88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan
pembahasan
pokok-pokok
permasalahan
yang
telah
dipaparkan sebelumnya, maka peneliti memberikan suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Kedua orang tua yang menyebabkan kelahiran anak akibat suatu hubungan incest pada dasarnya dilarang oleh ketentuan hukum positif di Indonesia untuk melangsungkan perkawinan, sehingga berimbas pada status dan kedudukan anak yang tidak dapat memperoleh pengakuan dan pengesahan dari kedua orang tuanya. Namun, ketentuan tersebut dapat dikesampingkan apabila kedua orang tua anak tersebut diberikan dispensasi oleh Presiden untuk saling menikahi (Pasal 273 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), sehingga anak tersebut dapat mendapat suatu pengakuan dan pengesahan sebagai anak yang diakui dan sah bagi kedua orang tuanya. Mengenai pencatatan akta kelahiran, merupakan hak bagi semua anak yang dilindungi (Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak), sehingga semua anak baik anak sah maupun anak tidak sah dilindungi oleh Undang-Undang untuk memiliki akta kelahiran, meskipun pada realitasnya untuk anak
89
tidak sah dalam kasus ini, dalam akta kelahiran hanya disebutkan nama ibunya saja tanpa mencantumkan nama ayah biologisnya. Terkait dengan kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) yang tidak terdapat pada anak di mana kedua orang tua anak tersebut tidak melangsungkan perkawinan, maka untuk anak yang dilahirkan akibat incest yang kedua orang tuanya tidak diperbolehkan untuk melangsungkan perkawinan, hanya berhak mendapat perwalian dari orang tuanya hingga anak tersebut dewasa. Perwalian tersebut dapat dilakukan menurut undang-undang (Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perwalian dengan wasiat (Pasal 355 Kitab UndangUndang Hukum Perdata) dan perwalian yang diangkat oleh hakim (Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Anak juga memiliki hak untuk mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan yang merupakan kewajiban orang tuanya (Pasal 298 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kewajiban tersebut disebabkan oleh adanya hubungan antara orang tua dengan anak yang tercipta karena keturunan (afstamming). Hal ini terbukti dari ketentuan yang secara tegas diatur oleh Pasal 298 ayat (2) Kitab UndangUndang Hukum Perdata bahwa terdapat kewajiban untuk memberikan biaya-biaya pemeliharaan pendidikan. Apa yang dimaksud dengan pemeliharaan ialah pemberian tempat tinggal, makanan, pakaian, dan perawatan jika anak tersebut sakit, sedangkan pendidikan yang dimaksud ialah mendidik anak tersebut menjadi makhluk sosial.
90
Bagian
yang
utama
dari
kewajiban
orang
tua
ini
adalah
menyekolahkan anak-anak agar dapat hidup mandiri di kemudian hari.81 Selain kewajiban orang tua dalam memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan kepada anaknya, terdapat suatu kewajiban untuk memberikan nafkah seperlunya atau yang bisa disebut juga dengan hak alimentasi seperti yang diatur dalam Pasal 867 Kitab UndangUndang Perdata. Nafkah itu diatur selaras dengan kemampuan bapak atau ibunya dan berhubung dengan jumlah dan keadaan para waris yang sah (Pasal 868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Apabila bapak atau ibunya sewaktu hidupnya telah mengadakan jaminan nafkah seperlunya guna anak yang dibenihkan dalam zinah atau dalam sumbang tadi, maka anak itu tak mempunyai tuntutan lagi terhadap warisan bapak atau ibunya (Pasal 869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Sebab pada dasarnya anak yang tidak diakui hanya dapat mengharapkan sesuatu yang letaknya di lapangan hukum harta kekayaan dari orang yang menyebabkan kelahirannya, yaitu hak untuk pemeliharaan. Bagi anak incest, undang-undang tidak memberikan hak mewaris, tetapi undang-undang memberikan kepada mereka hak untuk menuntut pemberian nafkah (hak alimentasi). Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa: “Setiap anak berhak untuk 81
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Loc.cit.
91
mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”. Dalam pasal ini kita bisa melihat bahwa hak anak untuk mengetahui identitas kedua orang tuanya akan memperjelas status serta hubungan antara anak dengan orang tuanya. 2. Pendampingan bagi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Rifka Annisa adalah pendampingan psikologi dan pendampingan hukum. Proses pendampingan hukum dilakukan melalui 2 (dua) proses, yaitu: a. Melalui proses kepolisian; dan b. Laporan langsung dari korban, pihak keluarga korban, maupun warga sekitar. Pada saat korban atau keluarga memutuskan untuk membawa perkaranya untuk diproses secara hukum, maka pendampingan hukum yang dilakukan dimulai dari pemeriksaan di kepolisian. Konselor melakukan pendampingan bagi korban selama menjalani pemeriksaan di kepolisian ketika korban diminta untuk memberikan keterangan mengenai kronologi peristiwa yang terjadi. Konselor sebelumnya memberikan pengertian-pengertian terhadap korban incest terkait gambaran pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan oleh pihak kepolisian mengenai kronologi peristiwanya dan harus dijawab oleh korban, karena nantinya digunakan sebagai keterangan untuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepolisian. Seringkali korban kesulitan untuk menceritakan, sehingga membuat pihak kepolisian belum dapat
92
mengambil keterangan dari anak tersebut, maka di sini peran konselor sangat penting untuk membantu kelancaran proses pemeriksaan di kepolisian. Setelah itu, pendampingan dilakukan ketika korban menjalani proses pemeriksaan di Pengadilan, dimulai dari membantu menyiapkan kelengkapan alat bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana82 adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Selain itu konselor juga memberikan pengertian-pengertian pada korban mengenai proses pemeriksaan di Pengadilan, misalnya terkait pertanyaan-pertanyaan dari Hakim yang memeriksa perkara dan bagaimana tahapan-tahapan proses persidangan dalam perkara pidana. Pendampingan di Pengadilan dimulai dari agenda sidang pembacaan dakwaan, eksepsi, pemeriksaan alat bukti, tuntutan jaksa (requisitor), pembelaan
(pledooi),
replik
Jaksa
Penuntut
Umum,
Duplik
Terdakwa/Penasihat Hukum hingga putusan dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut. B. Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan peneliti kepada pihak Rifka Annisa sebagai berikut: 1. Upaya-upaya
pencegahan
perlu
ditingkatkan
lagi
semaksimal
mungkin, misalnya dengan mengadakan suatu pertemuan dengan penegak hukum, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Swadaya 82
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
93
Masyarakat (LSM) serta lembaga lain yang terkait sebagai wadah untuk melakukan penelitian hukum, pelatihan penanganan perkara anak dan lain sebagainya agar tujuan untuk mengurangi angka kekerasan pada perempuan dapat tercapai. 2. Rifka Annisa harus lebih aktif dalam melakukan monitoring untuk kasus-kasus incest yang pada umumnya para korban sulit untuk melapor dengan cara melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara berkala.