BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Informalisasi sarana publik sebagai strategi survival peltas informal merupakan bentuk dari deformasi struktur peran Negara dalam mengatasi kongesti lalu lintas perkotaan. Konstruksi kota terjalin dalam sistem transportasi di dalam kota itu sendiri yang melayani kebutuhan penduduk kota dalam memenuhi beragam kepentingan, seperti bekerja, berbelanja, dan berekreasi. Pada kenyataan dewasa ini, pengendara melalui persimpangan tanpa APILL dan jalur putar balik yang padat kendaraan saja dihadang oleh peltas informal yang bukan wewenangnya dan mengharap adanya uang. Maka dari itu, informalisasi sarana publik sebagai tempat persemaian pertumbuhan ekonomi yang dinamis yang dapat dimanfaatkan agar menguntungkan para pelakunya. Informalisasi sarana publik sebagai strategi survival peltas informal di jalanan perkotaan dipotret dalam penjelasan jaringan sosialnya, sebagai berikut. 1. Strategi bergabung menjadi peltas infornal ialah dengan menuruti orang yang lebih dahulu menjadi peltas informal di area tersebut. Meski jaringan sosial yang terbentuk antarpeltas informal di perkotaan ini tidak memiliki struktur ikatan dan sifat khusus, seperti kekerabatan, saudara, maupun keluarga, namun hukum yang berlaku di jalanan merupakan hukum rimba. Karena motivasi ekonomi di diri pribadi peltas informal membentuk struktur jaringan kekerabatan yang acak atau asimetris, siapa yang cepat mendapatkan teritori maka Ia lah yang mendominasi. Namun demikian, siapa saja bebas untuk ikut
serta dan keluar begitu saja sebagai peltas informal. Pada akhirnya, mereka pun akan kalah bila persimpangan ramai kendaraan tersebut dipasang rambu APILL dan mendapat penjagaan Polantas. Oleh sebab itu, peltas informal merupakan pekerjaan yang sementara dan nomaden melakukan informalisasi area ramai lalu lintas yang masih menunggu pemasangan rambu. 2. Strategi peltas informal untuk mendapatkan uang ialah dengan berada di dekat pengendara. Ini karena keduanya melakukan praktik curang. Imbalan yang diterima peltas informal tidak semua sebagai belas kasihan. Sebagian dari pengendara memberi imbalan justru karena ingin didahulukan jalannya yang terkadang memaksa peltas informal mencegat pengendara lain yang sedang melaju kencang. Namun demikian, tidak dapat disalahkan peltas informal sepenuhnya, volume kendaraan yang kini semakin memadati jalan dan kurangnya pengetahuan dan pemahaman pengendara terhadap etika pun ikut andil dalam terjadinya kesesakkan yang simpang siur, sehingga mau tidak mau ikut serta untuk menggunakan jasa “menyebrangkan” oleh peltas informal. 3. Strategi dalam pembagian waktu kerja antarpeltas informal ditentukan guna tidak terjadi konflik. Bila dalam kelompok di lokasi yang sama, maka pembagian waktu diterapkan, sehingga peltas informal melakukan pengaturan lalu lintas sesuai porsi yang telah disepakati secara musyawarah. Kesepakatan juga diambil dalam menghadapi peltas Bj yang melakukan informalisasi sarana publik secara nomaden karena kadar ikatan peltas informal antarpeltas informal lemah. Ini karena tiap individu peltas informal, meski itu dalam
kelompok, hanya berorientasi semata pada ekonomi diri sendiri, sehingga peltas informal tidak mengaitkan emosi yang mendalam satu sama lain. Ini dibuktikan dengan tidak adanya advokasi atas rekan peltas informal lain yang “kegaruk” pihak yang berwenang, seperti Satuan Polisi Pamong Praja maupun Polantas itu sendiri. Peltas informal di pertigaan Dayu memilih vakum untuk mengamankan diri sendiri. Sementara Bj melakukan “silaturahmi”, namun tetap saja dilakukan untuk mencari aman diri sendiri, tidak menjadi advokasi untuk teman sesama peltas informal. 4. Peltas informal tidak memiliki organisasi khusus dan standar kompetensi dari diri peltas informal, sehingga usahanya menjadi rujukan pekerjaan sambilan bagi orang jalanan yang lain, seperti penarik becak, penata parkir, pengamen, hingga loper majalah untuk mencari uang tambahan yang didapat dari imbalan pengendara. Ini karena peltas informal ada untuk mengisi kekosongan peranan Negara yang ternyata untuk merumuskan sebuah rambu APILL saja membutuhkan satu periode tahun anggaran dan pembahasan di tingkat Forum. Secara tidak langsung, celah ini dapat dimanfaatkan peltas informal untuk berada di tengah kesesakan lalu lintas di persimpangan dan jalur putar balik ramai kendaraan sebagai wilayah informalisasi mereka, meski yang tadinya berkelompok di satu persimpangan, berpindah menjadi nomaden akibat rambu yang terealisasi. B. Saran Peran Negara dalam mengatur ketertiban dan kelancaran lalu lintas, terutama Polantas dan jam kerja yang dimiliki belum dapat memberi pelayanan ekstra secara
langsung di tengah jalan. Keterbatasan jumlah personal dan Durabilitas Polantas mengatur kesesakkan di tiap persimpangan menjadi kendala tercapainya ketertiban. Oleh karenanya Polantas membutuhkan bantuan dari masyarakat untuk menciptakan ketertiban lalu lintas. Ketika informalisasi sarana publik didefinisikan dalam pengertian sektor yang mengganggu ketertiban, tidak tercatat secara resmi, dan beroperasi di luar aturan pemerintah, maka besar kemungkinan dukungan pemerintah akan diarahkan untuk mengatur dan menata sektor ini agar tetap terjaga ketertibannya. Saran agar tercapainya sinergitas dari keberadaan peltas informal dan kekosongan peran Negara, sebagai berikut. 1. Overcrowding di jalan raya dan ruang publik lain di perkotaan dapat berkurang dengan diferensiasi jam mulai dan selesai kerja dan sekolah. Ini merupakan salah satu cara agar kesesakan lalu lintas serta aksi kolektif yang brutal dengan tiba-tiba dapat dicegah. Informalisasi sarana publik dapat dijadikan sebagai perpanjangan tangan Polantas dalam mengatur lalu lintas langsung di tengah jalan, tentu dengan pembinaan yang tepat. Ini dapat menjadi peluang meningkatkan kapasitas diri dalam mengatur kesesakan lalu lintas di perkotaan. Ini dilakukan agar tingkat kecelakaan akibat kongesti lalu lintas dapat dimitigasi dengan bantuan peltas informal yang telah diberi pembinaan, pelatihan, dan seleksi yang ketat sehingga ada sistem yang terstruktur untuk menjadi peltas pembatu Polantas. 2. Informalisasi sarana publik sebagai strategi survival peltas informal saat ini masih menjadi pekerjaan sambilan yang digunakan sebagai jalan pintas untuk
mencari uang tambahan. Namun demikian, cara dan sistemnya masih tersirat unsur pemalakan, premanisme dan “semaunya sendiri” bagi sebagian pengendara yang dapat dikatakan membahayakan lalu lintas jalan ramai. Maka dari itu, pihak Dishub, Polantas, dan pihak-pihak yang tergabung dalam Forum LLAJ perlu meningkatkan kepekaannya terhadap kesesakkan lalu lintas sehingga rambu APILL dapat segera terpasang tanpa harus menunggu laporan kemacetan dari pengendara maupun komplain dari beberapa pihak yang dirugikan. 3. Informalisasi sarana publik sebagai strategi survival peltas informal menunjukkan bahwa masyarakat marginal perkotaan mempunyai tekad untuk melangsungkan hidupnya dengan cara menyebrangkan kendaraan di kesesakan lalu lintas perkotaan. Penelitian ini telah memberi menjelaskan bagaimana informalisasi sarana publik sebagai strategi survival peltas informal yang dipotret melalui jaringan sosial mereka mencari uang dengan seolah-olah mengatur lalu lintas di balik posisinya yang tidak diakui oleh aparat Negara. Oleh karenanya, untuk penelitian selanjutnya dapat ditarik lagi fokus penjabarannya mengenai seberapa besar masyarakat membutuhkan peltas informal untuk mengatur kongesti lalu lintas sehingga informalisasi sarana publik menjadi krusial untuk dibina dan dijadikan tenaga kerja. Hal ini mengingat banyak perubahan-perubahan yang pesat terjadi di area urban, terutama
segmentasinya
yang
dimanfaatkan
hanya
untuk
segelintir
kepentingan saja, sehingga terkesan ada indikasi koruptif dari pihak Negara akibat kekosongan peran yang terjadi.