144
BAB V. KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN
V.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat polimorfisme promoter gen FPN1-1355G/C pada remaja putri dengan ADB dengan frekuensi genotip CC sebesar 38,5%, CC sebesar 53,5%, dan GG sebesar 7,7%, sedangkan pada remaja putri non-ADB didapatkan 14,3% genotip CC, 85,7% genotip CG dan tidak ditemukan genotip GG. Tidak terdapat perbedaan frekuensi genotip GG, CG, dan CC pada remaja putri dengan ADB dan non-ADB. 2. Kadar Hb, MCV, MCH, dan MCHC tidak berbeda bermaknaantara kelompok subjek ADB dengan CG dan CCdibandingkan dengan kelompok subjek nonADB dengan genotip yang sama. 3. Rerata kadar feritin serum lebih rendah pada kelompok subjek ADB dengan genotip CG dan CC dibandingkan kelompok subjek non-ADB dengan genotipyang sama. 4. Rerata kadar besi serum lebih rendah pada kelompok subjek ADB dengan genotip CG dan CC dibandingkan kelompok subjek non-ADB dengan genotipyang sama. 5. Terdapat korelasi positif asupan zat besi dengan kadarbesi serum pada remaja putri pondok pesantren di Yogyakarta, namun kekuatan korelasi lemah. 6. Asupan zat besi berkorelasi negatif dengan kadar feritin serum pada remaja putri pondok pesantren di Yogyakarta.
145
7. Subjek pembawa alel C memiliki risiko 2 kali atau probabilitas 67,06% untuk mengalami anemia defisiensi besi dibandingkan subjek pembawa alel G. V.2. Saran 1. Prevalensi anemia di pondok pesantren cukup tinggi sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada lokasi pondok lainnya dengan jumlah sampel yang lebih besar. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut jenis polimorfisme lain pada gen yang mengatur metabolisme besi, salah satunya pada regulator aksi kerja feroportin yaitu hepcidin (HAMP). 3. Perlu diteliti penyebab kurangnya asupan besi pada remaja putri di pondok pesantren, salah satunya menilai asupan zat makanan yang mengurangi atau meningkatkan absorbsi zat besi. 4. Penting bagi masyarakat atau pengurus pondok pesantren untuk mulai meningkatkan kualitas asupan bahan makanan dan cara pengolahan bahan makanan yang baik untuk mengontrol anemia pada remaja putri terutama di pondok pesantren. V.3. Ringkasan V.3.1. Latar Belakang Menurut World Health Organization(WHO), secara global prevalensi defisiensi besi di negara berkembang dua sampai lima kali prevalensi anemia. Organisasi WHO menyatakan anemia mempengaruhi 1,62 juta orang di dunia (24,8%) (WHO, 2001; WHO, 2008; Johnson-Wimbley & Graham, 2011).
146
Prevalensi defisiensi besi bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin dan kondisi fisiologis, patologis, lingkungan dan sosial ekonomi serta tahap kehidupan (WHO, 2001; Deegan et al., 2005). Salah satu kelompok yang rentan mengalami anemia adalah remaja putri dan hal ini terbukti dengan masih tingginya prevalensi anemia defisiensi besi pada remaja putri. OrganisasiWHO (2008) melaporkan bahwa prevalensi anemia pada wanita tidak hamil yaitu 30,2% atau 468,4 juta orang. Prevalensi anemia pada wanita tidak hamil di kawasan Asia Tenggara (usia 15-49 tahun) adalah 45,7%, sedangkan pada anak usia sekolah (5-15 tahun) sebesar 13,6% (WHO, 2001). Indonesia memiliki prevalensi anemia pada wanita tidak hamil usia reproduktif mencapai 33,1%, lebih tinggi dari prevalensi anemia di dunia (WHO, 2008). Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004melaporkan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi pada remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19-45 tahun sebesar 39,5%. Prevalensi anemia secara nasional setelah disesuaikan untuk kelompok perempuan, laki-laki dan anak-anak (adjusted for group) adalah sebesar 14,8%. Terdapat 20 provinsi yang mempunyai prevalensi anemia lebih besar dari prevalensi nasional,salah satunya termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta dengan angka prevalensi sebesar 15% (menurut acuan SK Menkes)(Depkes RI, 2008). Hasil penelitian Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan Fakultas Kedokteran UGM tahun 2012 menunjukkan bahwa 34% dari 280 remaja putri/siswi SMA mengalami anemia. Hal ini disebabkan banyak terjadi kesalahpahaman mengenai diet di kalangan remaja (Pemerintah Kota Jogja, 2013). Data terbaru menurut
147
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi anemia gizi besi secara nasional pada remaja usia 13-18 tahun sebesar 22,7%. Data-data tersebut mengindikasikan bahwa anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Kasus anemia di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh kekurangan Fe sehingga disebut juga anemia gizi besi.Remaja putri di Pondok Pesantren juga mempunyai risiko terkena anemia,sedangkan di satu sisi mereka masih dalam proses belajar, tumbuh dan berkembang serta proses pematangan seksual yang sangat membutuhkan gizi yang berkualitas. Asupan zat gizi santriwati di pesantren yang pernah diteliti masih di bawah Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan.Penyediaan makanan di pesantren pada umumnya sangat sederhana sehingga besar kemungkinan santriwati penghuni pesantren tidak dapat memenuhi kebutuhan zat gizi mereka (Permaesih et al., 1988). Penelitian Wahyuni dan Basuki (2002)menemukan angka kejadian anemia pada remaja putri di pondok pesantren di Surabaya yaitu 65,5%. Penelitian lain di pesantren Tarbiyah Islamiyah Pasir Kecamatan IV Angkat Candung Sumatera Barat menemukan prevalensi anemia sebesar 39,6% (Isniati, 2007). Asupan zat gizi santriwati di pesantren yang pernah diteliti masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan.Penyediaan makanan di pesantren pada umumnya sangat sederhana sehingga besar kemungkinan santriwati penghuni pesantren tidak dapat memenuhi kebutuhan zat gizi mereka (Permaesih et al., 1988). Pengelola makanan di pondok pesantren biasanya bukan berasal dari latar belakang gizi sehingga menyebabkan perencanaaan menu belum
148
memperhatikan kebutuhan gizi santri. Siklus menu makanan di pondok pesantren juga tidak bervariasi terutama menu lauk pauk dan sayuran (Khasanah, 2010; Tika, 2012). Feroportin merupakan suatu protein transporter yang banyak diekspresikan pada enterosit absorptif duodenal (basolateral subcellular localization), plasenta, jaringan makrofag hati (sel Kupffer), limpa dan sumsum tulang (Abboud, 2000; Yang, 2002; Canonne-Hergaux, 2005; Donovan, 2000). Ekspresi feroportin menyebabkan penurunan besi sitosolik dan kadar feritin, sedangkan pelepasan besi yang diperantarai oleh eksporter feroportin akan meningkatkan kadar besi plasma (Nemeth et al., 2004; Cui et al., 2009). Ekspresi feroportin juga dipengaruhi oleh regio promoter gen FPN1. Hallendorff (2008) secara in-silico pernah meneliti perubahan nukleotida G menjadi C pada promoter gen FPN1pada posisi -1355 dengan hasil adanya pengaktifan faktor transkripsi baru FOXC1 yang terikat pada iron responsive element (IRE) 5’ sehingga tetap terjadi translasi feroportin. Peningkatan ekspresi feroportin menyebabkan ekspor besi juga meningkat sehingga menurunkan kadar feritin dalam serum. Di Indonesia, penelitian terkait polimorfisme promoter gen feroportinFPN1-1355G/C pernah dilakukan pada wanita hamil di Surakarta. Frekuensi genotip GC+CC mencapai 100% pada wanita hamil dengan ADB dan 95,2%pada wanita hamil anemia tanpa defisiensi besi. Alel C merupakan faktor risiko ADB ibu hamil pada penelitian ini (Istiqomahet al., 2013).Menurut Data HapMap, frekuensi alel polimorfik 5’-UTRFPN1 -1355G/C (rs 3811621) pada populasi Asia sebesar 10,4-16,2%.
149
Asupan makanan pararemaja putri tidak dapat menyediakan cukup zat gizi untuk memenuhi kebutuhannya sehingga status zat besi dan kadar Hb pada kelompok remaja putri dapat menjadi faktor predisiposisi anemia maternal (Hyderet al., 2001). Dengan mengetahui penyebab anemia defisiensi besi pada remaja diharapkan dapat mencegah dan mengurangi angka kejadiannya karena masa remaja merupakan masa terbaik untuk melakukan intervensi anemia defisiensi. Pentingnya peran gen feroportindalam regulasi status besi dalam tubuh dan efek gangguan perannya terhadap kejadian anemia defisiensi besi menjadikannya sebagai kandidat gen yang berpengaruh terhadap kejadian anemia defisiensi besi. Penelitian ini mengkaji hubungan polimorfisme gen FPN1 -1355G/C terhadap kejadian anemia defisiensi besi pada remaja putri di pondok pesantren di Yogyakarta. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis hubungan parameter status besi yaitu kadar feritin serum dan kadar besi serum serta asupan zat besi pada remaja putri di Pondok Pesantren di Yogyakarta. V.3.2. Tinjauan Pustaka Anemia adalah kondisi turunnya jumlah total hemoglobin atau jumlah sel darah merah. Defisini anemia secara fungsional adalah menurunnya kemampuan darah untuk membawa oksigen ke jaringan sehingga menyebabkan hipoksia jaringan, sedangkan defisiensi besi merupakan defisiensi besi jaringan fungsional dan ketiadaan simpanan besi dengan atau tanpa kondisi anemia.Anemia defisiensi besi merupakan bentuk anemia akibat ketiadaan zat besi yang cukup untuk
150
membentuk sel darah merah (Johnson-Wimbley &Graham, 2011; McKenzie, 2010). Secara umum, defisiensi besi terjadi saat zat besi dari asupan makanan tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh dan simpanan besi menurun untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh(Johnson-Wimbley & Graham, 2011). Gejala anemia defisiensi besi ditunjukkan dengan adanya keluhan pucat, mudah lelah, gelisah, pusing, sakit kepala, nafas pendek, gangguan indera pengecap, angular stomatitis, dan kelopak mata tampak pucat (Alton, 2005). Dari semua kelompok umur, kelompok remaja putri dengan jumlah sekitar 1-2 milyar orang dari populasi dunia merupakan kelompok yang rentan menderita anemia.Anemia pada remaja merupakan masalah kesehatan masyarakat karena angka kejadiannya cukup tinggi yaitu 20%.Indonesia memiliki prevalensi anemia pada wanita tidak hamil usia reproduktif mencapai 33,1% sehingga termasuk permasalahan
masyarakat
kategori
sedang
(WHO,
2001;
WHO,
2008).Berdasarkan SKRT tahun 1995 dan 2001, prevalensi anemia remaja putri secara berturut-turut adalah 57,1% dan 28,3%.Prevalensi anemia pada remaja putri tahun 2006 sebesar 28% (Depkes RI, 2007).Riskesdas (2013) melaporkan prevalensi anemia gizi besi pada remaja putri usia 13-18 tahun sebesar 22,7%. Kasus anemia di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh kekurangan Fe sehingga disebut juga anemia gizi besi.Oleh karena itu, anemia gizi besi menjadi salah satu fokus dalam perbaikan gizi masyarakat selain defisiensi vitamin A dan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) (Kementerian Kesehatan RI,
151
2011).Anemia zat besi ini terjadi karena pola konsumsi makanan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang sulit diserap (non heme iron). Sedangkan daging sebagai bahan pangan hewan yang diketahui sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi (Depkes, 2003). Rendahnya simpanan besi pada wanita usia reproduktif membuat rentan terkena anemia defisiensi besi pada saat hamil karena asupan makanan saja tidak mencukupi kebutuhan besi ibu hamil(Beard, 2000). Beberapa akibat anemia pada remaja putri antara lain: (1) penurunan kemampuan dan konsentrasi belajar; (2) gangguan pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal; (3) penurunan kemampuan fisik olahragawati; (4) mengakibatkan muka pucat (Depkes RI, 2001). Defisiensi besi juga mempunyai efek merugikan bagi proses pembelajaran, memori dan atensi pada masa pra remaja dan masa remaja (Beard, 2003). Menurut Suominen et al. (1998), transisi dari kondisi besi normal sampai terjadinya ADB membutuhkan proses sekuensial yaitu menipisnya simpanan besi (tahap 1) kemudian diikuti habisnya cadangan besi dan menyebabkan
berkurangnya kompartemen besi fungsional karena
hilangnya zat besi yang terus terjadi (tahap 2). Tahap 3 merupakan kondisi anemia defisiensi besi yang merupakan tahap berkurangnya besi fungsional secara progresif. Pesantren merupakan salah satu tempat potensial terjadi anemia karena di pesantren para remaja tinggal di asrama dan cenderung untuk mengkonsumsi menu makanan yang tidak beragam.Asupan zat gizi santriwati di pesantren yang
152
pernah diteliti masih di bawah AKG yang dianjurkan karenapada umumnya penyediaan makanan sangat sederhana sehingga besar kemungkinan santriwati penghuni pesantren tidak dapat memenuhi kebutuhan zat gizi mereka (Permaesih et al., 1988). Penelitian Wahyuni dan Basuki (2002) menemukan bahwa adanya korelasi positif antara pola makan dan kejadian anemia pada remaja putri pondok pesantren di Surabaya yaitu remaja putri dengan pola makan buruk mempunyai risiko terkena anemia 12 kali lipat dibandingkan remaja putri dengan pola makan baik.Angka kejadian anemia pada remaja putri pada penelitian tersebut masih tinggi yaitu 65,5%. Organisasi WHO (2001) menetapkan kadarhemoglobin (Hb) normal pada anak usia 12-14 tahun dan wanita tidak hamil (> 15 tahun) adalah 12 g/dL, kadar di bawah nilai tersebut maka dikatakan anemia. Defisiensi besi menyebabkan eritropoeisis terganggu yang ditandai dengan penurunan kadar mean corpuscular volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin (MCH), mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC), dan kadar Hb. Anemia dengan kadar MCV atau MCH rendah disebabkan oleh defisiensi besi (Pasricha et al., 2010). Pemeriksaan status besi dapat menegakkan diagnosis dari defisiensi besi. Kadar besi serum merupakan nilai dari jumlah zat besi yang terikat pada transferin.Kadar besi serum ditentukan oleh absorpsi besi intestinal dan daur ulang besi hemoglobin oleh makrofag.Kadar besi serum normal pada pria adalah 65–176 μg/dL dan wanita 50–170 μg/dL.Sintesis heme inadekuat akibat suplai besi suboptimal ditunjukkan dengan retikulosit dan eritrosit muda sebelum akhirnya terjadi penurunan
153
kadar hemoglobin atau indeks eritrosit (McKenzie, 2010; Lych, 2011). Pemeriksaan kadar feritin dapat digunakan sebagai skrining bagi ADB karena hasilnya sangat baik dan lebih murah serta lebih dari 97% pasien ADB diketahui mempunyai kadar feritin serum < 12 ng/mL (Wians et al., 2001). Feritin merupakan iron storage protein, namun disekresikan ke dalam plasma sehingga kadar feritin serum proporsional dengan simpanan besi dalam tubuh (Lee, 1999). Banyaknya feritin yang dikeluarkan dalam darah secara proporsional menggambarkan banyaknya simpanan besi di dalam hati.Di dalam tubuh, sebagian kecil feritin disekresikan ke dalam plasma dan kadar feritin plasma atau serum tersebut berkorelasi positif dengan jumlah simpanan besi tubuh dalam keadaan bebas inflamasi. Kadar feritin sirkulasi setara dengan jumlah simpanan besi total dalam tubuh (1 ng/mL ≈ 8 mg simpanan besi) (Pettitet al., 2011). Nilai kadar feritin serum rendah menunjukkan penurunan simpanan besi (WHO, 2011). Penggunaan dan penyimpanan besi diatur oleh mekanisme transkripsi dan pasca transkripsi pada tingkat seluler dan sistemik (De Domenico et al., 2008), tetapi Andrews (2008) menyatakan bahwa regulasi homeostasis besi seluler terutama diatur pasca transkripsi. Secara umum, regulasi pasca transkripsi menjadi cara tercepat dan termudah untuk mengontrol tingkat ekspresi protein dengan merubah kecepatan sintesis mRNA spesifik menggunakan repressor atau stabilizer proteins yang pada metabolisme besi disebut IRP/IRE regulatory
154
network.Sistem regulator IRE/IRP juga berperan penting untuk mengontrol keseimbangan besi sistemik dan IRE juga ditemukan pada mRNA yang menyandikan dua transporter besi duodenal yaitu feroportin dan DMT1 (Abound & Haile, 2000). Feroportin-1 (FPN1) yang juga disebutiron regulated protein-1 (IREG-1) dan metal transporter protein1 (MTP1) merupakan suatu transporter dengan 1012 segmen transmembran (Abboud & Haile, 2000; Donovan et al, 2000; McKie et al., 2000). Feroportin merupakan protein transmembran yang terdiri dari 571 asam amino dengan massa 62 kDa dan merupakan satu-satunya eksporter besi yang sudah diketahui (McKie et al., 2000; Girelli et al., 2008). Protein ini adalah produk dari gen SLC40A1 atau FPN1 yang terdapat di kromosom 2 (2q32)dan memiliki panjang 1713 nukleotida dan 8 ekson (Camaschella et al., 2002; Mayr et al., 2010). Menurut Data HapMap, frekuensi alel varian promoter FPN1 5’UTR1355G→C (rs3811621) pada populasi Asia adalah 10,4–16,2%. Penelitian Hallendorff (2008) terhadap anggota keluarga yang sehat dari penderita hemokromatosis tipe I menunjukkan transversi nukleotida G→C pada posisi 1355 upstream dari inisiasi ATG sebesar 8 (34,8%) homozigot dan 13 (56,5%) heterozigot. Penelitian terhadap pasien PCT ditemukan frekuensi genotip polimorfisme -1355G/C populasi kulit hitam adalah 64% heterozigot (CG), 36% homozigot (CC) dan frekuensi varian alel G sebesar 31%. Pada populasi Kaukasia didapatkan sebanyak 59% heterozigot (CG), 36% homozigot (CC) dan 5% mutan homozigot, sedangkan frekuensi varian alel C sebesar 34% (Panton, 2008).
155
Hallendorf (2008) melakukan analisis in silico dengan teknik nonredundant JASPAR CORE databaseuntuk menentukan bahwa adanya varian di 5’UTR gen akan menganggu TFBS. Analisis ini membuktikan bahwa varian promoter FPN1 5’UTR-1355G→C akan menghasilkan TFBS baru FOXC1 yang terikat pada IRE sehingga tetap terjadi translasi protein feroportin yang menyebabkan peningkatan aktifitas ekspor besi dan kadar feritin dalam sel rendah. V.3.3. Cara Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitiancase-control bersifat deskriptif analitik. Penelitian lapangan dilakukan di Pondok Pesantren di Yogyakarta dan Kabupaten Sleman untuk memperoleh data karakteristik subjek, asupan gizi dan sampel darah remaja putri. Penelitian laboratorium di lakukan di laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran UGM dan Laboratorium Klinik RSUP dr. Sardjito.Pemilihan subjek penelitian berdasarkan kriteria inklusi remaja putri usia 14-19 tahun, suku Jawa, dan sudah menstruasi. Subjek diekslusi apabila sedang menderita penyakit kronis pada saat yang sama dengan penelitian, menderita anemia berat (kadar Hb < 7 g/dL) dan sedang menstruasi saat pengambilan darah. Subjek penelitian dipilih setelah menandatangani lembar informed assent dan diberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian. Informed consent juga diberikan kepada orangtua/wali dari remaja putri dan ditandatangani.Subjek penelitian diwawancaraidengan menggunakan kuesioner karakteristik subjek mengenai riwayat penyakit untuk mendapatkan gambaran karakteristik subjek penelitian. Pengumpulan data asupan zat besi dengan metode Food record dan
156
Food Frequency Quesionairre kemudian diolah dengan perangkat lunakNutri Survey. Penentuan kelompok anemia dan tidak anemia berdasarkan hasil skrining kadar hemoglobin (Hb). Remaja putri dengan kadar Hb < 12 g/dL dimasukkan dalam kelompok subjek anemia, sedangkan remaja putri yang memiliki kadar Hb ≥ 12 g/dL masuk dalam kelompok subjek tidak anemia (kontrol). Subjek anemia dibedakan menjadi kategori anemia defisiensi besi dan anemia bukan defisiensi besi berdasarkan kadar Hb dan kadar feritin serum. Anemia defisiensi besi didefinisikan sebagai subjek anemia yang memiliki kadar feritin serum < 15 ng/dL sehingga didapatkan 2 kelompok yaitu kelompok anemia defisiensi besi (ADB) dan anemia bukan defisiensi besi (non-ADB). Subjek penelitian diambil darah venanya sebanyak 10 mL yang dibagi menjadi 3 tabung. Tabung I dimasukkan whole blood 3 mL yang akan digunakan untuk pemeriksaan kadar Hb dan indeks eritrosit. Tabung II dimasukkan whole blood plus antikoagulan EDTA 3 mL dan simpan pada suhu 2-4° C sampai dilakukan pemeriksaan isolasi dan analisis DNA. Tabung III yang dimasukkan serum 4 mL disimpan pada suhu -80° C untuk analisis kadar feritin serum dengan metode ELISA dan kadar besi serum menggunakan metode ferrozine. Pemeriksaan kadar feritin serum dilakukan dengan metode yang tercantum pada Human Ferritin Immunoassay kit dari DRG. Microplate dengan 96 sumuran yang
telah
dilapisi
dengan
antibodi
monoklonal
terhadap
feritin
disiapkan.Dimasukkan 20 µL standar dan 20 µL sampel ke sumuran yang telah ditentukan kemudian ditambahkan 100 µL reagen enzim konjugat horseradish
157
peroxidase (HRP-Conjugate) ke dalam sumuran,gently mix selama 30 detik. Lalu ditutup dengan adhesive strip dan diinkubasikan pada suhu ruang (18–25 °C) selama 45 menit. Sumuran dicuci sebanyak 5 kali dengan akuabides steril 350 µL pada
masing-masing
sumuran.
Ditambahkan
100
µL reagen
3,3′,5,5′-
Tetramethylbenzidine (TMB) ke dalam masing-masing sumuran,
gently
mixselama 10 detik. Diinkubasikan pada suhu ruang dan suasana gelap selama 20 menit. Kemudian ditambahkan 100 µL reagen Stop Solution (1N HCL) ke dalam masing-masing sumuran, gently mix selama 30 detik hingga terjadi perubahan warna (biru menjadi kuning). Dibaca nilai OD (optical density) dengan microplate reader dengan panjang gelombang 450 nm dalam rentang waktu 15 menit. Pemeriksaan kadar besi serum menggunakan prinsip uji kolorimetrik dengan metode FerroZine tanpa deproteinisasi dengan menggunakan Reagent– working solutions (ready for use):R1 asam sitrat: 200 mmol/L; Thiourea: 115 mmol/L; detergen, R3 natrium askorbat: 150 mmol/L; FerroZine: 6 mmol/L; Pengawet. Kemudian dibaca dengan mesin Roche/Hitachi cobas c systems. Isolasi dari sampel darah dikerjakan dengan menggunakan The Wizard Genomic DNA Purification Kit (Promega Corporation, Madison, USA). Selanjutnya DNA diamplifikasi dengan metode PCR dengan primer forward: 5'GTA GAC CTT TGG GGC TCC TG-3', dan primer reverse: 5'-TGG AGG GTG AGG TGA ATG AC-3'(Panton, 2008). 2 µL DNA template ditambahkan 15 µL PCR Master MixGo Taq Green dari Promega (1x buffer PCR, 150 nM dNTP, dan 0,5 U Taq DNA polymerase), 11 µLnuclease free water, dan 2 µLprimers mix (1 µLprimer forward dan 1 µLprimer reverse). Setiap kali pengerjaan PCR
158
dibuatkan 1 buah no template control (NTC) yang terdiri dari campuran seperti PCR namun tanpa DNA template dengan volume nuclease free water sebanyak 13 µL (volume akhir NTC 30 µL). Kondisi PCR adalah denaturasi awal dilakukan pada suhu 95°C selama 5 menit, kemudian diikuti 35 siklus sebagai berikut: denaturasi pada suhu 95° C selama 1 menit, annealing pada suhu 60° C selama 2 menit, extension pada suhu 72° C selama selama 1 menitdan final extension 72° C selama 10 menit. Pemeriksaan PCR dilakukan dalam mesin thermal cycler (Esco Thermal Cycler, Esco Technologies, Inc). Produk PCR dielektroforesis pada gel agarose 2% dalam buffer Tris-Boric-acid-EDTA/TBE (Tris borat 0,045 M; ethylene diamine tetra acetic acid 0,001 M pH 8,0) yang mengandung pewarna Ethidium Bromide (EtBr) dengan menggunakan aparatus elektroforesis yang Horizontal Mini Sub DNA (Bio-Rad Lab).Sebanyak 5 µL produk PCR hasil amplifikasi dimasukkan dalam sumuran gel agarose. Tegangan apparatus elektroforesis 100 Volt dan waktu selama 30 menit untuk pengecekan DNA produk PCR.Kemudian hasil elektroforesis divisualisasi dengan UV transiluminator(Carestream Gel Logic 212 Pro). Produk PCR sepanjang 288 bp kemudian direstriksi menggunakan enzim BfaI (FspBI; Thermo Fisher Scientific Inc. #ER1761, Waltham, USA).Produk PCR sebanyak 4 µL ditambahkan 0,5 µL(5 Unit) enzim BfaI, 1 µL Buffer Tango, 4,5 µLnuclease free water hingga volume akhir 10 µL. Disentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 3500 g. Diinkubasi selama 16 jam (overnight) pada suhu 37°C. Sebanyak 9 µL hasil restriksi dielektroforesis dengan gel agarose 3%. Tegangan
159
apparatus elektroforesis 100 Volt dengan waktu pemisahan selama 55 menit.Kemudian
hasil
elektroforesis
divisualisasi
dengan
UV
transiluminator(Carestream Gel Logic 212 Pro). Hasil restriksi produk PCR adalah genotip GG berukuran 255 bp dan 30 bp, genotip CG berukuran 255 bp dan 285 bp, sedangkan genotip CC berukuran 285 bp. V.3.4. Hasil dan Pembahasan Subjekpenelitian diambil dari 4 pondok pesantren yang tersebar di wilayah Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, yaitu Panti Asuhan Wahyun Asror Yayasan Pondok Pesantren Modern dan Yatim Dhuafa Madania, Panti Asuhan Tahfidzul Qur'an Darun Najah Pondok Pesantren Al-Fadhilah, Panti Asuhan Yatim Putri Islam RM Suryowinoto, dan Pondok Pesantren Islamic Centre Bin Baz Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy Yogyakarta. Subjekpenelitian yang bersedia ikut penelitian dan menandatangani lembar informed assent berjumlah 116 orang remaja putri. Terdapat 44 subjek yang tidak memenuhi kriteria inklusi, data karakteristik serta asupan tidak lengkap.Penentuan kelompok anemia dan tidak anemia berdasarkan hasil skrining kadar hemoglobin (Hb). Remaja putri dengan kadar Hb < 12 g/dL dimasukkan dalam kelompok subjek anemia, sedangkan remaja putri yang memiliki kadar Hb ≥ 12 g/dL masuk dalam kelompok subjek tidak anemia. Setelah skrining kadar Hb kelompok subjek anemia hanya didapatkan sebanyak 20 orang sehingga digunakan rasio kasus : kontrol = 1 : 2.Subjek tidak anemia (kontrol) berjumlah 52 orang.
160
Dua puluh orang kelompok subjek anemia dibedakan menjadi kategori anemia defisiensi besi dan anemia bukan defisiensi besi berdasarkan kadar Hb dan kadar feritin serum. Anemia defisiensi besi didefinisikan sebagai subjek anemia yang memiliki kadar feritin serum<15 ng/mL (WHO, 2001), sehingga didapatkan 2 kelompok yaitu kelompok anemia defisiensi besi (ADB) dan anemia bukan defisiensi besi (non-ADB). Terdapat perbedaan bermakna rerata kadar hemoglobin pada kelompok anemia dan kontrol (p = 0,000), sebaliknya tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok ADB dan non-ADB (p = 1,000). Rerata nilai MCV, MCH, dan MCHC lebih rendah signifikan pada kelompok anemia dibandingkan kontrol (p = 0,000). Nilai indeks eritrosit rendah pada kelompok ADB dan non-ADB, namun tidak berbeda bermakna (p> 0,05). Penentuan nilai hemoglobin sebagai pemeriksaan skrining defisiensi besi bersifat sensitif dan spesifik (WHO, 2001). Hal ini disebabkan sebagian besar proporsi besi total tubuh sudah hilang sebelum kadar Hb turun di bawah nilai laboratorium untuk anemia. Pemeriksaan Hb tidak dapat berdiri sendiri tanpa pemeriksaan parameter status besi lain seperti indeks eritrosit. MCV memiliki nilai normal 80-100 fL, sedangkan MCHCmemiliki nilai normal 320-360 g/L. Nilai keduanya lebih rendah dari normal disebut mikrositik hipokromik (Bermenjo &Garcia-Lopez, 2009).Indeks eritrosit pada penelitian ini tidak dijadikan sebagai indikator penentu defisiensi besi karena spesifisitas dan sensitivitasnya rendah. Nilai RDW meningkat pada kelompok anemia dan ADB, meskipun pada kelompok ADB dan non-ADB tidak berbeda signifikan (p = 0,968). Beberapa
161
penelitian menunjukkan bahwa nilai RDW dapat digunakan sebagai suatu alat differential diagnosis untuk mendiagnosis ADB disamping marker hematologis lain seperti MCV dan Hb. Nilai normal RDW adalah 11-14% dan peningkatannya menggambarkan adanya variasi ukuran sel darah merah yang disebut dengan anisositosis (Johnson-Wimbley & Graham, 2011). Anisositosis terjadi ketika sel darah merah yang diproduksi lebih kecil ukurannya daripada rata-rata dan ada variasi akibat kurangnya suplai besi. Peningkatan nilai RDW pada ADB terjadi di tahap awal terdeteksinya defisiensi besi sebelum kadar MCV menurun (Sazawal et al., 2014). Hasil penelitian ini menemukan bahwa ada perbedaan bermakna kadar feritin serum antara kelompok ADB dan Non-ADB. Hal ini sesuai dengan sensitivitas dan spesifisitas feritin serum untuk mendeteksi defisiensi besi dan membedakan anemia defisiensi besi dari anemia mikrositik hipokrom lain. Jika feritin serum menurun (< 12 µg/L), kadar ini tidak lagi berkorelasi dengan jumlah simpanan besi karena simpanan telah habis (McKenzie, 2010). Terdapat perbedaan bermakna kadar besi serum antara kelompok ADB dan non-ADB (p = 0,049). Kadar besi serum merupakan nilai dari jumlah zat besi yang terikat pada transferin.Kadar besi serum ditentukan oleh absorpsi besi intestinal dan daur ulang besi hemoglobin oleh makrofag.Kadar besi serum normal pada pria adalah 65–176 μg/dL dan wanita 50–170 μg/dL. Kadar besi serum menurun di bawah 30 µg/dL, total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan saturasi transferin menurun menjadi <15%, parameter tersebut merupakan kriteria paling reliabel untuk defisit besi fungsional. Sintesis heme inadekuat
162
akibat suplai besi suboptimal ditunjukkan dengan retikulosit dan eritrosit muda sebelum akhirnya terjadi penurunan kadar hemoglobin atau indeks eritrosit (McKenzie, 2010; Lych, 2011). Genotip CC sebesar 40%, GC sebesar 55%, dan genotip GG sebesar 5% pada kelompok subjek anemia (n = 20) didapatkan pada penelitian ini. Frekuensi alel C untuk subjek remaja putri anemia sebesar 67,5% dan frekuensi alel G sebesar 32,5%. Sedangkan pada kelompok subjek tidak anemia (n = 52) ditemukan genotip CC sebesar 36,5%, genotip CG sebesar 55,8% dan genotip GG sebesar 7,7%. Frekuensi alel C sebesar 64,4% dan frekuensi alel G sebesar 35,6% ditemukan pada kelompoktidak anemia Tidak ada perbedaan bermakna pada distribusi genotip dan alel antara kedua kelompok tersebut (p = 1,000). Hasil analisis Chi-Square menunjukkan bahwa distribusi genotip dan alel polimorfisme gen FPN1-1355G/C tidak menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg(p = 0,315). Hal ini menggambarkan bahwa frekuensi genotip dan alel tersebut tersebar merata dalam populasi. Dua belas atau 92,3% subjek kelompok ADB memiliki genotip pembawa alel C (CG+CC). Genotip GG hanya ditemukan pada 1 subjek kelompok ADB dan tidak ditemukan pada kelompok non-ADB.Nilai OR genotip pembawa alel C untuk terjadinya anemia adalah 1,583 (95% CI 0,166-15,094), ), sedangkanOR alel C terhadap kejadian ADB sebesar 2,036 (95% CI 0,518-7,995, p = 0,249).Genotip CC mempunyai nilai risiko lebih besar terhadap kejadian ADB (OR = 1,600 (95% CI 0,935-2,737) dibandingkan dengan genotip CG (OR = 1,571 (95% CI 1,005-2,456) (Tabel 12).Berdasarkan kadar OR, alel C bukan
163
merupakan faktor risiko anemiatetapi merupakan faktor risiko untuk kejadian anemia defisiensi besi. Alel C pada promoter gen FPN1-1355 5’UTR diketahui dapat meningkatkan translasi gen FPN1 sehingga ekspresi feroportin meningkat. Subjek pembawa alel C secara statistik memiliki risiko 2 (dua) kali atau probabilitas 67,06% untuk mengalami anemia defisiensi besi dibandingkan subjek dengan alel G. Istiqomah et al. (2013) melaporkan bahwa ditemukan frekuensi genotip CC sebesar 50%, CG sebesar 46,2% dan GG sebesar 3,8% pada populasi ibu hamil (n = 74). Kelompok ibu hamil dengan ADB didapatkan genotip CG dan CG masing-masing 100% atau tidak terdapat genotip GG (wild type). Perhitungan odds ratio alel C untuk kejadian anemia hanya sebesar 1,008 (CI;95% 0,4712,156), sedangkan OR untuk kejadian ADB sebesar 1,600 (CI;95% 0,296-8,653). Nilai OR subjek yang membawa alel C sebesar 1,600 dan menunjukkan risiko 1,6 kali atau probabilitas 61,5% untuk mengalami ADB dibandingkan subjek dengan alel G.Pada penelitiantersebut alel C disebut varian meskipun frekuensinya lebih tinggi daripada alel G. Hubungan antara Alel C sebagai faktor risiko ADB dengan kadar Hb dan indeks eritrositmenunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kelompok subjek ADB dan non-ADB pada parameter tersebut, meskipun kadarnya lebih rendah pada kedua kelompok. Rerata kadar feritin serum pada subjek ADB dengan genotip yang membawa alel C (CG dan CC) lebih rendah signifikan dibandingkan dengan non-ADB dengan genotip yang sama. Rerata kadar besi
164
serum juga lebih rendah bermakna pada kedua kelompok baik ADB maupun nonADB, terutama pada kelompok ADB yang mmpunyai genotip C homozigot. Hallendorf (2008) melakukan analisis in silico dengan teknik nonredundant JASPAR CORE database untuk menentukan bahwa adanya varian di 5’UTR gen akan menganggu TFBS. Analisis ini membuktikan bahwa varian promoter FPN1 5’UTR-1355G/C akan menghasilkan TFBS baru FOXC1 yang terikat pada IRE sehingga tetap terjadi translasi protein feroportin yang menyebabkan peningkatan aktifitas ekspor besi dan kadar feritin dalam sel rendah. Penyediaan makanan di pondok pesantren pada umumnya sangat sederhana sehingga besar kemungkinan santriwati tidak dapat memenuhi kebutuhan zat gizi (Permaesih et al., 1988). Pengelola makanan di pondok pesantren biasanya bukan berasal dari latar belakang gizi sehingga menyebabkan perencanaan menu makanan belum memperhatikan kebutuhan gizi santri.Siklus menu di pondok pesantren juga tidak bervariasi terutama menu lauk pauk dan sayuran (Khasanah, 2010; Tika, 2012). Dari total subjek didapatkan sebagian besar remaja putri (98,6%) memiliki asupan zat besi kurang dari anjuran AKG dan hanya 1 remaja putri (1,4%) memiliki asupan zat besi cukup. Sebanyak 18,3% remaja putri dengan asupan besi kurang memiliki kadar feritin serum rendah dan 81,7% remaja putri dengan asupan besi kurang memiliki kadar feritin serum normal. Asupan besi kurang dengan kadar besi rendah ditemukan pada 50,7% remaja putri dan 49,3% asupan
165
besi kurang memiliki kadar besi serum normal. Remaja putri yang asupan besi cukup memiliki kadar feritin serum dan kadar besi serum normal. Seluruh subjek kelompok ADB dan non-ADB memiliki asupan zat besi kurang menurut anjuran AKG. Namun, kadar feritin serum kelompok ADB dengan asupan zat besi kurang lebih rendah bermakna dibandingkan dengan kelompok non-ADB dengan asupan zat besi kurang (p = 0,02). Kadar besi serum kelompok ADB dengan asupan zat besi kurang juga lebih rendah dibandingkan dengan kelompok non-ADB dengan asupan zat besi kurang (p = 0,049). Penelitian Wahyuni dan Basuki (2002) menemukan bahwa adanya korelasi positif antara pola makan dan kejadian anemia pada remaja putri pondok pesantren di Surabaya yaitu remaja putri dengan pola makan buruk mempunyai risiko terkena anemia 12 kali lipat dibandingkan remaja putri dengan pola makan baik. Remaja yang mempunyai status gizi besi rendah disebabkan oleh kebiasaan kualitas konsumsi pangan yang rendah terutama jika sering mengkonsumsi makanan nabati dibandingkan hewani (Depkes RI, 2001). Penelitian ini menunjukkan bahwa subjek dengan asupan besi kurang dapat memiliki kadar feritin dan besi serum yang normal. Asupan besi memiliki peranan penting untuk pembentukan hemoglobin. Sebagian besar besi dalam tubuh digabungkan ke hemoglobin dalam prekursor eritroid dan sel darah merah matur (Andrews, 1999). Hemoglobin mengandung fraksi terbesar dari besi tubuh (besi fungsional) dengan konsentrasi 2 g besi dalam eritrosit atau sekitar 1 mg besi/mL eritrosit. Besi dalam hemoglobin tetap berada dalam eritrosit sampai sel tersebut dikeluarkan dari sirkulasi (McKenzie, 2010; Ganz, 2008). Asupan besi
166
yang kurang dari anjuran AKG tidak akan secara langsung mempengaruhi kadar Hb karena tubuh masih memiliki cadangan besi di hepar dan jaringan retikuloendotelial. Setelah besi cadangan ini habis, terjadi penurunan parameter status besi yang dapat diawali dengan penurunan kadar feritin serum. Analisis Pearson menunjukkan bahwa asupan zat besi dari makanan dan kadar feritin serum menunjukkan korelasi negatif dan tidak bermakna dengan kekuatan korelasi sangat lemah. Asupan berkorelasi positif dengan kadar besi serum dan terdapat korelasi bermakna meskipun kekuatannya lemah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Spodaryk (1999) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kadar feritin serum dengan asupan zat besi total dari makanan serta ada hubungan bermakna antara kadar feritin serum dan kuantitas asupan zat besi heme. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Tatala dan Ndossi (2004) yaitu subjek anemia memiliki asupan zat besi lebih rendah dibandingkan subjek tidak anemia serta ada hubungan signifikan antara asupan zat besi dengan kadar feritin serum. V.3.5 Kesimpulan Terdapat polimorfisme promoter gen FPN1 -1355G/C pada remaja putri dengan ADB dengan frekuensi genotip CC sebesar 38,5%, CC sebesar 53,5%, dan GG sebesar 7,7%, sedangkan pada remaja putri non-ADB didapatkan 14,3% genotip CC, 85,7% genotip CG dan tidak ditemukan genotip GG. Tidak terdapat perbedaan frekuensi genotip GG, CG, dan CC pada remaja putri dengan ADB dan non-ADB. Subjek pembawa alel C memiliki risiko 2 kali atau probabilitas 67,06% untuk mengalami anemia defisiensi besi dibandingkan subjek pembawa alel G.
167
Kadar Hb, MCV, MCH, dan MCHC tidak berbeda bermaknaantara kelompok subjek ADB dengan CG dan CCdibandingkan dengan kelompok subjek non-ADB dengan genotip yang sama.Rerata kadar feritin serum lebih rendah pada kelompok subjek ADB dengan genotip CG dan CC dibandingkan kelompok subjek non-ADB dengan genotipyang sama.Rerata kadar besi serum lebih rendah pada kelompok subjek ADB dengan genotip CG dan CC dibandingkan kelompok subjek non-ADB dengan genotipyang sama. Asupan zat besi berkorelasi negatif dengan kadar feritin serum pada remaja putri pondok pesantren di Yogyakarta.Terdapat korelasi positif asupan zat besi dengan kadarbesi serum pada remaja putri pondok pesantren di Yogyakarta, namun kekuatan korelasi lemah. Ditemukan prevalensi anemia sebesar 27,7% (20 orang) dari total 72 orang remaja putri, sedangkan prevalensi anemia defisiensi besi pada remaja putri sebesar 65% (13 orang) dari keseluruhan jumlah subjek anemia (n=20). Hal ini mengindikasikan bahwa masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut penyebab tingginya angka kejadian anemia dan anemia defisiensi besi pada santriwati di pondok pesantren.Selain itu, perlu dilakukan peningkatan kualitas asupan makanan terutama bagi santriwati sehingga dapat mengurangi kejadian anemia defisiensi besi di pondok pesantren.Perlu dilakukan penelitian genetik lanjutan di tempat yang berbeda dengan prevalensi anemia defisiensi besi lebih tinggi sehingga didapatkan jumlah sampel yang lebih besar. Polimorfisme pada gen yang mengatur metabolisme besi lainnya juga dapat diteliti serta dinilai hubungannya dengan parameter status besi yang lain.