat ditekan dengan menggunakan ekstrak alelopati Centella asiatica dan Imperata cylindrica. Ekstrak alelopati dari kedua tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian biologis. Hasil penelitian ini secara umum memberikan informasi autekologi dan risiko invasi A. decurrens. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan upaya pengendalian dan mencegah terjadinya dampak yang lebih buruk terhadap ekosistem TNGM. Pengendalian invasi A. decurrens direkomendasikan kepada pihak TNGM untuk mencegah penyebaran tumbuhan A. decurrens pada wilayah yang lebih luas. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan yaitu secara mekanis, kimiawi dan biologi. Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan direkomendasikan kepada pihak pengelola TNGM untuk melalukan pengendalian secara mekanik dan biologi. Upaya tersebut lebih efisien dan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan ekosistem TNGM. Kata kunci: Invasive alien species, Acacia decurrens, autekologi, analisis risiko
SUMMARY SUNARDI. Population and Autecology of Acacia decurrens (Wendl.) Wild in Mount Merapi National Park. Supervised by SULISTIJORINI dan TITIEK SETYAWATI. The eruption of Mount Merapi in 2010 has several impacts to the environmental condition. One of the impacts is decrease number of native plant species. After the eruption there was found non native or alien plant species in several Mount Merapi National Park (MMNP) areas. Alien species is a species that has been intentionally or unintentionally introduced to a location, area, or region where it does not occur naturally. Some of the alien species in MMNP are classified into invasive spesies. The invasive species has negative impact to the ecosystem and also dominating the new area that caused the native plant species loose their habitat. Invasive alien species are animals, plants or other organisms introduced by man into the place that out of their natural range of distribution, where they become established and disperse, generating a negative impact on the local ecosystem and species. Prevention and control of invasive alien species can be done by studied the biological characters and how its interaction with the environment. The study about biological characters, ecological factors, and the interaction of invasive plant species with their environment called Autecology. This study explain about the population and the autecology of invasive alien species in MMNP. The aims of this study are: 1) to determine the composition and diversity of species and the spread of alien plants in MMNP areas that affected by the eruption of Mount Merapi; 2) to analysis the autecology of A. decurrens as a first step to respond the invasion in MMNP; 3) to identified the pretreatment to break the seed dormancy of A. decurrens; 4) to identified the effective handling that can inhibit the seed germination and the growth of A. decurrens. 5) to analysis of the risk of Invasive Alien Species (IAS) in the MMNP. Vegetation data were collected in two different sites, one was in Cangkringan and Kemalang that affected by pyroclastic flow and the other in Selo that was not affected. The eruption of Mount Merapi caused the decline in species diversity, especially in the regions that are affected by the eruption. Several invasive plant species are found in the areas that affected by pyroclastic flow. The invasive plants species such as A. decurrens (Fabaceae), Centella asiatica (Apiaceae), Chromolaena odorata (Asteraceae), Wedelia trilobatata (Asteraceae), and Imperata cylindrica (Poaceae) are widely spread in Cangkringan and Kemalang. Result showed that the population of A. decurrens in Cangkringan and Kemalang was higher than in Selo. The important value indexes (IVI) showed that A. decurrens is more dominant in Cangkringan and Kemalang than Selo. In Cangkringan and Kemalang A. decurrens was distributed in a clump while in Selo it showed a random pattern. The autecology data showed that the A. decurrens has positive association with the herb plant and negative competition with other tree plants. Environmental data such as temperature, humidity, light density, soil pH, and soil humidity were recorded in each sampling plot. The correlation between environmental data was assessed using Canonical Correspondence Analysis (CCA). The Canonical analysis showed that the abiotic factor such as temperature
and light intensity support the A. decurrens to dominated the MMNP areas. The test results of the chemical content of the soil indicates that the area invaded by A. decurrens has high value of C and N. It can be infferred that the eruption of Mount Merapi was the main factor the invasion of A. decurrens. The eruption of Merapi volcanoes has been accompanied by hot clouds. The eruption was burned down all of the vegetation and has changed into the open land. The A. decurrens was taking advantages from this condition to invaded the degraded area. Eruption accompanied by a high-temperature of pyroclastic flow was breaking the dormancy of the A. decurrens seed bank. A. decurrens has a hard seed that can survive and dormant in certain condition. The research showed that the high temperature is a stimulant that can increase the seed viability and the germination ability of A. decurrens seeds. Germination is a critical stage in the life cycle of plants, and often controls population dynamics, with major practical implications. To evaluate the effect of termperature on germination rate, the study was peformed to break dormancy and enhance germination of A. decurrens seeds. Soaking, heating, using chemicals, and growth hormones are the effective treatments to breaking the dormancy of A. decurrens seeds. Temperature was the most important factor of A. decurrens seed germination. This study also performed a treatment to suppress the germination of A. decurrens seeds. The results showed that the viability of the seeds of A. decurrens may suppressed by the allelopathy extract of C. asiatica and I. cylindrica. Allelopathy extracts of both plants can be used to controll the invasion of A. decurrens. The autecology and the risk analysis of A. decurrens invasion are important information to manage the invasion. We recommended to the Mount Merapi National Park management to prevent the negative effects from the invasion. We also recommended to the MMNP for controlling the invasion and prevent the spread of A. decurrens into a larger area. There are various techniques to control the invasion such as mechanical, chemical and biological agent. Mechanical and biological control is more effective and economic than using a herbicide treatment. Keywords: Invasive alien species, Acacia decurrens, autecology, risk analysis
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
POPULASI DAN AUTEKOLOGI Acacia decurrens (WENDL.) WILD DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI
SUNARDI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Agus Hikmat, MSc.FTrop
Judul Tesis Nama
NIM
: Populasi dan Autekologi Acacia decurrens (Wendl.) Wild di Taman Nasional Gunung Merapi : Sunardi : G353124021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
v-
Dr Ir Sulistijorini. MSi Ketua
Dr Ir Titiek Setyawati. MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan
\rM /
ffi
:":&ifrm
Dr Ir Miftahudin, Msi
B$f{'fuit$
Tanggal Ujian: 26 lanuan 2016
ranggalLulus:
Z6 ApR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 hingga Mei 2015 ialah Invasive Alien Species (IAS), dengan judul Populasi dan Autekologi Acacia decurrens (Wendl.) Wild di Taman Nasional Gunung Merapi. Penelitian ini didanai oleh FORIS-Indonesia Project, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Sulistijorini, MSi dan Dr Ir Titiek Setyawati, MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penelitian dan penyusunan tesis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh Staf Balai Taman Nasional Gunung Merapi, yang telah membantu selama pengumpulan data di lapangan, serta kepada Dr Soekisman Tjidtrosoedirjo yang telah banyak memberi saran dan masukan dalam penyusunan analisis risiko tumbuhan asing invasif. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Biologi Tumbuhan yang telah memberikan dukungan moril selama proses penyelesaian studi. Ungkapan terima kasih yang terdalam disampaikan kepada ayahanda Mansyur dan Ibunda Najima atas doa dan kasih sayang yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menempuh dan mnyelesaikan pendidikan program pascasarjana. Penulis juga menyadari bahwa dalam penyusunan karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dan kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016
Sunardi
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
vii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Gunung Merapi Spesies Asing Invasif Deskripsi Acacia decurrens (Wendl.) Wild. Autekologi Alelopati Analisis Risiko Tumbuhan Asing Invasif
5 5 7 8 8 9 10
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Analisis Vegetasi Analisis Data Vegetasi Autekologi Uji Daya Tahan dan Viabilitas Biji A. decurrens Penghambatan Perkecambahan Biji A. decurrens Penghambatan Pertumbuhan Tanaman A. decurrens Analisis Risiko Tumbuhan Asing Invasif di Taman Nasional Gunung Merapi
11 11 11 12 12 13 14 15 15 16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Persebaran Tumbuhan Asing Invasif dan Autekologi A. decurrens Pasca Erupsi Gunung Merapi Struktur dan Komposisi Vegetasi Tumbuhan Asing Invasif di TNGM Uji Daya Tahan dan Viabilitas Biji A. decurrens Penghambatan Perkecambahan Biji dan Pertumbuhan A. decurrens (Alternatif Pengendalian)
20 20
18
20 23 28 33 37
Analisis Risiko Tumbuhan Asing Invasif di Taman Nasional Gunung Merapi Pembahasan Persebaran Tumbuhan Asing Invasif dan Autekologi A. decurrens Pasca Erupsi Gunung Merapi Viabilitas Biji A. decurrens (Wendl.) WiIld. Penghambatan Perkecambahan Biji dan Pertumbuhan A. decurrens (Alternatif Pengendalian) Analisis Risiko Tumbuhan Asing Invasif di Taman Nasional Gunung Merapi
41 43 43 47 48 51
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
54 54 54
DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
61
RIWAYAT HIDUP
75
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Halaman Kategori risiko tumbuhan invasif 19 Kategori fisibilitas pengelolaan tumbuhan invasif 19 Komposisi spesies tumbuhan bawah di resort Cangkringan pada tiga zona ketinggian 23 Komposis spesies tumbuhan fase pancang di resort Cangkringan pada tiga zona ketinggian 24 Komposisi spesies tumbuhan fase tiang di resort Cangkringan pada tiga zona ketinggian 24 Komposisi spesies tumbuhan tumbuhan bawah di resort Kemalang pada tiga zona ketinggian 25 Komposisi spesies tumbuhan fase pancang di resort Kemalang pada tiga zona ketinggian 25 Komposisi spesies tumbuhan fase tiang di resort Kemalang pada tiga zona ketinggian 25 Komposisi spesies tumbuhan tumbuhan bawah di resort Selo pada tiga zona ketinggian 26 Komposisi spesies tumbuhan fase pancang di resort Selo pada tiga zona ketinggian 27 Komposisi spesies tumbuhan fase tiang di resort Selo pada tiga zona ketinggian 27 Spesies tumbuhan asing invasif di Taman Nasional Gunung Merapi 28 Uji kandungan kimia tanah di lokasi Cangkringan, Kemalang dan Selo. 31 Pengaruh perlakuan perendaman pada suhu dan waktu yang berbeda terhadap perkecambahan biji A. decurrens. 33 Pengaruh perlakuan perendaman pada berbagai konsentrasi larutan 34 KNO3 terhadap perkecambahan biji A. decurrens Pengaruh pemanasan langsung dan konsentrasi novelgro terhadap perkecambahan biji A. decurrens. 36 Nilai rata-rata perkecambahan biji A. decurrens perlakuan pemberian ekstrak alelopati 37 Rekapitulasi uji statistik perlakuan pemberian ekstrak alelopati pada tanaman A. decurrens. 38 Hasil percobaan alelopati Alang-alang terhadap pertumbuhan semai A. 40 decurrens. Nilai risiko tumbuhan asing invasif di TNGM 41 Nilai fisibilitas pengelolaan tumbuhan asing invasif di TNGM 42 Maktriks rekomendasi pengelolaan tumbuhan asing invasif 42 Rekomendasi pengelolaan tumbuhan asing invasif di TNGM 42
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Peta Taman Nasional Gunung Merapi Desain transek dan plot pengamatan di lokasi penelitian Desain plot tersarang pengamatan vegetasi tumbuhan Jumlah famili dan spesies tumbuhan di TNGM pada tiga zona ketinggian Indeks keanekaragaman, Indeks kemerataan spesies dan Indeks dominansi di tiga lokasi penelitian Jumlah spesies tumbuhan bawah, pancang dan tiang di tiga lokasi penelitian (Cangkringan, Kemalang, dan Selo) Hasil ordinasi NMDS (2d stress=0.01) komposisi spesies dan kelimpahan A. decurrens Hasil ordinasi NMDS (2d stress=0.01) yang menunjukkan perbedaan kluster asosiasi komunitas tumbuhan di lokasi Resort Cangkringan, Kemalang dan Selo Faktor lingkungan (abiotik) di tiga lokasi penelitian Hasil analisis Canonical Correspondence Analysis pengaruh faktor lingkungan di tiga lokasi penelitian (Cangkringan; Kemalang; Selo) Rata-rata diameter batang dan tinggi pohon A. decurrens di tiga lokasi (Cangkringan, Kemalang, dan Selo) Daya berkecambah (DB%) biji A. decurrens dengan perlakuan perendaman Kecepatan tumbuh (KcT %) biji A. decurrens dengan perlakuan perendaman Daya berkecambah (DB %) biji A. decurrens dengan perlakuan perendaman KNO3 Kecepatan tumbuh biji A. decurrens dengan perlakuan perendaman KNO3 Daya berkecambah (DB %) biji A. decurrens perlakuan pemanasan langsung dan konsentrasi novelgro Kecepatan tumbuh (KcT %) biji A. decurrens perlakuan pemanasan langsung dan konsentrasi novelgro Daya berkecambah (DB %) dan kecepatan tumbuh (KcT %) biji A. decurrens dengan perlakuan alelopati Pengaruh pemberian ekstrak alelopati I. cylindrica terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman A. decurrens Bobot kering tanaman A. decurrens perlakuan pemberian ekstrak alelopati C. asiatica dan I. cylindrica Derajat kematian (DK %) dan kecepatan kematian (KcK %) A. decurrens perlakuan alelopati I. cylindrica.
5 12 12 20 21 22 29
29 30 31 32 33 34 35 35 36 37 38 39 40 41
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Daftar pertanyaan penilaian risiko tumbuhan invasif Komposisi spesies tumbuhanbawah di resort Cangkringan pada tiga zona ketinggian 3 Komposisi spesies tumbuhan fase pancang di resort Cangkringan pada tiga zona ketinggian 4 Komposisi spesies tumbuhan fase tiang di resort Cangkringan pada tiga zona ketinggian 5 Komposisi spesies tumbuhan tumbuhan bawah di resort Kemalang pada tiga zona ketinggian 6 Komposisi spesies tumbuhan fase pancang di resort Kemalang padatiga zona ketinggian 7 Komposisi spesies tumbuhan fase tiang di resort Kemalang pada tiga zona ketinggian 8 Komposisi spesies tumbuhan tumbuhan bawah di resort Selo pada tiga zona ketinggian 9 Komposisi spesies tumbuhan fase pancang di resort Selo pada tiga zona ketinggian 10 Komposisi spesies tumbuhan fase tiang di resort Selo pada tiga zona ketinggian
62 68 70 70 70 72 72 72 73 74
1
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan kawasan hutan lindung yang kaya akan spesies flora dan fauna. Keberadaan gunungapi paling aktif di pulau Jawa yaitu gunung Merapi merupakan ciri khas TNGM. Letusan (erupsi) gunung Merapi terjadi pada Selasa malam 26 Oktober 2010 hingga Sabtu 6 November 2010 tercatat sebagai bencana terburuk dalam kurun waktu 100 tahun atau sejak 1870 (BNPB 2011). Erupsi gunung Merapi disertai luncuran awan panas (Wedhus Gembel) berupa debu atau material vulkanik, dapat menimbulkan kerusakan pada daerah yang terkena dampak erupsi. Suhu awan panas berkisar antara 600–800 °C dan kecepatan luncuran dari kawah mencapai 100 km-1. Dampak dari awan panas adalah terjadi kebakaran atau kerusakan vegetasi hutan di beberapa lokasi TNGM. Selain awan panas, debu akibat erupsi menyebabkan kematian beberapa spesies tumbuhan. Setelah erupsi gunung Merapi, proses suksesi terjadi secara alami untuk mengembalikan kondisi ekosistem TGNM. Vegetasi tumbuhan pasca erupsi mengalami penurunan jumlah spesies khususnya pada kawasan yang terkena dampak awan panas. Jenis-jenis asli ciri khas flora pegunungan tergantikan oleh spesies baru yang mendominasi beberapa lokasi yang terkena dampak erupsi Gunung Merapi. Beberapa spesies baru merupakan spesies pendatang atau asing bahkan terdeteksi sebagai spesies invasif. Spesies asing atau alien adalah spesies yang dibawa/terbawa masuk ke suatu ekosistem secara tidak alami. Spesies invasif adalah spesies, baik spesies asli maupun bukan, yang secara luas mempengaruhi habitatnya, dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, atau membahayakan manusia. Spesies asing tidak selalu invasif, spesies invasif belum tentu berasal dari luar/asing. Invasive Alien Species (IAS) merupakan kombinasi dari spesies asing dan spesies invasif (CBD-UNEP 2014). Spesies invasif merupakan spesies yang mengancam kelestarian lingkungan dan berdampak negatif terhadap keanekaragaman flora dan fauna. Spesies invasif mampu menyebar secara alami meskipun tidak terjadi gangguan pada ekosistem. Introduksi spesies tumbuhan asing awalnya bertujuan untuk kepentingan ekonomi, konservasi dan nilai eksotik. Namun proses tersebut tanpa melalui kajian tentang karakter biologi, potensi invasi dan musuh alami yang dapat menekan penyebarannya (Alpert 2006). Keberhasilan invasi spesies asing dipengaruhi oleh karakter lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam serta kesesuaian dengan habitat asli (Blumenthal 2006). Ketersediaan sumber daya alam yang relatif tinggi memberikan kesempatan kepada spesies asing untuk membentuk koloni dan mengawali serta mengubah proses suksesi (Hood & Naiman 2000). Peningkatan sumber daya alam terjadi pada skala ruang dan waktu dan dikaitkan dengan gangguan yang terjadi secara alami (banjir, angin, puting beliung, kebakaran) (Sher & Hyatt 1999). Gangguan terhadap lingkungan yang melewati ambang batas dikombinasikan dengan laju pertumbuhan spesies asing yang tinggi menyebabkan potensi invasi lebih besar (Huston 2004).
2 Pasca erupsi kondisi ekosistem di kawasan TNGM mengalami perubahan. Keanekaragaman tumbuhan di kawasan TNGM menurun disertai dengan ledakan populasi spesies asing yaitu Acacia decurrens (Wendl.) Wild. tumbuhan asli Australia. Spesies asing tersebut merupakan ancaman serius bagi ekosistem. Status kawasan TNGM sebagai wilayah konservasi keanekaragaman hayati terancam dan dianggap perlu dilakukan sebuah langkah strategis dalam mengendalikan ledakan populasi spesies asing tersebut. Upaya atau langkah awal untuk mengendalikan invasi spesies asing adalah mempelajari karakter biologi tumbuhan yang berkaitan dengan lingkungannya. Studi autekologi merupakan bagian dari ilmu ekologi yang mempelajari tentang sifat dan perilaku individu spesies atau populasi yang berhubungan dengan tempat hidup mereka. Kajian autekologi memiliki peran dalam mempelajari dinamika suatu komunitas. Studi autekologi merupakan bagian dari ilmu ekologi yang mempelajari tentang sifat dan perilaku individu spesies atau populasi yang berhubungan dengan tempat hidup mereka. Kajian autekologi memiliki peran dalam mempelajari dinamika suatu komunitas. Beberapa parameter autekologi yang dianggap berkaitan dengan kelimpahan A. decurrens kawasan TNGM adalah siklus hidup, karakter spesies, faktor ekologi (fisik, biotik, lingkungan), dan struktur tegakan. Invasi A. decurrens dapat dikaitkan dengan pengaruh awan panas dan perubahan ekosistem pasca erupsi gunung Merapi. Api (kebakaran) memiliki peran penting di daerah tropis yaitu sebagai stimulan biji yang tersimpan dalam tanah dan merupakan proses awal tahapan suksesi (Kulkarni et al. 2007). Suhu tinggi awan panas merupakan stimulan bagi biji A. decurrens yang tersimpan dalam tanah (seed bank) untuk berkecambah. Suhu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perkecambahan biji selain air, cahaya dan oksigen. Suhu pada proses perkecambahan berperan dalam daya berkecambah, kecepatan perkecambahan, pematahan dormansi fisik dan pemicu dormansi sekunder. Beberapa hasil penelitian menunjukkan biji A. decurrens memiliki kemampuan untuk dormansi secara fisik. Kemampuan tersebut didukung oleh morfologi biji yang keras dan impermiabel terhadap air. Studi mengenai pematahan dormansi fisik dengan menggunakan berbagai metode telah banyak dilakukan untuk beberapa spesies Acacia yaitu dengan perendaman, pemanasan dan pemberian zat pengatur tumbuh serta skarifikasi secara mekanik. Pemberian zat butenilide yang berasal dari ekstrak daun Themeda triandra Forssk. (Poaceae) sangat efektif dalam pematahan dormansi biji A. hebeclada, sedangkan untuk perendaman air panas dan pemberian asam sulfur (H2SO4) berpengaruh positif pada perkecambahan A. robusta, A. mearnsii (Kulkarni et al. 2007). Pertumbuhan spesies tumbuhan asing invasif akan merubah keseimbangan ekologi di kawasan TNGM. Salah satu alternatif pengendalian tumbuhan invasif adalah potensi alelopati dan perlakuan mekanik. Senyawa kimia yang dilepaskan oleh tumbuhan sering disebut dengan alelopati. Alelopati diartikan sebagai interaksi biokimia secara timbal balik yang bersifat penghambatan maupun perangsangan antara semua jenis tumbuhan (termasuk mikroorganisme) (Murphy 1999; Olofstodder et al. 1999). Alelopati dari suatu tanaman merupakan hasil metabolisme yang dikeluarkan ke lingkungan dan memiliki pengaruh merugikan terhadap tanaman lain baik langsung maupun tidak langsung (Rice 1984).
3 Selain tindakan pengendalian, invasi tumbuhan asing dapat dicegah melalui analisis risiko tumbuhan asing invasif. Analisis risiko merupakan penilaian terhadap potensi invasif dan fisibilitas pengelolaan untuk menghasilkan metode pengendalian yang tepat untuk menghindari kesalahan dan kerugian yang lebih besar. Pemilihan metode analisa atau protokol dalam menentukan potensi invasi juga didasarkan oleh kesesuaian habitat dan spesies invasif. Tucker & Richardson (1995) mengembangkan sistem analisis mengenali tumbuhan berkayu yang berpotensi menyerang sava di Afrika Selatan. Smallwood dan Salmon (1992) mengembangkan sistem penilaian risiko invasi hewan yang digunakan untuk menilai potensi invasi burung dan mamalia. Hiebert dan Stubbendieck (1993) mengembangkan metode analisa yang dapat digunakan dalam menentukan keputusan dan skala prioritas upaya pengendalian terhadap tumbuhan asing invasif. Analisa tersebut dibagi menjadi beberapa kajian yaitu dampak ekologi, potensi penyebaran, biaya pengendalian dan dampak terhadap ekosistem asli. Protokol khusus tumbuhan invasif Australia digunakan untuk menganalisa invasi spesies asli Australia di luar habitat aslinya (Virtue 2010). Tumbuhan asing yang ditemukan di TNGM selain A. decurrens terindetifikasi juga beberapa spesies tumbuhan bawah yang tergolong spesies asing. Kehadiran spesies asing tersebut dianggap memberikan ancaman serius bagi ekosistem TNGM sehingga dianggap perlu dilakukan usaha pencegahan dan pengendalian. Tindakan pengendalian idealnya akan terdiri dari pencegahan masuknya spesies, dan pembatasan penyebaran spesies dan pemusnahan (eradikasi) spesies yang berpotensi invasif. Upaya tersebut membutuhkan pengetahuan tentang karakteristik spesies invasif sebagai bahan pertimbangan. Penelitian atau tinjauan mengenai kaitan antara invasi dan autekologi A. decurrens di TNGM belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan, antara lain ancaman invasi A. decurrens pasca erupsi tahun 2010 terhadap pemulihan keanekaragaman hayati flora pegunungan (Yuniasih 2013); dinamika proses suksesi primer dan sekunder akibat dampak awan panas erupsi gunung Merapi tahun 2006 (Sutomo 2010); dinamika pertumbuhan A. decurrens dan struktur tegakan (Suryanto et al. 2010). Oleh karena itu, penelitian lanjutan untuk mengetahui populasi dan autekologi dari tumbuhan asing invasif A. decurrens perlu dilakukan sebagai langkah awal dalam menanggulangi permasalahan invasi yang terjadi di TNGM. Perumusan Masalah 1. 2. 3. 4. 5.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian adalah: Struktur, komposisi dan keanekaragaman spesies pada vegetasi yang terkena dampak oleh erupsi gunung Merapi. Autekologi tumbuhan asing invasif A. decurrens di TNGM Perlakuan pendahuluan yang tepat dalam pematahan dormansi biji A. decurrens. Perlakuan pengendalian yang efektif dalam penghambatan perkecambahan dan pertumbuhan A. decurrens. Risiko dan dampak yang ditimbulkan oleh invasi spesies asing di TNGM.
4 Tujuan Penelitian Tujuanpenelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui komposisi dan keanekaragaman spesies serta persebaran tumbuhan asing di kawasan TNGM yang terkena dampak oleh erupsi gunung Merapi 2. Mengkaji autekologi A. decurrens sebagai langkah awal dalam penanggulangan invasi tumbuhan asing tersebut di TNGM. 3. Mengetahui perlakuan pendahuluan yang tepat dalam pematahan dormansi biji A. decurrens. 4. Mengetahui perlakuan pengendalian yang efektif dalam penghambatan perkecambahan dan pertumbuhan A. decurrens. 5. Menganalisis risiko invasif dari Invasive Alien Species (IAS) di Taman Nasional Gunung Merapi. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai populasi dan autekologi dari tumbuhan asing invasif Acacia decurrens serta memberikan gambaran risiko yang ditimbulkan terhadap TNGM. Rekomendasi dari penelitian ini diharapkan dapat diterapkan oleh pihak TNGM dalam menangani kasus invasi tumbuhan asing.
5
2
TINJAUAN PUSTAKA
Taman Nasional Gunung Merapi Letak dan Luas Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merapi seluas ± 6.410 ha. Secara geografis kawasan TNGM terletak pada koordinat 07°22'33" - 07°52'30" LS dan 110°15'00" - 110°37'30" BT. Secara administratif TN Gunung Merapi terketak di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten) seluas ± 5 126.01 ha dan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Sleman) seluas ± 1 283.99 ha (BTNGM 2009) (Gambar 1).
Gambar 1 Peta Taman Nasional Gunung Merapi Kawasan hutan Gunung Merapi telah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak tahun 1931 untuk perlindungan sumber air, sungai dan penyangga sistem kehidupan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Magelang. Sebelum ditunjuk menjadi taman nasional, kawasan hutan yang termasuk di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas hutan lindung seluas ± 1041.38 ha, Cagar Alam Plawangan Turgo seluas ± 146.16 ha; dan Taman Wisata Alam Plawangan Turgo seluas ± 96.45 ha. Kawasan hutan yang termasuk di wilayah Provinsi Jawa Tengah merupakan hutan lindung dengan luas ± 5.126 ha (BTNGM 2009).
6 Tanah dan Topografi Kawasan TNGM umumnya terdiri atas jenis-jenis tanah regosol, andosol, alluvial dan litosol. Tanah regosol yang merupakan jenis tanah muda terutama berada di wilayah Yogyakarta. Bahan induk tanah adalah material vulkanik, yang berkembang pada fisiografi lereng gunungapi. Jenis tanah andosol di temukan di wilayah-wilayah kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali (BTNGM 2009). Kawasan TNGM berada pada ketinggian antara 600–2 968 m dpl. Topografi kawasan bervariasi mulai dari landai, berlereng curam hingga berbukit dan bergunung-gunung dengan puncak tertingginya ± 2965 m dpl. Dataran tinggi yang menyempit di antara dua buah gunung, yakni Gunung Merapi dan Merbabu di sekitar Kecamatan Selo, Boyolali terletak di utara. Bagian selatan, lereng Gunung Merapi terus menurun dan melandai hingga ke pantai selatan di tepi Samudera Hindia, melintasi wilayah kota Yogyakarta. Kawasan wisata Kaliurang berada di sebelum kaki gunung Merapi, terdapat dua bukit yaitu bukit Turgo dan bukit Plawangan yang merupakan bagian kawasan TNGM (BTNGM 2009). Kondisi topografi kawasan TNGM berdasarkan wilayah kabupaten adalah sebagai berikut (BTNGM 2009): 1. Kabupaten Klaten, keadaan topografinya landai sampai berbukit dengan ketinggian 100–1150 m dpl. 2. Kabupaten Boyolali berada di antara gunung Merapi yang aktif dan gunung Merbabu yang sudah tidak aktif, dengan ketinggian 75–1500 m dpl. Empat sungai yang melintas wilayah ini adalah Serang, Cemoro, Pepe dan Gandul, di samping itu ada sumber-sumber air lain berupa mata air dan waduk. 3. Kabupaten Magelang, di wilayah ini terdapat tiga kecamatan yang merupakan bagian lereng gunung Merapi ke arah barat, terletak pada ketinggian sekitar 500 m dpl. Semakin ke arah puncak gunung Merapi kelerengan lahan semakin curam. 4. Kabupaten Sleman, keadaan topografinya landai hingga kelerengan sangat curam dengan ketinggian 100–1500 m dpl. Bagian paling utara merupakan lereng Gunung Merapi yang miring ke arah selatan. Lereng selatan gunung Merapi terdapat dua bukit yaitu bukit Turgo dan bukit Plawangan yang merupakan bagian kawasan wisata Kaliurang. Bagian lereng puncak gunung Merapi topografi curam sampai sangat curam. Bagian selatan dari ketiga kecamatan berupa lahan persawahan dengan sistem teras yang cukup baik. Di bagian tengah berupa lahan kering dan paling utara merupakan bagian dari lereng gunung Merapi yang berupa hutan. Curah Hujan dan Hidrologi Curah hujan di TNGM berdasarkan data curah hujan yang tercatat dari Stasiun Klimatologi adalah sebagai berikut (BTNGM 2009): 1. Kabupaten Magelang, curah hujannya mencapai 2.252 - 3.627 mm/thn. 2. Kabupaten Boyolali, curah hujannya mencapai 1.856 - 3.136 mm/thn. 3. Kabupaten Klaten, curah hujannya mencapai 902 - 2.490 mm/thn. 4. Kabupaten Sleman, curah hujannya mencapai 1.869,8-2.495 mm/thn. Wilayah Gunung Merapi merupakan sumber bagi tiga DAS (Daerah Aliran Sungai), yakni DAS Progo di bagian barat; DAS Opak di bagian selatan dan DAS Bengawan Solo di timur. Keseluruhan, terdapat sekitar 27 sungai di seputar Gunung Merapi yang mengalir ke tiga DAS tersebut.
7 Vegetasi Kawasan TNGM merupakan salah satu perwakilan ekosistem hutan pegunungan di Pulau Jawa. Ekosistem pegunungan ini sangat menarik untuk dipelajari karena berada di kawasan gunung api teraktif di Indonesia.Kondisi gunung Merapi sangat dinamis akibat sering terganggu oleh aliran lahar dan awan panas saat terjadi letusan. Karakteristik umum vegetasi hutan pegunungan di Indonesia dibagi menjadi beberapa karakteristik berdasarkan zona ketinggian. Ashton (2003) dan Goltenboth et al. (2006) mengelompokkan karakteristik vegetasi hutan pegunungan yaitu: 1) Zona hutan kurang dari 1200 m dpl; 2) Zona hutan pegunungan bawah (1200–1800 m dpl; 3) Hutan pegunungan atas (1800– 3000 m dpl); 4) Hutan subalpine (2000–>3 000 m dpl). Karakteristik hutan pada zona <1200 m dpl memiliki kemiripan dengan hutan dataran rendah. Spesies pohon maupun tumbuhan semak akan lebih pendek seiring bertambahnya ketinggian zonasi. Semakin tinggi zona ketinggian maka tinggi pohon semakin pendek dan berdiameter kecil, serta tumbuhan epifit kelimpahan tumbuhan epifit menjadi tinggi. Komposisi spesies dan struktur individu pada zonasi hutan pegunungan berbeda. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh komposisi hara dan air tanah, suhu yang cenderung menurun pada zona yang lebih tinggi, proses fotosintesis yang terganggu akibat adanya radiasi (Gerold 2008). Spesies Asing Invasif Invasive Alien Species (IAS) adalah spesies yang diintroduksi baik secara sengaja maupun tidak disengaja dari luar habitat alaminya, bisa pada tingkat spesies, subspesies, varietas dan bangsa, meliputi organisme utuh, bagian-bagian tubuh, gamet, benih, telur maupun propagul yang mampu hidup dan bereproduksi pada habitat barunya, yang kemudian menjadi ancaman bagi biodiversitas, ekosistem, pertanian, sosial ekonomi maupun kesehatan manusia, pada tingkat ekosistem, individu maupun genetik (CBD-UNEP 2014). Braun-Blanquet menggunakan istilah invasif terhadap tumbuhan yang dapat mengolonisasi atau mendominasi suatu daerah atau ekosistem baru (Alpert et al. 2000). Spesies asing invasif memiliki kemampuan untuk mendominasi semua bagian ekosistem alami/asli dan menyebabkan spesies asli menjadi punah. Spesies tumbuhan asing invasif diartikan sebagai spesies flora yang dapat hidup dan berkembang di luar habitat alaminya, memiliki kemampuan mendominasi vegetasi atau habitat yang baru karena didukung oleh faktor lingkungan serta tidak memiliki musuh alami yang berdampak buruk bagi spesies lokal, baik secara ekologis maupun ekonomis (Radosevich et al. 2007). Spesies tumbuhan asing invasif berhasil menginvasi suatu vegetasi atau habitat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya, ada tidaknya gangguan baik dari hewan maupun aktivitas manusia, ketersediaan sumber daya yang mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan, kemampuan berkompetisi dengan tumbuhan asli, dan tekanan propagul (Moser et al. 2009). Keberhasilan jenis-jenis tumbuhan untuk menginvasi daerah atau habitat baru sangat kecil, yaitu hanya sekitar 10 %. Meskipun memiliki kemungkinan yang sangat kecil namun tetap harus diwaspadai karena jenis-jenis tersebut menyebabkan dampak yang cukup besar terhadap populasi, komunitas atau ekosistem (Both 2010).
8 Deskripsi Acacia decurrens (Wendl.) Wild. Acacia merupakan genus dari famili Fabaceae yang terdiri dari 1300 spesies yang tersebar di seluruh dunia. Sekitar 960 spesies berasal dari Australia dan sisanya tersebar di daerah tropis dan sup tropis, termasuk Afrika, Asia Selatan, dan Amerika. Genus Acacia merupakan kelompok tumbuhan dengan potensi yang tinggi dalam hal menginvasi daerah baru. Genus ini beranggotakan lebih dari 1350 spesies, dan sejumlah besar berasal dari Australia (Breton et al. 2008; Miller et al. 2011; Richardson et al. 2011). Akasia Australia pada tahun 1970-an banyak ditanam di luar habitat aslinya sebagai tanaman hias, tanaman kehutanan, pakan ternak, perkebunan, dan produksi tanin (Breton et al. 2008). Namun, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tumbuhan asing invasif dan menimbulkan banyak masalah, misalnya, A. dealbata, A. melanoxylon, A. saligna dan A. Cyclops (Weber 2003; Breton et al. 2008; Richardson & Rejma'nek 2011). Beberapa spesies Akasia non-invasif misalnya A. ampliceps, A. drummondii dan A. Microcarpa (ISSG 2015). Acaccia decurrens merupakan pohon dengan tinggi 5–15 m dan dapat mencapai 20–22 m. Percabangan cenderung lateral dan kulit batang halus, berwarna abu-abu gelap hampir hitam dan dapat pecah-pecah pada tanaman dewasa. Daun bipinnate berwarna hijau gelap dan mengkilap, yang terdiri dari 4– 15 pasang pinnae, 3–7 cm panjang pada malai panjang 4–12 cm. Ujung daun lonjong, dengan panjang 5–14 mm dan lebar 0.5–0.75 mm. Pada tangkai daun di setiap pasang pinnae terdapat kelenjar jugary. Daun A. decurrens memiliki ritme atau gerakan diurnal yaitu daun terbuka di siang hari dan tertutup pada malam hari. Tipe perbungaan A. decurrens adalah malai yaitu kepala bunga berbentuk globular yang masing-masing terdiri dari 15–30 bunga. A. decurrens memiliki buah berbentuk polong berwarna hijau, kuning ketika masak dan cokelat tua saat kering, dengan panjang polong 4–10 cm dan lebar 4–8 mm. Biji polong berwarna hitam dengan ukuran 0.5–3 mm. Biji polong sangat keras ketika matang dan memiliki aril di bagian ujung. Autekologi Autekologi adalah cabang ilmu ekologi yang mempelajari tentang sifat dan perilaku individu spesies atau populasi yang berhubungan dengan tempat hidup mereka. Autekologimenjelaskan tentang siklus hidup, distribusi individu spesies pada kondisi alaminya, adaptasi, perbedaan populasi dan kelimpahan individunya. Kajian autekologi penting untuk menjelaskan struktur dan dinamika suatu komunitas. Berhubung karena kajian autekologi merupakan suatu yang kompleks, maka pemahaman terhadap spesies pada suatu komunitas adalah penting karenadapat digunakan sebagai dasar untuk memahami masalah vegetasi secara keseluruhan. Menurut Barbouret al. (1987) autekologi adalah kajian ekologi tumbuhan yang berkaitan dengan adaptasi dan kelakuan individu setiap spesies atau populasi yang terkait dengan tempat hidup mereka. Subbagian autekologi termasuk demekologi (spesiasi), ekologi populasi dan demografi (aturan ukuran populasi), ekologi fisiologi (ekofisologi), dan genekologi (genetik). Aspek-aspek yang dikaji dalam autekologi pada individu setiap spesies menyangkut hal berikut:
9 identifikasi tumbuhan, asosiasi spesies tumbuhan, distribusi dan manfaat tumbuhan, morfologi tumbuhan, sitogenetik spesies tumbuhan, fisiologi tumbuhan dan kompleksitas lingkungan (Djufri 2006). Selain itu autekologi juga mengkaji masalah fenologi (perkecambahan, gugurnya daun, produksi buah, produksi biji, perbungaan, dan lain-lain) dalam kaitannya dengan perbedaan musim selama setahun, maka aspek biotik dan abiotik harus diukur secara kuantitatif pada fase pertumbuhan yang berbeda dengan interval waktu yang teratur. Kompleksitas lingkungan berdasarkan variasi kombinasi faktor abiotik dan biotik saling terkait pada setiap fase siklus hidup tumbuhan. Kemudian akan dijelaskan korelasi fenologi dengan variasi perubahan lingkungan. Aspek yang diamati antara lain: pembungaan, penyerbukan, perbuahan, produksi biji, pemencaran biji, viabilitas biji, dormansi, kapasitas reproduksi, pertumbuhan anakan, dan pertumbuhan vegetatif (Shukla & Chandel 1982). Alelopati Senyawa alelopati merupakan metabolit sekunder pada tumbuh-tumbuhan. Senyawa tersebut dapat ditemukan di semua jaringan tumbuhan, antara lain pada daun, batang, akar, rizome, bunga, buah dan biji serta dapat dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan yang masih hidup atau telah mati (Sastroutomo 1990). Senyawa tersebut diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori menurut struktur dan sifat yang berbeda dari senyawa tersebut diantaranya: (1) asam organik yang larut dalam air, alkohol rantai lurus, aldehid alifatik, dan keton, (2) lakton sederhana yang tak jenuh, (3) rantai panjang asam lemak (fatty acid) dan polyacetylenes, (4) Naphthouinones, anthroquinones dan quinines kompleks, (5) fenol sederhana, asam benzoat dan turunannya, (6) asam sinamat dan turunannya, (7) kumarin, (8) flavonoid, (9) tanin, (10) steroid dan terpenoid (lakton sesquiterpene, diterpenes, dan triterpenoid), (11) asam amino dan polipetida, (alkaloid dan dyanohydrins), (12) sulfida dan glukosida, (13) purin dan nukleotida (Rice 1984; Wang et al. 2006). Senyawa alelopati dapat mempengaruhi penyerapan hara, pembelahan sel, penghambat pertumbuhan, fotosintesis, respirasi, sintesis protein dan aktivitas enzim (Sastroutomo 1990). Alelopati kemudian didefinisikan sebagai pengaruh langsung ataupun tidak langsung dari suatu tumbuhan terhadap yang lainnya, termasuk mikroorganisme, baik yang bersifat positif/ perangsangan, maupun negatif/penghambatan terhadap pertumbuhan, melalui pelepasan senyawa kimia ke lingkungannya (Rice 1995; Inderjit & Keating 1999; Singh et al. 2003). Senyawa alelopati pada tumbuhan dilepaskan dengan berbagai cara, antara lain melalui penguapan, eksudat akar, pencucian dan dekomposisi residu dan proses lainnya baik di alam maupun sistem pertanian. Putnam (1984) melaporkan mengenai adanya senyawa alelopati yang dilepaskan melalui penguapan dan diidentifikasi sebagai senyawa yang termasuk ke dalam golongan terpenoid yaitu Artemisia, Eucalyptus dan Salvia. Pada percobaan penampungan eksudat akar tanaman Hemarthia altissima diperoleh senyawa berasal dari asam-asam benzoat, sinamat dan fenolat. Hasil pencucian daun alang-alang dapat mempengaruhi pertumbuhan jagung dan mentimun, pembusukan sisa tumbuhan menghasilkan senyawa beracun, asam sianida (HCN) dan benzaldehida.
10 Analisis Risiko Tumbuhan Asing Invasif Invasi oleh spesies asing merupakan salah satu ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati di seluruh dunia dan dianggap sebagai komponen utama dari perubahan iklim global (Mack et al. 2000; Mooney & Hobbs 2000). Selain mempengaruhi ekosistem dan berkontribusi terhadap kepunahan spesies asli, tumbuhan asing invasif juga berdampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi (Pimentel et al. 2005). Introduksi spesies asing terus meningkat akibat pergerakan manusia yang tinggi serta meningkatnya perdagangan antar wilayah (Mc Neely et al. 2001). Kondisi tersebut meningkatkan peluang atau risiko terjadinya invasi spesies asing di wilayah yang baru dan berdampak negatif terhadap kondisi ekologi lingkungan di wilayah tersebut (Levine et al. 2003; Mack et al. 2000; Pimentel et al. 2005). Introduksi spesies tumbuhan asing awalnya bertujuan untuk kepentingan ekonomi, konservasi dan nilai eksotik. Namun proses tersebut tanpa melalui kajian tentang karakter biologi, potensi invasi dan musuh alami yang dapat menekan penyebarannya. Sehingga untuk mencegah terjadi invasi tumbuhan asing perlu dikembangkan analisa dan sistem untuk menilai potensi invasi dan metode pengendalian yang tepat untuk menghindari kesalahan dan kerugian yang lebih besar. Pemilihan metode analisa atau protokol dalam menentukan potensi invasi juga didasarkan oleh kesesuaian habitat dan spesies invasif. Tucker & Richardson (1995) mengembangkan sistem analisis mengenali tumbuhan berkayu yang berpotensi menyerang sabana di Afrika Selatan. Smallwood & Salmon (1992) mengembangkan sistem penilaian risiko invasi hewan yang digunakan untuk menilai potensi invasi burung dan mamalia. Hiebert & Stubbendieck (1993) mengembangkan metode analisa yang dapat digunakan dalam menentukan keputusan dan skala prioritas upaya pengendalian terhadap tumbuhan asing invasif. Analisa tersebut dibagi menjadi beberapa kajian yaitu dampak ekologi, potensi penyebaran, biaya pengendalian dan dampak terhadap ekosistem asli. Virtue (2008), kemudian merumuskan protokol khusus untuk menganalisis risiko tumbuhan invasif di Australia.
11
3
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dalam beberapa tahapan penelitian yang saling berkaitan. Pengambilan data vegetasi tumbuhan, iklim mikro dan sampel tanah dilaksanakan pada Maret 2014–Mei 2014. Lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) terletak pada koordinat 07°22'33" - 07°52'30" LS dan 110°15'00" - 110°37'30" BT. Lokasi penelitian terbagi atas tiga resort yaitu, Cangkringan, Kemalang dan Selo. Setiap resort terbagi atas tiga zona ketinggian yang berbeda, yakni zona atas (1400–1700 m dpl), tengah (1100–1400 m dpl) dan bawah (800–1100 m dpl). Percobaan perngendalian A. decurrens dilaksanakan pada bulan April – Juli 2014. Uji viabitas biji, penghambatan perkecambahan biji dan perlakuan alelopati terhadap tanaman A. decurrens dilaksanakan pada bulan Agustus 2014–Mei 2015 di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan, Pusat Antar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Pengambilan data vegetasi menggunakan alat yaitu, tali transek, meteran 150 m, caliper, Global Positioning System (GPS) dan tally sheet. Pengambilan data iklim mikro menggunakan alat Four in One dan Soil Tester. Percobaan viabilitas dan uji daya tahan biji A. decurrens dilaksanakan menggunakan biji yang diperoleh dari TNGM. Alat yang digunakan yaitu gelas ukur, gelas kimia, pengaduk kaca, termometer, oven, cawan petri, timbangan, penggaris, laminar, dan autoclav. Bahan yang digunakan yaitu zat pengatur tumbuh merek dagang Novelgro, aquades, alkohol, wadah pengecambah, plastik, dan kertas label. Percobaan penghambatan perkecambahan dan pertumbuhan tanaman A. decurrens menggunakan alat berupa gelas ukur, gelas kimia, pengaduk kaca, termometer, oven, cawan petri, polybag, timbangan, penggaris, blender, laminar, dan autoclav. Bahan yang digunakan yaitu biji A. decurrens, ekstrak daun Centella asiatica dan Imperata cilyndrica, aquades, alkohol, wadah pengecambah, plastik, dan kertas label, pupuk daun Ganasil-D dan insektisida berbahan aktif Deltamethrin serta media tanam berupa tanah dan arang sekam,. Percobaan pengendalian A. decurrens menggunakan alat berupa meteran, caliper, blender, timbangan dan syringe yang telah dimodifikasi. Bahan yang digunakan dalam percobaan pengendalian A. decurrens adalah ekstrak alelopati dari Alang-alang (I. cylindrica) dan kain kasa. Tumbuhan A. decurrens yang digunakan pada percobaan mekanik yang dikombinasikan dengan perlakuan alelopati berdiameter 5–10 cm.
12 Metode Analisis Vegetasi Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode sampling garis paralel (Cropper 1993; Krebs 2002). Pada garis dibuat 10 plot pengamatan berbentuk bujur sangkar (nested plot). Pada setiap plot terbagi atas 3 sub plot (Gambar 2 & 3).
Gambar 2 Desain transek dan plot pengamatan di lokasi penelitian
Gambar 3 Desain plot tersarang pengamatan vegetasi tumbuhan Keterangan: a = Petak ukur tumbuhan bawah dan semai (2 × 2) m2, yaitu anakan dengan tinggi < 1.5 m dan tumbuhan bawah/semak/herba, termasuk di dalamnya pandan dan palem. b = Petak ukur pancang (5 × 5) m2, yaitu anakan dengan tinggi > 1.5 m dan diameter batangnya < 10 cm. c = Petak ukur tiang (10 × 10) m2, yaitu diameter batang antara 10 cm < 20 cm.
Pengambilan Sampel, Pembuatan Herbarium dan Identifikasi Pengambilan sampel dilakukan di dalam plot kuadrat untuk sampling vegetasi. Spesimen hasil koleksi dibuat herbariumnya dan diidentifikasi hingga tingkat jenis. Identitas tumbuhan tersebut juga dicocokkan dengan spesimen kering koleksi herbarium. Identifikasi spesies asing invasif dilakukan dengan cara penelusuran melalui aksesi Invasive Species Specialist Group (ISSG), Convention of Biological Diversity (CBD), dan Center for Agriculture Biosciences International (CABI) dan Guide Book to Invasive Species in Indonesia, Forest in Southeast Asia-Indonesia Program (FORIS-INDONESIA).
13 Analisis Data Vegetasi Komposisi tumbuhan di TNGM dapat diketahui dengan menggunakan parameter: 1) Indeks Nilai Penting (INP); 2) Indeks Morisita (ID); 3) Indeks Shannon Wienner; 4) Indeks Dominansi Simpsons; 5) Indeks Kemerataan Evenness (E). Jumlah Individu suatu spesies
ind/ha
Kerapatan (K)
=
Kerapatan Relatif (KR)
= Kerapatan seluruh spesies × 100%
Frekuensi (F)
=
Frekuensi Relatif (FR)
= Frekuensi seluruh spesies × 100%
Dominansi (D)
=
Luas seluruh petak Kerapatan suatu spesies
Jumlah petak dijumpai suatu spesies Jumlah seluruh petak Frekuensi suatu spesies
Luas bidang dasar suatu spesies Luas seluruh petak
Luas bidang dasar spesies
Dominansi Relatif (DR)
=
m2 /ha
1
= 4 𝜋(𝑑𝑏ℎ)2
Dominansi suatu spesies
Dominansi seluruh spesies
× 100%
Indeks Nilai Penting (INP) tumbuhan bawah, semai, pancang = KR + FR = KR + FR + DR Indeks Nilai Penting (INP) tiang dan pohon Tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan dianalisis dengan menggunakan Indeks Shannon-Wienner, dengan rumus: 𝑛𝑖 H ′ = − ∑ Pi In Pi ; Pi = 𝑁 Keterangan:
H’ Ni N
= Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener = Jumlah INP suatu spesies = Jumlah INP seluruh spesies
Nilai tingkat kemerataan spesies tumbuhan dihitung berdasarkan Indeks Evennes. Nilai Indeks kemerataan menunjukkan penyebaran individu tumbuhan di dalam spesies. Indeks ini menurut Ludwig & Reynolds (1988) dapat dihitung dengan rumus: 𝐻′ E = 𝐼𝑛𝑆 Keterangan:
H’ S
= Indeks Keanekaragaman Shannon-Winer = Jumlah Spesies
Indeks Dominasi digunakan untuk mengetahui kemampuan satu spesies mendominasi kelompok lain. Metode perhitungan yang digunakan adalah rumus Indeks dominansi Simpson (Odum 1993). 𝒔
𝐂 = ∑[ 𝒊=𝟏
𝒏𝒊 ] 𝑵
Keterangan: C = Indeks dominasi ni = Jumlah individu genus ke-i N = Jumlah total individu
Kriteria Indeks dominasi menurut Odum (1993): 0–0.5 = Tidak ada spesiesyang mendominasi 0.5–1 = Terdapat spesies yang mendominasi
14 Pola penyebaran spesies tumbuhan dalam komunitas diukur berdasarkan IndeksMorisita. Indeks tersebut digunakan untuk mengetahui pola penyebaran spesies tumbuhan yang meliputi penyebaran seragam (uniform), mengelompok (clumped), dan acak (random). Adapun rumus Morisita yang diacu dalam Krebs (1972) adalah sebagai berikut: ∑ Xi2−∑ Xi
Ið = n ( ∑ Xi2−∑ Xi) Keterangan: Ið = Derajat penyebaran Morisita n = Jumlah petak ukur ∑ Xi2 = Jumlah kuadrat dari total individu suatu spesies pada suatu komunitas ∑ Xi = Jumlah total individu suatu spesies pada suatu komunitas
Menghitung nilai Chi-Square: X2 = Id (∑ x − 1) + n − ∑ x 2 2 Jika X > X tabel maka tolak H0, dengan hipotesis: H0 : random; H1 : non random Derajat Keseragaman: Mu = Keterangan: x2 0.0975 ∑ Xi n
𝑥 2 0.0975−𝑛 + ∑ xi ∑ xi−1
= Nilai chi-square dari tabel db (n-1), selang kepercayaan 97.5 % = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke-i = Jumlah petak ukur
Derajat Pengelompokan: Mc =
𝑥 2 0.025−𝑛 + ∑ xi ∑ xi−1
Keterangan: x2 0.025 = Nilai chi-square dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 2.5 % ∑ Xi = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke-i = Jumlah petak ukur n
Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai berikut: Ið−Mc Bila Ið ≥ Mc ≥ 1.0 maka dihitung: Ip = 0.5 + 0.5 ( 𝑛−𝑀𝑐 ) Bila Mc > Ið ≥ 1.0 maka dihitung: Ip = 0.5 (
Ið−Mc
)
𝑛−𝑀𝑐 Ið−1
Bila 1.0 > Ið > Mu maka dihitung: Ip = -0.5 (𝑀𝑢−1)
Ið−1
Bila 1.0 > Mu > Ið maka dihitung: Ip = -0.5 + 0,5 (𝑀𝑢−1) Nilai Ip menunjukkan pola penyebaran spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas. Nilai dan pola penyebaran spesies tersebut adalah sebagai: Ip = 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran acak (random) Ip > 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok (clumped) Ip < 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran merata (uniform) Autekologi Data yang dikumpulkan adalah data siklus hidup, karakter spesies, data lingkungan (abiotik), dan struktur tegakan dari A. decurrens. Pengamatan siklus hidup dan karakter spesies dilakukan dengan pengumpulan data secara langsung di lokasi penelitian. Data struktur tegakan diperoleh dengan membuat kuadrat seluas 10 m × 10 m sebanyak 10 buah, dan pada masing-masing kuadrat diukur diameter dan tinggi pohon. Data faktor ekologi (fisik, biotik, lingkungan) diperoleh dengan mengukur: 1) Kondisi fisik dan kimia tanah; 2) Suhu udara; 3)
15 Kelembapan udara relatif; 4) Intensitas Cahaya; 5) Kecepatan angin. Data faktor ekologi (fisik, biotik, lingkungan) dianalisis dengan Canonical Correspondence Analysis (CCA) menggunakan software PAST v2. Pola kelimpahan, distribusi dan asosiasi A. decurrens dianalisis dengan ordinasi (Non-Metric Multidimensional Scaling/NMDS) menggunakan software ekologi PRIMER v5 (Clarke & Gorley 2005). Uji Daya Tahan dan Viabilitas Biji A. decurrens Percobaan terdiri atas tiga rangkaian percobaan. Percobaan I adalah penentuan suhu air dan intensitas perendaman biji A. decurrens. Percobaan II adalah perlakuan kimiawi menggunakan larutan KNO3 terhadap biji A. decurrens. Percobaan III adalah pengaruh pemanasan dan konsentrasi Novelgro yang optimum terhadap perkecambahan biji A. decurrens. Percobaan ini dilaksanakan untuk menguji daya tahan dan viabilitas biji A. decurrens. Percobaan dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Percobaan suhu kombinasi lama perendaman biji. Percobaan dilaksanakan berdasarkanrancangan acak lengkap (RAL) faktorial yang terdiri atas dua perlakuan. Faktor pertama suhu air terdiri atas lima taraf yaitu P0: suhu air tanpa pemanasan (27 °C), P1: suhu air awal 40 °C, P2: suhu air awal 60 °C, P3: suhu air awal 80 °C, dan P4: suhu air awal 100 °C. Faktor kedua, intensitas perendaman terdiri atas tiga taraf yaitu: I1: 1 jam (satu kali perendaman selama 1 jam), I2: 2 jam (dua kali perendaman dengan masingmasing perendaman dilakukan selama 1 jam), dan I3: 4 jam (empat kali perendaman dengan masing-masing perendaman dilakukan selama 1 jam). Tiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak lima kali. 2. Percobaan konsentrasi KNO3 dan lama perendaman biji. Percobaan dilaksanakanrancangan acak lengkap (RAL) faktorial yang terdiri atas dua perlakuan. Faktor pertama konsentrasi KNO3 terdiri atas lima taraf yaitu K0: konsentrasi 0 % (kontrol), K1: konsentrasi 0.2 %, K2: konsentrasi 0.5 %, K3: konsentrasi 1 %, dan K4: konsentrasi 2 %. Faktor kedua, intensitas perendaman terdiri atas empat taraf yaitu: I1: 1 jam, I2: 2 jam, dan I3: 4 jam. Tiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak lima kali. 3. Percobaan suhu pemanasan dan konsentrasi larutan novelgro. Percobaan ini dilaksanakan berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial yang terdiri atas dua perlakuan. Faktor pertama suhu pemanasan langsung terdiri atas 3 taraf yaitu S1: pemanasan 40°C, S2: pemanasan 60 °C, S3: pemanasan 80 °C. Faktor kedua, konsentrasi perendaman novelgro terdiri atas empat taraf yaitu : N1: 0.5 ml novelgro per 1 liter air, N2: 1 ml novelgro per 1 liter air, N3: 2 ml, dan N4: 4 ml novelgro per 1 liter air. Tiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak lima kali. Penghambatan Perkecambahan Biji A. decurrens Percobaan terdiri atas tiga rangkaian percobaan. Percobaan I adalah penentuan suhu air dan intensitas perendaman biji A. decurrens. Percobaan II adalah perlakuan kimiawi menggunakan larutan KNO3 terhadap biji A. decurrens. Percobaan III adalah pengaruh pemanasan dan konsentrasi Novelgro yang optimum terhadap perkecambahan biji A. decurrens.
16 Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengujian perlakuan perkecambahan biji A. decurrens adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial. Perlakuan terdiri dari dua jenis alelopati (alang-alang dan pegagan) yang masingmasing terdiri dari lima konsentrasi yaitu 25 %, 50 %, 75 %, dan 100 % diulang sebanyak 5 kali. Biji yang digunakan berasal dari lapangan dan bersifat homogen berdasarkan ukuran dan berat yang relatif sama. Selanjutnya biji-biji yang terpilih dilakukan skarifikasi secara fisik yaitu direndam dengan air panas (60 °C) kemudian dibiarkan dalam keadaan terendam selama 1 jam. Biji dikecambahkan dalam cawan petri yang telah dilapisi kertas merang, setiap cawan petri berisi 15 biji A. decurrens. Penyiraman dilakukan setiap hari, volume penyiraman 5 ml untuk setiap perlakuan alelopati. Pengamatan dan Analisis Data Pengamatan terhadap kecambah biji A. decurrens dilakukan setiap hari selama 15 hari. Pengamatan meliputi kecambah normal, abnormal, dan dorman. Parameter yang diuji pada percobaan ini adalah: 1. Potensi tumbuh maksimal (PTM) Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah biji yang berkecambah hingga akhir waktu pengamatan (hari ke-15). Potensi tumbuh maksimum dihitung menggunakan rumus: Total biji yang berkecambah PTM % = × 100 % Jumlah biji yang dikecambahkan
2. Daya berkecambah (%) Daya berkecambah (DB) benih dihitung berdasarkan persentase kecambah normal (KN) pada hari ke tujuh (I) dan ke lima belas (II). Daya berkecambah dihitung dengan rumus: Σ KN I + Σ KN II DB % = Jumlah biji yang dikecambahkan × 100 % 3. Kecepatan tumbuh (KcT) Pengamatan dimulai saat 1 hari setelah benih ditanam hingga 15 hari setelah tanam. Kecepatan tumbuh (KcT) dihitung menggunakan rumus: 𝑁1 𝑁2 𝑁𝑛 KCT = 𝑊1 + 𝑊2 + ⋯ + 𝑊𝑛 Keterangan: Nn = banyak kecambah hari ke-n (n= 1, 2, dan seterusnya) Wn = etmal (24 jam) hari ke-n (n = 1, 2, 3, dan seterusnya) Pengaruh perlakuan diuji secara statistik melalui uji ANOVA, dan jika terdapat perbedaan antar perlakuan maka akan dilakukan uji lanjut DUNCAN dengan menggunakan software SPSS 19 Inc. Penghambatan Pertumbuhan Tanaman A. decurrens Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengujian perlakuan perkecambahan biji A. decurrens adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial. Perlakuan terdiri dari dua jenis alelopati (alang-alang dan pegagan), dan masingmasing perlakuan terdiri dari 5 konsentrasi yaitu 0 % sebagai kontrol, 25 %, 50 %, 75 %, dan 100 %. Setiap perlakuan diulang sebanyak 10 kali. Biji A. decurrens disemai dalam tray persemaian. Media persemaian yang digunakan adalah tanah yang dicampur dengan arang sekam. Penyiraman dilakukan setiap hari. Persemaian biji dilakukan selama 4 minggu. Bibit A.
17 decurrens yang berumur 4 minggu kemudian dipindah tanam ke dalam polybag yang telah diiisi dengan media tanam. Satu polybag berisi satu bibit A. decurrens. Bibit A. decurrens di aklimatisasi selama 7 minggu sebelum perlakuan pemberian ekstrak alelopati. Kegiatan pemeliharaan tanaman dilakukan dengan cara penyiraman dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Penyiraman dilakukan setiap hari yaitu pagi hari sebanyak 250 ml/polybag. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara manual dan kimiawi. Pengendalian kutu putih dilakukan dengan penyemprotan insektisida berbahan aktif Deltamethrin 25 g/L dengan konsentrasi 1 ml/L ke bagian daun. Pemeliharaan secara kimiawi juga dilaksanakan dengan pemberian pupuk daun (Gandasil D) dilakukan setiap minggu dengan konsentrasi 2 g/L. Pembuatan larutan ekstrak alang-alang dan pegagan dilakukan dengan cara mengeringkan seluruh bagian tumbuhan menggunakan oven pada suhu 80 oC selama dua hari. Setelah kering kemudian alang-alang dan pegagan dihaluskan hingga menyerupai tepung kemudian ditimbang sesuai dengan perlakuan konsentrasi. Ekstrak tersebut direndam dengan aquades selama 24 jam. Kemudian dilakukan penyaringan dan air hasil saringan tersebut digunakan sebagai larutan ekstrak dalam perlakuan (Guntoro 2003). Pemberian ekstrak gulma dilakukan dengan cara menyiramkan larutan tersebut setiap hari sebanyak 50 ml/polybag ke media tanam pada saat bibit berumur 8 minggu. Peubah yang diamati antara lain: 1. Tinggi tanaman (cm), diukur dari permukaan tanah sampai titik tumbuh tertinggi dari cabang utama. Pengamatan dilakukan setiap minggu mulai dari 8 sampai dengan 16 MST. 2. Jumlah daun (helai), dihitung dari daun yang telah membuka sempurna. Pengamatan dilakukan setiap minggu mulai dari 8 sampai dengan 16 MST. 3. Bobot kering tanaman (g), dilakukan dengan cara menimbang seluruh bagian tanaman yang dioven pada suhu 80 oC selama 48 jam. Pengaruh perlakuan diuji secara statistik melalui uji ANOVA, dan jika terdapat perbedaan antar perlakuan maka akan dilakukan uji lanjut DUNCAN dengan menggunakan software SPSS 19 Inc. Pengendalian A. decurrens melalui ekstrak alelopati Percobaan dilakukan pada 25 plot pengamatan dengan ukuran 10 × 10 m. Jumlah pohon perlakuan tiap plot adalah 10 pohon. Plot 1–5 merupakan plot dengan perlakuan pengelupasan kulit batang tanpa pemberian ekstrak alelopati, plot 6–10 merupakan plot dengan perlakuan pengelupasan kulit batang dengan pemberian ekstrak alelopati konsentrasi daun 100 %, plot 11–15 merupakan plot dengan perlakuan pengelupasan kulit batang dengan pemberian ekstrak alelopati daun konsentrasi 50 %, 16–20 merupakan plot dengan perlakuan pengelupasan kulit batang dengan pemberian ekstrak alelopati konsentrasi akar 100 %, plot 21– 25 merupakan plot dengan perlakuan pengelupasan kulit batang dengan pemberian ekstrak alelopati akar konsentrasi 50 %. Pembuatan larutan ekstrak ekstrak alang-alang dilakukan dengan cara ekstraksi basah. Tumbuhan alangalang yang diperoleh dari lokasi penelitian dibersihkan kemudian dipisahkan bagian daun dan rimpang. Ektraksi bagian tumbuhan dibagi menjadi dua konsentrasi, yaitu 250 gr/L aquades (konsentrasi 100%) dan 125 gr/L aquades.
18 Rancangan acak kelompok (RAK) digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan alelopati (AL) alang-alang dengan perlakuan pengelupasan kulit batang pohon A. decurrens. Faktor yang dimaksud adalah 5 taraf yaitu: Al 1 (Kupas tanpa alelopati), Al 2 (Alelopati daun konsentrasi 100 %), Al 3 (Alelopati daun konsentrasi 50%), Al 4 (Alelopati rimpang konsentrasi 100 %), Al 5 (Alelopati rimpang konsentrasi 50 %). Teknik pengendalian mekanik dilakukan dengan cara mengelupas kulit batang sepanjang 30 cm dengan jarak dari tanah adalah 1 m. Kulit batang yang telah dikelupas selanjutnya dibalut dengan kain kasa yang telah direndam terlebih dahulu dengan zat alelopati. Penmberian ekstrak dilakukan pada permukaan kain kasa dua kali dalam seminggu pengamatan. Pengamatan efektivitas pemberian zat alelopati pada tumbuhan asing invasif A. decurrens dengan perlakuan pengelupasan kulit batang dilakukan setiap minggu untuk melihat kondisi pohon percobaan dan jumlah pohon yang mati setiap minggu. Pengamatan ini selama 15 minggu. Parameter yang diuji pada percobaan ini adalah: 1. Derajat Kematian Pohon Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah pohon yang mati hingga akhir waktu pengamatan. Derajat kematian dihitung dengan rumus: Jumlah Pohon Mati DK % = Jumlah pohon uji × 100% 2. Kecepatan Kematian Pohon Pengamatan dimulai pada minggu pertama setelah pemberian ekstrak hingga minggu ke lima belas. Kecepatan kematian pohon dihitung menggunakan rumus: 𝐾1 𝐾2 𝐾𝑛 KCK = 𝑊1 + 𝑊2 + ⋯ + 𝑊𝑛 Keterangan: Kn = banyak phon mati minggu ke-n (n= 1, 2, dan seterusnya) Wn = etmal (1 minggu) minggu ke-n (n = 1, 2, 3, dan seterusnya)
Pengaruh perlakuan diuji secara statistik melalui uji ANOVA, dan jika terdapat perbedaan antar perlakuan maka akan dilakukan uji lanjut DUNCAN dengan menggunakan software SPSS 19 Inc. Analisis Risiko Tumbuhan Asing Invasif di Taman Nasional Gunung Merapi Analisis risiko tumbuhan asing invasif dilakukan dengan metode skoring (Lampiran 1). Teknik analisis risiko tersebut merupakan pengembangan model analisis oleh Heibert & Stubbendieck (1993); Virtue (2010) kemudian dimodifikasi oleh Tjitrosoedirjo (2015) untuk disesuaikan dengan kondisi lingkungan di Indonesia. Analisis risiko mencakup analisa: 1) Nilai Risiko Tumbuhan Invasif; 2) Fisibilitas Pengelolaan; 3) Rekomendasi Prioritas. Berdasarkan studi lapangan diperoleh beberapa spesies yang dianggap berpotensi sebagai tumbuhan invasif. Spesies tersebut adalah Acacia decurrens, Pennisetum macrostchyum, Ageratum conyzoides, Chromolena odorata, Imperata cylindrica, dan Wedelia trilobatata.
19 Penilaian risiko tumbuhan invasif dibagi menjadi: 1. Keinvasifan (K), nilai total yang diperoleh pada tabel skoring dibagi 15 kemudian dikalikan dengan 10 hasilnya dibulatkan menjadi satu angka desimal. 2. Dampak (D), nilai total dari tabel skoring dibagi 19 dikalikan dengan 10 dibulatkan menjadi satu angka desimal. 3. Potensi Distribusi (PD), nilai total dari tabel skorsing Nilai Risiko Tumbuhan Invasif = K × D × PD Indeks risiko tumbuhan invasif dikategorikan berdasarkan nilai risiko masing-masing spesies. Nilai risiko menunjukkan potensi dampak yang ditimbulkan oleh tumbuhan invasif (Tabel 1). Tabel 1 Kategori risiko tumbuhan invasif Nilai Risiko >192 101 – 192 39 – 100 13 – 38 <13
Risiko Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Abaikan
Fisibilitas pengelolaan dibagi menjadi tiga kriteria utama, yaitu: 1. Biaya pengendalian (B), nilai total yang diperoleh pada tabel skoring dibagi 15 kemudian dikalikan dengan 10 hasilnya dibulatkan menjadi satu angka desimal. 2. Distribusi Tumbuhan Invasif (DTI), nilai total yang diperoleh pada tabel skoring dibagi 12 kemudian dikalikan dengan 10 hasilnya dibulatkan menjadi satu angka desimal. 3. Persistensi Pengendalian (P), nilai total yang diperoleh pada tabel skoring dibagi 11 kemudian dikalikan dengan 10 hasilnya dibulatkan menjadi satu angka desimal. Fisibilitas Pengelolaan = B × DTI × P Fisibilitas pengelolaan tumbuhan invasif menunjukkan kemungkinan atau peluang pengendalian. Semakin tinggi nilai fisibilitas maka pengendalian terhadap tumbuhan invasif tidak berarti atau tidak berdampak secara signifikan (Tabel 2). Tabel 2 Kategori fisibilitas pengelolaan tumbuhan invasif Nilai Fisibilitas >113 56 – 112 31 – 55 14 – 30 <14
Fisibilitas Tidak Bearti Rendah Medium Tinggi Sangat Tinggi
20
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Persebaran Tumbuhan Asing Invasif dan Autekologi Acacia decurrens Pasca Erupsi Gunung Merapi Hasil penelitian vegetasi tumbuhan di tiga lokasi (Cangkringan, Kemalang dan Selo) pada 3 zona ketinggian teridentifikasi sebanyak 53 spesies dari 26 famili tumbuhan. Hasil penelitian menunjukan bahwa lokasi yang terkena dampak erupsi gunung Merapi memiliki jumlah famili yang rendah (Cangkringan memiliki 16 famili tumbuhan dan Kemalang memiliki 10 famili tumbuhan) dibandingkan dengan lokasi tiddak terkena dampak erupsi (Selomemiliki 20 famili tumbuhan) (Gambar 4). Jumlah Spesies
Jumlah Famili
33
35
31
30 30
27
26
26
30
26
25 20 20
16
19
15
13
15
18
10
10
11
10
10 5
0 1
2 Cangkringan
3
1
2 Kemalang
3
1
2
3
Selo
Gambar 4 Jumlah famili dan spesies tumbuhan di TNGM pada tiga zona ketinggian. Zona 1 (800–1100 m dpl); Zona 2 (1100–1400 m dpl); Zona 3 (>1400 m dpl). Keanekaragaman tumbuhan bawah berdasarkan Indeks Shannon Wienner (H’) pada resort Cangkringan (2.8) dan Kemalang (2.6) lebih tinggi dibandingkan dengan resort Selo (2.2). Keanekaragaman tumbuhan fase pancang dan tiang resort Selo (2.02 dan 0.99) lebih tinggi dibandingkan dengan resort Cangkringan (0.55 dan 1.00 ) dan Kemalang (1.45 dan 1.47) (Gambar 5). Indeks kemerataan Evennes (E) menunjukkan bahwa kemerataan tumbuhan bawah resort Cangkringan (0.88) dan Kemalang (0.90) lebih stabil dibandingkan dengan resort Selo (1.0), berbeda dengan tingkat pancang dan tiang kemerataan spesies tumbuhan lebih rendah di resort Cangkringan (0.88 dan 0.87) dan Kemalang (0.97 dan 0.97) dibandingkan dengan Selo (1.0 dan 0.90) (Gambar 5). Nilai Indeks dominansi spesies (D) tumbuhan bawah di Resort Cangkringan (0.91), Kemalang (0.89) dan Selo (0.82) menunjukkan bahwa tidak terdapat spesies tertentu yang menguasai pada komunitas tersebut. Vegetasi tingkat tumbuhan pancang dan tiang di resort Cangkringan menunjukkan nilai dominansi (D) yang rendah yaitu 0.72 dan 0.60 dibandingkan dengan Resort Selo yaitu 0.75 dan 0.84 (Gambar 5).
Indeks Shannon Wienner (H')
21 2.8 2.4 2.0 1.6 1.2 0.8 0.4 0.0 1.20
Indeks Evennes
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
Indeks Dominansi (D)
1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 1
2
3
Tumbuhan Bawah
1
2 Pancang Vegetasi
3
1
2
3
Tiang
Gambar 5 Indeks keanekaragaman, Indeks kemerataan spesies dan Indeks dominansi di lokasi Cangkringan ( ), Kemalang ( ), dan Selo ( ) pada tiga zona ketinggian yaitu zona bawah (800–1100 m dpl), zona tengah (1100–1300 m dpl), zona atas (> 1300 m dpl).
22 Perbedaan lokasi dan ketinggian berpengaruh terhadap komposisi vegetasi tumbuhan. Vegetasi spesies tumbuhan bawah semakin berkurang seiring bertambahnya ketinggian. Resort Cangkringan memiliki jumlah spesies tumbuhan bawah paling tinggi yaitu 28 spesies tumbuhan dibandingkan dengan Kemalang 25 spesies dan Selo 18 spesies. Lokasi Cangkringan dan memiliki jumlah spesies tumbuhan dan tiang yang lebih rendah yaitu 3 spesies tumbuhan pancang dan 3 spesies tumbuhan tiang dibandingkan dengan resort Selo terdapat 8 spesies tumbuhan pancang dan 11 spesies tumbuhan tiang (Gambar 6). Jumlah Spesies Tumbuhan Bawah
30 25 20 15 10 5 0
Jumlah Spesies Tumbuhan Pancang
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Jumlah Spesies Tumbuhan Tiang
12 10 8 6 4 2 0 Zona 1
Zona 2
Zona 3
Gambar 6 Jumlah spesies tumbuhan bawah, pancang dan tiang di lokasi Cangkringan ( ), Kemalang ( ), dan Selo ( ) pada tiga zona ketinggian yaitu zona bawah (800–1100 m dpl), zona tengah (1100– 1300 m dpl), zona atas (> 1300 m dpl).
23 Struktur dan Komposisi Vegetasi Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa vegetasi tumbuhan bawah di Cangkringan pada tiga zona ketinggian didominasi oleh Imperata cilyndrica (Poaceae), Centella asiatica (Apiaceae), Impatiens platypetala (Balsaminaceae). Resort Cangkringan didominasi oleh tumbuhan pancang dan tiang spesies A. decurrens (Fabaceae). Pola distribusi tumbuhan (MR) di resort Cangkringan menunjukkan tumbuhan secara umum tersebar mengelompok (Tabel 3–5, Lampiran 2–4). Tabel 3 Komposisi spesies tumbuhan bawah di resort Cangkringan pada tiga zona ketinggian FAMILI
NAMA TUMBUHAN
INP (%)
Indeks Morisita
1
2
3
1
2
3
Centella asiatica
14.46
19.46
13.59
M
M
S
Ageratum conyzoides
4.59
7.88
11.88
M
M
M
Bidens biternata
10.64
6.32
8.85
M
M
M
Chromolena odorata
8.54
1.18
7.00
M
M
M
Elephantopus scaber
6.97
10.92
6.14
M
M
M
Emilia sonchifolia
4.30
10.92
7.11
M
M
M
Erigeron sumatrensis
10.33
0.00
8.39
M
M
M
Eupatorium inulifolium
5.46
13.70
4.37
M
M
M
Eupatorium triplinerve
1.78
5.39
3.35
M
M
M
Gynura crepidioides
1.35
7.60
4.83
M
M
M
Sida rhombifolia
1.07
5.29
0.86
M
M
M
Synedrella nodiflora
10.07
0.00
8.26
M
M
M
Tithonia diversifolia
1.07
1.09
0.86
M
M
M
Tridax procumbens
3.15
2.08
11.24
M
M
M
Wedelia trilobatata
9.84
3.45
8.23
M
M
M
Balsaminaceae
Impatiens platypetala
11.63
12.05
13.01
M
M
M
Cyperaceae
Cyperus rotundus
3.86
3.73
3.14
M
M
M
Fabaceae
Mimosa pudica
10.14
0.00
8.23
M
M
M
Gleicheniaceae
Gleichenia longissima
5.39
3.73
4.40
M
S
M
Melastomataceae
Melastoma malabatrhium
1.97
0.00
6.76
M
M
S
Oxalidaceae
Oxalis corniculata
7.13
4.67
0.00
M
M
M
Imperata cilyndrica
31.19
59.85
26.59
M
A
M
Pennisetum macrostachyum
6.85
4.77
5.68
M
M
M
Polygalaceae
Polygala paniculata
11.87
1.28
10.11
A
M
A
Rosaceae
Rubus chrysophyllus
1.97
1.56
1.99
M
M
M
Silaginellaceae
Selaginella kraussiana
3.93
0.00
3.11
M
M
M
Lantana camara
5.48
6.53
4.48
M
M
M
Apiaceae
Asteraceae
Poaceae
Verbenaceae
Stachytarpheta jamaicensis 2.51 2.46 2.04 M M M Keterangan: INP: Indeks Nilai Penting; MR: 1: Zona bawah (8000–1100 m dpl); 2: Zona tengah (1100–1400 m dpl); 3: Zona atas (1400–1700 m dpl). A: Acak; M: Mengelompok; S: Seragam
24 Tabel 4 Komposis spesies tumbuhan fase pancang di resort Cangkringan pada tiga zona ketinggian FAMILI
Fabaceae
Keterangan:
NAMA TUMBUHAN
INP (%)
Indeks Morisita
1
2
3
1
2
3
Acacia decurrens
80.84
146.00
84.00
M
M
M
Erythrina variegata
57.82
0.00
35.05
M
M
M
Paraserianthes falcataria
23.19
0.00
79.62
M
M
S
Schima wallichi 0.00 54.00 0.00 M INP: Indeks Nilai Penting; MR: 1: Zona bawah (8000–1100 m dpl); 2: Zona tengah (1100–1400 m dpl); 3: Zona atas (1400–1700 m dpl). A: Acak; M: Mengelompok; S: Seragam
Tabel 5 Komposisi spesies tumbuhan fase tiang di resort Cangkringan pada tiga zona ketinggian FAMILI
Fabaceae
NAMA TUMBUHAN
INP (%)
Indeks Morisita
1
2
3
1
2
3
Acacia decurrens
199.14
209.31
180.67
A
A
A
Erythrina variegata
32.09
20.61
24.61
M
M
M
Paraserianthes falcataria 15.75 15.68 40.28 M M M Keterangan: INP: Indeks Nilai Penting; MR: 1: Zona bawah (8000–1100 m dpl); 2: Zona tengah (1100–1400 m dpl); 3: Zona atas (1400–1700 m dpl). A: Acak; M: Mengelompok; S: Seragam
Vegetasi tumbuhan bawah di resort Kemalang pada tiga zona ketinggian didominasi oleh spesies Imperata cilyndrica (Poaceae), Centella asiatica (Apiaceae), Impatiens platypetala (Blasaminaceae) dan Emilia sonchifolia (Asteraceae). Tumbuhan tingkat pancang dan tiang atau pohon di resort Kemalang berdasarkan INP didominasi oleh A. decurrens (Fabaceae) (Tabel 6–8, Lampiran 5–7). Vegetasi tingkat tiang atau pohon hanya satu spesies yang terindentifikasi dan tumbuh di lokasi tersebut.
25 Tabel 6 Komposisi spesies tumbuhan tumbuhan bawah di resort Kemalang pada tiga zona ketinggian FAMILI
NAMA TUMBUHAN
Apiaceae
Asteraceae
Balsaminaceae Gleicheniaceae Melastomataceae
INP (%)
Indeks Morisita
1
2
3
1
2
3
Centella asiatica
25.82
26.01
13.76
M
M
M
Ageratum conyzoides Bidens biternata Chromolena odorata Emilia sonchifolia Erigeron sumatrensis Eupatorium riparium Gynura crepidioides Polygala paniculata Sida rhombifolia Stachytarpheta jamaicensis
12.57 5.88 10.02 10.72 9.2 12.24 6.43 3.78 9.95 8.76
14.38 6.09 12.91 11.75 6.53 3.54 8.76 0 0 7.46
9.88 1.84 15.6 22.39 8.1 11.91 0 0 0 7.37
M M M M M M M M M M
M M M M M M M
A M A A M A
Wedelia trilobatata Impatiens platypetala Gleichenia longissima Melastoma malabatrhium
2.58 12.76 0 11.58
0 16.77 7.84 3.54
0 15.11 0 4.16
M M A M
-
-
A
M
-
-
M A M
M
M
Selaginella kraussiana 8.46 6.49 11.04 M M Oxalis corniculata 9.01 6.78 0 M A Imperata cilyndrica 28.01 13.62 15.6 S M M Poaceae Pennisetum purpureum 0 38.04 39.18 A S A Verbenaceae Lantana camara 8.2 9.24 0 A M Keterangan: INP: Indeks Nilai Penting; MR: 1: Zona bawah (8000–1100 m dpl); 2: Zona tengah (1100–1400 m dpl); 3: Zona atas (1400–1700 m dpl). A: Acak; M: Mengelompok; S: Seragam Mimosaceae Oxalidaceae
Tabel 7 Komposisi spesies tumbuhan fase pancang di resort Kemalang pada tiga zona ketinggian FAMILI Fabaceae
NAMA TUMBUHAN Acacia decurrens
INP (%) 200
155.13
Indeks Morisita 286.55
A
M
M
Keterangan: INP: Indeks Nilai Penting; MR: 1: Zona bawah (8000–1100 m dpl); 2: Zona tengah (1100–1400 m dpl); 3: Zona atas (1400–1700 m dpl). A: Acak; M: Mengelompok; S: Seragam
Tabel 8 Komposisi spesies tumbuhan fase tiang di resort Kemalang pada tiga zona ketinggian FAMILI Fabaceae
NAMA TUMBUHAN Acacia decurrens
INP (%) 222
149.15
Indeks Morisita 146.79
A
M
M
Keterangan: INP: Indeks Nilai Penting; MR: 1: Zona bawah (8000–1100 m dpl); 2: Zona tengah (1100–1400 m dpl); 3: Zona atas (1400–1700 m dpl). A: Acak; M: Mengelompok; S: Seragam
26 Vegetasi tingkat tumbuhan bawah di resort Selo pada tiga zona ketinggian didominasi oleh C. asiatica (Apiaceae), C. odorata (Asteraceae), E.riparium (Asteraceae), P. purpureum (Poaceae), Pogonaterum sp. (Poaceae). Vegetasi tingkat pancang dan tiang atau pohon di resort Selo didominasi oleh A. decurrens (Fabaceae), V. varingifolium (Ericaceae), dan A. lophanta (Fabaceae) (Tabel 9– 11, Lampiran 8–10). Komunitas tumbuhan resort Selo lebih beragaman dibandingkan dengan resort Cangkringan dan Kemalang. Tabel 9
Komposisi spesies tumbuhan tumbuhan bawah di resort Selo pada tiga zona ketinggian
INP (%) Indeks Morisita 1 2 3 1 2 3 Apiaceae Foeniculum vulgare 5.05 0.00 M 0.00 Anaphalis javanica 6.32 10.50 16.21 S M M Anaphalis longifolia 3.79 11.31 9.96 S M M Athyrium sp. 7.34 0.00 M 0.00 Chromolena odorata 5.93 0.00 M 0.00 Asteraceae Erigeron sumatrensis 5.51 9.84 6.62 M M M Eupatorium riparium 21.34 9.36 8.49 M M M Indigofera cassiodes 4.40 0.00 M 0.00 Lactuca sativa 4.25 6.07 4.25 M M Athyriaceae Athyrium sp. 6.07 0.00 M 0.00 Balsaminaceae Impatiens platypetala 12.16 16.16 19.20 M M M Fabaceae Indigofera cassiodes 4.40 0.00 0.00 M Asteraceae Chromolena odorata 5.93 9.03 27.02 M A M Melastomataceae Melastoma malabatrhium 5.97 3.44 5.15 M M M Oxalidaceae Oxalis corniculata 12.38 0.00 0.00 M Pennisetum purpureum 42.09 59.80 50.56 M A A Poaceae Pogonaterum sp. 10.70 25.40 31.00 M M M Rubus chrysophyllus 2.83 3.44 4.78 M M M Rosaceae Rubus plicatus 4.55 5.24 7.72 M M M Verbenaceae Lantana camara 7.08 5.90 11.43 M M M Keterangan: INP: Indeks Nilai Penting; MR: 1: Zona bawah (8000 – 1100 m dpl); 2: Zona tengah (1100 – 1400 m dpl); 3: Zona atas (1400 – 1700 m dpl). A: Acak; M: Mengelompok; S: Seragam. FAMILI
NAMA TUMBUHAN
27 Tabel 10 Komposisi spesies tumbuhan fase pancang di resort Selo pada tiga zona ketinggian INP (%) Indeks Morisita 1 2 3 1 2 3 Acacia decurrens 33.67 42.51 58.67 A A A Fabaceae Albizia lophanta 37.90 30.38 37.90 M M Erythrina lithosperma 27.29 30.95 36.00 M S M Meliaceae Toona sureni 16.52 8.13 0.00 M M Chinchona succirubra 22.90 11.69 0.00 M M Rubiaceae Chinchona succirubra 0.00 0.00 11.69 M Sapindaceae Dodonea viscosa 14.52 0.00 14.52 A Theaceae Schima wallichii 21.90 12.69 21.90 M M Keterangan: INP: Indeks Nilai Penting; MR: 1: Zona bawah (8000–1100 m dpl); 2: Zona tengah (1100–1400 m dpl); 3: Zona atas (1400–1700 m dpl). A: Acak; M: Mengelompok; S: Seragam FAMILI
NAMA TUMBUHAN
Tabel 11. Komposisi spesies tumbuhan fase tiang di resort Selo pada tiga zona ketinggian INP (%) Indeks Morisita 1 2 3 1 2 3 Casuarinaceae Casuarina junghuhniana 22.59 20.77 27.29 M M M Cupressaceae Cupresses montana 15.83 7.88 12.43 M M M Ericaceae Vaccinium varingifolium 28.68 51.45 49.04 M M M Acacia decurrens 58.65 55.09 127.04 M M A Fabaceae Albizia lophanta 50.86 43.02 26.52 M M M Erythrina lithosperma 29.70 27.61 0.00 M M Meliaceae Toona sureni 7.63 0.00 M 0.00 Myricaceae Myrica javanica 15.81 0.00 M 0.00 Rubiaceae Chinchona succirubra 13.62 15.04 0.00 M M Sapindaceae Dodonea viscosa 8.29 0.00 0.00 M Theaceae Schima wallichii 39.92 26.22 0.00 M A Keterangan: INP: Indeks Nilai Penting; MR: 1: Zona bawah (8000–1100 m dpl); 2: Zona tengah (1100–1400 m dpl); 3: Zona atas (1400–1700 m dpl). A: Acak; M: Mengelompok; S: Seragam FAMILI
NAMA TUMBUHAN
28 Tumbuhan Asing Invasif di TNGM Berdasarkan Invasive Species Specialist Group (ISSG), CABI serta Guide Book of Invasive Species in Indonesia teridentifikasi spesies tumbuhan yang tergolong Invasive Alien Species (IAS) sebanyak 21 spesies terdiri dari 16 spesies herba, 2 spesies pohon, 2 spesies rumput dan 1 spesies teki (Tabel 12). Tumbuhan yang tergolong IAS tersebar hampir di seluruh lokasi penelitian. Penyebaran tumbuhan IAS lebih mendominasi di daerah yang terkena dampak oleh erupsi gunung Merapi. Tabel 12
Spesies tumbuhan asing invasif di Taman Nasional Gunung Merapi
Famili Apiaceae
Asteraceae
Cyperaceae Fabaceae Melastomataceae Oxalidaceae Poaceae Verbenaceae
Spesies Centella asiatica Ageratum conyzoides Chromolena odorata Eupatorium riparium Eupatorium triplinerve Polygala paniculata Wedelia trilobata Erigeron sumatrensis Thitonia diversifolia Sida rombhifolia Tridax procumben Elephantopus scaber Cyperus rotundus Mimosa pudica Acacia decurrens Albizia lophanta Melastoma malabacthricum Oxalis curniculata Pennisetum purpureum Imperata cylindrica Lantana camara Stachytarpheta jamaicensis
Habitat Asli Asia Amerika Tengah dan Amerika Selatan Amerika Tengah dan Amerika Selatan Amerika Tengah dan Amerika Selatan Amerika Tengah dan Amerika Selatan Amerika Tengah dan Amerika Selatan Amerika Tengah Amerika Tengah Amerika Tengah (Meksiko dan Kuba) Wilayah Tropis Amerika Tengah Amerika (Wilayah Tropis) Afrika dan Eurasia Amerika Tengah dan Amerika Selatan Australia Eropa Asia dan Australia Asia dan Australia Afrika Afrika Asia dan Australia Amerika dan Asia
Hasil pengamatan komposisi vegetasi meperlihatkan bahwa tumbuhan A. decurerns sangat mendominasi dan dikategorikan sebagai tumbuhan invasif. Berdasarkan hasil tersebut maka dilakukan sebuah kajian yang menjelaskan keterkaitan antara invasi A. decurerns dengan faktor lingkungan di kawasan TNGM. Autekologi Hasil ordinasi memperlihatkan bahwa komposisi vegetasi dankelimpahan individu A. decurerns di resort Cangkringan dan Kemalang memiliki pola yang mengelompok (clumped) sedangkan pada resort Selo memiliki pola yang menyebar (scatter). Berdasarkan zona ketinggian setiap lokasi menunjukkan bahwa resort Cangkringan dan Kemalang memiliki kemiripan dari segi komposisi vegetasi yaitu jumlah spesies yang sedikit namun memiliki jumlah individu yang banyak. Hasil ordinasi resort Selo menunjukkan komposisi vegetasi beragam dan jumlah individu yang relatif kecil untuk masing-masing spesies (Gambar 7).
29 Lokasi: C: Cangkringan K: Kemalang S: Selo Zona Ketinggian: 1: 800-1100 m dpl 2: 1100-1300 m dpl 3: 1300-1400 m dpl
Gambar 7 Hasil ordinasi NMDS (2d stress=0,01) komposisi spesies dan kelimpahan A. decurrens. Hasil analisis kluster menunjukkan terdapat tiga kluster asosiasi pada lokasi penelitian. Kluster dengan anggota terbanyak adalah asosiasi antara vegetasi tingkat tiang dengan tumbuhan bawah. A. decurrens berasosiasi positif dengan tumbuhan C. asiatica, E. riparium, I. platypetala, dan P. pupureum. Hasil analisis mengindikasikan bahwa A. decurrens tidak berasosiasi dengan tumbuhan tingkat tiang maupun pohon (Gambar 8).
Gambar 8 Hasil ordinasi NMDS (2d stress=0,01) yang menunjukkan perbedaan kluster asosiasi komunitas tumbuhan di lokasi Resort Cangkringan, Kemalang dan Selo. P: Pohon; H: Herba; R: Rumput. AD: Acacia decurrens; PF: Vaccinium varingifolium: SW: Schima wallichii: AL: Anaphalis longifolia; CA: Centella asiatica; EO: Eupathorium odoratum; ER: Eupathorium riparium; ES: Eupathorium suaviolens; IP: Impatiens platypetala; PPU: Pennisetum purpureum; IC: Imperata cylindrica.
30 Berdasarkan zona ketinggian, suhu udara cenderung rendah berkisar antara 25–28 oC pada zona yang lebih tinggi. resort Kemalang dan Selo memiliki nilai kelembapan udara yang relatif sama yaitu 83–100 %RH. Kecepatan angin di resort Cangkringan (3.47–6.47 km/jam) lebih tinggi dibandingkan dengan resort Kemalang (1.74–6.67 km/jam) dan Selo (1.74–3.47 km/jam). Intensitas cahaya resort Cangkringan berkisar antara 698.53–721.07 lux, resort Kemalang 698.53– 800.00 lux, resort Selo 698.53–700.00 lux. Nilai pH tanah resort Cangkringan berkisar antara 6.05–6.44, resort Kemalang 6.08–7.0, resort Selo 6.0–6.08. Nilai kelembapan tanah tertinggi diperoleh pada resort Cangkringan dan Kemalang yaitu 7.33%, sedangkan nilai terendah diperoleh pada resort Cangkringan dan Selo yaitu 4.27 % (Gambar 9). 105
Kelembapan Udara (%RH)
35 30
Suhu (oC)
25 20 15 10 5
100
0
90 85 80 900
7
800
6
Intensitas cahaya (lux)
Kecepatan angin (km/jam)
95
5 4 3 2
700 600 500 400 300 200
1
100
0
0
8
Kelembapan tanah (%)
7
pH tanah
6 5 4 3 2 1 0 1
2
Zona Ketinggian
Gambar 9
3
8 7 6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
Zona Ketinggian
Faktor lingkungan (abiotik) lokasi Cangkringan ( ), Kemalang ( ), dan Selo ( ) pada tiga zona ketinggian yaitu zona bawah (800–1100 m dpl), zona tengah (1100–1300 m dpl), zona atas (>1300 m dpl).
31 Kandungan kimia tanah di tiga lokasi penelitian memperlihatkan nilai yang realtif sama yaitu K (0.03–0.053 %), Ca (0.539–0.569 %), Mg (0.065–0.099 %), Na (0.168–0.192 %) dan P (0.300–0.424 %). Resort Cangkringan memiliki nilai C (1.54 %) dan N (0.35 %) yang lebih tinggi dibandingkan nilai C (0.25 %) dan N (0.14 %) resort Selo (Tabel 13). Tabel 13 Uji kandungan kimia tanah di lokasi Cangkringan, Kemalang dan Selo. Komponen Uji pH
H2O KCl
K Ca Mg Na P C N
(%)
Cangkringan 7.08 4.85 0.053 0.569 0.099 0.192 0.3 1.54 0.35
Lokasi Kemalang 6.61 4.96 0.03 0.567 0.084 0.156 0.316 1.12 0.26
Selo 6.73 5.12 0.038 0.539 0.065 0.168 0.424 0.25 0.14
Berdasarkan hasil analisis faktor lingkungan, kelimpahan individu atau populasi A. decurrens dipengaruhi oleh faktor cahaya dan suhu. Korelasi positif pada biplot ditunjukkan oleh kedekatan garis antar variabel (Gambar 10). Suhu di ketiga lokasi penelitian berkisar antara 25–30 oC dan nilai intensitas cahaya berkisar antara 700–966 lux.
Gambar 10 Hasil analisis Canonical Correspondence Analysis pengaruh faktor lingkungan di lokasi Cangkringan (C), Kemalang (K), Selo (S) pada tiga zona ketinggian yaitu zona bawah (800–1100 m dpl), zona tengah (1100–1300 m dpl), zona atas (>1300 m dpl). Berdasarkan pengukuran basal area (diameter dan tinggi pohon), diperoleh hasil bahwa diameter batang A. decurrens di Resort Cangkringan dan Kemalang lebih kecil dibandingkan dengan resort Selo (Gambar 11). Diameter pohon di resort Cangkringan berkisar antara 7.96–13.22 cm, resort Kemalang 3.82–11.46 cm, resot Selo 9.55–18.56 cm. Nilai ukuran tinggi pohon di lokasi penelitian berbanding terbalik dengan nilai diameter pohon. Pohon di resort cangkringan dan Kemalang lebih tinggi dibandingkan dengan resort Selo. Tinggi pohon di resort
32 Cangkringan berkisar antara 2.90–4.20 m, resort Kemalang 2.90–3.80 m, resort Selo 3.80–4.90 m. Umur pohon di resort Cangkringan dan Kemalang lebih muda dibandingkan dengan pohon di resort Selo. Pohon yang ada di resort Cangkringan dan Kemalang baru tumbuh setelah erupsi Merapi pada tahun 2010, sedangkan di resort Selo umumnya pohon tersebut telah ada sebelum terjadi erupsi. 20 18
Diameter Batang (cm)
16 14 12 10 8 6 4 2 0
6
Tinggi Pohon (m)
5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Plot Pengamatan
Gambar 11 Rata-rata diameter batang dan tinggi pohon A. decurrens di lokasi Cangkringan ( ), Kemalang ( ), dan Selo ( ).
33 Uji Daya Tahan dan Viabilitas Biji Acacia decurrens (Wendl.) WiIld. Suhu dan Lama Perendaman Biji Perendaman biji A. decurrens pada suhu air yang berbeda memperlihatkan bahwa suhu optimal untuk perkecambahan adalah 60 oC. Waktu perendaman tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perkecambahan. Kombinasi perlakuan suhu air yang dan waktu perendaman yang optimal untuk perkecambahan biji A. decurrens adalah suhu 60 oC selama direndam 4 jam (Tabel 14). Tabel 14 Pengaruh perlakuan perendaman pada suhu dan waktu yang berbeda terhadap perkecambahan biji A. decurrens. Suhu (°C) Waktu (Jam) 27 40 60 80 100 1 3.2 a 4.6 a 9.6 b 11.0 b 5.6 ab 2 4.6 a 6.4 ab 11.4 c 8.4 b 2.0 a a ab c ab 4 2.8 6.8 12.4 5.6 2.0 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Duncan’s multiple range test (DMRT).
DB (%)
Perlakuan suhu 60 °C selama 4 jam perendaman menunjukkan nilai daya berkecambah (DB) tertinggi sedangkan perlakuan suhu 100 °C selama 2 dan 4 jam perendaman menunjukkan nilai DB terendah (Gambar 12). Nilai daya kecambah menunjukkan bahwa daya kecambah dipengaruhi oleh suhu air. Waktu perendaman juga berpengaruh terhadap daya perkecambahan. Semakin lama waktu perendaman semakin tinggi daya perkecambahan pada suhu optimum. 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 27
40
60
80
100
Suhu (OC)
Gambar 12 Daya berkecambah (DB%) biji A. decurrens dengan perlakuan perendaman selama 1 jam ( ), 2 jam ( ), dan 4 jam ( ). Kecepatan tumbuh kecambah (KcT) dihitung sebagai akumulasi kecepatan tumbuh biji dalam satuan waktu. Benih vigor menunjukkan nilai kecepatan tumbuh yang tinggi yang berarti kemampuan untuk berkecambah relatif lebih cepat. Sebaliknya perkecambahan biji dengan waktu yang lama disebabkan oleh kualitas vigor biji yang rendah. Perendaman biji pada suhu 60 °C selama 4 jam memiliki nilai KcT tertinggi. Nilai KcT cenderung turun pada suhu 80 °C dan waktu perendaman lebih dari 1 jam (Gambar 13).
34 3.5 3.0
KcT (%)
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5
27
40
60
80
100
Suhu (OC)
Gambar 13 Kecepatan tumbuh (KcT %) biji A. decurrens dengan perlakuan perendaman selama 1 jam ( ), 2 jam ( ), dan 4 jam ( ). Hasil uji statistik ANOVA menunjukkan bahwa variabel suhu berpengaruh sangat signifikan (nilai p<0.05), sedangkan variabel waktu berpengaruh tidak nyata (nilai p>0.05), dan interaksi antara suhu dan waktu perendaman berpengaruh signifikan (nilai p<0.01). Hal tersebut menunjukkan bahwa interaksi suhu dan waktu perendaman berpengaruh secara signifikan untuk mematahkan dormansi biji dari A. decurrens. Konsentrasi KNO3 dan Lama Perendaman Biji Waktu perendaman yang optimal terhadap perkecambahan biji A. decurrens adalah 2, 4, 6, dan 12 jam. Konsentrasi KNO3 0.2 % dan 0.4 % meningkatkan perkecambahan biji. Perlakuan perendaman selama 2 jam pada konsentrasi KNO3 0.2 % menunjukkan nilai perkecambahan tertinggi yaitu 12.00. Rata-rata nilai perkecambahan tertinggi adalah perlakuan perendaman pada konsentrasi KNO 3 0.4 %. Nilai perkecambahan terendah diperoleh dari perlakuan perendaman selama 24 jam pada konsentrasi KNO3 2.0 % (Tabel 15). Berdasarkan nilai ratarata perkecambahan, perlakuan kombinasi antara konsentrasi KNO 3 dan waktu perendaman berpengaruh terhadap perkecambahan biji A. decurrens. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa variabel lama perendaman berpengaruh sangat signifikan (nilai p<0.005), variabel konsentrasi KNO3 tidak berpengaruh nyata (nilai p>0.05), dan interaksi antara lama perendaman dan konsentrasi KNO 3 secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata (nilai p<0.01). Hal tersebut menunjukkan bahwa interaksi lama perendaman dan konsentrasi KNO 3 tidak berpengaruh nyata untuk mematahkan dormansi biji dari A. decurrens. Tabel 15
Pengaruh perlakuan perendaman pada berbagai konsentrasi larutan KNO3 terhadap perkecambahan biji A. decurrens
Konsentrasi KNO3 (%) Waktu (Jam) 0.2 0.4 0.8 1.0 2.0 2 12.00 c 10.80 c 10.40 c 9.40 b 10.60 c 4 9.20 b 11.80 c 8.40 b 10.00 c 8.60 b b c c c 6 8.80 10.60 10.00 10.00 9.80 b b b b b 12 9.20 9.80 9.80 8.60 11.60 c 24 9.00 b 8.40 b 6.00 a 6.20 a 4.00 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Duncan’s multiple range test (DMRT).
35
DB (%)
Perlakuan perendaman selama 2 jam pada konsentrasi KNO 3 0.2 % memiliki nilai daya berkecambah (DB %) tertinggi, sedangkan perendaman selama 24 jam pada konsentrasi KNO3 2.0 % memiliki nilai DB terendah (Gambar 14). Waktu perendaman dan konsentrasi KNO3 berpengaruh terhadap daya berkecambah biji A. decurrens. Konsentrasi KNO3 yang optimum untuk meningkatkan daya berkecambah biji adalah 0.4 % dan waktu perendaman yang optimal adalah 2 jam. 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 0.2
0.4
0.8 Kosentrasi KNO3
1
2
Gambar 14 Daya berkecambah (DB %) biji A. decurrens perlakuan perendaman KNO3 selama 2 jam ( ), 4 jam ( ), 6 jam ( ), 12 jam ( ), dan 24 jam ( ) Kecepatan tumbuh (KcT) biji dipengaruhi oleh waktu perendaman dan konsentrasi KNO3. Perlakuan perendaman selama 24 jam pada konsentrasi KNO 3 0.4 % memiliki nilai KcT tertinggi. Semakin tinggi konsentrasi KNO3 maka kecepatan tumbuh biji untuk berkecambah semakin rendah. Waktu perendaman yang optimal untuk meningkatkan kecepatan biji berkecambah adalah 2, 4 dan 6 jam (Gambar 15). 4.0 3.5
KcT (%)
3.0
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0.2
0.4
0.8 Kosentrasi KNO3
1
2
Gambar 15 Kecepatan tumbuh (KcT %) biji A. decurrens perlakuan perendaman KNO3 selama 2 jam ( ), 4 jam ( ), 6 jam ( ), 12 jam ( ), dan 24 jam ( )
36 Suhu Pemanasan Dan Konsentrasi Larutan Novelgro Perlakuan pematahan dormansi biji A. decurrens dengan pemanasan langsung dan konsentrasi novelgro, menunjukkan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu 60 °C dan konsentrasi 1 ml/l, sedangkan nilai terendah pada suhu 40 °C konsentrasi 0.5 ml/l dan suhu 80 °C konsentrasi 4.0 ml/L (Tabel 16). Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa variabel suhu berpengaruh sangat signifikan (nilai p<0.001), variabel konsentrasi berpengaruh sangat signifikan (nilai p<0.05), dan interaksi antara suhu dan konsentrasi berpengaruh signifikan (nilai p<0.05). Interaksi suhu dan konsentrasi berpengaruh secara signifikan untuk memecah dormansi biji dari A. decurrens. Tabel 16 Pengaruh pemanasan langsung dan konsentrasi novelgro terhadap perkecambahan biji A. decurrens. Konsentrasi novelgro (ml/l) Suhu (°) 0.5 1.0 2.0 4.0 40 3.4 a 10.6 c 9.8 b 4.4 a 60 4.0 a 11.6 c 9.2 b 4.8 a a b a 80 4.2 9.2 4.4 4.0 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Duncan’s multiple range test (DMRT).
DB (%)
Perlakuan suhu 60 °C pada konsentrasi novelgro 1 ml/L menunjukkan nilai daya berkecambah (DB %) biji A. decurrens tertinggi sedangkan perlakuan suhu 40 °C konsentrasi 0.5 ml/L menunjukkan nilai DB % terendah. Secara keseluruhan diperoleh hasil bahwa suhu dan konsentrasi novelgro berpengaruh terhadap daya berkecambah biji A. decurrens (Gambar 16). 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 40
60
Suhu
80
(OC)
Gambar 16 Daya berkecambah (DB %) biji A. decurrens kombinasi perlakuan pemanasan langsung dan perendaman dalam larutan novelgro konsentrasi 0.5 ml/L ( ), 1 ml/L ( ), 2 ml/L ( ), dan 4 ml/L ( ). Perlakukan suhu 60 °C pada konsentrasi novelgro 1.0 ml/L menunjukkan nilai kecepatan tumbuh kecambah (KcT) tertinggi sedangkan perlakuan suhu 20 °C pada konsentrasi novelgro 0.5 ml/L menunjukkan nilai terendah. Berdasarkan hasil dari percobaan disimpulkan bahwa nilai KcT dipengaruhi oleh suhu dan konsentrasi novelgro. Hasil percobaan perlakuan pemanasan langsung dikombinasikan dengan novelgro menunjukkan bahwa nilai KcT akan naik seiring bertambahnya suhu dan konsentrasi dan memiliki batas toleransi (Gambar 17).
KcT (%)
37 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 40
60 Suhu (OC)
80
Gambar 17 Kecepatan tumbuh (KcT %) biji A. decurrens kombinasi perlakuan pemanasan langsung dan perendaman dalam larutan novelgro konsentrasi 0.5 ml/L ( ), 1 ml/L ( ), 2 ml/L ( ), dan 4 ml/L ( ). Penghambatan Perkecambahan Biji dan Pertumbuhan A. decurrens (Alternatif Pengendalian) Penghambatan Perkecamban Biji A. decurrens Jenis alelopati yang efektif menghambat perkecambahan biji A. decurrens adalah alelopati C. asiatica. Konsentrasi ekstrak yang paling menghambat perkecambahan A. decurrens adalah 75% dan 100% pada masing-masing jenis alelopati (Tabel 17). Semakin tinggi konsentrasi maka semakin rendah jumlah biji yang berkecambah. Tabel 17 Nilai rata-rata perkecambahan biji A. decurrens perlakuan pemberian ekstrak alelopati Konsentrasi (%) 0 25 50 75 100 d c c c I. cylindrica 13.0 10.8 9.8 9.6 5.8 b C. asiatica 12.2 d 5.4 b 5.0 b 4.8 b 3.2 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Duncan’s multiple range test (DMRT). Ekstrak Alelopati
Pemberian ekstrak alelopati menyebabkan penurunan nilai daya berkecambah (DB %) dan kecepatan tumbuh (KcT %) biji A. decurrens. Nilai DB % dan KcT % terendah diperoleh dari perlakuan pemberian ekstrak C. asiatica dan I. cylindrica konsentrasi 100 %. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak alelopati maka semakin rendah nilai DB % dan KcT % (Gambar 18).
38 120
DB (%)
100 80 60 40 20 0 3.5 3.0
KcT (%)
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
0
25
50
75
100
Konsentrasi Alelopati (%)
Gambar 18 Daya berkecambah (DB %) dan kecepatan tumbuh (KcT %) biji A. decurrens dengan perlakuan pemberian ekstrak I. cylindrica ( ) dan C. asiatiaca ( ). Penghambatan Pertumbuhan Tanaman A. decurrens Berdasarkan hasil percobaan pemberian ekstrak alelopati C. asiatica konsentrasi 100 % efektif menekan pertumbuhan tanaman A. decurrens (Tabel 18). Perlakuan pemberian ekstrak alelopati secara keseluruhan menunjukkan bahwa ekstrak alelopati dapat digunakan untuk menekan pertumbuhan tanaman A. decurrens. Tabel 18. Rekapitulasi uji statistik perlakuan pemberian ekstrak alelopati pada tanaman A. decurrens. Konsentrasi C. asiatica (%) Konsentrasi I. cylindrica (%) Tolok Ukur 25 50 75 100 25 50 75 100 Jumlah Daun ns * * ** ns ns * * Tinggi Tanaman ns * * ** * * * * Bobot Kering Tanaman ns * * ** ns * * ** Keterangan: ns: tidak berpengaruh signifikan; *: berpengaruh signifkan; **: berpengaruh sangat signifikan
Pemberian ekstrak alelopati C. asiatica dan I. cylindrica mampu menekan pertumbuhan tanaman A. decurrens. Pemberian ekstrak C. asiatica konsentrasi 100% paling efektif dalam menekan pertumbuhan tanaman. Semakin tinggi konsentrasi alelopati C. asiatica semakin rendah pertumbuhan daun dan tinggi tanaman A. decurrens (Gambar 18). Pemberian ekstrak alelopati I. cylindrica menunjukkan bahwa konsentrasi 100 % berpengaruh terhadap bobot kering tanaman tanaman (Gambar 19).
39 25%
50%
75%
100%
Jumlah Daun
10 8 6 4 2
Tinggi Tanaman (cm)
0 25 20 15 10 5 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu
Pengaruh pemberian ekstrak alelopati C. asiatica terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman A. decurrens.
Gambar 18.
25%
50%
75%
100%
Jumlah Daun
10 8 6 4
2 0
Tinggi Tanaman (cm)
25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu
Gambar 19.
Pengaruh pemberian ekstrak alelopati I. cylindrica terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman A. decurrens.
40 Jenis dan konsentrasi konsentrasi secara bersama-sama berpengaruh terhadap bobot kering tanaman A. decurrens. Pemberian ekstrak C. asiatica lebih efektif menurunkan bobot kering tanaman dibandingkan ekstrak I. cylindrica (Gambar 20). Secara umum semakin tinggi konsentrasi alelopati yang diberikan ke tanaman A. decurrens, semakin rendah bobot kering tanaman tersebut. Bobot Kering Semai (gr)
120 100 80 60 40 20 0 25
50
75
100
Konsentrasi Alelopati (%)
Gambar 20. Bobot kering tanaman A. decurrens perlakuan pemberian ekstrak alelopatiC. asiatica ( ) dan I. cylindrica ( ) Penggunaan ekstrakI. cylindrica sebagai alternatif pengendalian Nilai rata-rata kematian tumbuhan A. decurrens dipengaruhi oleh konsentrasi ekstrak. Pemberian ekstrak I. cylindrica konsentrasi 100 % dikombinasi dengan perlakuan mekanik memiliki nilai rata-rata kematian yang lebih tinggi (6 pohon) (Tabel 19). Tabel 19 Hasil percobaan alelopati Alang-alang terhadap pertumbuhan semai A. decurrens. Konsentrasi (%) 50 Bagian Rata-rata Kematian Daun 5b 5b Akar 5b 4a Keterangan: Huruf yang samapada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT 5%. Perlakuan
0
100 6c 6c bahwa nilai tidak
Derajat kematian tumbuhan (DK) tertinggi yaitu 88,6 %, diperoleh pada perlakuan alelopati 100% dan nilai terendah yaitu 62,9 % pada perlakuan alelopati 50% akar. Kecepatan kematian (KcK %/etmal) dihitung untuk melihat konsentrasi yang paling cepat memberikan efek terhadap tumbuhan A. decurrens. Pemberian ekstrak I. cylindrica konsentrasi 100 % menunjukkan nilai KcK tertinggi (90%/etmal etmal) yang berarti peluang kematian satu pohon dalam satu minggu sebesar 90%. Pemberian ekstrak daun I. cylindrica konsentrasi 100% paling efektif memberikan efek alelopati dan menghambat pertumbuhan pohon adalah (Gambar 21). Kombinasi perlakuan mekanik dengan ekstrak alelopati daun I. cylindrica lebih efektif untuk digunakan dalam pengendalian A. decurrens.
41
Derajat Kematian (%)
100 80 60 40 20 0
Kecepatan Kematian (%/etmal)
100 90 80 70 60 50 40 30
20 10 0 0
50
100
Konsentrasi
Gambar 21 Derajat kematian (DK %) dan kecepatan kematian (KcK %) A. decurrens perlakuan pemberian ekstrak daun ( ) dan akar ( ) I. cylindrica. Analisis Risiko Tumbuhan Asing Invasif di Taman Nasional Gunung Merapi Analisis risiko dilakukan terhadap 6 spesies tumbuhan asing invasif yang ditemukan di lokasi TNGM. Nilai risiko tumbuhan asing invasif dikategorikan dari diabaikan sampai dengan sangat tinggi. Spesies A. decurrens memiliki risiko invasif sangat tinggi dan dianggap mengganggu ekosistem di kawasan TNGM (Tabel 20). Nilai fisibilitas pengelolaan tumbuhan asing invasif dikategorikan dari rendah hingga medium. Spesies P. macrostachyum memiliki nilai fisibilitas pengelolaan (Tabel 21). Tabel 20 Nilai risiko tumbuhan asing invasif di TNGM Nilai Risiko Spesies
Indeks Risiko
Keinvasifan
Dampak
Potensi Distribusi
Acacia decurrens
7.3
7.8
6
341.6
Pennisetum macrostachyum Ageratum conyzoides Chromolena odorata Imperata cilyndrica Wedeliatrilobata
5.3 6.6 6.0 4.0 4.6
1.0 3.6 4.7 4.7 3.1
0.5 6 6.0 6.0 1.0
1.7 147.3 170.5 113.6 14.7
Kategori Risiko Sangat Tinggi Diabaikan Tinggi Tinggi Tinggi Rendah
42 Tabel 21 Nilai fisibilitas pengelolaan tumbuhan asing invasif di TNGM Nilai Fisibilitas Spesies Acacia decurrens Pennisetum macrostachyum Ageratum conyzoides L. Chromolena odorata Imperata cilyndrica Wedeliatrilobata
Biaya Kontrol 6.0 5.8 4.0 4.6 2.7 4.6
Distribusi
Persistensi
Nilai Fisibilitas
Kategori Fisibilitas
2.5 1.6 2.5 1.5 2.7 2.5
2.8 6.3 4.5 6.3 5.4 3.6
42.0 58.5 45.0 43.5 39.4 41.4
Medium Rendah Medium Medium Medium Medium
Berdasarkan nilai risiko dan fisibilitas pengelolaan tumbuhan asing invasif diperoleh rekomendasi pengelolaan untuk masing-masing spesies. IAS yang diidentifikasi memiliki potensi invasif yang paling besar adalah spesies A. decurrens (Tabel 22 dan 23). Risiko Tumbuhan Invasif Diabaikan <14 Rendah <39 Medium <101
Maktriks rekomendasi pengelolaan tumbuhan asing invasif Rendah >56
Fisibilitas pengelolaan Medium >31
Diabaikan > 113 Aksi Terbatas Aksi Terbatas
Tinggi >14
Tinggi Sekali <14
Aksi Terbatas
Aksi Terbatas
Aksi Terbatas
Monitor
Aksi Terbatas
Aksi Terbatas
Monitor
Monitor
Kelola Situs
Kelola Situs
Kelola Situs
Melindungi Situs
Mencegah Penyebaran
Tinggi <192
Kelola Tumbuhan Invasif
Melindungi Situs
Mencegah Penyebaran
Musnahkan Infestasi
Sangat Tinggi >192
Kelola Tumbuhani Invasif
Kelola Tumbuhan Invasif Lindungi Situs & Kelola Tumbuhan Invasif
Mencegah Penyebaran
Musnahkan Infestasi
Eradikasi
SIAGA
Tabel 22
Tabel 23 Rekomendasi pengelolaan tumbuhan asing invasif di TNGM Spesies Acacia decurrens Pennisetum macrostachyum Ageratum conyzoides L. Chromolena odorata Imperata cilyndrica Wedeliatrilobatata
Kategori Risiko Sangat Tinggi Diabaikan Tinggi Tinggi Tinggi Rendah
Fisibilitas Medium Rendah Medium Medium Medium Medium
Rekomendasi Cegah Penyebaran Aksi Terbatas Lindungi Situs Lindungi Situs Lindungi Situs Aksi Terbatas
43 Pembahasan Persebaran Tumbuhan Asing Invasif dan Autekologi Acacia decurrens (Wendl.) Wild. Pasca Erupsi Gunung Merapi Keanekaragaman vegetasi tumbuhan di Cangkringan, Kemalang dan Selo menunjukkan variasi spesies dan famili tumbuhan. Variasi tersebut dipengaruhi oleh erupsi gunung Merapi. Pemulihan ekosistem pasca erupsi gunung Merapi pada kondisi lahan terbuka sehingga cahaya dapat mencapai permukaan tanah serta kondisi tanah tertutup abu vulkanik yang bersifat asam, sehingga spesies tumbuhan yang dapat tumbuh dan berkembang cepat adalah spesies memiliki daya adaptasi dan toleran terhadap kondisi ekstrim. Berdasarkan indeks kemerataan Evennes terdapat perbedaan kemerataan vegetasi tumbuhan antara resort Cangkringan dan Kemalang dibandingkan dengan resort Selo. Semakin tinggi nilai Indeks E’ keanekaragaman spesies dalam komunitas semakin stabil sedangkan semakin rendah nilai E’ kestabilan keanekaragaman spesies dalam komunitas tersebut semakin rendah (Soerianegara & Indrawan 1998; Odum 1996). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ketinggian lokasi pada kawasan yang terkena dampak erupsi (Cangkringan dan Kemalang) tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies tumbuhan. Hal ini berbeda dengan lokasi yang tidak terkena dampak erupsi (Selo) yang menunjukkan bahwa ketinggian lokasi berpengaruh terhadap komposisi penyusun vegetasi maupun spesies tumbuhan, semakin tinggi lokasi pengambilan sampel vegetasi maka jumlah spesies tumbuhan semakin sedikit. Jumlah spesies semakin berkurang seiring dengan peningkatan ketinggian lokasi disebabkan oleh suhu udara rendah dan jumlah curah hujan yang tinggi serta semakin berkurangnya bahan organik tanah (Homier et al. 2010). Berdasarkan nilai INP diketahui bahwa vegetasi tumbuhan bawah resort Cangkringan dan Kemalang didominasi oleh spesies oleh I. cilyndrica (Poaceae), C. asiatica (Apiaceae), I. platypetala (Balsaminaceae) dan E. sonchifolia (Asteraceae) sedangkan pada resort Selo didominasi oleh C. asiatica (Apiaceae), C. odorata (Asteraceae), E. riparium (Asteraceae), P. purpureum (Poaceae), Pogonaterum sp. (Poaceae). Spesies tumbuhan yang mendominasi pada resort Cangkringan dan Kemalang memperlihatkan bahwa spesies tersebut merupakan tumbuhan yang memiliki daya toleransi yang luas terhadap perubahan kondisi lingkungan pasca erupsi. Vegetasi tingkat pancang dan tiang di lokasi terkena dampak erupsi hampir seragam didominasi oleh spesies A. decurrens. Spesies tersebut telah ada sebelum terjadi erupsi namun masih dalam populasi rendah. Ledakan populasi A. decurrens setelah erupsi terkait oleh kemampuan untuk bertahan dalam kondisi ekstrim dan pertumbuhan yang cepat pada kawasan yang terganggu. Populasi A. decurrens yang tinggi berpengaruh terhadap spesies tumbuhan bawah pada lokasi terinvasi. Nilai kerapatan dan frekuensi relatif yang tinggi menyebabkan penutupan kanopi yang rapat sehingga hanya tumbuhan yang toleran terhadap kondisi minim cahaya yang mampu bertahan. Kelimpahan individu A. decurrens juga memperbesar peluang terjadinya kompetisi intraspesifik maupun interspesifik dalam komunitas tumbuhan di kawasan terinvasi.
44 Pola distribusi spesies tumbuhan berdasarkan Indeks dispersi Morisita pada umumnya memperlihatkan vegetasi tumbuhan yang terdistribusi secara berkelompok. Tumbuhan umumnya hidup mengelompok berkorelasi dengan faktor lingkungan dan kompetisi baik secara intraspesifik maupun interspesifik. Tumbuhan tropis seperti herba, semak dan pohon memiliki pola distribusi secara mengelompok. Distribusi individu di dalam suatu populasi tumbuhan jarang ditemukan dengan pola yang acak (Call & Nilsen 2003). Vegetasi tumbuhan di lokasi penelitian secara umum terdistribusi mengelompok. Pola distribusi mengelompok disebabkan oleh tumbuhan yang bereproduksi dengan biji sehingga biji yang jatuh dekat induknya atau tumbuhan yang bereproduksi dengan rimpang yang menghasilkan anakan dekat induknya. Kondisi lingkungan, iklim, hara, dan luas habitat mempengaruhi pola distribusi spesies. Ketersediaan hara pada area sempit menyebabkan spesies cenderung mengelompok. Kompetisi merupakan interaksi yang paling umum terjadi antar tumbuhan (Gibson 2006). Setiap individu tumbuhan berkompetisi untuk memperebutkan air, sinar matahari, ruang, dan nutrisi. Oleh karena itu, pola sebaran tumbuhan asing invasif sangat dipengaruhi ketersediaan sumber daya tersebut. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa pola sebaran tumbuhan asing invasif mengelompok pada habitat yang terganggu (Shigesada & Kawasaki 1997). Gangguan pada habitat menyediakan ruang dan sumber daya yang cukup bagi spesies invasif untuk tumbuh bereproduksi (Shigesada & Kawasaki 1997). Pola distribusi IAS berdampak terhadap keanekaragaman dan kemerataan jumlah spesies tumbuhan pada lokasi penelitian. Hal tersebut ditunjukkan dengan rendahnya nilai indeks Shanon-Wienner (H’) dan Indeks kemerataan Eveness. Keanekaragaman tumbuhan herba atau rumput pada Resort Cangkringan dan Kemalang lebih tinggi dibandingkan dengan Resort Selo, sedangkan hal ini berbanding terbalik jika dilihat dari tumbuhan tingkat pancang dan tiang. Vegetasi tingkat pancang dan tiang pada Resort Cangkringan dan Kemalang didominasi oleh A. decurrens sehingga nilai keragaman tumbuhan (H’) di lokasi tersebut lebih rendah (Gambar 3.5). Keanekaragaman komunitas tumbuhan dipengaruhi oleh nilai kerapatan dan jumlah individu masing-masing spesies. Kestabilan suatu spesies dipengaruhi oleh tingkat kemerataannya. Semakin tinggi nilai H’ maka keanekaragaman spesies tumbuhan dalam komunitas tersebut semakin stabil. Sebaliknya semakin rendah nilai H’, maka tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan dalam komunitas semakin rendah (Kent & Paddy 1992; Odum 1996). Indeks kemerataan Evennes menunjukkan bahwa kemerataan tumbuhan bawah Resort cangkringan dan Kemalang lebih stabil dibandingkan dengan Resort Selo, berbeda dengan tingkat pancang dan tiang kemerataan spesies tumbuhan lebih rendah. Hal tersebut diakibatkan oleh populasi A. decurrens yang cenderung mengelompok dengan jumlah individu yang tinggi. Semakin tinggi nilai E’ keanekaragaman spesies dalam komunitas semakin stabil sedangkan semakin rendah nilai E’ maka kestabilan keanekaragaman spesies dalam komunitas tersebut semakin rendah (Soerianegara & Indrawan 1998; Odum 1996). Nilai Indeks dominansi spesies (D) di resort Cangkringan, Kemalang dan Selo pada tingkat tumbuhan herba dan rumput menunjukkan tidak terdapat spesies tertentu yang menguasai pada komunitas tersebut. Vegetasi tingkat tumbuhan pancang dan tiang di Resort Cangkringan menunjukkan nilai dominansi (D) yang rendah dibandingkan dengan Resort Selo. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
45 invasi A. decurrens di resort Cangkringan dan Kemalang. Semakin kecil nilai D, maka pola penyebaran dan jumlah individu suatu spesies semakin besar dan mendominasi habitatnya (Krebs 2002). Dominansi suatu spesies diukur berdasarkan jumlah individu dan frekuensi kehadiran di plot pengamatan. Resort Cangkringan dan Kemalang didominasi oleh famili Asteraceae sedangkan di resort Selo secara merata didominasi oleh Famili Asteraceae dan Verbenaceae. Famili Asteraceae sangat penting bagi ekosistem karena dapat memperkaya bahan organik tanah dan mencegah erosi di lereng pegunungan (Kumolo & Utami 2011). Asteraceae sebagian besar tergolong sebagai gulma pada lahan pertanian. Spesies E. sordidum dan Austroeupatorium telah menginvasi beberapa lokasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Sunaryo et al. 2012; Uji 2010). Berdasarkan Invasive Species Specialist Group Database (ISSG 2015) dan Guide Book of Invasive Species, teridentifikasi beberapa spesies tumbuhan bawah dan spesies pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian ini tergolong tumbuhan asing invasif (IAS) (Tabel 12). Peluang invasi IAS semakin besar akibat adanya kerusakan atau gangguan pada ekosistem. IAS lebih efektif dan efisien dalam menyerap nutrien yang tersedia sehingga mampu untuk berkompetisi dengan tumbuhan asli (Alpert et al. 2000). Berdasarkan hasil analisis vegetasi, komposisi spesies tumbuhan bawah maupun pohon telah mengalami perubahan di lokasi yang terkena dampak erupsi gunung Merapi (Cangkringan dan Kemalang). Tumbuhan bawah didominasi oleh famili Asteraceae sedangkan vegetasi pohon didominasi oleh A. decurrens (Fabaceae). Dominansi suatu spesies dalam komunitas tumbuhan dapat ditunjukkan oleh Indeks Nilai Penting (INP) sebagai parameternya. Spesies tumbuhan dapat dikatakan berperan atau berpengaruh dalam suatu komunitas apabila memiliki INP untuk tingkat pancang ≥ 10%, begitu juga dengan tumbuhan bawah. Hasil analisis kluster menunjukkan terdapat tiga kluster asosiasi pada lokasi penelitian. Kluster dengan anggota terbanyak adalah asosiasi antara vegetasi tingkat tiang dengan tumbuhan herba atau rumput. A. decurrens menunjukkan asosiasi positif dengan tumbuhan C. asiatica, E. riparium, I. platypetala, dan P. pupureum (Gambar 8). Asosiasi A. decurrens dengan spesies tumbuhan tingkat pohon pada lokasi penelitian tidak ditemukan. Hal tersebut terjadi diduga karena pola invasi A. decurrens adalah dengan cara menekan pertumbuhan spesies pohon lainnya. Asosiasi positif antara A. decurrens dengan tumbuhan bawah dan rumput dapat disebabkan oleh kemampuan masing-masing spesies untuk memanfaatkan sumber daya berupa cahaya dan nutrient tanah. Beberapa spesies tumbuhan bawah khusunya rumput memiliki kemampuan untuk mengeksploitasi nitrogen dalam tanah sehingga dapat berkompetisi dengan dengan spesies lain dengan baik. Asosiasi antar spesies dipengaruhi oleh kemampuan tumbuhan untuk hidup bersama dalam satu waktu dan tempat yang sama dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Hasil analisis faktor lingkungan menunjukkan bahwa cahaya dan suhu memiliki korelasi positif terhadap kepadatan populasi A. decurrens di beberapa lokasi penelitian. Biplot hubungan antar variabel lingkungan yang menunjukkan adanya interaksi antar faktor lingkungan. Anak panah variabel suhu mikro berada pada posisi yang berdekatan dengan intensitas cahaya menunjukkan adanya hubungan yang kuat (Gambar 10). Cahaya merupakan aspek penting dalam proses
46 pertumbuhan dan kompetisi tumbuhan. Cahaya berperan dalam proses perkecambahan, pertumbuhan dan proses fenologi pada tumbuhan deawasa. Selain faktor abiotik, parameter penting di dalam autekologi tumbuhan adalah faktor biotik yaitu tumbuhan baik antar individu maupun antar spesies berinteraksi dan hidup bersama dalam satu waktu dan ruang yang sama (Marchente et al. 2008; Swamy et al. 2000). Hasil penelitian ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberadaan tumbuhan asing invasif adalah intensitas sinar matahari, suhu dan kelembapan udara, ketinggian lokasi, serta keterbukaan vegetasi (Thuiller et al.2006; Simonová & Lososová 2007; Schmitz & Dericks 2010; Costa et al. 2012; Riis et al. 2012). Proses invasi yang dipengaruhi oleh faktor abiotik lingkungan berkaitan kesesuaian kondisi iklim di Indonesia yang hamper sama dengan habitat asli. A. decurrens yang berasal dari Australia. Kondisi iklim Australian yang hampir sama dengan beberapa pulau di Indonesia khususnya bagian timur menyebabkan barier geografis tidak berpengaruh terhadap proses adaptasi A. decurrens (Swamy et al.2000). Spesies akasia menginvasi lingkungan yang mengalami stres iklim, dengan suhu yang cenderung rendah sehingga sesuai untuk proses pertumbuhan yang cepat (Grotkopp & Rejma'nek 2007; Leishman et al. 2007; Zheng et al. 2009). Tumbuhan asing invasif umumnya menyukai area bebas naungan pada habitat terganggu dengan intensitas penyinaran matahari yang tinggi, suhu yang hangat, serta elevasi yang rendah (Pyšek et al. 2002; Simonová & Lososová 2007). Ekosistem atau hutan yang mengalami gangguan berkorelasi positif dengan munculnya spesies asing invasif (Joshii et al. 2009). Dalam penelitian ini terdapat perbedaan jumlah dan kehadiran spesies asing invasif dengan melihat perbandingan lokasi yang terkena dampak dan tidak terkena dampak oleh erupsi gunung Merapi. Invasi spesies A. decurrens diukur berdasarkan nilai kerapatan yang tinggi memperlihatkan bahwa terjadi penurunan basal area tumbuhan tersebut. Perubahan penutupan vegetasi akan berpengaruh terhadap iklim mikro sehingga spesies asli akan secara bersamaan beradaptasi dengan spesies asing (Albuquerque et al. 2006). A. decurrens cenderung terdistribusi secara mengelompok yang menandakan nilai kerapatan antara individu sangat tinggi. Semakin tinggi nilai kerapatan antar individu semakin tinggi peluang terjadinya kompetisi. Hal tersebut didukung oleh data penelitian mengenai diameter dan tinggi batang (Gambar 11) yang memperlihatkan bahwa lokai yang terinvasi memiliki diameter batang yang lebih kecil namun memiliki perawakan yang lebih tinggi. Kondisi morfologi tersebut diduga dipengaruhi oleh proses kompetisi intraspesifik atau adaptasi terhadap nilai kerapatan individu yang tinggi.Perbedaan antara diameter batang dan tinggi pohon merupakan bagian dari proses invasi tumbuhan A. decurrens. Akasia invasif rata-rata berukuran lebih tinggi dan basal area daun lebih besar dibandingkan dengan spesies non-invasif. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan usia pohon serta kerapatan antar individu. Faktor lain yang mempengaruhi invasi spesies asing adalah tekanan propagul di lokasi terkena dampak oleh erupsi gunung Merapi. Tekanan propagul yang besar akan mendukung spesies tumbuhan menginvasi meskipun dalam kondisi lingkungan yang tidak optimal. Sejumlah famili Asteraceae dan Fabaceae memiliki produksi biji yang tinggi dan mampu bertahan dalam kondisi lingkungan
47 yang terganggu. Nilai kerapatan A. decurrens yang tinggi menyebabkan tumbuhan herba atau spesies pohon lain sulit tumbuh karena kurang mendapatkan cahaya. Proses asosiasi komunitas tumbuhan terkait dengan penyerapan sumberdaya yang ada. Jumlah sumber daya yang terbatas akan menyebabkan terjadi kompetisi antar spesies tumbuhan. Viabilitas Biji Acacia decurrens (Wendl.) WiIld. Hasil percobaan pengaruh suhu terhadap perkecambahan A. decurrens diperoleh nilai suhu minimum 27 °C, suhu optimum 60 °C dan suhu maksimum 100 °C. Hasil tersebut mendukung hipotesis penelitian bahwa awan panas berperan sebagai stimulan terhadap perkecambahan biji A. decurrens. Simpanan biji A. decurrens di dalam tanah terstimulasi untuk berkecambah akibat adanya suhu tinggi. Hal tersebut didukung oleh penelitian Radford et al. (2001), bahwa seedling A. nilotica muncul dalam jumlah yang banyak setelah kebakaran yang terjadi pada peralihan musim kering ke musim hujan. Acacia Australia yang tergolong invasif cenderung berkecambah pada daerah yang mengalami gangguan. Fuentes-Ramı'rez et al. (2011), melaporkan bahwa A. dealbata mampu bertahan dan memiliki kelimpahan individu yang tinggi pada musim kemarau yang panjang dibandingkan dengan tumbuhan asli daerah Chili. Selain gangguan pada lingkungan, kondisi tanah juga berperan dalam proses perkecambahan biji Acacia, Marchante et al.(2009) melaporkan bahwa A. longifolia di Portugal menjadi invasif akibat adanya perubahan nutrisi tanah. Sejumlah besar spesies genus Acacia memiliki kapsul biji yang impermiabel (bersifat selektif terhadap partikel air dan ion), namun ditemukan juga spesies yang memiliki kulit atau kapsul biji yang permiabel (tidak bersifak selektif terhadap partikel air dan ion) (Funes & Venier 2006). Kondisi dormansi secara fisik berkaitan dengan ada tidaknya struktur kapsul biji, sehingga pertumbuhan generatifnya bergantung pada kondisi lingkungannya (Tweddle et al. 2003). Dormansi fisik biji berkaitan erat dengan kondisi lingkungan tiap spesies dalam komunitas tumbuhan. Kemampuan biji dormansi secara fisik adalah hasil modifikasi histologi kulit atau kapsul biji yang tersusun atas jaringan keras sel-sel epidermal palisade dan adanya sejumlah substansi kimia seperti lignin, selulosa, lemak, fenol dan lilin (Funes & Venier 2006). Dormansi biji secara fisik pada tumbuhan Acacia didukung oleh struktur anatomi pada lapisan palisade yang berfungsi untuk imbibisi dan tahan terhadap suhu ekstrem (Baskin et al. 2000). Lapisan tersebut sering disebut dengan istilah "lens" yang merupakan penerima respons dari lingkungan mengenai waktu dan kondisi yang tepat untuk berkecambah dan sebagai regulator terhadap kadar air yang diserap oleh biji (Baskin et al. 2000; Baskin 2004) Api menstimulus perkecambahan biji spesies Acacia yang tergolong invasif, namun terdapat beberapa spesies invasif dipengaruhi oleh skarifikasi kimia setelah dimakan oleh hewan (Richardson & Kluge 2008). Stimulan diperlukan oleh biji yang kedap air dan memiliki kulit yang tebal untuk memecah dormansi. Pengamatan perkecambahan yang dilaksanakan pada penelitian ini membuktikan bahwa A. decurrens membutuhkan stimulan untuk berkecambah. Perlakuan suhu dan pemanasan biji A. decurrens mampu meningkatkan viabilitas dan jumlah biji yang berkecambah.
48 Suhu berperan penting pada proses perkecambahan yaitu mempengaruhi reaksi kimia dan mengaktifkan kerja enzim yang terjadi selama proses perkecambahan. Menurut Copeland dan Mc Donald (2001), proses metabolisme tumbuhan membutuhkan suhu optimum yang berbeda-beda, sehingga respons biji terhadap suhu dapat berubah selama proses perkecambahan. Suhu pada proses perkecambahan dibagi menjadi suhu minum, suhu optimum dan suhu maksimum. Suhu minimum merupakan batas suhu terendah untuk biji dapat berkecambah. Suhu optimum merupakan suhu yang meningkatkan jumlah dan laju perkecambahan biji. Sedangkan suhu maksimum adalah batas suhu tertinggi untuk biji dapat berkecambah. Nilai suhu minimum, optimum dan maksimum tiap spesies berbeda-beda. Pada prinsipnya terdapat dua metode stimulasi perkecambahan berdasarkan sifat dormansinya, yaitu dormansi eksogenus dan dormansi endogenus. Pada dormansi eksogenus umumnya perlakuan pematahan dormansi diberikan secara fisik, seperti skarifikasi mekanik dan skarifikasi kimiawi. Skarifikasi mekanik meliputi pengampelasan, pengikiran, pemotongan dan penusukan pada bagian tertentu dari benih. Perendaman benih atau perlakuan skarifikasi kimiawi biasa dilakukan dengan menggunakan air panas dan dan bahan-bahan kimia seperti asam kuat (H2SO4 dan HCl), alkohol dan H2O2 yang bertujuan untuk merusakkan atau melunakkan kulit benih. Penggunaan hormon seperti GA3, etilen dan sitokinin serta bahan kimia KNO3 merupakan perlakuan pematahan dormansi pada kasus dormansi endogenus. Selain penggunaan hormon dapat juga digunakan perlakuan stratifikasi benih dengan suhu tinggi, suhu rendah maupun perlakuan suhu berganti. Perlakuan stratifikasi secara tidak langsung berperan dalam memperbaiki keseimbangan hormon dan mempengaruhi metabolisme benih. Potasium nitrat (KNO3) merupakan bahan kimia yang umum digunakan dalam merangsang perkecambahan benih. Larutan KNO3 merangsang perkecambahan benih yang mengalami dormansi. Rangsangan ini tergantung pada konsentrasi yang diberikan. Giberelin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh pada tanaman (fitohormon) yang mempunyai peranan dalam menstimulus proses perkecambahan benih. Weiss dan Ori (2007), menyebutkan bahwa salah satu efek fisiologis dari giberelin adalah mendorong aktivitas enzim-enzim hirolitik pada proses perkecambahan benih. Setelah imbibisi air hormone GA menjadi aktif dan mendegradasi pati sebagai sumber nutrient. Giberelin tersebut menyebabkan terjadinya transkripsi beberapa gen penanda enzim-enzim hidrolitik di antaranya α-amilase. Enzim tersebut masuk ke endosperma dan menghidrolisis pati dan protein sebagai sumber makanan bagi perkembangan embrio. Penghambatan Perkecambahan Biji dan Pertumbuhan A. decurrens (Wendl.) WiIld. (Alternatif Pengendalian) Pemberian ekstrak alelopati C. asiatica dan I. cylindrica mampu menghambat perkecambahan biji dan pertumbuhan tanaman A. decurrens sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian invasi A. decurrens. Pemberian ekstrak alelopati C. asiatica dan I. cylindrica menurunkan nilai kecepatan tumbuh untuk berkecambah 0.6–1.1 % dibandingkan dengan tanpa perlakuan ekstrak alelopati yaitu 2.5–2.7 %. Percobaan ini juga menunjukkan adanya pengaruh jenis alelopati terhadap perkecambahan biji A. decurrens.
49 Ekstrak alelopati C. asiatica lebih optimal menghambat proses perkecambahan biji dengan rata-rata biji berkecambah antara 3.2–5.4 sedangkan pada ekstrak alelopati I. cylindrica rata-rata biji berkecambah 5.8–9.6. Senyawa alelopati dilepaskan oleh tumbuhan melalui penguapan, eksudat akar, pencucian dan dekomposisi residu (Oyerinde et al. 2009). Putnam (1984) melaporkan bahwa senyawa alelopati yang dilepaskan melalui penguapan berasal dari golongan terpenoid, sedangkan senyawa yang dilepaskan dari proses pencucian (eksudat akar) berasal dari asam-asam benzoat, sinamat dan fenolat. Pelapasan senyawa alelopati (alelokimia) oleh tumbuhan disebabkan karena adanya gangguan atau tekanan dari lingkungan. Pembentukan senyawa alelopati dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang berpengaruh yaitu spesies tumbuhan dan umur jaringan tumbuhan, setiap spesies tumbuhan memiliki kemampuan untuk menghasilkan alelokimia yang berbeda baik dari konsentrasi maupun jenis alelokimia akibat adanya perbedaan genotipe. Faktor eksternal yaitu diantaranya kualitas, kuantitas cahaya, lamanya penyinaran, kekurangan unsur hara dan gangguan ketersediaan air. Proses penghambatan biji A. decurrens oleh ekstraksi alelopati C. asiatica lebih optimal dibandingkan dengan I. cylindrica diduga karena adanya perbedaan kandungan senyawa alelokimia dari masing-masing tumbuhan. Zainolet al. (2008) melaporkan bahwa ekstrak C. asiatica mengandung beberapa unsur diduga alelokimia berupa saponin, triterpenoid, asiaticoside, centelloside, madecassoside, dan asam asiatik. Ekstrak I. cylindrica mengandung senyawa alelokimia berupa senyawa fenolik yang terdiri dari asam isofemik, asam salisilik, asam veratarat dan asam amisat. Akar I. cylindrica mengandung saponin dan tanin, sedangkan daunnya mengandung polifenol. Saponin mampu menghambat pertumbuhan sel (Muller 1995). Saponin yang terdapat pada rhizosfer pada perkebunan tanaman Mugbean menyebabkan perubahan mikro struktur membran sel tanaman di sekitarnya (Chang et al. 1995). Konsentrasi ekstrak tanin dan saponin menghambat pertumbuhan hipokotil kecambah Lepidium sativum (Wink & Burning 1995). Ekstrak alelopati yang mengandung alelokimia berupa triterpenoid dan fenol mampu menghambat proses perkecambahan. Senyawa fenol berupa tanin dapat menghambat pertumbuhan, menghilangkan kontrol respirasi pada mitokondria serta mengganggu transport ion Ca 2+ dan PO43-. Selain itu senyawa tanin juga dapat menonaktifkan enzim amilase, proteinase, lipase, urease, dan dapat menghambat aktivitas hormon giberelin. Pemberian ekstrak alelopati dengan tingkat konsentrasi yang berbeda memberikan pengaruh terhadap perkecambahan, jumlah daun, tinggi tanaman dan bobot kering tanaman A. decurrens. Pemberian ekstrak alelopati dengan konsentrasi 75 dan 100 % mampu menekan proses perkecambahan biji, jumlah daun dan tinggi tanaman dan bobot kering tanaman A. decurrens. Penurunan jumlah daun dan tingi tanaman dipengaruhi oleh senyawa kimia yang bersifat alelopati. Penurunan jumlah daun diduga karena adanya pengaruh senyawa fenol, coumarin dan asam lemak (fatty acid) yang terkandung dalam ekstrak gulma. Penghambatan oleh senyawa fenolik terjadi pada proses pembentukan ATP. ATP dalam jumlah yang sedikit pada proses metabolisme dalam sel menyebabkan jumlah karbohidrat yang berfungsi sebagai bahan bakar dan bahan penyusun struktur sel berkurang (Lambers et al. 2008). Asam fenolat, coumarin, lakton, asam lemak (fatty acid) dikategorikan ke dalam senyawa yang menghambat
50 pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Harborne 1999). Coumarin dan scopoletin menurunkan proses mitosis dan mengurangi fotosintesis akibat penutupan stomata (Gupta 2005). Parameter berat kering total diukur untuk mengetahui kualitas pertumbuhan tanaman. Komponen pertumbuhan tanaman dibagi menjadi dua bagian yaitu komponen pertumbuhan organ bibit di atas permukaan tanah (pucuk) dan organ bibit di bawah permukaan tanah (akar) (Junaedi et al. 2010). Gabungan dari kedua komponen tersebut merupakan pertumbuhan keseluruhan bagian tanaman yang salah satunya diwakili oleh berat kering total. Berat kering total merupakan akumulasi senyawa organik yang berhasil disintesis tanaman dari senyawa anorganik (unsur hara, air, dan karbondioksida) (Sudrajat et al. 2005). Berat kering total berhubungan erat dengan pertumbuhan tinggi dan diameter. Apabila tinggi dan pertumbuhan tanaman berlangsung cepat, maka berat kering totalnya akan semakin tinggi (Heriyanto & Siregar 2004). Selain dipengaruhi oleh faktor genetik (sumber benih), berat kering total juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor utama yang mempengaruhi berat kering total adalah cahaya matahari yang diserap tanaman dan pemanfaatan energi tersebut untuk memfiksasi CO2 (Gardner et al. 2008). Senyawa alelopati dari tumbuhan dapat digunakan sebagai herbisida hayati yang memberikan manfaat terhadap kelestarian lingkungan (Macias et al. 2001; Singh et al. 2003). Telah banyak dilakukan pengujian dan pemanfaatan alelopati sebagai herbisida. Herbisida dari senyawa alelopati yang sudah dikomersialkan antara lain organofosforus (bialafos dan fosfontrisin yang diperoleh dari isolat bakteri), triketon (leptospermona yang diperoleh dari tumbuhan Leptospermum scoparium dan sinmetilin (Vyvyan 2002). Berdasarkan hasil penelitian ini dan hasil pendukung lainnya, peneliti melakukan percobaan pemanfaatan aktrak alelopati untuk mengandalikan invasi A. decurrens di TNGM. Penggunaan ekstrak alelopati dari tumbuhan lokal diharapkan menjaga kesehatan dan kelestarian lingkungan kawasan TNGM dibandingkan dengan menggunakan herbisida kimiawi yang memiliki dampak negatif. Keberadaan A. decurrens di TNGM perlu dikendalikan untuk mencegah dampak yang lebih buruk. Alternatif pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan potensi yang ada di sekitar TNGM. Salah satu metode yang dapat dimanfaatkan adalah dengan menggunakan herbisida hayati melalui alelopati tumbuhan. Hasil percobaan pengendalian mekanik yang dikombinasikan dengan pemberian ekstrak I. cylindrica menunjukkan bahwa konsentrasi 100 % dapat meningkatkan jumlah kematian pohon A. decurrens. Senyawa alelopati yang diberikan kepada batang pohon yang telah dikupas memperlihatkan efek negatif pada pertumbuhan pohon. Efek negatif yang terlihat selama pengamatan adalah rusaknya jaringan kulit batang pada bagian yang dikelupas, daun tumbuhan menjadi layu atau mengering hingga mengalami kematian. Kondisi berbeda diperlihatkan oleh pohon yang tidak diberi perlakuan alelopati. Pada pohon yang hanya dikelupas kecepatan kematian pohon (KcK %) lebih lambat dibandingkan dengan pohon yang diberi perlakuan alelopati. Secara umum melihat kondisi yang terjadi dapat diduga bahwa tumbuhan mengalami gangguan proses fisiologis. Respon fiologis tanaman terhadap gangguan dapat dilihat dari pertumbuhan yang tidak normal atau lebih kecil dari ukuran normal,
51 perubahan warna baik pada daun, batang, akar, buah dan bunga, bagian tanaman menjadi layu kemudian mengering. Senyawa alelopati mempengaruhi aktivitas pemanjangan dan pembelahan sel, fotosintesis, respirasi, permeabilitas membran, pembukaan stomata, penyerapan ion mineral serta metabolisme protein dan asam nukleat (Qasem & Foy 2001). Pengukuran aktivitas fotosintesis tumbuhan terhadap senyawa alelopati tertentu menunjukkan adanya pengurangan laju fotosintesis. Pengamatan terhadap A. decurrens perlakuan ekstrak alelopati memperlihatkan adanya penurunan kondisi fisiologi yaitu daun menjadi layu dan batang menjadi kering dan muncul jamur pada sekitar batang. Yu et al. (2003) melaporkan bahwa senyawa alelopati Cucumis sativus yang diujikan pada tanaman meningkatkan aktivitas enzim peroksidase dan superoksida dismutase dari akar, mengurangi konduktansi stomata dari daun, mengurangi laju transpirasi, serta menurunkan laju asimilasi bersih. Vyvyan (2002) melaporkan bahwa mekanisme kerja senyawa alelopati antara lain berkaitan dengan sintesis asam amino (sintesis glutamina, aspartat aminotransferase), sintesis pigmen (sintesis asam livulenat (ALA)), fungsi plasma membran (H+-ATPase, NADH oksidase), fotosintesis (CF1 ATPase), sintesis lipid (Asetil-CoA transiklase, 3-oksoasil-ACP sintesis, seramida sintase), dan sintesa asam nukleat (RNA polymerase, adenosilsuksinat sintase, AMP deaminase, isoleusil-t-RNA sintase). Peristiwa layu daun A. decurrens diduga disebabkan oleh penyerapan air tidak dapat mengimbangi kecepatan penguapan air tumbuhan. Layu pada tanaman terutama pada bagian daun, tunas atau tanaman secara keseluruhan, dapat juga disebabkan karena hilangnya turgor pada bagian-bagian tersebut. Hilangnya turgor tersebut dapat disebabkan karena adanya gangguan di dalam berkas pembuluh/pengangkutan atau adanya kerusakan pada susunan akar, yang menyebabkan tidak seimbangnya penguapan dengan pengangkutan air. Penyakit layu pada tanaman dapat disebabkan oleh faktor abiotik seperti pemberian herbisida nabati. Analisis Risiko Tumbuhan Asing Invasif Di Taman Nasional Gunung Merapi Prioritas pengelolaan dan pengendalian tumbuhan asing invasif (IAS) perlu didasari oleh informasi yang akurat mengenai keberadaan dan distribusinya termasuk analisis risiko (Setyawati & Sumianto 2015). Berdasarkan hasil analisis risiko tumbuhan asing invasif (IAS) diperoleh rekomendasi pengelolaan untuk masing-masing spesies tumbuhan. IAS yang diidentifikasi memiliki potensi invasif yang paling besar adalah spesies A. decurrens dan direkomendasikan kepada pihak TNGM untuk mencegah penyebaran tumbuhan asing tersebut. Beberapa spesies lainnya di rekomendasikan untuk melindungi situs atau lokasi tersebut terhadap mapannya infestasi dari tumbuhan asing invasif. Rekomendasi pencegahan penyebaran IAS dilaksanakan dengan identifikasi karakter biologi spesies. A. decurrens merupakan tumbuhan yang penyebarannya melalui biji. Penyebaran melalui biji dapat terjadi dengan bantuan hewan, angin, banjir (erosi), maupun bencana (erupsi). Pencegahan yang dapat dilaksanakan dengan membatasi jumlah biji matang yang jatuh atau dapat dimakan oleh satwa. Pengendalian invasi A. decurrens ditekankan pada manajemen pro-aktif bukan reaktif karena tingkat kesulitan menendalikan tumbuhan invasif yang telah mapan
52 lebih sulit. Alternatif pengendalian biologis yang disarankan adalah dengan herbisida hayati atau sterilisasi reproduksi A. decurrens. Rekomendasi Pengendalian A. decurrens Berdasarkan Siklus Hidup Alternatif pengendalian melalui siklus hidup adalah meninjau setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan A. decurrens. Siklus hidup A. decurrens dimulai dari biji yang mampu tumbuh dengan cepat pada berbagai kondisi lingkungan dan memiliki daya kompetisi yang tinggi (Morris et al. 2011). Pengendalian yang efektif berdasarkan siklus hidup tumbuhan adalah melakukan pengendalian terhadap individu yang masih muda atau belum mampu untuk bereprodusi. Pencegahan pertumbuhan anakan dapat dilaksanakan melalui metode eradikasi, penyemprotan atau pemberian herbisida dan herbivori. Spesies A. decurrens memiliki warna bunga yang cerah dan mencolok sehingga dengan mudah manarik perhatian serangga polinator (Gibson et al.2011). Opsi pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan menekan jumlah serangga pollinator dengan membawa masuk musuh alami serangga pollinator bunga A. decurrens. Tumbuhan dewasa menghasilkan jumlah besar biji yang viabel ±15000 biji/m2 per tahun (Richardson & Kluge 2008). Mengurangi produksi benih (melalui penggunaan agen biologis) dapat membatasi jumlah, tingkat penyebaran dan penumpukan bank benih (seed bank). Opsi lain yang dapat mengurangi kelimpahan biji, misalnya pemanenan bunga, pengendalian hormon perberbungaan, penggunaan kultivar steril, atau pemanenan sebelum buah matang. Penyebaran biji secara alami melalui semut atau burung, dan air serta tidak menutup kemungkinan terjadi penyebaran karena adanya gravitasi dan angin. Predasi biji oleh hewan pengerat, kumbang secara signifikan dapat menekan jumlah seed bank (Richardson & Kluge 2008). Penyebaran benih dapat dikurangi dengan membatasi pergerakan agen penyebar (hewan). Pengendalian dan pencegahan pertumbuhan A. decurrens dilakukan pada area penyebaran seperti jalan, aliran air, dan lahan pengembalaan. Pengendalian pada tumbuhan dewasa dengan cara membutuhkan biaya yang tinggi dan tenaga kerja yang cukup banyak sehingga tidak efesien. Mekanisme pengendalian melalui pembakaran sangat tidak disarankan karena dapat memicu munculnya anakan yang lebih banyak akibat biji yang resisten terhadap suhu tinggi dan memanfaatkan api sebagai stimulan untuk berkecambah. Pengendalian pada tumbuhan dewasa dapat dilakukan pemberian herbisida hayati yang dikombinasikan dengan pengelupasan kulit batang. Invasi A. decurrens berpotensi untuk mengubah kandungan nitrogen, hutan menjadi sensistif terhadap api dan dinamika komponen pnyusun ekosistem (Le Maitre et al. 2011). Sebagian besar genus Akasia diidentifikasi sebagai tumbuhan invasif dan terdapat beberapa yang tergolong tumbuhan ekstrim invasif (Magee et al. 2010; Richardson et al. 2000b). Berdasarkan pertimbangan tersebut upaya restorasi kawasan TNGM harus mememperhitungkan dampak terhadap ekosistem dan jasa lingkungan sehingga meningkatkan peluang keberhasilan pengendalian tumbuhan asing invasif (Le Maitre et al. 2011). Pengelolaan invasi biologi secara umum membutuhkan dukungan dan tingkat kesadaran masyarakat, serta sangat penting jika tidak ada konflik kepentingan (De Poorter 2001; Andreu et al. 2009). Tumbuhan invasif juga memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat (Griffin et al. 2011) dan sering merupakan sumber daya yang berharga bagi kehidupan
53 pedesaan menyediakan kayu bakar, makanan, pakan ternak, dan tempat tinggal (Kull et al. 2011). Marchante et al. (2010) menjelaskan beberapa upaya yang dilakukan di Portugal untuk meningkatkan kesadaran publik dan melibatkan masyarakatuntuk memberikan informasi keberadaan dan dampak yang ditimbulkan oleh tumbuhan asing invasif terhadap keanekaragaman hayati sperti, distribusimedia cetak (misalnya profil spesies, panduan lapangan, kartu pos, bookmark). Upaya seperti ini membutuhkan investasi yang besar dan berkelanjutan. Regulasi dan Kebijakan Pengendalian IAS Indonesia telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman hayati atau CBD melalui Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya; Bab IV, Pasal 19, Ayat (3) yang mengatur dan melarang aktivitas yang dapat mengubah kondisi alami kawasan suaka alam seperti menambah spesies yang tidak asli, Bab VII, Pasal 33, Ayat (2) yang melarang melakukan aktivitas yang dapat merubah zona inti taman nasional seperti menambah spesies satwa dan tumbuhan yang tidak asli. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Pasal 5 Ayat (1) suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila: butir 1.b, terjadi penurunan yang tajam jumlah individunya di alam. Adapun dalam penjelasannya penurunan populasi ini terkait dengan ancaman dari faktor luar termasuk jenis asing (jenis introduksi). Pada Ayat (2) butir 2.e dijelaskan mengenai pemasukan jenis asing harus dihindarkan, butir 2.f dijelaskan selain jenis tumbuhan dan satwa asli, jenis asing juga termasuk di dalamnya, sehingga jenis-jenis asing ini perlu untuk dimusnahkan. Peraturan terkait tumbuhan asing invasif (IAS) masih dalam proses pembentukan. Pembentukan peraturan IAS didasarkan pada tindak lanjut ratifikasi Indonesia terhadap peraturan CBD. Persiapan pembentukan peraturan dan sistem informasi IAS tersebut melibatkan kerja sama dengan berbagai pihak di lingkungan instansi maupun lembaga penelitian serta lembaga pendidikan seperti, IPB, SEAMEO-BIOTROP, Pusat Penelitian Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Taman Nasional dan LIPI. Tahun 2015 telah disahkan kebijakan mengenai “Strategi Nasional dan Arahan Rencana Aksi Pengelolaan Jenis Asing Invasif di Indonesia” yang disusun oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Strategi tersebut merupakan acuan dalam pengelolaan dan pengendalian jenis asing invasive di Indonesia secara sistematis dan terintegrasi. Arahan rencana aksi yang tertuang dalam STRANAS tersebut adalah pencegahan, deteksi dini dan respon cepat, pengendalian dan mitigasi dampak serta rehabilitasi dan restorasi.
54
5
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Vegetasi tumbuhan resort Cangkringan, Kemalang dan Selo terdiri atas 53 spesies dari 26 famili. Resort Cangkringan memiliki jumlah spesies tumbuhan herba lebih tinggi dibanding Kemalang dan Selo namun berbanding terbalik pada vegetasi spesies pancang dan tiang. Erupsi gunung Merapi berpengaruh terhadap penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan khususnya daerah yang terkena dampak erupsi. 2. Suksesi yang berlangsung di lokasi penelitian menunjukkan terdapat 21 spesies asing invasif. Tumbuhan asing invasif spesies A. decurrens sangat dominan di resort Cangkringan dan Selo. Kepadatan populasi spesies tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu suhu udara dan intensitas cahaya. 3. Biji A. decurrens di TNGM memiliki viabilitas dan kemampuan perkecambahan yang tinggi dan membutuhkan stimulan untuk berkecambah. Perlakuan pendahuluan yang dapat menstimulasi dan meningkatkan viabilitas perkecambahan biji A. decurrens adalah prendaman pada suhu 60–80 oC, pemanasan langsung suhu 40–60 oC, perendaman zat kimia KNO3 serta pemberian zat pengatur tumbuh. 4. Perlakuan pengendalian yang efektif untuk menghambat perkecambahan dan serta pertumbuhan anakan A. decurrens adalah pemberian ekstrak alelopati C. asiatica dan I. cylindrica. Pengendalian mekanik yang dikombinasikan dengan ekstrak alelopati daun dan rimpang I. cylindrica dapat mematikan pohon A. decurrens 5. Rekomendasi pengendalian Tumbuhan Invasive Alien Species (IAS) dibagi menjadi; 1) Aksi terbatas; 2) Lindungi situs; 3) Cegah penyebaran.
Saran Diharapkan kepada pihak TNGM untuk melakukan pengelolaan secara terpadu dan membentuk satuan tugas khusus yang menangani invasi A. decurrens. Perlunya monitoring yang intensif untuk mencegah penyebaran IAS meluas ke lokasi lainnya. Meningkatkan peran serta masyarakat dan memberikan pengetahuan tentang keberadaan IAS di TNGM.
55
DAFTAR PUSTAKA Alpert P, Bone E, Holzapfel C. 2000. Invasiveness, invisibility and the role of environmental stress in the spread of non-native plants. Perspect Plant Ecol Evol Syst. 3(1):52-66. Alpert P. 2006. The advantages and disadvantages of being introduced. Biological Invasion. 8:1523-1534 Ashton PS. 2003. Floristic zonation of tree communities on wet tropical mountains revisited. Perspect Plant Ecol Evol Syst. 6:87-104. Barbour GM, JK Burk, WD Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. New York (US): Benyamin/Cummings Pub. Inc. Baskin CC. 2004. Breaking physical dormancy in seed-focusing on the lens. New Phytol. 158: 227-238. Baskin JM, Baskin CC. 2004. A classification system for seed dormancy. Seed Sci Res. 14: 1-16. Baskin JM, Baskin CC, Li X. 2000. Taxonomy, anatomy and evolution of physical dormancy in seeds. Plant Spec Biol. 15: 139-152. Blumenthal DM. 2006. Interaction between resource avaibility and enemy release in plant invasion. Ecol Lett. 9:887-895. [BNPB]. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2011. Dampak Letusan Gunung Merapi. Gema BNPB. 2(1):17-20. Breton C, Guerin J. Ducatillon C, Medail F, Kull CA, Berville A. 2008. Taming the wild and ‘Wilding’ the tame: Tree breeding and dispersal in Australia and the Mediterenian. Plant Sci. 175:197-205. [BTNGM]. Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009. Profil Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.Yogyakarta (ID): Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Call LJ, Nilsen ET. 2003. Analysis of spatial patterns and spatial association between the invasive Tree-of-Heaven (Ailanthus altissima) and the native Black Locust (Robinia pseudoacacia). Am Midl Nat. 150:1-4. [CBD-UNEP]. Convention on Biological Diversity-United Nations Environment Programme. Invasive Alien Species. [diunduh 12 februari 2014]. Tersedia pada: http://www.cbd.int/ html. Chang HC, Walker GR, CS Cheng, CR Yang, D Kim. 1995. Allochemical activity of naturally occurring compounds from Mugbean (Vigna radiate L.) plants and their serounding soil. Bot. Bul. Acd. Sin. 36: 9-18. Clarke KR, Gorley RN. 2005. PRIMER: playmouth routines in multivariate ecological research. Plymouth (UK): PRIMER-E Ltd. Copeland LO, MB McDonald. 2001. Seed Science and Technology 4th edition. London (UK): Kluwer Academic Publisher. 425p. Cropper SC. 1993. Management of Endangered Plants. East Melbourne (AU): CSIRO Publications. Djufri. 2006. Studi Autekologi dan pengaruh invasi akasia (Acacia nilotica) (L.) Willd. ex Del. terhadap eksistensi savana dan strategi penanganannya di Taman Nasional Baluran Banyuwangi Jawa Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
56 Fuentes-Ramíreza A, Pauchard A, Cavieresa LA, Garcíab RA. 2011. Survival and growth of Acacia dealbata vs. native trees across an invasion front in south-central Chile. Forest Ecol Manag. 261: 1003-1009. Funes G, Venier P. 2006. Dormancy and germination in three Acacia (Fabaceae) species from central Argentina. Seed Scie Res. 16: 77-82. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya. Susilo H, Subiyanto, penerjemah. Jakarta (ID): Universitas Indonesia-Press. Gerold G. 2008. Soil, Climate, Vegetation of tropical montane forest – a case study from the Yungas, Bolivia. Di dalam: Gradstein SR, Homier J, Gansert D, editor. The Tropical Montane Forest: Pattern and Processes in A Biodiversity Hotspot. Gottingen (DE): Universitatsverlag. Hlm 137-162. Gibson MR, Richardson DM, Marchante E, et al. 2011. Reproductive biology of Australian acacias: important mediator of invasiveness?. Divers Distrib. 17: 911-933. Griffin AR, Midgley S, Bush D, Cunningham P, Rinaudo A. 2011. Global plantings and utilisation of Australian acacias-past, present and future. Divers Distrib. 17: 837–847. Grotkopp E, M Rejma´nek. 2007. High seedling relative growth rate and specific leaf area are traits of invasive species: phylogenetically independent contrasts of woody angiosperms. Am J Bot. 94: 526-532. Guntor D, MA Chozin, A Wibowo. 2003. Pengaruh alelopati beberapa jenis gulma pada tingkat konsentrasi ekstrak bahan kering yang berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Di dalam Prosiding Konferensi ke-XVI, Jilid I. Bogor (ID): Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. hlm 132-139. Harborne.1999. Phytochemical dictionary: Handbook of bioactive compounds from plants 2nd. London: Taylor and Francis. 221-234 p. Heibert RD, Stubbendieck J. 1993. Handbook fo Ranking Exotic Plants for Management and Control. Natural Resource Report93/08. Washington DC (US): US Departement of the Interior, National Park Service. Hood WG, Naiman RJ. 2000. Vulnerability of riparian zones to invasion by exotic vascular plants. Plant Ecol. 148:105-114. Homier J, Breckle SW, Gunter S, Rollenbeck, Leuscher C. 2010. Tree diversity, forest structure and productivity along longitudinal and topographical gradients in a species-rich Ecuadorian mountane rain forest. Biotropica. 42: 140-148. Huston MA. 2004. Management strategies for plant invasion: manipulating reproductivity, disturbance, and competition. Divers Distrib. 10: 167-178. Inderjit, Keating KI. 1999. Allelopathy: principles, procedures, processes, and promises for biological control. Di dalam: Sparks DL (ed). Adv Agron Vol 67. San Diego (US): Acad Pr. hlm 141-231. [ISSG] Invasive Spesies Specialist Group. Alien Spesies Database. [diunduh 20 Juli 2015]. Tersedia pada: http://www.issg.org/ html. Joshi AA, D Mudappa, TRS Raman. 2009. Brewing trouble: coffee invasion in relation to edges and forest structure in tropical rainforest fragments of the Western Ghats, India. Biol. Invasions. 11: 2387-2400. Kent M, Paddy C. 1992. Vegetation description and analysis a practical approach. London (UK): Belhaven Press.
57 Krebs CK. 2002. Ecological Methodology. Ed ke-2. New York (US): Harper & Row. Kulkarni MG, Sparg SG, Van Staden J. 2007. Germination and post-germination response of Acacia seeds to smoke-water and butenolide, a smoke-derived compound. J Arid Environ. 69: 177–187. Kull CA, Shackleton CM, et al. 2011. Adoption, use and perception of Australian acacias around the world. Divers Distrib. 17: 822-836. Kull CA, Rangan H. 2008. Acacia exchanges: wattles, thorn trees, and the study of plant movements. Geoforum. 39: 1258-1272. Kumolo FB, Utami S. 2011. Jenis–jenis tumbuhan anggota famili asteraceae di wana wisata Nglimut Gonoharjo Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Bioma. 13(1):124-127. Lambers H, TL Pons, FS Chapin III. 2008. Plant Physiological Ecology 2nd Ed. New York (US): Springer Science Media LLC. Le Maitre DC, Gaertner M, Marchante E. 2011. Impacts of invasive Australian acacias: implications for management and restoration. Divers Distrib. 17: 1015–1029. Leishman MR, T Haslehurst, A Ares, Z Baruch. 2007. Leaf trait relationships of native and invasive plants: community-and global-scale comparisons. New Phytol. 176: 635–643. Levine JM, Vila M, D’Antonio C, Dukes JS, Grigulis K, Lavorel S. 2003. Mechanisms underlying the impact of exotic plant invasions. Phil. Trans. Roy. Soc. 270: 775-781. Mack RN, Simberloff D, Lonsdale WM, Evans H, Clout M, Bazzaz FA. 2000. Biotic invasions: causes, epidemiology, global consequences, and control. Ecol. Applic. 10: 689-710. Marchante E, Kjøller A, Struwe S, Freitas H. 2008. Short- and long-term impacts of Acacia longifolia invasion on the belowground processes of a Mediterranean coastal dune ecosystem. Appl Soil Ecol. 40: 210-217. Marchante E, Kjøller A, Struwe S, Freitas H. 2009. Soil recovery after removal of the N2-fixing invasive Acacia longifolia: consequences for ecosystem restoration. Biol. Invasions. 11:813-823. Mattice J, Lavy T, Skulman B, Dilday RH. 1998. Searching for allelochemicals in rice control ducksalad. Di dalam: Olofsdotter M (ed). Allelopathy in Rice. Manila (ML): International Rice Research Institute. hlm 81-98. Mc Neely JA, HA Mooney, LE Neville, P Schei, JKWaage. 2001. A Global Strategy on Invasive Alien Species.Switzerland (CH) and Cambridge (UK): IUCN Gland. McDonald I, Wale K, Bear V. 2012. Restoring blue gum high forest: lessons from Sheldon Forest. Ecol Manag Restoration. 3(1):145-160. Miller JP, Murphy Dj, Brown GK, Richadson DM, Gonzalez-Orozco CE. 2011. The evolution and phylogenetic placement of invasive Australia Acacia species. Divers Distrib. 17: 848-860. Mooney HA, Hobbs RJ. 2000. Invasive Species in a Changing World. Washington DC (US): Island. 457 pp. Morris JA Jr, KW Shertzer, JA Rice. 2011. A stage-based matrix population model of invasive lionfish with implications for control. Biol. Invasions. 13: 7-12.
58 Moser KW, Hansen MH, Nelson MD, McWilliams WH. 2009. Relationship of invasive groundcover plant presence to evidence of disturbance in the forest of the upper Midwest of the United States. Di dalam: Kohli RK, Jose S, Pal Singh H, Batish DR, editor. Invasive Plants and Forest Ecosystems. United State of America (US): CRC Press. Muller CH. 1995. Inhibitory terpens relatilized from Salvia shrub. Bull. Torrey Bot. 92-103. Murphy SD. 1999. Pollen allelopathy. Inderjit, Dakshini KMM, Foy Cl, Editor. Principle and Practices in Plant Ecology: Allelochemical Interactions. Boca Raton, Florida (US): CRC Press. hlm 129-148. Odum EP. 1996. Dasar-dasar ekologi. Samingan T, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr. Olofstodder M, Navarez D, Rebulanan M, Streibig JC. 1999. Weed suppressing rice cultivar-does allelopathy ply role?. Weed Res. 39: 441-454. Oyerinde RO, Otusanya OO, O.B Akpor. 2009. Allelopathic effect of Tithonia diversifolia on the germination, growth and chlorophyll contents of maize (Zea mays L.). Sci. Res. Essay. 4(12): 1553-1558. Pane H, OR Madkar, H Djajasukanta, DS Satiaatmadja. 1988. Beberapa aspek persaingan dan alelopati gulma utama lahan kering terhadap pertumbuhan dan hasil padi gogo. Di dalam Prosiding Konferensi ke-IX, Jilid II. Bogor (ID): Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. 113-123 hal. Pimentel D, Zuniga R, Morrison D. 2005. Update on the environmental and economic costs associated with alien-invasive species in the United States. Ecol. Econ. 52: 273-288. Putnam AR. 1984. Weed allelopathy. Di dalam SO Duke, Ed. Weed Physiology : Reproduction and Ecophysiology. Florida (US): CRC Press, Inc. 131155p. Putnam AR. 1984. Weed allelopathy. In S. O. Duke (Ed.). Weed Physiology: Reproduction and Ecophysiology. Florida (US): Boca Raton, CRC Press, Inc.. 131-155p. Pysek P, Jarosik J, Kuc˘era T. 2002. Patterns of invasion in temperate nature reserves. Biol Conserv. 104: 13–24. Qasem JR, Foy CL. 2001. Weed allelopathy, its ecological impacts and future prospects: a review. J Crop Prod. 4:43-119. Radford IJ, NicholasDM, BrownJR. 2001. Impact of prescribed burning on Acacia nilotica seed banks and seedlings in the Astrebla grasslands of northern Australia. J Arid Environ. 49: 795-807. Radosevich SR, Holt JS, Ghersa CM. 2007. Ecology of Weed and Invasive Plants: Relationship to Agriculture and Natural Resource Management. Australia (AU): John Wiley & Sons, Inc. Publication. Rice EL. 1984. Allelopathy (2nd). New York (US): Academic Press. Rice EL. 1995. Biological Control of Weed and Plant Diseases. Norman (US): Univ. of Oklahoma Press. Richardson DM & Rejma´nek M. 2011. Trees and shrubs as invasive alien species – a global review. Divers Distrib. 17:788–809. Richardson DM, Carruthers J, Hui C, Impson FAC, Miller JT, Robertson MP, Rouget M, Le Roux JJ, Wilson JRU. 2011. Human-mediated introductions of Australian acacias – a global experiment in biogeography. Divers. Distrib. 17: 771-787.
59 Richardson DM, Carruthers J, Hui C, Impson FAC, Robertson MP, Rouget M, Le Roux JJ, Wilson JRU. 2011. Human-mediated introductions of Australian acacias – a global experiment in biogeography. Divers Distrib. 17: 771787. Richardson DM, Kluge RL. 2008. Seed banks of invasive Australian Acacia species in South Africa: role in invasiveness and options for management. Perspect. Plant Ecol. Evol. Syst. 10: 161-177. Richardson DM, Pyšek P, Rejmánek M, Barbour MG, Panetta FD, West C.J. 2000. Naturalization and invasion of alien plants: concepts and definitions. Divers Distrib. 6: 93-107. Sastroutomo SS. 1990. Ekologi Gulma. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. 216 hal. Schmitz U, Dericks G. 2010. Spread of alien invasive Impatiens balfourii in Europe and its temperature, light and soil moisture demands. Flora. 205: 772-776. Setyawati T, Nuralita S, Bahri IP, Raharjo GT. 2015. A Guide Book to Invasive Plant Species in Indonesia. Bogor (ID): FORIS-Indonesian and FORDA Setyawati T, Sumianto A. 2015. Status, regulation and challanges in risk assessment and management of invasive alien species in Indonesia. Di dalam: Fernandez JC, Shono K, Barett K, Editor.Harmonizing Methods in Risk Assessment and management of Forest Invasive Alien Plant Species in Southeast Asia; 2014 Des 2-5; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Seameo Biotrop. hlm 74-80. Shakula RS, PS Chandel. 1982. Plant Ecology. Ram Gar, New Delhi (IN): S. Chand & Company LTD. Sher AA, Hyatt LA. 1999. The disturbed resource-flux invasion matrix: a new framework for patterns of plant invasion. Biol Invasion. 6:107-114. Shigesada N, Kawasaki K. 1997. Biological invasions: Theory and practice. Oxford (UK): Oxford University Press. Singh HP, Batish DR, Kohli RK. 2003. Allelopathic interaction Ana allelochemicals: new possibilities for sustainable weed management. Crit Rev Plant Sci. 22: 239-311. Smallwood KS, Salmon TP. 1992. A rating system for potential exotic bird and mammal pests. Biol Cons. 62: 149-159. Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi hutan Indonesia. Bogor (ID): Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Soerjani M, AJGH Kostermans, G Tjitrosoepomo. 1987. Weed of Rice in Indonesia. Jakarta (ID): Balai Pustaka. 716 hal. Sunaryo, Uji T, Tihurua EF. 2012. Komposisi jenis dan potensi ancaman tumbuhan asing invasif di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat. Berita Biologi. 11(2):231-239. Suryanto P, Zaki MH, Azani MA, Azmy M. 2010. The dynamic growth and standing stock of Acacia decurrens following the 2006 eruption in Gunung Merapi National Park, Java, Indonesia. J of Biology. 2(2):165-170. Sutomo S. 2013. Ecological Succession on Volcanic Ecosystem of Mount Merapi Indonesia and Its Implication for Restoration. Bogor (ID): Seameo Biotrop.
60 Swamy PS, Sundarapandian SM, Chandrasekar S. 2000. Plant species diversity and tree population structure of a humid tropical forest in Tamil Nadu, India. Biodivers Conserv. 9:1643-1669. Thuiller W, Richardson DM, Rouget M, Proche, Wilson JRU. 2006. Interactions between environment, species traits, and human uses describe patterns of plant invasions. Ecology. 87: 1755–1769. Tucker KC, Richadson DM. 1995. An expert system for screening potentially invasive alien plants in South African fynbos. J of Environ Manag. 44: 309-338. Tweddle JC, Dickie JB, Baskin CC, Baskin JM. 2003. Ecological aspects of seed desiccation sensitivity. J Ecol. 91: 294-304. Uji T, Sunaryo, Rachman E, Tihurua EF. 2010. Kajian jenis flora asing invasif di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Biota. 15(2):167173. Virtue JG, Specer RD, Weiss JE, Reichard SE. 2008. Autralia’s botanic Garden weed risk assessment procedure. Plant Prot. Q. 23: 166-78. Virtue JG. 2010. South Australia’s weed risk assessment system. Plant Prot. Q. 25: 75-90. Vyvyan JR. 2002. Allelochemicals as leads for new herbicides and agrochemicals. Tetrahedron. 58: 1631-1646. Walker LR, del Moral R. 2003. Primary Succession and Ecosystem Rehabilitation. Cambridge (UK): Cambridge Univ Pr. Wang Q, X. Ruan, ZH Li, CD Pan. 2006. Autotoxicity of plants and research of coniferous forest autotoxicity. Sci. Sil. Sin. 43:134-142. Weber E. 2003. Invasive species of the world: A reference guide to environmental weeds. Oxford (UK). CABI Publishing. Weiss D, Ori N. 2007. Mechanisms of cross talk between gibberellin and other hormones. Plant Physiol. 144: 1240-1246. Yu JQ, Ye SF, Zhang MF, Hu WH. 2003. Effects of root exudates and aqueous root extracts of cucumber (Cucumis sativus) and allelochemicals, on photosynthesis and antioxidant enzymes in cucumber. Biochem Syst Ecol. 31:129-139. Yuniasih B. 2013. Ancaman Invasi Acacia decurrens pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010 terhadap pemulihan keanekaragaman hayati flora pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Zainol NA, Voo SC, Sarmidi MR, Aziz RA. 2008. Profiling of Centella asiatica (L.) urban extract. Malaysian J Analytical Sci. 12,(2): 322 -327. Zheng YL, Feng YL, Liu WX, Liao ZY. 2009. Growth, biomass allocation, morphology and photosynthesis of invasive Eupatorium adenophorum and its native congeners grown at four irradiances. Plant Ecol. 203: 263–71.
61
LAMPIRAN
62 Lampiran 1. Daftar pertanyaan penilaian risiko tumbuhan invasif Keinvasifan (Invasiveness) 1. Bagaimana kemampuan tumbuhan invasif mapan diantara tumbuhan asli yang ada Semai dengan mudah mapan diantara vegetasi yang rapat atau □ Amat tinggi antara infestasi gulma lain yang rapat Semai dengan mudah mapan dalam vegetasi yang terbuka atau □ Tinggi antara infestasi rata rata saja dari tumbuhan lain yang ada. Semai mapan ketika sudah ada gangguan moderat pada vegetasi yang ada yang mengurangi banyak kompetisi, seperti pemotongan □ Medium rumput, pembersihan pohon, banjir terkendali, kekeringan. □ Rendah
Semai memerlukan tanah terbuka untuk mapan, meliputi misalnya pembersihan seresah. Ini terjadi ketika gangguan besar terjadi seperti kultivasi, overgrazing, pembakaran, banjir atau kekeringan lama.
□ Tidak tahu Seperti apa ketahanan tumbuhan invasif ini terhadap praktek pengelolaan umumnya di sistem pemanfaatan lahan yang kita uji? □ Sangat tinggi Lebih dari 95% gulma itu survive dengan pengendalian umumnya. □ Tinggi Lebih dari 50% masih survive. □ Medium Kurang dari 50% saja yang bertahan hidup. □ Rendah Kurang dari 5% bertahan hidup. □ Tidak tahu Seperti apa kemampuan reproduksi tumbuhan invasif itu
a. Periode berbuah □ 1 tahun 2 □ 2-3 tahun 1
b. Prod. biji □ Banyak 2 □ Sedikit 1
c. Repro vegetatif □ Cepat 2 □ Lambat 1
□ >3 tahun
0
□ Tak ada 0
□ Tak ada
0
□ Tidak tahu
?
□ Tak tahu ?
□ Tak tahu
?
4.
3 2 1
0 ?
2.
3.
Skor
Tinggi Medium tinggi Medium rendah Rendah Tidak tahu
Seperti apa penyebaran jarak jauh ( >100 m) secara alamiah
a. Penyebaran oleh burung Umum 2 Kadang-kadang 1 Mungkin tidak 0 Tidak tahu ? c. Oleh air Umum 2 Kadang-kadang 1 Mungkin tidak 0 Tidak tahu ?
b. Oleh hewan lain Umum Kadang-kadang Mungkin tidak Tidak tahu d. Oleh angin Umum Kadang kadang Mungkin tidak Tidak tahu
2 1 0 ? 2 1 0 ?
Skor 3 2 1 0 ?
Total a+b+c
Skor/ nilai
5 -6
3
3-4
2
1-2
1
0
0 ?
Total a +b+c+d 6,7,8 3,4,5 1,2 0 Tidak tahu
Skor 3 2 1 0 ?
63 5.
Seperti apa penyebaran jarak jauh oleh manusia
a. Penyebaran sengaja oleh manusia Umum Kadang-kadang Mungkin tidak Tidak tahu c. Mengkontaminasi hasil bumi Umum Kadang-kadang Mungkin tidak Tidak tahu
2 1 0 ? 2 1 0 ?
b. Penyebaran tanpa sengaja oleh manusia Umum 2 Kadang-kadang 1 Mungkin tidak 0 Tidak tahu ? d. Dibawa hewan ternak Umum 2 Kadang-kadang 1 Mungkin tidak 0 Tidak tahu ?
Total a+b+c+d 6,7,8
Skor
3,4,5 1.2 0 Tak tahu
2 1 0 ?
3
Dampak 1.
Apakah tumbuhan invasif menurunkan mapannya tumbuhan yang dikehendaki Tumbuhan invasif menghentikan lebih dari 50% mapannya tumbuhan yang dikehendaki (regenerasi padang rumput, tanaman budidaya, dan >50% reduksi semai pohon yang ditanam, regenerasi tumbuhan asli, dengan mencegah perkecambahan atau mematikan kecambah). 10 – 50% Tumbuhan invasif itu menghentikan kemapanan 10 – 50 % tumbuhan reduksi yang dikehendaki Tumbuhan invasif menghentikan kurang dari 10% tumbuhan yang 10% reduksi dikehendaki Tumbuhan invasif itu tidak mempengaruhi perkecambahan dan Tidak ada survival semai dari tumbuhan yang dikehendaki Tidak tahu 2.
Apakah tumbuhan invasif itu menurunkan produksi species yang kita kehendaki? Tumbuhan invasif menurunkan produksi tanaman budidaya, Penurunan >50% hijauan padang rumput, hasil kayu hutan, atau jumlah vegetasi ekosistem alam lebih dari 50% Penurunan 25 – 50% Tumbuhan invasif menurunkan produksi 25 -50% Penurunan 10 – 25% Tumbuhan invasif menurun produksi 10 – 25% Penurunan < 10% Tumbuhan invasif menurunkan produksi sampai 10% Tumbuhan invasif itu tidak berpengaruh pada pertumbuhan species yang kita kehendaki, atau bahkan dapat bermanfaat Tidak ada pada suatu tingkat pertumbuhannya sehingga imbang dengan dampak negatifnya. Tidak tahu
3.
Apakah tumbuhan invasif ini menurunkan hasil atau jasa yang diperoleh dari pemanfaatan lahan Tinggi Tumbuhan invasif menurunkan kualitas hasil sehingga tidak dapat dijual karena kontaminasi yang berlebihan, beracun, berbau/abnormal (secara fisik maupun kimia). Untuk vegetasi lokal tumbuhan invasif menurunkan biodiversitas (tumbuhan maupun hewan) sehingga tidak sesuai untuk didaerah konservasi. Medium Tumbuhan invasif menurunkan kualitas dan harga produk. Untuk daerah vegetasi lokal menurunkan biodiversitas dan menurunkan prioritas untuk konservasi. Rendah Menurunkan kualitas tetapi sedikit saja, harga masih bagus, hanya sedikit mempengaruhi vegetasi lokal. Untuk daerah urban tidak ada dampak. Tidak ada Tidak ada pengaruh kepertanian, vegetasi alam maupun perkotaan Tidak tahu
Skor 3
2 1
0 ? Skor 4 3 2 1 0 ?
Skor 3
2
1 0 ?
64 4.
Apakah tumbuhan invasif itu membatasi gerakan manusia, ternak, kendaraan, mesin dan/atau air? Infestasi tumbuhan invasif tidak dapat dilewati sepanjang tahun, sehingga Tinggi mencegah gerakan fisik manusia, hewan, kendaraan dan air. Infestasi gulma jarang sampai tidak bisa dilewati, tetapi secara signifikan Medium memperlambat gerakan fisik manusia, hewan, kendaraan/mesin atau air sepanjang tahun. Infestasi gulma tidak pernah sampai tidak bisa dilewati, tetapi secara Rendah signifikan memperlambat gerakan fisik manusia atau hewan, kendaraan pada suatu saat dalam setahun atau menimbulkan hambatan aliran air. Tidak ada Tumbuhan invasif tidak berpengaruh pada gerakan hewan. Tidak tahu 5.
Tumbuhan invasif itu berlengaruh pada kesehatan satwa atau manusia? Tumbuhan invasif itu sangat beracun menyebabkan kematian atau sakit Tinggi serius bagi satwa maupun manusia Tumbuhan itu dapat menyebabkan kesakitan fisik (onak duri) dan sakit Medium (alergi) pada satwa maupun manusia, serta dapat menyebabkan kematian Tumbuhan ini dapat menyebabkan kesakitan ringan pada satwa maupun Rendah manusia tetapi segera hilang Tidak ada Tumbuhan tidak berpengaruh pada kesehatan satwa mapun manusia Tidak tahu 6.
Skor 3 2
1 0 ? Skor 3 2 1 0 ?
Apakah tumbuhan invasif itu berpengaruh besar positif/negatif pada kesehatan lingkungan? Pengaruh besar Pengaruh besar Berpengaruh Tidak positif negatif kecil / tidak ada tahu Skor (a) – (f) -1 1 0 ? (a) Makanan/naungan? Tumbuhan invasif berpengaruh negatif misalnya Digitaria ciliaris yang menjadi inang blas pada padi, sedang yang berpengaruh positif misalnya Cassia cobanensis, Antigonon leptopus, Turnera subulata, Euphorbia heterophylla, yang menyediakan nectar bagi serangga parasitoid dari ulat kantong (Metisa plana, Pteroma pendula, Mahasena corbeti) yang menyerang kelapa sawit. (b) Rezim api? Ini meliputi perubahan frekuensi, intensitas dan/atau timing kebakaran. Misalnya invasi Chromolaena odorata di hutan sekunder yang membuat hutan rentan kebakaran . (c) Meningkatkan Leguminosae seperti Acacia nilotica meningkatkan kandungan unsur unsur hara? hara tanah, walupun menguntungkan bagi pertanian, tetapi memfasilitasi invasi gulma lain, seperti Thespesia lampas, Bidens biternata, Aciranthes aspera. (d) Salinitas tanah? Apakah daun tumbuhan invasif mengandung garam tinggi? Dekomposisi daun seperti ini mengingkatkan salinas tanah permukaan (e) Stabilitas tanah? Apakah tumbuhan ini meningkatkan erosi tanah atau sedimentasi waduk? (f) Permukaan air Apakah tumbuhan invasif ini menaikkan atau menurunkan tanah? permukaan air tanah? Apakah ini dampak negatif atau positif? Jumlah Nol atau >3 2-3 1 a +b +c +d +e +f kurang Skor untuk (6) 3 2 1 0
65 Distribusi Potensial Dengan peta tadi berapa persen lahan yang dimanfaatkan itu sesuai untuk pertumbuhan tumbuhan invasif Tumbuhan invasif berpotensi menyebar pada 80% lahan yang >80% lahan sesuai diuji 60-80% lahan sesuai Tumbuhan invasif berpotensi menyebar pada 60-80% lahan 40-60% lahan sesuai Tumbuhan invasif berpotensi menyebar pada 40-60 lahan 20-40% lahan sesuai Tumbuhan invasif berpotensi menyebar pada 20-40% lahan 10-20% lahan sesuai Tumbuhan invasif berpotensi menyebar pada 10-20% lahan 5-10% lahan sesuai Tumbuhan invasif berpotensi menyebar pada 5 – 10 % lahan 1-5% Lahan sesuai Tumbuhan invasif berpotensi menyebar pada 1-5% lahan Tumbuhan invasif tidak sesuai dengan kondisi di lahan yang Tidak sesuai diuji Tidak tahu Fisibilitas Pengelolaan Biaya Kontrol 1. Bagaimana mudah tumbuhan invasif ini dideteksi a) Tinggi saat dewasa □ <0,5 m □ 0,5 – 2 m □>2m □ Tidak tahu c) Fitur pembeda
2 1 0 ? 2 1 0 ?
b) Ada pertumbuhan tajuk □ < 4 bulan 2 □ 4 – 8 bulan 1 □ > 8 bulan 0 □ Tidak tahu ? d) Tinggi pra reproduksi relatif terhadap vegetasi lain □ Dibawah kanopi 2 □ Tinggi sama 1 □ Diatas kanopi 0 □ Tidak tahu ?
Tidak ada Kadang berbeda Selalu berbeda Tidak tahu
□ □ □ □ □
2. Seperti apa secara umum aksesabilitas infestasi yang telah diketahui Rendah Sebagian besar lokasi infestasi sukar diakses Medium Sebagian besar lokasi dapat diakses Tinggi Seluruh infestasi dapat diakses Tidak ada Tidak diketahui ada tumbuan invasif di lokasi yang diuji Tidak tahu Berapa mahalkah biaya kontrol tumbuhan invasif dngan memakai tehnik yang memaksimumkan efikasi dan meminimkan kerusakan non target Biaya kimia, bahan bakar, dan b) Biaya buruh Jumlah peralatan untuk operasi (a + b) Tinggi sekali 4 □ Tinggi sekali 4 7,8 Tinggi 3 □ Tinggi 3 5,6 Medium 2 □ Medium 2 3,4 Rendah 1 □ Rendah 1 1,2 Tidak sesuai 0 □ Tidak sesuai 0 □ Tidak tahu Tidak tahu ? □ Tidak tahu ?
Amat tinggi Tinggi Medium Rendah
A > Rp. 5,0 juta Rp. 2,0 - 3,0 juta Rp. 1,0 – 2,0 juta < Rp. 1,0 juta
Kategori Biaya B > Rp.3,0 juta Rp. 1,0 – 2,0 juta Rp. 0,5 – 1,0 juta < Rp.0,5 juta
8 6 4 2 1 0,5 0 ?
Skor 3 2 1 0 ?
Skor 2 1 0 0 ?
3.
□ □ □ □ □ □
10
Total (a + b + c + d) 7 atau 8 5 atau 6 3 atau 4 0,1 atau 2
□ □ □ □
a)
Skor
C Rp. >1,0. juta Rp. 0,5 – 1,0 juta Rp. 0,3 – 0,5 juta < Rp. 0,3 juta
Skor Sebaran 0-8 4 3 2 1 ?
Skor 4 3 2 1
66 4. Seperti apa tingkat kerjasama pemangku kepentingan dalam area terinvasi? □ Rendah Pengendalian tumbuhan invasif tidak dilakukan. Biaya dan teknik tidak tersedia □ Medium Perlu perobahan metoda pengendalian, biaya dan teknik tersedia □ Tinggi Perlu sedikit perubahan saja untuk mengendalian tumbuhan invasif □ Tidak tau Distribusi Tumbuhan Invasif 1. Berapa persen dari lahan yang dikelola diinvasi oleh tumbuhan Invasif saat ini dan dari keseluruhan sistem pemanfaatan lahan ? Tumbuhan invasif itu menginvasi >80% lahan yang □ > 80% lahan terinvasi dikelola dalam sistem pemanfaatan lahan yang dievaluasi □ 60 – 80% lahan terinvasi Tumbuhan invasif menginvasi 60 - 80% lahan □ 40 – 60% lahan terinvasi Tumbuhan invasif menginvasi 40 - 60% lahan □ 20 – 40% lahan terinvasi Tumbuhan invasif menginvasi 20 - 40% lahan □ 10 – 20% lahan terinvasi Tumbuhan invasif menginvasi 10 - 20% lahan □ 5 – 10% lahan terinvasi Tumbuhan invasif menginvasi 5 - 10% lahan □ 1 – 5% lahan terinvasi Tumbuhan invasif menginvasi 1 - 5% lahan Tumbuhan invasif menginvasi lahan yang dikelola □ < 1% lahan terinvasi tapi kurang dari 1% □ 0% lahan terinvasi dan Tumbuhan invasif tidak ada di lahan yang dikelola 20–40% diluar dalam tapi menginvasi 20 - 40 % dikawasan sistem sistem pemanfaatan lahan □ 0% lahan terinvasi dan Tumbuhan invasif tidak ada di lahan yang dikelola 10-20% diluar dalam tapi menginvasi 10 - 20 % dikawasan sistem sistem pemanfaatan lahan □ 0% lahan terinvasi dan Tumbuhan invasif tidak ada di lahan yang dikelola 5-10% diluar dalam tapi menginvasi 5 - 10 % dikawasan sistem sistem pemanfaatan lahan Tumbuhan invasif tidak ada di lahan yang dikelola □ 0% lahan terinvasi dan 1tapi menginvasi 1 - 5 % dikawasan sistem 5% diluar dalam sistem pemanfaatan lahan □ 0% lahan terinvasi dan Tumbuhan invasif tidak ada di lahan yang dikelola <1% diluar dalam dan menginvasi kurang dari 1 % dikawasan sistem sistem pemanfaatan lahan Tumbuhan invasif itu tidak ada dalam sistem □ 0% dalam sistem pemanfaatan yang sedang dievaluasi □ tidak tahu 2.
Seperti apa pola distribusi tumbuhan invasif dalam sistem pemanfaatan lahan? Tumbuhan invasif ditemukan dalam infetasi besar dan kecil □ Tersebar luas diseluruh daerah sistem pemanfaatan lahan □ Terpencar Tumbuhan invasif ditemukan sebagai infestasi kecil tersebar merata disebagian besar sistem pengelolaan lahan Tumbuhan invasif terlokalisir hanya pada beberapa lokasi dalam □ Terbatas keseluruhan sistem pemanfaatan lahan, tidak ternaturalisasi □ Tidak Tumbuhan invasif itu tidak ada dalam sistem pemanfaatan lahan ditemukan yang dikaji Persistensi 1. Berapa efektifkah pengendalian yang ditargetkan pada infestasi tumbuhan invasif? □ Rendah Lebih dari 25% tumbuhan invasif dari target tahunan, survive □ Medium Sampai 25% tumbuhan invasif dari target tahunan survive □ Tinggi Sampai 5% tumbuhan invasif dari target tahunan survive □ Sangat tinggi Sampai 1% tumbuhan invasif dari target tahunan survive □ Tidak tahu
Skor 2 1 0 ?
Skor 10 8 6 4 2 1 0,5 0,1 2
1
0,5
0,1
0,05 0 ? Skor 2 1 0 0
Skor 3 2 1 0 ?
67 2. □ □ □ □ □
Berapakah periode minimum untuk reproduksi seksual atau propagul vegetatif? < 1 bulan Minimum waktu generasi < 1 bulan <1 tahun Minimum waktu generasi < 1 tahun < 2 tahun Minimum waktu generasi < 2 tahun > 2 tahun Minimum waktu generasi 2 tahun Tidak tahu
Skor 3 2 1 0 ?
3. Berapakah lama maksimum propagul seksual maupun vegetatif tetap viabel? □ > 5 tahun Propagul seksual atau vegetatif dapat dorman setidaknya selama 5 tahun □ 2 – 5 tahun Propagul seksual atau vegetatif dapat dorman selama 2 – 5 tahun □ < 2 tahun Propagul seksual atau vegetatif dapat dorman kurang dari 2 tahun □ Tidak tahu
Skor 2 1 0 ?
Lamanya bank biji didalam tanah adalah penentu utama berapa lama infestasi harus dikendalikan untuk menentukan keberhasilan eradikasi 4. Berapa besar kemungkinan propagul baru tetap datang pada Total (a +b) Skor lokasi yang dikaji atau mulai menginisiasi infestasi baru? a) Penyebaran jarak jauh b) Tumbuh 4 3 secara alamiah □ Sering 2 □ Biasanya ditanam 2 2-3 2 □ Kadang-kadang 1 □ Kadang-kadang ditanam 1 1 1 □ Jarang 0 □ Tidak ditanam 0 0 0 □ Tidak tahu ? □ Tidak tahu ? Tidak tahu ?
68 Lampiran 2
Komposisi spesies tumbuhanbawah di resort Cangkringan pada tiga zona ketinggian
FAMILI Apiaceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Balsaminaceae Cyperaceae Fabaceae Gleicheniaceae Melastomataceae Oxalidaceae Poaceae Poaceae Polygalaceae Rosaceae Silaginellaceae Verbenaceae Verbenaceae Apiaceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae
NAMA TUMBUHAN KR(%) Zona 1: 800-1100 m dp Centella asiatica 8.86 Ageratum conyzoides 2.19 Bidens biternata 5.84 Elephantopus scaber 1.37 Emilia sonchifolia 1.10 Erigeron sumatrensis 3.93 Eupatorium inulifolium 1.46 Chromolena odorata 3.74 Eupatorium triplinerve. 1.00 Gynura crepidioides 0.55 Sida rhombifolia 0.27 Synedrella nodiflora 4.47 Tithonia diversifolia 0.27 Tridax procumbens 1.55 Wedeliatrilobatata 5.84 Impatiens platypetala 6.03 Cyperus rotundus 1.46 Mimosa pudica 3.74 Gleichenia longissima 2.19 Melastoma malabatrhium 0.37 Oxalis corniculata 3.93 Imperata cilyndrica 23.19 Pennisetum macrostachyum 3.65 Polygala paniculata 8.67 Rubus chrysophyllus 0.37 Selaginella kraussiana 0.73 Lantana camara 2.28 Stachytarpheta jamaicensis 0.91 Zona 2: 1100 - 1300 m dpl Centella asiatica 11.35 Ageratum conyzoides 3.38 Bidens biternata 2.72 Elephantopus scaber 2.81 Emilia sonchifolia 2.81 Eupatorium inulifolium 4.69 Chromolena odorata 0.28 Eupatorium triplinerve 1.78 Gynura crepidioides 3.10 Mimosa pudica 0.94 Pennisetum macrostachyum 2.06 Polygala paniculata 0.38
FR(%)
INP(%)
5.60 2.40 4.80 5.60 3.20 6.40 4.00 4.80 3.20 0.80 0.80 5.60 0.80 1.60 4.00 5.60 2.40 6.40 3.20 1.60 3.20 8.00 3.20 3.20 1.60 3.20 3.20 1.60
14.46 4.59 10.64 6.97 4.30 10.33 5.46 8.54 4.20 1.35 1.07 10.07 1.07 3.15 9.84 11.63 3.86 10.14 5.39 1.97 7.13 31.19 6.85 11.87 1.97 3.93 5.48 2.51
8.11 4.50 3.60 8.11 8.11 9.01 0.90 3.60 4.50 2.70 2.70 0.90
19.46 7.88 6.32 10.92 10.92 13.70 1.18 5.39 7.60 3.64 4.77 1.28
69 Lanjutan Lampiran 2 FAMILI NAMA TUMBUHAN KR (%) FR (%) INP (%) Asteraceae Sida rhombifolia 1.69 3.60 5.29 Asteraceae Tithonia diversifolia 0.19 0.90 1.09 Asteraceae Tridax procumbens 0.28 1.80 2.08 Asteraceae Wedeliatrilobatata 0.75 2.70 3.45 Balsaminaceae Impatiens platypetala 3.94 8.11 12.05 Cyperaceae Cyperus rotundus 1.03 2.70 3.73 Poaceae Imperata cilyndrica 50.84 9.01 59.85 Gleicheniaceae Gleichenia longissima 1.03 2.70 3.73 Rosaceae Rubus rosaefolius 0.19 1.80 1.99 Silaginellaceae Oxalis corniculata 1.97 2.70 4.67 Verbenaceae Lantana camara 1.13 5.41 6.53 Verbenaceae Stachytarpheta jamaicensis 0.66 1.80 2.46 Zona 3: > 1400 m dpl Apiaceae Centella asiatica 8.04 5.56 13.59 Asteraceae Ageratum conyzoides 5.71 6.17 11.88 Asteraceae Bidens biternata 5.14 3.70 8.85 Asteraceae Elephantopus scaber 1.21 4.94 6.14 Asteraceae Emilia sonchifolia 2.17 4.94 7.11 Asteraceae Erigeron sumatrensis 3.46 4.94 8.39 Asteraceae Eupatorium inulifolium 1.29 3.09 4.37 Asteraceae Chromolena odorata 3.30 3.70 7.00 Asteraceae Eupatorium triplinerve 0.88 2.47 3.35 Asteraceae Gynura crepidioides 1.13 3.70 4.83 Asteraceae Sida rhombifolia 0.24 0.62 0.86 Asteraceae Synedrella nodiflora 3.94 4.32 8.26 Asteraceae Tithonia diversifolia 0.24 0.62 0.86 Asteraceae Tridax procumbens 5.06 6.17 11.24 Asteraceae Wedeliatrilobatata 5.14 3.09 8.23 Balsaminaceae Impatiens platypetala 6.83 6.17 13.01 Cyperaceae Cyperus rotundus 1.29 1.85 3.14 Fabaceae Mimosa pudica 3.30 4.94 8.23 Gleicheniaceae Gleichenia longissima 1.93 2.47 4.40 Melastomataceae Melastoma malabatrhium 1.21 5.56 6.76 Oxalidaceae Oxalis corniculata 3.46 2.47 5.93 Poaceae Imperata cilyndrica 20.42 6.17 26.59 Poaceae Pennisetum macrostachyum 3.22 2.47 5.68 Polygalaceae Polygala paniculata 7.64 2.47 10.11 Rosaceae Rubus chrysophyllus 0.32 1.23 1.56 Silaginellaceae Selaginella kraussiana 0.64 2.47 3.11 Verbenaceae Lantana camara 2.01 2.47 4.48 Verbenaceae Stachytarpheta jamaicensis 0.80 1.23 2.04 Keterangan: KR: Kerapatan Relatif; FR: Frekuensi Relatif; INP: Indeks Nilai Penting
70 Lampiran 3
Komposisi spesies tumbuhan fase pancang di resort Cangkringan pada tiga zona ketinggian
FAMILI
NAMA TUMBUHAN KR (%) FR (%) INP (%) Zona 1: 800-1100 m dp Fabaceae Acacia decurrens 51.43 29.41 80.84 Fabaceae Erythrina variegata 34.29 23.53 57.82 Fabaceae Paraserianthes falcataria 11.43 11.76 23.19 Zona 2: 1100-1300 m dp Fabaceae Acacia decurrens 76.00 70.00 146.00 Fabaceae Schima wallichi 24.00 30.00 54.00 Zona 3: > 1400 m dp Fabaceae Acacia decurrens 50.67 33.33 84.00 Fabaceae Erythrina variegata 16.00 19.05 35.05 Fabaceae Paraserianthes falcataria 32.00 47.62 79.62 Keterangan: KR: Kerapatan Relatif; FR: Frekuensi Relatif; INP: Indeks Nilai Penting Lampiran 4
Komposisi spesies tumbuhan fase tiang di resort Cangkringan pada tiga zona ketinggian
FAMILI Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Keterangan: Lampiran 5
NAMA TUMBUHAN KR (%) FR (%) Zona 1: 800-1100 m dp Acacia decurrens 86.25 71.43 Erythrina variegata 7.50 21.43 Paraserianthes falcataria 2.50 7.14 Zona 2: 1100-1300 m dp Acacia decurrens 95.26 76.92 Erythrina variegata 1.32 15.38 Paraserianthes falcataria 2.11 7.69 Zona 3: > 1400 m dp Acacia decurrens 96.09 50.00 Erythrina variegata 1.30 20.00 Paraserianthes falcataria 2.61 30.00 KR: Kerapatan Relatif; FR: Frekuensi Relatif; DR: Indeks Nilai Penting
DR (%)
INP (%)
41.46 3.16 6.11
199.14 32.09 15.75
37.13 3.91 5.88
209.31 20.61 15.68
34.58 3.31 7.67 Dominansi
180.67 24.61 40.28 Relatif; INP:
Komposisi spesies tumbuhan tumbuhan bawah di resort Kemalang pada tiga zona ketinggian
FAMILI Apiaceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae
NAMA TUMBUHAN KR (%) Zona 1: 800-1100 m dp Centella asiatica 17.49 Synedrella nodiflora 0.00 Ageratum conyzoides 6.74 Bidens biternata 2.55 Emilia sonchifolia 6.56 Erigeron sumatrensis 2.37 Gynura crepidioides 3.10 Polygala paniculata 1.28 Sida rhombifolia 3.28 Wedeliatrilobatata 0.91 Erigeron sumatrensis 3.10 Chromolena odorata 4.19
FR (%) 8.33 0.00 5.83 3.33 4.17 4.17 3.33 2.50 6.67 1.67 5.00 5.83
INP (%) 25.82 0.00 12.57 5.88 10.72 6.53 6.43 3.78 9.95 2.58 8.10 10.02
71 Lanjutan Lampiran 5. Asteraceae Eupatorium riparium 4.74 7.50 12.24 Balsaminaceae Impatiens platypetala 6.92 5.83 12.76 Gleicheniaceae Gleichenia longissima 0.00 0.00 0.00 Melastomataceae Melastoma malabatrhium 4.92 6.67 11.58 Mimosaceae Selaginella kraussiana 3.46 5.00 8.46 Oxalidaceae Oxalis corniculata 4.01 5.00 9.01 Poaceae Imperata cilyndrica 19.67 8.33 28.01 Verbenaceae Stachytarpheta jamaicensis 2.37 5.00 7.37 Verbenaceae Lantana camara 2.37 5.83 8.20 Verbenaceae Rubus chrysophyllus 0.00 0.00 0.00 Verbenaceae Rubus plicatus 0.00 0.00 0.00 Zona 2: 1100-1300 m dp Apiaceae Centella asiatica 16.33 9.68 26.01 Asteraceae Ageratum conyzoides 5.78 8.60 14.38 Asteraceae Bidens biternata 1.79 4.30 6.09 Asteraceae Emilia sonchifolia 6.37 5.38 11.75 Asteraceae Erigeron sumatrensis 3.98 6.45 10.44 Asteraceae Chromolena odorata 5.38 7.53 12.91 Asteraceae Eupatorium riparium 1.39 2.15 3.54 Asteraceae Gynura crepidioides 3.39 5.38 8.76 Asteraceae Stachytarpheta jamaicensis 3.39 5.38 8.76 Balsaminaceae Impatiens platypetala 8.17 8.60 16.77 Melastomataceae Melastoma malabatrhium 1.39 2.15 3.54 Mimosaceae Selaginella kraussiana 2.19 4.30 6.49 Poaceae Imperata cilyndrica 7.17 6.45 13.62 Poaceae Pennisetum purpureum 27.29 10.75 38.04 Verbenaceae Lantana camara 2.79 6.45 9.24 Zona 3: > 1400 m dp Apiaceae Centella asiatica 7.38 6.38 13.76 Asteraceae Ageratum conyzoides 3.50 6.38 9.88 Asteraceae Bidens biternata 0.78 1.06 1.84 Asteraceae Emilia sonchifolia 12.82 9.57 22.39 Asteraceae Erigeron sumatrensis 3.88 5.32 9.20 Asteraceae Chromolena odorata 8.16 7.45 15.60 Asteraceae Eupatorium riparium 4.47 7.45 11.91 Asteraceae Stachytarpheta jamaicensis 2.14 5.32 7.46 Balsaminaceae Impatiens platypetala 6.60 8.51 15.11 Gleicheniaceae Gleichenia longissima 2.52 5.32 7.84 Melastomataceae Melastoma malabatrhium 0.97 3.19 4.16 Mimosaceae Selaginella kraussiana 4.66 6.38 11.04 Oxalidaceae Oxalis corniculata 2.52 4.26 6.78 Poaceae Imperata cilyndrica 8.16 7.45 15.60 Poaceae Pennisetum purpureum 28.54 10.64 39.18 Keterangan: KR: Kerapatan Relatif; FR: Frekuensi Relatif; INP: Indeks Nilai Penting
72 Lampiran 6
Komposisi spesies tumbuhan fase pancang di resort Kemalang padatiga zona ketinggian
FAMILI
NAMA TUMBUHAN KR (%) FR (%) INP (%) Zona 1: 800-1100 m dp Fabaceae Acacia decurrens 100.00 100.00 200.00 Zona 2: 1100-1300 m dp Fabaceae Acacia decurrens 125.71 29.41 155.13 Zona 3: > 1400 m dp Fabaceae Acacia decurrens 257.14 29.41 286.55 Keterangan: KR: Kerapatan Relatif; FR: Frekuensi Relatif; INP: Indeks Nilai Penting; MR: Indeks Morisita; A: Acak; M: Mengelompok; S: Seragam Lampiran 7
Komposisi spesies tumbuhan fase tiang di resort Kemalang pada tiga zona ketinggian
FAMILI
NAMA TUMBUHAN KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Zona 1: 800-1100 m dp Fabaceae Acacia decurrens 100.23 100 21.77 222.00 Zona 2: 1100-1300 m dp Fabaceae Acacia decurrens 99.58 29.41 20.16 149.15 Zona 3: > 1400 m dp Fabaceae Acacia decurrens 99.59 29.41 17.79 146.79 Keterangan: KR: Kerapatan Relatif; FR: Frekuensi Relatif; DR: Dominansi Relatif; INP: Indeks Nilai Penting Lampiran 8
Komposisi spesies tumbuhan tumbuhan bawah di resort Selo pada tiga zona ketinggian
FAMILI Apiaceae Apiaceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Melastomataceae Oxalidaceae Poaceae Poaceae Rosaceae Rosaceae Solanaceae Verbenaceae
NAMA TUMBUHAN KR (%) Zona 1: 800-1100 m dp Centella asiatica 23.05 Foeniculum vulgare 0.61 Anaphalis javanica 0.76 Anaphalis longifolia 0.46 Athyrium sp. 2.90 Erigeron sumatrensis 1.07 Chromolena odorata 2.59 Eupatorium riparium 10.23 Impatiens platypetala 5.49 Indigofera cassiodes 1.07 Lactuca sativa 0.92 Melastoma malabatrhium 1.53 Oxalis corniculata 7.94 Pennisetum purpureum 30.98 Pogonaterum sp. 6.26 Rubus chrysophyllus 0.61 Rubus plicatus 1.22 Brugmansia candida 0.76 Lantana camara 1.53
FR (%)
INP (%)
11.11 4.44 5.56 3.33 4.44 4.44 3.33 11.11 6.67 3.33 3.33 4.44 4.44 11.11 4.44 2.22 3.33 3.33 5.56
34.16 5.05 6.32 3.79 7.34 5.51 5.93 21.34 12.16 4.40 4.25 5.97 12.38 42.09 10.70 2.83 4.55 4.10 7.08
73 Lanjutan Lampiran 8. Zona 2: 1100-1300 m dp Centella asiatica 11.60 8.82 20.43 Anaphalis javanica 3.15 7.35 10.50 Anaphalis longifolia 2.49 8.82 11.31 Lactuca sativa 1.66 4.41 6.07 Athyrium sp. 1.66 4.41 6.07 Impatiens platypetala 4.81 7.35 12.16 Erigeron sumatrensis 2.49 7.35 9.84 Indigofera cassiodes 0.50 1.47 1.97 Chromolena odorata 3.15 5.88 9.03 Eupatorium riparium 3.48 5.88 9.36 Melastoma malabatrhium 0.50 2.94 3.44 Pennisetum purpureum 45.09 14.71 59.80 Pogonaterum sp. 16.58 8.82 25.40 Rubus chrysophyllus 0.50 2.94 3.44 Rubus plicatus 0.83 4.41 5.24 Zona 3: > 1400 m dp Apiaceae Centella asiatica 2.62 2.56 5.18 Asteraceae Anaphalis javanica 4.67 11.54 16.21 Asteraceae Anaphalis longifolia 3.55 6.41 9.96 Balsaminaceae Impatiens platypetala 7.66 11.54 19.20 Compositae Erigeron sumatrensis Retz 1.49 5.13 6.62 Malvaceae Chromolena odorata 14.20 12.82 27.02 Malvaceae Eupatorium riparium 3.36 5.13 8.49 Melastomataceae Melastoma malabatrhium 1.31 3.85 5.15 Poaceae Pennisetum purpureum 37.74 12.82 50.56 Poaceae Pogonaterum sp. 20.74 10.26 31.00 Rosaceae Rubus chrysophyllus Miq. 0.93 3.85 4.78 Rosaceae Rubus plicatus 1.31 6.41 7.72 Verbenaceae Lantana camara 3.74 7.69 11.43 Keterangan:KR: Kerapatan Relatif; FR: Frekuensi Relatif; INP: Indeks Nilai Penting Apiaceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Athyriaceae Balsaminaceae Compositae Fabaceae Malvaceae Malvaceae Melastomataceae Poaceae Poaceae Rosaceae Rosaceae
Lampiran 9
Komposisi spesies tumbuhan fase pancang di resort Selo pada tiga zona ketinggian
FAMILI Ericaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Meliaceae Rubiaceae Sapindaceae Theaceae Ericaceae Fabaceae Fabaceae
NAMA TUMBUHAN KR (%) Zona 1: 800-1100 m dp Vaccinium varingifolium 25.00 Acacia decurrens 17.00 Albizia lophanta 26.00 Erythrina lithosperma 13.00 Toona sureni 7.00 Chinchona succirubra 11.00 Dodonea viscosa 5.00 Schima wallichii 10.00 Zona 2: 1100-1300 m dp Vaccinium varingifolium 39.00 Acacia decurrens 22.00 Albizia lophanta 15.00
FR (%)
INP (%)
14.29 16.67 11.90 14.29 9.52 11.90 9.52 11.90
39.29 33.67 37.90 27.29 16.52 22.90 14.52 21.90
25.64 20.51 15.38
64.64 42.51 30.38
74 Lanjutan Lampiran 9 Fabaceae Erythrina lithosperma 13.00 17.95 30.95 Meliaceae Toona sureni 3.00 5.13 8.13 Rubiaceae Chinchona succirubra 4.00 7.69 11.69 Theaceae Schima wallichii 5.00 7.69 12.69 Zona 3: > 1400 m dp Ericaceae Vaccinium varingifolium 51.20 53.33 104.53 Fabaceae Acacia decurrens 32.00 26.67 58.67 Fabaceae Erythrina lithosperma 16.00 20.00 36.00 Keterangan: KR: Kerapatan Relatif; FR: Frekuensi Relatif; INP: Indeks Nilai Penting Lampiran 10 Komposisi spesies tumbuhan fase tiang di resort Selo pada tiga zona ketinggian FAMILI Casuarinaceae Cupressaceae Ericaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Meliaceae Myricaceae Rubiaceae Sapindaceae Theaceae Casuarinaceae Cupressaceae Ericaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Rubiaceae Theaceae Casuarinaceae Cupressaceae Ericaceae Fabaceae Fabaceae Keterangan:
NAMA TUMBUHAN KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Zona 1: 800-1100 m dp Casuarina junghuhniana 6.67 10.77 5.15 22.59 Cupresses montana 3.81 9.23 2.79 15.83 Vaccinium varingifolium 11.9 7.69 9.09 28.68 Acacia decurrens 17.62 13.85 27.18 58.65 Albizia lophanta 20.00 15.38 15.48 50.86 Erythrina lithosperma 7.62 10.77 11.31 29.70 Toona sureni 1.90 4.62 1.11 7.63 Myrica javanica 1.90 6.15 7.76 15.81 Chinchona succirubra 2.86 6.15 4.61 13.62 Dodonea viscosa 1.90 3.08 3.31 8.29 Schima wallichii 12.38 12.31 15.23 39.92 Zona 2: 1100-1300 m dp Casuarina junghuhniana 7.22 11.86 1.69 20.77 Cupresses montana 1.11 1.69 5.08 7.88 Vaccinium varingifolium 32.22 16.95 2.28 51.45 Acacia decurrens 20.56 16.95 17.58 55.09 Albizia lophanta 16.67 13.56 12.79 43.02 Erythrina lithosperma 11.11 10.17 6.33 27.61 Chinchona succirubra 5.56 6.78 2.70 15.04 Schima wallichii 7.78 13.56 4.88 26.22 Zona 3: > 1400 m dp Casuarina junghuhniana 7.14 16.67 3.48 27.29 Cupresses montana 2.14 8.33 1.96 12.43 Vaccinium varingifolium 22.86 25.00 1.18 49.04 Acacia decurrens 65.71 41.67 19.66 127.04 Albizia lophanta 2.86 8.33 15.33 26.52 KR: Kerapatan Relatif; FR: Frekuensi Relatif; DR: Dominansi Relatif; INP: Indeks Nilai Penting;
75
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pahang (Malaysia) pada tanggal 1 Juli 1989 dari ayah Mansyur dan ibu Najima. Penulis adalah putera pertama dari dua bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Makassar dan menamatkannya pada tahun 2012. Kesempatan untuk melanjutkan program Magister pada Program Studi Biologi Tumbuhan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun yang sama. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) melalui program Beasiswa Fresh Graduate Tahun 2013. Penulis memperoleh bantuan dana penelitian dari FORIS Project Indonesia Pusat Penelitian dan Konservasi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2014. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti ialah Ekologi Tumbuhan khususnya Tumbuhan Asing Invasif. Selama mengikuti program S-2, penulis aktif mengikuti kegiatan pelatihan dan seminar baik nasional maupuan internasional. Beberapa diantaranya yaitu peserta pelatihan penulisan publikasi internasional oleh SEAMEO BIOTROP, pelatihan pengelolaan gulma dan tumbuhan invasif oleh SEAMEO BIOTROP. Penulis juga menjadi pemakalah dan mempresentasikan sebagian hasil penelitian tesis ini pada International Conference of Bioscience (IcoBio) dengan judul makalah “Impact of Mt. Merapi Eruption onAcacia decurrens (Wendl.) Wild. Invasion” yang dilaksanakan oleh Departemen Biologi FMIPA IPB. Sebagian dari tulisan ini sedang dalam proses penerbitan pada Jurnal BIOTROPIA dengan judul “Autecology of Invasive Plant Species Acacia decurrens in Mount Merapi National Park”.