BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka penelitian ini memberikan kesimpulan sebagai berikut : 1. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman tentunya harus melaksanakan kekuasaannya sesuai dengan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. Hakim Konstitusi yang berjumlah 9 (sembilan) orang tentu menjadi tumpuan utama dalam pelaksanaan kewenangan yang diberikan dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri tersebut tidak serta-merta bebas begitu saja, melainkan harus diimbangi dengan adanya akuntabilitas agar tidak terjadi penyalah gunaan wewenang atau lebih parah lagi yaitu tirani yudikatif. Oleh sebab itu, Hakim Konstitusi pun perlu diawasi baik secara internal maupun eksternal. Pengawasan Hakim Konstitusi secara internal oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi telah dikenal sejak tahun 2003. Akan tetapi, ketentuan mekanisme internal ini berulang kali mengalami perubahan-perubahan yang substansial sebagaimana pernah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi; Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PMK/2006 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 183
184
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi; Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; dan yang terbaru yaitu Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Dinamika perubahan yang terjadi terkait mekanisme pengawasan yang dilakukan, mulai dari komposisi anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi; pelaksanaan sidang dan pengaturan tentang hukum acara; maupun ketentuan terkait sifat perangkat Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tentunya membuktikan bahwa sebenarnya pengaturan terkait pengawasan internal ini masih belum baik. Selain itu, pengaturan mengenai mekanisme pengawasan ini hanya ditentukan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi, bukan oleh peraturan setingkat undang-undang. 2. Urgensi pengawasan terhadap Hakim Konstitusi sebenarnya sangat dirasakan oleh berbagai pihak bahkan oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri, khususnya setelah munculnya kasus suap yang melibatkan mantan Ketua
Mahkamah
Konstitusi,
Akil
Mochtar.
Pertama,
perlunya
pengawasan terhadap Hakim Konstitusi pernah disuarakan oleh Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV yang mengamputasi seluruh kewenangan pengawasan Komisi Yudisial, dan menyatakan bahwa Hakim Konstitusi tidak dapat diawasi oleh Komisi Yudisial. Pusat Kajian Anti Korupsi FH
185
UGM melakukan eksaminasi terhadap putusan ini sebagai bentuk penilaian bahwa terdapat kekeliruan atas Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, khususnya mengenai pelanggaran asas hukum nemo judex idoneus in propria causa. Kedua, Presiden juga mulai memperhatikan perlu adanya pengawasan terhadap Hakim Konstitusi, terlebih setelah mencuatnya
kasus
yang
mengimplementasikan
melibatkan
keperluan
Akil
pengawasan
Mochtar.
Presiden
tersebut
dengan
menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 yang memiliki 3 (tiga) substansi penting perihal pengawasan Hakim Konstitsi dengan memberikan sebagian kewenangan pengawasan tersebut kepada Komisi Yudisial, yaitu dengan pembentukan Panel Ahli guna melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon Hakim Konstitusi, dan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap bersama dengan Mahkamah Konstitusi. Ketiga, Komisi Yudisial menanggapi hal yang serupa bahwa seharusnya setiap lembaga negara di Indonesia diawasi oleh lembaga negara lain yang independen dan bukan ad hoc. Hal ini karena saat ini sudah tidak ada lagi lembaga negara tertinggi, sehingga semua lembaga
negara
akuntabilitas
perlu
terhadap
mendapatkan
pengawasan
kewenangannya
agar
sebagai tidak
wujud
terjadinya
penyalahgunaan wewenang. Munculnya kasus Akil Mochtar menimbulkan anggapan bahwa suatu lembaga yang tidak diawasi akan sangat mungkin melakukan pelanggaran karena merasa tidak dikekang bahkan tidak mendapatkan sorotan khusus perihal gerak-geriknya. Komisi Yudisial
186
sangat menyayangkan langkah Mahkamah Konstitusi yang sudah 3 (tiga) kali melakukan pengujian ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang dirinya sendiri antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor
49/PUU-IX/2011, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1, 2/PUUXII/2014. Hal demikian tentunya melanggar prinsip hukum universal nemo judex idoneus in propria causa. Keempat, urgensi pengawasan terhadap Hakim Konstitusi juga berasal dari Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Hal ini sebagaimana ditentukan adanya sebuah mekanisme penjagaan etika dan perilaku Hakim Konstitusi melalui pembentukan perangkat Dewan Etik Hakim Konstitusi yang bersifat permanen. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga mengatur secara rinci ketentuan mengenai pengawasan
internalnya
melalui
Majelis
Kehormatan
Mahkamah
Konstitusi. Kelima, putusan seumur hidup yang dijatuhkan terhadap Akil Mochtar menunjukkan bahwa Hakim Konstitusi sebagai pengemban amanah garda terakhir penjaga konstitusi memiliki pengaruh yang besar terhadap pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia dengan tugas-tugasnya yang sangat strategis dan kompleks. Dari kelima alasan urgensi tersebut, maka perlu sebuah perubahan paradigma konsep pengawasan terhadap Hakim Konstitusi. Sebelumnya hanya digagas pengembalian kewenangan Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal terhadap Hakim Konstitusi, yang sebenarnya memerlukan persyaratan sulit yaitu amandemen UUD NRI Tahun 1945.
187
Kini harus dimulai dengan adanya perhatian lebih terhadap pengawasan melalui
Majelis
Kehormatan
Mahkamah
Konstitusi,
dengan
menggagasnya menjadi lembaga yang permanen dan independen sehingga dapat berfungsi sebagai lembaga pengawasan yang preventif.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan dan pembahasan yang telah diuraikan dalam babbab sebelumnya, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1. Perlu adanya perubahan dasar hukum dan penguatan peran Komisi Yudisial dalam hal pengawasan Hakim Konstitusi, khususnya melalui keterlibatannya sebagai unsur pengawas eksternal. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan kewenangan pengawasan kepada Komisi Yudisial melalui amandemen UUD NRI Tahun 1945. 2. Dalam hal mengisi kekosongan hukum terhadap pengawasan Hakim Konstitusi, terdapat alternatif pengawasan melalui mekanisme pengawasan internal yaitu oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Sehingga perlu adanya penguatan ketentuan hukum terkait Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang diatur secara khusus dengan undang-undang. Pengawasan etik oleh Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang saat ini berlaku menimbulkan kesan bertahap-tahap. Oleh sebab itu, seharusnya Dewan Etik Hakim Konstitusi
ditiadakan
dengan
fungsinya
dirangkap
oleh
Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang bersifat tetap, bukan sekedar adhoc.
188
3. Perlu adanya perhatian yang besar dari masyarakat terkait pelaksanaan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan kajian hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dengan menggagas pengawasan publik secara masif melalui eksaminasi putusan, dan pengawalan melalui media pers. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga seharusnya membuka akses untuk melakukan pelaporan eksaminasi guna ditindaklanjuti karena Hakim Konstitusi pada dasarnya juga merupakan manusia biasa yang tidak luput dari suatu kesalahan ataupun kekhilafan.