BAB V. IMPLIKASI PENTING
A. Pendahuluan A Beragam kecenderungan dan peta serta kontestasi kerangka pikir di balik diskursus dan kebijakan usaha kehutanan telah berhasil dibangkitkan, dikompilasi dan disintesis. Bab ini coba menarik beberapa implikasi penting dan relevan dilihat dari sisi kebijakan itu sendiri, aspek praktis-operasional, corak dan kualitas diskursus dan posisi metodologis dibalik kegiatan penelitian kualitatif ini.
B. Kebijakan: Pelurusan kerangka pikir, melepas hegemoni B Sintesis terhadap hasil kompilasi kerangka pikir, baik atas teks perundangan maupun hasil wawancara dan polling sebagaimana telah dijabarkan secara rinci dan panjang lebar pada Bab IV, sampai pada pembuktian awal dan sekaligus menjawab salah satu pertanyaan penelitian ini, bahwa kebijakan usaha kehutanan yang ada sejauh ini dilahirkan dengan kerangka pemikiran “the forest first” sebagaimana dimaksud Sfeir-Younis (1991) 1 dan kental dengan pengutamaan kayu (timber primacy) dengan konsep kelestarian hasil dalam pendekatan Gluck (1987). Sekedar untuk pendalaman, sintesis berikut coba menguatkan pembuktian awal ini. Dari peta diskursus dan kontestasi para pihak (Bab IV), dapat dibangkitkan tiga kemungkinan “kualifikasi” kebijakan: (1) kebijakan (P) lahir dilandasi aliran pemikiran baik “the forest first” (FF) maupun “the forest second” (FS) – meminjamn pendekatan Sfeir-Younis (1991); asumsinya kualitas diskursus para pihak pemangku kepentingan memang menguatkan kedua aliran ini, (2) kebijakan lahir lebih kental dengan aliran “the forest first”, sekalipun – asumsinya, kedua macam aliran ini memiliki kekuatan yang relatif sama dalam diskursus para pihak pemangku kepentingan, namun aliran “the forest second” akhirnya sebagai pihak yang “kalah” dalam kontestasi dan 1 Senada pula dengan pendekatan Kaivo-Oja (tt) dan McCreely (tt) yang keduanya “komplain” terhadap diksursus kelestarian yang sangat bio-centris steril dari human being – lihat Bab I di
1174 17 74
diskursus, (3) sama seperti poin kedua, namum penyebabnya lebih karena disk dalam dala diskursus tidak muncul secara kuat aliran “the forest second”. Ketiga kemungkinan ini dapat diilustrasikan sebagaimana Gambar 21. kem
Gambar 21. Tiga kemungkinan “kualifikasi” kebijakan
Hasil kompilasi peta diskursus dan kontestasi para pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam penelitian ini juga memperlihatkan pola, kep dimana pemerintah (G) dan praktisi bisnis (B) begitu kental menggunakan dim aliran FF. Dalam hal ini pemerintah telah memosisikan hukum atau aturan itu alir alat pemaksa (driving force instrument); sementara praktisi bisnis seeb ssebagai melihat hal itu dan memosisikan pemerintah tak lebih sebagai “grand mel me regulator”. reg re
Hanya akademisi (A) dan masyarakat sipil/LSM (L) yang
mengusung isu-isu di luar hutan, yakni terkait sosial-ekonomi-politik dan men me hukum. Sementara dalam sintesis sebelumnya pun telah disinggung, bahwa huuk h pemerintah begitu dominan dan lalu disusul praktisi bisnis; sementara para peem p akademisi dan masyarakat sipil/LSM cenderung kurang diperhitungkan, aka ak terutama pada awal-awal usaha kehutanan mengalami booming kayu (1970teru te u 1980an). Pola ini secara skematis, tampak pada Gambar 22. 198 19
175
G
B A,L
Hukum alat pemaksa (driving force instrument)
Grand regulator
Forest First (FF)
Sosial, Ekonomi, Politik, Hukum
Forest Second (FS)
Gambar 22. Pola aliran pemikiran dibalik peta diskursus
Bila ketiga peluang “kualifikasi” kebijakan yang ada (Gambar 21) dan pola aliran pemikiran yang mengemuka dalam diskursus (Gambar 22) kita coba tumpang-tindihkan (superimpose), maka segmen kualitas kebijakan yang ada jatuh pada opsi kedua, yakni teks kebijakan dilandasi secara kuat oleh aliran pemikiran “the forest first” (FF), karena aliran kedua (FS) sekalipun muncul dalam diskursus (terutama pasca 1998) masih terlalu lemah untuk memenangi kontestasi. Kemungkinannya karena ia muncul sebatas symbol dan diskursusnya sendiri lepas dari makna sebagaimana saat peta diskursus itu coba ditapis dengan pendekatan Bolman and Deal (1985) dan Alvesson dan Karreman (2000). Apa yang salah dengan aliran pemikiran FF? Kembali ke Sfeir-Younis (1991), maka jawabannya adalah ketidaklengkapan (incompleteness) faktor yang ditimbang dan masuk dalam (teks) kebijakan usaha kehutanan, terutama karena sifat aliran ini yang disebut sebagai monolitik bio-centris – yang menganggap hal-hal di luar hutan sebagai eksogen. Dalam analisis SfeirYounis (1991) konsep monolitik bio-centris ini menyebabkan kehancuran hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible). Fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan menggenapi pengetahuan ini: pengadopsian aliran pemirikiran FF menjadi penyebab – atau setidaknya secara fenomenologis – memperlihatkan keterkaitan yang erat dengan kinerja usaha kehutanan yang memprihatinkan dan diklaim keseluruhan para pihak yang berpartisipasi dalam penelitian ini sebagai rusak dan tidak lestari.
1176 17 76
Akumulasi pengetahuan di atas memberikan implikasi bahwa meluruskan dan menata ulang kerangka atau aliran pemikiran menjadi sebuah kebutuhan bagi bag agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan. Dalam bahasa sederhana dapat dap dibangun argumen: bila kebijakan usaha kehutanan sejauh ini lebih dilandasi aliran FF dan ini dihadapkan dengan fakta empiris kegagalan kinerja dila usaha kehutanan dalam mengusung mandat konstitusional sebagaimana ussa u tercantun dalam Pasal 33 UUD 45, maka aliran pemikiran apapun yang teerrcc menjadi landasan proses konstruksi kebijakan itu perlu diubah. Dari akumulasi men me pengetahuan dan bangunan situasi masalah yang ada sejauh ini, maka arah peen p perubahan ini setidaknya perlu mencakup dua hal pokok, yakni terkait hal-hak peeru p praktis pra pr rak operasional dan teoretis. Hal pertama lebih banyak berkaitan dengan perbaikan kebijakan dari sisi substansi dan proses. Hal kedua lebih berkaitan peerb r dengan perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan den de merubah aliran pemikiran. Namun, berbagai perbaikan ini hampir mustahil meer m dapat dap dilakukan efektif, terutama bila abai atas sejumlah isyarat, bahwa corak da diskursus yang ada dan sekaligus corak aliran pemikiran disebaliknya justru diisk d merupakan produk dari dominasi dan hegemoni kekuasaan – dalam pengertian meer m Gramsci, selama ini. Dengan mengkalkulasi isyarat ini, maka mengurai dan Gra mellepas hegemoni manjadi syarat pemungkin untuk melakukan pelurusan kerangka pikir dan lainnya. kera
C. Tat Tataran Praktis-Operasional: benahi substansi dan proses Hal-hal praktis-operasional dari sisi substansi dan proses dapat dibangkitkan Ha H al antara lain dari narasi kebijakan yang dirinci per hirarki perundangan aan nta t sebagaimana ringkasan dan sintesisnya tercantum dalam Tabel 17 dan Tabel sseeb 18 18 ppada Bab IV. Merujuk pada hirarki itu dapat diamati, masalah substansinya sesungguhnya ada dimana? Betulkah pada tingkatan UU tidak ada masalah, sesu ses se melainkan di tingkat PP?. Atau masalahnya justru sudah ada dimulai di tingkat mel me UU. UU Menjawab pertanyaan ini adalah menarik ulang argumen yang menyertai UU ringkasan narasi kebijakan (Tabel 19 dan Tabel 20). Disebutkan, bahwa rriiing ngg kecenderungannya untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke hilir kec ke substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif sub su
177
prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit manajemen, biofisik hutan. Artinya, semakin ke hilir fokus dan orientasi pengaturan semakin menempatkan bio-fisik hutan sebagai faktor utama. Ini jelas ciri dari aliran pemikiran FF. Kecenderungan ini menegaskan, bahwa di tingkat UU fokus dan orientasi pengaturan masih cukup lebar, setidaknya relatif masih menjangkau hal-hal diluar biofosik hutan, misalnya bicara kesejahteraan, keadilan dan pemerataan saat memosisikan hutan alam produksi dan memaknai kelestarian hutan. Namun, baik di hulu maupun di hilir keduanya sama-sama masih mengundang kemungkinan situasi masalah, terutama di tataran rumusan dan implementasi. Di hulu, di tingkat UU, fokus dan orientasi relatif terbuka, sehingga sangat mungkin melahirkan multi tafsir dengan rentang yang cukup lebar. Penyimpangan tafsir sangat mungkin terjadi, tergantung kepada seberapa luas dan serius para pemangku kepentingan berpartisipasi dalam mengkonstruksi aturan atau kebijakan dimaksud. Penyimpangan tafsir juga sangat mungkin disebabkan karena kualitas diskursus dari para pemangku kepentingan. Pengalaman praktis dan latar pengetahuan para pemangku kepentingan sangat berperan dalam menentukan kualitas diskursus. Dalam bahasa IDS (2006) hal ini semua pada akhirnya akan sangat menentukan kualitas jaringan aktor, ruang kebijakan dan sekaligus kepedulian politik. Ketersediaan formula dan mekanisme proses perumusan kebijakan yang dapat memastikan perumusan kebijakan melibatkan para pemangku kepentingan sehingga terjadi proses interaksi, negosiasi, debat dan kontestasi ide antar para pemangku, akan sangat menentukan seberapa jauh suatu tafsir menjadi kepedulian dan bahkan aksi bersama (collective concern and actions). Ditingkat hilir, PP dan seterusnya, dimana substansi aturan cenderung semakin terlalu rinci, terlalu teknis, dan administratif prosedural sangat memungkinkan juga melahirkan sejumlah situasi masalah. Setidaknya peluang mereduksi maksud dan tujuan dibuatnya aturan. Penyimpangan tafsir ditingkat ini pun seringkali berakhir tidak saja dengan peningkatan biaya transaksi tetapi juga dengan beragam moral hazard yang akhirnya melahirkan ekonomi biaya tinggi. Penyimpangan tafsir di tingkat ini juga sering menimbulkan
1178 17 78
inefisiensi dan ketidakefektifan administrasi. Analisis terhadap dokumen inef renstra rens Ditjen BPK Kemenhut dan juga studi yang dilakukan DKN (2008) menunjukkan bahwa ada lebih dari seratus peraturan-perundangan diduga men telah tela berakibat pada ekonomi biaya tinggi, hambatan atas pemahaman dalam implementasi perundangan itu, dan minimnya efisiensi dan efektivitas imp administrasi usaha kehutanan. Sehingga, yang terjadi kemudian, banyak aad dm proses yang harus dilakukan yang secara fungsional tidak lagi relevan dan prro p bermanfaat. Berikut, sekedar contoh ril yang terjadi di lapangan, dicuplik dan beerm r diolah ulang dari studi yang dilaksanakan APHI Komda Kalimantan Tengah 2 , diiol d o te errkk isu pengawasan dan pembinaan yang dialami para pemegang unit usaha terkait (20 (2 20 HPH data tahun 2009 dan 2010) sebagaimana diilustrasikan intisarinya pada pa ad Tabel 29.
Tabel 29. Jumlah (orang dan hari) dalam kegiatan pengawasan dan Ta T ab pemeriksaan pada Unit HPH di Kalimanan Tengah (data 20 HPH: 2009-2010) Rentang Rataan Rentang dan Rataan jumlah Frekuensi pengawasan pengawas dan lama pengawasan per HPH/th pengawasan/th per tahun 58 ; 6 – 172 (orang/HPH/th) Kemenhut+UPT Kem menhu 0 – 17 kali 2,85 kali 98; 15 – 270 (hari/HPH/th) Pemerintah Pem merint Provinsi 0 – 18 kali 6,7 kali Kabupaten/Kota Kab bupat 0 – 21 kali 6,4 kali Non-kehutanan Non n-keh 0 – 4 kali 1,0 kali Biaya Biay ya pengawasan per HPH/th dengan asumsi IDR 700 ribu/HOK, maka: Skenario Sken nario tinggi 172 orang x 270 hari x IDR 700.000 IDR 32,51 M /th Skenario Sken nario rendah 6 orang x 15 hari x IDR 700.000 IDR 63 juta /th Skenario Sken nario rataan 58 orang x 98 hari x IDR 700.000 IDR 3,98 M/Th Aktor Akt tor P Pengawas
Data dan informasi pada Tabel 29 menunjukkan, bahwa dari 20 HPH, data 2009 200 dan 2010, diperoleh gambaran biaya yang dikeluarkan oleh pemegang 20 unit unnit usaha (HPH) pertahun sebesar IDR 32,5 M (tertinggi) dan IDR 60 juta u (terendah) dan rata-rata HPH mengeluarkan tidak kurang dari IDR 3,98 M (ter (t er seeti ssetiap ettii tahunnya untuk keiatan pengawasan ini. Yang menarik, selain besaran angkanya, adalah bergesernya fungsi dan tujuan aturan dari pengawasan itu ang an menjadi bagian dari – dan memperbesar – biaya transaksi yang mendongkrak menn me 2
APHI AP PHI ((2010) Pemeriksaan Kegiatan Pengusahaan Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah. APHI Komda Kalimantan Kalim manta Tengah. ma
179
ekonomi biaya tinggi. Ini dimungkinkan, antara lain karena substansi aturan yang semakin detail, teknikal dan administratif itu yang di tataran implementasi
bisa
bergeser
seperti
itu.
Angka
ini
tentu,
belum
memperhitungkan "kontribusi" HPH yang resmi yang sering diklaim relatif kecil terhadap PDB. Begitulah salah satu fenomena empiris dari kinerja kebijakan usaha kehutanan itu, bahkan sampai saat ini. Sampai disini diperoleh pengetahuan, bahwa dari tataran praktis operasional pembenahan kebijakan usaha kehutanan perlu didekati dari dua sisi baik dari substansi maupun proses. Dari sisi substansi perubahan perlu diarahkan agar substansi kebijakan menggambarkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai oleh lahirnya kebijakan itu, siapa yang diharapkan harus berubah perilakunya untuk mencapai tujuan kebijakan itu, sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Melihat bangunan dan situasi masalah sebagaimana dijelaskan diatas, maka perubahan substansi semacam ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan kehilir. Dari sisi proses, maka pembaruan perlu ditekankan pada keterbukaan proses pembuatan kebijakan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan, masalah dan solusi. Untuk itu, maka proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan; misalnya melalui mekanisme semacam public hearing, termasuk melakukan penilaian oleh pihak ketiga independen (independent third party) atas kriteria dan indikator penilaian kinerja, program dan kegiatan. Dengan pemahaman, bahwa pelaksanaan kebijakan juga sangat ditentukan oleh informasi dan interpretasi para pemangku kepentingan atas substansi kebijakan itu (Birkland, 2001, IDS, 2006), maka berbagai arah perubahan ini selayaknya perlu dukungan perbaikan pula dari sisi kualitas diskursus. Persoalannya, kembali bahwa kualitas diskursus ini terindikasi kuat merupakan produk dari proses hegemoni kekuasaan. Maka, pembenahannya
1180 18 80
praktis prak memerlukan ikhtiar untuk mengurai dan melepas hegemoni kekuasaan ini. Diskursus: pengetahuan, pendidikan dan politik ekonomi D. Kualitas Ku Dari Dar peta diskursus dan gambaran kontestasi para pihak sebagaimana telah diuraikan dalam Bab IV, dapat dipahami secara kualitatif seberapa dalam diiuurr d kualitas diskursus yang dapat diidentifikasi. Dari kecenderungan aliran k ua ku pemikiran yang melandasi teks kebijakan dan kontestasi persepsi dari para peem p pemangku kepentingan, yang keduanya cenderung mengkristal kepada aliran peem p FF, FF F F, maka kualitas diskursus, terutama yang memenangi kontestasi waktu itu, dapat dap dipahami tidak terlalu jauh dari hutan sebagai faktor utama. Maka ruang da kebijakan dan jejaring aktor serta kepedulian politik para pemangku keb ke keb kepentingan hanya berputar diseputar hutan dalam pengertian yang sempit kep ke bio-centris, monolitik. Melihat siapa aktor yang paling menentukan dibalik biiob proses kebijakan yang ada, maka pemerintah teridentifikasi kuat sebagai yang prro dominan dan diklaim para pihak sebagai grand regulator. Dari pengetahuan do d dom om ini, in ni, i semakin dapat dibayangkan betapa kualitas diskursus menjadi sangat terhegemoni oleh pandangan-pandangan “sepihak” dan cenderung “mendikte” terh dari pemerintah 3 . Dari sisi inilah, dengan kualitas diskursus yang ada, sumberdaya hutan dengan bahasa dan orientasi bio-centris yang kental, masuk sum agenda politik ekonomi (orang-orang) pemerintah. Kecenderungan ini dapat age diamati, misalnya dari deskripsi historis terkait usaha kehutanan Indonesia, diam sebagaimana disarikan dalam Lampiran 8. sse seb eb Intisari sejarah kehutanan tersebut menunjukkan setidaknya tiga hal, diskursus yang berkembang, aktor pemangku kepentingan yang sesungguhnya dis d di isk terlibat dan sangat menentukan kebijakan kehutanan, serta lintasan (pathways) te errll politik ekonomi dalam usaha kehutanan. Ketiga hal ini, tidak lain hal yang po p oli l ditanyakan IDS (2006). Dalam diskursus tampak bahwa hutan sejak awal di d ita t (1819 ((1 18 – saat penetapan pemangkuan hutan kayu) diposisikan sebagai komoditi ekonomi dan sekaligus alat politik. Dalam kurun yang sama, semangatnya eek kkoo 3
Untuk Unntuk uk ujisilang u hal ini, lihat dan dalami setidaknya masing-masing satu PP, SK Menteri, FA, dan SK HPH, selami dari pemilihan teks, penggunaan kalimat, rasa bahasa dan penetapan unsur-unsur hak dan selam mi mulai mi m kewa ajjiibbaan dalam usaha kehutanan. Akan tampak, bahwa pemangku usaha, masyarakat sipil dan akademisi kewajiban nyar ris tidak tid id memiliki ruang dan peran menentukan dalam kebijakan, terutama dalam kurun sebelum 1998. nyaris
181
tampak jelas dan konsisten, yakni eksploitatif, bahkan sampai saat ini. Secara ekonomi, kehutanan menjadi sumber keuangan negara setidaknya sejak 1938 saat Djatibedrifj dilebur menjadi dienstvak melalui produksi kayu dengan pembentukan afdeling baru untuk tujuan ekplorasi hutan. Secara politik, tampak jelas, bahwa diskursusnya adalah memosisikan pendapatan negara dari hutan
bagi
kepentingan
peperangan
dan
perjuangan
(1819-1945),
menuntaskan revolusi (1945-1949) dan mengisi kemerdekaan (1960an). Dengan demikian, lintasan kebijakan usaha kehutanan tidak terlepas dari lintasan historis perjuangan politik dan kemerdekaan (Lampiran 8). Selama kurun itu, tampak jelas bahwa kebijakan kehutanan lebih sebagai aturan atau hukum yang lebih difungsikan oleh kekuasaan sebagai alat pemaksa, meminjam istilah Gramsci, dalam nuansa law enforcement. Dari sisi aktor, yang paling berpengaruh tampak jelas dari lintasan sejarah ini adalah pemerintah, baik pemerintahan penjajah, orde perjuangan, orde lama, bahkan orde baru, termasuk orde reformasi. Dalam kekuatan pengaruh itu, penataan hutan menjadi semacam regim pemanfaatan dalam bangunan logika pemerintah, bukan merupakan kesepakatan sebagai sebuah bangsa; dan tidak sedikit yang tidak sepakat dengan regim yang ada, tapi terindikasi kebanyakan akhrinya kompromi dan permisif sebagai sesuatu yang “sudah terlanjur”. Terlanjur jadi wujud HPH, jadi Taman Nasional dan lain-lain. Inilah situasi yang menguatkan, bahwa kekuasaan telah memproduksi, menempatkan dan menggiring satu regim kebenaran agar diikuti masyarakat kebanyakan. Ini sejalan dengan pemikiran Foucault. Dalam perjalanannya, karena lintasan historisnya tidak lepas dari sejarah bangsa ini, maka kehutanan dan usaha kehutanan tidak luput dari kepentingan politik-ekonomi para penguasa dan pemerintah dari waktu ke waktu. Saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan Jepang (8 Maret 1942), pengelolaan dan organisasi kehutanan berganti nama menjadi ringyoo tyuoo zimusyo, dengan kebijakan kehutanan yang pokok waktu itu ekploitasi hutan untuk memproduksi kayu demi kelangsungan dan memenangkan peperangan. Lalu, memuncaknya ketegangan agresi Belanda kedua (19 Desember 1949) telah memosisikan hutan sebagai sumber produksi dan pertahanan, sehingga
1182 18 82
pemerintah saat itu mengeluarkan PP 59/1948 tentang Militerisasi Jawatan pem Kehutanan. Dalam kurun ini tercatat produksi kehutanan sebesar hampir 700 Keh ribu m3 (kayu pertukangan) dan 5,7 juta sm (kayu bakar). Dalam lintasan ini, terminologi kelestarian hutan dan usaha kehutanan hampir sama sekali tidak term diusung dalam diskursus, kecuali pada kurun 1960an, dimana untuk dius mengantisipasi kerusakan hutan saat itu diagendakan “pembinaan” hutan men me berupa reboisasi dan penanggulangan tanah-tanah kosong. Sementara beeru b r kelestarian saat itu baru dimaknai sebatas perlindungan flora-fauna, sehingga kele ke l kegiatannya k ke eg lebih banyak berupa perlindungan dan pengawetan alam dan ek ksp ekspedisi. Intisari sekuen lintasan ini secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 8. Lam La Sekalipun tidak secara gamblang dapat dilihat, sekuen dari lintasan historis ini in ni menggambarkan pula corak dan sekaligus kualitas diskursus. Sulit untuk membantah, bahwa warna diskursus yang ada dalam kurun itu sangat kental meem m FF, FF, bahkan orientasinya pun sangat timber primacy. Seperti apapun kualitas FF diskursus ini sangat dipengaruhi setidaknya oleh latar pengetahuan dan diisk d pengalaman para pihak yang berpartisipasi dalam diskursus, yang dari sekuen peen p historis yang ada tampak lebih didominasi oleh komponen pemangku hist pemerintah. Artinya, latar pengetahuan dan pengalaman pemerintah menjadi pem pertanyaan penting, seperti apa persisnya dan seberapa jauh; lalu adakah halpert hal yang bersifat kontestasi inovasi yang muncul dalam diskursus yang ada? menjawab pertanyaan ini, kita dapat menelusuri paling tidak Untuk nt “diskursus” yang terjadi di dunia riset, pendidikan dan keorganisasian “d dis i kehuta keh nan saat ini, yang secara ringkas disajikan pada Tabel 30. ke
Tabel Taab 30. Pembidangan dan Eselonisasi di beberapa lembaga T Lem Lembaga mbaag mb g Pendidikan Pen ndid idik i – Fahutan IPB*)
Pembidangan/Eselonisasi Manajemen Hutan, Hasil Hutan, Konservasi SDH dan Ekowisata, Silvikultur Riset Rise et – Balitbang B Kemenhut**) Administrasi, Konservasi dan Rehabilitasi, Peningkatan Produktivitas, Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Perubahan Iklim & Kebijakan Organisasi Org gan niis – BUK Administrasi, Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kawasan, Usaha Hutan Alam, Usaha Hutan Tanaman, Kem menhut**) enh en Pengolahan dan Pemasaran Hasil hutan Sumber: S Su um *) Panduan Program Sarjana 2010; IPB **) Kepmenhut P 40/2010
183
Tabel 30 mengindikasikan bahwa unsur pembidangan sebagai bagian diskursus, tampak tidak memuat aspek sosial, ekonomi dan hukum secara memadai. Telaah lebih lanjut pada tingkatan di bawah pembidangan tersebut menghasilkan gambaran serupa dan kalau pun ada maka lawasnya sangat kecil, yakni di eselon paling bawah (riset dan keorganisasian) dan di tingkat mata ajaran (pendidikan). Indikasi ini memberikan gambaran lawas pengetahuan dan sekaligus alasan, kecilnya peluang membicarakan atau mengusung soal sosial, ekonomi dan hukum kedalam ruang diskursus dan sekaligus ke dalam ruang kebijakan (policy space). Dengan demikian, tingkat kebenaran argumen yang terbangun dalam diskursus pun akan cenderung mengerucut kebanyakan pada kebenaran pada tataran teknis dan hukum, dan belum merupakan kebenaran substansial yang, dalam pendekatan Dunn (2000), juga memerlukan dukungan kebenaran ekonomis dan pengakuan atau penerimaan sosial (social acceptability). Apakah situasi ini mewakili penilaian bahwa kini dan saat itu pemerintah didominasi orang-orang atau rimbawan yang tekno-centris, selain bio-centris? Jawabannya iya, setidaknya menurut Kartodihardjo (2006). Berangkat dari pembahasan pengelompokkan cara berpikir – epistemologi dan ontologi – ia menarik dua garis silang yang saling berpotongan, sumbu vertikal untuk kelompok epistemologi dan yang horisontal untuk ontologi, sehingga menghasilkan empat kuadran (Gambar 23).
Reductionism
IV: Doa
III. Kelestarian Ekologi
I: Transfer Teknologi
II Pengelolaan Ekosistem
Holism
Constructivism
Positivism
Gambar 23. Kuadran cara berpikir dalam Pengelolaan SDH: tekno-sentris (Sumber: Kartidihardjo 2006)
1184 18 84
Dijelaskan, bahwa kerangka pikir rimbawan berada pada kuadran I (diarsir) Dije dengan label “transfer teknologi” untuk menunjukkan, bahwa: (a) kuadran ini den memang kuadran tekno-sentrik, yang mewakili (b) orang yang pemikirannya mem didasarkan pandangan epistemik – positivistik-reduksionis, dimana (c) dalam dida pengembangan teknologi orang ini masih bertumpu pada paket teknologi hasil peen p pengembangan pakar dengan cara pikir linear, yang umumnya (d) peen p menekankan keharusan berbuat sesuatu, sesuai pedoman, standar, dan meen m sebaliknya tidak mengendalikan perilaku 4 pihak-pihak melalui pendekatan seeb in nse s insentif-disinsentif, sehingga (e) ilmu dan teknologi dianggap netral dan sulit menerima fakta bahwa transfer teknologi mengandung unsur politik me m en Karakteristik pemikiran seperti ini senada dengan aliran ddisebaliknya. di ise pemikiran FF yang disebut Sfeir-Younis (1991) yang memosisikan hutan pe em sebagai faktor utama (bio-centris) seolah steril dari hal lain sehingga se eb sebagai eksogenus. Hal ini senada pula dengan bahasan Kaivo-Oja ddiposisikan di ipo (tt) (t ttt)) dan McCleery (tt) pada saat diamatinya bahwa kebanyakan orang mendefinisikan kelestarian hutan yang dalam kalkulasinya hanya seputar biome m en centris, lepas dari unsur human being dan tidak mengenal apa yang mereka cen sebut sebagai self-sustaining. seb Uraian
di
atas
dapat
merupakan
akumulasi
pengetahuan,
yang
menekankan menuntun dan menentukan dalam hal apa dan kearah mana men perbaikan kualitas diskursus perlu dilakukan. Aspek pendidikan, riset dan perb kehutanan, misalnya, dapat merupakan sasaran awal kkeorganisasian ke eo pembaruan itu, dengan keyakinan bahwa kualitas pendidikan, riset dan pe p em organisasi teknis yang baik dan berkualitas, pada akhirnya akan sangat or o rg menentukan kualitas pengetahuan para pemangku kepentingan dan publik me m en ssecara se eca umum. Saat yang sama, kualitas diskursus diharapkan akan relatif lebih baik. ba b aik i Namun, saat disadari bahwa apapun corak dan kualitas diskursus serta aliran pemikiran yang tampak, adalah produk kekuasaan, maka berbagai aal liirr upaya uup pa perbaikan dan pembaruan tersebut hampir mustahil dilakukan sejauh
4 Di tingkat tinnggk ini, sangat mungkin untuk muncul fenomena abai (ignorance) atas realitas perilaku para pihak ti pemangku pemaang ngku kepentingan usaha kehutanan.
185
tidak mengurai dan membongkar hegemoni kekuasaan yang telah berlangsung selama ini. E. Metodologis: kelemahan dan sekaligus kebaruan penelitian E Sebagaimana telah diantisipasi diawal dan dijelaskan di muka, bahwa riset ini tidak steril dari kelemahan. Dalam pengamatan penulis, di tataran metodologis, penelitian ini setidaknya mengandung tiga hal baru yang bisa jadi titik lemah. Pertama, bagi penulis melaksanakan riset kualitatif ini merupakan hal baru, sekaligus pengalaman pertama kali, termasuk dalam penggunaan pendekatan analisis diskursus, terlebih dalam memilih dan memastikan teori dan pendekatan sosial yang digunakan sebagai landasan. Sejauh ini analisis diskursus yang telah digunakan berada pada wilayah Foucault, karena riset ini coba mendeteksi juga hubungan diskursus dengan relasi kekuasaan melalui proses produksi pengetahuan sebagai suatu regim kebenaran untuk digiring menjadi kebenaran “khalayak”. Disisi lain, saat yang sama, analisis diskursus ini juga masuk wilayah van Dijk, karena yang dianalisis bukan sekedar teks, tapi juga coba mendeteksi bagaimana teks diproduksi. Disamping itu, analisis diskursus ini juga berada di wilayah pendekatan Fairclough, karena coba menghubungkan teks dengan konteks yang lebih luas, yakni usaha kehutanan. Tipologi ini menegaskan bahwa pengertian diskursus itu sendiri dalam penelitian ini mencakup sebagaimana yang dimaksud Arts and Buizzer (2009) yakni, teks, komunikasi, frame dan praktek sosial. Harus diakui secara jujur, perlu ikhtiar yang ekstra lebih untuk shifting dari kebiasaan berpikir riset kuantitatif ke riset kualitatif ini. Kedua, analisis diskursus dengan fokus kebijakan usaha kehutanan Indonesia, terlebih dengan konteks hutan alam produksi di luar Jawa, juga merupakan hal baru atau setidaknya penulis sejauh ini belum menemukan hasil riset sejenis yang relevan dan dapat dijadi rujukan. Ketiga, yang diteliti berupa aliran kerangka pikir dibalik diskursus yang dibangkitkan dari dokumen peraturan perundangan terpilih – terkait kebijakan usaha kehutanan – dan perspesi para pihak yang berkepentingan untuk isu yang sama yang dijaring dari wawancara mendalam dan on-line polling.
1186 18 86
Beberapa riset kualitatif dengan pendekatan analisis diskursus sejauh ini – dan beberapa dijadikan rujukan riset ini, dilakukan di luar Indonesia dan umumnya untuk non kehutanan, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umu umum, seks, dan linguistik-kepustakaan. Adapun untuk kehutanan, lebih umu banyak pada area non-usaha kehutanan, seperti konservasi, perlindungan, ban keh keehutanan secara umum dan lawasnya biasanya lintas negara dan atau dalam k kerangka membahas isu kehutanan global. Untuk sumberdaya alam lain dan kkeera r isu issu lingkungan dijumpai pula riset serupa dengan fokus perikanan untuk mengantisipasi kepunahan jenis-jenis ikan tertentu (Lihat Tabel 6). meen m Pengalaman
pertama
kali
untuk
melakukan
hal-hal
baru,
tentu
berimplikasi pada ketidak-mungkinan untuk terbebas dari kelemahan. ber be er i Beberapa kelemahan dalam riset ini yang mungkin dijumpai dalam Beeb B pengamatan penulis, antara lain berkaitan dengan penetapan lawas: lawas peen usaha usa kehutanan nasional bisa jadi terlalu luas, sehingga perlu kasus yang jauh us lebih leebi spesifik; atau sebaliknya lawas usaha kehutanan itu sendiri terlalu sempit untuk uunntu menjangkau persoalan sesungguhnya dari pengelolaan hutan secara umum. umu Kemungkinan kelemahan lain adalah ketepatan pilihan nara sumber um dalam dala melakukan wawancara mendalam yang dikalkulasi sebagai aktor penentu-berpengaruh. Terlebih bila ditakar oleh IDS (2006) dimana keluasan pen jejaring seorang aktor akan turut menentukan keluasan, keragaman dan jeja kedalaman pengetahuan dan pengalamannya yang keseluruhannya dapat ked pada ruang kebijakan yang dapat dibangunnya dalam diskursus. berimplikasi beri Pen Peenulis tetap melihat ini sebagai titik lemah, sekalipun dalam riset hal ini telah P diantisipasi dengan internet polling untuk menjangkau dan memperkaya dian di a perspektif dan keragaman nara-sumber serta sekaligus menjaga hasil riset ini peers p tetap teeta ta valid. Berbagai titik lemah ini bagi penulis akhirnya justru dirasakan jadi kekuatan, setidaknya untuk menunjukkan bahwa apa yang telah coba keek k dilakukan memang memiliki unsur kebaruan baik dari sisi metodologis, diillaa d metoda yang digunakan, subjek dan objek penelitian dan termasuk sejumlah met me pengetahuan yang dapat dihimpun dan diakumulasi dari riset ini. Hal ini peen p dilatari keyakinan, bahwa riset apapun, termasuk riset kualitaif dengan diillaa d
187
pendekatan diskursus ini tidak berhenti disini dan perlu terus berlanjut dengan semangat “continuously improvement”. Sejalan dengan keyakinan itu, penulis memosisikan hasil riset ini sebagai bukan hal final dan lebih sebagai pendahuluan bagi riset-riset lanjutan. Untuk itu penulis juga menawarkan semacam road-map untuk kelanjutan penelitian ini sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5. Dalam keyakinan itu pula, penulis berharap hasil riset ini – dengan segala kelemahannya tadi – tetap dapat memiliki kontribusi bagi khazanah pengembangan riset-riset kualtitatif dengan pendekatan diskursus; sementara hasilnya diharapkan dapat menjadi tawaran bagi kerangka dan agenda pembaruan kebijakan kedepan, khususnya dalam ikhtiar pelurusan kerangka pikir dan justifikasi untuk melepas hegemoni kekuasaan. Implikasi lain yang juga penting dari hasil riset ini adalah terkait objektivitas dan netralitas penulis. Bila hasil riset ini dirasakan dan terkesan tidak objektif dan tidak netral, maka itu sesungguhnya sebagai bagian dari konsekwensi logis dari keputusan penulis mengambil jenis riset kualitatif. Riset jenis ini menegaskan bahwa objektivitas itu intersubjektif, sehingga realitas itu tidaklah tunggal. Disamping itu, dalam riset ini peneliti memang dituntut untuk tidak berjarak dan bahkan harus “berlebur” dengan subjek dan objek yang diteliti 5 . F. Ringkasan F Peta diskursus dan kontestasi para pihak pemangku kepentingan yang berkontribusi dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa teks kebijakan usaha kehutanan lebih dilandasi oleh aliran pemikiran the forest first (FF) yang kental dengan pengutamaan kayu (timber primacy) dengan konsep kelestarian hasil. Pemanfaatan aliran ini menjadi persoalan, karena beberapa sebab. Salah satunya, sifat aliran pemikiran ini yang begitu dominan menimbang hutan sebagai faktor utama yang menguatkan bahwa aliran pemikiran ini monolitik bio-centris – antara lain menganggap hal-hal di luar sistem alami hutan dianggap
sebagai
eksogen.
Beberapa
rujukan
menyebutkan,
penggunaan aliran pemikiran ini menyebabkan kehancuran 5
bahwa
hutan yang
Lihat L misalnya Casebeer and Marja (1997) – www.phac-aspc.ca/publicat/sdic-mmc diunduh 14 Juni 2009.
1188 18 88
bahkan tidak dapat balik (irreversible). Sementara, fakta empiris terkait bah kinerja kine usaha kehutanan sejauh ini seolah menggenapkan pembuktian ini. Hal ini memberikan beberapa implikasi penting, setidaknya terhadap upaya dan orientasi pembaruan kebijakan, termasuk hal-hal praktis operasional terkait orie substansi dan proses perumusan kebijakan, dan kualitas diskursus. Hasil yang sub sama ssaam juga berimplikasi atas metodologi riset ini. sam Dari sisi kebijakan, bagaimanapun meluruskan dan menata ulang kerangka atau attau a aliran pemikiran perlu jadi agenda pembaruan dan perubahan kebijakan uusaha us sa kehutanan. Ini mencakup perbaikan kebijakan dari sisi substansi dan proses serta perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari ppr ro menata aliran pemikiran. kkeperluan ke kep ep Substansi kebijakan perlu diarahkan agar dapat menggambarkan dengan jelas je ellaa tujuan yang ingin dicapai oleh lahirnya kebijakan itu, siapa yang diharapkan harus berubah perilakunya untuk mencapai tujuan kebijakan itu, ddiha di ih seb seebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik di d iba kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Perubahan substansi un u ntu t semacam ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan kehilir. sem Pembaruan proses perlu ditekankan pada keterbukaan dalam pembuatan kebijakan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan keb antara tujuan, masalah dan solusi. Untuk itu, maka proses penetapan kinerja, anta program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan; ppemangku pe em misalnya melalui public hearing, dan penilaian oleh pihak ketiga independen mi m is third party). ((independent iin nnd Arah perbaikan kualitas diskursus perlu menyentuh ikhtiar peningkatan pengetahuan dan pengalaman para pihak pemangku kepentingan. kkualitas ku ua Untuk itu maka perbaikan perlu menyentuh sampai pada aspek-aspek Un U nt pen ppeendidikan, riset dan organisasi kehutanan. Sasaran akhirnya perlu ditekankan kepada membuka lebar dan memperkaya ruang diskursus sekaligus ruang ke k ep ep kebijakan dan saat yang sama memperlebar jejaring aktor, sehingga dapat ke k eebb membuka ruang transaksi, negosiasi dan kontestasi. meem m
189
Berbagai implikasi perlunya pembaruan di atas hampir dapat dipastikan tidak akan efektif, manakala berbagai diskursus yang terjadi dan aliran pemikiran disebaliknya tidak lain merupakan produk dari hegemoni kekuasaan. Dengan begitu, agar efektif, maka mengurai dan melepas hegemoni dimaksud menjadi keniscayaan. Beberapa kelemahan riset yang teridentifikasi bagi penulis justru dirasakan jadi kekuatan; setidaknya untuk menunjukkan bahwa apa yang telah coba dilakukan memang memiliki unsur kebaruan. Diyakini, riset ini akan terus berlanjut dengan semangat “continuously improvement”. Dengan keyakinan itu, riset ini diharapkan tetap dapat memiliki kontribusi bagi khazanah pengembangan riset-riset kualitatif dengan pendekatan diskursus disatu sisi; dan – disisi lain – menjadi tawaran yang baik bagi bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan kedepan, khususnya dalam ikhtiar pelurusan kerangka pikir dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan.