BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai self esteem
pada
wanita
yang
menderita
infertilitas,
maka
peneliti
dapat
menyimpulkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan aspek-aspek harga diri (self esteem). a) Pada harga diri fisik, setelah mengalami infertilitas, subjek A menilai kondisi fisiknya kurang menarik dan subjek A juga merasa organorgan fisiknya kurang vit. Subjek B juga menilai kondisi fisiknya kurang menarik karena kegemukan dan subjek B juga akhir-akhir ini asam uratnya sering kambuh. Sedangkan subjek C menilai dirinya biasa-biasa saja dan subjek C merasa sehat-sehat saja. b) Pada harga diri prestasi kerja, setelah mengalami infertilitas, subjek A dan B menilai prestasi kerjanya yang terdahulu itu sangat baik. Sebab dahulu subjek A bisa bekerja full time, berbeda dengan saat ini, subjek A mengaku tidak boleh bekerja terlalu capek, karena jika terlalu capek akan berdampak buruk pada kesehatannya. Sedangkan subjek B sekarang tidak bekerja hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Subjek C menilai prestasi kerjanya biasa-biasa saja, dan setelah infertilitas subjek C juga tidak boleh terlalu capek.
111
c) Pada harga diri sosial, setelah mengalami infertilitas, subjek A dan B akan merasa sangat senang jika dinilai positif atau tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain. Untuk subjek C, dia akan merasa lega jika tidak menjadi bahan omongan orang lain. Tetapi jika dinilai negatif oleh orang lain, maka subjek A, B, dan C akan berusaha untuk diam dan tidak menghiraukan penilaian tersebut.
2.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri (self esteem). a) Pada faktor jenis kelamin, setelah mengalami infertilitas, subjek A, B, dan C merasa harga diri laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan, dan mereka merasakan bahwa seorang istri harus mendapat perlindungan dari seorang suami. Selain itu, mereka juga merasa jika belum memiliki anak, berarti mereka belum memberikan kebahagiaan kepada suaminya dan mereka merasa belum sempurna seutuhnya menjadi wanita jika belum mampu memiliki anak. b) Mengenai inteligensi, setelah mengalami infertilitas, subjek A, B, dan C mengalami kematangan dalam berpikir, mereka selalu mencari solusi untuk menyelesaikan masalah yang tengah dihadapinya, dan sebagai tanda berkembangnya kognitif mereka, mereka menerapkan ilmu yang didapat ke dalam kehidupan sehari-hari. c)
Mengenai kondisi fisik, setelah mengalami infertilitas, subjek A merasa kondisi fisiknya kurang vit, sedangkan subjek B juga merasa cepat lelah. Pada subjek C, dia merasa biasa-biasa saja. Mereka
112
menilai bahwa kondisi fisik mereka kurang menarik, tetapi mereka tetap bersyukur. d) Di lingkungan keluarga, sejak subjek A, B, dan C mengalami infertilitas, mereka selalu mendapatkan perhatian, dukungan dan juga nasihat atau saran-saran dari keluarganya. e) Di lingkungan sosial, subjek A mendapat dukungan dan juga menerima perlakuan yang baik dari lingkungan sekitar, jika bertemu dengan tetangga, subjek diberi saran-saran atau nasihat, begitu juga dengan subjek B. Tetapi lain hal nya dengan subjek C, subjek C sering menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari lingkungan sekitar. Seperti diberi komentar yang tidak menyenangkan ataupun dibanding-bandingkan dengan perempuan lain yang sudah punya anak.
3. Berdasarkan komponen harga diri (self esteem) a) Perasaan diterima. Setelah mengalami infertilitas, subjek A, B, dan C mengaku bahwa dirinya tetap diterima oleh kelompoknya atau teman-temannya. Tidak ada perbedaan dengan sebelum mengalami infertilitas. b) Perasaan mampu. Ketiga subjek merasa bahwa dirinya akan mampu memiliki anak, meskipun mereka tidak tahu kapan mereka akan memiliki anak. Karena mereka juga akan selalu berusaha supaya bisa memiliki anak.
113
c) Perasaan berharga, meskipun ketiga subjek merasa belum menjadi wanita yang sempurna, tetapi mereka tetap merasa bahwa dirinya itu berharga, terlebih lagi saat mereka berada di tengah-tengah keluarganya. Karena di tengah-tengah keluarga, mereka merasa dibutuhkan, sehingga mereka menjadi merasa lebih berarti. 4.
Berdasarkan karakteristik harga diri (self esteem) Karakteristik harga diri tinggi hanya dimiliki oleh subjek B. Setelah
mengalami infertilitas, subjek B tidak mengalami perubahan yang berarti dalam kehidupannya. Kehidupan perkawinannya pun tidak megalami perubahan, bahkan subjek B dan suami tetap semesra awal mereka menikah. Selain itu, subjek B memiliki lingkungan keluarga yang membuatnya nyaman dan juga menerima subjek B, serta keluarga subjek B juga selalu memberikan dukungan penuh kepada subjek B. Subjek B juga tetap merasa dirinya berharga meskipun terdapat kekurangan pada dirinya. Sedangkan karakteristik harga diri rendah, dimiliki oleh subjek A dan C. Setelah subjek A mengalami infertilitas, subjek A merasa minder dan juga malu pada lingkungan sekitar, apalagi saat awal-awal infertilitas, subjek A selalu ditanya kapan punya anak, oleh suaminya. Subjek A juga menjadi pesimis dan mengkhawatirkan dirinya, apakah memang dirinya tidak akan pernah memiliki anak sama sekali atau sebaliknya. Sedangkan subjek C, selain memang sejak kecil adalah individu yang pemalu, dengan terjadinya infertilitas tersebut, subjek C menjadi malu dan juga minder, serta subjek C merasa sangat tidak percaya diri. Subjek C kurang berani dalam melakukan interaksi sosial, subjek C lebih 114
memilih untuk tetap di rumah, dan tidak pernah berkumpul dengan teman-teman maupun tetangga sekitar, hal ini terjadi karena subjek C sering menjadi bahan omongan orang lain, karena ketidakmampuannya memiliki anak.
5.2 Diskusi Tidak semua subjek yang infertilitas, mengalami perubahan harga diri, seperti yang dialami oleh subjek B, subjek B mengaku infertilitas yang dialami tidak merubah atau memperngaruhi kehidupannya, baik kehidupan pribadinya maupun kehidupan perkawinannya. Hal ini terjadi karena subjek B mendapat dukungan penuh dari suaminya, dan hal tersebut yang membuat subjek B kuat, selain itu, subjek B menghadapi ini semua dengan santai. Sementara subjek A mengalami perubahan dalam kehidupannya, yaitu kemesraan dengan suaminya tidak seperti awal mereka menikah, bahkan suami subjek A ini pernah membuat subjek A menangis karena selalu ditanya kapan akan punya anak. Pada subjek C meskipun kehidupan perkawinannya tidak mengalami perubahan, tetapi infertilitas ini sudah membuat subjek C merasa minder dan juga malu karena subjek C menjadi bahan omongan oleh orang lain. Terdapat perbedaan antara teori dengan hasil penelitian. Pada teori disebutkan bahwa individu yang memiliki kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik. Tetapi dalam penelitian ini, subjek B yang memiliki fisik yang kurang menarik karena terlalu gemuk dan memiliki kulit berwarna sawo matang,
115
justru subjek B yang memiliki harga diri positif atau harga diri tinggi, dibandingkan dengan subjek A dan subjek C yang memiliki tubuh ramping dan warna kulit kuning langsat. Hal ini karena subjek B adalah seseorang yang berani, selalu optimis, aktif, mandiri, dan juga yakin akan gagasan dan juga pendapatnya. Walaupun subjek B mengalami infertilitas, lingkungan keluarga dan juga lingkungan sekitarnya tetap merespon subjek B dengan positif. Sedangkan pada subjek A, keharmonisan rumah tangganya sedikit bekurang, tidak semesra waktu awal mereka menikah. Pada subjek C lingkungan sekitarnya tidak merespon dirinya dengan baik. Perbedaan teori dengan hasil penelitian juga terdapat pada teori Baron dan Byrne yang mengatakan bahwa “peristiwa negatif dalam hidup memiliki efek negatif terhadap self esteem” hal ini mungkin berlaku pada subjek A dan C, yaitu pada subjek A setelah mengalami infertilitas, subjek A menjadi malu dan juga minder terhadap lingkungan, begitu pula pada subjek C, yang juga malu dan minder, serta menjadi bahan omongan, sehingga self esteem subjek A dan C menjadi rendah. Tetapi teori tersebut tidak berlaku pada subjek B, karena meskipun subjek B mengalami infertilitas, subjek B tetap memiliki self esteem yang tinggi, karena subjek B mendapatkan dukungan dari orang-orang yang dicintainya dan juga menerima perlakuan yang baik dari orang-orang disekitarnya. Saat melakukan penelitian (wawancara), ketika subjek A ditanya mengenai perasaannya setelah sekian lama berumah tangga tetapi belum memiliki anak, subjek A menjawab dengan nada suara yang sangat pelan dan hampir tidak terdengar oleh peneliti, dan subjek A mengungkapkan 116
kekhawatirannya, subjek A khawatir jika dirinya tidak akan pernah bisa memiliki anak. Subjek A menjawab dengan nada suara yang pelan karena mungkin takut terdengar oleh suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa subjek A kurang mempunyai keterbukaan dengan suami. Sedangkan pada subjek B, saat wawancara, dan peneliti menanyakan tentang prestasi akademik subjek B, subjek B menceritakannya secara detil, dan subjek B menceritakan perjuangan-perjuangannya ketika masih bersekolah. Saat menceritakan hal tersebut, mata subjek B berkaca-kaca. Mungkin subjek B sedih karena perjuangannya semasa sekolah, sangat berat. Karena subjek B membiayai sekolahnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa subjek memang individu yang mandiri dan juga kreatif. Sedangkan pada subjek C pada saat wawancara tidak ditemukan hal-hal yang signifikan. Di antara subjek A, B, dan C, yang paling lama mengalami infertilitas yaitu subjek B, karena subjek B mengalaminya selama 10 tahun. Tetapi hal ini justru berpengaruh terhadap perilakunya. Karena sudah terlalu lama menderita infertilitas, akhirnya subjek B mulai menerima keadaan dirinya, yaitu dengan cara menghadapinya secara santai, perilaku ini
mencerminkan subjek B memiliki
harga diri (self esteem) tinggi. Berbeda dengan subjek A yang baru mengalami infertilitas selama 5 tahun, subjek A masih sangat khawatir, stress, malu dan minder akan infertilitasnya itu, subjek A juga takut bahwa dirinya tidak akan bisa hamil sama sekali. Begitu juga dengan subjek C yang baru mengalami infertilitas 3 tahun, subjek C masih sangat mengharapkan memiliki anak, maka dari itu subjek C cenderung ritualistik, subjek C ini juga malu dan minder terhadap 117
lingkungan sosialnya akibat infertilitas yang dialaminya tersebut. Perilaku subjek A dan C ini mencerminkan harga diri (self esteem) yang rendah. Selain itu, subjek B adalah subjek yang pendidikannya paling tinggi, jika dibandingkan dengan subjek A dan C, maka dari itu, subjek B memiliki harga diri yang tinggi, sedangkan harga diri subjek A dan C rendah. Dengan hal ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi harga dirinya. Subjek B juga telah mengadopsi 2 orang anak. Dengan adanya anak angkat di samping subjek B, maka subjek B terhibur oleh anak angkatnya tersebut, sehingga perasaan subjek B tidak frustasi, perasaan keibuannya tersalurkan kepada anak angkatnya, sehingga subjek B mengalami harga diri yang positif. Berbeda dengan subjek A dan C yang memang tidak mengadopsi anak, sehingga pikiran subjek A dan C fokus pada kekurangan atau penderitaan yang mereka alami. 5.3
Saran a. Saran Teoritis Peneliti menyadari bahwa dalam penelitian ini, masih banyak sekali kekurangan dan keterbatasan peneliti. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat mengkaji lebih mendalam tentang harga diri atau self esteem wanita yang menderita infertilitas. Hendaknya ketika akan melakukan wawancara, peneliti dan subjek penelitian mengadakan pertemuan sebelumnya.
118
Supaya terjadi hubungan baik antara subjek penelitian dan juga peneliti, sehingga ketika wawancara berlangsung, subjek penelitian tidak canggung lagi. Selain itu, peneliti hendaknya sudah benar-benar menguasai teori harga diri yang terkait dengan infertilitas, supaya ketika wawancara berlangsung, peneliti dapat menggali informasi yang dibutuhkan secara mendalam. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti dapat mengambil subjek lebih banyak lagi, dengan karakteristik yang berbeda. Sehingga dapat melihat gambaran harga diri (self esteem) yang lebih luas mengenai harga diri (self esteem) pada wanita yang menderita infertilitas.
b. Saran Praktis a) Bagi
subjek
A dan
C
penelitian
ini
diharapkan
dapat
mengembalikan rasa kepercayaan diri yang subjek A dan C miliki. Dengan melihat kepercayaan diri yang subjek B miliki. Subjek A dan C dapat mencontoh perilaku subjek B dalam menghadapi infertilitas yang dialami, tanpa harus merasa rendah diri, minder ataupun malu. Sehingga meskipun menderita infertilitas, tetapi tetap memiliki harga diri yang tinggi, karena selalu berpikir positif, optimis, percaya pada diri sendiri, serta selalu berusaha dan berdoa. Untuk subjek B, supaya tetap mempertahankan harga dirinya. Tanpa harga diri yang tinggi, maka kita akan lebih mudah merasa tertekan dan takut menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan.
119
b) Bagi wanita lainnya yang menderita infertilitas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa menderita infertilitas tidak selalu menjadi sesuatu yang memalukan atau membuat harga diri penderitanya menjadi rendah, jika penderita infertilitas selalu memperhatikan pihak-pihak yang selalu memberikan dukungan, berpikir positif, terus berupaya menjalani pengobatan, selalu berdoa dan tidak berputus asa. c) Bagi
masyarakat
lainnya,
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan gambaran perasaan atau harga diri wanita yang menderita infertilitas, sehingga setelah kita mengetahui gambaran tersebut, kita bisa lebih menghargai wanita yang menderita infertilitas,
kemudian kita
bisa
memberikan dukungan dan
memberikan saran-saran ataupun masukan yang positif, dan tidak memandang sebelah mata kepada mereka.
120