BAB IV PENGEMBANGAN MODEL MANAJEMEN KINERJA SERTIFIKASI TENAGA KERJA KONSTRUKSI DAN IDENTIFIKASI INDIKATOR KINERJA PEDOMAN AKREDITASI
4.1.
Analisis Kebutuhan Manajemen Kinerja Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi
4.1.1. Kebutuhan Kompetensi dan Daya Saing Tenaga Kerja Konstruksi dan Badan Usaha Jasa Konstruksi Indonesia Tantangan ke depan bagi industri jasa konstruksi semakin berat baik berasal dari pasar konstruksi nasional maupun dari pasar konstruksi global (internasional). Pada pasar konstruksi nasional, pemerintah telah melakukan investasi besar-besaran kurang lebih 38 Trilyun untuk pembangunan infrastruktur pada tahun 2008. Booming pasar konstruksi nasional diiringi pula dengan adanya permintaan pasar konstruksi global misalnya dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika kepada Indonesia untuk terlibat dalam pasar konstruksi mereka yang mencapai nilai USD 50 Billion dan kebutuhan tenaga kerja kontruksi pada pasar global secara keseluruhan diperkirakan mencapai 533 juta orang-jam (Nazirin, 2006). Untuk dapat meraih peluang dalam pasar konstruksi nasional dan global tersebut, dibutuhkan kompetensi dan daya saing yang tinggi baik dari segi tenaga kerja konstruksi maupun badan usaha jasa konstruksi. Menjadi pertanyaan, akankah industri jasa konstruksi mau mengambil peluang ini ataukah tidak? Pertanyaan tidak terputus sampai di sini, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, mampukah industri jasa konstruksi meraih peluang tersebut. Terutama sejak terjadinya krisis moneter tahun 1998, kondisi tenaga kerja konstruksi dan badan usaha jasa konstruksi Indonesia mengalami masalah dari segi kompetensi atau kualitas dan dari segi jumlah. Banyak badan usaha jasa konstruksi yang terpaksa gulung tikar dan berdampak pula pada pemecatan tenaga kerja konstruksi dalam jumlah besar. Kompetensi atau kualitas pun menjadi terabaikan, badan usaha jasa
IV-1
konstruksi dan tenaga kerja konstruksi memfokuskan pada upaya mempertahankan diri menghadapi krisis moneter tersebut. Menyadari adanya selisih yang cukup besar antara kompetensi dan daya saing tenaga kerja konstruksi dan badan usaha jasa konstruksi yang senyatanya dengan kompetensi dan daya saing tenaga kerja konstruksi dan badan usaha jasa konstruksi yang diharapkan untuk mampu menjawab tantangan kompetensi dan daya saing dari pasar konstruksi nasional dan global, masyarakat jasa konstruksi berupaya melakukan transformasi untuk mempercepat peningkatan kompetensi dan daya saing tenaga kerja kosntruksi dan badan usaha jasa konstruksi Indonesia baik dari segi kompetensi maupun dari segi jumlah. Hal ini diwujudkan antara lain dengan perombakan pada regulasi jasa konstruksi Indonesia yang termaktub dalam UU No. 18 Tahun 1999. Salah satu upaya transformasi tersebut adalah dengan diberlakukannya sistem sertifikasi bagi tenaga kerja konstruksi. Sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi memiliki andil terbesar dalam menjamin kompetensi dan meningkatkan daya saing tenaga kerja konstruksi di Indonesia. Hal ini diuraikan dalam Pasal 9 UU No. 18 Tahun 1999 sebagai berikut: ” (1) Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan harus perseorangan harus memiliki sertifikat keahlian. (2) Pelaksana konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat keahlian kerja. (3) Orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha sebagai perencana konstruksi atau pengawas konstruksi atau tenaga tertentu dalam badan usaha pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian. (4) Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja.” yang dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 15 PP No. 28 Tahun 2000, sebagai berikut: ”(1) Tenaga kerja konstruksi harus mengikuti sertifikasi keterampilan kerja atau sertifikasi keahlian kerja yang dilakukan oleh Lembaga, yang dinyatakan dengan sertifikat.
IV-2
(2) Sertifikat keterampilan kerja diberikan kepada tenaga kerja terampil yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu. (3) Sertifikat keahlian kerja diberikan kepada tenaga kerja ahli yang telah memenuhi
persyaratan
berdasarkan
disiplin
keilmuan
dan
atau
kefungsian dan atau keahlian tertentu. (4) Sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat keahlian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),secara berkala diteliti/ dinilai kembali oleh Lembaga. (5) Pelaksanaan sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh asosiasi profesi atau institusi pendidikan dan pelatihan yang telah mendapat akreditasi dari Lembaga.” Bagaimana Lembaga (LPJK: Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) sebagai pengelola sertifikasi tenaga kerja konstruksi mampu merespon ini semua menjadi hal penting. Sejak ditetapkannya aturan sertifikasi pada tahun 1999, tujuan transformasi melalui sertifikasi dengan meningkatkan kompetensi dan daya saing tenaga kerja konstruksi Indonesia belum sepenuhnya dapat tercapai. Pemberian peran besar terhadap masyarakat jasa konstruksi Indonesia oleh negara melalui deskripsi klausulklausul dalam UU No. 18 Tahun 1999 belum bisa dilaksanakan secara optimal. Sebaliknya, sistem regulasi ini telah melahirkan berbagai misinterpretasi dengan respon konflik kepentingan antar stakeholders melalui munculnya upaya perebutan wewenang politik ekonomi di industri jasa konstruksi, misalnya kebijakan sertifikasi (BPKSDM, 2007). Perundang-undangan jasa konstruksi sebenarnya memberikan peluang besar terhadap masyarakat jsa konstruksi untuk terlibat aktif menciptakan profesionalisme, bersinergi, mengembangakan kemitraan saling asah, saling asih, saling asuh, dan saling menguntungkan tetapi kenyataannya telah terjadi disparitas dan polarisasi berbagai kepentingan kelompok. Indikasinya adalah munculnya organisasi tandingan yang saling tanding dan sebagai pressure group. Akibatnya Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), Asosiasi Perusahaan, dan Asosiasi Profesi
belum
memberikan
peran
strategis
profesionalisme untuk industri jasa konstruksi.
IV-3
dalam
mendorong
terciptanya
Kondisi ini berakibat adanya kecenderungan bertambahnya selisih antara kompetensi dan daya saing tenaga kerja konstruksi dan badan usaha jasa konstruksi Indonesia yang
senyatanya
dengan
yang
diharapkan.
Sebagai
konsekuensi
dengan
ditandatanganinya perjanjian General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), World Trade Organization (WTO), Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) oleh Pemerintah Indonesia, termasuk ratifikasi perubahan ASEAN Free Trade Area (AFTA) dari semula tahun 2003 dipercepat menjadi tahun 2002, maka sertifikasi harus dibenahi sehingga dapat menjamin pemenuhan kompetensi dan daya saing tenaga kerja konstruksi dan badan usaha jasa konstruksi yang diharapkan. Potensi konflik akibat banyak tenaga kerja konstruksi yang menganggur dan badan usaha jasa konstruksi Indonesia yang tersudutkan oleh masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia harus dihindari. (Gambar 4.1)
Gambar 4.1 Kebutuhan Kompetensi dan Daya Saing Tenaga Kerja Konstruksi dan Badan Usaha Jasa Konstruksi Indonesia
IV-4
4.1.2. Permasalahan dalam Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi Dalam rangka meningkatkan daya saing industri jasa konstruksi nasional khususnya dalam peningkatan kompetensi tenaga kerja konstruksi, UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi mengamanatkan untuk mewajibkan kepemilikan sertifikat bagi tenaga kerja konstruksi. Dalam pelaksanaan sertifikasi tersebut, ditemui permasalahan-permasalahan dalam sistem sertifikasi yang menyebabkan proses sertifikasi tidak berjalan sesuai dengan tujuan yang diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 1999. Beberapa permasalahan tersebut berkaitan dengan Bakuan Kompetensi; Asesor; Badan Sertifikasi Asosiasi (BSA)/Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK); dan Jumlah; Struktur Pasokan/Supply Tenaga Kerja Konstruksi; dan Kelembagaan. 1. Permasalahan Bakuan Kompetensi Adanya ketidaktegasan aturan mengenai bakuan/standar kompetensi yang digunakan memungkinkan pelaksanaan program sertifikasi untuk suatu klasifikasi bidang/sub bidang yang sama menggunakan standar kompetensi yang berbeda. Keberagaman ini lebih besar terjadi pada sertifikasi keahlian dibandingkan dengan sertifikasi keterampilan kerja, karena pada umumnya untuk sertifikasi keterampilan kerja menggunakan SKKNI. Walaupun demikian, penggunaan standar kompetensi yang berbeda-beda tersebut telah berusaha dikendalikan dengan adanya persyaratan pembakuan bakuan kompetensi dan adanya penilaian terhadap standar kompetensi yang digunakan dalam program sertifikasi BSA/BSK pada saat akreditasi oleh LPJK (BPKSDM, 2007). Beberapa permasalahan berkaitan dengan Bakuan Kompetensi, antara lain: -
Dalam proses sertifikasi oleh BSA dan/atau BSK digunakan 2 (dua) jenis Bakuan Kompetensi tenaga kerja konstruksi: a. Bakuan Kompetensi yang disusun oleh organisasi induk BSA dan/atau BSK; b. Bakuan Kompetensi (SKKNI: Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang disusun melalui Konvensi dan ditetapkan oleh LPJK.
-
Telah ditetapkan ± 200 SKKNI sampai saat ini, yang belum ada data pemanfaatannya (efesiensi dan efektivitas).
IV-5
-
Tahun 2008 dan tahun-tahun mendatang direncanakan akan disusun ± 600 SKKNI.
2. Permasalahan Asesor Asesor adalah orang yang melakukan penilaian kelulusan peserta untuk setiap keahlian dan keterampilan kerja tertentu. Validitas penilaian sangat ditentukan oleh kompetensi Asesor. Asesor yang tidak memiliki kemampuan, akan menghasilkan penilaian yang keliru, sehingga pengakuan kompetensi dalam sertifikat pun tidak menunjukkan kompetensi tenaga kerja konstruksi yang sebenarnya. Permasalahan berkaitan dengan Asesor adalah: -
Dalam proses sertifikasi oleh BSA dan/atau BSK digunakan 2 (dua) jenis Asesor: a. Asesor yang ditetapkan oleh organisasi induk BSA dan/atau BSK; b. Asesor yang telah mendapat pelatihan asesor oleh LPJKN.
-
Terdapat ± 900 Asesor (yang belum bersertifikat Asesor, baru Sertifikat Pelatihan), hasil 19 Angkatan Pelatihan Asesor (2 angkatan pelatihan ± 110 orang, dilakukan oleh Dewan Pengurus LPJKN 2007-2011).
-
Direncanakan untuk diberikan Sertifikat Asesor bagi Asesor yang dinilai layak oleh Tim Verifikasi Asesor LPJKN.
3. Permasalahan
Badan
Sertifikasi
Asosiasi
(BSA)/Badan
Sertifikasi
Keterampilan (BSK) Pengaturan dalam Pedoman Akreditasi No. 70 Tahun 2001, No. 112 Tahun 2004, dan No.113 Tahun 2005 yang diterbitkan oleh Dewan Pengurus LPJK Nasional, wewenang penyelenggaraan penyelenggaraan proses sertifikasi (uji kompetensi) dapat didelegasikan oleh LPJK kepada Asosiasi Profesi dan Institusi Diklat. Pelaksanaan sertifikasi tenaga kerja konstruksi dilakukan oleh Badan Sertifikasi Asosiasi (BSA) dan/atau Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK) Asosiasi Profesi atau Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK) Institusi Pendidikan dan Pelatihan (Institusi Diklat) yang telah mendapat akreditasi dari LPJK. Asosiasi Profesi yang BSA/BSK-nya telah diakreditasi dapat melakukan sertifikasi tenaga ahli dan tenaga terampil, sedangkan Institusi Diklat yang BSK-nya telah diakreditasi hanya dapat melakukan sertifikasi tenaga terampil. Kemudian, Tenaga kerja konstruksi
IV-6
yang telah mendapat sertifikat keterampilan kerja atau sertifikat keahlian kerja wajib mengikuti registrasi yang dilakukan oleh LPJK. BSA/BSK tersebut hanya dapat menerbitkan sertifikat untuk klasifikasi dan kualifikasi tertentu yang menjadi wewenangnya berdasarkan ketetapan akreditasi yang tercantum dalam Ketetapan Akreditasinya. Tabel 4.1 Statistik Jumlah Badan Sertifikasi Asosiasi (BSA) dan Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK) sampai dengan 20 Juni 2008 BSA/BSK
2007
2008
14 Agustus
3 Mei
20 Juni
BSA
22
25
35
Asosiasi Profesi
6
6
6
Institusi Diklat
17
17
21
Total
23
23
27
Total BSA/BSK
45
48
6
BSK
Beberapa permasalahan berkaitan dengan BSA/BSK, antara lain: 1. Perbedaan Kinerja antara BSA/BSK Kegiatan BSA dalam kurun waktu 14 Agustus 2007 s/d 20 Juni 2008 terdapat 10 BSA atau 45% hanya melakukan sertifikasi ≤ 96 T.K.K. Sebaliknya terdapat 1 BSA, melakukan sertifikasi 8076 T.K.K. atau rata-rata 800 T.K.K./bulan. 2. Kegiatan Sertifikasi oleh BSA dan BSK tidak dipantau (monitoring) dengan baik oleh LPJKN atau LPJKD, sebagaimana ditunjukkan oleh : -
Data hasil kegiatan BSA/BSK dalam Sistem Informasi LPJKN tidak sinkron.
-
Ada beberapa BSK melakukan Sertifikasi di luar wilayahnya tanpa memberitahu LPJKD.
-
Pengawasan oleh LPJKN dan atau LPJKD belum terancang/terstruktur dengan baik.
3. Terdapat Pedoman Akreditasi, Sertifikasi, dan Registrasi ditetapkan 7 tahun yang lalu (Pedoman Akreditasi Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi No. 70/2001 dan Pedoman Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Ahli Jasa KonstruksiNo. 71/2001).
IV-7
4. Permasalahan Jumlah dan Struktur Pasokan/Supply Tenaga Kerja Konstruksi Dalam sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi Indonesia, tenaga kerja konstruksi dibedakan atas tenaga ahli dan tenaga terampil. Setiap tenaga kerja konstruksi memiliki klasifikasi dan kualifikasi tertentu. Klasifikasi tenaga kerja konstruksi merupakan penggolongan profesi keterampilan dan keahlian kerja orang perseorangan di bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu dan atau kefungsian dan atau keahlian masing-masing. Kualifikasi tenaga kerja konstruksi adalah penggolongan profesi keterampilan dan keahlian kerja orang perseorangan di bidang jasa konstruksi menurut tingkat/kedalaman kompetensi dan kemampuan profesi dan keahlian. (PP No. 28 Tahun 2000). Klasifikasi dan Kualifikasi ini ditunjukkan dengan kepemilikan Sertifikat Keahlian (SKA) untuk tenaga ahli dan Sertifikat Keterampilan Kerja (SKTK) untuk tenaga terampil. Berdasarkan data LPJKN, 2008, diketahui struktur pasokan/supply tenaga kerja konstruksi, sebagai berikut: 1. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia yang mempunyai SKA/SKT, baru 6.5% (dari 3.5 juta Tenaga Kerja Indonesia per tahun) Hal ini menunjukkan adanya ancaman tenaga kerja asing masuk ke Indonesia dan menjadikan pasar konstruksi nasional dikuasai oleh asing. 2. Untuk Tenaga Ahli, jumlah terkecil pada T.A. Utama 3.26 %, diikuti T.A. Madya 25%, dan terbesar T.A. Muda 71.74% Perkiraan kebutuhan kompetensi pasar konstruksi terhadap tenaga ahli menekankan pada kebutuhan Tenaga Ahli Madya yang mampu mengerjakan proyek dengan teknologi sedang dan tinggi. Data menunjukkan bahwa kebutuhan ini tidak terpenuhi karena sebagian besar tenaga ahli Indonesia merupakan tenaga ahli muda. 3. Untuk Tenaga Terampil, jumlah terkecil pada Tk III 7.92% diikuti Tk II 36%, dan Terbesar Tk I 40.08% Kebutuhan Tenaga Pelaksana (Tk III) tidak terpenuhi dan Tenaga Kerja Terampil hanya bekerja pada proyek dengan teknologi sederhana.
IV-8
Perlu diupayakan peningkatan kinerja sertifikasi tenaga kerja konstruksi dalam upaya percepatan pencapaian jumlah tenaga kerja konstruksi bersertifikat. Tabel 4.2 Statistik Jumlah Tenaga Kerja Konstruksi Bersertifikat (SKA dan SKTK) sampai dengan 20 Juni 2008 No.
Sampai dengan
1
14 Agustus 2007
2
3 Mei 2008
3
20 Juni 2008
Jumlah Tenaga Ahli (org) yang memperoleh SKA Muda Madya Utama 22,674 8,156 1,284 32,114 36,278 12,541 1,718 50,537 41,412 14,437 1,887 57736 (25.43 %)
Total Tenaga Kerja (org) Sumber: disarikan dari data LPJKN, 2008
Jumlah Tenaga Terampil (org) yang memperoleh SKTK Tk III Tk II Tk I 6,628 25,755 42,461 161,762 12,246 54,903 62,862 157,185 13,401 60,950 67,806 169296 (74.57 %)
227,032
5. Permasalahan Kelembagaan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) UU No. 18 Tahun 1999 memiliki orientasi untuk mengikutsertakan peran serta masyarakat jasa konstruksi dalam pengembangan jasa konstruksi. Manifestasi peran masyarakat di industri jasa konstruksi tersalurkan melalui suatu wadah Forum dan Lembaga. Lembaga adalah organisasi sebagaimana dimaksud dalam UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yang bertujuan untuk mengembangakan kegiatan jasa konstruksi (PP No. 28 Tahun 2000, Pasal 1). Unsur-unsur Lembaga, meliputi: -
Asosiasi perusahaan jasa konstruksi
-
Asosiasi profesi jasa konstruksi
-
Pakar dan Perguruan Tinggi yang berkaitan dengan jasa konstruksi
-
Instansi Pemerintah yang terkait
Tugas dan wewenang LPJK berkaitan dengan sertifikasi tenaga kerja konstruksi adalah memberikan akreditasi kepada Asosiasi Profesi, Institusi Diklat dalam penyelenggaraan sertifikasi keahlian dan/atau sertifikasi keterampilan kerja; melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi; dan memberikan sanksi kepada Asosiasi Profesi dan/atau Institusi Diklat terakreditasi dari LPJK atas pelanggaran yang dilakukan. IV-9
Struktur kelembagaan LPJK sekarang ditunjukkan dalam Gambar berikut.
Gambar 4.2 Struktur Kelembagaan LPJK Sekarang
Menurut BPKSDM, 2007 dalam buku “Reorientasi Kelembagaan dan Program Kerja LPJK”, terdapat permasalahan dalam ketidakjelasan tata kelola LPJK terkait dengan: (1) ketidakjelasan dan kerancuan “governance” unit organisasi dan kedudukan
masing-masing
unsur;
dan
(2)
ketidakpastian
mekanisme
“pengintegrasian” Lembaga, Forum, dan Pemerintah. Diusulkan pula 3 alternatif tata kelola kelembagaan LPJK untuk memperbaiki masalah di atas. Ditunjukkan dalam Gambar berikut.
Gambar 4.3 Alternatif Tata Kelola Kelembagaan (1) dengan Dewan Pengawas dan Alternatif Tata Kelola Kelembagaan (2) tanpa Dewan Pengawas
Perbedaan antara alternative 1 dan 2 terletak pada ada/tidaknya Dewan Pengurus dimana bila fungsi sebagai pertimbangan disepakati ada di Dewan Pengurus,
IV-10
maka keberadaan Dewan Pengawas dapat dihapuskan. Perubahan yang diusulkan untuk menjamin profesionalisme dan kredibilitas adalah terletak pada susunan keanggotaan dan waktu jam kerja. Diusulkan Dewan Pengurus bekerja semi paruh waktu dan Bapel bekerja penuh waktu serta berasal dari PNS atau rekrutmen baru. Komite baik tetap maupun tidak tetap dibentuk sebagai medium kerja para anggota dewan LPJK, secara prinsip komite merumuskan pemikiran-pemikiran cerdas bagaimanan implementasi tugas lembaga sejauh belum bisa/tidak ditangani oleh Bapel. Salah satunya terkait dengan Komite Akreditasi. Selanjutnya rekomendasi tata kelola lembaga masa depan digambarkan menyerupai tata kelola suatu perusahaan bisnis.
Gambar 4.4 Rekomendasi Tata Kelola Lembaga Masa Depan
4.1.3. Kebutuhan Manajemen Kinerja Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi Manajemen berbasis kinerja merupakan suatu metode untuk mengukur kemajuan program atau aktivitas yang dilakukan organisasi sektor publik dalam mencapai hasil atau outcome yang diharapkan oleh klien, pelanggan, dan stakeholder lainnya. Manajemen kinerja merupakan proses yang sistematik dan dilakukan secara berkelanjutan dan berjangka panjang. Fokus manajemen kinerja mempengaruhi pendekatan manajemen kinerja yang dipilih dan harus disesuaikan dengan visi, misi, tujuan, dan strategik organisasi. Manajemen kinerja membutuhkan proses sistematis. Untuk itu, perlu dikembangkan (sistem) manajemen kinerja yang tepat untuk mencapai kinerja optimal. Sistem merupakan serangkaian prosedur, langkah, atau tahap yang tertata dengan baik yang membentuk suatu siklus. Manajemen kinerja IV-11
dilakukan secara berkelanjutan dan berjangka panjang, meliputi kegiatan penetapan rencana strategik, pengukuran kinerja, pengumpulan data kinerja, dan pelaporan kinerja. Rencana strategik perlu disesuaikan dengan kondisi lingkungan eksisting dan perubahan lingkungan yang terjadi. Yang dimaksud lingkungan di sini dapat bersifat internal (budaya kerja organisasi) dan eksternal (perubahan tuntutan pasar). Mempertimbangkan kebutuhan pasar konstruksi nasional dan global atas kompetensi dan daya saing tenaga kerja konstruksi serta adanya permasalahan dalam sertifikasi tenaga kerja konstruksi, maka kinerja sertifikasi tenaga kerja konstruksi perlu ditingkatkan. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mendongkrak kinerja sertifikasi tenaga kerja konstruksi adalah Manajemen Kinerja. Dalam konteks peningkatan kinerja sertifikasi tenaga kerja konstruksi, manajemen kinerja perlu difokuskan untuk mengatur seluruh komponen sertifikasi tenaga kerja konstruksi, terutama komponen yang menimbulkan masalah. Komponen tersebut dapat berupa input, proses, output, outcome, dan impact. Tanpa mengatur komponen sertifikasi tenaga kerja konstruksi, maka kinerja sertifikasi tenaga kerja konstruksi tidak dapat dikendalikan.
4.2.
Pengembangan Model Konseptual Manajemen Kinerja Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi
Model Manajemen Kinerja Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi adalah suatu sistem konseptual pengaturan kinerja proses sertifikasi tenaga kerja konstruksi oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), yang terdiri atas berbagai subsistem proses sertifikasi, subsistem organisasi, dan subsistem panduan/acuan yang terintegrasi secara terpadu untuk mencapai tujuan sertifikasi tenaga kerja konstruksi pada tahun 2015. Tujuan yang hendak dicapai tersebut adalah tenaga kerja konstruksi mempunyai kompetensi dan daya saing sesuai kebutuhan pasar konstruksi nasional dan pasar konstruksi global. Dari sudut pandang proses manajemen, model manajemen kinerja sertifikasi tenaga kerja konstruksi dikembangkan dalam beberapa tahapan dimulai dari perumusan strategi, perencanaan strategik, penyusunan program, penganggaran, implementasi,
IV-12
monitoring, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja, umpan balik dan tindakan koreksi. Untuk menciptakan organisasi yang memiliki kinerja tinggi, organisasi perlu memiliki manajemen kinerja yang terintegrasi dengan pengendalian manajemen. Manajemen kinerja mengandung pengukuran kinerja yang akan digunakan untuk mengetahui tingkat pencapaian strategi dalam mencapai tujuan organisasi.
Gambar 4.5 Tahapan Proses Manajemen Kinerja Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia (STKKI)
4.2.1. Model Subsistem Proses Sertifikasi Model subsistem proses sertifikasi menggambarkan rangkaian proses sertifikasi tenaga kerja konstruksi, unit organisasi yang terlibat, dan pedoman/acuan yang digunakan. Dalam model subsistem proses sertifikasi di atas terdapat 3 proses utama, yaitu Proses Akreditasi – Proses Sertifikasi – Proses Registrasi.
IV-13
1. Akreditasi: Proses penilaian kelayakan (kompetensi dan kinerja) Badan Sertifikasi Keahlian (BSA) dan/atau Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK) oleh LPJK (Komite Akreditasi). 2. Sertifikasi : Proses penilaian kompetensi dan kemampuan profesi keterampilan kerja dan keahlian seseorang tenaga kerja konstruksi dalam rangka mendapatkan SKA dan/atau SKT oleh BSA dan/atau BSK. 3. Registrasi : Proses/kegiatan
untuk
menentukan
kompetensi
profesi
keterampilan kerja dan/atau keahlian dalam rangka penerbitan SKA dan/atau SKT oleh LPJK. Tampak pula urutan proses dalam sertifikasi tenaga kerja konstruksi dimana terdapat hubungan yang bersifat sequential dimana input pada proses berikutnya merupakan output pada proses sebelumnya. Dimulai dengan Asosiasi Profesi dan/atau Institusi Diklat mengajukan permohonan Akreditasi kemudian diproses dalam proses Akreditasi bersama input lainnya menghasilkan BSA/BSK. BSA/BSK kemudian menjadi salah satu input bagi proses Sertifikasi sehingga proses Akreditasi harus sudah selesai dilaksanakan sebelum dilanjutkan dengan proses sertifikasi (uji kompetensi). Proses sertifikasi yang menghasilkan Tenaga Kerja Konstruksi (TKK) Lulus Uji Kompetensi merupakan salah satu input untuk proses Registrasi dan sesudah proses Sertifikasi menghasilkan tenaga kerja konstruksi yang lulus uji kompetensi tadi, kemudian dilakukan proses Registrasi oleh LPJK menghasilkan SKA/SKT Tenaga Kerja Konstruksi.
IV-14
Gambar 4.6 Model Subsistem Proses Sertifikasi
Berkaitan dengan manajemen kinerja, adanya hubungan input-output antar proses menyebabkan kinerja Akreditasi akan mempengaruhi kinerja Sertifikasi dan akan mempengaruhi kinerja Registrasi. Kinerja akreditasi yang jelek akan menghasilkan kualitas output BSA/BSK yang menjadi input bagi proses Sertifikasi, sehingga dapat mengakibatkan rendahnya kualitas output TKK Lulus Uji Kompetensi. Walaupun TKK Lulus Uji Kompetensi kemudian menjadi input proses Registrasi dan mengurangi kualitas database SKA/SKT TKK sebagai output proses Registrasi namun secara langsung tidak mempengaruhi kinerja proses Registrasi dan mengurangi kualitas output SKA/SKT, karena proses Registrasi hanya merupakan proses pencatatan.
4.2.2. Model Subsistem Organisasi Dalam mengembangakan model subsistem organisasi sertifikasi tenaga kerja konstruksi secara tidak langsung mengacu pada organisasi LPJK. Model subsistem organisasi yang dikembangkan disini mengacu pada alternatif (1) yang disampaikan oleh BPKSDM (2007) karena mendukung profesionalisme pelaksanaan kegiatan organisasi.
IV-15
Tata kelola alternatif (1) memperjelas governance LPJK dan kedudukan masingmasing unsur sehingga peran LPJK dapat dilaksanakan secara profesional, sejalan dengan penjelasan PP No. 28 Tahun 2000 Pasal 25 (2) bahwa: 1. Untuk menjamin profesionalisme, keterbukaan, dan kemandirian Lembaga, maka sekurang-kurangnya lembaga memiliki unsur perumus dan pengawas kebijakan Lembaga, serta unsur pelaksana operasional kebijakan Lembaga; 2. Unsur-unsur perumus dan pengawas kebijakan terdiri atas wakil-wakil anggota Lembaga yang dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada masyarakat anggota Lembaga 3. Unsur pelaksana kegiatan operasional kebijakan Lembaga diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada unsur perumus dan pengawas kebijakan Lembaga 4. Yang dapat diangkat sebagai unsur pelaksana kegiatan operasional Lembaga harus memiliki kriteria profesional,Yang dapat diangkat sebagai unsur pelaksana kegiatan operasional Lembaga harus memiliki kriteria profesional, berintegritas, independen, objektif, dan bekerja penuh waktu.
Gambar 4.7 Model Subsistem Organisasi
Lingkup dan tugas masing-masing perangkat organisasi, meliputi: 1. MUNAS merupakan pemegang kekuasaan tertinggi Lembaga. 2. DEWAN PENGAWAS, bertugas mengawasi penetapan kebijakan Lembaga dan operasionalisasinya oleh Sekretariat Lembaga (Bapel). Bekerja paruh
IV-16
waktu dan Dipilih melalui tahap seleksi ”kompetensi dan karakter” dan ditetapkan oleh MUNAS. 3. DEWAN PENGURUS, bertugas menetukan kebijakan dengan cakupan kegiatan yang lebih pada hal-hal strategik serta membangun hubungan eksternal. Dipilih melalui tahap seleksi ”kompetensi dan karakter” dan ditetapkan oleh MUNAS. Bekerja semi paruh waktu. 4. SEKRETARIAT LEMBAGA (BADAN PELAKSANA), merupakan organ eksekutif kebijakan Lembaga bersifat profesional dan menerus serta mengembangkan kapasitas Lembaga secara berkelanjutan. Sifat personil penuh waktu dan dapat berasal dari PNS maupun rekruitmen baru. Stuktur organisasi penting dalam manajemen kinerja karena menentukan garis pertanggungjawaban unit organisasi.
4.2.3. Model Subsistem Pedoman / Acuan Model peningkatan kinerja dilakukan secara berkelanjutan, bertolak dari tahun 2008 kemudian ditentukan bahwa target perbaikan kinerja akreditasi akan dicapai pada tahun 2013, dilanjutkan dengan pencapaian target perbaikan kinerja sertifikasi pada tahun 2014 dan pencapaian target perbaikan registrasi pada tahun 2015 dimana mencapai kondisi Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi (A, S, R) berkinerja baik. Kurun waktu 7 tahun dianggap cukup untuk dilakukannya perbaikan kinerja masingmasing proses dan adanya proses perbaikan secara bertahap tidak sekaligus. Selang waktu 1 tahun antar kegiatan akreditasi, sertifikasi, dan registrasi berguna untuk memberikan waktu untuk memperbaiki.
Gambar 4.8 Model Peningkatan Kinerja secara Berkelanjutan
IV-17
Perbaikan kinerja juga dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan pada tiap-tiap komponen subsistem proses Akreditasi, Sertifikasi, dan Registrasi. Sebagai ilustrasi dilakukannya perbaikan kinerja secara bertahap dan berkelanjutan untuk komponen subsistem Pedoman/Acuan. Dimana diawali dengan penetapan target-target untuk setiap tahapan yang pada akhirnya mencapai target kondisi ideal.
Gambar 4.9 Model Subsistem Pedoman/Acuan
4.3.
Pengembangan Model Konseptual Pengukuran Kinerja Akreditasi Tenaga Kerja Konstruksi
4.3.1. Perumusan Strategi Tahap perumusan strategi merupakan tahap penting dalam manajemen kinerja. Kesalahan dalam merumuskan strategi akan berakibat kesalahan arah organisasi. Strategi dan usaha difokuskan untuk mencapai tujuan. Dalam perumusan strategi, organisasi merumuskan visi, misi, dan tujuan organisasi. Perumusan strategi merupakan kegiatan merancang atau menciptakan masa depan yang membutuhkan ketajaman visi dan intuisi.
IV-18
Berkaitan dengan sertifikasi tenaga kerja konstruksi dalam model konseptual perumusan strategi ini ditetapkan bahwa: Visi sebagai kondisi organisasi yang diharapkan tercapai di masa depan untuk sertifikasi tenaga kerja konstruksi adalah ”Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia memiliki kompetensi dan berdaya saing di pasar konstruksi nasional dan pasar konstruksi global”. Misi sertifikasi tenaga kerja konstruksi adalah memberikan pelayanan sertifikasi dengan profesional dan berkualitas baik dari segi pedoman yang digunakan, bakuan kompetensi, unit pelaksana (Komite Akreditasi, Asesor, BSA/BSK, Bapel), dan proses dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan sertifikasi tenaga kerja konstruksi adalah: ”Menjamin kompetensi tenaga kerja konstruksi yang bersertifikat dan meningkatkan jumlah tenaga kerja konstruksi bersertifikat mealui perbaikan komponen input pada setiap tahapan proses sertifikasi tenaga kerja konstruksi.” Sebagai contoh tujuan sertifikasi tenaga kerja konstruksi di atas diturunkan pada tujuan akreditasi tenaga kerja konstruksi adalah ”Menjamin standar kelayakan Asosiasi Profesi dan/atau Institusi Diklat sebagai badan-lembaga (BSA/BSK) yang menyelenggarakan sertifikasi tenaga kerja konstruksi.”
4.3.2. Konsep Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja perlu dilakukan pada seluruh komponen dalam subsistem proses sertifikasi tenaga kerja konstruksi yang meliputi 15 komponen. 15 komponen ini dapat dikatakan sebagai faktor keberhasilan kritis kinerja sertifikasi tenaga kerja konstruksi karena berpengaruh terhadap pencapaian kinerja yang diharapkan Adapun komponen yang perlu diukur meliputi: 1. Institusi Diklat dan Asosiasi Profesi 2. Komite Akreditasi
IV-19
3. Pedoman Akreditasi 4. Proses Akreditasi 5. Badan Sertifikasi Asosiasi (BSA) / Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK) 6. Tenaga Kerja Konstruksi pemohon sertifikasi 7. Bakuan Kompetensi 8. Asesor 9. Pedoman Sertifikasi dan Registrasi 10. Proses Sertifikasi 11. Tenaga Kerja Konstruksi Lulus Uji Kompetensi 12. Badan Pelaksana LPJKN/LPJKD 13. Proses Registrasi 14. Sertifikat Keahlian (SKA) / Sertifikat Keterampilan Kerja (SKT) Pada prinsipnya, pengukuran kinerja dilakukan dengan membandingkan setiap komponen terhadap standar kinerja terbaik masing-masing komponen. Standar kinerja terbaik memuat indikator-indikator kinerja dengan nilai tertentu. Oleh karena itu, indikator kinerja untuk melakukan benchmarking harus sama dengan indikator yang ada pada standar kinerja terbaik. Seluruh komponen tersebut harus diperbaiki sehingga dapat dicapai tujuan akhir sertifikasi tenaga kerja konstruksi dalam menghasilkan tenaga kerja konstruksi yang memiliki kompetensi dan daya saing di pasar konstruksi nasional dan pasar konstruksi global. Khusus untuk pengukuran kinerja akreditasi meliputi 5 komponen input, proses, dan output dari kegiatan akreditasi. 1. Institusi Diklat dan Asosiasi Profesi 2. Komite Akreditasi 3. Pedoman Akreditasi 4. Proses Akreditasi 5. Badan Sertifikasi Asosiasi (BSA) / Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK)
IV-20
4.4.
Identifikasi Indikator Kinerja Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi
Yang dimaksud dengan Kinerja Pedoman Akreditasi adalah tingkat pencapaian pengaturan (pedoman) dalam menjamin standar kelayakan Asosiasi Profesi dan/atau Institusi Diklat sebagai badan-lembaga (BSA/BSK) yang menyelenggarakan sertifikasi tenaga kerja konstruksi. Yang dimaksud Indikator Kinerja Pedoman Akreditasi adalah alat atau sarana untuk mengukur tingkat pencapaian pengaturan (pedoman) dalam menjamin standar kelayakan Asosiasi Profesi dan/atau Institusi Diklat sebagai badan-lembaga (BSA/BSK) yang menyelenggarakan sertifikasi tenaga kerja konstruksi. Identifikasi indikator kinerja dikembangkan dengan menggunakan kerangka berpikir Balanced Scorecard dimana memasukkan 4 perspektif. Struktur perspektif yang digunakan adalah Perspektif Pelanggan – Perspektif Proses Bisnis Internal – Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan – Perspektif Keuangan.
IV-21
Tabel 4.3 Identifikasi Indikator Kinerja Pedoman Akreditasi Perspektif Perspektif Pelanggan (Bagaimana menciptakan nilai bagi pelanggan)
Tujuan Sejauhmana pengaturan dalam pedoman menjamin kelayakan (kompetensi dan kinerja) Asosiasi Profesi dan/atau Institusi Diklat sebagai BSA/BSK?
Perspektif Proses Internal (Bagaimana membangun keunggulan?)
Sejauhmana pengaturan dalam pedoman menjamin independensi, profesionalisme dan kredibilitas Komite Akreditasi?
Sejauhmana pengaturan dalam pedoman menjamin independensi, profesionalisme dan kredibilitas Asosiasi Profesi dan/atau Institusi Diklat sebagai BSA/BSK? Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Bagaimana upaya terus menerus dalam melakukan perubahan dan perbaikan nilai?)
Sejauhmana pengaturan dalam pedoman menjamin adanya perbaikan kelayakan (kompetensi dan kinerja) Asosiasi Profesi dan/atau Institusi Diklat sebagai BSA/BSK?
Perspektif Keuangan (Bagaimana menambah nilai dan mengurangi biaya operasional?)
Sejauhmana pengaturan dalam pedoman menjamin dukungan anggaran kegiatan akreditasi yang tidak berpotensi terjadinya konflik kepentingan dalam pemberian akreditasi?
Ukuran (Indikator) Kinerja Indeks Persyaratan Kelayakan Administratif Indeks Persyaratan Kelayakan Penyelenggara BSK Asosiasi Profesi 3. Indeks Persyaratan Kelayakan Kelengkapan Sarana dan Prasarana 4. Indeks Persyaratan Kelayakan Program Sertifikasi 5. Indeks Independensi Komite Akreditasi (susunan keanggotaan, struktur organisasi, dll) 6. Indeks Profesionalisme Komite Akreditasi (tidak berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, dll) 7. Indeks Kredibilitas Komite Akreditasi (persyaratan kemampuan personil, dll) 8. Indeks Independensi BSA/BSK (struktur kelembagaan, struktur organisasi, dll) 9. Indeks Profesionalisme BSA/BSK (bekerja penuh waktu, dll) 10. Indeks Kredibilitas BSA/BSK (persyaratan kemampuan personil, dll) 11. Persentase jumlah laporan kegiatan BSA/BSK dibanding total BSA/BSK 12. Persentase jumlah review laporan kegiatan yang diumpan balik ke BSA/BSK dibanding total laporan kegiatan BSA/BSK
Cara Mengukur
1. 2.
13. Indeks potensi konflik kepentingan akibat pendanaan kegiatan akreditasi
Indeks =
∑ ( Nilai * Bobot ) ∑ ( Bobot ) i
i
i
Dimana: i = komponen persyaratan i. Skala penilaian 0-4 dimana 0 adalah yang terburuk dan 4 adalah yang terbaik.
Persentase =
A *100% B
Dimana: A = jumlah besaran subsistem B = jumlah besaran sistem
Indeks =
∑ ( Nilai * Bobot ) ∑ ( Bobot ) i
i
i
Dimana: i = komponen persyaratan i. Skala penilaian 0-4 dimana 0 adalah yang terbaik dan 4 adalah yang terburuk.