BAB III HIDROGEOLOGI
BAB III HIDROGEOLOGI 3.1
HIDROGEOLOGI REGIONAL
Hidrogeologi Jayapura telah diteliti oleh Purwanto dan Budiana, 1982 (Gambar 3.1) dari Direktorat Geologi Tata Lingkungan Sub Direktorat Hidrogeologi dan dibedakan menjadi tiga mandala yakni:
Mandala airtanah dataran/perbukitan (Akifer dengan aliran melalui ruang antar-butir) : Muka airtanah tak-terkekang umumnya dangkal, dekat ke permukaan sampai kedalaman kurang dari 10 m. Buaian muka airtanah tak-terkekang pada musim hujan dan musim kemarau umumnya kecil. Pada mandala airtanah ini dijumpai beberapa mataair yang umumnya berluah kecil, kurang dari 5 lt/detik.
Mandala airtanah batugamping (Akifer dengan aliran melalui ruang, rekahan dan saluran) : Di mandala ini keterdapatan airtanah terbatas pada rekahan, celahan maupun saluran pelarutan. Karena keterdapatannya yang demikian, muka airtanah juga sangat beragam, tetapi umumnya akan dalam. Di beberapa tempat pada mandala airtanah ini (Pegunungan A) terdapat banyak pola kelurusan (berdasar citra foto udara), yang dapat ditafsirkan sebagai daerah dengan produktivitas akuifer tinggi. Kemungkinan besar di daerah dengan banyak kelurusan akan dijumpai banyak sistem rekahan maupun celahan. Banyak pemunculan mataair dijumpai pada mandala airtanah ini. Luah mataair tersebut sangat beragam besarnya antara 1 sampai lebih dari 100 lt/detik.
Mandala airtanah batuan beku dan batuan malihan (Akifer dengan produktifitas kecil dan daerah airtanah langka) : Produktivitas akuifer umumnya rendah, seperti dicerminkan dari tidak adanya munculan mataair yang berluah cukup.
III - 21
Gambar 3.1
Peta hidrogeologi regional yang mencakup daerah penelitian dan sekitarnya (Purwanto dan Budiana, 1982)
BAB III HIDROGEOLOGI
III - 22
BAB III HIDROGEOLOGI
3.2
IKLIM DAN CURAH HUJAN
Secara umum keadaan iklim di Jayapura adalah tropis, dimana pengaruh angin pusat dan angin muson tenggara sangat besar. Temperatur rata-rata 260 pada siang hari, temperatur maksimum antara 300-320C sedangkan pada malam hari temperatur minimum 210-230C. Musim hujan terjadi antara bulan Desember dan Maret, musim kemarau pada bulan Mei dan Oktober sedangkan curah hujan berkisar sekitar 1200-2700 mm/th dan kecepatan angin rata-rata dibawah 15 km/jam. Informasi tentang curah hujan di daerah penelitian diperoleh dari hasil pencatatan pada stasiun pengukuran hujan Kotaraja. Hujan turun hampir sepanjang tahun, dengan ratarata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei (238,8 mm/bln) dan Oktober (224,2 mm/bln), dan rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari (114,0 mm/bln). Total rata-rata curah hujan untuk lima tahun (2000 – 2004) adalah 2004,6 mm/th, dengan rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2001 (2656 mm/th) dan ratarata curah hujan terendah terjadi pada tahun 2002 (1179 mm/th) (Tabel 3.1).
Tahun Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total (mm/th)
2000 (mm/bln)
2001 (mm/bln)
2002 (mm/bln)
2003 (mm/bln)
2004 (mm/bln)
Rata-rata (mm/bln)
208 48 102 65 265 243 90 304 44 327 205 88 1989
232 275 320 246 269 91 215 202 204 240 72 290 2656
82 75 97 58 270 82 208 49 66 34 102 56 1179
102 107 64 51 47 214 286 259 272 240 61 250 1953
220 65 60 337 343 233 212 54 101 280 270 71 2246
168.8 114.0 128.6 151.4 238.8 172.6 202.2 173.6 137.4 224.2 142.0 151.0 2004.6
Tabel 3.1. Data curah hujan tahun 2000-2004. Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Jayapura (2006).
III - 23
BAB III HIDROGEOLOGI
3.3
HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Berdasarkan hasil pemetaan, maka kondisi hidrogeologi tiap satuan litologi di daerah penelitian (Gambar 3.2) adalah sebagai berikut :
Gambar 3.2
Peta hidrogeologi daerah penelitian
III - 24
BAB III HIDROGEOLOGI
3.3.1
Satuan Sekis
Pada lokasi penelitian dijumpai tiga mataair yang berupa rembesan dengan debit yang tidak berarti, sedangkan sumur gali pada satuan ini berjumlah tiga dengan kedalaman airtanah antara 3-5 meter (Foto 3.1). Mataair yang keluar, berasal dari pelapukan dimana permukaan lapukan sekis berpotongan dengan muka airtanah. Berdasarkan kondisi tersebut maka jenis mataair pada satuan sekis ini dapat diklasifikasikan sebagai mataair depresi (Fetter, 1988). Konduktivitas hidrolik kualitatif menunjukkan perbedaan antara sekis yang melapuk dan segar (fresh), hasil lapukan mampu menyimpan dan mengalirkan air baik melalui hubungan antar butir maupun rekahan, sedangkan yang segar tidak demikian halnya walaupun ada kemungkinan untuk mengalirkan air bila terdapat rekahan pada tubuh sekis.
3.3.2
Satuan Batugamping II
Foto 3.1. Sumur gali dan pemunculan mataair pada Satuan Sekis (arah foto ke utara). Foto 3.2. Pemunculan mataair pada Satuan Batugamping II (arah foto ke barat)
Pada satuan ini terdapat enam mataair, diantaranya ada yang berdebit 50 lt/detik (Foto 3.2), sedangkan sumur gali yang dijumpai pada satuan ini, berjumlah empat buah dengan III - 25
BAB III HIDROGEOLOGI
kedalaman airtanah berkisar 2-4 meter. Mataair yang berdebit besar ini muncul pada rekahan tubuh batugamping yang terakumulasi menjadi sebuah telaga kecil dan menjadi salah satu sumber air Sungai Acai. Pada satuan ini tidak dijumpai karakteristik karst seperti sinkhole atau dolina, namun lebih didominasi oleh retakan, rekahan dan patahan pada tubuh batugamping yang kemungkinan dikontrol oleh struktur geologi regional maupun lokal berupa sesar geser Kotaraja. Resapan (recharge) kedalam tubuh batuan ini, mengalir masuk melalui rekahan-rekahan yang terbentuk oleh struktur geologi dan keluar melalui rekahan-rekahan pada tubuh batugamping. Berdasarkan kondisi tersebut maka jenis mataair pada satuan batugamping II ini dapat dikategorikan sebagai mataair rekahan (fracture spring) (Fetter, 1988).
3.3.3
Satuan Perselingan Napal-Batupasir
Sumur gali yang dijumpai pada satuan ini berjumlah enam sumur dengan kedalaman airtanah antara 0-1 meter (Foto 3.3). Pada satuan ini, yang menjadi akifer adalah batupasir dan konglomerat sedangkan napal berfungsi sebagai lapisan impermeabel.
Foto 3.3
Sumur gali dan mataair pada Satuan Perselingan Napal-Batupasir yang dimanfaatkan penduduk sekitar (arah foto ke tenggara).
III - 26
BAB III HIDROGEOLOGI
Konduktivitas hidrolik menunjukkan, batupasir memiliki kemampuan untuk menyimpan dan mengalirkan air dalam jumlah yang ekonomis ke sumur dan mataair. Hal ini terlihat dengan dilakukannya pemasangan saringan (screen) pada batupasir dan konglomerat di sumur bor Dewi dan pemunculan mataair yang cukup banyak, terutama pada batupasir dan umumnya telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kebutuhan seharihari. Pada satuan ini dijumpai pemunculan mataair yang paling banyak dibanding satuan lainnya di daerah penelitian (Tabel 3.2). Pemunculan mataair-mataair ini umumnya dijumpai sepanjang jalur patahan sehingga diduga berhubungan dengan pembentukan sesar normal di daerah penelitian. Patahan ini membentuk rekahan-rekahan pada tubuh akifer dan juga menyebabkan lapisan akifer tersingkap ke permukaan, berpotongan dengan permukaan tanah dan muncul sebagai mataair di sepanjang zona patahan terutama pada bagian hangingwall dari bidang patahan, dan mengalir ke bagian tengah daerah penelitian. Berdasarkan kondisi tersebut, maka jenis mataair pada satuan ini dapat dikategorikan sebagai mataair patahan (fault spring) (Fetter, 1988).
Satuan Mataair Jumlah Debit (l/det) Magnitude (Meinzer opcit Todd, 1980) Tabel 3.2
3.3.4
Aluvial
Perselingan Napal-Batupasir
Batugamping II
Sekis
2 0.1-1
18 0.1-2
6 1-50
3 < 0.1
Sixth
Sixth-Fifth
Fourth
Seventh
Distribusi mataair dan besaran debit di tiap satuan batuan
Satuan Batugamping I
Pada satuan ini tidak dijumpai pemunculan mataair. Hal ini diduga berkaitan dengan konduktivitas hidrolik yang menunjukkan satuan ini tidak memiliki kemampuan untuk meluluskan, menyimpan dan mengalirkan air dalam jumlah yang berarti. Dugaan ini diperkuat dengan hasil pengamatan kondisi singkapan Batugamping I di lapangan yang relatif mengkristal dan no-porosity.
III - 27
BAB III HIDROGEOLOGI
3.3.5
Satuan Aluvial
Konduktivitas hidrolik menunjukkan satuan ini memiliki kemampuan untuk menyimpan dan mengalirkan air dalam jumlah yang berarti. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya dijumpai sumur gali dengan muka airtanah yang relatif dangkal yakni kurang dari satu meter, bahkan ada yang sama dengan ketinggian muka tanah setempat (Foto 3.4).
Foto 3.4
3.3.6
Sumur gali yang terdapat pada Satuan Aluvial (arah foto ke timur).
Muka Airtanah dari Sumur Gali dan Mataair
Lapukan Satuan Sekis, Satuan Batugamping II, Satuan Perselingan Napal-Batupasir dan Satuan Aluvial diduga saling berhubungan membentuk akifer tidak terkekang di daerah penelitian. Khusus pada Satuan Perselingan Napal-Batupasir, jenis mataair yang terbentuk dikategorikan sebagai mataair patahan, dengan perlapisan batuan yang relatif miring ke arah selatan-baratdaya dan mataair yang mengalir sesuai kelerengan yakni ke arah yang berlawanan. Hal ini memunculkan dugaan bahwa pada satuan ini terdapat dua sistem aliran airtanah yaitu sistem airtanah yang berada pada hangingwall dan footwall dari patahan. Sistem airtanah pada hangingwall selanjutnya bergabung membentuk akifer tidak terkekang dengan satuan lainnya di daerah penelitian, dibuktikan dengan kehadiran sumur gali yang terletak pada satuan ini, sedangkan bagian footwall diduga membentuk sistem airtanah terkekang. Namun demikian, luahan (discharge) dari III - 28
BAB III HIDROGEOLOGI
footwall menjadi resapan (recharge) pada bagian hangingwall, sedangkan resapan untuk footwall kemungkinan berada di bagian lain daerah penelitian. Berdasarkan elevasi mukaairtanah, mataair dan kedalaman muka airtanah sumur gali (Lampiran III) maka dilakukan penggambaran kontur muka airtanah dan arah aliran (Gambar 3.3).
Gambar 3.3
Peta muka airtanah di daerah penelitian
Elevasi muka airtanah yang paling rendah yakni 10-20 meter terdapat di bagian tengah daerah penelitian yang merupakan daerah dataran, semakin ke arah perbukitan, elevasi muka airtanah semakin tinggi. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kontur muka airtanah dikontrol oleh bentuk morfologi, sehingga pola garis kontur topografi daerah penelitian, III - 29
BAB III HIDROGEOLOGI
mencerminkan juga pola kesamaan muka airtanah. Hal ini menyebabkan aliran airtanah di daerah perbukitan, secara umum mengalir ke daerah yang lebih rendah terutama pada bagian tengah daerah penelitian, sesuai dengan arah umum kelerengannya. Resapan utama dari airtanah pada akifer ini diduga berasal dari air hujan. Sungai Acai dan Sungai Kotaraja diduga tidak memberikan kontribusi yang berarti, hal ini disebabkan elevasi muka air sungai yang teramati di lapangan, umumnya lebih rendah (8,2 – 9,8 m) dari muka airtanah (10 – 11 m), yang mengindikasikan aliran kedua sungai tersebut justru disuplai oleh aliran airtanah di daerah penelitian. Sedangkan luahan di daerah penelitian berupa sumur gali yang dijumpai hampir di seluruh satuan batuan, mataair pada Satuan Perselingan Napal-Batupasir, lapukan Satuan Sekis dan Satuan Batugamping II, sumur bor pada Satuan Perselingan Napal-Batupasir dan sungai. Dari kondisi diatas, maka diduga seluruh daerah penelitian merupakan daerah resapan yang sekaligus dapat menjadi daerah luahan.
3.3.7
Hasil Geolistrik
Data geolistrik sebanyak 10 titik diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan yang didasarkan pada kondisi hidrogeologi daerah penelitian (Gambar 3.4). Pemilihan lokasi pengukuran didasarkan pada panjang bentangan yang dapat diukur, kelerengan yang relatif landai (<10o), bukan merupakan daerah genangan air/rawa dan grid-grid titik lokasi pengukuran yang dianggap representatif terhadap luasan daerah penelitian. Namun pengukuran berdasarkan grid-grid ini, tidak dapat dilakukan secara ideal di lapangan, karena terkendala dengan banyaknya bangunan perkantoran, perumahan, rawa, kelerengan yang besar dan saluran irigasi. Kondisi ini menyebabkan pengukuran dilakukan dengan tetap berpatokan pada grid lokasi yang telah dibuat namun dengan penyesuaian terhadap kondisi lapangan. Data – data tersebut kemudian diproses dengan program komputer (Lampiran I), memperlihatkan harga resistivitas batuan sebenarnya (true resistivity) dan ketebalan dengan anggapan data tersebut mewakili kondisi lateral dan vertikal pada titik pusat pengukuran.
III - 30
BAB III HIDROGEOLOGI
Gambar 3.4
Lokasi pengukuran titik geolistrik
Dalam menafsirkan kondisi geologi bawah permukaan, pada prinsipnya nilai tahanan jenis mencerminkan litologi sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 3.3. Korelasi nilai resistivitas dengan litologi dari satu daerah dengan daerah lain sering menunjukkan nilai yang berbeda, oleh karena itu, korelasi antara parameter litologi dan parameter geolistrik harus dikontrol dengan mengkalibrasi nilai resistivitas dengan litologi yang ada pada sumur bor atau dengan singkapan batuan yang terdekat.
III - 31
BAB III HIDROGEOLOGI
Litologi Shale Sandstone Limestone Dolomit Sand Clay Marl Brackish water Seawater Supersaline brine Basalt slate
Resisitivitas (ohm-m) 10 –10.3 1- 108 50 – 107 102 – 104 1 – 103 1 – 102 1 – 102 0,3 - 1 0,2 -2 5 – 2-1 10 – 107 102 – 107
Tabel 3.3 Kisaran nilai resistivitas (Telford dkk., 1982)
Penyesuaian nilai resistivitas terhadap litologi di daerah penelitian, didasarkan pada hasil kalibrasi nilai tahanan jenis hasil pengukuran geolistrik terhadap data log litologi daerah Dewi (Gambar 3.5). Hasil kalibrasi data geolistrik titik STIE, Bosowa, BTN dan Pasar Youtefa dengan data log menunjukkan bahwa nilai tahanan jenis 1,7 – 20 ohm-m sama dengan tanah penutup berupa pasir, kerikil dan lempung, 0,599 – 21,9 ohm-m sama dengan napal dan lempung pasiran, 20 – 172,7 ohm-m sama dengan batupasir, batupasir kerikilan, pasir lempungan, 142,6 - 613 ohm-m sama dengan batugamping.
Hasil kalibrasi data geolistrik titik-titik Cigombong, DPR, BPG, Youtefa, Kolam Renang dan Otonom dengan data log menunjukkan bahwa nilai tahanan jenis 11,29 – 31,5 ohm-m sama dengan tanah penutup berupa pasir, kerikil dan lanau, 0,599 – 40 ohm-m sama dengan napal dan lempung pasiran, 40,33 – 131,88 ohm-m sama dengan batupasir, batupasir kerikilan, pasir lempungan, lebih dari 654,15 ohm-m sama dengan konglomerat.
III - 32
BAB III HIDROGEOLOGI
Gambar 3.5
Hasil kalibrasi data geolistrik dengan data bor sumur Dewi dan geologi permukaan.
III - 33
BAB III HIDROGEOLOGI
3.3.8
Analisis Data Uji Pompa (pumping test)
Gambar 3.6. Konstruksi sumur bor daerah Dewi
Pada konstruksi sumur bor Dewi, saringan terletak pada kedalaman antara 37,5 – 50 meter, 65 – 77,5 meter dan 82,5 – 95 meter pada lapisan pasir kerikilan yang termasuk kedalam Formasi Makats (Gambar 3.6). Walaupun penempatan saringan dilakukan pada tiga lapisan akifer yang berbeda, namun muka airtanah pada sumur bor memperlihatkan ketinggian yang sama dengan muka airtanah pada sumur dangkal (sumur gali) yakni III - 34
BAB III HIDROGEOLOGI
hampir sama dengan muka tanah. Kondisi ini mengindikasikan unit-unit akifer tersebut terhubung sebagai satu sistem akifer.
Gambar 3.7 Grafik uji pompa dan hasil perhitungan (Dinas PU Provinsi Papua).
Data uji pompa yang diperoleh dari Laporan Proyek Sumur Artesis RSUD Abepura Jayapura, berupa grafik uji pompa (Gambar 3.7.), dengan tinggi muka airtanah = -0,5 m, debit (Q) = 82,02 m3/hari, transmivitas (T) = 1,64E-04 m2/det, tebal akifer (D) = 65 m dan konduktivitas hidrolik (K) = 2,52E-06 m/det. Hasil uji pompa dan analisis menyebutkan bahwa akifer di daerah pemboran termasuk jenis akifer terkekang III - 35
BAB III HIDROGEOLOGI
(confined aquifer) (Provinsi Papua dan CV. Sinar Marante, 2002, Laporan Proyek Sumur Artesis RSUD Abepura, Jayapura). Data-data di atas dianalisis kembali untuk membuktikan kesimpulan bahwa jenis akifer di sumur bor Dewi merupakan akifer terkekang, yakni dengan membandingkan kurva uji pompa dengan kurva model (Gambar 3.8).
Gambar 3.8
Grafik uji pompa dan grafik model (Kruseman dan de Ridder, 1994)
Pada kurva uji pompa terlihat bahwa pemompaan pada menit-menit awal menyebabkan drawdown yang cepat, menit ke-45 dan seterusnya drawdown relatif stabil sedangkan kurva drawdown selanjutnya tidak diketahui karena waktu pemompaan hanya 22 jam, sedangkan waktu ideal yang diperlukan untuk suatu uji pompa seharusnya 24 jam untuk akifer terkekang dan 72 jam untuk akifer tidak terkekang (Driscoll, 1986). Bila waktu pemompaan dilanjutkan maka ada dua kemungkinan yang terjadi yakni kurva drawdown selanjutnya akan tetap stabil karena adanya resapan air permukaan dari sungai dan rawa maupun resapan dari aliran air hujan (akifer semi terkekang?) dan yang kedua kurva drawdown akan naik lagi (akifer tidak terkekang?). Dari perbandingan kurva uji pompa
III - 36
BAB III HIDROGEOLOGI
dengan kurva model maka jenis akifer terkekang (confined aquifer) tidak termasuk dalam kriteria ini, karena pada akifer terkekang tidak dijumpai kurva yang berbentuk datar sebagai indikasi pergerakan drawdown yang relatif stabil. Kurva uji pompa yang sesuai dengan kurva model adalah akifer tidak terkekang (unconfined aquifer) atau akifer semi terkekang (leaky aquifer), sehingga dapat disimpulkan bahwa akifer yang terdapat di daerah penelitian bukan jenis akifer terkekang melainkan akifer tidak terkekang atau akifer semi terkekang. Setelah diketahui jenis akifer di daerah sumur bor, maka dilakukan perhitungan untuk menentukan properti akifer dan efisiensi sumur. Metode yang digunakan untuk menentukan properti akifer pada akifer tidak terkekang adalah metode Neuman (Gambar 3.9), karena merupakan satu-satunya metode yang dapat digunakan untuk kasus aliran unsteady-state baik pada akifer isotropik maupun anisotropik (Kruseman dan de Ridder, 1994). Pada akifer semi terkekang terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk aliran unsteady-state yaitu metode curve-fitting Walton, metode inflection-point Hantush, metode curve-fitting Hantush dan metode Ratio Neuman & Witherspoon (Kruseman dan de Ridder, 1994). Metode curve-fitting Hantush dan metode Ratio Neuman & Witherspoon dapat digunakan bila uji pompa dilakukan baik pada akifer maupun akitar, namun karena uji pompa pada akitar tidak dilakukan maka kedua metode ini tidak dapat digunakan dalam kasus ini. Metode inflection-point dan metode curvefitting Walton dapat digunakan karena hanya membutuhkan data uji pompa pada akifer. Perbedaan kedua metode ini terletak pada prosedur perhitungan, metode inflection-point menggunakan data grafik drawdown sedangkan metode Walton menggunakan grafik drawdown yang dicocokkan dengan kurva Walton. Pada kasus ini, metode yang digunakan adalah metode Walton (Gambar 3.10). Penentuan efisiensi sumur dilakukan dengan uji pompa bertahap (step-drawdown test), dimana untuk perhitungan ini terdapat beberapa metode yang dapat digunakan yaitu metode Hantush-Bierschenk, metode Eden-Hazel, metode Rorabaugh dan metode Sheahan (Kruseman dan de Ridder, 1994). Metode Eden-Hazel digunakan khusus untuk jenis akifer terkekang. Metode Rorabaugh dan metode Sheahan adalah dua metode yang hampir sama karena didasarkan pada persamaan Rorabaugh dan dapat digunakan untuk III - 37
BAB III HIDROGEOLOGI
jenis akifer terkekang, semi terkekang maupun tidak terkekang. Perbedaan keduanya, metode Rorabaugh menggunakan data grafik drawdown sedangkan metode Sheahan menggunakan data grafik yang dicocokkan dengan kurva Sheahan. Metode HantushBierschenk dapat dipakai untuk ketiga jenis akifer dan nilai P telah ditentukan (Kruseman dan de Ridder, 1994). Oleh sebab itu, dari keempat metode di atas maka metode Hantush-Bierschenk, metode Rorabaugh dan metode Sheahan dapat digunakan untuk melakukan perhitungan uji pompa bertahap ini. Pada perhitungan ini, metode yang digunakan adalah metode Hantush-Bierschenk dan Metode Sheahan. Metode Neuman dilakukan dengan memplot nilai drawdown (s) dan waktu (t) uji pompa pada kertas log-log kemudian dicocokkan dengan kurva Neuman yang memuat well function kondisi waktu awal dan akhir (W(uA, uB, β)) terhadap (1/uA) dan (1/uB) untuk memperoleh nilai (β). uA dan uB adalah kondisi waktu awal dan akhir dari perbandingan jarak sumur pantau (r) dan storativitas (S) terhadap transmisivitas (T) (Gambar 3.9).
Gambar 3.9
Grafik uji pompa berdasarkan metoda Neuman
III - 38
BAB III HIDROGEOLOGI
Selanjutnya ditentukan dua titik pada nilai β yang sama untuk mendapatkan nilai drawdown (s), waktu (t), 1/uA, 1/uB dan W(uA, uB, β), sedangkan parameter hidrolik seperti transmisivitas awal (ThA), transmisivitas akhir (ThB), storativitas waktu awal (SA), specific yield (SY), konduktivitas hidrolik vertikal (Kv) dan konduktivitas hidrolik horizontal (Kh) dihitung dengan menggunakan rumus:
ThA =
Q W (u A , β ) ........................................................................................................(1) 4πs
ThB =
Q W (u B , β ) ........................................................................................................(2) 4πs
SA =
4ThA .t A .u A ..................................................................................................................(3) r2
SY =
4ThB .t B .uB ..................................................................................................................(4) r2
Kh =
(ThA + ThB ) / 2 ...............................................................................................................(5) b
Kv =
β .b 2 .K h r2
dimana:
....................................................................................................................(6) Q b r β
= = = =
debit pompa tebal akifer jarak sumur pantau r2Kv/b2Kh
s = W(uA,uB,β)= t = uA =
drawdown well function waktu pompa r2.SA/4TA.t
Tebal akifer (b) dan debit (Q) diketahui dari hasil pemompaan. Dari analisis grafik diperoleh: sA = 11,5 m, sB = 4,5 m, β = 0,4, tA = 1 menit = 60 detik, tB = 10 menit = 600 detik, 1/uA = 0,7, 1/uB = 7,0E-04, W(UA, β) = 7,0E-02 dan W(UB, β) = 0,7. Sedangkan dari perhitungan (Lampiran II) diperoleh ThA = 0,136 m2/hari, ThB = 3,48 m2/hari, SA = 9,8E-02, SY = 2,55E+04, Kh = 6,02E-02 m/hari, Kv = 4,01E+03 m/hari dan nilai rasio SY/SA = 2,61E+05. Nilai rasio (SY/SA) > 10 menunjukkan bahwa kasus ini memenuhi syarat untuk menggunakan metode Neuman.
III - 39
BAB III HIDROGEOLOGI
Metoda Walton (Gambar 3.10) dilakukan dengan memplot nilai drawdown (s) dan waktu (t) uji pompa pada kertas log-log kemudian dicocokkan dengan kurva Walton yang memuat well function W(u, r/L) terhadap (1/u) untuk memperoleh parameter integral r/L (r = jarak sumur pantau, L = faktor leakage).
Gambar 3.10 Grafik uji pompa berdasarkan metoda Walton
Sedangkan nilai transmisivitas (T), storativitas (S) dan konduktivitas hidrolik (K), diperoleh dengan menggunakan rumus:
T=
Q W (u, r / L) .........................................................................................................(7) 4πs
S=
4T .t u .......................................................................................................................(8) r2
K=
T .............................................................................................................................(9) b
dimana:
Q = debit pompa s = drawdown
b = tebal akifer W(u,r/L) = well function
Tebal akifer (b) dan debit (Q) diketahui dari hasil pemompaan. Dari hasil analisis grafik diperoleh s = 5 m, t = 17 menit = 1.020 detik, W(u, r/L) = 0,1, 1/u = 10 dan r/L = 1,0. III - 40
BAB III HIDROGEOLOGI
Setelah dilakukan perhitungan (Lampiran II) maka diperoleh nilai parameter hidrolik akifer pada sumur ini, T = 0,447 m2/hari, K = 1,49E-02 m/hari dan S = 3,85. Selanjutnya dilakukan analisis uji pompa bertahap (step drawdown) menggunakan metode Hantush-Bierschenk (Gambar 3.11) dan metode Sheahan (Gambar 3.12) untuk mengevaluasi parameter koefisien akifer-loss (B) dan well-loss (C), untuk menentukan efisiensi sumur dan mengetahui kondisi sumur.
Gambar 3.11 Grafik metode Hantush-Bierschenk
Nilai B diperoleh dari perpotongan garis linier (dari grafik specific drawdown (swn/Qn) terhadap debit pemompaan (Qn)) dengan sumbu y, sedangkan nilai C diperoleh dari perbandingan selisih specific drawdown (∆Swn/Qn) dengan selisih debit (∆Qn) (Kruseman dan de Ridder, 1994). Dari perhitungan grafik (Lampiran II) diperoleh nilai B = 1,83E-03 hari/m2
dan nilai C = 1,15E-05 hari2/m5 atau 5,55E-12 menit2/m5. III - 41
BAB III HIDROGEOLOGI
Berdasarkan nilai koefisien well-loss (C), kondisi sumur masuk dalam kategori properly designed and developed (didesain dan dikembangkan dengan baik) (Tabel 3.4). Selanjutnya ditentukan efisiensi sumur (well efficiency) (Driscoll, 1986) dengan rumus:
Ew =
BQn BQn + CQn
Dimana:
P
100% .............................................................................................(10)
BQn = aquifer loss P = 2
CQn = well-loss
Nilai efisiensi sumur yang diperoleh (Lampiran II) untuk Q1 (debit pertama) 59,53%, Q2 (debit kedua) 51,81%, Q3 (debit ketiga) 43,79% dan Q4 (debit keempat) 36,13%. Berdasarkan hasil yang diperoleh ini maka diketahui bahwa nilai efisiensi sumur (dari debit pertama hingga debit keempat) semakin kecil, karena dipengaruhi oleh bertambahnya aliran turbulen dari koefisien well-loss (C) pada saat pemompaan (Driscoll, 1986).
Well Loss Coefficient (C)/min2/m5 < 0.5 0.5 – 1.0 1.0 – 4.0 > 4.0
Well Condition Properly designed and developed Mild deterioration or clogging Severe deterioration or clogging Difficult to restore well to original capacity
Tabel 3.4. Relasi koefisien well loss dengan kondisi sumur (Walton opcit Todd, 1980).
Metode Sheahan (Gambar 3.12) dilakukan dengan memplot nilai specific drawdown (swx/Qx) terhadap Qx pada kertas log-log kemudian dicocokkan dengan kurva Sheahan untuk memperoleh nilai P, B dan C. Nilai P diperoleh sebagai hasil perpotongan kurva Sheahan dengan garis indeks, nilai B dan C diperoleh dengan rumus:
III - 42
BAB III HIDROGEOLOGI
B = 0,5
C=
Swx ..................................................................................................................(11) Qx
Swx / Q x 2Q x
dimana:
P −1
................................................................................................................(12)
Swx/Qx = specific capacity P = 3,6
Qx = debit pompa
Gambar 3.12 Grafik log-log dengan kurva Sheahan
Dari hasil pengeplotan grafik log-log terhadap kurva Sheahan diperoleh nilai P = 2,4, swx/Qx = 7,5E-03 hari/m2, Qx = 195 m3/hari, sedangkan dari perhitungan (Lampiran II) diperoleh nilai B = 3,75E-03 hari/m2 dan C = 6,2E-06 hari2/m5 = 1,1E-12 menit2/m5. Berdasarkan nilai koefisien well-loss (C), kondisi sumur masuk dalam kategori properly designed and developed (didesain dan dikembangkan dengan baik) (Tabel 3.4). Nilai III - 43
BAB III HIDROGEOLOGI
efisiensi sumur yang diperoleh untuk Q1 (debit pertama) 69,57%, Q2 (debit kedua) 59,59%, Q3 (debit ketiga) 48,44% dan Q4 (debit keempat) 37,51%. Berdasarkan hasil yang diperoleh ini maka diketahui bahwa nilai efisiensi sumur (dari debit pertama hingga debit keempat) semakin kecil, karena dipengaruhi oleh bertambahnya aliran turbulen yang berasal dari koefisien well-loss (C) pada saat pemompaan. Nilai Efisiensi sumur (Ew) yang dihasilkan dari metode Sheahan lebih besar dibandingkan dengan metode Hantush-Bierschenk (Tabel 3.5), walaupun demikian perbedaan itu (∆ Ew) semakin kecil dengan peningkatan debit (Q).
Q (m /hari) 108 147,744 203,904 280,8 3
Ew Metode Hantush-Bierschenk (%) 59,53 51,81 43,79 36,13
Ew Metode Sheahan (%) 69,57 59,59 48,44 37,51
∆ Ew (%) 10,04 7,78 4,65 1,38
Tabel 3.5. Perbandingan efisiensi sumur metode Hantush-Bierschenk dan Sheahan dimana:
3.3.9
Ew = efisiensi sumur Q = debit pompa
Geometri Akifer
Untuk menentukan geometri akifer, maka terlebih dahulu dilakukan korelasi litologi (Gambar 3.13) yang didasarkan pada peta geologi, penafsiran geolistrik dan data bor yang terdapat di daerah penelitian. Kedalaman titik bor di daerah penelitian adalah 125 m, sedangkan kedalaman hasil penafsiran geolistrik adalah 40 - 100 m, dan kedalaman yang diperoleh dari hasil korelasi ini adalah 125 m. Dari hasil korelasi Satuan Aluvial terdapat di bagian tengah; Satuan Batugamping I terdapat di bagian timurlaut-timur; Satuan Perselingan Napal-Batupasir tersusun oleh napal, batupasir dan konglomerat. Napal dominan di bagian selatan dan menipis ke arah utara, batupasir menyebar secara merata di bagian selatan dan tengah, sedangkan konglomerat terdapat setempat di bagian tengah. Satuan Batugamping II (Formasi Numbay) tersusun oleh batugamping dan terdapat di bagian tengah dan menerus ke selatan, sedangkan Satuan Sekis (Formasi Cycloop) dominan di bagian utara dan sebagian di bagian timur.
III - 44
Gambar 3.13 Korelasi litologi utara-selatan dan barat-timur daerah penelitian.
BAB III HIDROGEOLOGI
III - 45
BAB III HIDROGEOLOGI
Hasil korelasi litologi ini kemudian ditransformasikan menjadi model hidrogeologi yang tersusun oleh Satuan Aluvial (Qa), konglomerat dan batupasir (Formasi Makats) dan Satuan Batugamping II yang dilewati oleh sesar (Formasi Numbay) sebagai akifer; Satuan Batugamping II (Formasi Numbay) yang tidak dilewati oleh sesar, Satuan Batugamping I (Formasi Jayapura) dan napal (Formasi Makats) sebagai akitar; serta Satuan Sekis sebagai akiklud (Formasi Cycloop). Pada hasil korelasi terlihat akifer terdapat di bagian tengah dan selatan. Akitar terdapat dominan di bagian selatan, menipis ke arah utara, sedangkan akiklud terdapat dominan di bagian utara dan sebagian di bagian timur. Penyebaran di atas mengindikasikan bahwa di bagian selatan terdapat akifer semi terkekang. Semakin ke utara, lapisan napal menipis, bahkan menghilang yang mengindikasikan bahwa di bagian tengah terdapat akifer tidak terkekang. Akifer tidak terkekang ini bergabung dengan akifer tidak terkekang yang tersusun oleh lapukan Satuan Sekis, Satuan Batugamping II, Satuan Perselingan Napal-Batupasir dan Satuan Aluvial, yang dibahas pada 3.3.6. Bila hasil analisis uji pompa pada daerah pemboran dihubungkan dengan korelasi yang tergambar, maka dapat diduga bahwa daerah pemboran dan sekitarnya tersusun oleh akifer semi terkekang. 3.3.10
Diskusi
Kondisi hidrogeologi di atas berimplikasi pada hal-hal berikut : 1. Kemungkinan terjadinya intrusi airlaut di bagian timur yaitu dari utara – tengah adalah sangat kecil karena daerah tersebut dialasi oleh Satuan Sekis yang berfungsi sebagai lapisan impermeabel. Di bagian tenggara daerah penelitian, intrusi airlaut dapat terjadi karena daerah tersebut tersusun oleh Satuan Batugamping II, terutama bila pada satuan tersebut terdapat rekahan dan pori yang memungkinkan airlaut mengalir masuk ke dalam akifer dan mencemari airtanah. 2. Daerah tengah yang tersusun oleh akifer tidak terkekang memiliki potensi untuk menyerap air hujan secara langsung dibandingkan daerah selatan yang tersusun oleh akifer semi terkekang, oleh karena itu pembangunan sumur resapan untuk III - 46
BAB III HIDROGEOLOGI
mengimbangi pengambilan airtanah yang berlebih, akan lebih efektif bila dibangun pada daerah ini. 3. Dengan keberadaan akifer tidak terkekang dan semi terkekang, dibandingkan dengan akifer terkekang, airtanah bisa diambil lebih banyak dengan dampak penurunan airtanah yang sama. 4. Potensi pencemaran airtanah pada akifer tidak terkekang lebih besar karena tidak ada lapisan impermeabel sebagai penyekat aliran airtanah, dibandingkan akifer semi terkekang yang memiliki lapisan penyekat walaupun masih ada kontribusi aliran dari lapisan akitar ke dalam akifer.
III - 47