BAB V KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, penulis menghimpun beberapa simpulan, antara lain (1) proses pembentukan mi, ji, dan pi serta penggunaannya sebagai perwujudan interferensi bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia; (2) makna partikel mi, ji dan pi berdasarkan spesifikasi semantisnya; (3) faktor penyebab penggunaan partikel mi, ji dan pi. Pada pembahasan pertama, partikel mi, ji, dan pi
diketahui berasal dari
bentuk ma‘sudah’, -ja ‘, dan payang berasal dari bahasa Bugis-Makassar.Masingmasing partikel tersebut terpengaruh secara morfofonemik oleh penggunaan prefiks pronominal ketiga tunggal –i yang berarti ‘dia’. Hal tersebut didasarkan pada kaidah pembentukan kalimat bahasa daerah Bugis-Makassar yang secara gramatikal membolehkan fungsi sintaksis berpola P+S (Predikat+Subjek), seperti pada kalimat “Pergi ki” yang berarti ‘Dia pergi’, “Makan ka” yang berarti ‘Saya makan’. Hal serupa terjadi pada penerapan sufiks pronominal terhadap bentuk dasar ma, ja, dan pa.
Secara
singkat
disimpulkan
bahwa
partikel mi
berasal
dari proses
pembentukanpartikel dasar ma ‘sudah’ + -i ‘dia’ (afiks pronominal ketiga tunggal). Demikian halnya yang terjadi pada partikel ji dan pi yang merupakan gabungan dari ja + -i dan juga pa + -i yang kemudian menghasilkan bentuk mi, ji, dan pi. Dijelaskan lebih lanjut, bunyi vokal rendah bulat [a] terebut melesap di hadapan vokal tinggi tak bulat [i], sehingga partikel yang seharusnya mai dilafalkan menjadi mi. Penjelasan
117
serupa diuraikan terhadap partikel ji dan pi. Pembahasan selanjutnya mengungkap penggunaan partikel mi, ji, dan pi ke dalam kalimat berbahasa Indonesia sebagai perwujudan interferensi bahasa. Sebagai temuan dalam perwujudan interferensi tersebut, diuraikan penggunaan masingmasing partikel dalam kalimat yang dihimpun ke dalam 14 tabulasi. Sebagai contoh, partikel mi menginterfensi kalimat berita bahasa Indonesia dengan menggantikan kosakata bahasa Indonesia ‘sudah’ seperti pada kalimat “Hampir mi selesai.” yang berarti ‘sudah hampir selesai.’. Pada interferensi ini, pola struktur kalimat bahasa daerah Bugis-Makassar juga dianggap memiliki pengaruh terhadap munculnya penggunaan partikel tersebut. Pada
pembahasan
kedua,
diungkap
makna
masing-masing
pertikel.
Pemaknaan tersebut mencakup spesifikasi semantis yang dimilikinya. Ketiga partikel tersebut diuraikan memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan kosakata yang terganti, dapat dilihat bagaimana makna dan fungsi masing-masing partikel tersebut. Yang menjadi hal menarik bagi pembahasan ini adalah bagaimana sebuah kosakata atau satuan morfem dapat mewakili beberapa fungsi makna. Pada penggunaan partikelmi, misalnya, partikel ini dapat mewakili partikel klitika ‘-lah’ seperti pada kalimat “Makan mi!”. Di samping itu, partikel tersebut juga dapat berarti ‘sudah’ seperti pada kalimat “Selesai mi.”. Selain itu, penulis juga menemukan makna ‘saja’ seperti pada kalimat “Kau mi yang pergi” yang berarti ‘Kamu saja yang pergi.’. Perubahan makna tersebut didasarkan pada jenis kalimat yang digunakan
118
(kalimat berita, perintah, negasi, maupun tanya). Demikian halnya yang terjadi pada partikel ji dan pi. Pada partikel ji berarti ‘saja’; ‘-kan’; ‘kok’; ‘benarkah’; dan ‘sungguh’. Temuan yang menarik sehubungan dengan penggunaan partikel ji ini ialah penulis tidak menemukan penggunaan partikel tersebut ke dalam kalimat perintah. Hal ini didasarkan oleh kegramatikalan partikel ji yang terbatas dan tidak dapat berfungsi di dalam kalimat jenis perintah. Pada partikel pi, makna partikel ini juga dapat berbagai macam, bergantung pada jenis kalimat yang diisinya. Partikel ini dapat berarti ‘setelah’, ‘nanti’, ‘saja’ ‘lagi’, dan ‘jadi’. Pada simpulan (3), diuraikan pembahasan perihal penyebab masyarakat Bugis-Makassar menggunakan partikel mi, ji, dan pi ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Terdapat sekurang-kurangnya lima faktor yang menjadi penyebab penggunaan partikel mi, ji, dan pi dalam tuturan bahasa Indonesia masyarakat BugisMakassar, yaitu (1) faktor keakraban; (2) faktor efisiensi bahasa; (3) faktor keperluan penanda semantis; (4) faktor identitas budaya, dan terakhir (5) faktor situasi tutur. Kelima faktor terebut diuraikan secara spesifik sehingga terungkap gambaran tentang alasan mengapa masyarakat penutur bahasa ini menggunakan partikel mi, ji dan pi ke dalam bahasa Indonesia.
119
SARAN Berdasarkan kesimpulan di atas dan demi pengembangan penelitian sejenis, penulis dengan segala keterbatasannya memberikan saran sebagai berikut: 1. Peneliti yang berminat untuk meneliti interferensi bahasa, khususnya pada ragam bahasa Indonesia nonformal di Makassar, agar kiranya dapat memfokuskan penelitian terhadap analisis morfosintaksis. Hal ini didasarkan atas temuan penulis yang menunjukkan adanya keterkaitan antara penggunaan bentuk kosakata daerah, seperti partikel mi, ji, dan pi, dan pola kalimat bahasa daerah Bugis Makassar. 2. Peneliti yang berminat mengungkap makna semantis bentuk atau kosakata daerah bahasa Bugis-Makassar, agar kiranya dapat mengungkap kosakatakosakata lainya, seperti kata padeng, mami, palek, di, na, to, tong, rong, kodong, kasi dan lain sebagainya. Penulis melihat adanya kecenderungan masyarakat penutur bahasa tersebut menyisipkan kosakata tersebut ke dalam percakapan sehari-hari. Penelitian tentang interferensi dianggap memiliki peran penting dalam kajian sosiolinguistik. Di samping itu, kajian semantik dalam mengungkap makna kosakata yang menginterferensi bahasa juga dianggap sangat menarik. Paduan dua teori tersebut, menurut penulis, sangatlah menarik dilakukan untuk mengkaji fenomena bahasa yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia. secara khusus, penulis melihat adanya kemungkinan masyarakat penutur bahasa lainnya
120
di luar Sulawesi Selatan yang juga menemukan fenomena interferensi bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.Oleh karenanya, objek penelitian tentang interferensi ini masih merupakan lahan yang masih terbuka bagi pengembanganpengembangan penelitian kebahasaan.
121