116
BAB VI KESIMPULAN
Karya sastra seperti novel memiliki unsur-unsur yang membentuk kesatuan antara satu unsur dengan unsur yang lain sehingga mewujudkan sebuah dunia di dalamnya. Novel Mahar Cinta Gandoriah merupakan sebuah novel berlatar Yogyakarta dan Ranah Minang yang mengkritisi tradisi penerapan uang jemputan dan uang hilang dalam proses pernikahan di Pariaman, tempat karakter utama cerita berasal. Kekhasan fakta-fakta cerita, tema, dan sarana-sarana sastra di dalamnya menarik peneliti untuk melakukan analisis terhadap kesatuan dalam novel Mahar Cinta Gandoriah yang merupakan hasil karya peneliti pada Juni 2013 lalu. Proses penelitian tetap dilakukan secara objektif dengan menganalisis masing-masing unsur di dalam novel Mahar Cinta Gandoriah, yang kemudian peneliti menemukan kesatuan-kesatuan yang menunjukkan adanya hubungan antara satu unsur dengan unsur lainnya. Kesatuan tersebut bisa tampak dari setiap unsur. Alur yang digunakan pengarang dalam novel Mahar Cinta Gandoriah ialah alur maju. Pada tahap awal merupakan pengenalan karakter utama Sahara sebagai gadis berpendidikan dan memiliki prinsip yang kuat, serta berlandaskan pemahamannya terhadap ajaran agama Islam. Sahara didesak banyak pihak untuk segera menikah setelah menyelesaikan pendidikan masternya di Yogyakarta. Pada bagian tengah, Sahara
117
mulai dihadapkan pada masalah-masalahnya selama di Pariaman, terutama konflik antara dirinya dengan Mak Yun dalam menerima atau menolak tradisi penetapan uang jemputan dan uang hilang. Tahap akhir menunjukkan kebahagiaan dan kelegaan karakter Sahara karena dia menikah dengan Fauzi, lakilaki betawi. Alur secara tidak langsung mengenalkan karakter utama kepada pembaca. Karakter utama dalam novel Mahar Cinta Gandoriah ialah Sahara yang berwatak tegas, berprinsip, tetapi juga memiliki sisi kerapuhan sebagai manusia biasa, semisal mudah menangis. Karakter-karakter pendukung selain Sahara ialah Apa dan Ama sebagai orang tuanya, Aref dan Aena sebagai adik-adiknya, Piti dan Syam sebagai sepasang sahabatnya, Wangi sebagai teman setianya di Yogyakarta, Mak Yun sebagai pamannya, dan ada empat lelaki yang mendekatinya yaitu Tanjung, Mas Prabu, Uda Dinul, serta Fauzi, dan juga beberapa karakter lainnya yang tidak terlalu berpengaruh dalam konflik cerita. Fakta cerita juga ditunjukkan dari latar yang digunakan pengarang. Latar terdiri dari tempat, waktu, dan suasana. Latar tempat yang digunakan pengarang ialah Yogyakarta dan Pariaman. Latar waktunya ialah saat Sahara masih berstatus sebagai mahasiswa S2 dan waktu Sahara setelah memperoleh gelar master. Latar suasana juga dipengaruhi oleh ranah sosial di Pariaman yang memiliki banyak tradisi sehingga Sahara yang berprinsip tegas diuji dalam banyak masalahnya menghadapi pernikahan.
118
Selain fakta cerita, untuk menemukan kesatuan dalam suatu karya juga perlu menganalisis sarana-sarana sastra di dalamnya. Setelah peneliti melakukan analisis studi pustaka yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka diketahui bahwa semua sarana sastra dalam Mahar Cinta Gandoriah menuju kepada sebuah kesatuan yang saling berhubungan. Judul “Mahar Cinta Gandoriah” juga relevan dengan isi cerita yaitu ‘mahar’ sebagai simbol pernikahan, juga berkaitan dengan ‘cinta’ sebagai wujud perasaan, dan ‘Gandoriah’ yaitu nama pantai yang dijadikan pengarang sebagai latar tempat yang mendominasi dalam cerita. Tidak hanya judul, penggunaan sudut pandang yang tepat juga memengaruhi jalannya cerita. Sudut pandang dalam novel Mahar Cinta Gandoriah yaitu sudut pandang orang pertama-utama dengan menggunakan ‘Aku’ yaitu Sahara sebagai karakter utama sekaligus karakter yang mendominasi dalam cerita. Gaya bahasa pengarang yaitu sering menggunakan kiasan berlebihan dan kalimat mengomentari banyak hal berbentuk pertanyaan seolah ajakan berkomunikasi langsung dengan pembaca. Dalam novel Mahar Cinta Gandoriah, pengarang mewujudkan tone dalam bentuk penuh perasaan. Pengarang tercermin sebagai sosok yang penuh perasaan, terutama keromantisan sekaligus kekonyolan. Simbolisme dalam Mahar Cinta Gandoriah terlihat dari diksi ‘mahar’ sebagai simbol pernikahan. Selain itu simbol juga ditemukan dalam pembentukan nama ‘Komunitas Anak-Anak’, nama sanggar ‘Pondok Kabun’ yang berarti tempat menanam benih kemampuan menulis, serta pemilihan nama Sahara sebagai
119
simbol perempuan yang meskipun dihadapi dengan banyak persoalan hidup tetap tegar mengatasinya. Dalam novel Mahar Cinta Gandoriah terdapat ironi dramatis. Misalnya, Sahara yang selalu diikuti Tanjung seolah Tanjung sulit melupakan masa lalunya dengan Sahara, lalu berkeinginan bisa menikahi Sahara. Akan tetapi, setelah pihak keluarga Sahara menanyakannya pada Tanjung, laki-laki misterius itu tidak berkeinginan menjadi suami Sahara. Pada ending novel, Sahara justru menikah dengan Fauzi, laki-laki Betawi yang sempat bertugas di Yayasan Al-Jundi cabang Pariaman. Semua unsur dalam fakta cerita dan sarana sastra dapat menunjukkan tema novel. Tema terbagi dua yaitu tema minor dan tema mayor. Tema minor dalam novel Mahar Cinta Gandoriah ialah konflik-konflik antara Sahara dengan dengan sahabatnya, dengan adik-adiknya, dengan Mak Yun, dan dengan laki-laki yang mendekatinya. Tema mayor atau tema secara keseluruhan dalam novel Mahar Cinta Gandoriah ialah pernikahan. Sahara didesak untuk segera menikah, tetapi banyak masalah yang dihadapinya sampai pada akhirnya Sahara dinikahi laki-laki Betawi yaitu Fauzi. Unsur dalam novel Mahar Cinta Gandoriah saling berhubungan yaitu antara tema dengan alur, karakter, dan latar. Tema pernikahan yang melibatkan karakter gadis berprinsip seperti Sahara yang berasal dari Pariaman telah berhasil menggerakkan alur yang semula Sahara tidak berniat menikah, kemudian didesak
120
menikah, lalu menghadapi banyak konflik menuju tahap pernikahan, sampai dia dinikahi Fauzi. Kesemuanya saling berhubungan dan membentuk kesatuan organis dalam cerita, termasuk didukung oleh sarana-sarana yang memengaruhi seperti penentuan latar tempat yaitu Pariaman yang memiliki tradisi unik menjelang pernikahan. Tidak sebatas kesatuan organis, kesatuan dunia juga berhasil ditemukan setelah analisis dilakukan. Dunia dalam novel Mahar Cinta Gandoriah telah membentuk kesatuan antara karakter Sahara yang tegas dengan latar daerahnya yang banyak tradisi, juga dengan episode setiap bab cerita dari awal sampai akhir. Tokoh-tokoh selain Sahara yang dimunculkan pengarang dalam novel Mahar Cinta Gandoriah memiliki peran masing-masing untuk membentuk kesatuan dunia yang apabila kurang satu di antaranya, maka dunia itu tidak akan terbentuk. Hubungan dan keterkaitan antar-unsur itu telah peneliti bahas pada bagian sebelumnya. Oleh sebab itu, peneliti menemukan dunia pertahanan prinsip oleh karakter Sahara dalam novel Mahar Cinta Gandoriah. Dunia pertahanan prinsip maksudnya ialah karakter utama yang dihadapkan pada beragam konflik menuju pernikahannya, tetapi dari awal sampai akhir pengarang menunjukkan sebuah prinsip yang teguh dipertahankan karakter utama. Pertahanan prinsip tersebut yang berfungsi sebagai pemuncul atau pelerai konflik-konflik cerita. Secara keseluruhan, pengarang ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa tidak semua tradisi bisa dilestarikan. Selain itu, melalui peran karakter Sahara, novel Mahar Cinta Gandoriah tampak menampilkan sosok
121
perempuan cerdas yang memiliki ketahanan prinsip sehingga tidak takut mengkritisi tradisi uang jemputan dan uang hilang di kampung halamannya. Berdasarkan rincian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa ditemukan hubungan fakta-fakta cerita, tema, dan sarana-sarana sastra dalam membentuk kesatuan organis sekaligus kesatuan dunia dalam novel Mahar Cinta Gandoriah. Maksud atau makna cerita dari novel Mahar Cinta Gandoriah ialah tidak semua tradisi di Pariaman sesuai dengan syariat agama masyarakatnya sehingga tradisi uang jemputan dan uang hilang pun tidak perlu dipaksa harus diikuti, apalagi bagi perempuan yang berasal dari keluarga sederhana. Jodoh itu sudah ada yang mengatur dan diikhtiarkan dengan cara yang disyariatkan agama. Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Kekurangan juga tampak dari kualitas novel Mahar Cinta Gandoriah yang masih perlu banyak perbaikan pada unsur-unsur pembangunnya agar menjadi novel yang lebih berkualitas dan layak baca. Oleh karena itu, peneliti secara tidak langsung menyadari kelemahan novel Mahar Cinta Gandoriah sehingga menjadi pembelajaran untuk karya yang akan ditulis berikutnya. Selain itu, novel Mahar Cinta Gandoriah masih dimungkinkan diteliti oleh peneliti yang lain dengan judul, teori, dan isi analisis yang berbeda.