BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1.
Perluasan Kewenangan Praperadilan Mengenai Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Perluasan kewenangan praperadilan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor
21/PUU-XII/2014
dimana
salah
satunya
mengakomodasi pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka memang dapat dipahami dari sudut pandang perlindungan terhadap hak asasi manusia. Namun demikian, perluasan kewenangan praperadilan yang berkaitan dengan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka ini tidak
dapat
dipahami
berdasarkan
gagasan
awal
pembentukan
praperadilan. Pada hakikatnya, praperadilan digunakan sebagai suatu forum bagi tersangka untuk komplain terkait upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum (baik penyidik maupun penuntut umum) terhadap dirinya. Konsep praperadilan yang semacam itu sesuai dengan konsep habeas corpus yang menginspirasi lahirnya praperadilan, karena standar habeas corpus adalah penahanan yang merupakan salah satu bentuk upaya paksa bukan penetapan tersangka.
Secara tidak langsung, sebelum adanya putusan a quo sebenarnya praperadilan sudah membuka ruang untuk pengujian terhadap sah tidaknya penetapan tersangka. Hal ini dapat dilihat dari pengujian penangkapan dan penahanan. Dalam hal pengujian alat bukti yang merupakan syarat materiil dari adanya penangkapan dan penahanan yang berupa bukti permulaan yang cukup, maka hakim sebenarnya dapat mengalihkan konsentrasinya kepada penetapan tersangka. Karena penetapan tersangka juga diawali dengan adanya bukti permulaan yang cukup. Bahwa dalam hal penangkapan dan penahanan yang dinyatakan tidak sah, maka sangat mungkin sebelumnya diawali oleh adanya penetapan tersangka yang tidak sah pula atau dengan kata lain penetapan tersangka yang tidak sah dapat membuat penahanan menjadi tidak sah pula. Meskipun demikian, pengujian penetapan tersangka di dalam forum praperadilan tetap saja tidak sesuai gagasan awal dibentuknya praperadilan itu sendiri. Bahkan jika dibandingkan dengan mekanisme pre trial di Belanda, Perancis, Italia, dan Amerika Serikat, tidak ada satupun yang diberikan kewenangan untuk menguji penetapan tersangka. Adapun yang lebih urgen untuk diuji adalah berkaitan dengan alat bukti, bukan penetapan tersangkanya. Hal ini dikarenakan berdasarkan alat buktilah semua tindakan aparat penegak hukum pada tahap pre trial seperti penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan dilakukan. Begitu urgennya pengujian alat bukti, oleh karenanya Hakim Pemeriksa
Pendahuluan sebagai pengganti praperadilan yang ada di dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengakomodasi pengujian mengenai alat bukti.
2.
Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan Dalam KUHAP Terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Perluasan kewenangan yang diberikan kepada praperadilan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang tidak diikuti dengan penguatan konstruksi pengaturan praperadilan justru menimbulkan kekacauan (chaos) dalam implementasinya. Secara umum, pokok permasalahannya terletak pada absennya aturan mengenai hukum acara praperadilan. Ini yang kemudian sangat berdampak pada teknis pemeriksaan dalam sidang praperadilan itu sendiri, baik yang berkaitan dengan pembuktiannya maupun upaya hukumnya. Praktik yang selama ini dilakukan cenderung menimbulkan ketidakpastian hukum di kalangan masyarakat. Berdasarkan praktek pemeriksaan praperadilan yang cenderung tidak mencerminkan kepastian hukum tersebut, sudah seharusnya dibentuk sebuah aturan guna menjaga kesatuan hukum di dalam pelaksanaan pemeriksaan praperadilan. Hal semacam ini sudah seharusnya dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai penjaga kesatuan hukum di kalangan hakim-hakim di bawahnya. Minimal aturan tersebut berisi teknis
beracara, teknis pembuktian dalam pemeriksaan praperadilan, tindakan yang harus dilakukan penyidik jika penetapan tersangka dinyatakan tidak sah, dan upaya hukum terhadap putusan praperadilan. Sehingga diharapkan adanya kesatuan hukum dalam pelaksanaan praperadilan sehingga memberikan kepastian hukum bagi pihak yang terlibat di dalam praperadilan yaitu tersangka dan penyidik
B. Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka saran yang diberikan adalah sebagai berikut : 1.
Dalam hal menetapkan seseorang sebagai tersangka, aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah penyidik harus sangat berhati-hati. Wujud kehati-hatian tersebut adalah pelaksanaan penyidikan yang sesuai prosedur sehingga dalam hal penetapan tersangka dilakukan dengan dasar yang kuat yaitu adanya tindak pidana dan minimal dua alat bukti. Seorang penyidik tidak dapat mencegah permohonan praperadilan mengenai pengujian penetapan tersangka yang diajukan oleh tersangka karena hal tersebut merupakan hak. Yang perlu dilakukan penyidik adalah membuktikan di dalam pemeriksaan praperadilan bahwa penetepan seseorang sebagai tersangka sudah dilakukan dengan prosedur yang tepat. Karena jika penyidik sampai kalah di dalam pemeriksaan praperadilan, maka hal tersebut membuktikan bahwa penyidik tidak profesional di dalam menjalankan tugasnya.
2.
Hakim sebagai pemeriksa pemeriksa permohonan praperadilan sudah seharusnya menghindari pemeriksaan yang sifatnya kurang substansial. Hal ini menjadi penting dikarenakan seringnya tersangka maupun penasihat hukum tersangka mendalilkan hal-hal yang sifatnya kurang subtansial untuk diperiksa guna meloloskan dirinya dari dari jeratan penetapan tersangka.
3.
Mahkamah Agung sebagai sebuah lembaga yang menaungi hakim-hakim di Pengadilan Negeri sudah seharusnya menerbitkan sebuah aturan baik berbentuk peraturan maupun surat edaran yang mengatur hukum acara praperadilan. Hal ini menjadi mendesak mengingat Mahkamah Agung mempunyai fungsi penjagaan hukum di lingkungan peradilan di bawahnya. Dengan adanya peraturan maupun surat edaran tersebut diharapkan proses pemeriksaan praperadilan menjadi lebih jelas sehingga menjamin kepastian hukum bagi masyarakat.
4.
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai sebuah lembaga legislatif sudah seharusnya mengedepankan pembahasan mengenai Rancangan UndangUndang Hukum Acara Pidana disamping juga Rancangan UndangUndang Hukum Pidana. Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana memang sudah masuk ke dalam prioritas di dalam Program Legislasi Nasional 2015 – 2019. Namun hal itu bukan merupakan jaminan bahwa Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana akan benar-benar dibahas dan dapat diselesaikan sampai masa kerja Dewan Perwakilan Rakyat 2015 – 2019 berakhir. Oleh karenanya, diperlukan
itikad baik dari Dewan Perwakilan Rakyat guna melakukan pembahasan terkait Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengingat RUU tersebut dinilai sangat mendesak keberadaannya.