RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
Penulis: Hendra Gunawan Peneliti Utama Konservasi Sumberdaya Alam Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan Sugiarti Humas Madya Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Marfuah Wardani Peneliti Madya Botani Hutan Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan M. Hesti Lestari Tata Peneliti Madya Bidang Silvikultur Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan Sukaesih Prajadinata Peneliti Madya Bidang Silvikultur Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan
Penelaah Ilmiah: Prof. Dr. Tukirin Partomiharjo Peneliti Utama Bidang Ekologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan KEMENTERIAN KEHUTANAN
Copyright
©
2013
Judul
:
RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI PASCA ERUPSI
ISBN
: 978-602-1681-02-2
Penulis
: Hendra Gunawan, Sugiarti, Marfuah Wardani, M. Hesti Lestari Tata, Sukaesih Prajadinata
Penelaah Ilmiah
: Prof. Dr. Tukirin Partomiharjo
Disain sampul dan tata letak
: Tatang Rohana
Foto sampul depan: Hendra Gunawan Diterbitkan oleh
: Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi -Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610
Dibiayai oleh
: Direktur Kawasan Konservasi Dan Bina Hutan Lindung (DIPA 029 TA. 2013) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Kerjasama
: - Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan. - Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam - Balai Taman Nasional Gunung Merapi Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Cetakan Pertama : November 2013 Hak cipta dilindungi oleh undang-Undang Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Saran Kutipan : Gunawan, H., Sugiarti, M. Wardani, M.H.L. Tata dan S. Prajadinata. 2013. Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca Erupsi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.
Silakan mengutip isi buku ini dengan menyebutkan sumbernya.
ii
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan atas selesainya penyusunan buku ini. Buku yang merupakan hasil karya kolaborasi antar lima pakar di bidangnya dan didukung oleh kontributor yang relevan diharapkan dapat menyumbang khasanah bacaan referensi sekaligus panduan bagi para praktisi dalam pelaksanaan restorasi ekosistem kawasan konservasi, khususnya di Gunung Merapi. Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan selama dua tahun dan kajian referensi yang relevan serta ditelaah oleh ahli ekologi sehingga diharapkan dapat memenuhi kebututuhan referensi restorasi di Indonesia yang masih sangat terbatas. Meskipun demikian, buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca dan pemerhati sangat kami harapkan untuk perbaikan (revisi). Akhirnya Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan buku ini, yaitu penelaah ilmiah, kontributor data dan foto, editor dan pengatur tata letak (lay out). Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya dalam rangka merestorasi ekosistem Gunung Merapi yang terdegradasi akibat erupsi tahun 2010.
Bogor, Agustus 2013 Penulis
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
iii
SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI & REHABILITASI
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, satu buku lagi telah terbit sebagai bentuk luaran dari penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PUSKONSER), Badan Litbang Kehutanan. Ini adalah salah satu buku yang bersifat praktis sehingga mudah dipahami dan diaplikasikan oleh para praktisi. Meskipun demikian, buku ini masih bersifat ilmiah sehingga juga bisa menjadi referensi kalangan peneliti dan akademisi. Kondisi kawasan konservasi di Indonesia terus mengalami degradasi, baik yang diakibatkan oleh aktifitas manusia seperti perambahan, penebangan liar dan pembakaran lahan maupun akibat bencana alam seperti kebakaran hutan dan erupsi gunung api. Kawasan konservasi yang terdegradasi tersebut perlu segera direstorasi agar fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah maupun pelestarian manfaat sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dapat kembali. Untuk itu restorasi pada tingkat ekosistem perlu dilakukan. Sampai saat ini, hasil penelitian maupun pedoman restorasi ekosistem, khususnya di kawasan konservasi masih sangat langka. Ekosistem kawasan konservasi memiliki nilai konservasi, keunikan dan fungsi yang berbeda dengan ekosistem hutan produksi, sehingga restorasinya pun memerlukan kriteria-kriteria khusus. Buku ini dapat menjadi salah satu jawaban atas kebutuhan akan pedoman restorasi ekosistem di kawasan konservasi, khususnya untuk ekosistem pegunungan di Jawa dan terutama di Taman Nasional Gunung Merapi Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada para penulis, kontributor, penelaah ilmiah dan semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan dan penerbitan buku ini. Semoga hasil karya para peneliti ini bermanfaat bagi perbaikan hutan di Indonesia pada umumnya. Bogor, Agustus 2013 Kepala Pusat
Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP.195712211982031002
iv
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
SAMBUTAN DIREKTUR KAWASAN KONSERVASI DAN BINA HUTAN LINDUNG DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
Indonesia memiliki kawasan konservasi seluas kurang lebih 27.190.992,91 ha dengan berbagai macam tipe ekosistem. Saat ini kawasan tersebut mengalami degradasi yang disebabkan oleh kegiatan perambahan, bencana alam (kebakaran, gunung meletus, tanah longsor, banjir, dll), illegal logging, dan konflik lahan dengan masyarakat. Ekosistem kawasan konservasi yang terdegradasi harus dipulihkan agar dapat memberikan fungsi-fungsinya kembali, oleh karena itu pemerintah mencanangkan kegiatan restorasi ekosistem kawasan konservasi yang dinilai tepat untuk mengembalikan fungsi ekosistem di kawasan konservasi. Keberhasilan program restorasi ekosistem di kawasan konservasi, memerlukan kerjasama semua pihak khususnya para peneliti untuk mendapatkan dukungan hasil penelitian dan pengembangan dari program tersebut. Oleh karena itu, dengan diterbitkannya Buku Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca Erupsi, kami selaku Pengelola mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, khususnya Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PUSKONSER) yang telah berpartisipasi dan bersinergi dengan program Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung. Akhirnya kepada penulis dan semua pihak yang berkontribusi pada buku ini, kami sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga buku ini bermanfaat untuk semua pihak yang berkepentingan.
Jakarta, Agustus 2013 Direktur
Ir. Bambang Dahono Adjie, MM, M.Si. NIP. 19580519 198603 1 001
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
v
SAMBUTAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI Kami selaku pengelola Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM) menyampaikan terima kasih kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PUSKONSER), yang telah melakukan penelitian di wilayah kerja kami dalam rangka mendukung pengelolaan BTNGM. Secara khusus, kami juga menyamapaikan terima kasih kepada tim penulus yang telah mendokumentasikan hasil penelitiannya dalam sebuah buku yang praktis dan mudah dipahami. BTNGM merupakan salah satu taman nasional yang relatif masih baru dan oleh karenanya masih membutuhkan dukungan banyak penelitian dalam rangka meningkatkan pengelolaannya. Apalagi kondisi Gunung Merapi yang selalu mendapat ancaman kerusakan akibat bencana erupsi maupun tekanan penduduk di sekitarnya, sehingga pengelolaanya selalu menghadapi masalah yang kompleks. Salah satu masalah yang dihadapi saat ini adalah kerusakan ekosistem hutan akibat erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada Oktober 2010. Kerusakan ekosistem hutan menyebabkan rusak dan berkurangnya habitat satwa, terganggunya sistem hidrologi, dan merajalelanya spesies invasif Acacia decurrens. Untuk merestorasi ekosistem hutan yang rusak, perlu dilakukan penanaman dengan jenis-jenis pohon asli. Buku ini sangat komprehensif membahas tahapan-tahapan restorasi ekosistem hutan Gunung Merapi pasca erupsi. Buku ini sangat relevan dan valid karena merupakan hasil penelitian ilmiah yang dilakukan di Gunung Merapi. Disamping itu, penelitian ini merupakan kolaborasi antara peneliti dan teknisi PUSKONSER dengan fungsional PEH, penyuluh dan jagawana BTNGM, sehingga hasilnya benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Akhirnya, kami selaku pengelola BTNGM sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi mulai dari kegiatan penelitian di lapangan sampai penulisan buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu panduan lapangan bagi para petugas kami dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya. Yogyakarta, Agustus 2013 Kepala Balai TNGM
Drs. Bambang Darmadja, M.S. NIP. 195708311986021001
vi
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . SAMBUTAN KEPALA PUSLITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI . . . . . SAMBUTAN DIREKTUR KAWASAN KONSERVASI DAN BINA HUTAN LINDUNG DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM SAMBUTAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI . . . . . . . DAFTAR ISI .......................................... DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
iii iv v vi vii viii ix
PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . A. Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . B. Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1 2 3
KARAKTERISTIK EKOSISTEM GUNUNG MERAPI A. Status, Letak dan Luas . . . . . . . . . . . . B. Ekosistem Flora dan Fauna . . . . . . . . . . C. Tanah dan Topografi . . . . . . . . . . . . . . D. Curah Hujan dan Hidrologi . . . . . . . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
4 4 4 6 7
DAMPAK ERUPSI GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . A. Dampak Erupsi Terhadap Manusia . . . . . . . . . . B. Dampak Erupsi Terhadap Ekosistem Hutan . . . . C. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Tumbuhan E. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Satwa . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
8 8 8 12 15
SUKSESI ALAM DAN ANCAMAN INVASI SPESIES ASING . . . . . . . . . . . . . . A. Suksesi Alam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . B. Ancaman Invasi Spesies Asing (Alien Species) . . . . . . . . . . . . . . . . .
20 20 21
RESTORASI EKOSISTEM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . A. Prinsip Restorasi Ekosistem . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . B. Analisis Vegetasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . C. Inventarisasi dan Identifikasi Jenis Pohon Asli . . . . . . . . D. Pemilihan Jenis Pohon Asli untuk Tanaman Restorasi . . . E. Teknik Silvikultur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . F. Zonasi Restorasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . G. Pelibatan Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . TEKNIK KOLEKSI HERBARIUM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . A. Pengambilan Material Herbarium . . . . . . . . . . . . . . . . . B. Teknik Pemrosesan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . C. Identifikasi Matrial Herbarium . . . . . . . . . . . . . . . . . . . PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . DAFTAR ISTILAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . RIWAYAT HIDUP PENULIS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
24 24 25 28 28 31 34 37 39 39 41 46
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
. . . . .
.......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ........... .......... .......... .......... .......... . . . .
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
49 102 110 114
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Rekapitulasi hasil analisis vegetasi ekosistem Gunung Merapi pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi
13
Tabel 2.
Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia penting di TNGM pasca erupsi
16
Tabel 3.
Jenis-jenis burung di areal terdampak erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi
18
Tabel 4.
Rekapitulasi indeks keragaman jenis (H') dan indeks evenness (e) burung-burung di areal rusak terkena erupsi
19
Tabel 5.
Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas burung antar lokasi pengamatan
19
Tabel 6.
Jenis-jenis eksotik (didatangkan) yang menjadi pionir pada areal terdampak erupsi di TNGM
23
Tabel 7.
Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat pohon
26
Tabel 8.
Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat anakan dan tumbuhan bawah
26
Tabel 9.
Luas areal TNGM yang terdampak erupsi Gunung Merapi
34
viii
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ekosistem hutan pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi
5
Gambar 2. Ekosistem hutan tanaman Pinus merkusii (kiri) dan tanaman Agathis alba (kanan) di Taman Nasional Gunung Merapi
5
Gambar 3. Dampak erupsi Gunung Merapi menghilangkan harta benda (a,b), merusak infrastruktur jalan dan saluran irigasi (c,d), memusnahkan lahan pertanian dan meluluhlantakkan pemukiman (e,f)
9
Gambar 4. Beberapa gambaran kondisi lingkungan Gunung Merapi sesudah erupsi pada 16 Desember 2010 (kanan) dan beberapa minggu sebelum erupsi (kiri). Atas dan tengah adalah lokasi wisata Kalikuning, bawah adalah Taman Wisata wisata Kaliurang
10
Gambar 5. Rantai makanan sederhana (kiri) dan piramida tingkat tropik (kanan) di ekosistem Gunung Merapi
11
Gambar 6. Kondisi hidrologi sebelum dan pasca erupsi. Atas: Salah satu umbul(mata air) di hulu Kalikuning, bawah: Kalikunig.
11
Gambar 7. Gambaran kondisi kerusakan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi
12
Gambar 8. Sebaran pohon menurut tingkat pertumbuhan pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi Gunung Merapi
15
Gambar 9. Mamalia kecil seperti landak jawa (Hystrix javanica) menjadi korban erupsi karena tidak mampu melarikan diri dari luncuran awan panas. Sementara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mengais sampah untuk mencari makan karena persediaan makanan di alamnya habis terkena erupsi
16
Gambar 10. Proporsi sebaran enam jenis satwa mamalia menurut kelas kerusakan kawasan TNGM pasca erupsi
17
Gambar 11. Komposisi burung menurut macam pakan utamanya di areal rusak akibat erupsi Merapi setelah 16 bulan pasca erupsi
19
Gambar 12 Jumlah jenis anakan pohon dan tumbuhan bawah pada areal rusak akibat erupsi setelah satu tahun pasca erupsi
21
Gambar 13. Kiri : rekolonisasi 3 bulan pasca erupsi dan Kanan : rekolonisasi 18 bulan pasca erupsi di Resor Kemalang
21
Gambar 14. Kerapatan anakan pohon di areal terdampak erupsi di Merapi
22
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
ix
Gambar 15. Pada bulan April 2012 atau 18 bulan pasca erupsi, hamparan abu vulkanik telah kembali hijau oleh invasi Acacia decurrens.
23
Gambar 16. Model analisis vegetasi dengan metode kombinasi jalur dan garis berpetak (digambar ulang dari Kusmana, 1997).
25
Gambar 17. Frekuensi relatif anakan pohon di areal terdampak erupsi di TNGM
30
Gambar 18. Klasifikasi tingkat kerusakan vegetasi hutan di Taman Nasional Gunung Merapi pasca erupsi sebagai dasar zonasi restorasi
35
Gambar 19. Kesediaan masyarakat terkena dampak erupsi untuk direlokasi
37
Gambar 20. Persepsi masyarakat tentang sterilisasi areal terkena dampak dari aktifitas manusia
37
Gambar 21. Persepsi masyarakat tentang rencana restorasi areal terdampak erupsi
37
Gambar 22. Keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan di TNGM
38
Gambar 23. Pendapat masyarkat tentang pengelolaan Gunung Merapi ke depan
38
Gambar 24. Material herbarium berlebel dalam lipatan Koran
42
Gambar 25. Tumpukan material herbarium dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disiram dengan alkohol/spirtus
42
Gambar 26. Tungku pengeringan yang terdiri dari : tempat bara, rak, dan atap. ( sumber : Bridson dan Forman, 1992)
43
Gambar 27. Pengepresan material herbarium terdiri dari (paling bawah): alumunium bergelombang – karton – material herbarium dalam lipatan koran – karton – alumunium bergelombang
44
Susunan material herbarium yang sudah dipres dengan sasak ( bagian paling bawah sasak dan paling atas ditutup dengan sasak)
44
Gambar 29. Pengeringan dengan menggunakan bolam listrik, terdiri dari kotak papan penempel bolam dan rak besi (Sumber: Afriastini, 1997)
45
Gambar 30. Pengeringan material herbarium dalam oven
46
Gambar 31. Label koleksi hebarium
47
Gambar 28
x
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia memiliki Kawasan Hutan Konservasi (HK) yang terdiri atas Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) dengan luas keseluruhan mencapai 23.240 juta hektar. KSA terdiri atas 214 Cagar Alam (CA), 63 unit Suaka Margasatwa (SM), sedangkan KPA terdiri atas 104 unit Taman Wisata Alam (TWA) dengan 17 unit kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) dan 50 unit Taman Nasional (TN). Dari keseluruhan kawasan konservasi tersebut, 82 % merupakan kawasan daratan. Dari keseluruhan kawasan konservasi tersebut, taman nasional merupakan yang terluas (57%) (Departemen Kehutanan, 2004). Ekosistem hutan taman nasional darat umumnya telah mengalami deforestasi dan atau degradasi akibat perambahan, perladangan, penebangan dan perburuan liar serta masuknya spesies asing (alien species). Degradasi ekosistem hutan juga terjadi akibat bencana alam seperti erupsi gunung api dan kebakaran hutan. Deforestasi dan degradasi ini mengakibatkan terganggunya fungsi-fungsi hakiki yang melekat pada ekosistem dalam kawasan taman nasional tersebut, yaitu fungsi ekologi, hidrologi, ekonomi dan sosial sehingga tidak optimal. Kerusakan ekosistem taman nasional, baik yang disebabkan oleh manusia
2
maupun bencana alam, perlu direstorasi untuk memulihkan kembali fungsifungsinya sebagai kawasan taman nasional, yaitu untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan secara lestari keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Mengingat kompleksnya proses-proses dan fungsi ekosistem, maka untuk dapat memperoleh kembali fungsifungsi tersebut harus dilakukan pemulihan pada level lanskap. Menurut Maginnis dan Jackson (2006) restorasi lanskap hutan tidak ditujukan untuk mengembalikan lanskap hutan seperti keadaan aslinya sebelum terganggu, tetapi lebih merupakan upaya pendekatan untuk memperlakukan aset sumberdaya hutan secara proporsional untuk kebaikan manusia dan alam. Karena restorasi lanskap hutan ditujukan untuk penyediaan barang dan jasa hutan pada level lanskap, maka tidak terbatas pada teknik-teknik intervensi pada tapak-tapak khusus. Dalam pendekatan restorasi ekosistem hutan, masyarakat disertakan untuk mengidentifikasi dan menetapkan secara tepat praktek-praktek penggunaan lahan yang akan membantu pemulihan fungsi hutan secara keseluruhan lanskap sebagai
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
daerah tangkapan air. Dalam hal ini difokuskan pada pemulihan fungsifungsi hutan pada tingkat lanskap untuk optimalisasi fungsi ekologi hutan dan pemeliharaan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini adalah memperkuat hubungan antara pembangunan pedesaan, kehutanan dan manajemen konservasi sumberdaya alam lainnya. Dengan perkataan lain lebih mengutamakan pada optimalisasi penyediaan manfaat hutan dalam lanskap yang lebih luas (IUCN, 2005).
Salah satu kunci dalam restorasi lanskap hutan adalah identifikasi tipe dan tingkat restorasi yang sesuai dengan kondisi sosial dan fisik lingkungan yang ada. Pada ekosistem yang telah sangat rusak sehingga tidak mampu memulihkan diri sendiri melalui proses suksesi alami, maka upaya restorasi lebih baik difokuskan pada pemulihan secara cepat dan pemeliharaan proses-proses penting seperti hidrologi, siklus hara dan transfer energi daripada usaha mengembalikan struktur hutan seperti aslinya (Maginnis dan Jackson, 2006).
B. Tujuan Penulisan buku ini bertujuan untuk : (1) memberikan pemahaman tentang kondisi ekosistem hutan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM); (2) memberikan pemahaman tentang dampak erupsi terhadap ekosistem, vegetasi dan satwa di TNGM; (3) memberikan informasi hasil-hasil
penelitian dan aplikasinya dalam kegiatan restorasi ekosistem TNGM; (4) menampilkan deskripsi ekologi jenisjenis pohon asli Gunung Merapi sebagai bahan acuan restorasi; (5) menjadi panduan bagi manajemen maupun petugas lapangan dalam rangka pelaksanaan restorasi ekosistem.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
3
KARAKTERISTIK EKOSISTEM GUNUNG MERAPI A. Status, Letak dan Luas Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merapi seluas ± 6.410 Ha (Departemen Kehutanan, 2007). Secara geografis kawasan TNGM terletak pada koordinat 07°22'33" 07°52'30" LS dan 110°15'00" 110°37'30" BT. Secara administratif TN Gunung Merapi terketak di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten) seluas ± 5.126,01 Ha dan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Sleman) seluas ± 1.283,99 Ha (BTNGM, 2009a).
Hutan di Gunung Merapi telah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak tahun 1931 untuk perlindungan sumber air, sungai dan penyangga sistem kehidupan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Magelang. Sebelum ditunjuk menjadi taman nasional, kawasan hutan yang termasuk di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas hutan lindung seluas ± 1.041,38 ha, Cagar Alam Plawangan Turgo seluas ±146,16 ha; dan Taman Wisata Alam Plawangan Turgo seluas ± 96,45 ha. Kawasan hutan yang termasuk di wilayah Provinsi Jawa Tengah merupakan hutan lindung dengan luas ± 5.126 ha (BTNGM, 2009a).
B. Ekosistem, Flora dan Fauna Kawasan TNGM merupakan salah satu perwakilan ekosistem hutan pegunungan di Pulau Jawa yang masih tersisa. Ekosistem pegunungan ini sangat menarik untuk dipelajari karena berada di kawasan gunung api teraktif di Indonesia, sehingga kondisinya sangat dinamis sebagai akibat sering terganggu oleh aliran lahar dan awan panas saat terjadi letusan. Oleh karena itu, bisa jadi kawasan ini memiliki spesies-spesies tumbuhan yang khas, endemik yang
4
mampu beradaptasi dengan lingkungan pasca erupsi. Vegatasi di kawasan hutan TNGM terdiri atas vegetasi asli yang merupakan hutan alam pegunungan dan vegetasi tanaman eks Perum Perhutani. Beberapa jenis pohon di hutan alam antara lain Lithocarpus elegans, Ficus spp., Gymnostoma junghuhniana, Erythrina variegata, Nauclea orientalis, Villebrunea rubescens, Schima wallichii, Antidesma tetrandum, Aglaia
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
maupun tumbuh liar antara lain Pinus merkusii, Acacia decurens, Agathis alba, dan Paraserianthes falcataria (Anonim, 2003).
Doc. Hendra Gunawan (2010)
odoratisima, Cinnamomum iners, Trema orientalis, Pithecolobium clyearia, Cratoxylon clandestinum, Toona sureni, Alangium chinensis. Sedangkan jenisjenis eksotik yang ada, baik ditanam
Doc. Hendra Gunawan (2010)
Gambar 1. Ekosistem hutan pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi.
Gambar 2. Ekosistem hutan tanaman Pinus merkusii (kiri) dan tanaman Agathis alba (kanan) di Taman Nasional Gunung Merapi.
5
Jenis-jenis satwa mamalia yang ditemukan di TN Gunung Merapi antara lain: Macan tutul (Panthera pardus melas), Kijang (Muntiacus muntjak), Rusa (Cervus timorensis), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Lutung (Presbytis fredericae), Kucing hutan (Prionailurus bengalensis), Musang (Paradoxurus hermaphroditus), Babi hutan (Sus scrofa) dan Bajing kelapa (Calosciurus notatus) (Anonim, 2003). Beberapa jenis burung yang dijumpai di kawasan ini antara lain: Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides), Burung Madu Gunung (Aethopyga eximia), Burung Madu Jawa (Aethopyga mystacalis), Cabai Gunung (Dicaeum sanguinolentum), Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris), Cica Daun Sayap Biru (Chloropsis cochinchinensisnigricollis), Cinenen
Pisang (Orthotomus sutoris), Ciung mungkal (Cochoa azurea), Elang Jawa (Spezaetus bartelsi), Gemak (Turnix silvatica), Kipasan Ekor Merah (Rhipidura phoenicura), Meninting Kecil (Enicurus velatus), Poksai Kuda (Garrulax rufifrons), Prenjak Coklat (Prinia polychroa), Sepah Gunung (Pericrocotus miniatus), Takur Tohtor (Megalaima armilaris), Takur Bututut (Megalaima corvina), Takur Tulung Tumpuk (Megalaima javensis), Tepus Pipi Perak (Stachyris melanothorax), Tesia Jawa (Tesia superciliaris), Uncal Buau (Macropygia emiliana), Walik Kepala Ungu (Ptilinopus parphyreus), Wergan Coklat (Alcippe brunneicauda), Wergan Jawa (Alcippe pyrrhoptera), Serindit Jawa (Loriculus pusilus) (Anonim, 2003).
B. Tanah dan Topografi Kawasan TNGM umumnya terdiri atas jenis-jenis tanah regosol, andosol, alluvial dan litosol. Tanah regosol yang merupakan jenis tanah muda terutama berada di wilayah Yogyakarta. Bahan induk tanah adalah material vulkanik, yang berkembang pada fisiografi lereng gunung api. Jenis tanah andosol ditemukan di wilayah-wilayah kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali (BTNGM, 2009a). Kawasan TNGM berada pada ketinggian antara 600 - 2.968 m dpl. Topografi kawasan bervariasi mulai dari landai, berlereng curam hingga berbukit dan bergunung-gunung dengan puncak tertingginya ± 2.965 m dpl. Di sebelah
6
utara terdapat dataran tinggi yang menyempit di antara dua buah gunung, yakni Gunung Merapi dan Merbabu di sekitar Kecamatan Selo, Boyolali (BTNGM, 2009a). Di bagian selatan, lereng Gunung Merapi terus menurun dan melandai hingga ke pantai selatan di tepi Samudera Hindia, melintasi wilayah kota Yogyakarta. Sebelum kaki gunung, terdapat dua bukit yaitu bukit Turgo dan bukit Plawangan yang merupakan bagian kawasan wisata Kaliurang (BTNGM, 2009a). Kondisi topografi kawasan TNGM berdasarkan wilayah kabupaten adalah sebagai berikut (BTNGM, 2009a):
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
Kabupaten Klaten, keadaan topografinya landai sampai berbukit dengan ketinggian 100-150 m dpl. Kabupaten Boyolali berada diantara Gunung Merapi yang aktif dan Gunung Merbabu yang sudah tidak aktif, dengan ketinggian 75-1.500 m dpl. Empat sungai yang melintas wilayah ini adalah Serang, Cemoro, Pepe dan Gandul, disamping itu ada sumber-sumber air lain berupa mata air dan waduk. Kabupaten Magelang, di wilayah ini terdapat tiga kecamatan yang merupakan bagian lereng Gunung Merapi kearah barat, terletak pada ketinggian sekitar 500 m dpl. Semakin ke arah puncak Gunung Merapi kelerengan lahan semakin curam.
Kabupaten Sleman, keadaan topografinya landai hingga kelerengan sangat curam dengan ketinggian 100-1.500 m dpl. Di bagian paling utara merupakan lereng Gunung Merapi yang miring kearah selatan. Di lereng selatan Gunung Merapi terdapat dua bukit yaitu bukit Turgo dan bukit Plawangan yang merupakan bagian kawasan wisata Kaliurang. Di bagian lereng puncak Gunung Merapi topografi curam sampai sangat curam. Bagian selatan dari ketiga kecamatan berupa lahan persawahan dengan sistem teras yang cukup baik. Dibagian tengah berupa lahan kering dan paling utara merupkan bagian dari lereng Gunung Merapi yang berupa hutan.
D. Curah Hujan dan Hidrologi Curah hujan di TNGM berdasarkan data curah hujan yang tercatat dari Stasiun Klimatologi terdekat adalah sebagai berikut (BTNGM, 2009a):
Kabupaten Magelang, curah hujannya mencapai 2.252 - 3.627 mm/thn.
Kabupaten Boyolali, curah hujannya mencapai 1.856 - 3.136 mm/thn.
Kabupaten Klaten, curah hujannya mencapai 902 - 2.490 mm/thn.
Kabupaten Sleman, curah hujannya mencapai 1.869,8-2.495 mm/thn.
Wilayah Gunung Merapi merupakan sumber bagi tiga DAS (Daerah Aliran Sungai), yakni DAS Progo di bagian barat; DAS Opak di bagian selatan dan DAS Bengawan Solo di timur. Keseluruhan, terdapat sekitar 27 sungai di seputar Gunung Merapi yang mengalir ke tiga DAS tersebut.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
7
DAMPAK ERUPSI GUNUNG MERAPI A. Dampak Erupsi Terhadap Manusia Gunung Merapi menjadi perhatian nasional dan internasional karena aktifitas erupsinya. Gunung yang merupakan salah satu gunung api paling aktif di dunia mengalami erupsi hebat pada Selasa malam 26 Oktober 2010 hingga Sabtu 6 November 2010 dan tercatat sebagai bencana terburuk yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi dalam kurun waktu 100 tahun atau sejak 1870. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sampai dengan tanggal 2 Desember 2010 jumlah korban meninggal mencapai 277 orang dan dirawat inap karena luka-luka sebanyak 1.438 orang. Sementara 303.233 orang mengungsi (Kab. Magelang 82.994 orang, Kota Magelang 3.767, Kab. Boyolali 60.446 orang, Klaten 97.415 orang, Sleman 52.320 orang, Kulon Progo 4.261 orang, Bantul 1.200 orang, Kendal 51 orang, Purworejo 300 orang, dan Wonosobo 116 orang). 1
Menurut perhitungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh erupsi merapi, hingga 31 Desember 2010 mencapai Rp 7,3 triliun. Kerugian di Jawa Tengah mencapai Rp 1,9 triliun dan Yogyakarta Rp 5,4 triliun. Dampak terbesar di sektor lingkungan yang mencapai Rp 3,39 triliun, dan sektor ekonomi Rp 2,63 triliun. Kerugian meliputi sektor perumahan, infrastruktur, sosial, ekonomi serta fasilitas sosial dan fasilitas umum.2 Menurut Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman, jumlah ternak khususnya sapi yang mati akibat terkena erupsi Gunung Merapi di wilayah tersebut sebanyak 2.445 ekor dengan kerugian ditaksir sekitar Rp149 miliar. Di Kabupaten Klaten jumlah sapi yang dilaporkan mati akibat letusan Gunung Merapi berjumlah 357 ekor, di Kabupaten Magelang 16 ekor, dan di Kabupaten Boyolali sebanyak 66 ekor.3
1
Dari berbagai sumber http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/11/01/28/161187total-kerugian-erupsi-merapi-rp-7-3-t 3 http://www.antaranews.com/news/235055/erupsi-merapi-rugikan-sektorpeternakan-rp149-miliar 2
B. Dampak Erupsi Terhadap Ekosistem Hutan Erupsi Gunung Merapi menyebabkan kerusakan ekosistem hutan mulai dari tingkat ringan sampai parah. Kerusakan
8
ini menyebabkan terganggunya prosesproses kehidupan dalam ekosistem seperti rantai makanan dan siklus
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
35,93%, kerusakan ringan 28,41% dan tidak mengalami kerusakan 23,19%. Gambaran kondisi lingkungan pasca erupsi disajikan pada Gambar 3, 4 dan 6.
a
b
c
d
e
f
Doc. Hendra Gunawan (2010)
hidrologi. Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit, dari luasan 6.145,05 Ha, ekosistem hutan yang mengalami rusak parah 12,48%, kerusakan sedang
Gambar 3. Dampak erupsi Gunung Merapi menghilangkan harta benda (a,b), merusak infrastruktur jalan dan saluran irigasi (c,d), memusnahkan lahan pertanian dan meluluhlantakkan pemukiman (e,f). RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
9
Doc. Hendra Gunawan (2010)
Gambar 4. Beberapa gambaran kondisi lingkungan Gunung Merapi sesudah erupsi pada 16 Desember 2010 (kanan) dan beberapa minggu sebelum erupsi (kiri). Atas dan tengah adalah lokasi wisata Kalikuning, bawah adalah Taman Wisata Kaliurang.
Akibat erupsi Gunung Merapi, rantai makanan terganggu. Hal ini disebabkan Tumbuhan sebagai produsen berkurang kuantitas dan kualitasnya sehingga konsumen pertama seperti monyet, lutung, kijang, kancil, babi hutan dan landak terganggu. Pada akhirnya hal tersebut berpengaruh pada konsumen
10
kedua yaitu karnivora yang berperan sebagai puncak predator (top predator) ekosistem Gunung Merapi. Gejolak gangguan tersebut diindikasikan oleh perubahan perilaku beberapa jenis satwa, seperti masuk ke pemukiman dan kebun masyarakat di sekitar Gunung Merapi.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
Macan tutul
Kijang, Monyet, Lutung, Babi hutan, Kancil, Landak
Dekomposer
Tumbuhan
Sumber gambar satwa dan hutan : www.johnbanovich.com; www.oemanuell.blogspot.com ; www.depositphotos.com ; www.easy-drawings-and-sketches.com; www.colourbox.com ; www.drawing-factory.com ; www.cwdrawings.blogspot.com ; www.colourbox.com; www.ecologyandsociety.org
Gambar 5. Rantai makanan sederhana (kiri) dan piramida tingkat tropik (kanan) dari ekosistem Gunung Merapi.
sungai Kalikuning. Matinya mata air juga berakibat pada matinya air terjun di Taman Wisata Kaliurang, sehingga pasca erupsi obyek wisata ini kurang diminati pengunjung.
Doc. Hendra Gunawan (2010)
Dampak erupsi terhadap sistem hidrologi tampak jelas pada mengecilnya mata air “umbul lanang” dan “umbul wadon” di hulu Kali kuning yang berakibat pada menyusutnya debit
Gambar 6. Kondisi hidrologi sebelum dan pasca erupsi. Atas: Salah satu umbul(mata air) di hulu Kalikuning, bawah: Kalikunig.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
11
C. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Tumbuhan Erupsi hebat Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010 menyebabkan kerusakan vegetasi tumbuhan dengan tingkat kerusakan ringan sampai memusnahkan vegetasi. Kerusakan vegetasi dapat diklasifikasikan menjadi : rusak parah; rusak sedang; rusak ringan dan utuh (tidak rusak). Areal yang mengalami kerusakan berat umumnya vegetasinya habis terbakar awan panas sehingga yang tersisa hanyalah hamparan timbunan abu
vulkanik. Pada areal kerusakan sedang masih dapat dilihat pohon-pohon berdiri namun hampir seluruh tajuknya habis terbakar, ranting-rantingnya patah namun sebagian masih dapat bersemi kembali. Pada areal kerusakan ringan, vegetasinya masih tampak hijau namun terjadi beberapa kerusakan pada sebagian pohon dan tumbuhan bawahnya. Sementara areal yang tidak terdampak, vegetasinya relatif utuh dan tidak mengalami kerusakan.
Rusak sedang
Rusak ringan
Utuh (Tidak berdampak)
Doc. Hendra Gunawan (2010)
Rusak parah
Gambar 7. Gambaran kondisi kerusakan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi.
12
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi ekosistem Gunung Merapi pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi. Lokasi Blok Hutan
Altitude m dpl
Dampak Erupsi
Pohon * Jenis
H’
e
POHON (TREE) Hutan Plawangan (Pakem)
1000 - 1.100
Utuh
20
2.28
0.76
1.500
Ringan
12
1.86
0.75
Hutan Kali Batang (Kemalang) ***
1.450 - 1.800
Ringan
8
1.91
0.92
Hutan Ngargomulyo (Dukun)
1.200 - 1.300
Sedang
9
1.86
0.85
1000 - 1.100
Utuh
11
1.92
0.80
1.500
Ringan
11
2.13
0.89
Hutan Kali Batang (Kemalang)
1.450 - 1.800
Ringan
10
1.94
0.84
Hutan Ngargomulyo (Dukun)
1.200 - 1.300
Sedang
3
0.80
0.73
1000 - 1.100
Utuh
20
2.60
0.87
1.500
Ringan
11
2.28
0.95
Hutan Kali Batang (Kemalang)
1.450 - 1.800
Ringan
10
1.98
0.86
Hutan Ngargomulyo (Dukun)
1.200 - 1.300
Sedang
3
0.87
0.79
1000 - 1.100
Utuh
20
2.65
0.88
1.500
Ringan
9
2.03
0.92
Hutan Kali Batang (Kemalang)
1.450 - 1.800
Ringan
9
1.91
0.87
Hutan Ngargomulyo (Dukun)
1.200 - 1.300
Sedang
3
0.90
0.82
Hutan Sri Manganti (Cangkringan) **
TIANG (POLE) Hutan Plawangan (Pakem) Hutan Sri Manganti (Cangkringan)
PANCANG (SAPLING) Hutan Plawangan (Pakem) Hutan Sri Manganti (Cangkringan)
ANAKAN (SEEDLING) Hutan Plawangan (Pakem) Hutan Sri Manganti (Cangkringan)
*) H’: Indeks keragaman jenis
e : Indeks keseragaman jenis (evenness)
Pada areal dengan kerusakan parah tidak dilakukan analisis vegetasi karena seluruh vegetasi hilang akibat awan panas. Dari tabel di atas tampak bahwa erupsi mengakibatkan menurunnya indeks keragaman jenis (H') pohon sebanyak 16% - 18% pada kerusakan ringan dan 18% pada kerusakan sedang bila dibandingkan dengan referensi ekosistem tak terdampak. Sementara areal rusak berat, vegetasi yang hilang
**) lereng sisi selatan
***) lereng sisi timur
sama sekali (indeks keragaman nol) dan hanya berupa hamparan pasir. Kekayaan jenis dari suatu luasan petak contoh tertentu juga mengalami penurunan dari 20 jenis pada petak referensi menjadi 812 jenis atau 40%-60% lebih sedikit pada kerusakan ringan dan hanya 9 jenis pada petak dengan kerusakan sedang atau 45% lebih sedikit dari petak referensi.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
13
Vegetasi tingkat tiang pada areal dengan kerusakan ringan tidak menunjukkan perubahan yang mencolok. Pada petak kerusakan ringan jumlah jenisnya hanya berkurang satu jenis namun keragaman jenisnya malah meningkat 0,01%, sementara pada kerusakan sedang jumlah jenis tiang hilang (73%) dan keragamannya menurun 58%. Pada tingkat pancang, terjadi penurunan jumlah jenis dan indeks keragaman jenis di petak contoh dengan kerusakan sedang yaitu hanya ditemukan tiga jenis atau hilang 85% dan indeks keragamannya menurun hingga 67%. Di petak contoh dengan kerusakan ringan ditemukan 11 jenis atau lebih sedikit 45% - 50% dari petak yang utuh/ tidak rusak. Sementara indeks keragaman jenisnya menurun 12% 24%, Pada tingkat anakan juga terjadi penurunan kekayaan dan keragaman jenis pasca erupsi Gunung Merapi. Pada petak contoh dengan kerusakan ringan setelah 16-18 bulan ditemukan sembilan jenis anakan atau 55% lebih sedikit dibandingkan petak contoh areal tak rusak. Demikian juga di petak kerusakan sedang hanya ditemukan tiga jenis anakan atau berbeda 85% dari petak tak rusak. Keragaman jenis di petak rusak ringan berbeda 23% -28% dari petak tidak rusak, sedangkan pada petak rusak sedang perbedaannya mencapai 66%. Secara umum tampak bahwa erupsi Gunung Merapi memberikan dampak terhadap vegetasi dengan tingkat kerusakan yang bervariasi. Parameter yang dapat dilihat dari vegetasi sebagai indikator kerusakan ekosistem adalah
14
jumlah jenis dan indeks keragaman jenis Shannon Wienner (H'). Secara umum erupsi menyebabkan penurunannya jumlah jenis per satuan luas dan menurunkan indeks keragaman jenis vegetasi. Meskipun demikian, keempat lokasi dengan tingkat kerusakan ringan, sedang dan utuh umumnya masih memiliki strata vegetasi yang lengkap yang dicirikan oleh kehadiran pohon, tiang, pancang dan anakan. Jumlah jenis pada setiap tingkat pertumbuhan dapat juga menjadi indikator tingkat kerusakan akibat erupsi. Pada kerusakan sedang jenis anakan yang bertahan hidup dalam plot pengamatan hanya tiga jenis, pada kerusakan ringan sembilan jenis, sementara pada hutan yang tidak rusak ditemukan 20 jenis dalam sebuah sampel pengamatan (112 m2). Persentase jumlah anakan menunjukkan bahwa di hutan yang terkena dampak erupsi sedang jumlah anakannya hanya 11% dari jumlah jenis pohon. Sementara pada hutan utuh tidak rusak jumlah jenis anakan relatif sama dengan jumlah jenis pohon. Hal ini diduga akibat kerusakan tajuk yang parah menyebabkan abu vulkanik panas mencapai lantai hutan dan mematikan anakan-anakan pohon yang peka terhadap panas. Meskipun masih memiliki strata yang lengkap namun komposisi dan kerapatannya berbeda. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8 di bawah ini. Pada areal hutan yang tidak rusak (Blok Plawangan) kerapatan tumbuhan bawahnya relatif tinggi, sementara yang mengalami kerusakan ringan kerapatan tumbuhan bawahnya relatif lebih rendah
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
dan yang mengalami kerusakan sedang, tumbuhan bawahnya banyak yang rusak sehingga kerapatannya jauh lebih rendah. Demikian pula untuk vegetasi tingkat pancang, tiang dan pohon terdapat perbedaan kerapatan yang linear dengan tingkat kerusakan akibat erupsi.
Gambar 8. Sebaran pohon menurut tingkat pertumbuhan pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi Gunung Merapi.
D. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Satwaliar Erupsi hebat Gunung Merapi yang terjadi sejak 26 Oktober hingga 6 November 2010 telah menyebabkan kerusakan parah pada hutan yang menjadi habitat utama satwa dan secara langsung juga menyebabkan kematian berbagai jenis satwa yang tak mempu menyelamatkan diri atau tidak menemukan tempat untuk mengungsi karena TNGM sudah dikkelilingi oleh permukiman. Tempat pengungsian terdekat yang lebih aman adalah Gunung Merbabu, namun aksesnya terpotong oleh pemukiman dan jalan SSB (Solo-Selo-Borobudur). Dampak erupsi terhadap satwa mencapai beberapa tingkatan yaitu:
Mematikan langsung akibat lahar panas dan awan panas
Mematikan tidak langsung dengan menimbulkan luka dan infeksi, penyakit, dan kekurangan pakan (kelaparan).
Menghilangkan dan mengurangi luasan habitat (ruang), sumber pakan dan sumber air.
Membentuk habitat baru yang
tidak sesuai, tidak nyaman dan tidak aman bagi beberapa satwaliar.
Menghilangkan komponenkomponen habitat penting seperti tempat berkubang, tempat bersarang, tempat berlindung, tempat mencari makan dan tempat bereproduksi.
Erupsi Merapi yang terjadi 26 Oktober 2010 menyebabkan migrasi satwa. Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) yang merupakan top predator pada ekosistem hutan Gunung Merapi juga turun dan memasuki perkampungan karena diduga kekurangan makanan akibat matinya satwa mangsanya yang umumnya merupakan herbivora. Berbagai media masa memberitakan satwa karnivora endemik Jawa yang terancam punah tersebut turun gunung pada 11 November hingga 15 November 2010 atau sekitar dua minggu setelah letusan Merapi yang pertama tanggal 26 Oktober 2010. Enam jenis satwa mamalia penting di
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
15
Doc. Hendra Gunawan
Doc. TN. Gunung Merapi
Gambar 9. Mamalia kecil seperti landak jawa (Hystrix javanica) menjadi korban erupsi karena tidak mampu melarikan diri dari luncuran awan panas. Sementara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mengais sampah untuk mencari makan karena persediaan makanan di alamnya habis terkena erupsi.
TNGM tersebar di berbagai areal dengan tingkat kerusakan bervariasi, namun paling banyak berada di kawasan hutan yang tidak terkena erupsi yaitu mencapai 44% dari total perjumpaan enam jenis satwa. Bahkan 22% ditemukan di luar kawasan hutan TNGM. Hal ini menunjukkan adanya penurunan daya dukung habitat di dalam TNGM akibat rusak terkena erupsi. Pada areal yang mengalami kerusakan parah (tidak bervegetasi) karena tertutup pasir dan abu panas hasil erupsi, sama sekali tidak ditemukan
satwa mamalia besar. Beberapa jenis satwa mampu beradaptasi dengan kerusakan habitat yang parah, sedang atau ringan. Beberapa jenis mungkin tidak toleran terhadap kerusakan habitat, khususnya kerusakan vegetasi sebagai pelindung. Berikut ini beberapa jenis satwa penting yang ditemukan pada beberapa tingkat kerusakan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi. Lutung jawa dan macan tutul jawa merupakan satwa langka penting yang sulit beradaptasi dengan kerusakan habitat akibat erupsi.
Tabel 2. Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia penting di TNGM pasca erupsi. Jumlah individu dan frekuensi perjumpaan selama penelitian Vegetasi Rusak Rusak Rusak Di luar Berat Ringan Utuh Sedang hutan
Jenis Satwa Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821)
6
4
4
0
5
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812)
26
1
4
0
5 2
Luwak (Paradoxurus hermaphroditus Pallas 1777)
1
4
2
0
Babi Hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758).
1
1
1
0
0
Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis Kerr 1792)
2
2
1
0
3
Kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann 1780)
O
3
0
0
2
Diolah dari data survei dan data TNGM (2011)
16
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) merupakan salah satu jenis primata dilindungi yang terkena dampak erupsi Gunung Merapi. Oleh karena itu satwa ini perlu diketahui kondisi populasi dan sebarannya setelah erupsi. Kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann 1780) juga merupakan satwa dilindungi yang banyak terkena dampak erupsi merapi. Dampak yang dialami satwa pada awal pasca erupsi
adalah kehilangan pakan berupa tumbuhan bawah yang hangus terbakar atau tertutup abu vulkanik. Dampak beberapa bulan setelah erupsi adalah melimpahnya pakan berupa tumbuhan bawah yang mulai tumbuh karena terangsang oleh sinar matahari yang dapat mencapai lantai hutan akibat terbukanya tajuk pohon-pohon besar yang mati terbakar.
Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)
Gambar 10. Proporsi sebaran enam jenis satwa mamalia menurut kelas kerusakan kawasan TNGM pasca erupsi.
Bangsa burung dapat menjadi indikator kualitas kondisi suatu lingkungan atau habitat. Hasil inventarisasi burung di areal yang rusak akibat erupsi Gunung Merapi menemukan 33 jenis yang tersebar di empat lokasi pengamatan sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Dari Gambar 11 tampak bahwa komunitas burung umumnya didominasi oleh jenis-jenis pemakan serangga dan biji. Hal ini menunjukkan bahwa habitat yang ada memang menyediakan makanan berupa biji dan serangga yang cukup melimpah. Hal ini biasa terjadi di
lahan terbuka, dimana populasi serangga berkembang dengan baik. Sementara semak belukar yang tumbuh sebagai awal suksesi juga menghasilkan buah dan biji-biji kecil yang merupakan makanan berbagai jenis burung. Burung-burung pemangsa juga mendapatkan habitat yang mudah untuk berburu, yaitu areal terbuka. Di areal terbuka biasanya banyak terdapat binatang-binatang kecil seperti pengerat, ular dan burung-burung kecil yang merupakan mangsa burungburung karnivora.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
17
Tabel 3.Jenis-jenis burung di areal yang rusak terkena erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi. Nama Lokal
Status Red List
Nama Latin
Dan PP 7/1999 LC; P
KaliTengah Lor
BaleRante
x
x
Deles Kemalang
Srumbung
Jenis Pakan Utama C
1. Alapalap Sapi
Falco moluccensis (B onaparte, 1850)
2. Ayam-hutan hijau
Gallus varius (Shaw, 1798)
LC
3. Bentet kelabu
Lanius schach (Linnaeus, 1758)
LC
4. Bondol Peking
Lonchura punctulata (Linnaeus, 1758)
LC
5. Bubut
Centropus bengalensis (Gmelin, 1788)
LC
6. Burungmadu Sriganti
Cinnyris jugularis (Linnaeus, 1766)
LC
x
N
7. Caladi Ulam
Dendrocopos macei (Vieillot, 1818)
LC
x
I
8. Cekakak jawa
Halcyon cyanoventris (Vieillot, 1818)
LC; P
x
x
x
x
G
x
x
x
I
x
G
x
I
x
x
x
x
P
9. Cekakak Sungai
Todiramphus chloris (B oddaert, 1783)
LC; P
10. Cica koreng jawa
Megalurus palustris (Horsfield, 1821)
LC
x
x
11. Cucak kutilang
Pycnonotus aurigaster (Vieillot, 1818)
LC
x
x
12. Elang Brontok
Nisaetus cirrhatus (Gmelin, 1788)
LC; P
x
13. Elangular Bido
Spilornis cheela (Latham, 1790)
LC; P
x
14. Gelatik batu Kelabu
Parus major (Linnaeus, 1758)
LC
15. Gemak
Turnix suscitator (Gmelin, 1789)
LC
x
x
16. Kacamata biasa
Zosterops palpebrosus (Temminck, 1824)
LC
x
x
17. Kekep Babi
Artamus leucorynchus (Linnaeus, 1771)
LC
x
I
18. Kepudang Kuduk-hitam
Oriolus chinensis (Linnaeus, 1766)
LC
x
I
19. Kerak Kerbau
Acridotheres javanicus (Cabanis, 1850)
DD
20. Merbah Cerukcuk
Pycnonotus goiavier (S copoli, 1886)
LC
21. Perenjak
Prinia familiaris (Horsfield, 1821)
LC
22. Perenjak padi
Prinia inornata (Sykes, 1832)
LC
23. Perenjak Rawa
Prinia flaviventris (Delessert, 1840)
24. Elang hitam
Ict inaetus malayensis (Temminck, 1822)
25. Sepah Kecil
Pericrocotus cinnamomeus (Linnaeus, 1766)
26. Sikep madu asia
Pernis ptilorhynchus (Temminck, 1821)
27. Srigunting Kelabu
Dicrurus leucophaeus (Vieillot, 1817)
LC
28. Tekukur Biasa
Spilopelia chinensis (Scopoli, 1768)
LC
29. Tepus Pipi-perak
Stachyris melanothorax (Temminck, 1823)
LC
30. Tuwur Asia
Eudynamys scolopaceus (Linnaeus, 1758)
LC
31. Walet Linci
Collocalia linchi (Horsfield & Moore, 1854)
LC
x
32. Wiwik Kelabu
Cacomantis merulinus (Scopoli, 1786)
LC
x
33. Wiwik Uncuing
Cacomantis sepulcralis (Müller, 1843)
LC
x
x
x
P
x
I
x
I C
x
C
x
G G
x
G
x
x
I
x
x
I
x
G
x
G
LC
x
LC; P
x
LC LC; P
x
G C
x x
I C
x
x
I
x
G
x
x
I
x
I
x
I I
x
x
I
Keterangan: I = Insektivora (pemakan serangga N = Nektarivora (pemakan nektar) LC = Least Concern
18
G = Granivora atau Seedivora (pemakan biji) P = Piscivora (pemakan ikan) DD = Data Deficient
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
F = Frugivora (pemakan buah) C =Karnivora (pemangsa hewan lain) P = Dilindungi berdasar PP No. 7/1999
Tabel 3.Jenis-jenis burung di areal yang rusak terkena erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi. Nama Lokal
Status Red List
Nama Latin
Dan PP 7/1999 LC; P
KaliTengah Lor
BaleRante
x
x
Deles Kemalang
Srumbung
Jenis Pakan Utama C
1. Alapalap Sapi
Falco moluccensis (B onaparte, 1850)
2. Ayam-hutan hijau
Gallus varius (Shaw, 1798)
LC
3. Bentet kelabu
Lanius schach (Linnaeus, 1758)
LC
4. Bondol Peking
Lonchura punctulata (Linnaeus, 1758)
LC
5. Bubut
Centropus bengalensis (Gmelin, 1788)
LC
6. Burungmadu Sriganti
Cinnyris jugularis (Linnaeus, 1766)
LC
x
N
7. Caladi Ulam
Dendrocopos macei (Vieillot, 1818)
LC
x
I
8. Cekakak jawa
Halcyon cyanoventris (Vieillot, 1818)
LC; P
x
x
x
x
G
x
x
x
I
x
G
x
I
x
x
x
x
P
9. Cekakak Sungai
Todiramphus chloris (B oddaert, 1783)
LC; P
10. Cica koreng jawa
Megalurus palustris (Horsfield, 1821)
LC
x
x
11. Cucak kutilang
Pycnonotus aurigaster (Vieillot, 1818)
LC
x
x
12. Elang Brontok
Nisaetus cirrhatus (Gmelin, 1788)
LC; P
x
13. Elangular Bido
Spilornis cheela (Latham, 1790)
LC; P
x
14. Gelatik batu Kelabu
Parus major (Linnaeus, 1758)
LC
15. Gemak
Turnix suscitator (Gmelin, 1789)
LC
x
x
16. Kacamata biasa
Zosterops palpebrosus (Temminck, 1824)
LC
x
x
17. Kekep Babi
Artamus leucorynchus (Linnaeus, 1771)
LC
x
I
18. Kepudang Kuduk-hitam
Oriolus chinensis (Linnaeus, 1766)
LC
x
I
19. Kerak Kerbau
Acridotheres javanicus (Cabanis, 1850)
DD
20. Merbah Cerukcuk
Pycnonotus goiavier (S copoli, 1886)
LC
21. Perenjak
Prinia familiaris (Horsfield, 1821)
LC
22. Perenjak padi
Prinia inornata (Sykes, 1832)
LC
23. Perenjak Rawa
Prinia flaviventris (Delessert, 1840)
24. Elang hitam
Ict inaetus malayensis (Temminck, 1822)
25. Sepah Kecil
Pericrocotus cinnamomeus (Linnaeus, 1766)
26. Sikep madu asia
Pernis ptilorhynchus (Temminck, 1821)
27. Srigunting Kelabu
Dicrurus leucophaeus (Vieillot, 1817)
LC
28. Tekukur Biasa
Spilopelia chinensis (Scopoli, 1768)
LC
29. Tepus Pipi-perak
Stachyris melanothorax (Temminck, 1823)
LC
30. Tuwur Asia
Eudynamys scolopaceus (Linnaeus, 1758)
LC
31. Walet Linci
Collocalia linchi (Horsfield & Moore, 1854)
LC
x
32. Wiwik Kelabu
Cacomantis merulinus (Scopoli, 1786)
LC
x
33. Wiwik Uncuing
Cacomantis sepulcralis (Müller, 1843)
LC
x
x
x
P
x
I
x
I C
x
C
x
G G
x
G
x
x
I
x
x
I
x
G
x
G
LC
x
LC; P
x
LC LC; P
x
G C
x x
I C
x
x
I
x
G
x
x
I
x
I
x
I I
x
x
I
Keterangan: I = Insektivora (pemakan serangga N = Nektarivora (pemakan nektar) LC = Least Concern
18
G = Granivora atau Seedivora (pemakan biji) P = Piscivora (pemakan ikan) DD = Data Deficient
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
F = Frugivora (pemakan buah) C =Karnivora (pemangsa hewan lain) P = Dilindungi berdasar PP No. 7/1999
KOMPOSISI BURUNG MENURUT MACAM PAKAN/JENIS PAKAN DI AREAL YANG RUSAK TERKENA ERUPSI MERAPI
Gambar 11. Komposisi burung menurut macam pakan utamanya di areal rusak akibat erupsi Merapi setelah 16 bulan.
Nilai indeks keragaman jenis dan indeks evenness komunitas burung di empat lokasi pengamatan relatif tidak jauh berbeda. Keempat lokasi memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu bervegetasi suksesi awal pasca erupsi Gunung Merapi. Meskipun ada beberapa pohon namun umumnya pohon tersebut telah mati atau kehilangan tajuknya dan baru bersemi kembali.
jenis dan indeks evenness relatif tidak jauh berbeda antar lokasi, namun keempat lokasi memiliki nilai indeks kemiripan komunitas (Index Similarity) yang relatif rendah yaitu kurang dari 5,0 kecuali antara Balerante dan DelesKemalang (0,6897). Rendahnya nilai indeks kemiripan komunitas menunjukkan bahwa komunitas di lokasi-lokasi tersebut tersusun oleh jenis-jenis yang berbeda. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh kondisi ketersediaan pakan dan ketinggian tempat. Beberapa jenis burung memiliki sebaran yang luas dan makanan yang bervariasi, sementara beberapa jenis lainnya memiliki sebaran sempit atau spesialisasi dalam makanan. Sebagai contoh burung cekakak jawa (Halcyon cyanoventris) dan burung cekakak sungai (Todirhamphus chloris) yang merupakan jenis spesialis pencari makan di perairan.
Meskipun memiliki indeks keragaman Tabel 4. Rekapitulasi indeks keragaman jenis (H') dan indeks evenness (e) burung-burung di areal rusak terkena erupsi. Jumlah
Indeks Keragaman
Indeks Evenness
Jenis
Jenis (H')
(E)
Kalitengah Lor
13
1.9433
0.7576
Balerante
15
2.3650
0.8733
Deles Kemalang
14
2.0255
0.7675
Srumbung
18
2.4006
0.8306
Lokasi
Tabel 5.Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas burung antar lokasi pengamatan. Lokasi Kalitengah Lor
Kalitengah Lor
Balerante 0.5385
Balerante Deles Kemalang
Deles Kemalang
Srumbung
0.3704
0.2581
0.6897
0.4242 0.3125
Srumbung
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
19
SUKSESI ALAM DAN ANCAMAN INVASI SPESIES ASING A. Suksesi Alam Ekosistem memiliki daya lenting (resiliensi) yaitu kemampuan memulihkan dirinya sendiri secara alami setelah mengalami gangguan. Demikian halnya dengan ekosistem Gunung Merapi, meskipun sebagian areal TNGM mengalami kehilangan vegetasi dan menjadi hamparan abu vulkanik, namun masih ada ekosistem hutan yang utuh yang tidak terkena dampak erupsi atau hanya mengalami kerusakan ringan dan sedang. Vegetasi hutan yang tersisa tersebut memiliki pohon-pohon yang menjadi sumber benih bagi rekolonisasi areal terbuka di dekatnya. Proses rekolonisasi areal terbuka dapat terjadi karena adanya proses pemencaran biji secara alami. Pemencaran biji-biji secara alami dapat terjadi karena bantuan : (1) Tiupan angin, khususnya biji-biji yang ringan dan bersayap (anemo chory). (2) Diluncurkan oleh air hujan atau gravitasi, khususnya biji-biji yang terjatuh di lantai hutan yang miring (hydro chory). (3) Menempel pada tubuh satwa (ecto zoochory) atau manusia kemudian jatuh di lokasi lain (4) Buahnya dimakan oleh satwa dan bijinya keluar bersama fecesnya di tempat lain (endo zoochory)/ Jenis-jenis yang menjadi pelopor dalam rekolonisasi areal terbuka biasanya adalah jenis-jenis yang membutuhkan
20
sinar matahari penuh (light demanding) atau yang dikenal sebagai jenis-jenis pionir/pelopor. Jenis-jenis tersebut umumnya memiliki sifat menyukai areal terbuka yang langsung terkena cahaya matahari, cepat tumbuh dan beberapa jenis bersifat invasif. Jangkauan penyebaran biji masingmasing jenis pohon berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh agen atau media penyebarannya. Secara umum, areal yang rusak akibat erupsi semakin dekat dengan sumber benih (pohon induk), maka semakin mudah ditumbuhi dan memulihkan diri secara alami melalui suksesi. Semakin jauh dari sumber benih maka semakin sulit kolonisasi atau suksesi alam terjadi secara alami. Dengan dasar pemikiran ini maka, sesungguhnya areal-areal yang rusak dengan jarak tertentu misal radius 500 m dari sumber benih bisa mengandalkan suksesi alami dalam proses restorasinya. Sehubungan dengan itu perlu dilakukan pemetaan sumber benih dan pemetaan tingkat kerusakan ekosistem. Dengan menghubungkan kedua hal tersebut dan operasi spasial dapat ditentukan lokasilokasi yang retorasinya mengandalkan sukses alami atau kolonisasi alami dan lokasi-lokasi yang harus ditanami secara total. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa rekolonisasi sudah
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
dimulai tiga bulan setelah erupsi. Setahun pasca erupsi sudah ditemukan banyak anakan pohon dan tumbuhan bawah yang mengkolonisasi areal hamparan pasir dan abu vulkanik pasca erupsi. Meskipun sebagian besar hutan di TNGM mengalami kerusakan dan hanya 23,19% yang relatif tidak rusak akibat erupsi, namun tampak dari hasil pengamatan lapangan bahwa proses rekolonisasi alami berlangsung cukup baik.
JUMLAH JENIS YANG DITEMUKAN DI AREAL RUSAK AKIBAT ERUPSI SETELAH SATU TAHUN
Gambar 12. Jumlah jenis anakan pohon dan tumbuhan bawah pada areal rusak akibat erupsi setelah satu tahun pasca erupsi.
B. Ancaman Invasi Spesies Asing (Alien Species) Analisis vegetasi di areal terdegradasi setelah 16-18 bulan pasca erupsi menemukan beberapa jenis pohon asli dan asing (alien species) telah mengkolonisasi areal yang sebelumnya berupa hamparan pasir dan abu vulkanik hasil erupsi. Suksesi alami melalui rekolonisasi oleh sumber hutan yang tidak rusak akibat erupsi membuktikan bahwa alam mampu memulihkan dirinya sendiri setelah mendapat gangguan atau memiliki daya lenting (Resilience).
(Paraserianthes lopantha) dan wilodo (Ficus fistulosa) merupakan jenis yang memililiki anakan alam melimpah. Hal ini menggambarkan bahwa jenis-jenis asli yang ditemukan di lokasi yang rusak/terdegradasi merupakan jenis pionir dan mampu mengkolonisasi areal terbuka secara alami. Meskipun demikian pada kenyataannya masih dapat dikalahkan oleh jenis eksotik yaitu Acacia decurrens yang mampu tumbuh secara cepat dan invasif di areal rusak akibat erupsi dengan kerapatan mencapai 2.697 individu/Ha di atas puspa (2.632 individu/Ha).
Doc. Hendra Gunawan (2011; 2012)
Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa jenis puspa (Schima wallichii), anggrung (Trema orientalis), tutup ijo (Macaranga triloba), sengon gunung
Gambar 13. Kiri : Rekolonisasi 3 bulan pasca erupsi dan Kanan : Rekolonisasi 18 bulan pasca erupsi di Resor Kemalang.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
21
Gambar 13 menunjukkan bahwa jenis Acacia decurrens sangat adaptif dengan kondisi pasca erupsi sehingga dengan cepat menguasai areal terdegradasi. Jenis ini mendominasi areal rusak akibat erupsi yang umumnya terbuka dan merupakan hamparan pasir dan abu. Meskipun demikian jenis asli juga bisa beradaptasi dengan kondisi pasca erupsi, seperti puspa, anggrung, tutup ijo, sengon gunung dan dadap. Permasalahan yang timbul adalah bahwa dari hasil analisis tumbuhan bawah dan anakan pohon di areal rusak
oleh erupsi dari berbagai tingkat kerusakan, ternyata ditemukan 10 jenis eksotik yang menjadi pionir dalam sukses alam atau rekolonisasi areal terdegradasi. Dari 10 jenis tersebut, Acacia decurrens merupakan spesies yang paling cepat berkembang sehingga membahayakan spesies asli. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan khusus terhadap spesies ini sehingga proses restorasi untuk memulihkan fungsi ekosistem dapat berjalan dengan baik dan menuju klimaks yang diharapkan.
KERAPATAN ANAKAN POHON PADA AREAL TERDEGRADASI OLEH ERUPSI DI TN. GUNUNG MERAPI Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.)4 Rasamala (Altingia excelsa Noronha) Nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.)8
KETERANGAN :
Kopeng (Ficus ribes Reinw.) Kendung (Helicia javanica Bl.) Jati (Tectona grandis L.f.)9 Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.)
1
Jenis introduksi asal Australia
2
Introduksi asal Guatemala
3
Introduksi asal Amerika tropis
4
Turi (Sesbania grandiflora (L.) Poiret)6 Suren (Toona sureni (Blume) Merr.)
5
Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walpers) Mangga (Mangifera indica L.)7
Introduksi asal India bagian timur Introduksi asal region malesia (Sumatera bagian utara)
6
Introduksi di Merapi asal India dan Asia Tenggara
Beringin (Ficus benjamina L.) Jambu (Psidium guajava L.)10
7
Introduksi di Merapi asal Asia Timur
8
Gondang (Ficus variegata Bl.) Bintinu/Senu (Melochia umbellata O. Staff.)
Introduksi di Merapi asal Asia Selatan dan Tenggara
9
Introduksi di Merapi asal Asia Selatan dan Tenggara
10
Introduksi di Merapi asal Brasil
Walik angin (Croton argyratus Blume) Pasang (Quercus teysmannii Bl.) Kaliandra (Calliandra calothyrsus Meisn.)2 Tutup putih (Mallotus paniculatus (Lam.) Mull.Arg.) Karembi (Homalanthus populneus (Giesel.) Pax) Dadap (Erythrina lithosperma Miq. non Bl)
Gambar 14. Kerapatan anakan pohon di areal terdampak erupsi di Merapi.
Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit)3 Wilodo (Ficus fistulosa Reinw. ex Blume) Pinus (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese)5 Sengon gunung (Albizia montana (Jungh.) Benth.) Tutup ijo (Macaranga triloba Muell. Arg.) Anggrung (Trema orientale Bl.) Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) Acacia decurrens Willd.1 0
1000
2000
Kerapatan (indiividu/Ha)
22
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
3000
Tabel 6. Jenis-jenis eksotik (didatangkan) yang menjadi pionir pada areal terdegradasi akibat erupsi di TNGM. No
Nama Lokal
Nama Latin
Asal
1
Akasia
Acacia decurrens Willd.
Australia
2
Kaliandra
Calliandra calothyrsus Meisn.
Guatemala
3
Lamtoro
Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit.
Amerika tropis
4
Sonokeling
Dalbergia latifolia Roxb.
5
Pinus
Pinus merkusii Jungh. & de Vriese
India bagian timur Region Malesia (Sumatera bagian utara )
6
Turi
Sesbania grandiflora (L.) Poiret
India dan Asia Tenggara
7
Mangga
Mangifera indica L.
Asia Timur
8
Nangka
Artocarpus heterophyllus Lam.
Asia Selatan dan Tenggara
9
Jati
Tectona grandis L.f.
Asia Selatan dan Tenggara
10
Jambu
Psidium guajava L.
Brasil
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa ekosistem Gunung Merapi yang terdegradasi mampu memulihkan dirinya sendiri melalui suksesi alam atau rekolonisasi. Namun ternyata jenis yang mengkolonisasi secara luas pada awal suksesi adalah jenis Acacia decurrens yang merupakan jenis asing. Jenis ini cenderung invasif, pada lahan-lahan kosong yang terekspose langsung sinar matahari. Jenis ini dikhawatirkan akan menekan pertumbuhan jenis-jenis asli dan menyebabkan ekosistem asli tidak dapat pulih seperti sediakala sehingga tidak membentuk habitat yang sesuai bagi berbagai jenis satwaliar. Pihak manajemen perlu melakukan langkah-langkah pengendalian, agar keberadaan Acacia decurens tidak menjadi ancaman tetapi bisa menjadi pencipta kesesuaian tempat tumbuh bagi jenis-jenis pohon asli dengan memperbaiki kondisi lingkungan, baik
Gambar 15. Pada bulan April 2012 atau 18 bulan pasca erupsi, hamparan abu vulkanik telah kembali hijau oleh invasi Acacia decurrens.
fisik maupun kimia tanah hasil letusan yang bersifat asam. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai peran Acacia decurrens dalam proses suksesi alami dan sifat ekofisiologinya sehingga bisa dilakukan langkahlangkah pencegahan dan pengendalian secara hayati di masa mendatang.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
23
RESTORASI EKOSISTEM
A. Prinsip Restorasi Ekosistem Restorasi ekosistem merupakan proses pemulihan suatu ekosistem yang telah terdegradasi, rusak atau musnah ke kondisi awal atau menyerupai kondisi awal (SER Primer, 2004). Ekosistem dikatakan pulih kembali ketika memiliki cukup sumberdaya biotik dan abiotik untuk terus berkembang tanpa bantuan atau campur tangan manusia serta dapat melestarikan fungsi dan strukturnya sendiri dan memiliki resiliensi terhadap tekanan dan gangguan lingkungan (SER Primer, 2004). Restorasi merupakan usaha intensif untuk memicu dan mempercepat pemulihan kesehatan (proses dan fungsi), integritas (struktur dan komposisi) dan kelestarian (ketahanan terhadap gangguan dan resiliensi) ekosistem (Clewell et al., 2005). Mengingat kompleksnya proses-proses dan fungsi ekosistem, maka untuk dapat memperoleh kembali fungsi-fungsi tersebut harus dilakukan pemulihan pada tingkat lanskap (Maginnis & Jackson, 2006). Restorasi ekosistem bertujuan membangun kembali fungsi ekosistem asli dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Maginis & Jackson, 2006). Fungsi ekosistem menjadi panduan utama bagi pembangunan berkelanjutan, mendukung upaya kehati-hatian dalam melestarikan kemampuan ekosistem guna memberikan jasa lingkungan
24
meminimalkan resiko ekologi di masa mendatang (Dierben, 2006). Memahami penyebab dari tingkat degradasi ekosistem hutan merupakan hal yang penting untuk memulai kegiatan restorasi (Lee & Sayer, 2004). Sebelum dilaksanakan kegiatan restorasi ekosistem, beberapa kegiatan perlu disiapkan sebagai dasar penyusunan rstrategi/rencana aksi, antara lain (Clewell et al., 2005): 1. Identifikasi tingkat kerusakan ekosistem; 2. Identifikasi tipe-tipe ekosistem yang harus direstorasi; 3. Identifikasi tujuan restorasi; 4. Identifikasi kondisi fisik tapak yang perlu direstorasi; 5. Identifikasi tekanan yang perlu ditangani; 6. Identifikasi intervansi jenis biotik yang diperlukan; 7. Identifikasi kendala lanskap; 8. Identifikasi ekosistem referensi; 9. Mengumpulkan informasi sifat biologi-ekologi spesies kunci; 10. M e n y i a p k a n p a r t i s i p a s i masyarakat dalam perencanaan dan implementasi. Menurut Maginnis dan Jackson (2006). Dalam pendekatan restorasi ekosistem hutan, masyarakat dilibatkan untuk mengidentifikasi dan menetapkan secara tepat praktek-praktek penggunaan lahan yang akan membantu
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
pemulihan fungsi ekosistem hutan secara keseluruhan. Dalam hal ini difokuskan pada pemulihan fungsifungsi hutan pada level lanskap untuk optimalisasi fungsi ekosistem hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk memperkuat hubungan antara pembangunan pedesaan, kehutanan dan manajemen konservasi sumberdaya alam lainnya. Dengan perkataan lain lebih mengutamakan pada optimalisasi manfaat hutan dalam lanskap yang lebih luas (IUCN, 2005). Salah satu kunci dalam restorasi lanskap hutan adalah identifikasi tipe dan tingkat restorasi yang sesuai dengan kondisi sosial dan fisik yang ada. Pada ekosistem yang telah sangat rusak sehingga tidak mampu memulihkan diri sendiri melalui proses suksesi alam, maka upaya restorasi lebih baik difokuskan pada pemulihan dan
pemeliharaan proses-proses penting seperti hidrologi, siklus hara dan transfer energi daripada usaha mengembalikan struktur hutan seperti aslinya (Maginnis dan Jackson, 2006). Tujuan restorasi harus didasarkan pada aspirasi stakeholder, karakter fisik lanskap dan sumberdaya yang tersedia. Oleh karena itu sangat dipengaruhi oleh kelembagaan yang telah ada, kebijakan tata guna lahan dan faktor biotik seperti kesuburan tanah, keanekaragaman hayati, kelimpahan dan sebarannya. Tujuan jangka pendek mungkin berubah menurut waktu, tetapi maksud jangka panjang tetap harus meningkatkan daya lenting, keragaman dan produktivitas tata guna lahan dan konservasi keanekaragaman hayati. Untuk mendapatkan manfaat yang dapat segera dirasakan, intervensi-intervensi jangka pendek perlu dilakukan (Maginnis dan Jackson, 2006).
B. Analisis Vegetasi Analisis vegetasi ditujukan untuk menginventarisir tingkat kerusakan vegetasi dan untuk mengidentifikasi jenis-jenis pohon asli sebagai bahan tanaman restorasi. Tingkat kerusakan vegetasi perlu diketahui guna menetapkan tingkat campur tangan manusia dalam revegetasi atau
mengembalikan vegetasi hutan melalui penanaman dengan jenis-jenis asli yang ada. Banyak metode analisis vegetasi yang dapat dilakukan, tetapi metode kombinasi antara metode jalur dan garis berpetak seperti digambarkan di bawah ini cukup bisa diandalkan.
Gambar 16. Model analisis vegetasi dengan metode kombinasi jalur dan garis berpetak (digambar ulang dari Kusmana, 1997).
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
25
Petak 20 m x 20 m untuk mencatat pohon dewasa (diameter > 20 cm), petak 10 m x 10 m untuk tiang (diameter 10 s/d 20 cm), petak 5 m x 5 m untuk pancang (permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai pohon muda berdiameter < 10 cm) dan petak 2 m x 2 m untuk semai dan tumbuhan bawah dengan tinggi < 1,5 m) (Kusmana, 1997). Jalur analisis vegetasi diletakkan melintasi habitat dan memotong garis kontur, atau memotong sungai. Jumlah dan panjang jalur analsisis vegetasi ditentukan setelah homogenitasnya diketahui melalui orientasi lapangan.
Sebelum ke lapangan harus sudah disiapkan lembar data atau buku catatan untuk mencatat data yang diperlukan. Dalam analisis vegetasi, data lapangan yang perlu dicatat antara lain: (1) jenis tumbuhan; (2) diemeter setinggi dada; (3) tinggi total; dan (4) keterangan lain yang dianggap perlu berkaitan dengan tujuan studi. Pengumpulan data dilakukan untuk setiap petak dan setiap tumbuhan pada berbagai tingkatan pertumbuhan (pohon, tiang, pancang dan anakan), seperti contoh di bawah ini.
Tabel 7.Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat pohon Petak 1
Jenis Tumbuhan
Diameter (cm)
Tinggi (m)
Beringin
80
35
Pasang
70
30
Cepogo
45
20
Dadap
25
15
Gintungan
23
15
Berangan
50
25
Sintok
50
25
Keterangan Makanan monyet
Tempat tidur lutung
dst 2
dst Dst
Tabel 8.Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat anakan dan tumbuhan bawah Petak
Jenis Tumbuhan
Jumlah
Keterangan
1
Saninten
2
Pakis sayur
1
Pisang kele
5
Buah dimakan monyet
Rotan
1
Buah dimakan Luwak
Catatan : Bila diperlukan bisa ditambahkan kolom untuk data tutupan (coverage) tumbuhan bawah/anakan di setiap petak dalam ukuran 0% (petak analisis tidak ada tumbuhan bawah/anakan) sampai 100% (petak analisis tertutup rapat oleh tumbuhan bawah atau anakan sehingga tanah tidak terlihat).
26
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
Data hasil analisis vegetasi, kemudian diolah untuk mendapatkan nilai-nilai Kerapatan (K), Frekuensi (F), Dominansi (D), dan Indeks Nilai Penting (INP). Parameter vegetasi tersebut dihitung menggunakan rumus-rumus sebagai berikut (Kusmana, 1997) :
dengan rumus sebagai berikut (Odum 1994) :
yakni S adalah banyaknya jenis satwa pada suatu tipe habitat.; H’ : Indek keragaman. Indeks kemiripan (similarity index) atau dikenal dengan nama indeks Sorensen antara dua sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut (Odum 1994) :
Indeks Nilai Penting (INP) menggambarkan kepentingan dari jenis pohon tertentu terhadap habitat yang sedang dikaji. Jika suatu jenis memiliki nilai INP yang tinggi, artinya habitat tersebut penting bagi jenis tersebut. Untuk menghitung Indeks Keragaman Jenis tumbuhan dan satwa digunakan rumus dari Shannon Wiener yaitu (Magurran, 1988; Odum, 1994) : yakni
pi adalah perbandingan antara jumlah individu spesies ke i dengan jumlah total individu. Logaritma yang digunakan adalah logaritma dasar 10 atau e. Rumus ini dapat diubah menjadi :
Untuk mengetahui struktur komunitas satwa mangsa dalam setiap tipe habitat maka dihitung nilai keseragaman antar jenis atau indeks evenness (e) Shannon
dimana SI adalah indeks kemiripan komunitas, A adalah jumlah jenis dalam sampel A, B adalah jumlah jenis dalam sampel B dan C adalah jumlah jenis yang sama pada kedua sampel. Dengan demikian indeks ketidaksamaan adalah 1 - SI. Nilai indeks kemiripan komunitas berkisar antara 0 - 1. Semakin tinggi nilai indeks kemiripan komunitas antara dua sampel maka semakin miriplah kedua sampel tersebut, demikian pula sebaliknya. Untuk kepentingan mempelajari relung vertikal habitat satwa seringkali kita harus mengetahui gambaran strata kanopi vegetasi hutan. Untuk menggambarkan stratifikasi hutan maka perlu dibuat suatu profil diagram dalam suatu jalur contoh (transek) sepanjang 100 m. Profil diagram ini merupakan suatu lukisan yang memperlihatkan bentuk dan tinggi pohon (Soerianegara dan Indrawan, 1980). Profil diagram diambil dari salah satu jalur yang dianggap mewakili kondisi lapangan. Penggambaran meliputi pemetaan jarak antar pohon, bentuk tajuk, tinggi pohon, tinggi bebas cabang, bentuk
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
27
percabangan dan proyeksi tajuk. Secara spasial, inventarisasi dan pemetaan kerusakan vegetasi dapat dilakukan melalui penafsiran citra satelit menggunakan metode-metode analisis citra digital, misalnya menggunakan program ERDAS Imagine. Meskipun
demikian, analisis sapasial tidak akan dibahas dalam buku ini, karena merupakan ilmu tersendiri yang memerlukan pembahasan khusus secara detail dan diperuntukan bagi yang telah bisa mengoperasikan program analisis citra digital.
C. Inventarisasi dan Identifikasi Jenis Pohon Asli Kegiatan inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis pohon asli dilakukan bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi. Inventarisasi jenis pohon asli dilakukan dengan cara membuat daftar jenis pohon dan mencocokan dengan deskripsi sebaran alaminya yang ada di referensi terpercaya seperti Buku Tumbuhan Berguna Indonesia (Heyne, 1987) dan Buku Flora Pegunungan Jawa (van Steenis, 2006), atau buku-buku yang relevan dari serial PROSEA (Plant Resources of South-East Asia). Identifikasi jenis pohon asli meliputi pengenalan jenis secara morfologi, fenologi, ekologi (tempat tumbuh dan sebarannya) serta kegunaannya.
Pengenalan jenis dilakukan melalui identifikasi dengan herbarium yang ada di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi atau Herbarium Bogoriense. Pengenalan fenologi, ekologi dan kegunaan dilakukan melalui penelusuran literatur dan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan. Untuk pengenalan jenis pohon, maka sewaktu melakukan analisis vegetasi mengambil sampel daun yang lengkap dengan buah dan bunga untuk membuat herbarium yang akan diidentifikasi. Pembuatan herbarium dilakukan dengan mengikuti prosedur yang dijelaskan pada bab akhir buku ini.
D. Pemilihan Jenis Pohon Asli untuk Tanaman Restorasi Perlunya tindakan penanaman kembali areal terdagradasi membawa konsekuensi kebutuhan bibit. Salah satu syarat bibit untuk tanaman restorasi adalah harus merupakan jenis asli setempat. Untuk itu perlu dilakukan inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis pohon asli Gunung Merapi. Informasi yang diperlukan dari jenis-jenis pohon asli tersebut adalah : status keaslian (endemisitas), distribusi geografis,
28
sebaran menurut elevasi di Gunung Merapi, fungsi atau peranan dalam ekosistem, kegunaan bagi masyarakat, teknik perbanyakan atau regenerasi, kesesuaian tumbuh dengan tapak khusus, dan sifat-sifat khusus seperti jenis toleran, intoleran, pionir atau klimaks. Penelitian Universitas Gajah Mada (2011) di kawasan TNGM pasca erupsi 2010 menemukan 95 jenis tumbuhan.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
UGM hanya menyebutkan bahwa jenis Puspa (Schima wallichii) merupakan jenis yang potensial untuk dijadikan tanaman restorasi, namun ketersediaan bibit di alam (anakan alam) kurang dari 10%. Sementara itu Gunawan et al. (2012) telah mengidentifikasi 50 jenis pohon asli yang dapat digunakan sebagai tanaman restorasi Gunung Merapi. Pemilihan jenis-jenis pohon asli yang akan digunakan dalam restorasi ekosistem dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kesesuaian ekologis dan kesesuaian fungsi atau manfaat dari pohon tersebut. Secara umum pemilihian jenis perlu mempertimbangkan : Biji atau benih mudah diperoleh Bibit mudah dibuat Daya hidup setelah penanaman tinggi Biaya pemeliharaan tanaman relatif rendah. Kemudahan memperoleh bibit dari anakan alam dapat diketahui dari kerapatan dan frekuensi tingkat semai di lapangan yang datanya diperoleh dari analisis vegetasi. Jenis-jenis yang memiliki nilai kerapatan relatif tinggi biasanya berada mengelompok di suatu tempat sehingga mudah dikumpulkan dari suatu tempat. Sementara jenisjenis yang memiliki nilai frekuensi relatif tinggi pada umumnya tersebar di banyak tempat, sehingga relatif lebih mudah dijumpai walau dalam jumah yang sedikit-sedikit. Kesesuaian ekologis dapat diindikasikan oleh nilai-nilai relatif dari kerapatan, frekuensi dan dominansi atau indeks
nilai penting (INP). Hal ini karena INP menunjukkan “kepentingan” jenis tersebut atas habitat tempat tumbuhnya. Sementara, jenis asli didasarkan pada sejarah sebaran geografisnya. Kemudian jenis-jenis tersebut dipilih lagi sesuai dengan tujuan restorasi yaitu pemulihan fungsi ekosistem, misalnya fungsi pohon sebagai habitat satwa dan manfaatnya bagi masyarakat sekitar. Fungsi sebagai habitat dicirikan dengan kemampuan pohon tersebut untuk: Menghasilkan buah, pucuk, bunga, nektar dan bagian pohon lainnya yang bisa dimakan satwa Memberikan lindungan kepada satwa dari cuaca (hujan, panas, angin) Memberikan lindungan dari gangguan manusia dan predator Memberikan tempat beristirahat, tidur, mengasuh anak dan pergerakan penjelajahan (foraging). Untuk pendekatan fungsi lindung hidrologi, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain : Memiliki perakaran yang banyak dan kuat Memiliki evapotranspirasi rendah Memiliki tajuk tebal dan selalu hijau (tidak menggugurkan daun) Secara alami mampu beradaptasi dan tumbuh di lereng-lereng curam Untuk mengakomodir fungsi sosialekonomi-budaya masyarakat sekitar maka perlu dilakukan survei wawancara dengan masyarakat untuk mengetahui ketergantungan masyarakat terhadap hutan dan hasil hutan. Fungsi sosialekonomi-budaya sebaiknya tidak konflik
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
29
dengan fungsi habitat satwaliar, misalnya penghasil buah yang dimakan manusia, tidak dimakan oleh satwaliar, penghasil daun pakan ternak bukan merupakan pakan satwaliar. Penanaman jenis-jenis yang memberikan fungsi sosial-ekonomi-budaya masyarakat sebaiknya dilakukan di zona khusus, misal zona pemanfaatan tradisional untuk memudahkan
pengelolaan, pengawasan dan menghindarkan konflik dengan satwaliar. Taman nasional tidak dapat menghindari ketergantungan masyarakat terhadap hutan, oleh karena itu dalam pengelolaannya, masyarakat adalah bagian dari pengelolaan taman nasional dan masyarakat merupakan aktor penting dalam pengelolaan taman nasional.
KETERANGAN : 1 Jenis introduksi asal Australia 2 Introduksi asal Guatemala 3 Introduksi asal Amerika tropis 4 Introduksi asal India bagian timur 5 Introduksi asal region malesia (Sumatera bagian utara) 6 Introduksi di Merapi asal India dan Asia Tenggara 7 Introduksi di Merapi asal Asia Timur 8 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan dan Tenggara 9 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan dan Tenggara 10 Introduksi di Merapi asal Brasil
Daya Adaptasi Semakin Tinggi
Gambar 17. Frekuensi relatif anakan pohon di areal terdampak erupsi di TNGM.
30
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
Dari nilai-nilai parameter hasil analisis vegetasi dapat disimpulkan bahwa jenisjenis pohon yang baik untuk dipilih sebagai tanaman restorasi adalah jenis asli yang memiliki nilai frekuensi relatif tinggi dan kerapatan relatif tinggi atau
secara umum memiliki Indeks Nilai Penting tinggi. Dengan nilai-nilai yang tinggi tersebut diharapkan peluang hidupnya juga tinggi, sehingga restorasi ekosistem berpeluang tinggi untuk berhasil.
E. Teknik Silvikultur Erupsi Gunung Merapi mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan. Erupsi menyisakan abu dan pasir di atas lapisan tanah dengan ketebalan yang bervariasi. Kondisi vegetasi yang rusak pasca erupsi dapat dipercepat pemulihannya melalui restorasi ekosistem, dengan melakukan penanaman kembali jenisjenis tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan kondisi pasca erupsi. Untuk itu diperlukan teknologi penanaman dan pengelolaan yang sesuai dengan kondisi ekologis dan sosial masyarakat sekitarnya. Pasca erupsi, abu dan pasir vulkanik menutupi permukaan tanah mengubah kondisi fisik lahan. Fraksi pasir sangat tinggi berkisar antara 53.59-85.04%, sehingga lahan bersifat porous dan tidak mudah menjerap air. Hal ini menyebabkan rendahnya kelembababan tanah, sehingga untuk mendukung pertumbuhan tanaman, perlu dibantu dengan emulsi yang untuk menjaga kelembaban tanah dan bahan-bahan lainnya untuk menstimulir pertumbuhan pohon. Kelembaban tanah dapat ditingkatkan dengan menanami hamparan pasir dan abu dengan tanaman penutup tanah (cover crops) seperti Mucuna sp. dan Pueraria sp.) atau rerumputan pakan ternak dan penahan erosi.
Jenis-jenis tanaman lokal yang cepat tumbuh dan dapat menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar hutan perlu ditanam. Meskipun pertumbuhannya lambat, jenis-jenis pohon hutan perlu ditanam untuk menahan erosi dan menyimpan serta melindungi sumber air melalui perakarannya yang kuat. Jenis-jenis pohon yang telah diuji coba pada lahan terdampak erupsi gunung Merapi antara lain : puspa (Schima wallichii), damar (Agathis damara) dan pulai (Alstonia scholaris), suren (Toona sureni). Dengan jenis yang tepat dan pola tanam yang sesuai kondisi pasca erupsi, maka laju revegetasi akan cepat. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan restorasi ekosistem Gunung Merapi pasca erupsi diuraikan sebagai berikut.
1. Sifat Biofisik Tanah Erupsi Untuk memilih jenis-jenis yang mampu hidup di dataran tinggi pasca erupsi dengan tujuan konservasi perlu diketahui terlebih dahulu kondisi biofisik di area tersebut. Beberapa jenis vegetasi lokal mampu bertahan hidup atau bertunas kembali setelah terkena dampak erupsi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanah hutan di sekitar Gunung Merapi
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
31
cenderung memiliki kadar fosfor yang lebih tinggi dibandingkan tanah hutan yang mengalami dampak erupsi. Kemasaman tanah hutan memiliki kisaran yang sempit, sekitar 4-5. Sedangkan tanah dari hutan terkena erupsi cenderung sedikit lebih asam. Selain itu, tanah hutan memiliki nilai KTK yang lebih tinggi dari pada tanah (termasuk abu dan pasir) dari hutan yang terkena erupsi. Kandungan bahan organik dalam tanah (C dan N) pun relatif rendah, dengan nilai jumlah basa (unsur hara makro) berkisar antara 0.44-4.22 me/100 g. Kondisi demikian akan mempengaruhi keberadaan mikroba tanah. Hal ini terbukti bahwa populasi mikroba (bakteri) tanah hutan lebih tinggi dari pada di hutan yang terkena dampak. Adapun populasi fungi di tanah Merapi sangat rendah, bahkan nol pada lapisan abu dan pasir.
jauh dari lokasi penanaman. Bibit dapat diproduksi melalui perbanyakan generatif (benih atau cabutan/anakan) maupun vegetatif (stek dan cangkok). Bibit yang akan ditanam selain memenuhi kriteria pemilihan bibit, juga harus sehat dan dapat beradaptasi dengan kondisi pasca erupsi terutama pada suhu tanah yang masih relatif tinggi dan kelembaban yang rendah. Penggunaan mikroba seperti mikoriza atau rhizobium dapat dilakukan di persemaian supaya bibit lebih tahan terhadap kekeringan dan serangan penyakit serta dapat menyerap unsur hara lebih banyak. Pada areal penanaman yang timbunan pasirnya masih tinggi, ukuran bibit dipilih antara 50 cm – 100 cm untuk mencegah bibit mati karena tertimbun pasir.
3. Penyiapan Lahan 2. Pengadaan Bibit Ketersediaan bibit yang cukup baik dalam jumlah maupun mutunya merupakan salah satu faktor keberhasilan penanaman restorasi. Bibit dapat diperoleh dengan cara membuat persemaian sendiri atau membeli bibit siap tanam dari penangkar bibit. Untuk memberdayakan masyarakat sekitar Gunung Merapi, pengadaan bibit sebaiknya melibatkan masyarakat. Pelibatan masyarakat dapat meliputi pengadaan benih, pembuatan dan pemeliharaan bibit di persemaian dan penanaman di lapangan. Lokasi persemaian sebaiknya tidak terlalu
32
Penyiapan lahan lebih baik dilakukan secara manual agar dapat melibatkan masyarakat sekitar lebih banyak. Untuk areal dengan lereng curam dibuat terasering, memanjang mengikuti arah kontur. Lubang tanam dibuat pada teras dengan jarak antar tanaman 4m x 4m dan tiap lubang tanam diberi tanda/ajir. Pembersihan lahan dilakukan secara cemplongan yaitu lahan dibersihkan pada radius 1 m sekitar lubang tanam. Rumput dan semak pada jalur tanaman dan antar jalur tanaman dibiarkan tumbuh sebagai penutup lahan untuk mencegah terjadinya erosi dan menjaga kelembaban tanah. Apabila pada jalur
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
tanam ataupun antar jalur tanam tidak terdapat vegetasi, sebelum dilakukan penanaman dengan jenis tanaman berkayu, areal tersebut terlebih dahulu dapat ditanami dengan tanaman penutup (cover crop). Jenis cover crop dipilih yang tidak menyaingi tanaman pokok dan tidak bersifat invasif. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 30cmx30cmx30cm, dimulai dari lapisan permukaan tanah (tidak termasuk lapisan pasir). Untuk menambah unsur hara dan memperbaiki sifat fisik tanah setiap lubang tanam diisi pupuk organik (kompos atau pupuk kandang) kurang lebih 1/3 volume lubang tanam.
4. Penanaman Lahan pasca erupsi umumnya dilapisi pasir dan debu vulkanik yang menjadi panas apabila terkena sinar matahari, sehingga tanaman yang tidak tahan panas akan layu bahkan mati kekeringan. Oleh karena itu penanaman dilakukan dengan cara potting yaitu bibit ditanam bersama dengan polybagnya untuk menjaga kelembaban dan kekurangan hara selama masa adaptasi dengan kondisi pasca letusan. Untuk memudahkan akar menembus ke dalam tanah bagian bawah polybag disobek. Bibit diletakkan pada lubang tanam yang telah diberi pupuk organik. Untuk mencegah kekeringan dan menjaga kelembaban tanah, tiap lubang tanam diberi aquasorb atau aquakeeper (sejenis jelly berfungsi
sebagai penahan air-cairan, menyerap, menyimpan dan melepaskan air). Dengan menggunakan aquakeeper air akan tersimpan di sekeliling akar sehingga penyerapan air oleh akar tanaman menjadi optimal. Produk ini biasanya tersedia di toko-toko yang menjual bahan-bahan pertanian, Aquakeeper dapat diaplikasikan dalam bentuk kering (berupa kristal) atau bentuk basah berupa jelly (direndam dalam air). Untuk aplikasi kering, aquakeeper langsung digunakan tanpa direndam lebih dahulu. Bibit ditanam pada lubang yang telah ditaburi 3–5 gr aquakeeper kering (akar bibit diusahakan menyentuh aquakeeper), lalu ditutup dengan tanah tipis (sekitar 1cm) sebelum menambahkan pupuk, kemudian ditimbun dengan tanah secukupnya dan disiram sampai seluruh media tanah (sampai di bagian dasar lubang) cukup basah. Aplikasi secara kering dapat juga dilakukan dengan mencampur langsung aquakeeper dengan tanah atau media lain. Akar tanaman ditempatkan di dasar lubang, selanjutnya lubang diisi dengan campuran media tadi kemudian ditutup dengan tanah setebal 5 cm. Aplikasi basah dilakukan dengan merendam terlebih dahulu aquakeeper dalam air sebanyak 100200 kali berat aquakeeper, biarkan selama 1 jam sampai jenuh. Taburkan larutan ke dalam lubang tanam sebanyak 0.6 – 1 kg larutan/ lubang tanam. Kemudian ditutup
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
33
pemupukan. Pupuk yang digunakan diusahakan pupuk organik berupa pupuk kandang dan kompos yang banyak dihasilkan oleh peternak setempat.
dengan tanah untuk mencegah aquakeeper terdegradasi oleh sinar ultraviolet dan kubangan air di permukaan.
Persentase tumbuh tanaman di demplot restorasi pasca eruspi pada umur tanam 8 (delapan) bulan antara lain Agathis (88,5%), Puspa (83,3%), Suren (37.5%) dan Pulai (77.8%). Pada umur 13 bulan persen tumbuhnya menurun sedikit menjadi Agathis (84,4%), Puspa (76,7%), Suren (17,9%) dan Pulai (77 %).
5. Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman tanaman yang mati, penyiangan, pendangiran dan pemupukan. Penyulaman tanaman dilakukan 1 bulan setelah penanaman. Pemeliharaan, penyiangan dilakukan pada umur 3, 6, dan 12 bulan setelah penanaman. Apabila setelah satu tahun tanaman terlihat kerdil maka dilakukan
F. Zonasi Restorasi Karena tingkat kerusakan vegetasi yang bervariasi maka untuk efisiensi kegiatan restorasi perlu dibuat zonasi. Zonasi restorasi dibuat berdasarkan tingkat kerusakan vegetasi untuk menentukan tingkat intensitas campur tangan manusia dalam melakukan restorasi. Dengan demikian kegiatan restorasi menjadi efisien. Pembuatan zonasi restorasi dibuat secara spasial berdasarkan penafsiran citra satelit pasca erupsi Gunung Merapi.
Hasil interpretasi citra ASTER tahun 2009 (sebelum erupsi) dan Landsat 2010 (pasca erupsi) yang kemudian diklasifikasikan menjadi empat kelas kerusakan (degradasi) vegetasi disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 18. Dari Tabel 9 tampak bahwa areal bervegetasi hutan yang relatif tidak rusak oleh erupsi hanya 23,19% dari luas Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Sementara sebagian besar kawasan TNGM mengalami degradasi vegetasi dengan berbagai intensitas.
Tabel 9. Luas areal TNGM yang terdampak erupsi Gunung Merapi. Kelas Kerusakan Vegetation
Luas (Ha)
Rusak Berat (Heavily degraded)
Proporsi (%)
766,67
12,48
Rusak Sedang (Moderately degraded)
2.207,61
35,93
Rusak Ringan (Slightly degraded)
1.745,54
28,41
Tidak Terkena Erupsi (Intact)
1.425,22
23,19
6.145,05
100,00
Jumlah (Total)
34
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
Gambar 18. Klasifikasi tingkat kerusakan vegetasi hutan di Taman Nasional Gunung Merapi pasca erupsi sebagai dasar zonasi restorasi.
Ekosistem hutan yang terdegradasi di TNGM akibat erupsi Gunung Merapi perlu direstorasi agar fungsi-fungsinya dapat segera kembali, seperti fungsi sebagai habitat satwa dan fungsi sebagai pelindung sistem hidrologi. Pengelompokan kelas-kelas kerusakan merupakan upaya untuk menentukan tingkat intensitas campur tangan manusia yang diperlukan dalam merestorasi kawasan tersebut. Hal ini karena pada hakekatnya alam dapat memulihkan dirinya sendiri pasca gangguan melalui proses suksesi alami, sehingga campur tangan manusia semata-mata hanya membantu mempercepat proses pemulihan, mengendalikan jenis-jenis invasif dan mengamankan kawasan agar tidak dirambah.
dalam bentuk pemeliharaan permudaan dan menstimulasi pertumbuhan anakan alam dengan pembebasan ruang dari persaingan dengan tumbuhan lain. Selain itu, apabila jumlah anakan tidak mencukupi untuk menjamin proses regenerasi maka dapat dilakukan penanaman pengayaan dengan jenis asli. (3) Pada areal terdegradasi ringan, kondisi vegetasi dari tingkat pohon sampai anakan relatif masih baik sehingga pemulihan secara alami oleh vegetasi yang tersisa diperkirakan akan berjalan dengan baik, sehingga campur tangan manusia mungkin tidak diperlukan atau kalaupun diperlukan sangat kecil perananya.
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dan hasil analisis yang disajikan pada Tabel 9 serta analisis spasial citra satelit, maka terhadap areal-areal yang mengalami degradasi akibat erupsi dapat dilakukan intervensi manusia dalam rangka restorasi sebagai berikut: (1) Pada areal terdegradasi berat, diperlukan campur tangan manusia secara penuh untuk merestorasi vegetasi melalui penanaman pohonpohon asli Gunung Merapi. (2) Pada areal terdegradasi sedang, tampaknya pemulihan secara alami masih dapat terjadi karena masih tersedia pohon-pohon induk sumber benih dan beberapa permudaan (tiang, pancang dan anakan), tetapi untuk mempercepat proses pemulihan maka campur tangan manusia bisa dilakukan, misalnya
Dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa setidaknya terdapat 766,67 hektar kawasan hutan yang terdegradasi berat sehingga memerlukan campur tangan manusia untuk membantu proses restorasi ekosistem hutan. Luasan ini sekaligus dapat menjadi dasar penghitungan kasar jumlah bibit yang diperlukan. Dengan jarak tanam awal 2 m x 2 m, maka luasan tersebut memerlukan bibit sejumlah 1.916.615 atau sekitar dua juta bibit. Meskipun demikian, tidak semua areal dengan kategori terdegradasi berat harus ditanami kembali, karena sebagian areal merupakan jalur aliran lahar panas berupa cadas dan bebatuan yang tidak mungkin ditanami. Jalur aliran lahar panas percuma ditanami karena akan dilanda lahar panas bila terjadi erupsi lagi. Areal terdegradasi sedang juga memerlukan bibit untuk pengayaan, jika diperlukan.
36
F. Pelibatan Masyarakat Konsekuensi lain dari kegiatan restorasi adalah perlunya pelibatan masyarakat sejak perencanaan, pelaksanaan hingga pemeliharaan dan pengamanan. Pasca erupsi Gunung Merapi, Balai Taman Nasional Gunung Merapi menetapkan kebijakan untuk merestorasi kawasan hutan yang terdegradasi akibat erupsi. Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi dan menyerap aspirasi mereka maka perlu dilakukan survai wawancara dengan masyarakat di sekitar TNGM. Pasca erupsi, muncul pendapat berbagai pihak bahwa areal rusak akibat erupsi yang dihuni oleh masyarakat sebaiknya dibebaskan atau masyarakatnya direlokasi ke tempat lain yang lebih aman. Pendapat tersebut telah dicoba ditawarkan kepada 226 responden dari tujuh resor di TNGM. Hasilnya hanya 35% yang bersedia direlokasi. Sementara sebagian besar (65%) menyatakan tidak bersedia direlokasi
responden menyatakan tidak setuju, sedangkan 46% menyatakan setuju dengan persyaratan ada kompensasi atas kehilangan kesempatan mata pencaharian. Sementara 22% responden setuju tanpa syarat.
Gambar 20. Persepsi masyarakat tentang sterilisasi areal terkena dampak dari aktifitas manusia.
Perihal rencana restorasi ekosistem Gunung Merapi yang terdegradasi akibat erupsi, sebagian besar (94%) responden menyatakan setuju dan tidak ada yang menolak rencana tersebut. Restorasi yang dimaksud juga diharapkan dapat memulihkan vegetasi tanaman pertanian atau tanaman pangan yang rusak akibata erupsi. Sisanya (6%) menyerahkan kepada pemerintah untuk menangani Gunung Merapi pasca erupsi.
Gambar 19. Kesediaan masyarakat terkena dampak erupsi untuk direlokasi.
Sehubungan dengan lahan-lahan garapan dan kawasan yang menjadi tempat beraktifitas masyarakat, ada wacana untuk dihutankan dan dibebasakan dari aktifitas manusia, 32%
Gambar 21. Persepsi masyarakat tentang rencana restorasi areal terkena dampak erupsi.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
37
Hampir separuh respondon (44%) sudah berpartisipasi dalam kegiatankegiatan TNGM, sedangkan 56% merasa belum dilibatkan. Sejak TNGM ditetapkan, pelibatan masyarakat sudah dilaksanakan oleh pengelola, antara lain dalam hal sosialisasi kegiatan, pelatihan, penyuluhan, pemberdayaan, dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Dalam pengelolaan TNGM ke depan, masyarakat menginginkan pola kolaborasi antara pengelola TNGM dengan masyarakat sekitarnya. Pada umumnya masyarakat menyadari pentingnya pelestarian dan pengamanan ekosistem Gunung Merapi, namun jangan sampai mengabaikan kesejahteraan masyarakat sekitar, khususnya melalui pemanfaatan tradisional hasil hutan bukan kayu yang telah dilaksanakan secara turun temurun, yaitu pakan ternak dan kayu bakar. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan, masyarakat juga berharap adanya pengembangan ekowisata yang lebih luas yang melibatkan banyak masyarakat.
Gambar 22. Keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan di TNGM.
Gambar 23. Pendapat masyarakat tentang pengelolaan Gunung Merapi ke depan.
38
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
TEKNIK KOLEKSI HERBARIUM
Herbarium secara umum memiliki dua pengertian, yaitu “herbarium” sebagai instansi atau bangunan yang menyimpan koleksi spesimen herbarium, dan “herbarium” sebagai koleksi spesimen tumbuh-tumbuhan kering yang disusun berdasarkan cara klasifikasi tertentu atau secara sistimatik/alfabetik. Herbarium sebagai koleksi spesimen tumbuhan kering merupakan barang bukti atau dokumen ilmiah yang dapat menggambarkan bahwa jenis-jenis tumbuhan terkoleksi terdapat di suatu kawasan. Selain itu spesimen herbarium juga sebagai bahan acuan dalam identifikasi, determinasi, dan validasi untuk mendapatkan ketepatan nama botani. Data-data yang tercantum dalam label atau katalog dapat sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan maupun penelitian. Pada bidang kehutanan, pengetahuan tentang flora pohon hutan sangatlah
penting diketahui. Dalam pengelolaan hutan, salah satu kegiatan yang biasa dilakukan adalah inventarisasi flora pohon. Pada kegiatan ini diperlukan bukti berupa data lapangan dan jenis pohon yang dirisalah (berupa material herbarium). Dengan material herbarium akan dilakukan identifikasi yang selanjutnya diperoleh ketepatan nama botaninya. Pengumpulan atau pengkoleksian material herbarium pada umumnya jarang dilakukan, sehingga pada kegiatan pengelolaan hutan maupun penelitian sering tidak disertai barang bukti material herbarium. Padahal untuk mendapatkan nama botani, tidak dapat hanya berdasarkan pada nama lokal/nama daerah. Oleh karena itu dipandang perlu untuk menyajikan uraian tentang teknik pengkoleksian herbarium pohon hutan sebagai bahan identifikasi secara ringkas.
A.Pengambilan Material Herbarium 1. Bahan dan Peralatan Label gantung berukuran 5x3 cm, terbuat dari kertas manila putih yang mudah ditulisi dengan pensil. Kantong plastik transparan tebal berukuran 60x80 cm, 40x60 cm, 20x40 cm dan 10x20 cm. Karung plastik, untuk membawa material. Tali rafia atau tali pengikat.
Alat tulis antara lain pensil 2B, penghapus, spidol, buku lapangan/buku catatan/blangko isian. Galah dengan pemotong diujungnya, panjangnya disesuaikan dengan ketinggian material yang akan diambil (+ 5 m). Untuk mempermudah membawanya, galah dibuat
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
39
bersambung. Parang, gunting ranting, pisau. Ketapel dan tali senar untuk membantu mengambil material herbarium untuk jenis pohon beranting dan berdaun relatif kecil. Sarung tangan, untuk melindungi tangan dari duri atau getah. Alat pelengkap, teropong, lensa pembesar (hand lens), altimeter, kompas, pita ukur, peta lokasi, dll.
2. Teknik pengambilan Pemilihan material yang akan diambil tergantung dari tujuannya. Untuk koleksi spesimen herbarium sebagai dokumen ilmiah atau kepentingan taksonomi, diambil seranting daun yang lengkap (“herbarium fertil”) terdiri dari: ranting, kuncup daun, daun, bunga dan buah. Jumlah pengambilan usahakan sebanyak 5 ranting, untuk duplikat. Material herbarium sebagai spesimen bukti atau contoh pohon/tumbuhan (misalnya pada kegiatan inventarisasi, ekologi, dsb.) dapat diambil material seranting daun tanpa bunga atau buah yang disebut “herbarium steril”. Sebelum mengambil, pastikan dulu ranting mana yang dipilih. Untuk lebih jelas, pergunakan teropong. Pengambilan material pada pohon yang tidak terlalu tinggi, dapat dilakukan dengan menggunakan galah. Untuk pohon besar dan tinggi atau pohon tinggi, pengambilan
40
material herbarium dilakukan dengan cara memanjat pohon bersangkutan atau memanjat pohon disebelahnya. Dapat pula menggunakan ketapel dan tali senar dengan melempar ke arah ranting kemudian tarik sampai patah. Di Sumatra ( Sumatra Barat, Riau, Jambi, Bengkulu) pengambilan material herbarium dapat dilakukan dengan bantuan beruk (Macaca nemestrina). Akan lebih mudah lagi, dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan penebangan (Logging). Potong seranting daun lengkap (fertil atau steril), dengan panjang kurang lebih 40 cm. Untuk jenis pohon berdaun besar, potong ranting dengan 3-4 helai daun. Potongan ranting diberi label gantung, tulis menggunakan pensil (tulisan menggunakan pensil jika terkena alkohol atau spirtus tidak akan luntur): nama kolektor (bisa disingkat, tapi jika untuk dikirim ke herbarium yang besar misal: Herbarium Bogoriense usahakan tidak disingkat), nomor koleksi, tanggal pengambilan, nama daerah/nama lokal. Material dengan bunga atau buahnya terlepas, pada label diberi keterangan berbunga/ berbuah. Bunga dan buah yang terlepas dari rantingnya diberi label gantung (keterangan pada label sama dengan rantingnya), masukkan dalam kantong plastik sesuai
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
ukuran (diberi sedikit lubang) kemudian ditutup dan diikat. Material herbarium dengan nomor koleksi sama dimasukkan dalam satu kantong plastik tertutup, agar tidak tercampur dengan nomor koleksi lain. Setiap pengambilan material herbarium, dicatat pada buku lapangan keterangan yang penting-penting, antara lain: nama kolektor, nomor koleksi, tanggal pengambilan, nama daerah nama lokal (sesuai dengan label gantungnya), tinggi total pohon, tinggi batang bebas cabang, diameter batang, ciri-ciri batang, kulit batang, warna getah, warna
daun muda, warna dan bau bunga atau buah, dan ciri-ciri khas lainnya. Lengkapi dengan data tempat tumbuh seperti: lahan kering/lahan basah, dataran rendah/dataran tinggi, tinggi tempat dari permukaan laut (dpl.). Semua material terkoleksi dimasukkan dalam karung plastik, selanjutnya dibawa ke tempat pemrosesan. Material herbarium yang sudah terkumpul langsung diproses (diawetkan) dalam keadaan segar, untuk menghindari kerontokan daun/bunga/buah, helaian daun/bunga yang menggulung dan adanya pembusukan.
B.Teknik Pemrosesan 1. Bahan dan peralatan Material herbarium Alkohol 70% atau spirtus. Kertas koran Kantong plastik transparan berukuran 60x40 cm. Sasak bambu atau sasak kayu berukuran 45x35 cm. Karton dan alumunium bergelombang kecil Tali rafia atau tali pengikat, karung plastik/kardus Gunting ranting/gunting daun Tungku Alat tulis dan hekter. 2. Pemrosesan di lapangan Pemrosesan material herbarium di lapangan atau di lokasi pengumpulan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
a. Pemrosesan basah Pemrosesan basah merupakan pemrosesan material herbarium dengan menggunakan alkohol atau spirtus. Keuntungannya pengerjaan praktis karena pengeringan dapat dilakukan beberapa hari hingga beberapa minggu. Sedangkan kerugiannya dari segi biaya lebih mahal karena menggunakan alkohol atau spirtus. Mengenai tahapan kerjanya ialah: Lipat setengah lembar halaman koran menjadi 2. Buka lipatan koran tersebut untuk meletakkan seranting daun (1 material herbarium), disusun yang rapi dengan helaian daun/bunga/buah menghadap dua muka (permukaan atas dan bawah harus ditampilkan), diusahakan
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
41
tidak ada daun/bunga yang tergulung atau terlipat. Untuk helaian daun yang besar dapat dilipat disesuaikan ukuran koran, atau dipotong setengah helaian daunnya pada salah satu sisi ranting (tidak semua helaian daun dipotong). Sebelum memotong helaian daun, ukur dahulu panjang dan lebarnya. Buat sketsa bentuk daun atau diambil gambarnya. Bunga dan buah yang terlepas masukkan dalam lipatan koran tersendiri, diberi label gantung dan ditumpuk dengan material daunnya.
Setiap lipatan koran hanya berisi 1 spesimen lengkap dengan label gantungnya. Tumpuk lipatan-lipatan koran tersebut hingga setinggi sekitar 30 cm, ikat rapi dan kuat. Masukkan tumpukan material herbarium dalam kantong plastik dan siram dengan alkohol atau spirtus sampai basah semua. Tutup kantong plastik rapat-rapat (dihekter atau diikat) agar alkohol/spirtus tidak cepat mengering. Masukkan kantong-kantong plastik berisi material herbarium ke dalam karung plastik atau kardus, untuk dibawa ke tempat herbarium/koleksi.
Gambar 24. Material herbarium berlebel dalam lipatan Koran.
Gambar 25. Tumpukan material herbarium dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disiram dengan alkohol/spirtus.
42
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
a. Pemrosesan kering : Pemrosesan material herbarium tanpa menggunakan alkohol atau spirtus. Keuntungannya hemat biaya dan material kering lebih ringan membawanya, kerugiannya proses pengeringan harus cepat dikerjakan. Tahapan kerjanya sebagai berikut : Tumpukan koran berisi material herbarium setinggi 40 cm, dipres dalam sasak bambu/kayu dan diikat kuat. Sasak diberi label (tulis dengan pensil) nama kolektor dan tanggal pengeringan. Susunan pengepresan dengan urutan: sasak, alumunium bergelombang, karton bergelombang, lipatan koran yang berisi material herbarium, karton, alumunium, material herbarium dalam lipatan koran, karton, alumunium, dan seterusnya.
Gambar 26.Tungku pengeringan yang terdiri dari : tempat bara, rak, dan atap. ( sumber : Bridson dan Forman, 1992).
Susun di atas rak dengan posisi tegak lurus memanjang atau vertikal, jangan ditumpuk. Keringkan di atas tungku dengan panas yang diatur, usahakan panas merata keseluruh material. Bolak-balik material dengan selang waktu 1 sampai 2 jam. Material yang sudah kering pisahkan dan diambil.
3. Pemrosesan di tempat penyimpanan herbarium a. Bahan dan Peralatan Kertas koran Sasak bambu atau sasak kayu berukuran 45x35 cm Alumunium bergelombang kecil Karton bergelombang kecil berukuran 45x35 cm Tali pengikat Label gantung, pensil. b. Teknik Pemrosesan : Maksud pemrosesan disini adalah khusus untuk material herbarium basah, meliputi pengepresan dan pengeringan. Teknik pemrosesan dan pengeringan mengacu Herbarium Bogoriense (Djarwaningsih et al., 1999).
Pengepresan : Teknik pengepresan sama dengan pemrosesan kering di lapangan Material herbarium basah dari lapangan dikeluarkan dari kantong plastik. Susun alat dan bahan pengepresan dengan urutan: (1) Sasak (2) Alumunium bergelombang (3) Karton bergelombang (4) Lipatan kertas koran, buka lembarannya (5) Susun material herbarium basah pada kertas koran tersebut, dengan menampilkan permukaan atas dan bawah
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
43
pada satu ranting, dirapikan jangan ada yang tergulung. (6) Pada daun berukuran besar dapat dilipat, diantara lipatan disisipkan potongan kertas koran supaya tidak melekat. (7) Bunga dan buah kecil-kecil yang terlepas, dimasukkan dalam kantong koran. (8) Periksa ada tidaknya label gantung, label yang lepas atau rusak dapat diperbaru dan disesuaikan dengan label lama. (9) Lipatan koran yang terbuka ditutup kembali. (10) Material herbarium yang terdapat buah tebal, tambahkan lipatan koran disekitar buah pada kartonnya, sehingga ketebalan permukaan sama. Hal ini untuk membantu pengeringan yang merata antara buah dan daun. (11) Tutup dengan karton bergelombang
(12) (13)
(14)
(15)
(16)
Alumunium bergelombang Karton bergelombang Lipatan koran berisi material
herbarium Karton bergelombang Alumunium bergelombang, demikian seterusnya sampai tumpukan setinggi sekitar 40 cm.
Tutup dengan sasak, ikat kuat dan siap dikeringkan. Pada sasak diberi label gantung, bertuliskan nama kolektor dan tanggal pengepresan. Untuk material herbarium berupa buah besar dan sulit dipres, dapat dimasukkan ke dalam kaleng (untuk dikeringkan) dan diberi label (disebut koleksi karpologi). Bunga atau buah berukuran besar yang berdaging, dapat diawetkan tanpa dikeringkan menjadi koleksi basah (koleksi yang direndam dalam zat pengawet). Masukkan bunga/buah dalam stoples/botol, rendam dengan alkohol 70% atau FAA, diberi label dan tutup rapat ( tutup olesi parafin supaya tidak menguap). Material herbarium kering yang memiliki koleksi karpologi atau koleksi basah, pada label diberi keterangan/tulisan ada koleksi basah/karpologi.
Gambar 28. Susunan material herbarium yang sudah dipres dengan sasak ( bagian paling bawah sasak dan paling atas ditutup dengan sasak).
Gambar 27. Pengepresan material herbarium terdiri dari (paling bawah): alumunium bergelombang – karton – material herbarium dalam lipatan koran – karton – alumunium bergelombang.
44
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
Pengeringan : Pengeringan pada material herbarium yang sudah dipres tersebut dapat dilakukan dengan cara: Pengeringan di bawah panas matahari, dilakukan bila matahari sangat terik dan umumnya memerlukan waktu cukup lama : Jemur sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal Bolak-balik, agar semua material terjemur. Pengeringan di atas tungku, cara mengerjakannnya sama dengan pemrosesan kering di lapangan (lihat gambar 30) . Pengeringan dengan pemanas bolam listrik: Letakkan sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal di atas rak. Pada bagian bawah rak dipasang 2 buah bolam listrik 100 W. Bolak-balik agar pengeringan merata.
Gambar 29. Pengeringan dengan menggunakan bolam listrik, terdiri dari kotak papan penempel bolam dan rak besi. (Sumber: Afriastini, 1997).
Pengeringan dalam oven : Letakkan sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal di atas rak dalam oven. Periksa setiap hari, bolak-balik dan pisahkan material herbarium yang sudah kering. Pada umumnya material herbarium kering selama 3-4 hari. Pengaturan panas dalam oven dilakukan secara tahap demi tahap, tergantung tebak tipisnya materia (+ 600 C).
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
45
Gambar 30. Pengeringan material herbarium dalam oven.
C. Identifikasi Material Herbarium Material herbarium yang sudah menjadi material kering atau basah diidentifikasi untuk mendapatkan nama botaninya. Pada umumnya identifikasi dilakukan dengan cara membandingkan sifat morfologi material herbarium (yang akan diidentifikasi) dengan material (spesimen) herbarium yang sudah teridentifikasi, dan pekerjaan ini dilakukan di herbarium. Bagi pemula, pengerjaan identifikasi dapat dilakukan dengan bantuan pakar botani/pakar identifikasi. Untuk flora pohon hutan khususnya dan flora hutan pada umumnya, Herbarium Botani dan Ekologi Hutan, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor memberikan layanan identifikasi. Adapun urutan kerja identifikasi yang dilakukan di ruang herbarium adalah sebagai berikut :
46
Sebelum masuk ruang herbarium, material herbarium kering harus bebas dari hama/serangga.
Sebagai pencegahan awal masukkan material kedalam kantong plastik, lalu semprot dengan obat pembasmi hama misalnya Baygon.
Tutup kantong plastik rapat-rapat, diamkan minimum 30 menit (diharapkan hama/serangga akan mati)
Keluarkan material dari kantong plastik, masukkan kembali ke dalam lipatan koran.
Identifikasi dengan melihat sifat morfologi dan bandingkan dengan sifat morfologi pada spesimen herbarium yang telah teridentifikasi yang dilengkapi dengan penyelusuran pustaka taksonomi flora pohon. Biasanya secara
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
berturut-turut mendapatkan nama suku, marga, kemudian nama jenis.
Tulis dengan pensil nama marga dan nama jenis pada label identifikasi, serta nama kolektor dan nomor koleksi.
Apabila Identifikasi dikerjakan oleh bukan kolektor, maka nama orang yang mengidentifikasi ditulis pada label identifikasi atau label
determinasi (penulisan dapat mengunakan komputer) dan seandainya ada pakar yang mengesahkan kebenaran hasil identifikasi/determinasi maka ditulis pada label pengesahan. Di bawah ini contoh label determinasi dan label pengesahan di Herbarium Botani Hutan.
HERBARIUM BOTANI HUTAN (BZF)
Shorea leprosula Miq.
Det. Marfu'ah Wardani
05/06/2007
Label determinasi Herbarium Bogoriense (Det.)
Conf.
Uhaedi Sutisna
06/05/2007
Label pengesahan ( Conf.) Gambar 31. Label koleksi hebarium.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
47
PERTELAAN JENIS-JENIS
POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Antidesma tetrandrum Blume (Phyllanthaceae) Sinonim: Antidesma auritum Tul. , Antidesma blumei Tul., Antidesma salaccense Zoll. & Moritzi Nama lokal: buni ande-ande, ki seuheur, huni peucang Pertelaan: Pohon dengan tingginya 3-19 m, dengan diameter batang 6-49 cm; daunnya berseling berbentuk elips dengan ujung memanjang bisa mencapai 7x20 cm; bunga betina majemuk tandan (racemes) yang panjang Distribusi: Jawa Habitat: Hutan campuran, semak-semak, mulai ketinggian 100- 2.400 m dpl, terutama di atas 700 m dpl Kegunaan: Kayunya digunakan sebagai gagang kapak. Kulit Batangnya digunakan sebagai obat dan buahnya dikonsumsi. Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
51
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Arenga pinnata (Wurmb) Merr. ( Arecaceae) Sinonim: Arenga saccharifera Nama lokal: aren, kawung (Sunda), irang (Jawa), bak juk (Aceh) Pertelaan: Pohon tingginya mencapai 10-20 m dengan diameter 30-65 cm. Batangnya diselubungi dengan serabut hitam (ijuk). Daun majemuk dengan panjang 6-12 m, panjang tangkai daun 1-2,5 m. Bunga majemuk bertandan dengan banyak malai. Buah kuning kecoklatan ketika matang dengan 1-3 biji berwarna hitam. Distribusi: Asia Tenggara sampai kepulauan Ryukyu di Jepang dan menyebar ke Vietnam hingga Himalaya Bagian Timur. Habitat: Tumbuh liar di lereng-lereng atau tebing sungai sampai ketinggian 2.000 m dpl Kegunaan: Bagian tengah batang (empulur) menghasilkan sagu halus, batangnya sebagai bahan ukiran, kulit batangnya mengandung bahan tonikum. Akar mudanya untuk obat batu ginjal dan sakit gigi. Daun muda/ janur bisa dijadikan bahan rokok (rokok daun kawung). Niranya sebagai bahan baku gula aren, buah mudanya dikenal dengan kolang kaling. Ijuknya banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan pelapis dinding yang kedap air. Aren juga merupakan pakan satwa, habitat satwa (musang, luwak dan babi) Perbanyakan: biji.
52
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Bischofia javanica Blume (Phyllanthaceae) Sinonim : Bischofia cummingiana Decne, Bischofia oblongifolia Decne, Bischofia roperiana Decne, Bischofia toui Decne, Bischofia trifoliata Hook, Microelus roeperianus Wight & Arn., Stylodiscus trifoliastus Benn. Nama lokal: gintungan Pertelaan: Pohon yang tingginya 12-18 m, dengan diameter batang 95-150 cm. Daun berseling dengan 3 anak daun yang panjangnya 15-20 cm. Bunga kecil kuning kehijauan, bunga jantan dan betina terpisah pada pohon yang berbeda. Buah berdaging coklat kemerahan atau biru kehitaman dengan diameter 9 mm. Biji coklat dengan diameter 5 mm. Distribusi: Indonesia, Semenanjung Malaya, New Guinea, China, India, Jepang. Habitat: Tahan kekeringan; ditemukan pada ketinggian 900-1.800 m dpl. Kegunaan: Tempat cakaran macan tanda teritorial, daun pakan ternak, kayu konstruksi, kerajinan, pulp, arang. Tanaman ini banyak digunakan sebagai tanaman hias dan obat. Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
53
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Calophyllum soulattri Burm. F (Calophyllaceae) Sinonim: Calophyllum kiong Lauterb. & K.Schum., Nama lokal: bintangur, sulatri Pertelaan: Pohon yang tingginya sampai 30 m, dengan diameter batang 70 cm, bundar lurus tanpa banir. Daun tunggal oval sampai lonjong dengan getah putih. Bunga majemuk dengan bunga jantan dan betina. Buahnya berdiameter 2 cm. Distribusi: India, Sri Lanka sampai kepulauan Solomon Habitat: Ditemukan pada tanah miskin miskin berpasir dan tanah ultrabasic, tetapi juga pada batu kapur. Di hutan sekunder biasanya hadir sebagai pohon sida-sisa pragangguan pada ketinggian 700 m dpl. Di hutan dataran ditemukan sampai dengan ketinggian 300 m dpl. Kegunaan: Kayu konstruksi, pohon obat, biofuel. Perbanyakan: biji.
54
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Cananga odorata (Lam.) Hook.f. & Thomson (Annonaceae) Sinonim: Uvaria odorata Lam. Fitzgeraldia mitrastigma F.Muell. Nama lokal: kenanga Pertelaan: Pohon yang tingginya 10-40 m dan dengan diameter batang 1 m, halus berwarna putih kelabu. Daun tunggal berseling berbentuk jorong (elips) atau membulat, permukaan daun hijau tua mengkilat. Bunga majemuk payung (umbellate) dengan 412 bunga, harum berwarna kuning kehijauan. Buah berwarna hijau kehitaman. Biji coklat. Distribusi: Indonesia dan Malaysia Habitat: Ditemukan di hutan tropis, memerlukan cahaya penuh atau sebagian, menyukai tanah masam, hidup di dataran rendah sampai ketinggian 1.200 m dpl. Kegunaan: Kayu akustik, minyak kenanga, dan tanaman hias. Perbanyakan: biji dan stek.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
55
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Castanopsis argentea (Blume) A.DC. (Clusiaceae) Sinonim: Fagus argentea Blume , Castanea argentea (Blume) Blume Nama lokal: berangan, ki hiur, sarangan, saninten, wrakas Pertelaan: Pohon yang tingginya mencapai 35 m dan dengan diameter batang 80-100 m. Batang bercabang tanpa banir. Daun berwarna hijau-perak. Bunga majemuk dengan anak bunga berbentuk lonceng. Buah capsul berdiameter 3-4 cm, berambut dan berduri. Distribusi: Jawa, Sumatera, New Guinea, Myanmar dan Malaysia Habitat: Hutan primer dan sekunder, tumbuh baik di ketinggian 200-1.600 m dpl. Kegunaan: Kayu bangunan, lantai, papan, jembatan, bak kayu, rangka pintu dan jendela, genting; biji sebagai bahan makanan dengan cara direbus atau dibakar. Pohon sebagai habitat burung dan mamalia, untuk mencari pakan, beristirahat, dan bersarang. Perbanyakan: biji
56
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Cinnamomum iners Reinw. ex Blume (Lauraceae) Sinonim: Cinnamomum eucalyptoides T. Nees, Cinnamomum nitidum Blume, Cinnamomum paraneuron Miq. Nama lokal: kayumanis alam, medangteja, sintok, huru gading, ki teja, ki amis Pertelaan: Pohon yang tingginya 20-35 m dan dengan diameter batang 50-80 cm. Daun berhadapan, berbentuk elips hingga lonjong, teksturnya seperti kulit dengan 3 tulang daun. Bunga berwarna putih ukuran 5-7 mm. Buah lonjong berukuran 1-1.5 cm. Distribusi: India dan Wilayah Malesiana Habitat: Hutan tropis, tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 2000 m dpl. Ditemukan juga di hutan campuran conifer dan hutan sekunder. Kegunaan: Kayunya untuk bahan konstruksi, kulit dan daun sebagai bahan rempah dan obat. Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
57
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Cratoxylum formosum (Jacq.) Benth. & Hook.f.ex Dyer (Hypericaceae) Nama lokal: mampat dadu, marong Pertelaan: Pohon yang tingginya dapat mencapai 45 m dengan diameter batang 90 cm memiliki getah kuning. Daun tunggal, berhadapan, berbentuk jorong (elips), membundar telur (ovate) atau membundar telur sungsang (obovate). Bunga majemuk terdiri dari 1-6 bunga terbatas (cymes). Bunga berwarna merah muda hingga ungu dengan diameter 1.5 cm. Biji berukuran 1.5 cm berwarna coklat, pipih dan bersayap. Distribusi: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Myanmar, Cina, Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya dan Filipina. Habitat: Tumbuh di hutan primer dan sekunder. Ditemukan juga di daerah savana, mangrove, lembah, sepanjang aliran sungai dan rawa-rawa hingga ketinggian tempat 1.200 m dpl.
Kegunaan: Sebagai tanaman hias, kayunya digunakan sebagai bahan bangunan, buahnya dapat dikonsumsi. Perbanyakan: biji
58
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Croton argyratus Blume (Euphorbiaceae) Sinonim: Croton budopensis Gagnep. Croton maieuticus Gagnep., Croton tawaoensis Croizat Nama lokal: parengpeng, tapen kebo Pertelaan: Pohon yang tingginya 15-20 m dan dengan diameter batang 30-50 cm, terkadang tinggi 27 m dengan diameter batang 170 cm. Bunga majemuk putih. Distribusi: Indonesia, Cina, Jepang, Vietnam, Myanmar, Laos, Thailand, Semenanjung Malaya dan Filipina. Habitat: Dapat hidup di lereng bukit, tanah liat berpasir sampai ketinggian 1.500 m dpl. Kegunaan: Sebagai tanaman peneduh dan pelindung karena dapat menyerap dan menjerap (intersepsi) debu dan unsur pencemar udara Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
59
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq. (Meliaceae) Sinonim: Alliaria Kuntze, Cambania Comm. ex M.Roem., Didymocheton Blume, Dysoxylon (orth. var.), Epicharis Blume, Goniocheton Blume, Hartighsea A.Juss., Macrocheton (Blume) M.Roem. , Macrochiton M.Roem. (orth. var.) Nama lokal: kedoya, kapinango, maranginan, pingku (sunda), kraminan, cempaga, cepaga (Jawa), ampeuluh, kheuruh (Minahasa), majegau (Bali) Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 30-40 m, dengan diameter batang 100-120 cm. Kayunya halus berwarna coklat-kuning muda hingga merah muda atau coklat-merah muda mengkilat. Daun berseling. Bunga berwarna kuning-putih dengan diameter 1 cm, harum, berupa bunga majemuk tandan (racemes) di cabang-cabangnya. Buah berbentuk kapsul berwarna hijau-kelabu atau hijau kekuningan, berambut. Biji berwarna merah terang. Distribusi: Myanmar, Thailand dan Wilayah Malesiana. Habitat: Hutan campuran dipterocarp dan hutan sub-montane dataran rendah sampai ketinggian 1.700 m dpl Kegunaan: Kayunya digunakan sebagai tiang utama bangunan suci (pura) di Bali, Kayunya yang berat, padat dan halus baik digunakan sebagai bahan ukiran. Banyak juga digunakan untuk membuat kapal, roda pedati dan jembatan. Tanaman ini bisa digunakan sebagai bahan pestisida. Perbanyakan: biji.
60
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Engelhardia spicata Lechen ex Blume (Juglandaceae) Nama lokal: kalipapa, lipapa, sowo, mersawa, kukrup, ki hujan Pertelaan: Pohon dengan tinggi 35-36 m. Daun majemuk pinnate dengan warna kehitaman. Anak daun berjumlah 4-14 berbentuk elips, elips-lanceolate atau elips-ovate dengan ujung runcing. Buah berukuran 3-6 mm bersayap. Distribusi: India, Cina Selatan, Myanmar, Indochina, Thailand, Semenanjung Malaya, Indonesia (Jawa) dan Filipina. Habitat: Hutan primer dan pegunungan dengan ketinggian 1.200-2.500 m dpl. Kegunaan: Sebagai bahan kerajinan, buahnya makanan lutung. Sebagai habitat lutung Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
61
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Erythrina fusca Lour. (Leguminosae) Sinonim: Erythrina glauca Willd., Erythrina ovalifolia Roxb., Erythrina atrosanguinea Ridley, E. ovatifolia Roxb. Nama lokal: dadap cangkring Pertelaan: Pohon berukuran sedang dengan mahkota membundar. Batang pendek, berduri, kadang-kadang berbanir sampai 2 m; pepagan abu-abu kecoklatan atau coklat kehijauan. Dahan menyebar, berduri. Ranting tidak berduri. Daun berseling, berdaun 3; pinak daun membundar telur sampai menjorong, Perbungaan tandan, di terminal dengan bunga merah bata muda atau salmon (jarang putih). Buah polong. Biji menjorong-melonjong, coklat tua atau hitam. Distribusi: Asia tropis, Kepulauan Pasifik, Amerika Tengah, Afrika, Karibia dan Amerika Selatan tropis. Habitat: Tumbuh di tepi pantai, toleran rendaman air dan kadar garam. Ditemukan pula di daerah tropis sampai 700 m dpl. menyukai daerah litoral dengan tanah berdrainase tidak bagus seperti rawa-rawa dan aliran tepi sungai dan rawa-rawa sungai di dataran tinggi. Kegunaan: Bunga dan daun mudanya dapat dikonsumsi, tanaman hias dan tanaman obat. Jenis ini merupakan tumbuhan pionir setelah letusan gunung berapi Krakatau. Tumbuhan ini merupakan habitat satwa, yaitu tempat tidur primata. Perbanyakan: biji dan stek
62
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Erythrina orientalis (L.) Merr. (Leguminosae) Synonim : Erythrina variegate LINN. Nama lokal: deris, blendung (Sunda) dadap ayam, dadap Laut (Jawa) Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 15-20 m dan diameter batang 40-50 cm, Distribusi: Afrika Timur, India, Asia Tenggara, Pasifik, Australia Habitat: Tumbuh terutama di tanah pasir lembab, terbuka. Di Jawa tumbuhan ini ditemukan di dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian tempat sampai 2.100 m dpl. Termasuk jenis cepat tumbuh. Kegunaan: Pohon ini bisa digunakan sebagai penahan Erosi, kayunya sebagai bahan pembuat peti kemas. Rebusan daunnya bisa meningkatkan ASI serta melancarkan haid. Tumbuhan ini juga sebagai habitat tempat tidur monyet. Perbanyakan: biji dan stek.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
63
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Erythrina subumbrans (Hassk.) Merr. (Leguminosae) Synonim: Erythrina lithosperma Miq. non Bl Nama lokal: dadap rangrang, dadap lenga, dadap minyak. dadap lesang, dadap dadap limit (Sunda), dadap lisah, dadap lenga, dadap srep (Jawa) Pertelaan: Pohon yang menggugurkan daunnya (deciduous) dengan tinggi dapat mencapai 35 m. Daun berseling dengan 3 (tiga) anak daun. Bunga majemuk tandan (racemes), anak bunga banyak. Biji hitam Distribusi: India, Sri Lanka sampai Asia Tenggara, Fiji, Samoa. Habitat: Tempat tumbuh hutan campuran, kebun, semak. Hidup di ketinggian 2.200 m dpl Kegunaan: Akarnya mengandung bintil nitrogen, tanaman ini dapat meningkatkan produksi teh jika ditanam di kebun teh. Kayunya sebagai bahan peti kemas, tunas dan daun mudanya sebagai obat wanita melahirkan. Tanaman ini juga sebagai habitat tempat tidur monyet Perbanyakan: biji dan stek.
64
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Ficus annulata Blume (Moraceae) Sinonim: Ficus balabacensis Quisumb., Ficus flavescens Blume, Ficus valida Blume, Urostigma annulatum (Blume) Miq., Urostigma biverrucellum Miq., Urostigma conocarpum Miq., Urostigma depressum Miq., Urostigma flavescens (Blume) Miq., Urostigma validum (Blume) Miq. Nama lokal: kiyara koneng (Sunda), benda oyod, karet bulu, grasak,yuyang, panggang, wiyuyang (Jawa). Pertelaan: Tumbuhan epifit raksasa. Kulit batang berwarna coklat, kasar dan bergetah. Daun tunggal, lonjong (panjang 12-25 cm dan lebar 5-10 cm ), berwarna hijau di bagian atas dan keputihan di bagian bawah, ujung dan pangkalnya meruncing. Berbunga majemuk berbentuk malai, menempel di batang, mahkota berwarna kuning. Buah buni, berwarna hijau, sebesar 2-4 cm dan bijinya berwarna coklat. Distribusi: Asia Tenggara (Indo China, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi). Habitat: Hutan tropis. Di daerah Gunung Merapi ditemukan hingga ketinggian < 1.500 m dpl Kegunaan: Kayunya sebagai bahan bangunan sedangkan kulit kayunya bisa dibuat tambang. Daun mentahnya bisa dikonsumsi sebagai lalapan, buahnya merupakan pakan burung dan monyet.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
65
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Ficus benjamina L (Moraceae) Sinonim: Ficus comosa Roxb., Ficus cuspidatocaudata Hayata, Ficus haematocarpa Blume ex Decne., Ficus lucida Aiton, Ficus neglecta Blume ex Decne. Ficus nepalensis Blanco, Ficus nitida Thunb., Ficus nuda (Miq.) Miq., Ficus papyrifera Griff., Ficus parvifolia Oken, Ficus pendula Link, Ficus pyrifolia Salisb., Ficus reclinata Desf., Ficus striata Roth, Ficus umbrina Elmer, Ficus xavieri Merr., Urostigma benjaminum (L.) Miq., Urostigma nudum Miq. Ficus retusa L. Nama lokal: beringin, ipik Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 35 m. Akar udara banyak menggantung dari batang utamanya. Kulit batang berwarna coklat terang hingga kelabu bahkan kehitaman. Daun dalam rangkaian berbentuk spiral berbentuk elips atau membulat. Buah tunggal atau berpasangan. Distribusi: Sumatera, Jawa, Bali, India, Myanmar, Thailand, Cina Selatan, Semenanjung Malaya dan Kepulauan Solomon. Habitat: Hutan tropis sampai ketinggian 1.300 dpl. Kegunaan: Sebagai tanaman peneduh dan baik untuk konservasi air. Buah dan daun sebagai pakan satwa, pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa seperti burung dan primata. Perbanyakan: biji
66
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Ficus fistulosa Reinw. ex Blume (Moraceae) Sinonim: Covellia subopposita Miq., Covellia tuberculata Miq., Ficus condensa King, Ficus curranii Merr., Ficus fistulosa var. angustifolia Miq., Ficus grandidens Merr., Ficus harlandii Benth., Ficus lucbanensis Elmer, Ficus millingtonifolia Griff., Ficus polysyce Ridl., Ficus repandifolia Elmer, Ficus rubrovenia Merr., Ficus tengerensis Miq., Ficus tuberculata (Miq.) Miq. Nama lokal: wilodo, ara kujajing, ara batang kuning Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 20 m. Daun lonjong namun sering tidak simetris. Buah menempel di batang utama atau cabang. Distribusi: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Kepulauan Nicobar, Thailand, Semenanjung Malaya dan Filipina. Habitat: Hutan dan sepanjang daerah aliran sungai hingga ketinggian 2.000 m dpl. Kegunaan: Buah dan daun pakan satwa; pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa. Getahnya dioles pada luka teriris benda tajam, sebagai obat 1-2 kali sehari sampai mengering. Untuk obat cacingan, ara ditumbuk dan direbus. Buah ara dimakan banyak satwa seperti burung, kelelawar, monyet, lutung. Daunnya dimakan beberapa jenis serangga, terutama ulat. Karena peran pentingnya, jenis ara menjadi spesies kunci di ekosistem hutan tropis Perbanyakan: biji.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
67
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Ficus grossularioides Bum.f. (Moraceae) Sinonim: Ficus alba Reinw. ex Blume, Ficus bicolor Hook. ex Miq., Ficus chloroleuca Miq., Ficus gossypina Wall. ex Miq., Ficus gossypina forma integrifolia Miq. Ficus gossypina forma lobata Miq., Ficus hunteri Miq., Ficus lobata Hunter ex Ridl., Ficus mappan Miq., Ficus nivea Blume, Ficus palmata Roxb. Nama lokal: hamerang, ki ciat, sehang Pertelaan: Pohon kecil dengan tinggi dapat mencapai 10 m. Buahnya bulat, menempel pada batang dan cabang, berwarna merah ketika masak. Buah merupakan suatu rongga yang mengandungi bunga jantan dan betina. Sejenis serangga penyengat biasanya masuk ke daalam buah membantu pembungaan, Daun berbentuk hati bergetah dengan ukuran 20-35 x 10-25 cm. Buah bulat dengan diameter 1,2 cm berwarna kuning jika matang kemudian berangsur-angsur menjadi coklat dan akhirnya merah tua. Distribusi: Wilayah Malesia Bagian barat, Semenanjung Malaya hingga Jawa Habitat: Hutan pegunungan; 1.700 m dp. Hidup di daerah tropis. Tumbuh baik di tempat terbuka tetapi tahan di tempat teduh. Di Merapi tumbuh sampai ketinggian 1.700 m dpl. Kegunaan: Buah dimakan primata dan burung. Getahnya berwarna putih dan digunakan untuk industri batik sebagai bahan pengawet kain batik Perbanyakan: biji.
68
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Ficus racemosa L. (Moraceae) Sinonim: Ficus glomerata Roxb Nama lokal: elo, lowa, karet kebo, bulu, bunut, gondang putih Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 40 m, berbanir. Daun dalam rangkaian melingkar (spirally), berbentuk lonjong sampai lanset. Buah menempel di batang dalam cluster hingga sepanjang 25 cm berwarna hijau sampai merah. Distribusi: Indonesia, Cina Selatan, Sri Lanka, Myanmar, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaya, New Guinea dan Australia Habitat: Banyak ditemukan di daerah aliran sungai dan hutan dataran rendah hingga pegunungan sampai ketinggian 2.500 m dpl. Kegunaan: Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, buahnya dapat dikonsumsi. Buah tanaman ini juga biasa dimakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lutung. Pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa termasuk lutung. Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
69
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Ficus ribes Reinw ex. Blume (Moraceae) Sinonim: Ficus merrillii Elmer, Ficus serraria Miquel, Ficus staphylosyce Ridley. Nama lokal: ara walen, preh, amis mata, kopeng Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 20 m. Daun lanset hingga lonjong. Buah menempel di batang dalam rangkaian yang panjangnya bisa mencapai 1 m. Distribusi: Sumatera, Jawa, Sulawesi, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, Filipina dan New Guinea. Habitat: Banyak ditemukan di hutan pegunungan hingga ketinggian 2.000 m dpl. Kegunaan: Sebagai tanaman obat, buahnya dimakan satwa. Perbanyakan: biji.
70
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Ficus variegata Bl. (Moraceae) Sinonim: Ficus cordifolia, Ficus subracemosa, Ficus amboinensis, Ficus racemifera, Ficus laevigata, Ficus subopaca, Ficus chlorocarpa, Ficus sycomoroides, Ficus ilangoides, Ficus ehretioides, Ficus integrifolia, Ficus latsoni, Ficus paucinervia, Ficus garciae, Ficus konishii, Ficus glochidiifolia, Ficus polysyce, Sycomorus capensis, Sycomorus gummiflua, Urostigma javanicum Nama lokal: gondang putih, ara merabiasa, ara kondang. Pertelaan: Pohon yang tinggi mencapai 40 m, berbanir. Daun dalam rangkaian spirally berbentuk oval, elips sampai lonjong. Buah menempel di batang. Distribusi: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, India, Cina Selatan, Kepulauan Ryukyu, Myanmar, Indochina, Thailand, Kepulauan Solomon dan Australia (Queensland). Habitat: Hutan dataran rendah sampai pegunungan hingga ketinggian 1500 m dpl. Kegunaan: Jenis tanaman ini baik untuk konservasi tanah dan air. Kayunya sebagai bahan bangunan, tanaman ini juga sebagai habitat lutung (buahnya dimakan lutung). Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
71
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Flacourtia rukam Zoll.& Moritzi (Salicaceae) Sinonim: Flacourtia euphlebia Merr. Nama lokal: rukem, jambon Pertelaan: Pohon sedang dengan tinggi mencapai 20 m. Batang dan cabangnya berduri dengan panjang duri 10 cm. Daun berbentuk oval-lonjong atau elips-lonjong bahkan lanset, teksturnya halus berwarna hijau tua mengkilap atau merah kecoklatan. Bunga kuning kehijauan tanpa kelopak bunga. Buah buni (berry) berdiameter 2-2,5 cm berwarna hijau muda sampai merah muda berdaging buah masam. Bijinya pipih berjumlah 4-7 per buah. Distribusi: Wilayah Malesiana, Maluku (jarang) , New Guinea. Habitat: Banyak ditemukan di hutan primer atau sekunder yang lembab. Sering juga tumbuh di sepanjang aliran sungai hingga ketinggian 2.100 m dpl. Kegunaan: Sebagai tanaman obat dan buahnya biasa dikonsumsi serta pakan satwa. Kayunya bisa digunakan untuk bahan perabot rumah tangga Perbanyakan: biji
72
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Galearia filiformis (Blume) Boerl. (Pandaceae) Sinonim: Antidesma filiforme Blume, Bennettia filiformis (Blume) Müll.Arg. Cremostachys filiformis (Blume) Tul., Galearia pedicellata Zoll. & Moritzii, Galearia sessilis Zoll. & Moritzi . Nama lokal: jebukan, jebugan, galearia Sumatera, balung kaja. Pertelaan: Pohon kecil dengan tinggi mencapai 10 m. Batangnya kokoh namun halus tanpa percabangan hingga 3m. Daun berbentuk oval sampai elips, permukaan bagian atasnya pipih berambut, berwarna coklat kehijauan ketika masih muda namun umumnya hijau terang. Bunga mejemuk di ujung (terminal) dengan panjang mencapai 52 cm berwarna hijau serta berambut. Buah pelok (drupe) kadang-kadang berambut. Distribusi: Sumatera dan Jawa Habitat: Ditemukan di hutan tropis, hutan sekunder serta daerah riparian dengan ketinggian tempat 600-2.200 m dpl. Kegunaan: Pohon pelindung. Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, pucuknya dimakan satwa. Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
73
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Glochidion rubrum Blume (Phyllanthaceae,) Sinonim: Bradleia rubra (Blume) Steud., Glochidion coronatum Hook.f. Glochidion diversifolium (Miq.) Merr., Glochidion leiostylum Kurz, Glochidion penangense (Mull.Arg) Airy Shaw, Glochidion rubrum var. longistylus J.J.Sm., Glochidion thorelii Beille, Phyllanthus diversifolius Miq., Phyllanthus penangensis Mull.Arg.
Nama lokal: dempul lelet, lamer (Jawa), ki pare, ki timbul, mareme (Sunda) Pertelaan: Pohon yang tingginya 2-18 m dan dengan diameter batang 2-45 cm. Daun berbentuk menyerong lonjong bundar telur (oblique-oblong-ovate) dengan ujung meruncing panjang 4-12,5 cm lebar 2-4,5 cm dengan pangkal daun (petiole) 2-4 cm, daun kaku tidak berambut. Buah menggantung 3-6 dengan diameter 8-15 mm. Daun tunggal, berseling. Bunga berdiameter 4mm berwarna putih kekuningan. Buah panjangnya sekitar 5 mm berwarna merah mudah, biji memiliki aril yang berwarna kuning. Distribusi: Jepang, Fujian, Taiwan, Indo China, China bagian selatan, India, Thailand, Myanmar, Kamboja, Vietnam, Semenanjung Malaya, SIngapura, Sumatera, Jawa Borneo, Philipina, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi dan Maluku (Pulau Tanimbar). Habitat: Hutan dataran rendah sampai pegunungan. Di kawasan Gunung Merapi ditemukan pada ketinggian 1.500-2.400 m dpl, lebih menyukai tanah berpasir. Kegunaan: Daunnya obat batuk, Buah dimakan satwa. Perbanyakan: biji.
74
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Glochidion zeylanicum (Gaertn.) A.Juss. (Phyllanthaceae) Sinonim: Glochidion brunneum J. D. Hooker, Glochidion canaranum (Müller Argoviensis) Beddome, Glochidion glaberrimum Ridley, Glochidion hongkongense Müller Argoviensis, Glochidion lanceolatum Hayata var. liukiuense (Hayata) Hurusawa; Glochidion littorale Bentham, Glochidion liukiuense Hayata, Glochidion nitidum (Roxburgh) Voigt, Glochidion obliquum (Willdenow) Decaisne, Glochidion pedunculatum Merrill, Glochidion perakense J. D. Hooker, Glochidion subscandens Zollinger & Moritzi, Glochidion sumatranum Miquel Nama lokal: dempul seilon, mareme (sunda), dempul, kinjeng, lamer, semut, cabuk (Jawa). Pertelaan : Pohon yang tingginya 12-15 m dengan diameter batang 20-40 cm. Daun berbentuk lonjong (oblong) berukuran 6-8 x 4-8 cm tekstur seperti kulit. Berbunga majemuk terbatas (cymes) dengan cabang-cabang yang kecil, bunga jantan di bagian bawah sedangkan bunga betina di bagian atas; bunga berwarna hijau kekuningan, buah berbentuk kapsul berukuran 8-10 x 5 mm terdiri dari 8-12 cuping (lobe), biji berwarna merah. Distribusi : Sri Lanka, Indian Subcontinent, Asia Tenggara sampai Jepang dan Kepulauan Solomon. Habitat: Hutan sekunder daerah rendah pada ketinggian 100 - 900 m dpl. Kegunaan: Kayunya digunakan sebagai bahan bangunan, kulit batangnya sebagai bahan pewarna kayu anyaman atau jala. Buahnya dimakan satwa, daunnya sebagai tanaman obat Perbanyakan: biji dan cangkok.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
75
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Helicia javanica Bl. (Proteaceae) Sinonim: Helicia robusta (Roxb.) R.Br. ex Blume Nama lokal: kendung Pertelaan:
Pohon yang tingginya mencapai 17 m dengan diameter batang 28 cm. Tanpa daun penumpu, daun tunggal berseling mengkilap. Bunga majemuk tandan (racemes), berdiameter sekitar 13 mm, berwarna putih kekuningan. Buah pelok (drupe) berwarna hijau ungu dengan diameter sekitar 34 mm. Distribusi: Jawa Habitat: Hutan pegunungan, ditemukan pada 2.000 m dpl. Kegunaan: Pohon pelindung/ penghijauan, daun mudanya sebagai lalapan. Buah dimakan satwa Perbanyakan: biji
76
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Hibiscus macrophyllus Roxb. Ex Hornem (Malvaceae) Nama lokal: waru lanang, waru gunung, tisuk Pertelaan: Pohon yang tingginya mencapai 25 m dengan diameter batang 50 cm, kulit kayu kelabu-putih. Daun bundar menjantung (orbicular cordate) dengan diameter 15-35 cm. Bunga berbentuk lonceng bermahkota kuning dan ungu di bagian tengahnya dengan diameter bunga 6 cm. Buah kapsul (capsule) lonjong (oblong) sepanjang 22,5 cm. Biji berukuran 3 mm. Distribusi: Sumatra, Jawa, Kalimantan, Semenanjung Malaya.
India,
Bangladesh,
Indochina,
Thailand
dan
Habitat: Hutan sekunder dengan ketinggian 800-1.700 m dpl. Kegunaan: Pohon pelindung/ penghijauan; kayunya untuk bahan bangunan atau perahu, roda pedati, gagang perkakas, ukiran, serta kayu bakar.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
77
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Hibiscus tiliaceus L (Malvaceae) Sinonim: Hibiscus hastatus L.f. , Hibiscus similis Blume, Hibiscus celebicus Koord. Nama lokal: waru, waru gunung (Sunda), waru gombong, waruk Kopek, waru rangkang (Jawa). Pertelaan: Pohon bengkok yang tingginya 10-15 m dan dengan diameter batang 40-50 cm. Kayunya ringan namun padat berwarna kelabu kecoklatan. Tajuknya rimbun, kemampuan bertahannya tinggi karena toleran terhadap kondisi masin dan kering. Distribusi: Asia Tenggara. Habitat: Tumbuh liar, sering di sekitar sungai. Kegunaan: Pohon pelindung/ penghijauan; kayunya banyak digunakan sebagai gagang kapak/ perkakas serta ukiran. Perbanyakan: biji dan stek
78
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Homalanthus populneus (Geiseler) Pax (Euphorbiaceae) Sinonim: Carumbium populneum (Geiseler) Mull.Arg., Carumbium populifolium Reinw. ex Blume , Excoecaria laevis Blanco, Homalanthus leschenaultianus A.Juss., Homalanthus sulawesianus Airy Shaw, Stillingia populnea Geiseler Nama lokal: kareumbi, kareumbi badak (Sunda), jarak pati, karumbi, mruwu, tutup abang, tutup sapi (Jawa) Pertelaan: Pohon yang tingginya mencapai 12 m dengan diameter batang sekitar 12 cm. Daun tunggal berseling mengkilap dengan permukaan bawah daun berwarna keputihan. Bunga mejemuk tandan (racemes) berwarna kekuningan. Buah hijau dengan diameter sekitar 5 mm. Biji memiliki salut biji (aril). Distribusi: Asia Tenggara, Australia. Habitat: Pada lahan sangat terganggu, terbuka tempat-tempat seperti semak-semak atau pinggir jalan dengan ketinggian 100-3.000 m dpl. Mungkin pohon pionir setelah kebakaran karena banyak tumbuh di bekas kebakaran . Kegunaan: Kayunya jelek tapi cocok untuk penghutanan kembali. Kulit batangnya bisa digunakan untuk bahan cat hitam. Buah, akar dan daun dipakai sebagai bahan obat. Daunnya sebagai pakan satwa. http://www.botanickateplice.cz
Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
79
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Homalium grandifolium Benth. (Flacourtiaceae) Nama lokal: kayu batu, langit lawe (Jawa). Pertelaan: Tumbuhan semak, jarang terlihat seperti pohon, berbunga dan berbuah, batangnya gelap tinggi dapat mencapai 3-11 m. Daun majemuk dengan panjang 50-100 cm dan anak daun berukuran 6-21 x 1.5-9 cm Distribusi: Semenanjung Malaya, Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, Indo China, Australia. Kepulauan Pasifik, India Habitat: Ditemukan di hutan sampai ketinggian 600 m dpl. Umum tumbuh sebagai penutup tanah di hutan sekunder atau terganggu. Kegunaan: Pohon pelindung/ penghijauan, kayu bangunan yang kuat. Bunganya didatangi berbagai jenis serangga penyerbuk seperti lalat, lebah, kumbang, kupu-kupu. Akarnya digunakan untuk ramuan obat diare, dan disentri kronis. Pucuk daunnya antara lain untuk obat vertigo, diare, disentri, kolik dan penyakit kulit. Perbanyakan: biji
80
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Leea indica (Burm.F.) Merr Leeaceae Sinonim: Leea sambucina Willd., Staphylea indica Burm. f. Nama lokal: girang, saradan, kayu tuwa, tirah (Jawa), ki tuwa, silangkar, sulangkar (Sunda). Pertelaan: Pohon perdu yang tingginya 3-11 m, berakar tunggang. Distribusi: Asia Tenggara. Habitat: Tumbuh terpencar di tanah kering atau kering sekali sampai ketinggian 1.300 m dpl. Kegunaan: Sebagai tanaman obat, buahnya banyak dimakan satwa.
http://keys.trin.org.au/key-server
Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
81
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Litsea javanica BL. (Lauraceae) Sinonim: Malapoenna javanica Kuntze, Malapoenna javanica Kuntze Nama lokal: wuru teja, huru batu, huru gambir, huru hiris, wuru teja. Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 24 m dan diameter 40 cm. Distribusi: Jawa Habitat: Di Jawa ditemukan di atas ketinggian 1.500 m dpl. Kegunaan: Pohon pelindung/ penghijauan, buahnya dimakan satwa. Perbanyakan: biji
82
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Macaranga rhizinoides (Blume) Mull. Arg. Euphorbiaceae Sinonim: Macaranga blumeana Müll.Arg, Tanarius rhizinoides (Blume) Kuntze, Zanthoxylum rhizinoides Blumei Nama lokal: mara, tutup awu, calik angin. Pertelaan: Pohon dengan tinggi 15-40 m. Daun berbentuk segitiga hingga oval dengan panjang mencapai 20 cm, permukaan bagian bawah ditutupi rambut-rambut putih. Bunga majemuk tandan (racemes) dimana bunga jantan dan betina terpisah. Anak bunga berukuran kecil dalam cluster. Buah membulat (globose) dengan diameter mencapai 4,5 mm. Biji bulat dan halus permukaannya. Distribusi: Sumatera dan Jawa. Habitat: Hutan pegunungan dengan ketinggian 700-2.400 m dpl. Kegunaan: Pohon pelindung dan sebagai tanaman obat. Perbanyakan: biji.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
83
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Mallotus paniculatus (Lam.) Mull.Arg. (Euphorbiaceae) Sinonim: Mallotus conchinchinense Lour. Nama lokal: tutup putih, malotusi balikangin, tutup kancil. Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 20 m dan diameter 15 cm. Daun berseling berwarna hijau. Bunga majemuk jantan dan betina memiliki panjangnya 20-45 cm sering bercabang. Bunga jantan dalam cluster sebanyak 5-7 bunga berwarna ungu pucat dengan ukuran 5 mm. Bunga betina berwarna cream kecoklatan berukuran 4 mm. Buah berambut berbentuk kapsul (capsule) berukuran 12x14 mm memiliki 3 cuping (lobed). Biji membulat (globose) berwarna hitam dengan diameter 3 mm. Distribusi: India, Myanmar, Indochina, Cina Selatan, Taiwan, Thailand, Wilayah Malesiana (kecuali paparan Sunda Kecil) dan Australia Utara. Habitat: Tempat terbuka dan terganggu di padang rumput dan vegetasi semak hingga ketinggian 1.700 m dpl. Kegunaan: Kayunya sebagai bahan bangunan, daunnya dimakan lutung. Perbanyakan: biji dan stek
84
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Myrica javanica BL. (Myricaceae) Sinonim: Morella javanica (Blume) I.M.Turner Nama lokal: wuru ketek, mangkoan, picisan (Jawa), ki teke (Sunda) Pertelaan: Pohon sedang dengan tinggi mencapai 15 m dan diameter 35 cm. Distribusi: Asia Tenggara Habitat: Tumbuh berkelompok di hutan sampai ketinggian 1.500 m dpl. Kegunaan: Sebagai tanaman pelindung di lereng gunung yang gundul. Kayunya sebagai bahan kayu bakar, buahnya dikonsumsi oleh penduduk di pegunungan serta sebagai pakan satwa. Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
85
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Neonauclea lanceolata (Blume) Merr. (Rubiaceae) Sinonim: Bancalus affinis (Miq.) Kuntze, Nauclea lanceolata Blume Nama lokal: klepu pasir, picis, picisan, pundungan, wesen (Jawa), ki anggrit, cangcaratan, cengeh caah (Sunda) Pertelaan: Pohon yang tingginya 30 m dan dengan diameter batang 75 cm. Pohon yang tingginya mencapai 25 m, kadang-kadang berbanir pendek. Kulit batang coklat atau kelabu dengan permukaan yang kasar. Daun tunggal berhadapan berwarna hijau tua sedangkan permukaan bawah daun hijau pucat. Bunga majemuk berwarna kuning. Buah coklat muda berbentuk kapsul dengan biji 1 setiap kapsulnya. Biji berdiameter 110 mm. Distribusi: Asia Tenggara Habitat: Ditemukan tersebar di hutan hingga ketinggian 1.500 m dpl. Kegunaan: Kayu bangunan yang kuat. Perbanyakan: biji.
86
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Paraserianthes lophantha (Willd.) I.C.Nielsen ssp. montana (Jungh.) I.C. Nielsen (Mimosaceae) Sinonim: Albizia montana (Jungh.) Benth. Nama lokal: ki haruman (sunda), kelantara, kelandingan, kemilandingan, kemilandingan gunung, mandingan, pulungan, selantara (Jawa) pulung (Madura). Pertelaan: Pohon yang tingginya 5-8 m dengan diameter batang 10 cm jenis ini mampu menyebar dengan cepat karena buah polongnya jika telah tua akan meletus dan bijinya menyebar. Distribusi: Asia Tenggara Habitat: Hutan pegunungan sampai 3.100 m dpl, Kegunaan: Daunnya untuk pakan ternak, akarnya untuk penyubur dan pengikat tanah, kayunya untuk kayu bakar dan konstruksi ringan. Perbanyakan: biji.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
87
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Phoebe chinensis Chun (Lauraceae) Sinonim: Phoebe macrophylla, Machilus macrophylla Hemsl. Nama lokal: wuru payung, huru dapung, huru huya, huru leksa, huru meuhmal, huru munding, huru payung, huru sikijeng, huru tangkalak (Sunda) Pertelaan:Pohon dengan tinggi mencapai 20m dan diameter 30 cm. Distribusi: Asia Tenggara Habitat:Hutan dengan ketinggian tempat 700- 1.200 m dpl. Kegunaan:Kayunya dimanfaatkan untuk bahan bangunan (papan). Perbanyakan: biji.
88
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Podocarpus imbricatus Blume. (Podocarpaceae) Sinonim: Dacrycarpus imbricatus (Blume) Nama lokal: bintami, cemara pandak, ki jamuju, ki putri, ki camara (Sunda), aru, taji, tekik, cemara tikung (Jawa) Pertelaan: Pohon besar dengan tinggi mencapai 50 m dengan diameter mencapai 2 m. Batangnya yang lurus tanpa percabangan bisa mencapai 20 m. Kulit batang merahcoklat. Daun meruncing. Biji merah mengkilat dengan ukuran 0.5-0.6 cm. Distribusi: Cina Selatan, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasific. Habitat: Hutan pegunungan 1.400-1.750 m dpl. Kegunaan: Sebagai tanaman hias, kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan buahnya dimakan lutung. Perbanyakan: biji.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
89
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Quercus robur subsp. Robur (Fagaceae) Sinonim: Quercus abbreviata Vuk., Quercus acutiloba Borbás, Quercus acutiloba Borbás, Quercus altissima Petz. & G.Kirchn, Quercus argentea Morogues, Quercus atrosanguinea K.Koch Nama lokal: pasang jambe, butaruwa, pasang hiris, pasang tangogo, pasang celeng (Sunda) Pertelaan: Pohon besar dengan tinggi mencapai 50 m dan diameter 1,25 m. Kayunya kasar berwarna coklat kemerahan bergaris halus. Distribusi: Asia Tenggara Habitat:Ditemukan di hutan dengan ketinggian tempat 200- 2.000 m dpl. Kegunaan: Kayunya sebagai bahan bangunan sedangkan buahnya makanan lutung. Perbanyakan: biji.
90
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Quercus teysmannii Bl. (Fagaceae) Sinonim : Lithocarpus korthalsii (Endl.) Soepadmo Nama lokal: pasang balung, pasang kapur (Jawa), pasang abu, pasang batu, bodas, pasang susu, pasang tangogo, pasang celeng, tangogo (Sunda). Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 30 m dan diameter 1 m. Kayu berwarna coklat tua hingga coklat kemerahan.
Distribusi: Asia Tenggara Habitat: Tumbuh di hutan yang banyak naungan, ditemukan pada ketinggian 2.300 m dpl. Kegunaan: Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan sedangkan buahnya makanan lutung. Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
91
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Schima wallichii (DC.) Korth. (Theaceae) Sinonim: Schima bancana Miq., Schima crenata Korth., Schima khasiana Dyer., Schima mollis Dyer, Schima noronhae Reinw. ex Blume Nama lokal: puspa Pertelaan: Pohon yang tingginya mencapai 47 m dan dengan diameter batang 125 cm. Batang lurus tanpa percabangan hingga setinggi 25 m. Memiliki banir hingga setinggi 1,8 m.Kulit batang berwarna merah kecoklatan atau abu-abu tua. Daun tunggal oblong hingga elips. Bunga putih. Buah kapsul. Biji berjumlah 2-30 bersayap. Distribusi: Asia Tenggara, Himalaya, Cina Selatan, Jepang Selatan. Habitat: Hidup pada berbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat. Sering ditemukan tumbuh melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan, pohon ini juga umum dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang terganggu, bahkan juga di padang ilalang. Bisa hidup hingga ketinggian 3.900 m dpl., puspa tidak memilih-milih kondisi tekstur dan kesuburan tanah. Meski lebih menyukai tanah yang berdrainase baik, pohon puspa diketahui mampu tumbuh baik di daerah berawa dan tepian sungai. Kegunaan: Sebagai tanaman obat, kayunya banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Tanaman penghasil tanin serta racun ikan. Perbanyakan: biji
92
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Symplocos cochinchinensis var. cochinchinensis (Symplocaceae) Sinonim: Symplocos ferruginea Roxb, Symplocos ferruginifolia Kaneh, Symplocos javanica (Blume) Kurz Nama lokal: jirak, putihan, jirak sapi, sasah (Sunda) Pertelaan: Berupa semak atau pohon kecil dengan diameter batang 20 cm. Tangkai daun 1-2 cm dengan tulang daun bagian tengah berwarna merah kecoklatan. Bunga majemuk berwarna putih kekuningan. Distribusi: Asia Tenggara Habitat: Ditemukan pada ketinggian 1.700 m dpl sampai 2.200 m dpl. Kegunaan: Kulitnya bisa digunakan sebagai bahan cat. Pohonnya sebagai daunnya pakan rusa.
habitat satwa,
http://www.cuhkacs.org/~mathew/
Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
93
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Syzygium cumini (L.) Skeels (Myrtaceae) Sinonim: Myrtus cumini L., Eugenia jambolana Lamk, Syzygium jambolanum (Lamk) DC., Eugenia cumini (L.) Druce Nama lokal: duwet, jamblang (Jawa) Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 6-20 m, tajuk tidak beraturan dengan banyak percabangan. Kulit kayu berwarna coklat atau abu-abu tua dengan ketebalan mencapai 2.5 cm. Daun berhadapan, tebal, licin. Bunga majemuk berwarna putih atau merah muda dengan panjang 7 mm, harum lembut. Buah berry berbentuk lonjong, jumlahnya banyak dalam cluster, berwarna merah muda atau ungu kehitaman saat masak. Biji banyak, bentuk tidak beraturan dengan ukuran 1-1,5 mm. Distribusi: Asia Selatan dan Asia Tenggara sampai Amerika Selatan. Habitat: Hutan sekunder, lahan basah dan daerah aliran sungai dengan ketinggian tempat 1001.200 m dpl. Kegunaan: Sebagai tanaman pelindung dengan perakaran yang baik. Kulit batang, daun, buah dan biji tanaman ini juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat, buahnya banyak dikonsumsi. Buah, bunga dan daun juga sebagai pakan satwa. Perbanyakan: biji, stek dan cangkok.
94
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Syzygium polyanthum (Wight) Walp. (Myrtaceae) Sinonim: Eugenia polyantha Wight, Eugenia nitida Duthie, Eugenia balsamea Ridley Nama lokal: salam Pertelaan: Pohon dengan ketinggian dapat mencapai 30 m. Tajuknya besar dengan kulit batang coklat abu-abu. Daun tunggal berhadapan halus berbentuk lonjong atau lanset dengan panjang tangkai daun 12 mm. Bunga majemuk muncul dari bawah daun-daun berwarna putih harum. Buah berry berwarna merah tua atau ungu kehitaman ketika matang. Distribusi: Indonesia, Indochina, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya dan Brunei. Habitat: Tumbuh di bawah tegakan pohon hutan dataran rendah atau hutan sekunder. Ditemukan juga di hutan bambu hingga ketinggian 1.800 m dpl. Kegunaan: Sebagai tanaman hias dan tanaman obat. Kayunya banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan perabot rumah tangga. Daunnya sebagai bumbu masak, sedangkan buahnya banyak dikonsumsi serta sebagai pakan satwa. Perbanyakan: biji dan stek
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
95
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Trevesia sundaica Miq. (Araliaceae) Sinonim: Plerandropsis R.Vig. Nama lokal: gorang, gurang, jurang, burang, panggang Pertelaan: Pohon yang tingginya 8 m dan dengan diameter batang 15 cm, memiliki ranting berduri. Daun majemuk menjari. Bunga majemuk berbentuk payung muncul diantara atau di bawah daun. Distribusi: Sumatera, Jawa, Lombok. Habitat: Tumbuh di Hutan Pegunungan sampai ketinggian 1.500 m dpl. Kegunaan: Sebagai tanaman hias, biasa digunakan untuk tanaman pagar. Perbanyakan: biji
96
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Vernonia arborea Buch.-Ham. Ex Buch.-Ham (Compositae) Sinonim: Eupatorium javanicum Blume, Flustula tomentosa Raf. Gymnanthemum acuminatum Steetz, Gymnanthemum arboreum (Buch.-Ham.) H.Rob., Strobocalyx arborea (Buch.-Ham.) Sch.Bip., Strobocalyx javanica (Blume) Sch.Bip., Vernonia javanica (Blume) DC., Vernonia vaniotii H.Lév. Nama lokal: sembung, sembung dedek, medang, gambong merembung Pertelaan: Pohon yang tingginya 30 m dan dengan diameter batang 80-100 cm. Daun tunggal berseling biasanya tidak simetris. Bunga majemuk panicle berwarna ungu dengan diameter bunga 2 mm. Buah coklat tua tidak mengkilap tidak berdaging berukuran panjang 5 mm. Biji 1, sangat kecil tidak bersayap. Distribusi: Asia Tropis Habitat: Hidup di hutan maupun daerah terganggu. Ditemukan di berbagai habitat, mulai dari rawa-rawa, daerah aliran sungai, lembah hingga ketinggian 2.500 m dpl. Kegunaan: Sebagai tanaman obat. Kayunya lunak tidak digunakan untuk bangunan, baik untuk batang korek api. Perbanyakan: biji
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
97
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Villebrunea rubescens (Blume) Blume (Urticaceae) Synonim: Oreocnide rubescens (Blume) Miq. Nama lokal: nangsi Pertelaan: Pohon kecil dengan tinggi 8 m. Kulit batang berwarna abu-abu atau kelabu kecoklatan, sedangkan cabangnya berwarna coklat atau coklat keunguan. Daun berbentuk bundar telur (ovale) berwarna hijau tua mengkilap di bagian atas sedangkan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Bunga majemuk pedunculate muncul di cabang yang tua terlebih dahulu. Buah berukuran kecil dengan jumlah yang banyak berwarna kuning. Distribusi: Sumatera, Jawa dan India Habitat: Hutan tropis dengan ketinggian hingga 1.500 m dpl. Kegunaan: Sebagai tanaman obat Perbanyakan: biji.
98
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
Weinmannia blumei Planch (Cornaceae) Sinonim : Windmannia blumei Kuntze Nama lokal: cantigi, manis rejo, damaran, gringging, ringgit, tembagan (Jawa), ki merak, ki papatong, ki ringgit (Sunda) Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 25 m dan diameter 75 cm. Kayunya berwarna merah kecoklatan. Distribusi: Asia Tenggara Habitat:Di Jawa ditemukan di hutan pegunungan pada ketinggian 2.200 m dpl. Kegunaan: Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (oleh suku Batak) dan bahan perabot rumah tangga. Kulit kayu nya diduga memiliki khasiat obat. Perbanyakan: biji.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
99
Castanopsis argentea (Blume) A.DC. Koleksi Kebun Raya Cibodas - LIPI
PUSTAKA BUKU Adisoemarto, S. dan M. A. Rifai (editor). 1994. Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) dan Konsorsium untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO). Jakarta. Afriastini, J.J. 1997. Latihan pengumpulan, pembuatan dan penyimpanan material herbarium. Latihan Mengenal Pohon Hutan : Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis. PROSEA Indonesia – Yayasan PROSEA Bogor. Pp:2-8. Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley and Sons. New York. Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009a. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Tidak diterbitkan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009b. Statistik Balai Taman Nasional Gunung Merapi Tahun 2009. Tidak diterbitkan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2010. Penataan Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi Setelah Erupsi Tahun 2010. Tidak diterbitkan. BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. BAPPENAS. Jakarta. Blockhus, J.M., M. Dillenbeck, J.A. Sayer and P. Wegge (eds). 1992. Conserving Biological Diversity in Managed Tropical Forests. IUCN. Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Bridson, D. and Leonard Forman. 1992. The Herbarium Handbook. Royal Botanic Gardens, Kew. Burley, J. and I. Gauld. 1995. Measuring and Monitoring Forest Biodiversity: A Commentary. Pp. 19 – 46 in Boyle, T.J.B. and B. Boontawee (eds). Measuring and Monitoring Biodiversity in Tropical and Temperate Forests. Proceedings of IUFRO Symposium, Chiang Mai, Thailand, August 27th – September 2nd, 1994. CIFOR, Bogor, Indonesia. Daryono. 2010. Skenario Penataan Ruang Permukiman Lereng Merapi Pasca Erupsi. Bahan Presentasi Pada Workshop Gagasan Tata Ruang Wilayah Merapi (pasca erupsi 2010), Grha Sabha Pramana UGM, 4 Desember 2010. Yogyakarta. Departemen Kehutanan. 1994. Pengelolaan Hutan Lestari (Booklet). Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2004. Kehutanan. Jakarta.
Data Strategis Kehutanan 2004.
Departemen
101
Departemen Kehutanan. 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Djarwaningsih, T., S. Sunarti dan Kartini K. 1999. Panduan Pengelolaan Material Herbarium dan Pengendalian Hama Terpadu di Herbarium Bogoriense. Herbarium Bogoriense-Balitbang Botani. Pusat Litbang Biologi-LIPI. Bogor. Ecological Census Techniques : A Handbook. Cambridge, UK.
Cambridge University Press.
ESRI. 1998. ArcView GIS. ESRI Press. Redlands, California. Gibbons, D.W., D. Hill dan W.J. Sutherland. 2004. Birds. Pp. 227-259 dalam Sutherland, W.J. (ed). Ecological Census Techniques : A Handbook. Cambridge University Press. Cambridge, UK. Gunawan, H. 2010. Habitat Dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) Di Lansekap Terfragmentasi Di Jawa Tengah. Disertasi Program Doktor, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Gunawan, H., A.F. Mas'ud dan Sutiyono. 2011. Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Insentif Riset Terapan 2011. Tidak diterbitkan. Gunawan, H., A.F. Mas'ud, E. Subiandono, H. Krisnawati dan N.M. Heriyanto. 2012. Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Insentif Riset Terapan 2012. Tidak diterbitkan. Gunawan, H., M. Bismark dan H. Krisnawati. 2010. Pemanfaatan Zona Penyangga Taman Nasional Untuk Mendukung Ketahanan Pangan : Studi Kasus Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Program Insentif Ristek Tahun 2010. Tidak diterbitkan. Gunawan, H., M. Bismark dan M. Takandjandji. 2010. Laporan Penilaian Cepat (Rapid Assessment) Dalam Rangka Penyelamatan Satwaliar Pasca Erupsi Gunung Merapi. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Konservasi Dan Rehabilitasi, Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak diterbitkan. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I, II dan III. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Hutagalung, RA. 2010. Ekologi Dasar. Erlangga. Jakarta. Indriyanto 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Infront.
2012. Final Report : Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystem in Conservation Areas Mt. Merapi National Park Phase II Juni 2011 – Maret 2012. Tidak diterbitkan.
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 2005. Forest Landscape Restoration : Broadening the vision of west African forests. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. IUCN-WCU. 2001. IUCN Red List Categories and Criteria Version 3.1. IUCN-The World Conservation Union. Gland, Switzerland.
102
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
King, B., E.C. Dickinson & M. Woodcock. 1975. A Filed Guide to the Birds of South East Asia. Collins. London. Kochert, M.N. 1986. Raptors. Pp. 313–349 in Inventory And Monitoring of Wildlife Habitat. Cooperrider, A.Y., R.J. Boyd and H.R. Stuart. US Department of Interior Bureau of Land Management. Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kusmana, C. 1997. Metode Survei Vegetasi. IPB Press. Bogor. Ledec, G. and R. Goodland. 1992. Harmonising Sustainable Development With Conservation of Wildlands. In Vijay, P.K. and J. White (eds). Conservation Biology. The Commonwealth Science Council. London. Lee RJ, Riley J, Merril R. 2001. Keanekaragaman Hayati & Konservasi di Sulawesi Bagian Utara. Jakarta: Wildlife Conservation Society dan Natural Resources Management. MacKinnon, J. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung di Jawa dan Bali. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. MacKinnon, J., K. Phillips dan B. van Balen. 1992. Panduan Lapangan BurungBurung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Birdlife International Indonesia Program. Bogor. Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm. London. Marell, A. And O. Laroussinie. 2006. Scientific Issues Related to Sustainable Forest Management in an Ecosystem and Landscape Perspective. Tecnical Report No.1. European Network for long-term Forest Ecosystem and Landscape Research (ENFORS). http:/ifff.boku.ac.at/enfors. Diakses 20 Maret 2006. Marhaento, H., L. Rahayu, M.T.T. Hernawan, K.F. Wianti. 2010. Penataan Kawasan Koridor Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu dengan Pendekatan Analisis Resiko Bencana. Prodi Konservasi Sumberdaya hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakartas. Mittermeier, R., P. Gill dan C. Goettsch-Mittermeier. 1997. Megadiversity : Earth's Biologically Wealthiest Nations. Cemex. Prado Norte. MoF/FAO. 1991. Indonesian Tropical Forest Action Programme. Forestry/UN Food and Agricultur Organisation. Jakarta.
Ministry of
Newman, M.F., P.F. Burgess dan T.C. Whitmore. 1999. Manual of Dipterocarps Series (Sumatra, Kalimantan, Jawa to Nugini). Prosea-Indonesia. Bogor. Odum, E.P. 1994. Fundamentals of Ecology, Third Edition. T. Samingan (terj.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 607p. Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency. Bogor.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
103
Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pomeroy, D. 1992. Counting Birds. African Wildlife Foundation. Nairobi, Kenya. Reid, W.V. 1992. How Many Species Will There Be ?. In Whitmore, T.C. and J.A. Sayer (eds). Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman & Hall. London. Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta. Samingan, T. 1997. Kondisi Ideal Aspek Vegetasi Suatu Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah di Hutan Produksi. Laboratorium Ekologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sastrapradja, S., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, D.S. dan M. Rifai. Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan hidup Bangsa. Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI. Bogor. Shaw, J. 1985. Introduction to Wildlife Management. Company. New York.
1989. Pusat
McGraw-Hill Book
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya. Soerianegara, I & A. Indrawan. 1980. Ekologi Hutan. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soerianegara, I. 1978. Diktat Ekologi Hutan. Pusat Pendidikan Kehutanan Cepu. Direksi Perum Perhutani. Cepu. Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Steenis, C.G.G.J. Van. 2006. Flora Pegunungan Jawa. Pusat Penelitian Biologi – LIPI. Bogor, Indonesia. Sutherland, W.J. 2004. Mammals. Pp. 260 – 280 In Sutherland, W.J. (ed). Ecological Census Techniques, A Hanbook. Cambridge University Press. Sambridge, UK. Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency. Bogor. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang ratifikasi Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati (Convension on Biodiversity). UNEP.
104
2001. Indicators And Environmental Impact Assessment. UNEP/CBD/SBSTTA/7/13. Seventh meeting Montreal, 12-16 November 2001
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
Universitas Gajah Mada [UGM]. 2011. Survey Kondisi Tumbuhan Dan Satwa Liar Taman Nasional Gunung Merapi Paska Erupsi Tahun 2010. Kerjasama Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Yogyakarta. Van Lavieren, L.P. 1983. Wildlife Management in The Tropics, II. Environmental Conservation management. Bogor.
School of
Wiersum, K.F. 1973. Syllabus Wildlife Utilization and Management in Tropical Regions. Nature Conservation Department, Agricultural University, Wageningen.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
105
PUSTAKA BACAAN ON LINE [SER Primer ] The SER International Primer on Ecological Restoration. 2004. Society for Ecological Restoration International Science & Policy Working Group (Version 2, October, 2004) (1). http://www.ser.org/content/ ecological_restoration_primer.asp. Diakses tanggal 20 Maret 2006. BI Rilis Data Kerugian Ekonomi Akibat Merapi. Senin, 15 November 2010 | 19:25 WIB. http://www.tempo.co/read/news/2010/11/15/087292088/BI-RilisData-Kerugian-Ekonomi-Akibat-Merapi Biodiversity Inclusive Impact Assessment. Information document in support of the CBD Guidelines on Biodiversity in EIA and SEA. Version July 2005. http://www.cbd.int/doc/reviews/impact/information-guidelines.pdf. Clewell, A., J. Rieger, and J. Munro. 2005. Society for Ecological Restoration International: Guidelines for Developing and Managing Ecological Restoration Projects, 2nd Edition. http://www.ser.org/pdf/SER_International_Guidelines.pdf. Diunduh Tanggal 5 Maret 2011. Dierben, K. 2006. Sustainability, Landscape Services, Ecosystem Health, Ecological Integrity and Ecosystem Management. http://www.ecology.uni-kiel.de. Diunduh Tanggal 20 Maret 2006. Endangered Wildlife Trust And Regenesis. 2006 Biodiversity And The Eia Process : Considering Biodiversity In The Eia Process. http://www.eiatoolkit.ewt.org.za/process. Diakses 11 April 2008. Erupsi Merapi 2010 Hampir Menyamai Erupsi 1872. Sabtu, 06 November 2010 | 14:07 WIB. http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/11/06/brk, 20101106-289866,id.html. Diunduh Tanggal 17-11-2010. Erupsi Merapi Rugikan Sektor Peternakan Rp149 Miliar. Jumat, 26 November 2010 01:02 WIB. http://www.antaranews.com/news/235055/erupsi-merapirugikan-sektor-peternakan-rp149-miliar Erupsi Merapi Rusak 867 Hektare Hutan. Selasa, 9 November 2010 02:31 WIB. http://www.antaranews.com/berita/1289244701/erupsi-merapi-rusak-867hektare-hutan. Diunduh Tanggal 17-11-2010. Erupsi Merapi Tahun Ini Terburuk dalam100 Tahun Terakhir. Kamis, 4 November 2010 19:14 WIB. http://nasional.tvone.co.id/berita/view/45313/ 2010/11/04/erupsi_merapi_tahun_ini_terburuk_dalam100_tahun_terakhir. Diunduh Tanggal 17-11-2010. Hill, D., M. Fasham, G. Tucker, M. Shewry and P. Shaw (eds). 2005. Handbook of Biodiversity Methods: Survey, Evaluation and Monitoring. Cambridge University Press. www. Cambrisdge.org. Diakses tanggal 11-12-2008. http://artikata.com/arti-87894-herbarium.html http://bisniskeuangan.kompas.com . Percepat Restorasi Kawasan http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/01/28/05205961/Percepat.Re storasi.Kawasan. Jumat, 28 Januari 2011. Diakses tanggal 10 November 2011
106
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
http://dictionary.reference.com/browse/exotic http://duniagil.wordpress.com/2011/03/06/suksesi/ http://en.wikipedia.org/wiki/Ecological_succession http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat http://en.wikipedia.org/wiki/Indigenous_%28ecology%29 http://en.wikipedia.org/wiki/Vegetation http://id.termwiki.com/ID:stakeholder_%E2%82%83 http://id.wikipedia.org. Letusan Merapi 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Letusan_ Merapi_2010. Diakses tanggal 10 November 2011. http://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistem http://id.wikipedia.org/wiki/Spesies. Diakses tanggal 20-03-2008. http://istilahkata.com/herbarium.html http://konselingnur.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-xnone_25.html http://merbabu.com. Satwa Merapi pindah ke Merbabu. http://merbabu.com. November 11, 2010. Diakses tanggal 10 November 2011 http://nationalgeographic.co.id. Pemulihan Ekosistem Merapi Pascaerupsi. http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/1668/pemulihan-ekosistem-merapipascaerupsi. 28-07-2011. Diakses tanggal 10 November 2011 http://news.solowebspace.com/ update-jumlah-korban-letusan-gunung-merapi.html. Update Jumlah Korban Letusan Gunung Merapi http://oxforddictionaries.com/definition/english/exotic http://pengertian-definisi.blogspot.com/2010/10/definisi-suksesi-primer.html http://science.yourdictionary.com/habitat http://suaramerdeka.com . Satwa Dilindungi Dievakuasi dari Lereng Merapi. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/01/69340/Satwa -Dilindungi-Dievakuasi-dari-Lereng-Merapi. Diakses tanggal 10 November 2011 http://tipswisatamurah.blogspot.com . Macan Tutul Merapi Turun Gunung. http://tipswisatamurah.blogspot.com/2010/11/macan-tutul-merapi-turun gunung.html. Diakses tanggal 10 November 2011 http://wartaonline.com . Macan Kumbang Masih ada di Merapi http://wartaonline.com/news/macan-kumbang-masih-ada-di-merapi-1469/. November 19, 2010. Diakses tanggal 10 November 2011. http://www.answers.com/topic/indigenous http://www.antaranews.com. Ratusan Satwa Merapi Bermigrasi. http://www.antaranews.com/berita/1289721859/ratusan-satwa-merapibermigrasi. Minggu, 14 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011 http://www.biology-online.org/dictionary/Indigenous http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_level http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_pyramid http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_pyramid http://www.iucn.org/themes/business/ mining/paperrobert.pdf. Integrating
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
107
Biodiversity Surveys and Assessment into Environmental Impact Assessments /Statements. Diakses Tanggal 13-02-2008. http://www.kabarbisnis.com. Kerugian erupsi Merapi capai Rp3,56 triliun. http://www.kabarbisnis.com/read/2819637. Senin, 18 April 2011. Diakses tanggal 10 November 2011 http://www.mediaindonesia.com. ProFauna Kesulitan Evakuasi Macan Tutul di Gunung Merapi http://www.mediaindonesia.com/ . Jumat, 12 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011 http://www.merriam-webster.com/dictionary/exotic http://www.merriam-webster.com/dictionary/habitat http://www.republika.co.id.. Letusan Merapi 2010 Terburuk Sejak 1870. Republika, Jumat, 05 November 2010 06:12 WIB http://www.republika.co.id. Diakses tanggal 10 November 2011 http://www.sabili.co.id . Macan Merapi Turun Ke Perkampungan . Rabu, 17 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011. http://www.slemankab.go.id/category/update-data-korban-bencana-erupsi-gunungmerapi-2010. update Data Korban Bencana Erupsi Gunung Merapi 2010. http://www.tempointeraktif.com . Dampak Merapi, Macan Tutul dan Monyet Turun ke Pemukiman. TEMPO Interaktif, Kamis, 11 November 2010. http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/11/11/brk,20101111291275,id.html. Diakses tanggal 10 November 2011 http://www.theebi.org/pdfs/practice.pdf. Diakses tanggal 20-03-2008 http://www.thefreedictionary.com/colonization http://www.thefreedictionary.com/ecological+succession http://www.thefreedictionary.com/exotic http://www.thefreedictionary.com/habitat http://www.thefreedictionary.com/vegetation Maginnis, A. And W. Jackson. 2006. Restoring Forest Landscapes. http://www.iucn.Org/themes/fcp/publication/files/restoring_forest_landscape s. pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2006. Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors. http://www.science. mcmaster.ca.htm. Diakses Tanggal 02-11-2007. Sulfiantono, A. 2011. Pengelolaan Kawasan TNGM Pasca Erupsi. Kedaulatan Rakyat, 26/10/2011 http://www.kr.co.id/web/. Diakses tanggal 10 November 2011 The Energy and Biodiversity Initiative. Integrating Biodiversity into Environment and Social Impact Assessment Processes. The Center for Environment Leadership in Business. Conservation International. Washington, USA. www.TheEBI.org. Diakses tanggal 10 November 2011 Total Kerugian Erupsi Merapi Rp 7,3 T. Jumat, 28 Januari 2011, 13:43 WIB. http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/nusantara/11/01/28/161187-total-kerugian-erupsi-merapi-rp-7-3-t
108
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
DAFTAR ISTILAH Kawasan Suaka Alam (KSA) : Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) : Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Suaka Margasatwa (SM) : Kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Cagar Alam (CA) : Kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Taman Nasional (TN) : Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Hutan Raya (TAHURA) :
Kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Wisata Alam (TWA): Kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Keanekaragaman hayati (Biodiversity) : Keanekaragaman organisme hidup dari berbagai sumber termasuk antara lain daratan, lautan serta ekosistem perairan lainnya, di mana di dalamnya merupakan bagian sistem ekologi yang kompleks. Keanekaragaman hayati mencakup keanekaragaman dalam spesies, antar spesies dan keanekaragaman ekosistem
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
109
Ekosistem : Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 1983). Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi (Hutagalung, 2010). Contoh ekosistem hutan hujan tropis, ekosistem sabana, ekosistem gurun, ekosistem hutan gugur, dll. Komunitas : Kumpulan berbagai populasi dalam suatu wilayah tertentu Populasi : Kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu Spesies (jenis) : Suatu takson yang dipakai dalam taksonomi untuk menunjuk pada satu atau beberapa kelompok individu (populasi) yang serupa dan dapat saling membuahi satu sama lain di dalam kelompoknya (saling membagi gen) namun tidak dapat dengan anggota kelompok yang lain Spesies kunci (Keystone species) : Merupakan spesies yang memiliki pengaruh besar pada lingkungannya, mempengaruhi banyak organisme lain dalam ekosistem dan menentukan tipe dan jumlah berbagai speises dalam suatu komunitas. Banyak hewan pemangsa merupakan spesies kunci, seperti macan tutul di jawa Invasive Alien Species : Spesies asing (bukan asli) yang keberadaannya sudah mengganggu dan mengancam keberadaan spesies asli dan endemik Satwa atau Tumbuhan dilindungi : Satwa dan tumbuhan yang dilindungi berdasarkan PP no. 7 tahun 1990. Daerah jelajah (home range) : Kegiatan yang dimaksudkan untuk memulai atau mempercepat pemulihan ekosistem dengan tujuan kesehatan, integritas dan kelestarian ekosistem. Kegiatannya meliputi banyak aspek seperti pengendalian erosi, gulma dan spesies asing invasif, penghutanan kembali, penggunaan spesies asli, revegetasi, reintroduksi dan pembinaan habitat satwa target. Daerah Aliran Sungai (DAS) : Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (PP No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1)
110
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
Rantai makanan : Perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makan (Tumbuhan – Herbivora karnivora – Omnivora). Trophic level : Suatu posisi dalam suatu rantai makanan yang ditempati oleh kelompok organisme yang memiliki makanan yang serupa, bisanya digambarkan sebagai piramida untuk menggambarkan hubungan makan-memakan dari beberapa kelompok organisme dan distribusi biomasa atau energinya di antara trophic level pada suatu ekosistem. Vegetasi : Istilah umum untuk menyebut komunitas tumbuh-tumbuhan dari suatu wilayah, misalnya vegetasi mangrove, vegetasi pantai, vegetasi kebun budidaya dll.; seluruh tumbuh-tumbuhan penutup (cover) tanah. Habitat : Suatu areal atau lingkungan dimana suatu organisme atau komunitas ekologi secara alami hidup dan berkembang. Habitat merupakan wilayah atau lingkungan ekologis yang dihuni oleh spesies atau populasi (tumbuhan, hewan atau mikroorganisme). Daya lenting ekosistem : Kemampuan ekosistem untuk memulihkan dirinya sendiri menuju keadaan seimbang setelah mengalami perubahan atau gangguan Kolonisasi vegetasi : Suatu proses dimana satu atau lebih spesies tumbuhan menempati atau mendiami suatu wilayah membentuk koloni atau komunitas tumbuhan Suksesi Ekologi : Proses perubahan sturktur spesies tumbuhan secara bertahap dan teratur dalam suatu komunitas ekologi dari waktu ke waktu menuju satu arah yaitu keseimbangan klimaks. Suksesi Primer : Suksesi pada areal yang belum pernah ada vegetasinya atau sudah pernah ada vegetasinya, kemudian terganggu yang menyebabkan komunitas yang ada hilang total dan terbentuk habitat baru sehingga pada substrat yang baru ini akan berkembang suatu komunitas yang baru. Suksesi Sekunder : Suksesi pada habitat yang pernah ada vegetasinya kemudian terganggu namun tidak merusak total organisme sehingga dalam komunitas tersebut, substrat lama dan kehidupan masih ada.
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
111
Jenis Asli (Indignuous) : Jenis asli dari suatu wilayah atau ekosistem jika kehadirannya merupakan hasil proses alami tanpa campur tangan manusia. Jenis yang hidup di dalam daerah sebaran alaminya sendiri. Jenis asli tidak harus (tidak selalu) merupakan jenis endemik. Jenis asli suatu lokasi, mungkin juga ditemukan di tempat lain, tetapi merupakan jenis asli di tempat ia ditemukan. Jenis Asing (Exotic or Alien Species) : Jenis asing yang berada di luar daerah sebaran alaminya; jenis yang berasal dari tempat lain yang jauh; bukan merupakan jenis asli di tempat ia ditemukan; memiliki asal dan karakter asing; jenis yang diintroduksi atau didatangkan dari negara lain tetapi tidak sepenuhnya mengalami naturalisasi atau aklimatisasi Jenis endemik (Endemic) : Jenis yang secara ekslusive merupakan jenis asli dari suatu tempat tertentu. Ekosistem referensi : Ekosistem yang menjadi acuan dalam restorasi ekosistem. Struktur dan komposisi vegetasinya menjadi acuan dalam pemilihan jenis tanaman dan pola penanamannya. Stakeholder : Atau sering diterjemahkan “para pihak” atau “pemangku kepentingan” adalah individu atau organisasi yang secara aktif terlibat dalam suatu kegiatan atau proyek; atau yang memiliki minat sangat signifikan, kepentingan, pengaruh atau dipengaruhi oleh kegiatan (proyek) tersebut baik positif maupun negatif
Herbarium : Sekumpulan contoh tumbuhan yg dikeringkan (diawetkan), diberi nama, disimpan, dan diatur berdasarkan sistem klasifikasi, digunakan dl penelitian botani Kolaborasi : Bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik individu, lembaga dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat. Nilai-nilai yang mendasari sebuah kolaborasi adalah tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis masyarakat. (cifor/pili, 2005) Hutan pegunungan : Hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah pegunungan pada ketinggian antara 1200 s/d 3350 meter di atas permukaan laut (Van Steenis, 1950). Daya dukung ekosistem : Kemampuan ekosistem dalam mendukung kehidupan berbagai makhluk hidup di dalamnya
112
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
INDEX A
D
Acacia 5, 21, 22, 23 Agathis 5, 31, 34 Albizia 22 Alien 2, 21 Alluvial 6 Ande-ande 51 Andosol 6 Aquakeeper 33, 34 Aquasorb 33 Aren 52 Arenga 52 Artocarpus 22, 23
Dadap 22, 26, 63, 64 Dalbergia 22, 23 Daya lenting 20, 21, 25 Degradasi 2, 21, 22, 23, 34, 36, 37 Dempul 74 Dominansi 27, 29 Duwet 94 Dysoxylum 60
B Babi hutan 6, 10, 11, 16 Balikangin 84 Benih 20, 29, 32, 36 Beringin 22, 26, 66 Bibit 28, 29, 32 Bintami 89 Bintangur 54 Bischofia 53 Buni 51, 65
E Eksotik 5, 21, 22, 23 Elo 69, 72 Endemik 4, 15 Endemisitas 28 Engelhardia 61 Erosi 31, 32, 63, 110 Erythrina 4, 22, 62, 63, 64
F Feces 20 Ficus 4, 21, 22, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71 Flacourtia 72 Frekuensi 16, 27, 29, 30, 31
C Cabutan 32 Calliandra 22, 23 Calophyllum 54 Cananga 55 Cangcaratan 86 Cangkok 32, 75, 94 Cangkring 62 Cantigi 99 Castanopsis 56 Cempaga 60 Cemplongan 32 Cinnamomum 5, 57 Cover crops 31, 33 Cratoxylum 58 Croton 59
G Galearia 73 Generatif 32 Gintungan 26, 53 Girang 81 Glochidion 74, 75 Gondang 22, 71 Gorang 96
H Habitat 15, 16, 17, 21, 26, 27, 29, 30, 36 Hamerang 68 Helicia 22, 76 Herbarium 28, 39 Hibiscus 77, 78
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
113
Hidrologi 2, 3, 7, 9, 11, 25, 29, 36 Homalanthus 22, 79 Homalium 80 Huru 57, 75, 80, 82, 88 Hystrix 16
I Identifikasi 2, 3, 24, 25, 28, 29, 39, 46, 47 Indikator 14, 17 Intensitas 34, 36 Intervensi 2, 25, 36 Invasi 20, 21 Invasif 20, 23, 33, 36, 110 Inventarisasi 17, 28, 39, 40 Ipik 66
J Jamblang 94 Jamuju 89 Jebugan 73 Jenis asing 23 Jenis pohon asli 3, 21, 23, 25, 28, 29 Jirak 93 Jurang 96
K Kareumbi 79 Karnivora 10, 15, 17, 18 Kawung 52 Kayu batu 80 Kedoya 60 Kemilandingan gunung 87 Kenanga 55 Kendung 22, 76 Keragaman 13, 14, 19, 27 Kerapatan 14, 15, 21, 22, 27, 29, 31 Keseragaman 13, 27 Ki teja 57 Kijang 6, 10, 11, 16, 17 Klasifikasi 12, 34, 35, 39 Klepu 86 Kolonisasi 20, 21, 22, 23 Kompos 33, 34 Kucing hutan 6, 16
114
L Landak 10, 11, 16 Lanskap 2, 3, 24, 25 Leea 81 Leucaena 22, 23 Litosol 6 Litsea 82 Lubang tanam 32, 33 Lutung 6, 10, 11, 16, 17, 26, 61, 67, 69, 71, 84, 89, 90, 91 Luwak 16, 26, 62
M Macaca 6, 16, 40 Macan 6, 11, 15, 16 Macaranga 21, 22, 83 Mallotus 22, 84 Mangifera 22, 23 Manis rejo 99 Mara 83, 89 Mareme 74, 75 Marong 58 Masyarakat 10, 24, 25, 28, 29, 37, 38 Migrasi 15 Mikoriza 32 Mikroba 32 Monyet 6, 10, 11, 16, 26 Muntiacus 6, 16, 17 Myrica 85
N Nangsi 98 Nauclea 4, 86 Neonauclea 86 Nilai Penting 27, 29, 31
O Operasi spasial 20 Organik 32, 33, 34
P Panggang 65, 96 Panthera 6, 15 Paradoxurus 6, 16 Paraserianthes 5, 21, 87 Parengpeng 59
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
Pasir 13, 16, 21, 22, 31, 32, 33 Pasang 22 26, 90, 91 Pembersihan lahan 32 Pemeliharaan 3, 25, 29, 32, 34, 37 Penanaman 25, 28, 29, 30, 31,32, 33, 36 Penyiapan lahan 32 Persemaian 32 Persepsi 37 Phoebe 88 Picisan 85, 86 Pinus 5, 22, 23 Podocarpus 89 Polybag 33 Populasi 17,32 Porous 31 Potting 33 Predator 10, 15, 29 Preh 70 Prionailurus 6, 16 Psidium 22, 23 Pupuk 33, 34 Puspa 21, 22, 29, 31, 34, 92
Sembung 97 Seuheur 51 Silvikultur 31 Sowo 61 Stakeholder 25 Stek 32, 55, 62, 63, 64, 78, 84, 93, 95 Suksesi 3, 17, 19, 20, 23, 25, 36 Sus scrofa 6, 16 Symplocos 93 Syzygium 22, 94, 95
T Tapen kebo 59 Tectona 22, 23 Tembagan 99 Terasering 32 Tisuk 77 Trachypithecus 16, 17 Trema 5, 21, 22 Trevesia 96 Tutup 21, 22, 79, 83, 84 Tutup abang 79 Tutup awu 83 Tutup putih 22, 84
Q Quercus 22, 90, 91
V
R Rantai makanan 8, 10, 11 Regosol 6 Rekolonisasi 20, 21, 22, 23 Resiliensi 24 Restorasi 2, 3, 20, 22, 24, 25, 28, 29, 31, 32, 34, 35 Revegetasi 25, 31 Rhizobium 32 Rukem 72
S Salam 22, 95 Saninten 26, 56 Saradan 81 Sarangan 56 Satwaliar 15, 23, 30 Schima 4, 21, 22, 29, 31, 92 Sesbania 22, 23
Vegetasi 3, 4, 12, 13, 14, 16, 19, 20, 21, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 33, 34, 35, 36, 37 Vegetatif 32 Vernonia 97 Villebrunea 4, 98 Vulkanik 6, 12, 14, 17, 20, 21, 23, 31
W Waru 77, 78 Weinmannia 99 Wilodo 21, 22, 67 Wuru payung 88 Wuru teja 82
Z Zona 30 Zonasi 34, 35
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
115
RIWAYAT HIDUP PENULIS HENDRA GUNAWAN dilahirkan pada 3 April 1964 di Kabupaten Banjarnegara. Putera keempat dari pasangan Alimah (Ibu) dan Aswowikarto (ayah) menyelesaikan pendidikan SD (1976) dan SMP (1980) di Kabupaten Banjarnegara dan SMA di SMAN 1 Kota Cirebon (1980). Meraih gelar sarjana kehutanan (1980), Magister Sains Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (2000) dan Doktor Ilmu Kehutanan (2010) di Institut Pertanian Bogor. Pria pecinta alam ini pernah bekerja sebagai manajer pembinaan hutan di sebuah HPH (1989-1991), kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Kehutanan sejak 1992 dengan profesi sebagai peneliti di bidang konservasi sumberdaya alam. Saat ini jabatannya adalah Peneliti Utama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kementerian Kehutanan. Peneliti yang senang fotografi ini aktif menulis dan mengikuti seminar dan telah menghasilkan lebih dari 110 karya tulis ilmiah dan populer. Selain meneliti, penggemar jungle travelling ini juga sering diminta sebagai konsultan, narasumber, pembimbing mahasiswa, pengajar diklat dan tenaga ahli di berbagai tim dan kelompok kerja. Menjadi anggota Dewan Riset Badan Litbang Kehutanan, Dewan Redaksi di beberapa jurnal dan majalah, anggota Pokja Konservasi Badak Indonesia dan Pokja Restorasi Ekosistem Kawasan Konservasi merupakan kesibukannya akhir-akhir ini. Pehobi birdwatching ini menaruh perhatian pada dampak lingkungan, baik akibat pembangunan maupun bencana alam. Di sela kesibukannya sebagai peneliti, masih menyempatkan diri menjadi penyusun AMDAL dan telah mendapatkan sertifikasi kompetensi Ketua Tim Penyusun AMDAL (KTPA) dengan bidang keahlian dampak ekologis. Penggemar pecel dan gado-gado ini menikah dengan Retno Widianingsih dan telah dikaruniai tiga anak yaitu Priyahita Adhika Putera Rendra (Apoteker); Pradnya Paramarta Raditya Rendra (Geologis) dan Sistha Anindita Pinastika Heningtyas yang masih kuliah di Fakultas Farmasi UNPAD. Buku-buku yang pernah ditulis sebagai bahan ajar dan diklat (belum diterbitkan secara komersial) antara lain : Dasar-Dasar Pengenalan Dan Identifikasi Satwaliar (2008), Ekologi dan Konservasi karnivora (2007), dan Fragmentasi Hutan : Aplikasi Teori Biogeografi Pulau dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati (2007). Kegiatan yang sedang disibukinya saat ini antara lain melanjutkan penelitian Restorasi Ekosistem Gunung Merapi, penelitian Sebaran Macan Tutul Di Jawa Barat, penyusunan buku Bioekologi dan Konservasi Badak Indonesia, buku Restorasi Ekosistem Pegunungan Pasca Perambahan Di Gunung Ciremai dan buku Penanganan Satwaliar Pasca Erupsi Gunung Merapi.
116
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
RIWAYAT HIDUP PENULIS SUGIARTI lahir di Sukabumi tanggal 6 Juli 1968 adalah puteri dari pasangan Anna Mulyana Rodiah (ibu) dan Abdulrachim Kertowitjitro (ayah). Puteri pertama dari dua bersaudara ini menamatkan pendidikan dasarnya di Kota Bandung yaitu di SDN Merdeka V (1981), SMPN 5 (1984) dan SMAN 3 (1987). Setamat SMA melanjutkan pendidikan tinggi di UNPAD dan mendapatkan gelar sarjana pertanian (1992) di bidang agronomi. Selain itu juga mendapatkan pendidikan keahlian di Study Oleaceae University Pertanian Malaysia (1995) dan Masterclass in Research Communication, Canberra University (2000) Berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI tahun 1994, ia pernah menjabat sebagai Kepala seksi Jasa Ilmiah (1998-2000) dan Kepala Subbagian Jasa dan Informasi (2000-2007). Saat ini jabatannya adalah Humas Program Pembangunan Kebun Raya Indonesia. Disamping itu juga aktif menjadi Pengurus Forum Pranata Humas LIPI dan Ketua Bidang Humas Perhimpunan Biologi Indonesia. Pengalaman lainnya diantaranya menjadi tenaga ahli dan pendamping pembangunan kebun raya, panitia Hari Cinta Puspa & Satwa Nasional, Konservasi Tumbuhan dan Pendidikan Lingkungan dengan UNESCO (2003-2006), Koordinator children club di Ecopark dengan Botanic Gardens Conservation International (2005). Karya monumentalnya adalah menjadi Koordinator pembangunan Ecology Park Cibinong Science Center, LIPI (2003-2011). Saat ini Ibu dua orang anak ini sedang sibuk dengan proyek Sosialisasi Pembangunan 21 Kebun Raya Baru di Indonesia. Fungsional Humas yang gemar fotografi ini pernah terlibat dalam penulisan berbagai buku, baik sebagai tim penulis maupun kontributor. Ia antara lain menjadi kontributor buku The Flora of Bukit Tigapuluh National Park, Kerumutan Sanctuary and Mahato Protective Reserve, Riau Indonesia (1998), Seri Koleksi Tanaman Air Kebun Raya Bogor vol.1 no.5 (2004), dan Diversitas Ekosistem Alami Indonesia – ungkapan singkat dengan sajian foto dan gambar (2013). Sebagai anggota tim penulis buku antara lain : Manual Pembangunan Kebun Raya (2006), Flora dan Fauna Dalam Perangko (2007), Sekolahku Peduli, Ayo Kita Menanam (2009), Penetapan Prioritas Kawasan Untuk Pembangunan Kebun Raya Baru di Indonesia (2010), Ensiklopedia Flora (2010), Pesona Warna Alami Indonesia (2011), Rencana Pengembangan Kebun Raya Indonesia (2012) dan sebagai penulis pertama Buku saku: Keluarga Dipterocarpaceae di Ecopark Cibinong Science Center LIPI (2012). Wanita karir yang penyayang keluarga ini menikah dengan Ahmad Zaky Budiman dan telah dikarunia sepasang putera-puteri yaitu Ahmad Faza (masih kuliah) dan Adelia Anjani (kelas 6 SD).
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
117
RIWAYAT HIDUP PENULIS
MARFUAH WARDANI dilahirkan di Klaten pada tanggal 15 Maret 1958 dari pasangan Yatimah (Ibu) dan Darto Wardoyo (ayah) . Menamatkan pendidikan dasarnya di Kota Ungaran yaitu di SDN 1 (1970)m SMPN 1 (1973) dan SMAN 1 (1976). Memperoleh gelar sarjana biologi (1982) dan Magister Pertanian (1995) di Universitas Gadjah mada. Selain itu juga mendapatkan pelatihan Pengenalan jenis pohon dan pengelolaan herbarium dari FRIM, Malaysia (1984) dan Herbarium Bogoriense (1995) Berkarir sebagai PNS di Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi sejak tahun 1985 sebagai peneliti di bidang botani hutan dan saat ini jabatannya adalah Peneliti Madya. Kesibukannya sehari-hari adalah menjadi Kurator Herbarium Botani Hutan, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (1986 s/d sekarang). Selain aktif melakukan penelitian di bidang konservasi tumbuhan, juga sering diminta mengajar pengenalan jenis pohon dan pembuatan koleksi herbarium di lingkup Kementerian Kehutanan. Proyek yang sedang ditangani saat ini adalah penelitian fitokimia jenis Shorea spp. sebagai bahan obat. Buku yang pernah ditulisnya bersama peneliti lain diantaranya : Check List Tree Flora of Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku , Papua) (1986-1990), Vandemecum Dipterokarpa (1986), Medicinal Plant (1997), Atlas Kayu Indonesia Vol.4 (siap cetak). Menikah dengan Sutiyono, seorang peneliti utama di bidang bambu, mereka dikaruniai tiga orang anak yaitu Yuldhastiya Rahmanda, Nomarhinta Solehah dan Binagusto Mochammad.
118
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
RIWAYAT HIDUP PENULIS M. HESTI LESTARI TATA dilahirkan di Denpasar pada Tanggal 25 Mei 1970. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya, ia melanjutkan pendidikan Sarjananya di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Ia memperoleh gelar Sarjana Biologi pada tahun 1993 dengan mayor Genetika, Mikologi dan Bioteknologi. Mengawali karirnya sebagai calon peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Samarinda tahun 1994 hingga 1996, kemudian pindah ke Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Bogor sejak tahun 1996 hingga sekarang. Pada tahun 1998 mendapatkan beasiswa dari Tropenbos untuk melanjutkan studinya ke jenjang pascasarjana (S2) di Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Magister Sains (M.Si.) dengan mayor Ekologi, Fisiologi dan Mikoriza pada tahun 2001. Pada tahun 2004 kembali mendapatkan beasiswa dari DELTA Utrecht University Netherlands untuk pendidikan Doktoral dan mendapatkan gelar Doktor di bidang Ekologi Tumbuhan dan Mikoriza pada tahun 2008. Penulis pernah mendapatkan pelatihan di bidang GIS (2006), Fungal Biodiversity (2004) dan Leadership and Adaptive Management in Forest Environments (2002). Menjadi counter part Tropenbos Kalimantan Programme pada tahun 1995-1996 dan peneliti di ICRAF-South East Asia di Bogor tahun 2004-2008. Sejak tahun 1998 menjadi peneliti yang tergabung dalam Kelompok Peneliti Silvikultur pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi sampai sekarang. Hingga saat ini telah menghasilkan sekitar 20 karya tulis ilmiah yang terbit di jurnal internasional dan nasional. Karya tulisnya antara lain mengenai Mikoriza, Silvikultur dan Agroforesty. Penulis aktif di beberapa organisai profesi antara lain International Society of Tropical Forester, International Mycorrhizae Society, Indonesian Association of Mycorrhizae dan The British Mycological Society. Penulis pernah mendapatkan hibah penelitian dari NFP (Netherlands Fellowship Programme) dan Freezailah Fellowship - ITTO (International Tropical Timber Organization). Penulis aktif mengikuti seminar dan workshop di dalam dan luar negeri. Kesibukannya akhir-akhir ini adalah melakukan penelitian restorasi ekosistem terdegradasi dan rehabilitasi lahan kritis. Untuk berkomunikasi dengannya dapat melalui email :
[email protected].
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi
119
RIWAYAT HIDUP PENULIS
SUKAESIH PRAJADINATA
dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 6 Maret 1958. Pendidikan dasarnya diselesaikan di Ciamis. Setelah lulus dari SMA Negeri I Ciamis, penulis melanjutkan pendidikannya di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Setelah berhasil meraih Sarjana Kehutanan pada tahun 1984 penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, bagian Budi Daya Hutan (Silvikultur). Pada tahun 1996 meraih gelar Master of Science di University of Stirling, Scotland – United Kingdom. Penelitian yang ditekuninya berkaitan dengan tanam menanam, khususnya restorasi ekosistem terdegradasi dan rehabilitasi lahan kritis. Penulis aktif bekerjasama dengan pemegang konsesi IUPHKA untuk kegiatan restorasi hutan rawa gambut melalui penanaman jenis-jenis lokal di Rokan Hilir Sumatera dan rehabilitasi lahan bekas tambang di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. Kegiatan rehabilitasi juga pernah dilakukan pada kawasan hutan perladangan berpindah dengan jenis-jenis pohon hutan penghasil buah dilakukan di areal kerja IUPHKA–HTI di Kalimantan Tengah. Di Kalimantan Tengah, penulis juga pernah bergabung dengan Barito Ulu Project – Cambridge University untuk melakukan pengamatan dan penelitian mengenai biodiversity dan regenerasi hutan. Pasca meletusnya Gunung Merapi tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 penulis diberi kesempatan untuk melakukan penelitian dan uji coba penanaman di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang terkena dampak erupsi.
120
RESTORASI EKOSISTEM Gunung Merapi Pasca Erupsi