BAB V KESIMPULAN V.1 Kesimpulan 1. Cekungan Aitanah Yogyakarta – Sleman memiliki kondisi hidrogeologi seperti berikut :
Tipe akuifer pada Cekungan Airtanah Yogyakarta Sleman adalah akuifer bebas, yang meliputi seluruh Cekungan Airtanah Yogyakarta –Sleman.
Batuan yang termasuk dalam Sistem Akuifer Cekungan Airtanah Yogyakarta - Sleman diantaranya adalah Formasi Volkanik Merapi Tua, Formasi Sleman, Formasi Wates dan Gumuk Pasir, umumnya terdiri dari batuan dan sedimen vulkaniklastik dari aktivitas vulkanik Gunungapi Merapi dan aktivitas fluvial.
Kedalaman airtanah memiliki rentang 0 - 20 meter. Zona kedalaman airtanah yang paling dominan adalah zona kedalaman < 2 meter. Zona tersebut meliputi hampir seluruh wilayah penelitian, yaitu pada bagian sebelah utara, selatan, barat dan timur dari Kota Yogyakarta. Zona kedalaman 2 - 5 meter meliputi diantaranya
Kecamatan Turi, Kecamatan Pakem hingga
Kecamatan Sanden. Zona kedalaman 5 - 10 meter meliputi diantaranya Kecamatan
Pakem,
Kecamatan
Ngemplak,
Kecamatan
Gamping,
Kecamatan Kasihan dan Kecamatan Sewon , zona kedalaman 10 - 20 meter
96
97
meliputi Kecamatan Ngemplak, Kecamatam Kalasan dan Kecamatan Tegalrejo. 2.
Peta risiko terhadap dampak pencemaran airtanah di Cekungan Airtanah
Yogyakarta – Sleman dibagi menjadi empat zona, yaitu :
Zona risiko rendah, Zona ini hanya meliputi sebagian kecil Kecamatan Tegalrejo.
Zona risiko menengah, zona ini meliputi sebagian kecil Kecamatan Ngaglik, sebagian kecil Gondokusuman, sebagian kecil Berbah, sebagian kecil Kasihan, sebagian kecil Banguntapan, sebagian Sewon, sebagian Srandakan, sebagian Sanden, sebagian Kretek.
Zona risiko tinggi, zona ini meliputi Kecamatan Gondokusuman, Jetis, Kotagede, Wirobrajan, Kraton, Umbulharjo, Banguntapan, Depok, Tegalrejo, Gamping, Turi, Pakem, Tempel, Ngaglik, sebagian Kalasan, Ngemplak, sebagian Mlati, Godean, sebagian Minggir, sebagian Sayegan, sebagian kecil Nanggulan, sebagian Moyudan, sebagian Sentolo, Sedayu, sebagian kecil Pajangan, sebagian Gamping, sebagian Kasihan, sebagian Sewon, sebagian Bantul, sebagian Banguntapan, sebagian Berbah, sebagian Prambanan, sebagian Piyungan, sebagian Pleret, sebagian Pandak, sebagian Kecamatan Jetis, sebagian Bambanglipuro, sebagian Pajangan, sebagian Pandak, Pundong, sebagian Imogiri, Srandakan, Sanden, Kretek.
Zona risiko sangat tinggi, zona ini meliputi Kecamatan Turi, Cangkringan, Tempel, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Sayegan, Mlati, Kecamatan Kalasan, Prambanan, Berbah, Umbulharjo, Mantrijeron, Banguntapan, Kotagede,
98
Kecamatan
Wirobrajan,
Kraton,
Gamping,
Gondokusuman,
Jetis,
Tegalrejo, Depok, Godean, Minggir, Moyudan, Sedayu, Kecamatan Pleret, Sewon, Bantul, Jetis, Bambanglipuro, Pandak, Pundong, Kretek dan sebagian kecil Purwosari. 3. Pada Cekungan Airtanah Yogyakarta –Sleman ditentukan lokasi sumur pantau primer, sumur pantau sekunder dan sumur pantau tersier sebagai berikut :
Lokasi sumur pantau primer sebanyak 5 unit, meliputi Kecamatan Cangkringan Moyudan, Piyungan, Sewon, Sanden.
Lokasi sumur pantau sekunder sebanyak 10 unit pada Kecamatan Cangkringan, Ngaglik, Sayegan, Sleman, Berbah, Kotagede, Pleret, Bambanglipuro, Srandakan, Kretek.
Lokasi sumur pantau tersier sebanyak 18 unit pada Kecamatan Tempel, Sleman, Kalasan, Gamping, Berbah, Depok, Kotagede, Sewon, Tegalrejo, Kasihan, Banguntapan, Kraton, Pandak.
V.2 Saran Berdasarkan dari pengamatan lapangan dan hasil dari pengolahan data penelitian ini, maka disini peneliti memberikan saran kepada pemerintah yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Energi Sumber Daya Mineral Daerah Istimewa Yogyakarta agar penelitian ini dapat memberi manfaat lebih kepada masyarakat, yaitu : 1. Penentuan lokasi pemantauan airtanah disesuaikan dengan fungsi pemantauan airtanah
yang meliputi pemantauan primer, pemantauan
sekunder dan pemantauan tersier. Pemantauan meliputi pengumpulan
99
sampel dan analisis lab. Pemantauan kualitas airtanah dilakukan dalam 1 hingga 2 kali dalam 1 tahun, dikarenakan sumur yang tidak terlalu dalam sehingga dapat terjadi variasi perubahan kualitas airtanah dalam waktu yang singkat. Kedalaman pengambilan sampel adalah kedalaman 5 m dari muka airtanah, pengambilan sampel dapat dilakukan dengan cara pemompaan maupun pengambilan langsung dengan menggunakan wadah. 2. Pemindahan rencana lokasi sumur dapat dilakukan apabila keadaan di lapangan tidak memungkinkan untuk dibangun sumur pantau. Namun pergeseran lokasi tetap harus memperhatikan parameter – parameter yang digunakan pada analisi risiko dengan prioritas berada pada zona risiko tinggi. Konstruksi dari sumur pantau disesuaikan dengan standar konstruksi sumur pantau yang telah memenuhi standar teknis yang telah disarankan. Diperlukan komunikasi yang baik antar badan serta instansi terkait dalam pembuatan sumur dan pemantauan kualitas airtanah. 3. Pada pemantauan primer unsur yang dianalisa adalah ion – ion pada airtanah yang terdiri dari kation dan anion, kation umum dikandung airtanah meliputi kalsium (Ca2+), natrium (Na2+), kalium (K+), magnesium (Mg2+), besi (Fe2+, Fe3+), dan mangan (Mn2+, Mn3+) dan anion umum dikandung airtanah meliputi klorida (CL-), sulfat (SO42-), bikarbonat (HCO3-), dan nitrat (NO3) (Davis dan De Weist, 1996 dalam Suharyadi, 1984). Pada pemantauan sekunder yang umumnya berupa pemukiman, maka yang perlu dianalisis adalah anion berupa nitrat dan bakteri escherichia coli yang berasal dari sanitasi, pada daerah pertanian yang perlu dianalisis adalah kandungan
100
nitrat dan nitrit yang berasal dari pupuk serta arsenik dan mercury yang berasal dari pestisida. Pada pemantauan tersier, unsur kimia yang perlu dianalisa adalah antimony, arsenik, beryllium, cadmium, chlorida, tembaga, fluoride,
besi,
timbal,
mangan,
mercury,
(http://water.usgs.gov/edu/groundwater-contaminants.html)
sulfat,
zinc