BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI
IV.1 Kondisi Hidrogeologi Regional Secara regional daerah penelitian termasuk ke dalam Cekungan Air Tanah (CAT) Bandung-Soreang (Distam Jabar dan LPPM-ITB, 2002) dan Peta Hidrogeologi Lembar Bandung (Soetrisno, 1983). Berdasarkan Peta Hidrogeologi Lembar Bandung, pada daerah penelitian terdapat dua tipe unit hidrogeologi, yaitu : Setempat Akifer Produktif dan Akifer dengan Produktifitas Rendah (Gambar IV.1). Setempat Akifer Produktif adalah akifer dengan keterusan sangat beragam, umumnya airtanah tidak dimanfaatkan karena dalamnya muka airtanah. Akifer dengan Produktifitas Rendah adalah akifer dengan keterusan sangat rendah. Airtanah dangkal dalam jumlah terbatas dapat diperoleh di lembah-lembah atau pada zona pelapukan.
Gambar IV.1 : Peta Hidrogeologi Lembar Bandung (Soetrisno, 1983).
Tipologi sistem akifer yang berlaku di daerah penelitian adalah Tipologi Sistem Akifer Endapan Gunungapi ( Gambar IV.2), hal itu dikarenakan lokasinya yang dikelilingi kerucut gunungapi (lihat bab III Geomorfologi). Menurut Puradimaja (1993), IV-1
keberadaan airtanah pada sistem akifer endapan gunungapi umumnya berada pada batuan yang sangat berpori, tidak kompak, berselang – seling dengan lapisan – lapisan aliran lava yang umumnya kedap air. Hal ini menyebabkan terakumulasinya airtanah yang cukup besar dan muncul sebagai mata air dengan debit bervariasi.
Gambar IV.2 : Tipologi sistem akifer endapan gunungapi (Mandel dan Shiftan, 1981, dalam Puradimaja, 1993).
IV.2 Kondisi Hidrogeologi Daerah Penelitian. Untuk mengetahui kondisi hidrogeologi daerah penelitian, penulis mengamati penyebaran satuan litologi penyusun satuan hidrogeologi di lapangan (Lampiran IV), pengukuran ketinggian muka airtanah, dan pengukuran parameter fisika airtanah, yaitu : TDS (total dissolved solid) dan derajat keasaman (pH). IV.2.1 Litologi Berdasarkan komposisi litologi, penulis membagi daerah penelitian menjadi dua satuan hidrogeologi, yaitu Satuan Breksi dan Satuan Tuf. Untuk mengetahui lebih jelas kondisi satuan batuan, di bawah ini diuraikan mengenai kondisi geologi tiap satuan batuan dikaitkan dengan karakteristik hidrogeologi. IV-2
-
Satuan Breksi Satuan Breksi tersebar di bagian kerucut dan tengah Gunung Palasari, dan bagian
bawah Gunung Pangparang. Sebaran satuan ini sebanding dengan sebaran Satuan Breksi Piroklastik dan Satuan Lava Andesit I, merupakan bagian dari Formasi Cikapundung (Lihat Sub-Bab III.2.1 dan III.2.4). Satuan ini terdiri atas breksi, konglomerat, lava, dan tuf. Pada lapisan atas satuan ini telah mengalami pelapukan yang cukup intensif. Tebal pelapukan bisa mencapai sekitar 6m di lokasi pengamatan Pa27 (Foto IV.1). Berdasarkan uji di lapangan, pada kondisi lapuk satuan ini memiliki permeabilitas yang baik, tetapi tidak pada kondisi segar.
Foto IV.1 : Pelapukan pada Satuan Breksi (PA27) yang mencapai sekitar 6m.
Jenis mata air yang dijumpai pada satuan ini adalah mata air depresi (depression springs) dan mata air kontak (contact springs). Mata air depresi terbentuk ketika muka airtanah (water table) mencapai permukaan, muka airtanah adalah suatu permukaan dimana tekanan fluida di dalam pori sama dengan tekanan atmosfir (Fetter, 1988). Sedangkan mata air kontak terbentuk ketika unit batuan permeabel melapisi batuan yang jauh lebih rendah permeabilitasnya. Pada umumnya, kontak litologi ditandai dengan kemunculan mata air, dimana mata air tersebut adalah muka airtanah utama (main water table) atau muka airtanah menggantung (perched water table) (Fetter, 1988) (Gambar IV.3). IV-3
a
b
Gambar IV.3 : a) Model mata air depresi (Depression springs) (Fetter, 1988). b) Model mata air kontak (Contact springs) (Fetter, 1988).
Pada daerah penelitian, mata air dijumpai pada lembah – lembah ataupun tepi sungai. Mata air depresi dapat dijumpai pada lokasi pengamatan Mpa12, dimana mata air keluar pada lapukan breksi akibat perpotongan antara muka airtanah dengan permukaan topografi. Sedangkan mata air kontak muncul pada tanah pelapukan yang mengalami kontak dengan batuan segar di bawahnya. Mata air kontak dapat dijumpai pada lokasi pengamatan MLG1 (Foto IV.2).
b
a Foto IV.2 : a. Mata air depresi (Mpa12) b. Mata air kontak (MLG1) c. Sketsa mata air kontak
c
IV-4
-
Satuan Tuf Satuan Tuf tersebar di bagian bawah (footslope) dari Gunung Manglayang dan
Gunung Bukit Tunggul. Sebaran satuan ini sebanding dengan sebaran Satuan Tuf dan Satuan Lava Andesit II, merupakan bagian dari Formasi Cibeureum (Lihat Sub-Bab III.2.2 dan III.2.4). Satuan ini terdiri atas tuf dan lava. Pada lapisan atas satuan ini telah mengalami pelapukan yang cukup intensif. Tebal Pelapukan bisa mencapai sekitar 4m di lokasi pengamatan LC18 (Foto IV.3). Berdasarkan uji di lapangan, satuan ini memiliki permeabilitas yang sangat baik, pada kondisi lapuk maupun kondisi segar.
Foto IV.3 : Singkapan Lapukan Tuf (LC18).
Jenis mata air yang dijumpai pada satuan ini adalah mata air depresi (depression springs). Mata air depresi muncul pada lapukan tuf akibat perpotongan antara muka airtanah dengan permukaan topografi (Gambar IV.4).
Gambar IV.4 : Sketsa Mata air depresi pada Satuan Tuf IV-5
Lokasi mata air dijumpai pada lembah – lembah ataupun tepi sungai. Beberapa mata air telah digunakan penduduk untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari, seperti air minum, mandi, dan irigasi. Pemanfaatan tersebut dilakukan dengan cara mengalirkan air melalui pipa menuju ke perkampungan atau perkebunan (Foto IV.4). Mata air yang dimanfaatkan untuk air minum, yaitu: Mgk81 dan MLc11.
Foto IV.4 : Lokasi mata air (MLc11).(Foto menunjukkan pipa yang di gunakan penduduk untuk mengalirkan airtanah)
IV.2.2 Sistem Akifer Akifer adalah unit geologi permeabel yang jenuh dan dapat mengalirkan sejumlah air secara signifikan karena adanya gradien hidraulik (Freeze dan Cherry, 1979). Berdasarkan pengamatan karakteristik hidrogeologis satuan litologi, adanya zona pelapukan dan zona rekahan, penulis menyimpulkan bahwa sistem akifer di daerah penelitian termasuk dalam sistem akifer tidak tertekan (unconfined aquifer). Akifer tidak tertekan (unconfined aquifer) adalah akifer dimana batas atasnya berupa muka airtanah, (Freeze dan Cherry, 1979) (Gambar IV.5). Sistem akifer tidak tertekan terdapat pada pelapukan Satuan Breksi, pelapukan tuf dan Satuan Tuf itu sendiri. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, dijumpai 14 lokasi mata air pada Satuan Breksi dan tujuh lokasi mata air pada Satuan Tuf (Lampiran IV). Tidak semua debit mata air dapat diukur dengan baik di lapangan. Pada Satuan Breksi, debit terukur paling besar di jumpai pada Mpa 14 sebesar 0,35 l/detik. Sedangkan pada Satuan Tuf, debit mata air terukur hanya pada Mlc11 sebesar 0,22 l/detik (Lampiran VII). IV-6
Gambar IV.5 : Tipe Akifer (Freeze dan Cherry, 1979).
Seperti diuraikan sebelumnya, Satuan Breksi sebanding dengan Formasi Cikapundung, sedangkan Satuan Tuf sebanding dengan Formasi Cibeureum. Pada kondisi segar, litologi Formasi Cikapundung lebih kompak dibandingkan Formasi Cibeureum. Kekompakan litologi tersebut digunakan sebagai salah satu pembeda dengan Formasi Cibeureum, serta dasar untuk menentukan peran formasi ini sebagai batuan dasar hidrogeologi di Kota Bandung (Hutasoit, 2009). Sedangkan Formasi Cibeureum merupakan akifer utama di Kota Bandung (Koesoemadinata dan Hartono (1981) dan Hutasoit (2009)). IV.3 Pola Aliran Airtanah Berdasarkan penelitian yang dilakukan Darcy (1856), diketahui bahwa air mengalir dari potensi hidraulik tinggi menuju potensi hidraulik rendah, dimana hydraulic head (h) sama dengan jumlah elevation head (z) dan pressure head (Ψ) (Darcy’s Law, 1856
dalam Freeze dan Cherry, 1979). Pada muka airtanah, pressure head sama dengan nol, sehingga hydraulic head sama dengan elevation head (ketinggian muka airtanah) (Freeze dan Cherry, 1979). Pada mata air jenis depresi, ketinggian muka airtanah sebanding dengan
ketinggian mata air. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa aliran air tanah mengalir dari muka airtanah tinggi menuju muka airtanah rendah. Berdasarkan uraian sebelumnya, diketahui bahwa sistem akifer yang terdapat di daerah penelitian hanyalah satu sistem, yaitu sistem akifer tak tertekan. Oleh karena itu, ketinggian muka airtanah pada satu lokasi dapat dihubungkan dengan ketinggian muka IV-7
airtanah yang lain, sehingga terbentuk kontur ketinggian muka airtanah. Data ketinggian muka airtanah (Lampiran VI) diambil dari 21 titik pengukuran mata air yang tersebar di daerah penelitian (Lampiran IV). Berdasarkan data tersebut, penulis membuat kontur ketinggian muka air tanah dan pola aliran airtanah (Gambar IV.6). Secara umum, arah aliran airtanah di daerah penelitian menuju ke arah utara dan selatan. Perubahan arah aliran airtanah terletak pada suatu garis imajiner yang disebut groundwater divide. Sebagian besar garis imajiner ini adalah akibat dari adanya Sesar Lembang. Menurut Hubert (1940) dalam Freeze dan Cherry (1979), groundwater divide merupakan batas vertikal dibawah bukit dan lembah (garis AB dan CD), dimana pada daerah ini tidak terdapat aliran air tanah (Gambar IV.7). Dalam kaitannya dengan kondisi hidrogeologi, penelitian mengenai Sesar Lembang telah dilakukan oleh Bender (1981) dalam Iwaco-Waseco (1990). Pada penelitian tersebut di sebutkan bahwa Sesar Lembang berfungsi sebagai barrier (penghalang) airtanah untuk mengalir. Penelitian lain mengenai Sesar Lembang juga telah di lakukan oleh Delinom (2008). Dalam penelitiannya, menggunakan metoda isotop, Delinom menyimpulkan bahwa air tanah di bagian utara Sesar Lembang tidak mengalir ke sebelah selatan (Gambar IV.8).
IV-8
IV-9
Gambar IV.7 : Model groundwater divide (Hubbert (1940) dalam Freeze dan Cherry
(1979)).
Gambar IV.8 : Kondisi muka airtanah di sekitar Sesar Lembang (Delinom, 2008). IV-10
IV.4 Kualitas Airtanah Secara alamiah komposisi kimia airhujan mempengaruhi kondisi airtanah. Namun setelah mengalami infiltrasi, komposisi kimia air akan berubah karena terjadi proses pelapukan dan pelarutan mineral. Pada daerah penelitian, penulis melakukan pengukuran kualitas air tanah di lapangan. Pengukuran dilakukan antara bulan Juli – Agustus 2009, adapun data yang diukur adalah TDS dan pH. IV.4.1 Total Dissolved Solid (TDS) TDS adalah total padatan terlarut yang tersisa pada air setelah air tersebut mengalami penguapan hingga menjadi kering (Freeze dan Cherry, 1979). Berdasarkan TDS, Freeze dan Cherry (1979) mengklasifikasikan airtanah menjadi empat (Tabel IV.1). Tabel IV.1 : Klasifikasi airtanah berdasarkan kandungan TDS (Freeze dan Cherry, 1979). Kategori Fresh water Brackish water Saline water Brine water
Total Dissolved Solids (TDS) (mg/l atau g/m³) 0 - 1000 1000 - 10.000 10.000 - 100.000 > 100.000
Di daerah penelitian, nilai kandungan TDS bervariasi dengan nilai paling tinggi sebesar 105 mg/l (Mpa15), sedangkan nilai paling rendah sebesar 12 mg/l (Mpa51) (Lampiran VI). Nilai tersebut masih di bawah ambang batas (baku mutu) yang ditetapkan oleh
mentri
kesehatan,
melalui
peraturan
mentri
kesehatan
(Permenkes
No
907/Menkes/SK/VII/2002). Pada Permenkes disebutkan bahwa ambang batas TDS untuk air minum adalah 1000 mg/l. IV.4.2 Derajat Keasaman (pH) Berdasarkan hasil pengukuran pH terhadap mata air di daerah penelitian, di peroleh nilai pH berkisar antara 6,5 – 7,64 (Lampiran VI). Nilai tersebut masih di dalam ambang batas Permenkes No 907/Menkes/SK/VII/2002, yang mensyaratkan ambang batas untuk pH adalah 6,5 – 8,5.
IV-11
Berdasarkan hasil pengukuran TDS dan pH di daerah penelitian (uraian diatas), disimpulkan bahwa airtanah didaerah penelitian masih layak untuk dikonsumsi masyarakat sebagai air minum. IV.5 Kaitan antara Kondisi Hidrogeologi dengan Wilayah Bandung Timur Berdasarkan peraturan daerah (Perda) Kota Bandung no 02 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Kota, disebutkan bahwa Wilayah Bandung Timur adalah wilayah Bandung bagian timur yang mencakup Wilayah Pengembangan (WP) Ujungberung dan Gedebage. Wilayah Bandung Timur disiapkan sebagai kawasan perumahan (Pasal 15b), kawasan perkantoran (pasal 16b), kawasan pusat belanja (pasal 17h), kawasan pengembangan jasa (pasal 18c), dan kawasan industri (pasal 21d) (Lampiran VII). Oleh karena itu, jumlah penduduk Kawasan Bandung Timur diperkirakan akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Peningkatan jumlah penduduk secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah kebutuhan airtanah di Wilayah Bandung Timur. Secara morfologi, daerah penelitian berada pada elevasi lebih tinggi dibandingkan Wilayah Bandung Timur. Kondisi morfologi tersebut memungkinkan daerah penelitian, sebelah selatan groundwater divide, berperan sebagai daerah resapan (recharge area). Selain sebagai daerah resapan, kemunculan 18 mata air menjadikan daerah tersebut juga berperan sebagai daerah luahan (discharge area). Satuan litologi yang menjadi akifer di daerah penelitian adalah Satuan Tuf yang merupakan bagian dari Formasi Cibeureum dan pelapukan Satuan Breksi yang merupakan bagian dari Formasi Cikapundung. Ketebalan Satuan tuf yang diperkirakan mencapai 100m (penampang geologi) dan pelamparannya mencapai Ujungberung/ Bandung Timur (Gambar III.5) menjadikan satuan ini menjadi akifer utama di Wilayah Bandung Timur. Menurut Koesoemadinata dan Hartono (1981) dan Hutasoit (2009), Formasi Cibeureum merupakan akifer utama di Kota Bandung. Ketebalan pelapukan Satuan Breksi yang bervariasi pada setiap lokasi, dan sifat batuan segarnya yang tidak permeabel menjadikan Satuan Breksi tidak berpotensi menjadi akifer utama. Berdasarkan bentuk morfologi dan pola aliran airtanah, airtanah di sebelah selatan groundwater divide mengalir ke Wilayah Bandung Timur. Oleh karena itu, untuk
IV-12
menjaga kualitas dan kuantitas air tanah di Wilayah Bandung Timur, diperlukan konservasi hutan di sebelah selatan groundwater divide (khususnya Satuan Tuf).
IV-13