51
BAB IV HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian Berdasarkan hasil temuan penulis terhadap penelitian ini, ada dua wacana
yang hendak diangkat berdasarkan dengan pokok permasalahan yang hendak telah diuraikan. Wacana pertama yang dapat ditemukan dalam hasil liputan event Autoblackthrough (ABT) 2009 regional Bandung di media internet adalah tentang gender. Dimana tubuh perempuan dijadikan komoditi oleh sponsor. Terlihat jelas dalam halaman yang berheadline-kan “Hiburan Berkelas Semarakan Suasana Autoblackthrough Bandung 2009 (13-14/6)” dan “Miss ABT Bandung 2009 (13 14 Juni)”. Disitu terlihat jelas melalui visualisasi gambar yang disajikan, bahwa sosok-sosok perempuan ditempatkan sebagai the second sex yang lemah, pasif, tidak berdaya, pelengkap; yang tak lebih dari objek kesenangan dari dunia lakilaki (mobil/ otomotif/ modifikasi/ modifikator) yang dominan. Komoditi menjadi sebuah arena, yang di dalamnya perempuan dijadikan sebagai objek komoditi, semata untuk pemenuhan kesenangan laki-laki sebagai subjek61. Isu kedua dalam penelitian ini berkaitan dengan permasalahan penampakan wajah dunia simulasi pada objek mobile remote control. Dimana
61
Piliang, Yasraf Amir, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan,
Jalasutra, Yogyakarta & Bandung, 2004, hal. 341.
52
sebenarnya pola yang mendominasi fase bentuk acara tersebut sebenarnya telah dikontrol oleh kode-kode, yaitu fase yang didominasi oleh reproduksi dari realitas buatan, atau yang disebut dengan hiperealitas. Era simulasi ditandai dengan berkembangnya domokratisasi yang ekstrem dalam dunia penampakan, di mana manusia tidak saja diberikan kebebasan dalam memilih gaya atau gaya hidup, akan tetapi justru diberi peluang besar untuk menciptakan penampakan simulasi (simulasi dari penampakan dirinya sendiri atau penampakan kebudayaan materi di sekelilingnya)62.
4.2
Pembahasan
4.2.1 Perempuan dan Otomotif
Kolaborasi antara keseksian wanita dengan produk-produk otomotif telah lama berlangsung. Namun siapa yang memulai, tak ada penggiat otomotif yang bisa memastikannya. Tapi sejarah memang membuktikan bahwa otomotif lekat dengan wanita. Bahkan, TheTruthAboutCars.com (TTAC), sebuah situs yang membahas tentang berbagai hal tentang otomotif menyimpulkan, bahwa kehadiran wanita seksi di sebelah mobil pada pameran otomotif menjadi syarat utama tiap merek untuk menarik perhatian pengunjung.63 TTAC menyebutkan
62
Lihat Jean Baudrillard, Simulations, Semiotext(e), New York, 1983.
63
http://www.inilah.com/news/read/otomotif/2010/04/21/476951/wanita-seksi-pemikat-pameran--
otomotif/
53
bahwa membiarkan banyak orang memotret model atau sales promotion girl menjadi bukti perhatian yang besar dari mata tiap pengunjung pameran otomotif. TTAC bahkan menganalisa bahwa dari sejumlah pameran otomotif di Amerika Serikat (AS) seperti Detroit Motor Show (DMS) atau New York Auto Show (NYAS), merek mobil yang hanya menampilkan robot dan tidak menghadirkan sosok wanita hampir semuanya sepi pengunjung. Kebutuhan model atau SPG di tiap pameran otomotif sangat penting karena mereka juga sudah dibekali product knowledge oleh yang 'mempekerjakan' mereka. Tiap merek mobil berkomitmen 'semakin lama si pengunjung tinggal di stan, maka semakin kuat merek akan menempel dalam pikiran si pengunjung.'
Nalar patriarki modern dalam jagat automotif secara jelas memperbudak perempuan. Motor dan mobil sebagai produk pembangkit modal kaum kapitalis didesain agar perempuan tak pernah sadar untuk selalu menjadi objek pasar. Tak hanya terlihat dari foto model perempuan yang berfoto seksi di kalender, iklan automotif
membuat
nalar
perempuan
dikonstruksi,sehingga
sadar
akan
kecanggihan dan kemewahan automotif yang mendamba maskulinitas lelaki. Foto model profesional yang menampakkan belahan dadadi kalender iklan automotif telah mengonstruksi pandangan lelaki untuk terus mengikuti arus yang dibawa produsen automotif. Peran perempuan juga memberikan pandangan pada para perempuan untuk terus mendorong lelaki menjadi konsumen kendaraan maskulin. Selain terobjekkan, perempuan di jagat automotif telah memasuki taraf efektualitas pasar. Perempuan digunakan sebagai subjek kapitalis demi meraup
54
keuntungan setinggi langit. Perempuan menstimulasi lelaki untuk mengikuti tren automotif karena mitos “ makin bagus motormu, kian banyak perempuan yang menempel ”. Jelas sekali, konstruksi maskulinitas oleh perempuan menjadi aset bagi pemilik modal untuk terus menggunakan perempuan secara material sebagai imaji kesuksesan lelaki. Itu terlihat dari kendaraan yang dimiliki lelaki.
Telah sejak lama banyak yang menganggap dunia otomotif sebagai dunianya laki-laki. Terlepas dari benar atau salahnya anggapan tersebut, setidaknya ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan hubungan antara keidentikan otomotif dengan dunia laki-laki: 1. Mitos kekuatan. Otomotif tidak bisa dipisahkan dari susunan material yang bersifat ‘keras’. Contohnya mesin, rangka kendaraan, oli, bensin, perkakas dan sebagainya yang secara historis ke semua contoh material tersebut proses pengerjaannya dibuat oleh dominasi para pria dikarenakan perlunya porsi lebih akan kekuatan fisik dalam proses pengerjaannya. 2. Kecepatan yang tersinonimkan. Di sisi lain otomotif sendiri identik dengan kecepatan, dimana kecepatan sendiri dapat disinonimkan dengan kekuatan. “Cepat berarti kuat”, yang kedua istilah tersebut secara lahiriah merupakan sebuah pemberian (gift) dari sang pencipta kepada makhluk yang bernama laki-laki. Sehingga dalam event Autoblackthrough 2009 regional
55
Bandung ada kecendrungan segala kegiatan dengan mobil sebagai objeknya yang jelas masuk dalam ranah otomotif, merupakan suatu sistem patriarki, dimana laki-laki punya peranan dan kekuasaan lebih akan dunia tersebut (dunia otomotif).
4.2.2 Tubuh, Konsumsi Paling Indah Dalam dunia otomotif, perempuan selalu dianggap sebagai sebuah ‘tontonan’ yang alih-alih disebut sebagai pemanis. Contohnya dalam acara Moto GP dan F1 dengan umbrella girlnya. Begitupun dengan Autoblackthrough. Apapun bentuknya, entah itu modern dance, fashion dance, ataupun pemilihan Miss Autoblackthrough sekalipun, akan tetapi pada hakikatnya akan timbul pertanyaan mendasar tentang “dimanakah hubungan kesemua bentuk tersebut dengan kontes modifikasi mobilnya?” Perbincangan mengenai perempuan tidak bisa dipisahkan dari sistem yang memungkinkan berkembangnya eksploitasi perempuan di dalamnya. Salah satu sistem yang di dalamnya perempuan (tubuh, tanda dan hasratnya) di eksploitasi adalah sistem (budaya) kapitalisme. Di dalam sistem budaya kapitalisme, tubuh dengan berbagai potensi tanda, citra, simulasi dan artifice-nya menjadi elemen sentral ekonomi politik, disebabkan tubuh (estetika, gairah, sensualitas, erotisisme) merupakan raison d’ etre setiap produksi komoditi. Tubuh itu sendiri, terutama tubuh perempuan telah menjadi komoditi sekaligus metakomoditi, yaitu komoditi yang digunakan untuk menjual (mengkomunikasikan) komoditi-komoditi lainnya lewat potensi fisik,
56
tanda dan libidonya. Dalam hasil liputan event ABT sendiri komoditi lainnya tak lain adalah produk sponsor itu sendiri (rokok, merchandise, souvenir, pendaftaran kontes dyno test) maupun brand Djarum Black itu sendiri yang mengkonstruksi pengunjungnya untuk berlaku/ bergaya sesuai dengan ideologi sponsor (kapitalisme). Tubuh perempuan di dalam hasil liputan event ABT tidak saja di eksploitasi nilai gunanya (use value) sebagai pekerja, tetapi juga nilai tukarnya (exchange value) melalui bentuk SPG (Sales Promotion Girl), sexy dancer, fashion dancer, glow go dance, kontestan Miss ABT dan DJ (Disc Jockey) berparas cantik. Tubuh, dengan demikian, menjadi urat nadi sponsor dan budaya kapitalisme, dengan segala potensi dan nilai ekonomi yang dimilikinya. Di dalam sistem budaya kapitalisme, tubuh menjadi bagian dari politik tubuh (body politics), setidaknya-tidaknya pada tiga tingkat politik64. Pertama, ekonomi-politik tubuh (political-economy of the body), yaitu bagaimana tubuh digunakan di dalam kapitalisme, berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi kapitalisme (dan patriarki). Persoalan ekonomi politik tubuh, berkaitan dengan sejauh mana tubuh perempuan (secara fisik) dieksplorasi ke dalam berbagai bentuk komiditi, yang tubuh perempuan sebagai entitas fisik, ditempatkan dalam konteks dan relasi sosial-ekonomi yang lebih luas, dalam kerangka penciptaan mistifikasi sosialnya. Tubuh sebagai entitas fisik dipertukarkan di dalam sistem ekonomi, dengan mengeksplorasi nilai tukarnya
64
Ibid, hal. 340
57
berdasarkan segala potensi ekonomi yang dimiliki oleh tubuh itu secara fisik, seperti kemudaan, kecantikan dan sensualitas, yang dapat dipertukarkan di dalam sistem pertukaran yang ada. Kedua, politik ekonomi tanda tubuh (political economy of body signs), yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda-tanda (signs) di dalam sebuah sistem pertandaan (sign system) kapitalisme, yang membentuk citra, makna, dan identitas diri mereka di dalamnya. Persoalan politik tanda berkaitan dengan eksistensi tubuh perempuan sebagai tanda dan citra yang diproduksi di dalam berbagai media kapitalistik (televisi, film, video, musik, majalah, koran, internet, fashion, consumer good). Tubuh sebagai entitas tanda dan citra dieksploitasi segala potensi tanda dan citranya, yaitu kemampuannya menghasilkan tanda dan citra tertentu yang dapat menciptakan nilai ekonomi dalam rangka dipertukarkan di dalam sistem pertukaran ekonomi yang ada, dalam rangka mencari keuntungan. Ketiga, ekonomi-politik hasrat (political economy of desire), yaitu bagaimana potensi libido perempuan menjadi sebuah ajang eksploitasi ekonomi, yaitu bagaimana ia disalurkan, digairahkan, dikendalikan atau dijinakkan di dalam berbagai bentuk relasi sosial yang menyertai produksi komiditi. Ekonomi politik hasrat menjelaskan bagaimana tubuh dan citra tubuh perempuan merupakan sebuah strategi di dalam politik eksplorasi (dan sekaligus represi) hasrat perempuan, di dalam sebuah relasi psikis yang dibentuk kapitalisme. Hasrat sebagai sebuah ‘obyek’ psikis dapat ‘diproduksi’ sebagai komiditi untuk di pertukarkan, adalah dalam pengertian Deleuze & Guattarian, yaitu bahwa hasrat itu sendiri adalah sebuah sistem produksi, yang ‘memproduksi’ hasrat itu sendiri
58
lewat mesin hasrat (desiring machine). Sistem produksi komoditi di dalam kapitalisme mempunyai hubungan yang timbal balik dengan sistem produksi hasrat, yaitu ketika sebuah komoditi diproduksi, maka di baliknya sekaligus diproduksi hasrat. Ketika komoditi dipertukarkan di dalam sistem pertukaran kapitalime, maka di baliknya secara bersamaan terbentuk sistem pertukaran hasrat (desiring exchange). Pada kasus ini, tubuh perempuan tidak lagi dinilai berdasarkan nilai fungsional, artinya tubuh bukan lagi berupa se-onggok “daging” seperti dalam pandangan religius. Bukan juga dinilai berdasarkan ia bisa digunakan sebagai kekuatan bekerja dalam logika industri, akan tetapi dikembalikan sifatnya sebagai objek pengagungan unsur ritual sosial (kecantikan). Bagi perempuan, kecantikan menjadi syarat mutlak, syarat religius. Cantik bukan lagi pengaruh dari alam, juga bukan kualitas moral sampingan, tetapi kualitas mendasar, wajib, dari sifat perempuan yang memelihara wajahnya dan kelangsingannya sebagai jiwanya65. Lalu ketika tubuh tersebut (estetika, gairah, sensualitas, erotisme) berhasil dipelihara, ada sebuah penghargaan (sebuah relasi sosial, bisa juga dikatakan sebuah nilai tukar baginya) yang di dapat dari lingkungan sosialnya. Penghargaan akan pengagungan/ pemujaan dari konsumsi tubuh. Seperti yang dialami oleh Thalyta yang berhasil kembali sebagai jawara Miss ABT 2009 pada event ABT 2009 regional Bandung, dengan membawa pulang thropy, uang sebesar 2,5 juta rupiah, serta berbagai hadiah lainnya66. Akan tetapi disini terlihat betapa tubuh 65
Masyarakat Konsumsi, hal. 170.
66
http//:www.autoblackthrough2009/bandung/missabtbandung2009.com
59
secara sempit dicampuradukan dengan tujuan produksi sebagai penopang (ekonomi), sebagai prinsip pembaruan (psikologi) individu, sebagai strategi (politik) dari kontrol sosial67. Pembentukan perempuan sebagai objek tidak hanya terjadi pada tingkat sistem bahasa, akan tetapi juga pada tingkat realisasi penggunaan bahasa, yaitu pada tingkat wacana (discourse). Sebagaimana diungkapkan Terry Threadgold: “makna, sistem ide, sistem kepercayaan, serta ideologi dikonstruksi di dalam discourse, yang berfungsi untuk melanggengkan relasi-relasi kekuasaan yang ada”68. Perempuan (dan mungkin semua artefak yang ada di dalamnya) dalam event Autoblackthrough, adalah penciptaan ilusi dan manipulasi, sebagai cara untuk mendominasi selera masyarakat, khususnya penggunaan efek-efek sensualitas, berupa penggunaan tubuh dan organ-organ tubuh perempuan di dalam berbagai wujud komoditi, sebagai sebuah kendaraan ekonomi, jalan meraup keuntungan (berupa citra sponsor yang melekat dalam benak khalayak yang menghadiri ataupun sekedar membaca liputan acara tersebut), dalam rangka menciptakan keterpesonaan dan histeria massa, yang dapat mendorong aktivitas ekonomi. Nampaknya sponsor dengan budaya kapitalismenya sadar betul dalam mempengaruhi dan mengontrol masyarakat lewat keterpesonaannya pada
67
Masyarakat Konsumsi, op.cit., hal. 175
68
Terry Threadgold, Language, Semiotics, ideology, Sydney Association for Studies in Society
and Culture, 1986, hlm. 17
60
penampilan tubuh (sensualitas) perempuan-perempuan dalam event yang diadakan, lalu dipajang sebagai gambar dalam media massa (website Autoblackthrough) yang dibantu oleh tek-teks yang disamarkan sebagai informasi atas event tersebut. Ada sebuah nilai guna dalam gambar-gambar perempuan yang terpampang dalam gambar tersebut, berupa ilusi seksual yang menekankan pada kepuasan melalui mekanisme penglihatan, yang disebut (meminjam istilah Yasraf Amir Pilliang) voyeurism69, yaitu melihat tubuh atau citra tubuh sehingga menimbulkan rangsangan dan kepuasan seksual darinya. Oleh karena proses melihat ini sangat menggantungkan dirinya pada keberdaan citra (image) yang ditangkap
oleh
kemampuan
persepsi,
maka
kepuasan
yang dihasilkan
sesungguhnya tak lebih dari kepuasan khayalan, disebabkan orang hanya dihadapkan pada citra sebuah tubuh, bukan realitas tubuh itu sendiri. Orang hanya ditawarkan kesenangan melihat tubuh, bukan kesenangan memiliki tubuh itu sendiri. Pemenuhan kepuasan hasrat yang bersifat khayal tersebut telah menggiring ke arah sensualisasi kondisi manusia, yang disebut Max Scheller, sensualitas otak (gehirnsinnlichkeit)70. Para pembaca hasil liputan event ABT yang dikuasai sensualitas otak, digiring ke alam pikiran, fantasi dan imajinasi yang didominasi oleh muatan sensualitas.
69
Piliang, Yasraf Amir, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan,
Jalasutra, Yogyakarta & Bandung, 2004, hal. 343. 70
W.F. Haug, Critique of Commodity Aesthetics: Appearance, Sexuality and Advertising in
Capitalist Society, Polity Press, 1983, hal. 2
61
Di dalam masyarakat yang dikuasai oleh sensualitas otak, tubuh perempuan dieksploitasi sehingga di dalam dunia tersebut laki-laki dapat mengembara di dalam berbagai fantasi dan obsesinya, dengan menggunakan tubuh dan citra tubuh perempuan sebagai objek kepuasannya. Di dalamnya, perempuan diposisikan sebagai obyek pembawa makna, bukan sebagai pencipta makna. Artinya tubuh perempuan ditempatkan dalam posisi-posisi tertentu, oleh pihak yang menguasainya, bukan oleh dirinya sendiri. Dengan menggunakan tubuh dan citra tubuh, komoditi menawarkan berbagai kemungkinan kesenangan (pleasures). Salah satu bentuk kesenangan ini adalah scopophili71, yaitu kesenangan menjadikan orang lain sebagai objek, yang dapat mengundang rasa ingin tahu yang bersifat seksualitas. Event Autoblackthrough menjadikan relasi antara perempuan dan laki-laki (objek dan subjek) sebagai relasi hasrat dan kepuasan. Yang di dalamnya hasrat dan kepuasan dikendalikan oleh kekuatan produksi yang didominasi laki-laki. Lewat bahasa tandanya, mengonstruksi secara sosial laki-laki sebagai yang aktif dan kuasa, dan perempuan sebagai yang pasif dan tunduk. Perempuan, dengan demikian menjadi korban eksploitasi dirinya oleh pihak lain (laki-laki) untuk kesenangan lain tersebut. Di dalam dunia otomotif (yang di refleksikan oleh Djarum Black melalui event Autoblackthroughnya), perempuan memang berperan sebagai pemain sentral, akan tetapi sentral hanya pada posisi tidak berkuasa untuk mengendalikan dunia tersebut. Sebagai objek komoditi pada umumnya, seperti juga di dunia prostitusi dan pornografi, kehadiran perempuan sebagai sosok-sosok yang diberi label penghibur atau 71
Piliang, op.cit.
62
pemeriah
acara
di
utamakan
karena
sifat
kemudaan,
kesegaran,
dan
kecantikannya, yang membutuhkan semacam perawatan intensif dan penggunaan semiotika tubuh yang terus-menerus72. Dalam bahasan ini, tubuh perempuan seperti yang terpampang pada gambar dalam hasil liputan event Autoblackthrough, khususnya di halaman Miss ABT Bandung 2009 (13-14 Juni) dan Hiburan Berkelas Semarakan Suasana Autoblackthrough Bandung 2009 (13-14 Juni) telah berkembang ke arah yang melampaui (hyper), melampaui batas-batas moral, norma, etika, budaya, adat, tabu dan agama73. Batas -batas yang dimaksud, yaitu batas-batas bangsa Indonesia dengan ideologi keislamannya. Yang mana nilai-nilai yang berkembang di masyarakatnya, dikonstruksi berdasarkan aturan-aturan berdasarkan Al-Qur ‘an dan hadist. Dengan ideologi keislaman tersebut, ada batasan tentang aurat perempuan yang boleh diperlihatkan dan yang tidak boleh diperlihatkan. Terlepas dari hal tersebut, citraan (image) dalam tampilan liputan event tersebut mempunyai peranan yang sangat dalam menimbulkan rangsangan maupun kepuasan seksual, sebagai subtitusi dari tubuh yang sebenarnya. Pentingnya citraan dan gambar ini diperlihatkan oleh kecendrungan laki-laki untuk mengembangkan berbagai bentuk fantasi ketika melihatnya. Sebuah tulisan, gambar, foto, atau objek di dalam hasil liputan event ABT 2009 regional Bandung
72
73
Jane Root, Picture of wome Sexuality, Pandora Books, 1984, hal. 55 Piliang, Yasraf Amir, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan,
Jalasutra, Yogyakarta & Bandung, 2004, hal. 345.
63
dapat menimbulkan rangsangan dan kepuasan seksual dari cara di tampilkannya (bentuk, pose, sikap, ekspresi). Penampilan gambar, foto, ilustrasi atau penggunaan kata-kata (diksi) di dalam liputan tersebut telah menggiring penggunaan tubuh sebagai komoditi atau tanda ke dalam vulgaritas bahasa, yang berakibat pada pedangkalan estetik dan informasi. Sebagai contoh bentuk vulgaritas bahasa yang berujung pada pedangkalan estetik dan informasi melalui diksi (penggunaan kata-kata) terlihat di halaman Miss ABT 2009 (13-14 Juni) pada kalimat penutup: “Satu hal informasi yang mungkin bermanfaat bagi Anda kaum adam, karena gadis yang berprofesi sebagai model ini mengaku masih jomblo. Bagaimana, berminat...” Kalimat di atas samar-samar tidak ada bedannya dengan kalimat-kalimat yang dibuat oleh para jurnalis kuning seperti dalam headline-headline koran POSKOTA. Atau seperti dalam iklan penawaran jasa teman ngobrol via sms atau telepon melalui Handphone, yang kira-kira body copynya berbunyi: “Haiii... namaku Jenifer... Aku lagi jomblo loh... Mo jadi soulmate aku? Sms/ Telepon aku ya ke nomor 0875....” yang pada akhirnya cuma menyedot pulsa para korbannya. Atau juga dalam penggunaan kata-kata para jurnalis koran Motor Plus pada bagian kolom liputan Cepot (Cewek Knalpot) yang isinya sama sekali bukan berupa informasi yang dirasa perlu oleh para pecinta otomotif (khususnya kendaraan roda dua). Akan tetapi, sama seperti dalam kasus hasil liputan ABT 2009 regional Bandung
64
tentang Miss ABT 2009 Bandung, tubuh perempuan direproduksi ulang tidak saja dari segi nilai gunanya, tetapi juga dari segi nilai tukarnya terhadap para pembaca, bahwa mereka (perempuan) dijadikan komiditi hanya semata-mata sebagai alat promosi oleh sponsor melalui sensualitas dari tubuhnya. Hal yang sama dapat kita lihat dalam halaman Hiburan Berkelas Semarakan Suasana Autoblackthrough Bandung 2009 (13-14 Juni) pada teks yang bertuliskan: “Satu nama yang paling menonjol ialah kehadiran penyanyi cantik Aura Kasih. Kepiawaian dara kelahiran Bandung dalam meracik aksi panggung serta kualitas suara yang mantap membuatnya jadi icon malam pertama perhelatan acara ini. Dengan balutan serba hitam yang nampak mulus dengan warna kulitnya membuat pengunjung seolah terbius dengan lagulagu yang dibawakannya. Tak hanya seorang diri, dibelakangnya tampil juga beberapa penghibur lainnya.” Dalam teks tersebut kulit yang merupakan bagian dari tubuh penyanyi Aura Kasih telah di jadikan dagangan (komodifikasi) oleh pihak penyelenggara (Djarum Black) demi sekedar menukarkan fantasi, imajinasi kepada para pembacanya. Jika di telaah lebih lanjut, apakah memang perlu diberituhakan kepada khalayak luas (para pembaca hasil liputan ABT 2009 Bandung khususnya) tentang keberadaan kulit sang penyanyi, tentang mulus atau tidaknya? Akan tetapi, inilah yang disebut sebagai ekonomi-politik tubuh (political- economy of the body), dimana tubuh sebagai entitas fisik dipertukarkan di dalam sistem
65
ekonomi, dengan mengeksplorasi nilai tukarnya berdasarkan segala potensi ekonomi yang dimiliki oleh tubuh itu secara fisik, seperti kemudaan, kecantikan dan sensualitas, yang dapat dipertukarkan di dalam sistem pertukaran yang ada. Kasus keberadaan kulit Aura kasih seperti yang telah dikutip di atas juga masuk dalam kategori politik ekonomi tanda tubuh (political economy of body signs), yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda-tanda (signs) di dalam sebuah sistem pertandaan (sign system) kapitalisme, yang membentuk citra, makna, dan identitas diri mereka di dalamnya. Dengan kata lain, kulit mulus Aura kasih seperti yang di informasikan dalam teks, secara langsung telah membentuk tanda ke-artisan dirinya, bahwa seorang artis harus memiliki kulit mulus sepertinya. Kemudian tanda dan citra ke-artisan tersebut di eksploitasi di dalam sistem pertukaran ekonomi yang ada, dalam rangka mencari keuntungan. Contoh hasil dari keuntungan yang dimaksud misalnya seseorang jadi beranggapan bahwa jika ingin melihat kesensualitasan artis sekelas Aura Kasih, ada di dalam acara Autoblacktrough. Contoh lainnya jika seseorang sedang browsing dengan keyword (kata kunci) “Aura Kasih” demi mendapatkan informasi tentangnya melalui situs Google Search, bisa saja orang tersebut tersesat ke dalam liputan Autoblackthrough 2009 Regional Bandung yang dimeriahkan oleh Aura Kasih di situs www.autoblackthrough.com. Lalu disaat orang tersebut mengklik situs tersebut, disitulah letak keuntungan yang di dapat oleh sponsor pembuat website (karena keuntungan yang di dapat dari bisnis sebuah website terjadi ketika semakin banyak orang yang mengunjungi situs tersebut).
66
Penampilan gambar, foto, ilustrasi atau penggunaan kata-kata (diksi) tertentu seperti yang dipaparkan di atas, disadari atau tidak, dapat mengundang unsur pornografi, disebabkan rendahnya standar atau selera (taste) di baliknya. Meskipun demikian, sebagai sebuah istilah, pornografi itu sendiri pada kenyataannya mempunyai pengertian yang cendrung tidak jelas batasannya. Di dalam The Fontana Dictionary of Modern Thought, ‘pornografi di definisikan sebagai bentuk “representasi (dalam literatur, video, film, drama, seni rupa dan sebagainya) yang tujuannya adalah untuk menghasilkan kepuasan seksual74. Di pihak lain, ‘pornografi’ didefinisikan sebagai penggunaan representasi perempuan (tulisan, gambar, foto, video, film) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang yang melihat, yang di dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam statusnya sebagai objek seksual laki-laki75. Pemilihan gambar (image) atau katakata (teks) menggiring penggunaan tubuh sebagai komoditi atau tanda ke dalam vulgaritas bahasa, yang berakibat pada pendangkalan estetik dan informasi. Bentuk pedangkalan dan vulgaritas dalam bahasa adalah kitsch. Kitsch dianggap sebagai satu bentuk selera rendah (bad taste) atau sampah artistik, disebabkan rendahnya standar estetik yang digunakan, sehingga yang menonjol di dalamnya bukanlah nilai estetik, melainkan nilai provokasi (erotisme, sensualitas, seksualitas). Pornografi dianggap merupakan bagian dari selera rendah tersebut, disebabkan secara epistemologis istilah porno yang dalam bahasa yunani berarti
74
75
Alan Bullock, The Fontana Dictionary of Modern Thought, Fontana Press, 1988, hlm. 668 Sebagaimana dituliskan kembali oleh Mark Bracher, Lacan, Discourse, and Sosial Change,
Cornell University Press, Ithaca, 1993, hlm. 84
67
prostitusi pada tingkatnya yang paling rendah inheren di dalamnya pengertian mengenai selera rendah, dan sebagai pendangkalan kualitas tanda sebagai bentuk pemujaan detail, sebagai bombardir detail-detail76. Pornografi yang terperangkap di dalam kitsch disebut pornokitsch. Berbeda dari pornografi pada umumnya, pornikitsch lebih dicirikan oleh penggunaan gambar atau teks berkonotasi seksualitas, akan tetapi dengan kualitas yang murahan atau dangkal. Sifat selera rendah, murahan atau dangkal tersebut terlihat pada cara-cara penekanan pada unsur-unsur erotis dan sensualitas ketimbang pertimbangan estetis yang sublim, semata sebagai cara untuk menimbulkan efek provokasi, kejutan dan kesenangan visual yang segera dan rendah77. Dalam hasil liputan ABT regional Bandung 2009, kode-kode sosial (aturan, norma, tabu) tentang tubuh dan bahasa tubuh dibiarkan dalam kondisi mencair, dalam rangka membuka ruang bagi seluruh permainan bebas tanda-tanda tentang tubuh. Di dalam ajang permainan bebas tanda tersebut, tubuh diproduksi sebagai sebuah rangkaian teks, yaitu kumpulan tanda-tanda, yang dikombinasikan lewat kode-kode semiotik tertentu, yang menghasilkan makna atau efek makna (meaning effect) serta perbedaan (difference) yang diperlukan oleh produser atau sponsor. Pihak sponsor telah menjadikan tubuh perempuan sebagai bahan baku sistem pertukaran tanda, dalam rangka mengembangkan nilai tanda dengan
76
Jean Baudrillard, ‘Mass Media Culture’, dalam Revenge of the Crystal: Selected Writings on the
Modern Object and Its Destiny 1968-1983, Pluto Press, 1990, hlm. 75 77
Piliang, Yasraf Amir, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan,
Jalasutra, Yogyakarta & Bandung, 2004, hal. 346.
68
melakukan eksplorasi besar-besaran terhadap tubuh perempuan, untuk menggali segala potensi kekuatannya, khususnya kekuatan tanda, bahasa tubuh dan fetisisme tubuh (body fetshism)78. Tubuh dimuati dengan berbagai bentuk pesona (fetish) dan makna (natural, liar, tunduk, metropolis, urban, erotis, sensual, teeny, freshy, granny, intelek dan sebagainya). Berbagai bentuk produksi tanda tubuh yang ditemukan dalam hasil liputan event ABT regional Bandung 2009 seperti dokumentasi Miss ABT, fashion dance, modern dance, penampilan DJ perempuan, berbagai potensi dan kemungkinan semiotika tubuh dieksplorasi secara tak terbatas, dengan mendekonstruksi berbagai kode, stereotip, dan konotasi yang konvensional. Berbagai kode baru dikembangkan, melampaui kode-kode yang konvensional, misalnya “pakaian berwarna hitam yang dikenakan oleh Aura Kasih itu menggairahkan”, “DJ perempuan keren dan seksi, “peragaan busana yang di pamerkan elegan banget” dan sebagainya. Dalam konteks semiotika, sebuah tanda mempunyai nilai berdasarkan kemampuannya menghasilkan makna (meaning). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ferdinand deSaussure, “Nilai sebuah kata terutama atau pertama-tama dinilai dari kemampuannya merepresentasikan gagasan, ide atau konsep tertentu”79. Pada kasus ini, tubuh dieksploitasi sebagai tanda dalam rangka mencari nilai pembedaan (differentiation)80. Nilai tanda tubuh perempuan sebagai
78
Jean Baudrillard, Symbolic Exchange and Death, hlm. 101.
79
Ferdinand deSaussure, Course in General Linguistics, Duckworth, 1990, hlm. 112.
80
Judith Williamson, Decoding Advertisements: Ideology and Meaning in Advertising, Marion
Boyars, London, 1978, hlm. 30.
69
komoditi, dapat dilihat melalui berbagai aspek berikut, yang di konstruksi di dalam sistem konoditi kapitalisme (dalam hal ini pihak sponsor atau penyelenggara event ABT)81: Pertama, tampilan tubuh (body appearance). Seringkali sistem komoditi menekankan aspek umur, yaitu kemudaan tubuh perempuan yang ditampilkan. Perempuan berumur antara 18 dan 35 tahun, yang secara visual mempunyai nilai sensualitas yang relatif tinggi merupakan figur sentral dan favorit dalam sistem komoditi kapitalisme. Sex appeal adalah unsur lain yang sering dijadikan sebagai kekuatan daya tarik tampilan. Selain itu, bentuk tubuh yang seksi, sensual, ramping, tinggi seperti dalam gambar yang ada dalam liputan Autoblackthrough 2009 regional Bandung di halaman “Miss ABT Bandung 2009 (13-14 Juni)” dan “Hiburan Berkelas Semarakan Suasana Autoblackthrough Bandung 2009 (13-14 Juni)”, merupakan modal dalam menciptakan makna sensualitas. Kedua, perilaku (manner) merupakan aspek lain yang menentukan relasi tanda tubuh (body sign) di dalam media, yang dapat dilihat dari ekspresi tubuh dengan berbagai gaya dan kecendrungannya; dari pose, dengan berbagai variasinya, seperti menantang, mempertontonkan, merayu, menggoda, mengajak, memperlihatkan gairah, dan sebagainya; dari pakaian (dengan tank top dan hot pants seperti yang gambar yang terlampir di halaman “Hiburan Berkelas Semarakan Suasana Autoblackthrough Bandung 2009 (13-14 Juni)”), dengan
81
Gillian Dyer, Advertising is Communication, Routledge, 1982, hlm. 97.
70
berbagai gaya, ukuran, dan maknanya, yang mampu memperlihatkan posisi sosial tubuh di dalam masyarakat (penghibur, eksibisionis, perayu, penantang). Ketiga, aktivitas tubuh dapat menjadi penanda bagi posisi sosialnya di dalam media. Di antara aktivitas tersebut adalah: sentuhan (touch), yang dapat memperlihatkan apakah sebatang tubuh tersebut pasif, aktif, lemah, berkuasa dan sebagainya, seperti gambar di berikut ini:
objek 1
objek 2
Secara umum, aktivitas tubuh pada kedua gambar perempuan diatas dengan pose tangan yang terangkat, dapat disamakan dengan aktivitas tubuh dalam gerakangerakan tarian musik disco remix (yang dikenal dengan musik ‘dugem’ di kalangan anak muda). Musik ‘dugem’ sendiri dapat dijadikan penanda posisi sosial seseorang. Akan tetapi, jika di telaah lebih lanjut, sentuhan (touch) dari aktivitas tubuh kedua objek diatas terdapat perbedaannya. Sentuhan (touch) tubuh perempuan pada objek yang pertama, dengan pose tangan kanan terangkat dan
71
tangan kiri diatas paha, dengan badan yang dicondongkan kedepan, menandakan tindakan menantang dari aktivitas tubuh tersebut. Sedangkan dari objek yang kedua, dua tangan yang terangkat dengan bagian dada yang dibusungkan lalu bokong yang dicondongkan menandakan tindakan menggoda. Ekspresi, perilaku dan aktivitas tubuh tersebut di atas merupakan elemenelemen utama yang dapat menciptakan berbagai tanda tubuh (body signs), yang dieksploitasi sebagai komoditi dalam rangka menimbulkan daya tarik overexposed sign, yaitu cara-cara mengekspos tubuh dan organ-organ tubuh perempuan (paha, betis, payudara, kelamin) sebagai domain tontonan publik, dengan cara memasuki dan menjajah apa yang selama ini disebut sebagai domain private di dalam sebuah kebudayaan. Penampilan perempuan dengan pakaian minim dan bagian tubuh yang ditonjolkan menunjukan overexposed sign semacam ini.
4.2.3 Dunia Simulasi mobil R/C Ketika Walter Benjamin pada tahun 1950-an mengemukakan, bahwa karya seni pada dasarnya sah saja direproduksi, karena teknologi memungkinkan untuk itu (pada waktu itu teknik reproduksi masih pada tingkat reproduksi mekanis, yang didukung oleh teknologi generasi kedua, yaitu teknologi yang dikatakan oleh Marshall McLuhan sebagai perpanjangan badan manusia). Akan tetapi, pada saat ini teknologi mekanik telah diambil alih oleh teknologi produksi generasi tingkat ketiga, dimana teknologi digerakan oleh mikroelektronik, microchips, mikroprosesor, remote control, command model, memory bank.
72
Teknologi ini merupakan perpanjangan sistem saraf manusia ketimbang anggota badan, dan dicirikan oleh komputerisasi, otomatisasi, robotisasi dan miniaturisasi yang membangunnya82. Miniaturisasi juga terjadi pada mainan remote kontrol atau yang lebih dikenal dengan sebutan R/C. Dalam event Autoblackthrough 2009 regional Bandung, kompetisi mobil R/C ikut serta sebagai bentuk acara yang di klaim oleh pihak penyelenggara sebagai bagian dari dunia otomotif (modifikasi khususnya). Definisi umum dari mobil R/C sendiri sebenarnya adalah sebuah miniaturisasi dari objek mobil yang sesungguhnya dengan mekanisme penggerakan menggunakan media yang dapat dikontrol dari jarak jauh83. Miniaturisasi bentuk akan mobil R/C merupakan simbol dari model pelipatan dunia akan miniaturisasi ruang-waktu (time-space miniaturisation)84, yang berarti baik ruang atau waktu, dapat dikerdilkan, dalam pengertian diredusir kedalam berbagai dimensi, aspek, sifat dan bentuk-bentuk asalnya, dengan cara pemidahwujudannya ke dalam wujud lain yang lebih ringkas. Inilah kondisi ketika berbagai aspek ruang-waktu diredusir ke dalam bentuk representasi, yang di dalamnya ia ditampilkan dalam media yang baru, yang mempunyai ‘hukum ruang-waktu’ sendiri, yaitu ruang-waktu media representasi. Yang jadi persoalan adalah, bahwa representasi itu sendiri ada di dalam ruang-waktu, seperti realitas yang direpresentasikannya. Ketika kekuatan representasi (tanda) ini begitu dominan, maka ia mengendalikan realitas itu sendiri, dalam pengertian ia 82
Piliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, hal. 131
83
http://www.total.or.id/info.php?kk=Remote%20control
84
Piliang, op.cit, hal. 50
73
mengklaim dirinya sebagai realitas. Pelipaan dunia di sini, berarti bahwa duni (sosial, politik, seksual, kultural, spiritual) dikerdilkan ke dalam wujud citra, dengan segala klaim kebenarannya. Di sini, dunia realitas diredusir ke dalam apa yang dikatakan oleh berbagai pemikir sebagai dunia simulasi (simulation). Miniaturisasi ruang–waktu adalah dalam pengertian dominan simulasi akan realitas, yaitu kekuatan citra dan informasi yang mengklaim dirinya sebagai realitas dan kebenaran. Seperti yang terdapat pada teks di paragraf awal dalam halaman dengan judul “Autoblackthrough Bandung 2009 (13-14/6) : ABT Drift Event”. Teks tersebut menyatakan: “ABT bukan hanya acara yang sangat menarik bagi kaum pecinta mobil otomotif namun pecinta mobil remote kontrol pun tertarik dengan ABT.” Dalam teks tersebut terpapar jelas sebuah citra tentang Autoblackthrough telah mendominasi realitas tentang sebuah dunia mobil remote kontrol yang sebenarnya bukan bagian dari kontes modifikasi mobil (dalam konteks ala sponsor). Akan tetapi, dikarenakan adanya relasi kekuasaan atas informasi (pengelola situs www.autoblackthrough.com), pihak penyelenggara mengklaim bahwa para pencinta mobil remote kontrol-lah yang ingin dijadikan acauan bahwa mereka juga bagian dari dunia otomotif yang telah diciptakan oleh sponsor. Dalam diskursus estetik posmodern, mobil R/C sendiri dapat dikatakan masuk ke dalam kategori idiom estetik yang disebut dengan Camp. Menurut Susan Sontag, camp adalah satu model estetisisme, yaitu satu cara melihat dunia sebagai satu fenomena estetik, namun estettik bukan dalam pengertian keindahan
74
atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian keartifisialan dan penggayaan85. Estetisisme semacam ini dapat dipandang positif dalam hal peranannya dalam pengembangan gaya, oleh karena ia adalah semacam pemberontakan menentang gaya elit kebudayaan tinggi. Jika keartifisialan dalam kebudayaan tinggi menjunjung konsep keindahan, kebaruan dan keontetikan, camp lebih tertarik pada duplikasi dari apa-apa yang telah ditemukan untuk tujuan dan kepentingannya sendiri. Ia menghasilkan sesuatu dari apa-apa yang sudah tersedia86. Apa yang ditekankan pada camp bukan bukanlah keunikan dari suatu karya seni, melainkan kegairahaan reproduksi dan distorsi. Seperti yang dilakukan oleh para pecinta mobil R/C dalam membongkar-pasang susunan-susunan dari material-material yang telah membentuknya. Misalkan ban yang dapat tidak lazim. Atau juga bagian chasis/ rangka yang dapat di upgrade sehingga bentuknya terdistorsi (tidak standar lagi sehingga tidak normal, dalam pengertian bentuknya tidak lagi mengacu pada realitas akan mobil yang sesungguhnya). Melalui distorsi, bentuk dibuat secara ekstrim. Camp, dengan demikian, menjunjung tinggi ketidaknormalan dan keluarbiasaan. Contoh penggunaan ideom camp pada mobil remote kontrol, dapat dilihat dalam lampiran.
85
Susan Sontag, ‘Notes on Camp’, dalam Againts Inter-pretation, Anchor Books, New York,
1991, hlm. 277. 86
Ibid, hal. 289.