95
BAB V PENERAPAN KEWAJIBAN SERTIFIKASI BAGI TENAGA AHLI KONSTRUKSI DI INDONESIA
V.1.
Dampak Lain Penerapan Kepemilikan Sertifikat Keahlian (SKA)
Dampak lain akibat diwajibkannya tenaga ahli konstruksi memiliki Sertifikat Keahlian (SKA) adalah munculnya suatu perusahaan yang bergerak dibidang jasa pelayanan pengurusan sertifikat dan surat ijin untuk pekerjaan konstruksi, yaitu Sertifikat Keahlian (SKA), Sertifikat Keterampilan (SKT), Sertifikat Badan Usaha (SBU), Surat Ijin Usaha Jsa Konstruksi (SIJK) dengan biaya dan persyaratkan yang telah mereka tetapkan.
Tabel V.1. Biaya yang ditawarkan oleh konsultan pelayanan jasa pengurusan Sertifikat Keahlian (SKA) BIAYA PROSES SKA-PJT & SKA-PJB JUMLAH BIDANG
SKA-PJB PER-BIDANG
SKA-PJT
ADM & JASA
TOTAL
1 Bidang
2.500.000
3.000.000
500.000
6.000.000
2 Bidang
5.000.000
3.000.000
1.000.000
9.000.000
3 Bidang
7.500.000
3.000.000
1.500.000
12.000.000
4 Bidang
10.000.000
3.000.000
2.000.000
15.000.000
5 Bidang
12.500.000
3.000.000
2.500.000
18.000.000
(Sumber www.andhyka.com)
Informasi lain mengenai prosedur pengurusan sertifikasi tenaga ahli ini sendiri tidak didapatkan, seperti, apakah tenaga ahli tersebut harus mengikuti proses sertifikasi seperti pengurusan srtifikat keahlian di asosiasi profesi, atau tenaga ahli tidak perlu mengikuti ujian sertifikasi dan dijanjikan mendapatkan Sertifikat Keahlian. Hal ini sangat penting karena akan berpengaruh terhadap tujuan sertifikasi tenaga ahli itu sendiri.
96
Dengan munculnya perusahaan konsultan yang menawarkan jasa pengurusan SKA ini bisa mengakibatkan beberapa dampak, antara lain: 1. Dampak positif Dampak positif akan dirasakan jika konsultan ini hanya sebagai fasilitator yang membantu konsumennya untuk pengurusan Sertifikat Keahlian yang dianggap sebagian tenaga ahli terlalu rumit dan banyaknya pungutan-pungutan liar dari pihak-pihak yang berkepentingan. Proses sertifikasi tenaga ahli konstruksi tetap sesuai dengan peraturan yang ada dan tidak ada jaminan yang diberikan oleh konsultan kepada konsumennya. Sehingga kompetensi tenaga ahli yang memiliki Sertifikat Keahlian sesuai dengan kualifikasi dan klasifikasi yang terdapat pada Sertifikat Keahlian tersebut.
2. Dampak negatif Dampak ini akan menjadi negatif jika konsultan ini memberikan jaminan kepada konsumennya untuk mendapatkan Sertifikat Keahlian walaupun konsumen tersebut
diwajibkan
mengikuti
proses
sertifikasi
tenaga
ahli,
atau
bahkankonsumen tersebut tidak perlu mengikuti prosesnya dan hanya cukup menunggu beberapa hari yang dijanjikan oleh konsultan tersebut.
V.2.
Usulan
Penerapan
Kewajiban
Sertifikasi
Bagi
Tenaga
Ahli
Konstruksi di Indonesia Penerapan kewajiban sertifikasi bagi tenaga ahli konstruksi, seperti yang telah disebutkan dalam Peraturan Perundang-undangan (UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi terutama Pasal 9) dilakukan secara bertahap, dan sampai saat ini telah dilakukan beberapa tahapan penerapan kebijakan tersebut, yaitu: 1. Persyaratan kepemilikan tenaga ahli konstruksi bersertifikat keahlian baru diwajibkan untuk pengadaan barang dan jasa konstruksi instansi pemerintah. 2. Pengadaan barang dan jasa pemerintah mewajibkan anggota tim inti proyek (khusus tenaga ahli bidang keteknikan) yang diajukan oleh kontraktor kualifikasi menengah dan besar memiliki Sertifikat Keahlian (SKA). 3. Untuk pengurusan Sertifikat Badan Usaha (SBU), kontraktor dengan kualifikasi menengah dan besar harus memiliki minimal 1 (satu) Penanggung
97
Jawab Teknis dan 1 (satu) Penanggung Jawab Bidang (PJB) untuk setiap bidang pekerjaan bersertifikat keahlian.
Dalam penerapannya, permintaan Sertifikat Keahlian menjadi tinggi dan kurangnya pengawasan terhadap proses sertifikasi oleh pihak yang bewenang sehingga terdapat beberapa Asosiasi Profesi yang melakukan praktek jual beli sertifikat, hal ini mengakibatkan kompetensi tenaga ahli konstruksi tidak terjamin. Karena permasalahan tersebut, muncul ide untuk membatasi tenaga kerja yang wajib memiliki Sertifikat Keahlian karena jika tetap pada prinsip UUJK yang mengatakan ”semua tenaga ahli konstruksi harus memiliki SKA” akan berakibat lebih buruk untuk terhadap perkembangan masyarakat jasa konstruksi di Indonesia dan hal ini akan menghambat terwujudnya tujuan UUJK yaitu mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas.
Untuk pembatasan jumlah tenaga ahli, kita dapat mengacu kepada negara lain yang telah lama dan sukses melakukan sertifikasi profesi bagi tenaga ahli konstruksi, salah satunya Australia. Alasan lain mengapa diusulkan untuk mengacu kepada Austrlia karena sistem sertifikasi yang mereka gunakan hampir sama dengan sistem sertifikasi yang sedang berjalan di Indonesia, yaitu kepemilikan Sertifikat Keahlian hanya diwajibkan kepada tenaga ahli yang bertanggung jawab tehadap suatu bidang pekerjaan pada proyek konstruksi sehingga tidak perlu terjadi perubahan yang sangat signifikan, karena untuk pelaksanaan usulan kebijakan ini kita tetap mengacu kepada sistem yang telah ada di Indonesia dengan melakukan sedikit perubahan. Beberapa perubahan yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Sertifikat Keahlian bagi tenaga ahli konstruksi tidak dibedakan berdasarkan kualifikasi keahlian yang bertujuan untuk terciptanya kesamaan persyaratan minimum (pendidikan dan penglaman kerja) dalam pengurusan Sertifikat keahlian. Tenaga ahli yang telah mendapatkat Sertifikat Keahlian disebut dengan sebutan “professional Engineer”
98
a. Untuk persyaratan pendidikan, kita tetap mengacu kepada sistem yang telah ada yaitu minimal D3 dan S1, karena jumlah tenaga ahli konstruksi di Indonesia yang berlatang belakang pendidikan D3 sangat banyak (dari survei diketahui 25% tenaga ahli belatar belakang pendidikan D3). b. untuk persyaratan pengalaman kerja, kita membagi menjadi dua bagian, yaitu untuk berlatar belakang pendidikan S1 kita mengacu kepada persyaratan Professional Engineer di Australia, yaitu 3 tahun pengalaman kerja (di Indonesia sama dengan persyaratan untuk mendapatkan Sertifikat Keahlian Madya) dan untuk yang berlatar belakang pendidikan D3 harus memiliki penglaman kerja minimal 5 tahun. Perbedaan 2 tahun pengalaman kerja tersebut diasumsikan sebagai konversi pembelajaran dari pendidikan D3 ke S1. c. Dalam penerapannya, tenaga ahli telah memiliki SKA dengan kualifikasi Madya dan Utama otomatois menjadi “professional Engineer”, dan bagi tenaga ahli yang telah memiliki SKA dengan kualifikasi Muda harus memenuhi persyaratan (pengalaman) untuk menjadi ahli Madya, baru bisa disamakan dengan “professional Engineer”
2. Sertifikat Keahlian hanya dibedakan berdasarkan klasifikasi yaitu, Arsitektur, Sipil, Mekanikal, Elektrikal, dan Tata Lingkungan. Untuk klasifikasi yang lebih spesifik di usulkan untuk menjadi Sertifikat Keahlian yang bersifat sukarela, yang persyaratannya tergantung kebutuhan pasar industri konstruksi. Hal ini bertujuan supaya seorang tenaga ahli tidak harus memiliki lebih dari satu Sertifikat Keahlian.
3. Bagi lulusan perguruan tinggi dan tenaga ahli yang belum memiliki penglaman kerja untuk sementara harus memiliki SKA-P dan bekerja dibawah tanggungjawab dan pengawasan tenaga ahli yang telah memiliki Sertifikat Keahlian, karena proses akreditasi program studi perguruan tinggi di Indonesia belum mengikutsertakan masyarakat jasa konstruksi, sehingga lulusan perguruan tinggi belum tentu sesuai atau memenuhi selera pasar konstruksi.
99
4. Sertifikasi tenaga ahli konstruksi tetap dilakukan oleh Asosiasi Profesi yang telah terakreditasi oleh LPJK, tetapi LPJK perlu melakukan penyeleksian yang ketat dalam mengakreditasi Badan Sertifikasi Keahlian (BSA) yang dimiliki oleh Asosiasi Profesi dan LPJK juga harus melakukan pengawasan yang lebih terhadap proses sertifikasi yang dilakukan Asosiasi Profesi untuk menghindari terjadinya pratek “jual beli” Sertifikat Keahlian yang berlangsung sampai saat ini.