BAB V PENUTUP I.
SIMPULAN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran konteks kerja dan kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional dalam rerangka teori kognitif sosial untuk menjelaskan bagaimana seseorang menyelesaikan dilema etis. Menurut teori kognitif sosial, perilaku seseorang dipengaruhi oleh kognitif dan lingkungannya. Kognitif merupakan hasil dari pemrosesan informasi sosial yang dilakukan oleh seseorang ketika mereka berada di dalam lingkungan tertentu. Informasi sosial adalah konteks sosial dan perilaku seseorang serta situasi di masa lalu (Salancik dan Pfeffer, 1978). Informasi ini akan diproses melalui pemrosesan kognitif untuk membentuk sistem diri yang dapat digunakan sebagai pedoman dan alat kontrol untuk membuat keputusan di masa depan agar tindakannya sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Pemrosesan kognitif sosial melibatkan evaluasi terhadap konteks sosial dan perilaku orang lain di masa lalu. Evaluasi yang dilakukan tidak hanya pada munculannya tetapi juga bagaimana munculan tersebut terjadi. Pemrosesan informasi sosial dan faktor-faktor personal yang ada di dalam diri seseorang akan membentuk sistem diri bagi orang tersebut dan sistem ini akan menjadi regulasi diri yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi tindakannya di masa depan (Bandura, 1989). Menurut Simon (1958), dikutip oleh Bazerman (1994), manusia memiliki keterbatasan di dalam rasionalitasnya sehingga ketika ia memproses informasi kemungkinan akan menimbulkan bias kognitif. Bazerman et al. (1997) mengatakan
128
bahwa secara psikologis auditor tidak mungkin dapat menjaga objektifitasnya karena ketidakmampuan untuk bertindak independen terhadap teraudit. Ketidakmampuan ini dapat disebabkan oleh ketidakcukupan pemikiran dan pengetahuan atau karena keinginan yang ada dalam dirinya untuk mengutamakan kepentingan dirinya sendiri terlebih dahulu dibandingkan kepentingan orang lain (self-serving bias). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa profesionalisma berpengaruh positif pada independensinya terhadap teraudit. Hal ini berarti profesionalisma menjadi faktor penting bagi peningkatan kualitas audit. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa konteks kerja berpengaruh pada pengembangan profesionalisma auditor. Hal ini berarti profesionalisma terbentuk dan berkembang dalam diri auditor melalui proses sosialisasi profesionalnya di lingkungan ia bekerja dan di dalam organisasi profesinya. Nilai-nilai profesional akan dapat dipertahankan ketika lingkungan kerja mendukung terpeliharanya nilai-nilai tersebut, dalam arti organisasi tempat auditor bekerja juga memberi kesempatannya untuk menggunakan pertimbangan profesional dalam melakukan pengauditan. Selain itu, pembatasan terhadap interaksi auditor dengan profesional yang lain juga akan membantu auditor dalam menjaga nilai-nilai profesionalismanya. Hal ini berarti peningkatan profesionalisma auditor tidak cukup hanya dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan, tetapi juga lingkungan kerja yang mendukung pengembangan profesionalisma. Hasil penelitian mendukung pendapat Liu et al. (2003) bahwa profesionalisma terbentuk dalam waktu yang lama melalui proses sosialisasi profesionalnya di lingkungan tempat mereka berinteraksi. Profesionalisma merupakan hasil asimilasi dari nilai-nilai dan norma-norma profesional yang dianut yang merupakan nilai-nilai
129
ideal yang harus dimiliki oleh auditor sebagai seorang profesional dan nilai-nilai serta aturan organisasi yang berlaku di tempat auditor bekerja. Hasil penelitian ini mendukung Gendron et al. (2006) dan Suddaby et al. (2009) yaitu bahwa tingkat profesionalisma auditor yang bekerja di KAP big 4 lebih rendah dibandingkan tingkat profesionalisma auditor yang bekerja di KAP non big 4. Kebijakan yang umumnya diterapkan di KAP besar (termasuk KAP big 4) adalah melakukan standardisasi pekerjaan dan memiliki struktur organisasi yang sangat birokratis sehingga auditor tidak dapat mengembangkan profesionalismanya dengan baik. Penilaian dan pertimbangan (judgment) yang ia buat dibatasi oleh prosedur operasi standar yang diterapkan sehingga membatasi autonominya dalam melaksanakan pekerjaan. Hal ini yang mengakibatkan menurunnya tingkat profesionalisma auditor di KAP besar (termasuk big 4). Selain itu, banyaknya profesional selain auditor yang ada di KAP besar berpengaruh pada bagaimana auditor membuat keputusan ketika ia menghadapi dilema etis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karena keterbatasan rasionalitas seseorang mengakibatkan adanya bias di dalam pemrosesan informasi sosial yang dilakukan oleh individual. Penelitian ini tidak memberi bukti bahwa tingkat independensi auditor yang bekerja di KAP big 4 lebih rendah dibandingkan tingkat independensi auditor yang bekerja di KAP non big 4, meskipun dalam analisis sensitivitas menunjukkan bahwa ada perbedaan nilai rata-rata tingkat independensi auditor yang bekerja di KAP big 4 dan non big 4. Hal ini berarti konteks kerja tidak berpengaruh langsung pada perilaku etis auditor akan tetapi konteks kerja berpengaruh pada pengembangan kognitif auditor yang tercermin di dalam profesionalismanya. Hal ini berarti konteks kerja
130
akan mempengaruhi tingkat profesionalisma auditor dan selanjutnya profesionalisma auditor akan berpengaruh pada independensi auditor. Hasil penelitian ini tidak mendukung Mishina et al. (2010), Galperin et al. (2011), dan Anderson et al. (2012) yang menyatakan bahwa seseorang yang berada di dalam kelompok dengan status sosial yang tinggi memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan tindakan yang tidak etis. Penelitian ini tidak berhasil menunjukkan bukti bahwa kekhawatiran mendapat sanksi profesional dari auditor di KAP big 4 lebih rendah dibandingkan kekhawatiran dari auditor di KAP non big 4. Hal ini berarti meskipun auditor di KAP big 4 memiliki rasa percaya diri yang lebih besar terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan dilema etis, tetapi ia tetap berhati-hati dalam membuat keputusan ketika terdapat risiko yang besar akibat kesalahan dalam membuat keputusan. Penelitian ini memberi bukti empiris bahwa kekhawatiran mendapat sanksi profesional akan berpengaruh positif pada independensi auditor terhadap teraudit. Hal ini berarti lingkungan hukum berperan penting dalam meningkatkan kualitas audit. Hal ini berarti sanksi profesional yang diterapkan secara efektif akan menurunkan bias (debiasing) terhadap proses kognitif yang dijalani oleh auditor. Informasi yang menunjukkan bahwa banyak auditor yang mendapat sanksi profesional karena keliru dalam memberikan opini memberi informasi pada auditor bahwa pelanggaran terhadap aturan profesi akan menghasilkan munculan negatif bagi auditor sehingga auditor akan berhati-hati dalam melakukan pengauditan. Hasil yang menarik dari penelitian ini adalah tidak ditemukannya pengaruh pemoderasi dari kekhawatiran mendapat sanksi profesional pada hubungan antara profesionalisma dan independensi
131
auditor terhadap teraudit, tetapi justru ditemukan kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional akan berpengaruh negatif pada hubungan antara profesionalisma auditor dan independensinya terhadap teraudit. Hasil ini menunjukkan bahwa profesionalisma dan kekhawatiran mendapat sanksi profesional mempunyai sifat substitusi atau saling mengganti. Peran profesionalisma dan lingkungan hukum dapat saling menggantikan, artinya ketika lingkungan hukum dengan risiko mendapat sanksi profesional tinggi, independensi auditor akan meningkat meskipun auditor tidak memiliki tingkat profesionalisma yang tinggi. Di sisi lain, di lingkungan hukum dengan risiko mendapat sanksi profesional rendah, profesionalisma auditor menjadi syarat utama bagi auditor agar dapat menjaga independensinya terhadap teraudit. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teori kognitif sosial dapat digunakan untuk menjelaskan pembuatan keputusan etis yang dibuat oleh auditor. Pembuatan keputusan etis melibatkan pemrosesan informasi oleh auditor. Pemrosesan informasi individual, disebut juga pemrosesan informasi sosial, dipengaruhi oleh konteks sosial, pengalaman masa lalu baik diri sendiri atau orang lain. Pemrosesan informasi sosial ini berlangsung selama proses sosialisasi auditor sebagai seorang profesional yang berinteraksi dengan lingkungan tempat ia bekerja dan di dalam organisasi profesinya. Proses sosialisasi ini berlangsung dalam perioda yang panjang dan akan akan membentuk regulasi diri di dalam dirinya. Sistem diri ini selanjutnya akan menjadi sistem diri yang dapat dijadikan kontrol bagi tindakannya agar tidak menyimpang dari tujuan diri yang sudah ditetapkan.
132
II.
IMPLIKASI
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa profesionalisma auditor merupakan faktor penting yang menentukan perilaku etis auditor karena dengan nilai-nilai profesional yang dimilikinya agar dapat mendukung sikap independensinya terhadap teraudit. Seperti disampaikan oleh Anderson-Gough et al. (2002) dan Liu et al. (2003), profesionalisma adalah hasil dari proses sosialisasi yang merupakan hasil interaksi antara nilai-nilai profesional yang dimiliki auditor dengan nilai-nilai yang berlaku di tempat kerja. Oleh karena itu, profesionalisma akan dapat dipertahankan ketika lingkungan mendukung terpeliharanya nilai-nilai profesional. Jadi profesionalisma tidak hanya ditingkatkan dengan cara meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan auditor, tetapi juga peran lingkungan kerja sangat penting untuk mendukung terpeliharanya nilai-nilai profesional. Selain itu, kualitas audit juga akan meningkat ketika peraturan yang ditetapkan dapat dilaksanakan dengan efektif sehingga auditor tidak berani untuk melanggar peraturan. Jadi, ada dua cara agar independensi auditor dapat dipertahankan. Pertama, meningkatkan profesionalisma auditor yang tidak hanya berfokus pada pendidikan dan ketrampilan tetapi yang terpenting adalah menciptakan suasana kerja yang mendukung terpeliharanya nilai-nilai profesional. Oleh karena itu, regulasi terhadap tata kelola KAP menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Kedua, dengan melaksanakan peraturan secara efektif. Ketika perilaku auditor dapat diawasi dengan baik dan mekanisma pengenaan sanksi juga diterapkan dengan baik maka akan
133
menimbulkan rasa khawatir akan mendapat sanksi profesional. Hal ini akan berdampak pada pelaksanaan audit yang efektif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pemerintah, khususnya bagi Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) yang tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) yang baru mengenai akuntan beregister negara. Salah satu yang diatur di dalam RPMK adalah mengenai peningkatan profesionalisma akuntan dan jenis-jenis jasa yang boleh diberikan oleh kantor jasa akuntansi (KJA) dan kantor akuntan publik (KAP). Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memberi masukan bahwa peningkatan profesionalisma akuntan tidak hanya dicapai melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, akan tetapi juga perlu pengaturan mengenai tata kelola KAP yang saat ini masih diperbolehkan memberikan jasa audit dan sekaligus juga jasa akuntansi yang lain. Menurut penulis, sebaiknya KAP hanya diperbolehkan untuk memberikan jasa audit, sedangkan jasa akuntansi yang lain diberikan oleh KJA. Hasil penelitian ini juga memberi bukti empiris bahwa pelaksanaan peraturan lebih penting dibandingkan perubahan substansi peraturan itu sendirit. Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik yang salah satunya mengatur tentang pengenaan sanksi pidana bagi auditor yang terbukti melakukan atau membantu kliennya memanipulasi laporan keuangan (diatur pada pasal 55). Ketentuan ini menimbulkan banyak keberatan dari para auditor karena dinilai akan mengancam profesi akuntan publik di masa depan. Penelitian ini diharapkan dapat memberi bukti bahwa bukan hanya substansi peraturan yang akan
134
meningkatkan kinerja auditor tetapi yang terpenting adalah pelaksanaan dari peraturan tersebut.
III.
KETERBATASAN
Meskipun hasil penelitian ini memberikan manfaat dari sisi teoritis dan praktis, tetapi ada beberapa kelemahan yang ada dalam penelitian ini, yaitu: a. Penggunaan metoda survei berbasis skenario memiliki banyak kelemahan terutama dalam hal validitas internalnya karena peneliti tidak dapat mengontrol secara ketat proses pengisian kuesioner yang diberikan kepada subjek. Peneliti hanya mengandalkan pada hasil uji pemahaman untuk memperoleh gambaran mengenai kemampuan subjek untuk memahami skenario yang diberikan. b. Jumlah data yang diperoleh dari penelitian ini tidak proposional antar level jabatan karena sebagian besar kuesioner diisi oleh auditor yunior dan senior, sedangkan data yang diperoleh dari manager dan partner sangat sedikit. Hal ini tidak dapat dihindari karena jumlah auditor yunior dan senior di setiap KAP jauh lebih banyak dibandingkan manager dan partner. Di samping itu, untuk mendapatkan respon dari partner atau manager agar tertarik untuk mengisi kuesioner juga sangat susah karena mereka tidak memiliki banyak waktu luang untuk mengisi kuesioner yang peneliti serahkan kepada mereka. c. Penelitian ini terbatas pada pengujian terhadap pengaruh konteks kerja pada profesionalisma dan independensi auditor. Konteks kerja hanya diukur dengan membagi auditor berdasar tempat ia bekerja yaitu KAP big 4 dan KAP non big 4.
135
Penelitian ini tidak mengidentifikasi karakteristik yang membedakan antara kedua tipe KAP tersebut, misalnya apakah perbedaan tingkat profesionalisma dan independensi dipengaruhi oleh standarisasi pekerjaan atau oleh banyaknya jasa yang ditawarkan oleh KAP big 4 selain jasa audit.
IV. SARAN Saran yang dapat penulis berikan meliputi: a. Perbaikan metodologi Berdasarkan identifikasi terhadap kelemahan penelitian ini maka peneliti menyarankan untuk penelitian berikutnya membuat desain penelitian yang dapat menjamin validitas eksternal dan internal yang tinggi sehingga hasil penelitian menjadi lebih andal. Perlu dilakukan analisis yang lebih mendalam untuk mendapatkan bukti mengenai karakteristik KAP seperti apa yang dapat mempengaruhi profesionalisma dan independensi auditor. b. Perbaikan praktik yang sekarang berjalan Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa konteks kerja dan pelaksanaan terhadap peraturan yang ditetapkan secara efektif akan meningkatkan independensi auditor. Oleh karena itu berdasar hasil penelitian ini, diusulkan dua macam perbaikan terhadap praktik pengauditan yang sedang berjalan. Pertama, meningkatkan efektifitas pengenaan sanksi profesional. Pengenaan sanksi yang efektif akan menyebabkan auditor takut untuk memberi opini yang keliru
136
sehingga ia akan berhati-hati dalam melakukan pengauditan. Kedua, pengembangan profesionalisma auditor tidak hanya berfokus pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan tetapi juga pengembangan terhadap nilai-nilai profesional. Ketiga, menciptakan suasana kerja yang mendukung terpeliharanya nilai-nilai profesional yaitu dengan memberi kesempatan auditor untuk menggunakan pertimbangan profesionalnya ketika menghadapi dilema etis. Keempat, perlu adanya regulasi yang mengatur tentang jasa non audit yang ditawarkan oleh KAP. KAP sebaiknya berfokus pada pemberian jasa audit, sedangkan jasa akuntansi yang lain diserahkan kepada KJA.
137