BAB IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR
A. Pendahuluan A Dari gambaran kinerja usaha kehutanan sejauh ini, antara lain sebagaimana telah dijabarkan pada Bab 3, diperoleh pengetahuan, bahwa usaha kehutanan memperlihatkan pasang surut dengan kecenderungan menukik menurun karena berbagai sebab (FWI/GFW, 2002). Namun begitu, orientasi dan semangat ekploitasi atas hutan alam relatif tetap, bahkan tampak semakin menguat (Dephut 2007, Dephut 2009). ”Dalam mengiringi dinamika pembangunan Indonesia, peran kawasan hutan menjadi penting dalam mendukung peningkatan ekonomi bangsa. Undangundang telah menetapkan pembagian kawasan hutan untuk dimanfaatkan sesuai fungsinya, yaitu fungsi produksi, lindung dan hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional.” (Dephut 2009; hal 1) ”Fokus utama kebijakan kehutanan di luar Jawa pada tahap awal pembangunan nasional adalah pengumpulan devisa melalui ekspor kayu bulat” (Kehutanan Indonesia: Soedjarwo sampai MS Kaban, Dephut 2007, hal 25)
Sinyal berbagai kerusakan hutan akibat deforestasi dan degradasi hutan alam yang mencapai rentang angka 1 – 2 juta ha per tahun untuk berbagai periode (Worldbank 2006a, Dephut, 2008; Anonimous, 2008) itu tampak tidak membuat kecenderungan eksploitatif ini berubah, relatif terhadap visi dan orientasi pemerintah dalam pemanfaatan hutan alam produksi (Dephut, 2007, Dephut 2009) dan terhadap beberapa pandangan praktisi dan pengamat usaha kehutanan. Berangkat dari situasi ini dan dengan mencermati berbagai isi, substansi dan narasi berbagai peraturan perundangan terkait usaha kehutanan, dalam Bab ini coba digali beberapa kecenderungan diskursus dibalik kebijakan usaha kehutanan. Dari berbagai kecenderungan ini coba dipahami kecenderungan kerangka pikir yang melatari kebijakan usaha kehutanan itu selama ini. Dari kecenderungan inilah selanjutnya dipelajari dan ditarik keterkaitan dengan kinerja usaha kehutanan yang memperihatinkan di satu sisi, dengan semangat dan orientasi usaha yang masih terus eksploitatif di
90 90
sisi
lain,
yang
sesungguhnya
mencerminkan
semacam
”kualifikasi”
kecenderungan kerangka pikir. Seperti apa kecenderungan itu dan bagaimana kec serta sert sejauh mana pandangan para pihak atas situasi yang sama yang digali baik melalui hasil wawancara maupun online polling memberikan semacam konfirmasi atas ”kualifikasi” dimaksud. Betulkah telah terjadi kekeliruan atau kon bahkan stagnasi kerangka pikir selama ini, khususnya dalam mengkonstruksi baah b kebijakan usaha kehutanan? Seperti apa kekeliruan itu? Lalu apa implikasinya keeb k dari dari da r semua itu? Ikhtisar Kebijakan B. Ik kh Contoh lengkap intisari hasil atau ikhtisar isi dan narasi dokumen empiris Con Co tertulis yang tersedia dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7. Dari teertu t ikhtisar ini dirangkum perbandingan antara tingkat perundangan, terutama UU ikkht dan dan PP, dari empat aspek narasi utama: (a) pemosisian hutan alam, (b) da pemaknaan kelestarian, (c) pelaksana usaha kehutanan, dan (d) syarat/hak dan peem kewajiban, sebagaimana hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari ikhtisar kew ke ini in ni pula dikonstruksi karakteristik usaha kehutanan sebagaimana disajikan pada pad Lampiran 10. Sementara, initisari makna kelestarian yang terekpresikan dalam dala ikhtisar disajikan pada Lampiran 11. Substansi kebijakan usaha kehutanan sebagai rangkaian diskursus, serta perkiraan proses bagaimana keh kebijakan di konstruksi dipahami melalui keseluruhan hasil ikhtisar ini dan keb sintesisnya. sint 1. 1. Substansi Sebelum 1998. UU No. 5/67 tentang UUPK secara tekstual menggariskan Seeb S Seb landasan usaha kehutanan dengan serangkaian argumen pembuka yang lanndd la menekankan bahwa: (a) hutan alam sebagai anugerah Tuhan YME, yang men me diposisikan sebagai (b) sumber kekayaan alam dengan manfaat serba guna, diipo d antara aan nta t lain sebagai basis pertahanan nasional, dan (c) multi-manfaat itu mutlak dibutuhkan umat manusia sepanjang masa, sehingga (d) hutan alam harus diibu d ibu dilindungi serta (e) dimanfaatkan secara lestari. Ini diperkuat sebelumnya diili d ilii dengan diterbitkannya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing deen d
91
(PMA), disusul kemudian dengan keluarnya UU No. 6/68 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). ”Tiga serangkai” instrumen UU ini dikenal sebagai tonggak kunci kebijakan, dimulainya usaha besar-besaran di bidang pengusahaan hutan alam produksi Indonesia di luar Jawa. Kegiatan usaha kehutanan sendiri dalam UUPK 5/67 ini secara khusus diatur pada Bab IV, Pasal 13-14. Kelestarian di tingkat UU dimaknai sebagai cara atau instrumen terkait peruntukan, penyediaan, pengadaan, dan penggunaan hutan. Selain itu kelestarian juga dimaknai sebagai dasar/azas mencapai tujuan usaha kehutanan, bersanding dengan azas perusahaan (baca: dimensi ekonomi). Argumen pembuka semacam itu pun muncul dalam perundangan turunannya, yakni dalam PP 22/67 dan PP 21/70 dalam uraian frase yang mirip-mirip, antara lain keyakinan akan hutan alam yang memiliki potensi ekonomi yang perlu segera dimanfaatkan secara maksimal dan lestari atas nama pembangunan nasional dan menyelesaikan revolusi untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat. Di tingkat PP ini kelestarian ditempatkan sebagai koridor atau pembatas dalam pemanfaatan. Pada PP 21/70, misalnya, kelestarian mengerucut pada aturan (a) keharusan bahwa pemanfaatan hutan disertai dokumen perencanaan yang didalamnya dipastikan masuk unsur kelestarian, dan (b) keterlibatan ahli kehutanan dalam pemanfaatan hutan. Pada PP 22/67 hal ini relatif lebih tegas, misal dari sisi pendekatannya yang tersurat jelas dimulai pada argumen pembuka PP ini. ” ..........pengurusan hutan yang bertujuan mencapai manfaat sebesarbesarnya dan serba guna serta lestari memerlukan biaya yang tidak sedikit ......biaya tersebut tidak dapat seluruhnya dibebankan pada APBN.... melainkan harus .... dihasilkan oleh hutan itu sendiri........; demi kelancaran pengusahaan hutan.......; perlu diadakan .....pungutan atas pengusahaan dan hasil hutan..........; pungutan tersebut perlu ditetapkan penggunaannya untuk kepentingan pembiayaan pembangunan daerah dan pembiayaan pembangunan rehabilitasi kehutanan dalam arti yang luas” (PP 22/67, konsideran a-e, Hal 1).
9922
Teks kutipan di atas menegaskan bahwa kelestarian didekati dari disiapkannya mekanisme pungutan resmi 1 dimana ada bagian dari jumlah disi pungutan itu yang harus ”dikembalikan” ke hutan untuk dialokasikan sebagai pun biaya pembangunan rehabilitasi kehutanan, yang kemudian ditutup dengan biay teks: teks
”rehabilitasi
kehutanan
dalam
arti
yang
luas”.
”Teks”
ini
memperlihatkan sebuah ”kelonggaran”, terutama dari sisi konsistensi pada me m em tataran pelaksanaan dan penegakan aturan main itu. ta attaa Dari ikhtisar isi dan narasi atas puluhan dokumen SK HPH 2 dalam periode ini in ni antara lain tampak bahwa keseluruhan dokumen SK HPH
memiliki
struktur dan urutan teks konsideran dan diktum serta isi lampiran yang relatif st trru u sama; sa am didasari pula dengan pertimbangan kunci yang sama, yakni bahwa wilayah hutan yang dimohon untuk diusahakan tidak termasuk hutan lindung w wi ila l ddan da an tidak pula masuk suaka alam atau wilayah untuk penggunaan lain. Perbedaan hanya mencakup nama dan status unit usaha, lokasi hutan yang P Pe erb r akan ak ka diusahakan, dan tanggal-bulan-tahun pemberian hak dan nomor SK. Dari isi dokumen ini tampak, bahwa hutan alam yang dimohon kkeseluruhan ke es diposisikan sebagai areal yang dapat diusahakan secara ekonomis sebagai di d ipo p landasan teknis-ekonomis pemeringan izin HPH. Semantara kelestarian land diposisikan lebih fokus pada keharusan adanya pembinaan hutan yang dipo didasarkan pada jenis dan susunan diameter tegakan di areal yang diusahakan dida dengan sistem TPI (dan TPTI) dan adanya kewajiban perusahaan untuk den mempertahankan dan meningkatkan kelestarian hutan berupa usaha-usaha mem mencegah penurunan nilai hutan 3 dan langkah-langkah untuk meningkatkan m me en nilai ni n ila hutan 4 .
1 Dalam Da alaam m pasal p selanjutnya dijelaskan bahwa macam pungutan adalah Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH, License Fee) yang besarnya menurut luas konsesi dan Iuran Hasil Hutan (IHH, royalties) yang besarnya Licenns nse F berdas assaarr kubikasi k berdasar hasil hutan yang dipungut. (Pasal 2 dan 3 PP 22/67) 2 Dari Dar ri 884 4 dokumen FA yang terkumpul (1970-1977) setelah diriskan dengan SK HPHnya hanya diperoleh 13 unit H PH P H mulai tahun 1970 sampai 1977. HPH 3 Mencakup Me encakk (i) pengamanan tegakan sisa saat penebangan, penyaradan dan pengangkutan untuk menghindari kerusa saaka kan tegakan sisa dan erosi melalui penomoran pohon yang akan ditebang dan pohon inti, (ii) kan kerusakan peneeba bang bang ng hanya pada pohon ber dia m 50 cm dengan arah rebah yang tepat, (iii) dilarang menebang pada penebangan daeraah ah m a air (rad 200 m) dan kiri-kanan sungai (50-100 m). daerah mata 4 Melaksanakan Me elak aksa s reboisasi dan permudaan hutan, sesuai ketentuan yang ditetapkan dan sesuai RKPH yang syah. syah h.
93
Selanjutnya, kaitan antara SK HPH dengan kontrak kehutanan (Forestry Agreement, FA) diatur dalam Pasal 16 FA 5 . Disebutkan bahwa FA merupakan dasar pengajuan hak usaha, guna mendapatkan fasilitas penanaman modal oleh perusahaan, sebagai syarat memperoleh SK HPH. Berbagai persyaratan dalam FA tetap berlaku, kecuali dikatakan lain dalam SK HPH. Dengan terbitnya SK HPH, FA yang bersangkutan menjadi lampiran yang tak dapat dipisahkan dari SK HPH. Pembatalan SK HPH secara otomatis menyebabkan tidak berlakunya berbagai persyaratan yang tertuang dalam FA. Dalam FA hutan alam ditempatkan sebagai sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, sesuai pasal 33 UUD 45. Tidak dijumpai secara spesifik makna dan ketentuan kelestarian. Namun secara implisit makna kelestarian tertuang dalam Pasal 4 FA, yang disebutkan merupakan ”kemufakatan” antara pemerintah dan perusahaan untuk melaksanakan ketentuan prinsip-prinsip dasar kehutanan 6 . Matriks yang menggambarkan secara ringkas perbandingan keseluruhan keempat aspek narasi di tingkat UU, PP, dan aturan teknis/administrasi dapat dilihat pada Lampiran 9 (a). Intisarinya dapat dilihat pada Tabel 19. Matriks
di
atas
memberikan
sejumlah
makna.
Antara
lain,
kecenderungannya yang tampak adalah bahwa untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke hilir substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit manajemen. Kecenderungan ini menguatkan isyarat, bahwa dominasi aktor pemerintah atas aktor atau para pemangku kepentingan lainnya sulit dibantah. Hal ini tampak terutama dari ketidakseimbangan antara uraian hak dan kewajiban yang dialami para pemegang unit usaha. Selain itu, sulit pula dihindari kesan adanya latar distrust, khususnya dari komponen pemerintah, yang mengundang dugaan lebih lebar adanya ruang politik ekonomi. Ujungnya, atas nama pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat 5
Selain dokumen HPH, dianalisis pula belasan dokumen FA dari masing-masing SK HPH yang sama Ini mencakup pohon yang dilarang ditebang, pengunaan kayu dalam rangka pelaksanaan operasi, cara p pe pemungutan dan pengolahan kayu, pencegahan kebakaran, kerusakan atas milik ”pemerintah” dan pihak k ke ketiga, pelanggaran pihak yang tidak berhak, rencana karya pengusahaan hutan, penggunaan ahli-ahli kkee kehutanan oleh ”perusahaan”, wewenang ”departemen” meninjau kembali target produksi, dan hubungan a an antara industri hutan dengan jenis-jenis kayu komersial. Ini dapat jadi contoh teori Foucault terkait diskursus da relasi kekuasaan sebagaimana dimaksud Mills (1997) Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009). dan 6
9944
Tabel 19. Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki perundangan (sebelum 1998) Aspek Aspe ek narasi na Pem Pemosisian mosisia Hutan Alam m
Kelestarian Kele esttaarria i
UU No. 5/1967 – Kehutanan Garis besar Panduan Filosofis
PP 18/75
PP 6/99*)
Relatif lebih rinci - memuat syarat dan target
Tidak tersurat, karena lebih terkait pergeseran kepemilikan konsesi ke nasional
Relatif lebih rinci lagi – syarat, target, tujuan yang mengerucut ke pengelolaan hutan berkelanjutan
[Tidak tersurat]
[Potensi ekonomi plus syarat dan target lebih rinci untuk tujuan yang lebih mengerucut, plus pertimbangan lintas generasi] Selain cara dan azas/dasar dimaknai pula sebagai batasan, tujuan dan syarat
[Potensi ekonomi, penopang tujuan pembangunan nasional, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tak ada konstrain]
[Potensi ekonomi, plus upaya maksimasi dengan konstrain kelestarian]
Dimaknai beragam: cara, dasar, azas
Selain azas dan dasar dimaknai pula sebagai syarat-kewajiban dan kegiatan
[Cara untuk peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan; azas atau dasar mencapai tujuan usaha kehutanan]
Pelaakssaann Pelaksana(an) Usaha Usah ha Kehutanan Ke
PP 21/70
[Syarat-kewajiban pemanfaatan hutan;kegiatan perencanaan, penataan, pengelolaan hutan, pengukuran dan pengujian kayu oleh ahlinya]
Negara cq Pemerintah
Badan hukum Indonesia
[Pemerintah (pusat, daerah) dan pihak lain - usaha bersama di bidang Kehutanan]
[diberi hak pengusahaan hutan oleh Menteri Pertanian]
[Perusahaan negara, daerah dan swasta berhak, sejauh berbadan hukum Indonesia]
[Tidak ada representasi makna kelestarian secara khusus].
Perusahaan milik negara dan swasta nasional berbentuk perseroan terbatas [penyimpangan yang perlu, ditetapkan presiden]
[Batasan pengelolaan dan pembangunan kehutananan berkelanjutan; tujuan dalam pengusahaan hutan dan penerapan dana jaminan kinerja syarat kelayakan bagi KPHP, dan pencairan dana jaminan kinerja HPH] BUMN, BUMD, swasta [Stratifikasi luas: lelang, permohonan, pelimpahan melalui Gubernur]
95
Tabel 19. (Lanjutan) Aspek narasi A H dan Hak ke kewajiban
UU No. 5/1967 – Kehutanan Tidak ada uraian hak; pemegang hak wajib meningggikan, produksi hasil hutan [diselenggarakan atas azas kelestarian hutan dan azas perusahaan]
PP 21/70
PP 18/75
PP 6/99*)
Hampir tidak ada uraian hak; poin kewajiban begitu mendominasi
Tidak ada uraian hak dan kewajiban
Kewajiban lebih dominan dari hak
[PP ini yang hanya merubah satu pasal terkait kriteria pemegang]
[Hak terbatas, untuk jangka waktu tertentu pula, dengan kemungkinan perpanjangan]
[tidak kurang dari 10 butir kewajiban yang harus dipenuhi pemegang hak, beberapa diantaranya tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha kehutanan]
[Ada tidak kurang dari 11 butir kewajiban yang harus dipenuhi pemegang izin]
luas; namun apa yang dilakukan dan terjadi di tataran operasional kemudian adalah penggerusan sumberdaya untuk kesejahteraan segelintir: mereka yang memiliki akses politik, kekuasaan dan ekonomi lebih besar! Setelah 1998. Dalam periode ini, kebijakan usaha kehutanan lebih lanjut diatur melalui UU 41/99 tentang Kehutanan, sebagai pengganti UUPK 5/67 yang dengan tegas dinyatakan sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan dan tuntuan perkembagan keadaan saat itu. Namun, jauh sebelum penggantian UU ini, terlebih dahulu terjadi penggantian PP 21/70 melalui penerbitan PP 6/99 dengan tetap merujuk UU5/67. Kurang dari setahun setelah penggantian PP 21/70 menjadi PP 6/99, baru kemudian keluar UU 41/99. Lalu, PP 6/99 ini disempurnakan, diganti dengan PP 34/2002 dengan merujuk pada UU 41/99 sampai kemudian diganti dengan PP 6/2007 yang akhirnya diganti dengan PP 3/2008. PP 6/99 sebagai turunan UU 5/67, UU 41/99 dan turunannya, yakni PP-PP diatas merupakan tonggak kunci kebijakan usaha kehutanan pada periode ini 7 .
7 Masih dalam periode ini, UU 41/99 sebetulnya mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Perppu No. 1/ 1/ 1/2004 tentang Perubahan atas UU 41/99 tentang Kehutanan yang ditetapkan kemudian melalui UU 14/2004 t te tentang Penetapan Perppu 1/2004 menjadi UU. Sekalipun kedua produk perundangan ini juga menjadi bagian ddaa tonggak kunci kebijakan usaha kehutanan dalam periode ini, materinya tidak banyak dibahas dalam dari aanalisis ini, terutama karena perubahannya terfokus hanya pada perbaikan kepastian usaha pertambangan di an kkawasan a hutan, untuk usaha-usaha pertambangan yang izinnya keluar sebelum pemberlakuan UU 41/99.
96 96
Perubahan PP 21/70 (jo PP 18/75) menjadi PP 6/99 dengan tetap merujuk pada pad UU 5/67 lebih ditekankan pada keseimbangan fungsi hutan dan lingkungan hidup, dimana kelestarian dimaknai sebagai batasan bagi dua hal ling sekaligus: sek
pengelolaan
hutan
dan
pembangunan
kehutanan
yang
berkelanjutan, yang diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kini berk dan daan mendatang. Frase terakhir ini memperlihatkan ”pembaruan” dalam PP d 6/99 6//99 9 dimana kriteria kemakmuran sudah ditempatkan pada horison lintas generasi. geen g Argumen pembuka pada UU 41/99 relatif tidak jauh berbeda dengan argumen pembuka pada UUPK 5/67, kecuali adanya tambahan berupa arrgu pengakuan bahwa (a) hutan alam (sudah) cenderung menurun kondisinya dan pen pe en (b) (b b) perlu prinsip keterbukaan, profesionalisme dan tanggung gugat dalam pengelolaan hutan; serta (c) perlunya menampung dinamika aspirasi dan peran peen serta seert masyarakat, adat, budaya, tata nilai masyarakat berdasarkan norma hukum nasional. Berbagai teks argumen pembuka tambahan ini menjadi ciri huk hu era erra reformasi kehutanan waktu itu. Kegiatan usaha kehutanan sendiri secara khusus diatur dan mengerucut sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang khhu k bertujuan memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat bert secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan seca dimaksud antara lain berupa pemanfaatan hasil hutan kayu, dan dilaksanakan dim melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Izin mel ini diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, dan BUMN/D. Melekat atas aattas taass hak usaha itu, sejumlah ketentuan dan kewajiban yang harus dipenuhi pemegang IUPHHK 8 . peem p
Setelah serangkaian teks pengakuan bahwa kondisi hutan alam mengalami penurunan, artinya setelah dua dekade lebih usaha kehutanan dilakukan saat pe p en iitu, it tu, hutan masih tetap dipandang sebagai pontesi ekonomi yang perlu terus
8
antara an ntaara lain wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat untuk memberdayakan ekonomi masyarakat masyyar arak ak wajib mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha yang diatur dalam peraturan peratturaan pemerintah wajib menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya. Hak usaha pemaanfa nfaa nf pemanfaatan hasil hutan dimaksud mencakup penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemaasa sara yang dalam pelaksanaannya tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari. pemasaran
97
dimanfaatkan secara optimal untuk tujuan pembangunan, sebagaimana tampak pada kutipan berikut. “..... hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa .... merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara ..... memberi manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;...hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya .... keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat;... pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional”; (UU 41/99 – konsideran a-c)
Amanat UU No. 41/99, khususnya Bab V, VII dan XV, selanjutnya dijabarkan antara lain dalam PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP ini sekaligus merupakan pengganti PP 6/99. Dalam PP 34/2002 pemosisian hutan alam tidak dideskripsikan, karena konsideran awal merujuk langsung pada keempat pasal pada UU 41/99 sebagai dasar lahirnya PP ini. Sementara kelestarian dimaknai dan diposisikan sebagai kewajiban para pemegang hak konsesi untuk memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam secara lestari (PHAPL) yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Lebih lanjut, hal ini secara ”operasional” diatur melalui Keputusan Menteri 9 . Dalam periode ini, perubahan kebijakan usaha kehutanan terus bergulir. PP 34/2002 lebih lanjut diganti dengan PP 6/2007. Kalau sebelumnya, kelestarian
diposisikan
sebagai
batasan
terkait
teknis
pelaksanaan
pemanfaatan hutan, dalam PP 6/2007 kelestarian menjadi dasar dalam 9
Keputusan Menteri dimaksud adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 4795/2002 tentang Kriteria dan IIndikator In n Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) pada Unit Pengelolaan – pengganti K KepMenhut 619/93 dengan subjek sama. Disebutkan dengan tegas pada konsideran bahwa PHAPL, bersifat w wajib, merupakan proses yang berkelanjutan dalam pencapaian kelestarian sumber daya hutan. Kriteria dan iindikator dimaksud mencakup empat kriteria dan 24 indikator: prasyarat (6 indikator), produksi (7), ekologi in ((6), 6 dan sosial (5).
98 98
melakukan deregulasi dan debirokratisasi usaha kehutanan yang diarahkan mel untuk untu mendorong pertumbuhan investasi usaha kehutanan, percepatan pembangunan hutan tanaman, pengendalian degradasi hutan, dan peningkatan pem ekonomi nasional. Pertimbangan normatif atas perubahan ini, antara lain eko adalah karena PP sebelumnya, yakni PP 34/2002, dianggap belum mampu ada memfasilitasi langkah ke arah berbagai perubahan ini semua, sehingga perlu mem me diganti. Lebih lanjut, kelestarian kemudian mengerucut maknanya menjadi diiga d g sebagai cara dalam pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi seeb (KPHP). KPHP sendiri diposisikan sebagai entitas rancang bangun unit (K KP pengelolaan hutan, melalui pengelompokkan SDH sesuai tipe, fungsi dan peen p potensi ekosistemnya. Saat bersamaan, kelestarian juga dimaknai sebagai cara poote t sekaligus prinsip dalam pemanfaatan hutan yang dipilah kedalam berbagai seek bentuk usaha pemanfaatan: kawasan, hasil hutan, dan jasa lingkungan. Dalam ben be konteks pemanfaatan hasil hutan kayu, makna kelestarian lebih mengerucut kooonn k lagi laagi pada upaya menerapkan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungan dimana unit usaha dilakukan. kara ka
Pada Lampiran 9 (b) dapat dilihat matriks yang menggambarkan secara rinci rinc perbandingan keseluruhan keempat aspek narasi di tingkat UU, PP, dan aturan atur teknis untuk kurun setelah 1998. Ringkasannya, dapat dilihat pada Tabel Tab 20.
Seperti halnya kurun sebelum 1998, dalam kurun ini tampak
kecenderungan serupa, yakni untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke kec hilir hiilii substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif h prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit prro p manajemen. Artinya, bahwa dari sisi substansi kecenderungan lawas dan maan m kedalaman pangaturan tidak berubah. Implikasinya pun tampak tidak jauh ked ke ked berbeda, baik terkait dominasi pemerintah maupun latar distrust. Magnitude b er b be praktek politik ekonomi bahkan tampak semakin marak, karena prakteknya prrak p a menyebar ke daerah, menyusul euforia reformasi dan masa transisi serta meen m e implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Tekanan atas sumberdaya imp im
99
Tabel 20. Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki perundangan (setelah 1998) Aspek narasi A P Pemosisian Hutan Alam A
Kelestarian K
Pelaksana(an)Usaha P Kehutanan K
UU No. 41/1999 – Kehutanan Garis besar dengan uraian relatif lebih rinci Panduan Filosofis [Karunia, amanah dan anugerah Tuhan; ber manfaat serbaguna; dikuasai negara; wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, generasi sekarang dan mendatang; ada pengakuan kondisinya sudah cenderung menurun dan harus dipertahankan] Dimaknai sebagai cara, tujuan, batasan dan kewajiban [Cara menjaga daya dukung, multifungsi hutan, kawasan hutan dan lingkungan, dan mempertahankan keberadaan hutan alam; tujuan, khususnya dari pengurusan dan pengelolaan hutan alam; batasan bagii kepastian usaha; kewajiban bagi para pemegang ijin menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya] Melalui pemberian izin [Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, BUMN, atau BUMD]
PP 34/2002
PP 6/2007
Tidak ada uraian ini
Tidak ada uraian ini
[Merujuk langsung pada UU 41/99 – khususnya pelaksanaan Bab V, VII dan XV undang-undang tersebut]
[Merujuk langsung UU 41/99 - 4 pasal, yakni Pasal 22, 39, 66, dan 80) yang mendasari lahirnya PP 34/2002]
Lebih dimaknai sebagai kewajiban
Selain cara dan tujuan, dimaknai pula sebagai azas.
[Wajib memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri (Kep Menhut 4795/2002)
[Azas melaksanakan deregulasidebirokratisasi; cara dan prinsip pemanfaatan hutan (kawasan, jasa lingkungan, kayu, non kayu, pemungutan) dan pengelolaan KPH; tujuan dalam rancang bangun unit pengelolaan hutan]
Pemberian izin melalui penawaran-pelelangan
Pemberian izin atas pemohon
[IUPHHK HA, dapat diberikan kepada: perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, dan
[pemberian dilakukan dengan menyeleksi para pemohon izin dan status kawasan hutan yang dimohon; diberikan Menteri
1100 10 00
Tabel 20. (Lanjutan) Aspek Aspe ek narasi na
Hak dan daan kkewajiban
UU No. 41/1999 – Kehutanan
Tidak ada uraian hak, dominan butir-butir kewajiban [Ada setidaknya 4 butir kewajiban pokok terkait kerjasama dengan masyarakat setempat, menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan, membayar iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja serta menyediakan dana investasi pelestarian hutan]
PP 34/2002
PP 6/2007
BUMN atau BUMD; diberikan Menteri berdasarkan rekomendasi Bupati atau Walikota dan Gubernur].
Hak lebih kecil dibanding kewajiban
berdasarkan rekomendasi gubernur dan pertimbangan bupati/walikota; dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN; atau BUMD. Kewajiban jauh lebih dominan dibanding hak
[Berhak melakukan kegiatan sesuai izin yang diperolehnya dan berhak memperoleh manfaat dari hasil usahanya]
[Berhak melakukan kegiatan usaha dan memperoleh manfaat dari hasil usaha sesuai dengan izin]
[Ada sekitar 18 butir kewajiban]
[Ada sekitar 40 butir kewajiban]
.
hutan pun semakin meningkat, misal atas nama peningkatan investasi di huta daerah dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) 10 . dae Khusus dikaitkan dengan setting uraian hak dan kewajiban dalam kurun sebelum dan setelah 1998, sebagaimana tampak pada Tabel 21, dapat diamati seb bahwa macam dan jenis hak relatif tidak berubah, bahkan esensinya hanya ba b ah ssatu: sat sa atu hak memanfaatkan. Kemungkinan tafsirnya yang relatif kuat adalah stigma bahwa pemerintah menghegemoni keseluruhan aspek dan diskursus sst tig ig pengaturan usaha kehutanan. Sementara, tampak pula bahwa butir kewajiban pe p en menjadi relatif lebih banyak, lebih rinci, lebih teknis, administratif dan men me m en procedural, yang sesungguhnya kurang sepadan dengan kemampuan pr p ro ro (span of control) dari pemerintah selaku regulator. Ini menjadi ppengawasan pe en iisyarat is syyaa yang menguatkan bahwa daftar kewajiban dikerangka dengan aliran 10
Pengakuan Pen ng nga gaak ku u beberapa para pihak pemangku kepentingan di daerah terkait fenomena konversi dan pinjam pakai kawasan hutan n alam allla aala lam am untuk penggunaan lain, termasuk sawit dan tambang – beberapa FGD di Jambi, Riau, Kaltim dan Kalbar dalam kurunn 2 2010-2011. 201 20 010 0
101
pemikiran the forest first, sehingga aliran pemikiran ini masih sangat kental dan dominan dalam kurun dimaksud. Sampai disini – dengan menggunakan teori kekuasaan Foucault, dapat ditangkap satu pola, bahwa penetapan berbagai kewajiban itu dan sekaligus pilihan aliran itu merupakan produk dari kekuasaan yang menghasilkan dan menghegemoni pengembangan berbagai pengetahuan terkait yang menjadi sebuah regime ”kebenaran”.
Tabel 21. Perbandingan hak dan kewajiban para pemegang unit usaha IItem It Hak H
s/d 1999 (SK HPH) 1 (3)
1999 keatas (SK IUPHHK-HA) 1 (2)
Makna
Macam dan jenis hak relatif tidak berubah, bahkan esensinya hanya satu: memanfaatkan. Hal ini dapat ditafsir bahwa pemerintah menghegemoni keseluruhan aspek dan diskursus pengaturan usaha kehutanan Kewajiban 9 K 19 Kewajiban relatif lebih banyak, lebih rinci, lebih teknis, administratif dan procedural, yang sesungguhnya kurang sepadan dengan kemampuan pengawasan (span of control) dari pemerintah selaku regulator. Ini menjadi isyarat yang menguatkan bahwa daftar kewajiban dikerangka dengan aliran pemikiran the forest first. Catatan: Rincian hak dan kewajiban ini dapat dilihat pada Lampiran 14. C
2. Proses Dari sisi proses, analisis atas keseluruhan dokumen peraturan perundangan sebelum 1998 yang tersedia memperlihatkan indikasi bahwa tidak dengan jelas adanya interaksi, terlebih interaksi yang berupa transaksi antar para pihak yang berkepentingan dalam menata aturan main atau kebijakan usaha kehutanan. Bahkan siapa saja sesungguhnya pihak yang berinteraksi dan sekaligus bertransaksi terindikasi tidak tegas. Sekalipun, dari teks terdapat gambaran bahwa pihak atau aktor yang disebut dalam aturan main kegiatan usaha kehutanan terdiri dari pemerintah (pusat dan provinsi), pemegang hak, mayarakat pihak ketiga, dan masyarakat adat. Dalam hal ini teks mengindikasikan begitu kuat, bahwa pemerintah tampak begitu dominan didalam menentukan aturan main, sehingga kesan ”sepihak dan mendikte” dalam proses penentuannya sulit dihindari. Dengan demikian, sintesis ini relatif sulit untuk memastikan bagaimana gambaran proses interaksi dan
1102 10 02
transaksi para pihak dalam mengkonstruksi aturan main ini, selain hanya oleh tran kelompok pemerintah. Sekalipun, dalam paragraf akhir di bagian penjelasan kelo umum umu PP 21/70 dikemukakan, bahwa kepentingan yang ditimbang kuat hanya sebatas pemerintah dan pelaku usaha: seb ”...... ”.... . Oleh karena itu guna memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan pemberian, hak Pengusahaan Hutan, ketentuan persyaratan dan kewajibanpem pe kewajiban yang dipandang penting baik dari pihak Pemerintah maupun dari k ew ke pihak pi p iha Pengusaha perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” ih (Penjelasan Umum, PP 21/70) (P Pe
Relatif berbeda dengan kurun sebelum 1998, proses perumusan kebijakan usaha us u sa kehutanan dalam periode setelah 1998 menunjukkan sejumlah butir perbedaan yang dapat dianggap sebagai upaya perubahan. Kelahiran UU pe p erb r 41/99 ditandai dan bahkan dipicu dengan meningkatnya secara menyolok 41 1/9 / inisiatif untuk melakukan perubahan dan pembaruan kebijakan bberbagai be erb kehutanan, termasuk usaha kehutanan di dalamnya. Situasi demikian muncul ke k eh menyusul pergantian kepemimpinan nasional pada 1998, dimana banyak me m en kelompok pemangku kepentingan mengusung serangkaian diskursus terkait ke k elo arah dan substansi perubahan (baca: reformasi) yang perlu dilakukan, khususnya dalam sektor kehutanan. Dalam catatan Dephutbun (1999) dan khu Kartodihardjo (1999) tuntutan perubahan tersebut menyangkut penyediaan Kar berbagai prakondisi pemungkin yang dianggapnya belum selesai. Ini berb mencakup antara lain pengukuhan hutan dalam rangka mewujudkan men kepemilikan hutan yang legitimate, masalah birokrasi, dan kemampuan ke k ep pemerintah dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan, masalah peraturan pe p em masalah ukuran kinerja, evaluasi dan kontrol pelaksanaan usaha pperundangan, pe eru r kehutanan. Adapun tuntutan pembaruan secara umum waktu itu, dan bahkan ke k eh telah menjadi semacam ”tuntutan publik”, tertuju pada dua sasaran ccenderung ce cen en redistribusi manfaat sumberdaya hutan dan meniadakan kolusi, korupsi ppokok: po ok dan da d an nepotisme (KKN) di sektor kehutanan. Catatan terkait rangkaian diskursus para pa p ara r permangku kepentingan ini selanjutnya dapat dilihat antara lain dalam Dephutbun (1999), Kartodihardjo (1999) dan Awang (1999). D De ep
103
Kurang dari setahun sebelum UU 41/99 lahir, pemerintah (Dephutbun waktu itu) melakukan pembaharuan mendasar dengan menggantikan PP 21/70 dengan PP 6/99 pada 27 Januari 1999 untuk subjek yang sama. Inti perubahan, sebagaimana juga sudah disinggung di atas, mencakup antara lain relokasi besaran luas dan kepemilikan konsesi dan cara perolehan hak (melalui lelang) yang tampaknya untuk menjawab adanya klaim telah terjadinya praktek konglomerasi atau pemusatan luas areal konsesi hanya kepada segelintir orang saat itu. Perubahan ini disambut antusias oleh berbagai kalangan (masyarakat sipil, praktisi, ornop dan akademisi) (Dephutbun, 1999). Berbagai diskursus pun terus bergulir sampai kemudian lahir UU 41/99 pada 30 September 1999. Namun, topik-topik diskursus berkisar pada pembangunan kehutanan secara umum dengan kecenderungan utama pada ”tuntutan” realokasi dan redistribusi manfaat hutan serta memperluas akses masyarakat (adat) atas hutan. Oleh karena itu, UU ini lahir melalui proses yang tergolong alot dengan jangka waktu relatif lama, dan melibatkan banyak kelompok pemangku kepentingan. Suatu situasi yang tidak dijumpai atau tidak terindikasi secara tegas pada proses historis perumusan UU Kehutanan 5/67. Para pemangku kepentingan di atas antara lain mengelompok dalam Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), Komite Reformasi Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan (KRPKP) dan Koalisi untuk Demokratisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (KUDETA). KRPKP sendiri pembentukannya diprakarsai Menhutbun (waktu itu) melalui Kepmenhutbun No. 521/1998 pada 29 Juni 1998. Anggota KRPKP meliputi perwakilanperwakilan dari Dephutbun, perguruan tinggi, LSM, dan asosiasi. Menurut catatan Dephutbun (1999) dan Kartodihardjo (1999) dalam proses pembentukan KRPKP, salah seorang perwakilan LSM tidak bersedia dicalonkan sebagai anggota KRPKP 11 . Berbagai forum ini dengan dukungan para akademisi, berproses aktif antara lain dengan turut mengawal proses pembaruan kehutanan, termasuk perumusan usulan rancangan UU ini. Para pemangku kepentingan dalam FKKM bahkan turut menyiapkan naskah
1 11 Dari wawancara dengan narasumber yang relevan, tidak diperoleh alasan yang memadai, selain adanya kooptasi oleh pemerintah, mengingat prakarsa dan legalitas KRPKP melalui Kepmehut. kkekhawatiran e
1104 10 04
12 akademik aka dan bahkan UU Kehutanan tandingan. Munculnya UU Kehutanan
tandingan merupakan indikasi tidak semua kepentingan para pihak – pada tand akhirnya – diakomodasi dalam UU 41/99. Artinya, berbagai diskursus yang akh mengemuka memang berpengaruh dalam proses konstruksi UU baru itu, men namun tidak terejawantahkan dalam ”hasil akhir”. Gambaran historisnam kronologis ini dapat dijadikan semacam konfirmasi, bahwa teks-teks kr k ro perundangan pada periode ini, sebetulnya mencerminkan adanya proses pe p eru r interaksi dan bahkan transaksi antar para pemangku kepentingan. Namun hasil in nte t akhir ak kh teks dan narasi menunjukkan bahwa tidak semua hasil ”transaksi” masuk dalam da d ala dokumen akhir produk kebijakan. Beberapa pemangku kepentingan menamai situasi ini sebagai fenomena ”black box” yang nnon-pemerintah no on ddinilai di ini kental dengan agenda politik ekonomi sektor kehutanan. Dalam proses selanjutnya hal ini mengurangi tingkat kepercayaan publik, setidaknya para se ela pihak pi p iha h pemangku kepentingan yang turut berproses saat itu, kepada pemerintah ddalam da ala proses konstruksi kebijakan. Singkatnya, proses kelahiran UU 41/99 ini relatif lebih kaya dari sisi para pihak pi p iha h yang terlibat dan diskursus yang mengemuka yang turut mengkonstruksi kondisi akhir UU ini, relatif terhadap proses perumusan UU 5/67. Berbeda kon dengan den
proses
pembentukan
UU
5/67,
pembentukan
UU
41/99
memperlihatkan perubahan yang relative signifikan baik dari sisi proses mem maupun substansi seperti telah dijabarkan di atas. Sekalipun, sebagaimana mau disayangkan banyak pihak, hal ini diwarnai fenomena ”black-box” disa sebagaimana telah dikemukakan di atas. sse seb eb Fenomena ”black box”, khususnya, dan situasi proses konstruksi kebijakan dalam kedua periode umumnya, tampak konsisten dengan hasil analisis narasi dala da d al terkait te erk rk relasi kekuasaan yang menghegemoni sebuah regime kebenaran yang menggiring begitu kuat kepada ciri-ciri aliran the forest first. Sampai disini, m me en kembali, bahwa aliran itu dan keseluruhan diskursus di permukaanya ke k em merupakan produk dari hegemoni kekuasaan pemerintah. me m e er 12
Jauh Ja auh se ssebelum ini, Dephut tanpa diketahui publik secara luas, pernah menyiapkan naskah akademik dan pen pe draftt penyempurnaan UU 5/67, setidaknya melalui penerbitan Kepmenhut 213/1990 disusul kemudian dengan Kepmenhut 66/1991 dan Kepmenhut 4/93 – dari wawancara awal dengan beberapa tokoh terkait deng gan an K m K e dalam Kepmenhut ini, tidak cukup informasi seberapa jauh naskah akademik dan naskah penyempurnaan masuuk dalam da da masuk proses pembaruan di periode ini, setidaknya dalam RPKP.
105
3. Fenomena: Sintesis Kecenderungan Sebelum 1998. Berbagai argumen pembuka pada UU Kehutanan 5/67 menjadi titik berangkat legalitas dan landasan falsafah kebijakan usaha kehutanan di hutan alam produksi Indonesia yang dimulai (lagi)13 pada 1967. Dibalik serangkaian teks argumen pembuka itu tersirat sebuah kerangka pikir para pihak penyusun kebijakan saat itu, yang begitu yakin dan percaya, bahwa hutan itu dengan segala multi manfaat dan multifungsinya merupakan anugerah, dan karena pertimbangan kepentingan pembangunan – termasuk menyelesaikan revolusi – pantas untuk dimanfaatkan dan dikelola, dengan tetap dilindungi agar lestari. Namun, sampai disini, belum jelas betul bagaimana interaksi dan sekaligus transaksi para pihak sehingga sampai pada ”keyakinan” ini. Dapat dipahami, bila sampai disini pun makna lestari dan macam pendekatannya belum begitu tegas, termasuk untuk mewujudkannya. Padahal, secara tekstual kelestarian dikonstruksi sebagai instrumen kontrol. Namun ditengah situasi ambigu ini, yang tampak relatif jelas dan tegas adalah bagaimana hutan telah diposisikan begitu sentral. Dari teks konsideran PP 22/67 sebagaimana dikutip di bagian awal bab ini, frase ”dalam arti luas” dalam alokasi pungutan mengundang dugaan bahwa alokasi penggunaan hasil pungutan bisa digunakan bukan hanya untuk kembali ke kehutanan sebagaimana teksnya, namun menjadi terbuka untuk penggunaan lain, termasuk mungkin yang sifatnya menyimpang. Misalnya melalui politik-ekonomi atas nama: atas nama rehabilitasi hutan untuk kepentingan ekonomi dan politik pihak tertentu 14 . Dengan begitu, dalam jangka panjang tidak ada jaminan bahwa alokasi itu sungguh-sungguh untuk membangun kembali hutan dan kehutanan. Dugaan ini pernah terbukti terjadi, misalnya pada saat Dana Reboisasi dialokasikan untuk tujuan lain nonkehutanan melalui penerbitan Kepres 42/1994, antara lain untuk membantu industri pesawat terbang IPTN (sekitar IDR 400 milyar) yang produknya lalu
13 13 Sisipan ”lagi” sekedar menunjukkan, bahwa usaha kehutanan berupa pemberian konsesi HPH sudah bberjalan e jauh sebelumnya mencapai luas 1.3 juta ha di Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan nilai devisa ddari ekspor saat itu mencapai USD 775 ribu pada 1963 sebagaimana ditunjukkan Dephutbun (2007). da 14 14 Beberapa sumber yang tidak berkenan dicantumkan identitasnya menyinggung soal “penarikan” dana DR ssebesar IDR 40 T dalam tempo singkat, atas nama gerakan menanam pohon untuk rehabilitasi hutan dan se llahan, a yang menurutnya justru untuk kepentingan politik terkait pemilu periode tertentu.
1106 10 06
diimbal diim beli dengan beras ketan dari Thailand. Dengan Kepres yang sama, DR juga dimanfaatkan untuk keperluan SEA Games (sekitar IDR 35 miliar) dan perusahaan pupuk tablet urea (sekitar IDR 80 miliar) 15 . ”Penyimpangan” ini, peru menjadi contoh bukti empiris adanya upaya legalisasi intervensi atas arah dan men orientasi pelaksanaan kebijakan usaha kehutanan, khususnya dalam upaya orie rehabilitasi hutan, rre ehhaa
yang dilakukan dan bahkan ”disiapkan” pemerintah
sendiri. Antara lain kedalam fenomena semacam ini istilah politik-ekonomi se en maksudkan. ppenulis pe en Dari atribut pengetahuan, tampak bahwa dibalik narasi kebijakan di atas, hanya didekati dari disiapkannya sejumlah alokasi dana yang kkelestarian ke ele dari dan dikembalikan ke hutan dengan (disadari atau tidak oleh ddipungut di ipu p perumus kebijakan) disertai celah (loop hole) yang menjadi titik lemah bagi pe eru r aturan ini secara konsisten. Sekalipun masuk akal secara kketerlaksanaan ke ete keilmuan, pendekatan ini relatif tidak lengkap, terutama bila merujuk macam ke k ei eil menurut Dunn (2000). Dengan rujukan itu, maka kkebenaran/rasionalitas ke eb pendekatan ini pada dasarnya baru memenuhi sebatas kebenaran hukum, yakni pe en menyiapkan aspek legalitas bagi upaya kelestarian sebagai instrumen me m en pengendali pemanfaatan hutan. Dengan kata lain, pendekatan ini belum pen memiliki rasionalitas substantive yang cukup yang idealnya harus mencakup mem dari mulai (Dunn, 2000) macam kebenaran teknis (pilihan efektifitas), ekonomis (pilihan efisiensi) dan sosial (daya terima sosial). Dari batasan eko pengetahuan seperti itu, sebagai sebuah aturan main, pendekatan yang pen dikembangkan tampak tidak lengkap, terutama karena tidak didukung oleh dike d di ike penyiapan pe p en
sejumlah
prakondisi
pemungkin,
misal
terkait
jurisdiksi,
representasi dan bahkan interdependensi antar dan pemosisian para pihak yang rre epr terlibat atas sumberdaya hutan yang diusahakan. Kondisi demikian dapat te errll merupakan representasi dari situasi tidak terjadinya interaksi atau bahkan m me er transaksi antar para pihak saat berbagai ketentuan ini dikonstruksi kedalam ttra tr ran teks-teks aturan. Corak hasil sintesis semacam inipun berlaku identik untuk tteks te ek s narasi na n ara ra kebijakan lainnya, terutama bila diamati kecenderungannya yang serupa
15 www.hamline.edu/apakabar/0134.html ww ww w..h - diakses 18 Feb 2009; www.tempointeraktif.com – diakses 24 Maret 2009 Mareet 200 220 0
107
sebagaimana tercantum baik pada PP 21/70 atau bahkan pada UU 5/67 sebagaimana telah disinggung di atas. Dari sisi historis atau proses, atau setidaknya secara sekuen, terbitnya PP 22/67 pun mengundang pertanyaan, karena ia keluar sekitar tiga tahun lebih dulu sebelum PP 21/70 yang khusus mengkerangka HPH dan HPHH itu sendiri. Dalam diktum menimbang, teks dalam PP 21/70 memang merujuk pada PP 22/67. Teks ini memungkinkan untuk ditafsir,
bahwa kerangka
aturan main terkait HPH dan HPHH lebih didorong karena telah adanya lebih dulu aturan struktur pungutan HPH dan hasil hutan, sekalipun dalam PP 22/67 tidak ada mandat untuk mengkerangka lebih lanjut struktur HPH dan HPHH. Namun, dalam konteks kebijakan usaha kehutanan urgensi terbitnya PP 22/67 pun menggantung, karena tidak ada rujukan substantive yang relevan dan menjelaskan pentingnya PP ini, selain cantolan legal, yakni beberapa pasal pada UUD 45, sejumlah TAP MPRS-1966 dan 1967, UUPK 5/67 serta PP 18/65 tentang Pemerintahan Daerah. PP 22/67 tidak pula ada kaitan dengan PP 64/57. Sehingga pertanyaannya, argumen apa dan siapa serta diskursus seperti apa atau setidaknya kejadian-kejadian apa yang telah berlangsung sehingga mendorong diperlukannya semacam respon kebijakan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk PP 22/67; selain memang serangkaian teks argumen pembuka yang sudah tersurat dalam konsideran PP ini. Pertanyaan ini akhirnya berkembang kepada bagaimana proses dan mekanisme kebijakan ini disusun dan siapa saja para pihak yang telah turut berproses selain birokrat pemerintahan saat itu 16 . Hal ini menunjukkan, bahwa jawaban atas ketiga pertanyaan awal IDS (2006) tidak tersedia. Sampai disini, diperoleh pengetahuan, bahwa salah satu karakteristik produk perundangan terkait kebijakan kehutanan, selain tidak tampak adanya interaksi dan transaksi para pihak pemangku kepentingan, para pihak yang terlibat dan kekuatan politik di belakangnnya pun tidak teridentifikasi secara tegas; selain, bahwa komponen birokrasi pemerintah yang tampak begitu mendominasi.
1 16 Dari wawancara dengan beberapa mantan birokrat yang aktif dimasanya, tidak tergali informasi yang cukup untuk dapat menjawab pertanyaan ini. ccu
1108 10 08
Kutipan terkait Penjelasan Umum PP 21/70 di atas mengisyaratkan seolah adanya proses interaksi berupa ”kemufakatan” terkait ketentuan persyaratan ada dan kewajiban-kewajiban dimaksud antara pemerintah dengan pihak pengusaha. Setidaknya ada proses komunikasi, negosiasi dan tawar menawar pen kepentingan – dalam bentuk rangkaian diskursus – antar kedua pihak yang kep turut turu tu ru mengkonstruksi aturan main itu. Namun, sejauh ini tidak dijumpai dokumen yang mendukung hal tersebut. Terlebih untuk memotret diskursus dok do dari dari da r kelompok masyarakat lainnya (akademisi, masyarakat adat, dan ornop). Demikian pula dalam Dephut (2007) terutama pada awal-awal 1960an-1980 Deem D tidak tiida dijumpai satu potongan narasipun yang mengindikasikan adanya rangkaian diskursus dan interaksi yang melibatkan keseluruhan para raang n pemangku kepentingan terkait dengan usaha kehutanan, selain dari sisi peem pemerintah. Dengan begitu, inisiatif dan dorongan mengusahakan hutan alam peem produksi dapat dianggap datang lebih banyak dari pemerintah dan dalam prro p perspektif mayoritas pemerintah sendiri. Demikian pula konsep dan peers pendekatan kelestarian serta pemosisian hutan alam di dalamnya. Kondisi peen empiris demikian dapat ditafsir, bahwa detail aturan main yang ada lebih emp em mencerminkan kebutuhan dari sisi pemerintah untuk menyiapkan aturan, men belum belu merupakan harmonisasi dan kristalisasi kebutuhan aktor lain, termasuk para pelaku dan pelaksana kebijakan; atau kebutuhan objektif menjawab masalah usaha kehutanan itu sendiri. Karakteristik ini semakin menegaskan mas bahwa bah aliran pemikiran dibalik kebijakan usaha kehuatan masih di seputar the forest forree first dalam pandangan Sfeir-Younis (1991). fo Penyempurnaan PP 21/70 melalui penerbitan PP 18/75 pun tidak merubah secara seca signifikan arah kebijakan usaha kehutanan dan juga pemaknaan atas se kelestarian dan pemosisian hutan alam dalam kebijakan itu sendiri. Ini kele ke kele dimungkinkan, mengingat fokus perubahan hanya pada satu pasal terkait dim dim di penegasan bahwa modal asing sekedar pelengkap modal nasional dan sejalan peen p en dengan itu memberikan peran lebih besar kepada perusahaan nasional untuk deen d mengusahakan HPH, karena dipandang telah mampu. Namun, tidak dijumpai men me diskursus yang mengaitkan relevansi perubahan ini dengan hal yang lebih diisk d isk sk mendasar bagi tatanan usaha kehutanan lestari, misal gambaran apakah meen m
109
penegasan entitas menjadi lebih nasional, terkait dengan penataan hak kepemilikan (property rights) sebagai kondisi pemungkin bagi pencapaian kelestarian. Sampai disini, terakumulasi pengetahuan bahwa pemerintah, memicu sendiri argumen bahwa hutan memiliki potensi ekonomi, diperlukan untuk menopang tujuan pembangunan nasional termasuk menuntaskan revolusi, untuk kesejahteraan masyarakat. Pemerintah pula memosisikan kelestarian sebagai cara/azas/landasan/dasar/tujuan terkait peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan bagi kepentingan memelihara dan melindungi multifungsi hutan. Semua ini dimungkinkan, karena tidak teridentifikasinya proses interaksi dan transaksi dengan pihak lain, selain pemerintah. Merujuk pada konsep policy as an argument yang dikemukakan Sutton (1999) maka fenomena demikian memperlihatkan situasi bahwa rumusan akhir kebijakan tidak berangkat dari debat para pihak, pemerintah hanya melakukan dan mengakumulasi klaim, tanpa ada yang (berani) mengkritiknya, tidak tampak adanya proses komunikasi dan kontestasi ide, beradu info,
fakta dan idelologi – atau bahkan teori - antar para pihak
pemangku kepentingan. Tidak tampak pula seberapa jauh peran ilmuwan kehutanan memiliki kontribusi dalam proses. Merujuk kembali kepada macam kebenaran/rasional Dunn (2000) maka macam kebenaran yang dominan dibalik narasi kebijakan ini adalah kebenaran hukum, bunyi pasal-pasal, yakni karena yang dipenuhi baru sebatas kebutuhan untuk membuat dan menjalankan aturan, belum menyentuh kebutuhan dan masalah pihak lain (terutama para pemegang konsesi) dan kebutuhan dan masalah objektif usaha kehutanan di lapangan. Sejalan dengan konsep kebijakan sebagai argumen di atas, kebenaran itu sendiri belum didukung kebenaran lainnya seperti teknis, ekonomis dan terutama penerimaan sosial. Lalu, yang kemudian menonjol adalah posisi politik pemerintah dalam upaya mengatur dan mengawasi pihak yang diawasi (pemegang konsesi) alias command and control bahkan sampai di tingkat unit usaha. Masyarakat lain, khususnya masyarakat adat yang ada di dalam dan di sekitar hutan sekedar “diikutsertakan”. Sementara hal mendasar dari
1110 11 10
kelestarian tidak cukup gamblang dan lengkap diatur, selain bahwa ia kele diposisikan sebagai bagian instrumen pengelolaan yang ”diwajibkan” dalam dipo kegiatan usaha kehutanan. keg Dari sisi proses – dengan menimbang kebijakan sebagai argumen – aktor atau policy network yang turut mengkerangka kebijakan menjadi kurang teridentifikasi secara lengkap, selain hanya komponen pemerintah yang begitu teri te ri dominan mengatur dan melakukan kontrol di seputar hutan, dalam artian yang dom do sangat teknis silvikultur. Sementara, praktisi usaha kehutanan selaku pihak saan yang yaan dikontrol, posisi politisnya diposisikan sebagai pihak yang ”lemah” atau y subordinat. Dengan posisi demikian, semakin tegas bahwa substansi dan suub narasi nara na r kebijakan usaha kehutanan dalam periode ini merupakan hegemoni atau monopoli hasil konstruksi aktor pemerintah. mo m on Himpunan pengetahuan diatas menjadi penting terlebih bila dikaitkan dengan masih hadirnya sejumlah isu kontemporer, antara lain, mengapa den de pemerintah pada saat itu belum mempertimbangkan dan menyelesaikan peem berbagai persoalan terkait masyarakat, terutama yang hidup di dalam dan di beerb sekitar hutan, khususnya dalam hal hak dan aksesnya. Telah disebutkan di sek se atas, atas bahwa pengaturan ”interdependensi” antara pemegang konsesi dengan masyarakat yang lebih memosisikan masyarakat sebagai pihak pinggiran: mas sepanjang diakui masih ada, dan hanya berhak memungut hasil hutan bukan sep kayu, kay itupun ditakar hanya untuk keperluan sendiri dan sejauh tidak mengganggu kegiatan usaha HPH 17 . Pengetahuan yang satu ini menegaskan men bahwa bah b ba ah teks dan narasi kebijakan yang ada telah berhasil menggiring diskursus bahwa, begitulah rupa pemahaman “hutan dikuasai negara dan digunakan bah b ba ah untuk un u ntu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam perkembangannya, masih dalam periode ini (sebelum 1998), muncul indikasi perubahan dalam bangunan ”interdependensi” yang m mu un memengaruhi seolah ada peta policy network tadi. Ini tampak, terutama saat m em munculnya konglomerasi yang menurut (Brown, 1999) dimungkinkan karena mu m u un hadirnya “sinergi politik” antara pemerintah dan pengusaha. Sudah menjadi ha h ad ad pengetahuan umum saat itu, bahwa pada penggalan periode ini pengaruh pe p en 17
Tercantum Te erccaant dengan jelas pada hampir keseluruhan dokumen FA dan SK HPH
111
dunia usaha cukup kuat memengaruhi proses perumusan kebijakan usaha kehutanan yang telah menjadi hegemoni pemerintah. Hal ini mendapat semacam konfirmasi langsung dari salah seorang Menteri Kehutanan di era ini 18 : ”.......bukan apa-apa dik, tekanan politik waktu itu sudah sangat membebani birokrasi...bayangkan saja...kalau posisi direktur saja presiden yang harus menentukan....karena kepentingan bisnis dibaliknya....” (Wawancara, Lebak Bulus, 21 Mei 2011). Fenomena konglomerasi di atas ditandai juga terutama dengan adanya kebijakan ”peningkatan kapasitas industri dalam negeri” melalui ”integrasi vertikal industri perkayuan” menyusul larangan ekspor log pada 1985 (Brown, 1999). Fenomena ini memang memperlihatkan adanya peningkatan posisi politis praktisi dunia usaha kehutanan dalam memengaruhi kebijakan industri kehutanan. Namun, ”perbaikan” posisi politis ini, tidak kondusif dan sebaliknya justru membuat semakin lemahnya kebijakan usaha kehutanan lestari. Sebagai misal, bisa diingat kebijakan terkait integrasi vertikal – diwajibkannya para pemegang konsesi HPH memiliki unit industri. Dalam pelaksanaannya, melalui integrasi vertikal, kayu dihargai begitu murah disatu sisi dan disisi lain ia harus dipanen lebih banyak dan lebih cepat, sesuai target pemenuhan industri perkayuan. Dengan begitu, ”perbaikan” posisi politis para praktisi usaha kehutanan dalam proses perumusan kebijakan usaha kehutanan, kurang – untuk mengatakan tidak – memiliki kontribusi pada perbaikan arah dan substansi kebijakan usaha kehutanan, termasuk dalam penyelesaian halhal mendasar yang menjadi isu kontemporer sebagaimana juga di singgung di atas, seperti soal hak kepemilikan, akses mayarakat di dalam dan di sekitar hutan; terlebih soal pelurusan klaim hutan dikusasai negara yang dalam prakteknya cenderung dipersempit menjadi ”dikuasai” pemerintah. Terkait makna kelestarian sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 FA, sebagaimana dikutip di atas, pendekatannya sudah masuk ditataran teknis dimana urut-urutan terkait hal-hal apa yang harus, yang boleh dan tidak boleh dilakukan relatif jelas. Namun, ciri-ciri bahwa itu semua dibangun dengan 1 18
“Konfirmasi” ini menguatkan hadirnya dominasi dan sekaligus hegemoni dalam pengertian Gramsci sebagaimana dimaksud Eriyanto (2005) dalam diskursus usaha kehutanan selama ini. G
1112 11 12
kerangka pikir administratif di baliknya, sulit dihilangkan. Dari atribut kera pengetahuan, dibalik narasi ini, masih tampak jelas ada kekurang lengkapan pen terkait terk rasionalitas aturan main. Aturan main yang ada, baru sampai pada kebenaran hukum, belum didukung oleh kebenaran lainnya seperti ekonomi, keb kebenaran sosial dan bahkan kebenaran teknik. Kembali, bahwa kondisi ini, keb ”konsisten” dengan situasi tidak teridentifikasinya, terutama dari teks yang ”ko ”k dianalisis, proses interaksi dan bahkan transaksi antar para pihak pemangku diian d a kepentingan dengan usaha kehutanan saat aturan dikonstruksi. kep ke Dengan begitu, tampak bahwa aturan main terkait kelestarian disini lebih bersifat ”daftar” larangan, keharusan, dan cara serta upaya penegasan kembali bers be wewenang pemerintah untuk terus melakukan kontrol di tingkat unit usaha – wew we command and control within administrative domain. Dengan karakteristik co om narasi naara n r kebijakan semacam ini, tampak bahwa pemaknaan kelestarian di tingkat FA FA dari sisi atribut pengetahuan, tidak jauh berbeda, yakni hanya sebatas kebenaran hukum tanpa ada sedikitpun tanda-tanda adanya macam kebenaran keb ke lainnya sebagaimana dimaksud Dunn (2000). Dengan karakteristik itu pula, laain interaksi yang ada lebih menggambarkan pengaturan sebagai sekedar in nt e ”instruksi” – dari pemerintah atas pemegang unit usaha – daripada proses ”ins transaksi antar keduanya. Keseluruhan hal ini menunjukkan pula, bahwa aliran tran the forest first tampak begitu dominan dan itu merupakan produk dari relasi kekuasaan dalam pemahaman Foucault sebagaimana dijelaskan Arts and kek Buizer Bui (2009) dan Hawitt (2009). Setelah 1998. Ditempatkannya istilah kemakmuran dalam horison lintas generasi dapat dianggap sebagai poin ”pembaruan” pada PP 6/99 dan geen g merupakan suatu terminologi yang tidak secara tegas dan tersurat digunakan meer m dalam daallaa PP sejenis yang lama dan telah ada sebelumnya. Namun, melalui PP d ini, inii,, prinsip usaha kehutanan selebihnya tidak bergeser jauh: dengan menjaga in lingkungan, hutan alam tetap diusahakan bagi kemakmuran rakyat lintas ling li generasi dalam koridor kelestarian. Dalam hal ini makna kelestarian lebih geen g mengerucut sebagai instrumen tidak saja dalam pemanfaatan hutan, tapi men me mencakup pula upaya memastikan kelayakan Kesatuan Pemangkuan Hutan meen m en Produksi (KPHP) dan pencairan dana jaminan kinerja HPH (performance Pro Pr
113
bonds). Perubahan lain yang relatif signifikan terletak pada upaya untuk lebih melibatkan dan membuka hak dan akses masyarakat dalam usaha kehutanan; dicirikan antara lain dengan menata ulang besaran luas HPH dan struktur kepemilikannya. Hal terakhir ini merupakan respon atas tuntutan sebagian kelompok masyarakat untuk memecah konglomerasi yang terjadi sebelumnya di satu sisi; dan tuntutan untuk melaksanakan demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam di sisi lainnya, sejalan dengan terjadinya gerakan reformasi di segala bidang saat itu. Gerakan reformasi itu sendiri muncul, menyusul pergantian kepemimpinan nasional kala itu. Sekalipun mengalami sedikit perubahan, teks argumen pembuka pada UU 41/99 tetap memberikan isyarat bahwa kecenderungan kerangka pikir para pihak penyusun kebijakan saat itu, dibalik narasi kebijakan yang ada, relatif tidak berubah: hutan sebagai sentra yang mengindikasikan kentalnya aliran pemikiran the forest first. Sekalipun mengakui kondisi hutan menurun, mereka tetap yakin dan percaya, bahwa hutan (yang tersisa) itu dengan segala multi manfaat dan multifungsinya masih dipandang pantas untuk (terus) dimanfaatkan dan dikelola secara optimal, dengan tetap dijaga daya dukungnya secara lestari. Kerangka pikir demikian muncul, apalagi kalau bukan karena pertimbangan kepentingan (melanjutkan) pembangunan, dengan memosisikan kelestarian sebagai instrumen pembatas. Pada saat yang sama pemerintah sebenarnya menegaskan kembali, perihal penguasaan hutan oleh negara dengan wewenang pemerintah 19 untuk memastikan pencapaian kelestarian. Terkait hal ini, perubahan tampak pula pada pemaknaan kelestarian.
Disini
kelestarian
sebagai
pembatas,
didekati
dari
diberlakukannya sejumlah ketentuan dan kewajiban bagi pemegang hak seperti diuraikan di atas, ditambah pula kewajiban lain: membayar iuran izin usaha, provisi sumberdya hutan, dana reboisasi dan dana jaminan kinerja. Adapun pengertian operasional terkait kelestarian ini lebih lanjut dirujuk pada peraturan pemerintah tersendiri. 19 19
Tentunya penguasaan dan wewenang untuk (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dde dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan aatau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan at hhukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan (Pasal 4 hu aayat 2 UU 41/99). ay
1114 11 14
Sampai disini, keseluruhan teks dan narasi kebijakan yang dianalisis terkait terk proses penataan aturan main kelestarian di atas tidak mencerminkan adanya interaksi yang intens antar para aktor pemangku kepentingan dalam ada usaha usa kehutanan. Terlebih transaksi antar para pihak dimaksud. Bahkan para pihak piha yang berinterkasi pun, tidak cukup tegas, selain bahwa pemerintah begitu beeg dominan mengkonstruksi aturan main bagi unit usaha. Dengan begitu, b maka maak apapun aturan main terkait usaha kehutanan lestari yang tertuang dalam m teks teeks k dan narasi yang ada, lebih merupakan perspektif pemerintah yang tampaknya steril dari proses transaksi dan negosiasi dengan para pemangku taam kepentingan lainnya. Sementara, dari substansi pengaturan, aturan main kep ke kelestarian yang ada tampak masih bersifat begitu administratif dengan kele kel ke memosisikan hutan sebagai sentra. Terlebih dari narasi itu tidak diperoleh meem m gambaran seberapa jauh keterlaksanaan, efektivitas dan efisiensi dari aturan gam ga main maai itu di tingkat implementasi. m Telah disinggung di muka, bahwa melalui PP 34/2002 kelestarian diposisikan sebagai kewajiban para pemegang hak konsesi untuk memenuhi diipo d dan indikator pengelolaan hutan alam secara lestari (PHAPL) yang kkriteria kr rit secara teknis diatur tersendiri dalam keputusan menteri. Namun, seperti seca fenomena lainnya sebagaimana telah digambarkan di atas, teks-teks dan narasi feno kebijakan yang ada tidak memperlihatkan gambaran adanya interaksi dan keb transaksi yang cukup intens antara para aktor pemangku kepentingan dalam tran proses mengkonstruksi aturan main. Sementara, aktor utama yang terlibat pro dalam interaksi, tetap masih pemerintah yang begitu dominan mengatur dala d da ala l pemegang unit usaha. pe p em Dengan memahami lebih jauh jenis dan deskripsi masing-masing indikator kelestarian, maka sulit dihindari munculnya pandangan bahwa indikatorkele k ke el e itu sangat teknis, cenderung administratif, prosedural, lebih bersifat iindikator in ind nd i disinsentif, dan mempersempit – bahkan menutup – ruang kreativitas unit di d isi usaha us u sa pemegang konsesi, justru dalam mewujudkan PHAPL dengan cara dan pendekatannya sendiri. Keharusan pemenuhan kriteria dan indikator pe p en kelestarian ini semakin berat, manakala PHAPL ini bersifat wajib (mandatory) ke k ele ele l disatu sisi, dan disisi lain kapasitas dan kapabilitas pemerintah untuk di d isa s
115
menegakkan penerapan PHAPL ini relatif kurang memadai 20 . Situasi empiris ini semakin menegaskan setidaknya tiga hal: (a) di atas nama perubahan, pemerintah tetap dominan dalam menata aturan main, termasuk membangun pendekatan kelestarian, sehingga (b) teks dan narasi kebijakan tetap bukanlah wujud dari pertarungan atau kontestasi ide, teori dan pemikiran antar para pemangku kepentingan – atau setidaknya antara pemerintah dengan pemegang hak, dan oleh karena itu bisa ditafsir, bahwa (c) kebenaran yang terkandung dalam substansi aturan main masih pada tingkatan kebenaran hukum terkait bunyi pasal demi pasal. Dengan begitu, pemerintah pada hakekatnya menempatkan kelestarian itu sebagai eksternal bagi pemegang unit usaha, seolah hanya pemerintah yang lebih tahu dan lebih berkepentingan dengan kelestarian itu. Dalam kondisi demikian, maka keharusan (mandatory) penilaian kinerja PHAPL dengan memanfaatkan jasa penilaian pihak ketiga (Lihat daftar perundangan di catatan kaki No. 20) semakin meningkatkan disinsentif bagi unit usaha, karena jelas-jelas akan menambah komponen dan besar biaya operasional, tanpa ada gambaran akan berpengaruh atas tingkat keuntungan usaha. Disamping itu, ketimpangan yang lebar antara hak dan kewajiban pemegang unit usaha dalam menjalankan usahanya, menjadi faktor disinsentif lainnya: hak hanya atas komoditas kayu, sementara kewajibannya, selain terkait operasional usaha kehutanan, mencakup pula hampir keseluruhan komponen pengelolaan wilayah konsesi secara lestari (Lampiran 14). Situasi demikian juga terungkap Ismanto (2010) dalam penelitiannya. Situasi itu tidak sejalan dengan semangat perubahan paradigmatik yang sedang diangkat saat itu. Secara keseluruhan, dari sisi substansi, perubahan signifikan – setidaknya secara tekstual – terjadi pula pada paradigma pengelolaan yang tidak lagi berorientasi kayu tapi lebih pada hutan sebagai ekosistem dengan membuka ruang usaha dan ruang keterlibatan masyarakat dan masyarakat tempatan secara lebih luas dalam usaha kehutanan. Sayangnya, dalam penelitian 20 20
Dicerminkan antara lain dari keluarnya Kepmenhut 208/2003 dan 299/2003, disusul kemudian dengan K Kepmenhut 128/2005, 303/2005 dan Permenhut P.65/2006 – keseluruhannya terkait pelaksanaan penilaian dan ddaa sertifikasi PHAPL Mandatory, dimana pemerintah memercayakan kepada pihak ketiga (LPI mampu m menurut akreditasi pemerintah) untuk melakukan penilaian kinerja PHAPL, sebagaimana diatur dalam K Kepmenhut 4795/2002.
1116 11 16
Ismanto (2010) diketahui bahwa perubahan paradigmatik itu tidak secara Ism nyata nya terjadi. Namun, karena teks dan narasi yang ada tidak juga memberikan cukup indikasi indi
terkait
proses
interaksi
dan
transaksi
para
pihak
dalam
mengkonstruksi aturan main, sebagaimana dapat dijumpai pada perubahan PP men 34/2002 menjadi PP 6/2007, maka berbagai argumen ”perubahan” ini lebih 34 3 4//22 cenderung sebagai perspektif pemerintah yang masih tetap dominan. ceen Diskursus dan klaim perubahan substansi aturan terus berlanjut dalam periode ini. PP 34/2002 mengalami perombakan sekitar 38 pasal melalui peeri p r pemberlakuan PP 3/2008. Adapun motivasi perubahan terutama untuk peem p meningkatkan efektivitas pengelolaan hutan, dengan fokus merubah ketentuan men me pengaturan tata hutan, rencana pengelolaan hutan dan pemanfaatan hutan. Hal peen yang yaan disebut terakhir ini menegaskan, bahwa ketentuan usaha kehutanan, y termasuk aspek yang diubah melalui PP 3/2008 ini. Setidaknya, macam atau teerm rm lapangan izin usaha menjadi lebih banyak, termasuk pemanfaatan kawasan, laapa jasa jaasa lingkungan dan pemanfaatan kayu yang berlatar restorasi. Namun, dalam diskursus berkembang pandangan, bahwa arah perubahan demikian lebih diisk d s dilatari oleh keinginan memecah kebuntuan terkait akses usaha tambang di dila hutan huta lindung; khususnya terkait perizinan kuasa pertambangan sebelum pemberlakuan UU 41/99 21 . Bagaimana sampai rumusan akhirnya menjadi pem seperti yang tertuang dalam teks dan narasi yang ada, kembali bahwa sep kecenderungannya lebih kepada dominasi perspektif pemerintah, karena tidak kec proses interaksi dan transaksi – setidaknya antar pemerintah dengan ttergambar te erg g uunit un nit i usaha – dalam mengkonstruksi aturan main dimaksud. Dalam arah perubahan tersebut, pemaknaan kelestarian sendiri tidak beranjak banyak dan justru cenderung semakin menukik pada hal-hal teknikal, be b era r mekanistis-instrumentatif dan administratif. Instrumentatif, karena bila m me ek merujuk Swiercz and Ross (2003) itu adalah identik dengan bias yang me m er menggambarkan bahwa unit usaha diposisikan sekedar instrumen untuk me m e en mencapai tujuan utama dari manajemen, yakni mengontrol pihak lain dan me m en lingkungan untuk meraih manfaat. Dengan rujukan yang sama, maka lli ing ng 21
Dari Da ari sserangkaian ar e diskusi dengan Ikatan Ahli Geologi Indonesia di Jakarta
117
fenomena pemerintah yang masih tetap begitu dominan sebagai pengontrol dan peran gandanya sebagaimana muncul dalam sintesa-sintesa di atas sebelumnya, yakni sebagai grand regulator sekaligus eksekutor identik dengan bias executive centric. Demikian pula – akibatnya – dominasi perspektif pemerintah dalam mengkonstruksi poin-poin aturan main masih sangat kuat. Artinya, di tingkat PP esensi kebijakan sebagai ruang kontestasi, tarik-menarik, kompromi dan negosisasi kepentingan para pihak pemangku kepentingan usaha kehutanan masih belum terwujud. Dengan kata lain, masih sulit untuk mengelak dari penilaian bahwa orientasi dan substansi aturan belum merupakan kristalisasi kesepakatan dan ketidak sepakatan dalam mensinergikan kebutuhan, menata tujuan dan mengatasi masalah usaha kehutanan secara bersama antar para pihak pemangku kepentingan usaha kehutanan. Ironisnya, situasi itu terjadi justru pada periode dimana keterbukaan dan keberanian para pihak pemangku kepentingan untuk menyampaikan aspirasi perubahan mulai menyeruak, menyusul gerakan reformasi pasca momentum pergantian kepemimpinan orde baru saat itu (1998). Pengetahuan ini dapat membantu memahami dan memperkuat penjelasan atas klaim bahwa perubahan tekstual dan narasi memang terjadi, tapi tidak menyentuh hal-hal fundamental, terlebih saat teks dan narasi kebijakan terkait kelestarian coba ditapis dengan kerangka teoritis kelestarian; bahwa apa yang tampak sebagai perubahan itu tetap tidak menjawab atau bahkan menyinggung isu-isu kontemporer terkait hak dan akses masyarakat (property rights), informasi terkait karakteristik SDH (sumber interdependencies), termasuk pandangan atas status hutan alam sebagai aset (paradigma usaha kehutanan). Kelestarian, karenanya, masih tetap diposisikan sebagai hal ”yang datang dari aturan pemerintah” sehingga bersifat eksternal bagi pelaku usaha kehutanan dan para pemangku kepentingan lainnya. Hal ini dimungkinkan, karena proses konstruksi aturan main tidak melalui proses interaksi dan transaksi yang cukup di satu sisi; dan disisi lain, diskursus yang terjadi tidak sepenuhnya memengaruhi proses konstruksi dimaksud sebagaimana layaknya. Situasi dimana diskursus tidak memengaruhi proses konstruksi kebijakan dapat
1118 11 18
mengundang pertanyaan, apakah ini pengecualian dari pendapat Talja (1997) men yang yan
memahami
diskursus
sebagai
tatanan
kerangka
pikir
yang
mengkonstruksi realitas sosial. Pemahaman lain atas situasi itu adalah, apapun men wujud wuj kelestarian yang dikonstruksi, keberadaannya masih cukup jauh dari konsep self-sustaining sebagaimana dimaksudkan Mac Cleery (tt) maupun kon Kaivo-Oja et al (tt). Kaai K Selanjutnya,
fenomena
keterkaitan
antara
narasi,
diskursus
dan
kecenderungan kerangka pikir untuk periode sebelum dan setelah 1998 secara kec ke ringkas dapat dilihat pada Lampiran 5. riing n Kembali kepada pada Talja (1997) dimana diskursus dipahami sebagai tatanan kerangka pikir yang mengkonstruksi realitas sosial dalam sebuah taattaa konteks tertentu, maka berbagai kecenderungan diskursus yang mengemuka kon ko kon sebagaimana digambarkan diatas pada hakekatnya adalah kecenderungan seeb kerangka pikir dari para pihak yang terlibat dalam diskursus. Kecenderungan kkeeera r ini inni dapat kemudian dipetakan. Seperti apa wujud peta kerangka pikir ini tergantung pada pendekatan yang digunakan. teerrgg C. Pet Peta Kerangka Pikir 1. Keseimbangan Dimensi Organisasi Dengan mengacu pada pendekatan Bolman dan Deal (1984) berbagai Den kecenderungan kec
kerangka
pikir
sebagaimana
diilustrasikan
di
atas,
sesungguhnya memperlihatkan peta keseimbangan dimensi organisasi usaha sesu kehutanan. Dengan pendekatan ini, dimensi keorganisasian kehutanan lebih keeh k dialamatkan kepada institusi kehutanan pemerintah cq departemen yang diial d mengurusi kehutanan dalam kedua periode 22 , antara lain dan terutama karena men me alasan ia sebagai pemain dominan berperan ganda: sebagai grand regulator aal las a dan da d an juga sebagai wasit dan sekaligus eksekutor dalam usaha kehutanan. Dengan menggunakan ”kata kunci” yang telah dikembangkan dalam D De en pendekatan ini (Lampiran 4) diperoleh gambaran keseimbangan dimensi pe p en
22 Instusi In nstu tusi s untuk kedua periode: Departemen Kehutanan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, kembali Departemen Depaart rteem rtem m Kehutanan
119
organisasi baik untuk priode sebelum dan setelah 1998, sebagaimana dirinci dalam Tabel 22.
Tabel 22. Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan pendekatan Bolman dan Deal (1984) Pendekatan Bolman and Deal (1984)
Dimensi Sebaran kata kunci baik untuk periode sebelum dan sesudah 1998 (Lampiran 4) memperlihatkan kecenderungan kerangka lebih ke dimensi simbolik untuk kedua periodik.
Catatan Organisasi dimaksud lebih tertuju kepada institusi kehutanan pemerintah cq departemen yang mengurusi kehutanan (lihat catatan kaki 21)
Makna dimensi ini menegaskan beberapa hal terkait organisasi:
Organisasi lebih memosisikan diri (secara dominan) pada proses pengambilan keputusan, yang tak ubahnya sebagai arena aksi simbolik, relatif terhadap hasil akhir dari putusan yang diambil.
x Tidak berangkat dari sebuah strategi yang memadai; x Peran manajemen menyeimbangkan ’strategi’ dan ’struktur’ dengan lingkungan eksternal kurang; x Tidak cukup kuat dan tegas dalam mensinergikan berbagai kebutuhan para pihak dengan rasionalitas keorganisasian yang tidak memadai tadi. x Tidak merespon secara seksama kesenjangan kepentingan dan kelangkaan sumberdaya hutan.
Dalam keseimbangan yang lebih pada dimensi simbolik,
baik untuk
periode sebelum dan setelah 1998, organisasi kehutanan pada dasarnya memperlihatkan beberapa makna, antara lain sebagaimana dikemukakan di bawah ini. Pertama, sebagai organisasi, departemen yang mengurus kehutanan, sebagaimana juga tercermin dari narasi kebijakan yang ada, tidak berangkat dari sebuah strategi yang memadai, sekalipun seolah ada peran manajemen untuk menyeimbangkan ’strategi’ dan ’struktur’ dengan lingkungan eksternal. Kedua, dari narasi kebijakan yang sama tampak bahwa departemen tidak cukup kuat dan tegas dalam mensinergikan berbagai kebutuhan para pihak dengan rasionalitas keorganisasian yang tidak memadai tadi. Ketiga,
1120 12 20
departemen dep
tidak
merespon
secara
seksama
persoalan
kesenjangan
kepentingan dan kelangkaan sumberdaya hutan dan seolah lepas dari politik kep organisasinya. Keempat, departemen lebih suka memosisikan diri (bahkan org secara dominan) pada proses pengambilan keputusan, yang dengan seca karakteristik yang ada – misal kuatnya kesan resistensi, maka berbagai kara langkah pengambilan keputusan tak ubahnya sebagai arena aksi simbolik, llaanngg lang relatif terhadap hasil akhir dari putusan yang diambil. Salah seorang Menteri reela l Kehutanan di era setelah 1998 ini kurang lebih berujar hal senada: Keeeh K
” Ya Ya itu juga persoalan....bahwa semua yang muncul sekarang saya kira erat kaitannya dengan adanya kekeliruan cara pikir. Gejalanya, pembangunan kaait kehutanan tidak pernah fokus, ganti menteri ganti kebijakan.... ada anggapan kkeeh kalau jadi menteri tidak merubah, tidak buat aturan, dia merasa tidak kala ka l melakukan apa-apa. Sehingga, istilahnya, tidak gatal pun digaruk. Padahal mel me menurut saya tidak begitu.” (Wawancara, Bogor, Mei 2011) meen m Pandangan di atas memperoleh dukungan ”politis” dari Ketua Mahkamah P an Pa Konstitusi Machfud MD yang jauh sebelumnya juga berpandangan kurang Kon Ko lebih leebi senada: "Saya "Say melihat munculnya UU yang kadang kala tumpang tindih itu karena menteri-menteri genit. Artinya, kalau menjadi menteri harus membuat UU men meski mes UU sudah ada, ingin diubah. Pokoknya biar ada tandanya dia jadi menteri itu buat UU. Itu sebabnya Prolegnas (Program Legislasi Nasional) di men DPR jadi menumpuk. Karena setiap menteri usulkan UU ini, tanpa jelas urgensinya. Apa naskah akademiknya, bahwa itu perlu" (DetikNews, 23 urg Februari 2010: ”Ketua MK: UU Tumpang Tindih karena Para Menteri Feb Kegenitan”. Diakses 14 Mei 2010) 23 Keg Ke
2.. Kuadran Alvesson-Karreman 2 Dengan menggunakan pendekatan Alvesson and Karreman (2000) kerangka Deen D pikir pikkii sebagaimana dibahas di atas memperlihatkan longgarnya hubungan pi diskursus (loosely coupled) dengan makna usaha kehutanan, khususnya terkait diisk d sk representasi kelestarian. Hal ini dicirikan dari lebarnya kesenjangan antara repr re 23
M Masih asih as sih ih dalam kesempatan dan berita yang sama, Ketua MK memberi contoh, UU yang tumpang tindih akibaat at ulah ullaa para menteri, seperti UU Kehutanan, yang sudah diatur oleh UU Sumber Daya Alam dan di UU akibat Agraariia. a. U Agraria. UU (Kehutanan) itu dikeluarkan tanpa studi kelayakan yang jelas.
121
narasi kebijakan dan pengetahuan disebaliknya yang merepresentasikan makna kelestarian (Lampiran 11) dengan kerangka teoretik kelestarian (Lampiran 1). Dengan kata lain, dengan merujuk Birkland (2001) ada kesenjangan antara teks kebijakan usaha kehutanan dengan interaksi sosial bagaimana teks ini direspon dan diimplementasikan para pihak. Secara ringkas tampak pula bahwa, kerangka pikir dibalik narasi kebijakan yang ada justru luput dari keharusan mengatur dan menyiapkan hal-hal mendasar atau kondisi pemungkin bagi tercapainya kelestarian. Di samping itu, dari unsur ukuran atau lawasnya, diskursus yang terjadi tergolong diskursus meso, antara lain dicirikan orientasi praktisnya yang cenderung mendekati kepentingan jangka pendek dan teknikal (close-range interest), misalnya diskursus kelestarian begitu mengerucut kepada pemenuhan hal teknik dan administratif di tingkat unit usaha (Tabel 23). Tabel 23. Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan pendekatan Alvesson dan Karreman (2000) Pendekatan Alvesson and Karreman (2000).
Uraian Longgar (loosely coupled), hubungan diskursus dengan makna usaha kehutanan, khususnya terkait representasi kelestarian. Lawas diskursus tergolong diskursus meso; antara lain karena orientasi praktisnya cenderung jangka pendek (close-range interest),
Catatan Narasi kebijakan luput dari keharusan mengatur dan menyiapkan hal-hal mendasar atau kondisi pemungkin bagi tercapainya kelestarian. Diskursus kelestarian begitu mengerucut kepada pemenuhan hal teknik dan administratif di tingkat unit usaha Berdasarkan dua dimensi ini, peta kerangka pikir kedua periode terletak pada radian II A (Gambar 14)
Berdasarkan dua dimensi ini, yakni hubungan diskursus dan makna serta lawas diskursus itu sendiri, maka transformasi peta kerangka pikir untuk kedua periode ini berada pada posisi kuadaran dua, kurang lebih sebagaimana ditunjukkan lingkaran A pada Gambar 14.
1122 12 22
II
I A
I
Gambar 14.
II
Kerangka Pikir Kebijakan Usaha Kehutanan dalam Kuadaran Alvesson-Karreman (2000)
3.. The Forest First vs The Forest Second 3 Selain dengan dua pendekatan di atas, kerangka pemikiran di balik teks Sela kebijakan usaha kehutanan juga dilihat dari pandangan Sfeir-Younis (1991). keb Dengan pendekatan ini, beberapa sintesis dan bahasan di atas sudah sampai Den pada penilian bahwa aliran pemikiran the forest first begitu dominan, dimana pad teks mengindikasikan secara kuat bahwa fisik-botanis dan ekosistem hutan alam menjadi sentra perhatian dan sekaligus sebagai ruang kebijakan (policy Hal ini dapat diamati baik dari perspektif dan pemosisian hutan alam, sspace). sp pa pemaknaan kelestarian maupun kerangka hak dan kewajiban para pemegang pe p em unit un u ni usaha sebagaimana telah dijabarkan di atas. nit Akumulasi pengetahuan diatas semakin menguatkan pemaknaan bahwa aliran aal liirr pemikiran di balik kebijakan usaha kehutanan yang ada yang cenderung pada pa p ad aliran the forest first dapat diposisikan sebagian bagian dari kompleksitas usaha us u sa kehutanan selama ini. Terlebih bila dikaitkan dengan kinerja usaha sa kehutanan sebagaimana telah dibahas dalam bab terdahulu. Dengan memaknai ke k eh seperti itu, maka salah satu opsi penyelesaian masalah usaha kehutanan perlu sse ep coba cco ob didekati dari pelurusan aliran kerangka pikir. Dalam hal ini perlu
123
diupayakan pergeseran dari aliran the forest first ke the forest second, dimana perhatian dan orientasi tidak sekedar pada fisik-botanis-ekosistem hutan saja, tetapi seimbang dengan situasi kondisi sosial-politik-ekonomi dan lingkungan. Bagaimana ini dapat dilakukan, perlu masuk pada soal perbaikan proses konstruksi kebijakan yang benar-benar ditopang unsur governance yang baik.
D. Persepsi Para Pihak: Kontestasi Kerangka Pikir D Persepsi para pihak telah dijaring melalui dua pendekatan, yakni wawancara mendalam dan internet on-line polling.
Sebagaimana dapat dilihat pada
Lampiran 2 dan Lampiran 3, penjaringan perspesi didekati dengan empat kelompok pertanyaan seputar (a) Hutan Alam Produksi di Luar Jawa, (b) Usaha Kehutanan, (c) Kelestarian dan Pengelolaan Hutan Alam Produksi, dan (d) Kebijakan Usaha Kehutanan. Khusus untuk internet on-line polling, selain keempat kelompok ini ditambahkan pula kelompok untuk mengetahui identitas singkat para peserta polling. Seperti apa dan seberapa jauh persepsi para pihak pemangku kepentingan ini
24
mengonfirmasikan, menegasikan dan menambah-kurangkan berbagai
kecenderungan dan pemetaan kerangka pikir yang telah diuraikan di atas dapat dilihat pada rincian hasil dan sintesis pada Lampiran 12 (Wawancara) dan Lampiran 13 (Polling). Kedua lampiran ini sekaligus merupakan bagian dari wujud interaksi sosial sebagaimana dimaksud Birkland (2001). Secara ringkas peta posisi dan persepsi para pihak ini dijelaskan di bawah ini. 1. Posisi atas Hutan Alam Produksi Luar Jawa Diskursus seputar hutan alam produksi luar Jawa lebih memperlihatkan refleksi atas situasi, kondisi, faktor penyebab dan alternatif solusi. Dari kelompok birokrat teridentifikasi antara lain bahwa hutan tidak termanfaatkan dan tidak terkelola secara optimal; tidak ada konsep makro pengelolaan hutan yang holistik dan terintegrasi yang diakui para pihak pemangku kepentingan; pemanfaatan yang tidak terkontrol (uncontrolled use), undervalued, 2244
Yang diwawancarai dan mengisi internet on-line polling dalam penelitian ini sebagaimana ddimaksud kan pada Tabel 2 dan 3.
1124 12 24
penghamburan (wasting assets) dan masih kentalnya masalah ketidakpastian pen kawasan. Adapun penyebabnya teridentifikasi kelompok ini, antara lain kaw kesalahan kebijakan, termasuk tidak sinkronnya kebijakan lain (nonkes kehutanan) dengan kehutanan. Kehutanan bahkan dinilai telah menyudutkan keh sektor sek kehutanan lebih sebagai masalah atau penghambat pembangunan (bagi sektor lain). Muncul opsi solusi dari kelompok ini, antaralain perlunya sseek sek moratorium (usaha kehutanan) secara ketat, penataan ulang pengeoloaan moor m mulai mu m ul di tingkat UM dan perlunya meninjau penetapan dan alokasi fungsi hutan huta hu t dengan menimbang kehadiran keseluruhan fungsi, tidak hanya fungsi produksi. Dari sisi kebijakan, perbaikan perlu kembali ke peraturan prro p perundangan, terutama dengan menghilangkan berbagai unsur disinsentif. peru pe er Dengan refleksi demikian kelompok ini masih melihat hutan alam memiliki keunggulan dalam banyak hal, terutama dari sisi sifat khas, manfaat mem e multi mu m ul fungsinya, keanekaan hayati serta kualitas hasil hutan, terutama kayu – yang yaan tidak dapat begitu saja tergantikan hutan tanaman. Dengan begitu, y diyakini hutan alam dapat tetap dimanfaatkan, tanpa perlu didikotomikan diiya d dengan hutan tanaman, karena dianggap dapat berjalan seiring. Ditekankan, den de hutan huta tanaman lebih sebagai jalan keluar – antara lain dalam mengurangi tekanan atas hutan alam. Pembenahan kebijakan perlu terutama untuk teka memastikan bisa bersinerginya kebijakan kehutanan dengan sektor lain, mem terutama dalam hal isu kepastian kawasan, dalam rangka antisipasi pasar. Saat teru dikaitkan dengan fenomena masih jalannya beberapa pelaku usaha ditengah dika sulitnya situasi usaha kehutanan, kelompok ini berkeyakinan bahwa hal itu suli suli su li lebih lleebi karena korsa rimbawan – disebut berkait erat dengan profesionalisme, integritas, konsistensi dan keterbukaan; lalu institusi dan manajemen usaha inte in kehutanan – dikaitkan dengan efisiensi, komitmen, profesionalisme, antisipatif k eh ke keh dan dan inovasi yang keseluruhannya diakui dapat mengatasi kesulitan dimaksud. da Manipulasi, akal-akalan dan praktek curang dan mencuri adalah fenomena lain Maa M yang yaan oleh kelompok ini disebut sebagai faktor dibalik upaya mengatasi situasi y itu itu saat korsa rimbawan dan persoalan-persoalan institusi dan manajemen it usaha usa kehutanan dimaksud tidak tersedia secara memadai. us
125
Dalam refleksinya, kelompok akademisi lebih tertuju pada kondisi, tidak muncul unsur penyebab dan dampak. Disebutkan, bahwa kondisi hutan alam produksi di luar Jawa porak poranda, tidak ada penataan dan bahkan tidak ada konsep besar dan menyeluruh (grand design) tentang pembangunan kehutanan. Konsep usaha kehutanan (yang ada) pun tidak jelas. Tidak ada perencanaan pengelolaan hutan alam produksi yang lengkap, menyeluruh dengan target yang jelas dan tegas. Perencanaan yang ada, bukanlah rencana pengelolaan, bahkan bukan pula rencana usaha kehutanan itu senciri. Sejauh ini yang terjadi merupakan kekerasan atas sumberdaya hutan, bahkan sumberdaya alam. Bagi kelompok ini hutan alam maupun hutan tanaman bukan isu penting. Diyakini, isunya justru pada penataan makro menyeluruh bagi keduanya; keduanya ada masalah; hutan tanaman pun hingga kini tidak dikelola secara baik sehingga cenderung gagal. Sementara revitalisasi hutan alam seiring membangun hutan tanaman, seharusnya menjadi solusinya. Terkait situasi usaha kehutanan yang sulit, kelompok ini lebih melihat pemerintah dan pelaku usaha itu sendiri sebagai sebab. Pemerintah dinilai kurang mampu dalam menyeimbangkan tari-menarik kepentingan. Pelaku usaha dianggap berlaku curang dan manipulatif dalam mengatasi kesulitan itu. Upaya pelaku usaha untuk merasionalisasi usahanya dalam perencanaan usahanya (busines plan) terkendala ketepatan dan kualitas data dan informasi yang tersedia. Dengan berbagai situasi-kondisi seperti ini, semangat memanfaatkan HA masih tetap relatif tinggi, seolah mengubur realita situasikondisi fisik-botanis fungsi dan manfaat hutan alam yang disadarinya sudah menurun dengan nyata. Manfaat dan pemanfaatan hutan alam produksi dengan peluang yang dianggap masih besar menjadi kecenderungan reflek kelompok praktisi bisnis. Manfaat kayu menjadi bagian yang dianggap logis dengan tetap merujuk pada kemungkinan manfaat lain, termasuk restorasi ekosistem. Itu disadari sekalipun disebut adanya fenomena lapangan yang menyimpang, seperti hadirnya fenomena land-banking alias spekulasi lahan dibalik motif memperoleh izin usaha, kondisi-potensi yang tidak sehebat dulu, berbagai ketidakpastian yang menghebat, termasuk yang bersumber dari banyaknya
1126 12 26
aturan dan ketidak konsistenan dalam aturan dan manajemen dengan atur perubahan yang sangat cepat. peru
Harapan atas masa depan Indonesia lebih
tertuju pada tidak adanya pembiaran atas hutan alam, terlebih konversi legal, tert sehingga hutan tanaman diyakini sebagai jawaban, selain penghentian seh sementara pemanenan hutan alam (moratorium pemanenan). Dibalik sem keyakinan ini ada kepercayaan bahwa hutan alam memiliki banyak keey k keunggulan yang tidak dapat ditemui pada hutan tanaman. Untuk itu, keeu k diperlukan sejumlah prakondisi pemungkin, antara lain konsistensi pemerintah dipe di p dalam dala da l mengkonstruksi dan implementasi kebijakan. Terkait situasi usaha kehutanan yang sulit, kelompok ini memberikan gambaran bahwa ketelanjuran menjadi faktor penentu usaha kehutanan bisa gam ga tetap teettaa jalan, selain masih kuatnya dukungan modal, plus komitmen terhadap buyer buy untuk terus memasok bahan baku; sehingga sekalipun kembang kempis bu dan dan margin keuntungan tipis, sekedar bertahan hidup – usaha kehutanan jalan da terus. teerruu Namun, dipertanyakan oleh kelompok ini, seberapa lama kondisi semacam ini bisa bertahan ( ditanyakan angka 30 tahun?). Dijawab pula, seem bahwa kembali peran pemerintah yang dinilainya tidak memiliki konsistensi baah b yang yan memadai dalam mengkonstruksi dan mengimplementasikan kebijakan usaha usa kehutanan. Reflek kelompok masyarakat sipil lebih tertuju pada kondisi realitas lapangan dengan meyakini, bahwa dengan dominan produk kayu, hutan alam lapa produksi di luar Jawa kondisinya saat ini paling rusak di antara hutan lainnya. pro Reflek R Re ef lainnya, disebut antara lain bahwa hutan alam produksi belum terkelola baik. Hal ini dikaitkan antara lain dengan banyaknya wilayah yang ddengan de en open op o pe akses, sehingga hutan alam menurun dalam banyak hal, termasuk Dengan begitu, kelompok ini menilai, bahwa penurunan kkondisi-potensi. ko on illegal iille il llleeg eg logging diyakini lebih karena tidak adanya lagi kayu di hutan untuk ditebas dan bukan karena membaiknya kondisi atau kinerja penegakan hukum, di d ite t khususnya dalam pemberantasan illegal logging. Namun, seperti kelompok kh k hu lainnya, kelompok ini masih memosisikan hutan alam sebagai andalan. lla ain ain in Kehadiran hutan tanaman tak lebih sebagai pembenar dari ketidak mampuan K Ke eh memilah sumber bahan baku kayu dari HA. Hutan tanaman terutama untuk me m em
127
tujuan bahan baku bubur kayu dan kertas diwaspadai akan mengancam peningkatan konversi hutan alam baik yang legal maupun ilegal. Alasanya, agar hutan alam dan hutan tanaman bisa jalan seiring. Kelompok ini mempertanyakan pengertian kata “sulit” saat digambarkan adanya pelaku usaha yang tetap jalan ditengah kesulitan usaha kehutanan. Menurut mereka sulit dapat berarti benar-benar merugi atau sekedar pengurangan tingkat keuntungan – dengan kata lain dalam kondisi sesulit apapun, masih tetap untung. Berbagai kemungkinan pengertian ini juga dikaitkan fakta bahwa tantangan usaha kehutanan telah mengalami perubahan yang sebelumnya “longgar” menjadi “ketat” – yang sebelumnya terbiasa boros lalu harus berhemat yang berimplikasi pada pengurangan keuntungan yang disepadankan dengan terminologi “sulit”. Bagi kelompok ini adanya fenomena pelaku usaha yang tetap jalan walau dalam kondisi sulit terkait beberapa
kemungkinan
dari
mulai
kemampuan
antisipatif,
adaptif,
berkomitmen sampai berlaku curang. Diskursus para pihak terkait hutan alam produksi di Luar Jawa sebagaimana diuraikan di atas, secara ringkas ditunjukkan dalam matriks berikut (Tabel 24). Tabel 24. Peta Diskursus HA Produksi Luar Jawa di kalangan Para Pihak Komponen Para pihak Birokrasi
Reflek atas HA Prod. Luar Jawa Situasi-Kondisi, Dampak, Solusi
Masa Depan Indonesia: HA vs HT HA tetap unggul HT sebagai jalan keluar; tidak perlu dikotomi
Akademisi
Kondisi, Solusi
HA vs HT bukan isu Keduanya perlu penataan makro menyeluruh
Praktisi Bisnis
Situasi-Kondisi
Maspil/NGO
Kondisi
HA unggul Jangan ada pembiaran HA HT adalah jawabnya HA tetap andalan HT ancaman berupa konversi (legal) HA
Usaha kehutanan sulit, tetap jalan. Faktor apa? Korsa rimbawan Institusi dan manajemen bisnis Komitmen pelaku usaha Pemerintah tidak mampu menyeimbangkan tarik menarik kepentingan Pelaku usaha curang dan manipulatif Semangat memanfaatkan HA masih cukup tinggi Pelaku usaha masih untung Punya komitmen untuk tetap lanjut Mempertanyakan kata “sulit”; merugi atau sekedar keuntungan yang berkurang Sulit karena tantangan yang telah berubah
1128 12 28
Matriks di atas menunjukkan, bahwa keseluruhan para pemangku kepentingan Ma yang yan berpartisipasi dalam penelitian ini memperlihatkan reflek atas hutan alam yang hampir serupa, keseluruhannya menyoal situasi dan kondisi hutan alam itu. Dibanding dua kelompok yang lain, kelompok birokrat dan akademisi menyoal pula kemungkinan solusi atas situasi dan kondisi itu. aka Sementara hanya kelompok birokrat yang mengaitkan situasi dan kondisi itu Seem S dengan beragam dampak. Hampir semua kelompok masih mengunggulkan deen d dan dan mengandalkan HA untuk terus diusahakan dengan alasan jangan ada da pembiaran atas HA dan HT adalah jawabannya (Praktisi Bisnis). HT juga peem p dianggap sebagai jalan keluar, sehingga tidak perlu dikotomi HA vs HT dian di a (Birokrat). Namun ada juga yang memosisikan HT sebagai ancaman (B Bir i terjadinya praktek konversi legal (Masyarakat Sipil/NGO). Berbeda dengan teerrjj tiga tiiga g kelompok lainnya, kelompok akademisi melihat HA dan HT bukan lah isunya, karena keduanya sama-sama memerlukan penataan makro yang issun u menyeluruh. Terkait terus jalannya usaha kehutanan dalam situasi sulit, men me kecuali kelompok masyarakat sipil, keseluruhan kelompok mengaitkannya kec ke dengan kemampuan, korsa, komitmen dan semangat individu pelaku usaha den de dan hanya kelompok birokrat yang juga menyoal institusi dan manajemen usaha. usa
Tampak bahwa pada saat melihat dan memosisikan hutan alam
produksi di luar Jawa, hampir keseluruhan kelompok tidak menyinggung pro secara seca tegas dimensi kemanusiaan atau aspek sosial politik dan ekonomi, termasuk saat merefleksikan situasi dan kondisi hutan alam. Hal ini term memberikan implikasi, bahwa diskursus yang berkembang menegaskan mem me orientasi kerangka pikir yang masih mengutanakan perhatian pada aspek orie or sumberdaya hutan sebatas ekosistem (the forest first) sum su Dari matriks yang sama (Tabel 24) pula, posisi para pihak atas HA Produksi Luar Jawa dapat dipetakan kedalam kuadaran di bawah ini (Gambar P Pr ro 115) 15 5) dimana absis menggambarkan rentang kondisi hutan alam (baik vs rusak) ddan da an
ordinat
menggambarkan
rentang
kelanjutan
atas
pengelolaan/
pemanfaatan/eksploitasi HA (berlanjut vs tidak berlanjut). pe p em Gambar tersebut menunjukkan bahwa diskursus seputar hutan alam produksi di luar Jawa juga mengerucut pada kuadran yang diarsir. Ini pr p ro
129
semacam konfirmasi empiris baik atas kondisi hutan alam produksi di Luar Jawa, maupun kemungkinan langkah lanjut atas usaha kehutanan. Posisi ini menjelaskan pula alasan tidak berubahnya semangat eksploitatif atas HA sekalipun dalam kesadaran semua pihak pula, bahwa kondisinya rusak sebagaimana terindikasi dari realitas kinerja kehutanan (Bab III) maupun beberapa narasi kebijakan sebagaimana dikemukakan di awal Bab IV ini. Usaha HA- Lanjut
Baik
Rusak Usaha HA-tidak lanjut
Gambar 15. Posisi Para Pihak atas Kondisi HA dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan
2. Pandangan atas Usaha Kehutanan Diskursus yang muncul terkait usaha kehutanan dalam kelompok birokrat memosisikan fenomena ekonomi biaya tinggi (EBT) sebagai bukan faktor penting bagi jalannya kegiatan usaha kehutanan, sejauh pelaku usaha mampu melakukan efisiensi, inovasi, antisipasi dan atau diversifikasi dengan praktek usaha lain yang dengan mengeksekusi berbagai (salah satu, beberapa atau semuanya) cara itu keuntungan usaha kehutanan masih signifikan. Diskursus lain, masih dalam kelompok ini, adalah bahwa EBT bukan faktor, karena si pelaku usaha terbiasa mengambil jalan pintas dengan ”berani membayar lebih dari seharusnya” oknum petugas. Ini dipandang sebagai cerminan upaya kompensasi dari buruknya kualitas komunikasi antara pelaku usaha dengan si petugas tadi. Selain unsur ”komunikasi” dengan petugas, EBT juga disebutsebut bersumber dari hadirnya klaim-klaim dari ”masyarakat adat”. EBT bukan faktor juga dikaitkan dengan adanya fenomena spekulan tanah, gejala
1130 13 30
land-banking, jual beli izin, dan fokus-target investasi yang berorientasi ke land pulp dan kertas dengan nilai investari terbesar. Saat dikaitkan dengan fakta rontoknya banyak HPH, kelompok ini memandang baik pemerintah maupun pelaku usaha sebagai faktor, dimana mem diakui diak pemerintah begitu dominan. Disamping itu distorsi lapangan yang semakin besar dan beragam, serta kondisi (potensi) sumberdayanya yang sseem sem sudah menurun dianggap juga sebagai faktor lain. Dari sisi pemerintah suud kelompok ini lebih melihat dari ketidakpastian kawasan dan usaha yang terus kelo ke l meningkat, karena alasan pemerintah tidak memiliki sasaran dan target yang meen m jelas, jeellaa terjebak dengan kemauan mengatur dengan memproduksi banyak aturan, tapi implementasi dan penegakan aturan itu lemah. Disamping itu, attur u ketidak ket ke keti
harmonisan
hubungan
pusat-daerah
dalam
konstruksi
dan
implementasi kebijakan yang tidak menimbang secara memadai faktor im mp manusia dan tidak antisipatif atas demand lahan dan perizinan, sehingga maan m melahirkan antara lain kegiatan konversi yang tidak terencana serta illegal mel me logging, termasuk isu yang mengemuka dalam diskursus kelompok ini. Masih lo ogg dari dari da r sisi pemerintah, kelompok ini menyorot pula upaya pemulihan governance melalui antara lain penilaian usaha oleh pihak ketiga independen gov dan sertifikasi mandatory SFM serta tekanan pasar atas kebutuhan untuk meningkatkan daya saing. Dari sisi pelaku usaha diskursus dalam kelompok men ini melihat faktor etos kerja dan etika usaha para pelaku usaha – antara lain kurang antisipatif atas perubahan dalam banyak hal yang cukup nyata. kur Disebutkan, logika dan perencanaan bisnis pelaku usaha cenderung terpaku Dis Di is pada paad kondisi dan situasi lama untuk sesuatu yang sebetulnya sudah banyak p berubah. beru ber be Saat ditanya apakah usaha kehutanan sejauh ini berhasil, kelompok ini hampir keseluruhannya menilai tidak berhasil, bahkan beberapa terangham ha terangan mengatakan gagal, walau disampaikan secara malu-malu dengan tteera dibungkus istilah ”fifty-fifty”, ”kurang berhasil”, ”tidak cukup berhasil”, ”saya diibbuu d tidak ttiid ida da bisa pastikan itu” atau dengan sekedar balik bertanya ”ukuran keberhasilan itu apa?”. Takaran yang digunakan pun macam-macam, namun keeb k eb share ssh ha kehutanan atas perekonomian yang semakin menurun lebih banyak
131
disebut, yang kemudian minta dikompensasikan angka kerusakan lingkungan dan hutan itu sendiri, sehingga secara keseluruhan dipertanyakan dampaknya atas kesejahteraan sosial. Dalam arus pemikiran semacam itu muncul pragmatisme, bahwa apapun capaian itu merupakan konsekwensi logis dari usaha kehutanan yang belum berjalan ideal di lapangan, sehingga apapun dampak kerusakan dianggapnya sebagai sebuah pilihan yang terpaksa. ”Fifty-fifty lah. Pragmatis saja, deforestasi itu konsekwensi logis dari adanya usaha kehutanan yang belum berjalan ideal di lapangan, sehingga deforestasi seolah jadi sebuah pilihan yang terpaksa....Yang penting bagaimana merehabilitasi dan memanfaatkan lahan terdeforestasi, termasuk memberi kesempatan bagi kebutuhan lain (pangan, masyarakat) tentu dengan bersinergi dengan para pihak pemangku kepentingan lainnya; perlu sinergi antar sektor”. (Sekjen Dephut era setelah 1998; Wawancara 29 Maret 2011). Dalam diskursusnya, kelompok ini mengidentifikasi sejumlah hal yang dinilai sebagai akar masalah. Hal ini mencakup mulai dari profesionalisme rimbawan yang tidak lagi jadi panglima, terutama dalam manajemen hutan. Lalu, ketidakpastian hukum dan usaha, termasuk perlindungannya, semangat ekstraktif, dulu-dulu adanya subsidi legal berupa ”tax holiday”, ketiadaan komitmen para pihak atas kepentingan yang lebih besar. Hal disebut terakhir ini lalu dikaitkan dengan ketiadaan common values, tidak disiapkannya semacam ”champion” perubahan, hingga ketiadaan leadership. Kesalahan dalam menetapkan masalah, desentralisasi yang belum selesai, kelembagaan pemerintah masih sangat lemah juga dinilai sebagai akar masalah, selain juga penegakan hukum dan kultur terhadap implementasi regulasi yang tidak penuh. Lalu, kepentingan politik yang sudah sangat membebani birokrat dan berbagai kendala non teknis seperti kepastian kawasan dalam usaha kehutanan dan bagi masyarakat sekitar hutan yang telah lebih dulu ada di areal konsesi usaha, yang kemudian mengundang beragam konflik. Diakui kelompok ini bahwa terhadap banyak hal-hal non teknis ini, pemerintah tidak sama sekali menyentuhnya di lapangan dan bahkan penyelesainnya sering diserahkan pada pelaku usaha. Kelompok ini lall menawarkan beragam opsi solusi, mulai dari penegakan hukum untuk keluar dari berbagai ketidakpastian, sampai
1132 13 32
menjadikan profesi kehutanan sebagai basis manajemen kehutanan dan men manajemen Kementerian Kehutanan. man Diskursus dalam kelompok akademisi memosisikan EBT sebagai faktor yang oleh para pelaku usaha umumnya direspon dengan perilaku manipulatif. yan Diskursus selanjutnya mengerucut pada faktor penyebab munculnya EBT Dis yang ya y an harus diperhatikan kemudian. Misalnya, tidak terantisipasinya tarik menarik kepentingan dan masih adanya inkonsistensi kebijakan dan lemahnya me m en uupaya up pa penegakan hukum, sehingga diperlukan keberanian pemerintah untuk melakukan penataan yang lebih mendasar. Melihat fakta banyaknya HPH me m el yang ya y an rontok, kelompok ini melihat faktor pemerintah lebih dominan. Disebutkan, pemerintah reaktif, tidak antisipatif, dan tidak memiliki Di D is perencananaan serta strategi pengelolaan yang menyeluruh. Hal ini dinilainya pe ere r ketiadaan konsep makro pembangunan hutan, yang diduga melahirkan kkarena ka are r banyak kebijakan yang tidak tepat bagi pelaku usaha yang akhirnya ba b an an meningkatkan ketidakpastian dan ketidakteraturan dalam banyak hal. me m en Ketiadaan komitmen pelaku usaha untuk melaksanakan kebijakan tadi secara K Ke et disiplin diposisikan kelompok ini sebagai faktor rontoknya HPH dari sisi di d isi s pelaku usaha. Dengan penilaian demikian, kelompok ini melihat bahwa pela ketidak berhasilan usaha kehutanan sejauh ini lebih disebabkan kondisi keti kehutanan yang dinilainya semrawut, kualitas hutan yang terus menurun, keh sehingga hutan tidak lagi menarik dan bahkan dianggapnya menghambat seh pembangunan sektor lain. Dari sisi perolehan devisa, kelompok ini menilai pem uusaha usa us sa kehutanan berhasil, walau diakuinya ada ”bocor”. Namun penilaian ini gagal, terutama saat ditimbang dengan hal keadilan sosial-ekonomi ddianggap di ian a masyarakat. Diluar itu semua, masih dalam kelompok ini, muncul sanggahan ma m as bahwa ba b ah soalnya bukan ”berhasil atau tidak berhasil”, tapi lebih kepada praktek pengelolaan yang disebutnya masih ”primitif”. Ini dikaitkan antara lain pe p en tidak adanya jaminan jangka panjang dalam usaha kehutanan, sebagai ddengan de en akibat aak kib i dari ketidaan perencanaan yang holistik. Dalam kepercayaan kelompok ini, iin ni, i, akar masalahnya adalah ketiadaan konsep dan perencanaan (pembangunan kehutanan) yang holistik, ketiadaan sinergi internal Dephut, dimana Sekjen ke k eh eh dipandang kurang berperan, sementara peran dan fungsi BiroCan yang lebih di d ipa p
133
pada perencanaan administratif organisasi Kemenhut, bukan perencanaan kehutanan. Sebagai regulatory agent yang sering sekaligus mempersonifikasi negara, menguasai kawasan hutan oleh Dephut disinggung kelompok ini juga sebagai akar masalah. Dapat dipahami, kalau kemudian diskursus dalam kelompok ini akhirnya menawarkan solusi dari mulai adanya konsep dan perencanaan kehutanan makro dan holistik, reformasi birokrasi sampai revitalisasi desentralisasi. Bagi kalangan praktisi bisnis, EBT merupakan beragam pungutan liar dan sejenisnya. Kalangan ini memosisikan EBT bukan sebagai faktor bagi kelangsungan usaha kehutanan karena sudah diantisipasi kedalam struktur biaya perusahaan, baik dalam rangka efisiensi maupun diversifikasi. Alasannya, sejauh masih diperoleh margin keuntungan yang signifikan, atau sekalipun merugi, masih dapat jaminan pasokan bahan baku kayu, terutama bagi pelaku usaha yang terintegrasi dengan industri perkayuan. Terkait fakta rontok dan bergugurannya HPH, kelompok ini menilai pemerintah dan pelaku usaha sebagai faktor. Pemerintah diposisikan secara tegas lebih dominan, antara lain disebut karena tidak mampu menjamin kepastian usaha, misalnya terkait penatagunaan lahan yang sering berubah mendadak tanpa kompromi atas nama RTRWP-TGHK. Dan diakui korbannya adalah HPH. Pemerintah juga dinilai terlalu banyak mengatur sehingga mempersempit ruang gerak pelaku usaha, meningkatkan biaya transaksi dengan kandungan ekonomi biaya tinggi. Pemerintah juga diposisikan sebagai pihak yang tidak konsisten dan tidak memiliki visi kehutanan kedepan, sehingga cenderung tidak fokus dan tampak berkeinginan untuk memuaskan semua pihak. Dari sisi pelaku usaha sebagai faktor, antara lain disebut sifat dasar pelaku usaha yang secara pragmatis tetap memaksimalkan keuntungan dengan orientasi jangka pendek. Ditegaskan, pelaku usaha sendiri sangat pasif, dan benar-benar tidak lebih dari sekedar operator. Selain karena faktor pemerintah dan pelaku usaha, diskursus dalam kelompok ini juga menguatkan, bahwa potensi HA sendiri sudah menurun, sehingga skala ekonomi usaha pun menurun. Oleh kalangan ini, usaha kehutanan sejauh ini dinilai tidak berhasil dan bahkan penilaian gagal cukup mendominasi. Alasannya mulai dari kondisi
1134 13 34
fisik-botanis serta potensi hutan alam yang anjlok, konflik multidimensi yang fisik tidak tida berkesudahan, serta share atas PDB yang disebutnya selalu lebih kecil dari 2%. Rontok dan bergugurannya jumlah unit dan luasan HPH juga masuk pertimbangan kelompok ini sebagai indikator kegagalan usaha kehutanan pert selama ini. Khusus terkait konflik multidimensi, kekecewaan dialamatkan sela kelompok ini ke Dephut, yang disebutnya ”membiarkan” pelaku usaha keello k o menghadapi sendiri menyelesaikan konflik yang sebetulnya bukan urusan meen m pelaku usaha. Rendahnya penegakan hukum, ketidak-jelasan kontrol dalam peela p l proses perizinan dan pembinaan, ketiadaan enabling conditions, khususnya prro p perundangan yang tidak membebani telah diangkat sebagai akar masalah peeru p dalam dala diskursus di kelompok ini. Akar masalah lainnya, antara lain minimnya da dukungan dan insentif dari pemerintah, terutama dari sisi penyederhanaan duk du prosedur dan regulasi – bahkan sebaliknya terlalu banyak yang diatur, prro termasuk hal-hal yang sebetulnya menjadi domain pelaku usaha itu sendiri, teerm rm sehingga mempersempit ruang gerak si pelaku usaha; sementara sifat seeh aturannya sendiri dinilai mengundang masalah dan meningkatkan biaya attur transaksi, tidak konsisten dan cenderung membebani, misal dengan beragam trran an pungutan atau penciptaan PNBP baru. Sehingga, di lapangan kalaupun banyak pun permintaan izin baru, lebih dikarenakan kegiatan spekulasi tanah (land perm politics). Dalam diskursus diangkat pula bahwa ada faktor ketidakmauan dari pol pemerintah untuk berubah. Sedangkan satu-satunya opsi solusi yang pem ditawarkan kelompok ini adalah melakukan deregulasi. dita Kelompok
masyarakat
sipil
meyakini
EBT
bukan
faktor
bagi
kelangsungan usaha kehutanan, karana ia ada dari dulu. Bukan faktor, sejauh ke k ela l usaha memiliki etos kerja dan etika bisnis dengan kompensasi mencari ppelaku pe ela l tinggi di pasar, dan atau melakukan berbagai aksi negatif, seperti hharga ha arg r menebang di luar blok tebangan, dan atau menebang di areal yang belum m me en waktunya. Bukan faktor, karena EBT juga sudah diantisipasi di dalam stuktur wa w ak biaya bi b iay yang ada yang kadang besarannya dikompromikan dengan buyers saat menetapkan harga penjualan. Melihat fakta rontok dan bergugurannya HPH, me m en kelompok ini melihat baik pelaku usaha maupun pemerintah sebagai faktor. ke k elo elo l Untuk pelaku usaha disebutkan kurang pandai mengelola situasi dan Un U nt
135
perubaannya sekaligus, sehingga tidak mampu beradaptasi serta cenderung memandang bahwa iklim usaha sudah tidak lagi menguntungkan, sehingga lari ke bisnis lain non kehutanan.
Untuk sisi pemerintah disebutkan bahwa
sebagai “land-owner” memang memfasilitasi perubahan peruntukan lahan yang berdampak pada pengurangan areal konsesi. Pemerintah juga memperketat penegakan hukum, namun pengawasannya lemah dan dinilai jutsru tidak benar-benar melakukan pengelolaan hutan dengan baik. Potensi HA sendiri disinggung sudah menurun. Kesejahterakan masyarakat, kecilnya kontribusi atas perekonomian, dan kerusakan hutan menjadi alasan kelompok ini dalam menilai ketidak berhasilan usaha kehutanan sejauh ini. Diakui, bahwa perbaikan usaha kehutanan
berjalan
paralel
dengan
usaha
perusakannya,
sehingga
(kehancuran?) tinggal soal waktu saja. Diskursus dalam kelompok ini kemudian mengharuskan adanya keberanian otoritas kehutanan untuk bertindak secara revolusi(oner), tidak lagi evolusi....”keburu habis semua”, kilahnya!.
Sementara,
distribusi
manfaat,
tata-kelola
yang
semakin
menyuburkan KKN, lemahnya penegakan hukum, dan kerangka kebijakan pemerintah yang tidak kondusif bagi usaha kehutanan dianggap kelompok ini sebagai akar masalah. Akar masalah lainnya, antara lain disebut minimnya akses masyarakat dan kekurangmampuannya bersaing dalam usaha kehutanan serta orientasi yang masih kuat ke ekonomi (perolehan devisa), dan penghargaan masyarakat atas sektor kehutanan yang begitu rendah. Demikian pula, dari sisi pelaku usaha, ketiadaan etika bisnis pun diangkat sebagai akar masalah. Solusi yang diajukan kelompok ini adalah melakukan re-orientasi dan pembenahan tata kelola. Secara ringkas posisi para pihak dalam memandang usaha kehutanan sebagaimana tampak pada matriks dalam Tabel 25. Intisari dari matriks di atas adalah bahwa kecuali kelompok praktisi bisnis dan masyarakat sipil, para pemangku kepentingn tidak melihat EBT sebagai faktor dengan berbagai alasan. Sementara keseluruhan kelompok para pemangku kepentingan ini melihat pemerintah tetap sebagai pihak yang paling dominan sebagai regulator. Semua kelompok pula setuju bahwa kinerja usaha
1136 13 36
Tabel 25. Peta Diskursus Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak Ko Komponen Para pihak Pa Birokrasi Biro
Ekonomi Biaya Tinggi (EBT) EBT bukan faktor, respon positif dan negatif
Faktor rontoknya HPH Pemerintah (dom), pelaku usaha, gangguan lapangan, dan potensi SDH
Kinerja Usaha Kehutanan Tidak berhasil (share kehutanan, kerusakan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat)
Akademisi Ak A ka
EBT Faktor, respon negatif
Pemerintah (dom) dan pelaku usaha
Tidak berhasil (kondisi kebijakan semrawut, share kehutanan, kerusakan lingkungan, kesejahteraan)
Praktisi Bisnis Pra
EBT Faktor, respon positif
Pemerintah (dom), pelaku usaha, gangguan lapangan, dan potensi SDH
Maspil/NGO Ma a
EBT bukan faktor, respon positif dan negatif
Pemerintah (dom), pelaku usaha, gangguan lapangan, dan potensi SDH
Tidak berhasil (potensi hutan alam, konflik multidimensi, share kehutanan, rontok dan bergugurannya (HPH) Tidak berhasil (share kehutanan, kerusakan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat)
Akar Masalah Profesionalisme rimbawan tidak lagi panglima, ketidakpastian hukum, semangat ekstraktif, ketiadaan komitmen para pihak atas kepentingan yang lebih besar, ketiadaan common values, tidak ada ”champion” perubahan, ketiadaan leadership, salah menetapkan masalah, dan desentralisasi belum selesai. Opsi solusi: penegakan hukum, jadikan profesi kehutanan sebagai basis manajemen kehutanan dan manajemen Kementerian Kehutanan. ketiadaan konsep dan perencanaan (pembangunan kehutanan) yang holistik, ketiadaan sinergi internal Dephut, personifikasi negara oleh pemerintah. Opsi solusi :ada konsep dan perencanaan kehutanan makro dan holistik, reformasi birokrasi, revitalisasi desentralisasi. Penegakan hukum rendah, kontrol dalam proses perizinan dan pembinaan tidak jelas, ketiadaan enabling conditions, minimnya dukungan dan insentif dari pemerintah, ketidakmauan dari pemerintah untuk berubah. Opsi solusi: deregulasi. Distribusi manfaat, tata-kelola, penegakan hukum, kebijakan pemerintah tidak kondusif, minimnya akses masyarakat, orientasi ekonomi (devisa), penghargaan atas sektor kehutanan. Opsi solusi: reorientasi pembenahan tata kelola.
kehutanan ke k eh eh sejauh ini jauh dari berhasil. Pada saat mengangkat akar masalah dan daan alternatif solusi, semua kelompok lebih fokus pada persoalan kapasitas d pelaku usaha dan kapasitas pemerintah, kualitas dan kinerja tata kelola dan peela p l minimnya akses masyarakat serta orientasi eksploitasi yang keseluruhannya miin m berangkat dari dan berujung pada sumberdaya hutannya. Demikian pula saat beera b r
137
menawarkan opsi solusi hampir keseruhan berangkat dari hutan sebagai sentral, tidak disinggung misalnya soal pasar, harga, dan macam insentif atau keseimbangan beragam bentuk modal dalam usaha kehutanan. Kondisi demikian semakin menegaskan bahwa diskursus para pemangku kepentingan masih diseputar sumberdaya hutan dan menempatkan hutan sebagai titik sentral yang mengindikasikan bahwa aliran kerangka pemikiran masih diseputar “the forest first”. Intisari ini secara skematis, sebagaimana tampak pada Gambar 16.
Gambar 16. Kontestasi para pemangku kepentingan atas isu usaha kehutanan Gambar 16 memperlihatkan, bahwa dalam memandang kinerja usaha kehutanan pemerintah (G) berada pada situasi benturan kepentingan; sementara bisnis (B) tampak paling paham masalah dan alternatif solusi, tetapi juga tidak lepas dari benturan kepentingan. Akademisi (A) paham tentang masalah dan punya opsi solusi tapi masih ditataran makro-ideologis; sementara masyarakat sipil/LSM (L) sama-sama memahami masalah dan solusi, namun sama-sama lebih banyak ditataran ideologis dan lebih mengarah kepada isu-isu advokasi terkait akses mayarakat atas sumberdaya hutan. Matriks di atas juga menegaskan, bahwa para pihak, kecuali praktisi bisnis, sama-sama melihat EBT bukan faktor bagi kelangsungan usaha kehutanan, dan kalaupun ada, fenomena rontoknya HPH itu lebih disebabkan oleh pemerintah secara dominan, sebagaimana juga tercermin dalam “daftar”
1138 13 38
akar aka masalah. Hal ini memberikan isyarat bahwa para pihak memosisikan diri pada pad keyakinan bahwa usaha kehutanan dapat terus berjalan sekalipun semua pihak piha pula menilai bahwa kinerja usaha kehutanan sejauh ini tidak berhasil (untuk tidak mengatakan gagal). Posisi ini bila ditempatkan dalam bentuk (un kuadran, maka kontestasi mengerucut dan berada pada wilayah yang diarsir kua (Gambar 17.) (Ga (G
Usaha Kehutanan tidak berhasil
Usaha Kehutanan berhasil
Usaha Kehutanan - Lanjut
Usaha Kehutanan-tidak lanjut
Gambar Gam mba 17. Posisi Para Pihak atas Kondisi dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan mb
3. Makna Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari Hampir keseluruhan diskursus dalam kelompok birokrat menempatkan Ham pelestarian HA sebagai masuk akal dari sisi bisnis. Kelestarian dipahami pele sebagai menjalankan dengan benar dan konsisten sistem silvikultur yang ada. seb Kelestarian itu instrumen untuk menjawab persoalan distribusi. Kelestarian Kel dipandang perlu komitmen dan orientasi untuk kelestarian. Dipertanyakan di d ipa pa ppula, pu ula pelaku usaha mana yang kegiatan usahanya tidak ingin langgeng. Makna kelestarian juga dikerucutkan sebagai upaya melaksanakan program ke k ele rehabilitasi yang disayangkannya tidak begitu diminati masyarakat, karena rre eha h jenis jje eni ni tanamannya yang lambat tumbuh. Di tengah arus pemikiran seperti itu muncul pula pandangan bahwa mu m un
masuk akal tidak selalu berarti akan
dilakukan. Hal terakhir ini dikaitkan dengan pandangan bahwa kelestarian itu di d ila l tidak tti ida da
menarik,
sehingga
tidak
ada
komitmen;
sementara
dalam
(pun) dipandang sering tidak ada pengawasan dan monitoring, ppelaksanaannya pe ela l tidak tti ida d profesional. Hal ini diduga karena berpikir jangka pendek, tidak punya
139
idealisme kelestarian, hanya berpikir nebang, jiwa spekulan pencari untung jangka pendek yang hobi mencari jalan pintas, sehingga si pelaku berperilaku hit and run. Terlebih, iklim usaha yang disiapkan pemerintah tidak mendukung dan cenderung belum bisa memberikan kepastian hukum kepada para pelaku usaha kehutanan. Namun, kelompok ini pun melihat kelestarian sebagai kebutuhan semua pihak dan karenanya harus jadi pijakan bersama. Realisasinya dinilai lain dan malah tampak sebaliknya; penyebabnya antara lain tidak ada kesadaran para pihak dan tidak paham memaknai pentingnya nilai hutan; hampir semua pihak berpikir jangka pendek alias
berpikir
primitif. Dalam arus pemikiran seperti ini, muncul pandangan bahwa kelestarian itu domain pemerintah untuk mewujudkannya, lainnya tinggal bersinergi saja. Kalangan ini mengusung beragam makna tentang kelestarian. Disebutkan bahwa kelestarian itu (keadaan dimana) semua fungsi hutan itu tetap dari waktu ke waktu secara progresif, termasuk fungsi ekonomi, dengan perspektif, pikiran dan orientasi jangka panjang. Kelestarian juga harus mengandung perspektif keuntungan secara dinamis dan adanya kepastian bahwa ada bagian dari keuntungan itu yang dikembalikan ke hutan. Oleh kalangan ini kelestarian juga dimaknai sebagai value yang harus dipegang secara konsisten (oleh para pihak pemangku kepentingan). Bagi pemerintah, kelestarian itu identik dengan memenuhi amanat Pasal 33 UUD 45, sehingga melekat kewajiban bagi pemerintah untuk menunjang pencapaian kelestarian itu dengan memastikan bahwa manfaat terdistribusi secara benar, terlaksananya kegiatan rehabilitasi dan terciptanya kepastian, kemantapan dan keamanan kawasan. Dalam penilaian kelompok ini kinerja usaha kehutanan sejauh ini mengerucut kedalam tiga hal: setuju tidak lestari, ragu-ragu, dan tidak setuju bahwa tidak lestari. Setuju, karena fakta empiris menguatkan penilaian itu, misal disebutkan bahwa saat ini mencari kayu di hutan sudah susah, sehingga potensi tidak memadai lagi. Yang ragu menggunakan argumen yang beragam, seperti ”tidak sepenuhnya setuju”, ”penilaian ini relatif”, ”tidak ada jawaban pasti”, ”antara setuju dan tidak setuju, fifty-fifty lah”. Pertimbangannya pun beragam. Lestari tidak lestari itu menjadi pilihan dan hasilnya adalah
1140 14 40
konsekwensi, sehingga tidak lestari menjadi pilihan yang terpaksa. Argumen kon lain, lain fakta empiris menunjukkan bahwa usaha kehutanan sampai sekarang tetap teta jalan, namun tidak bisa dipastikan apakah ini indikasi kelestarian. Lestari tidak tida lestari ini relatif, karena sekalipun banyak HA rusak, tapi tidak begitu saja dinilai sebagai tidak lestari. Pertimbangannya, banyak pula HT, termasuk HTI HT yang bertumbuh dan luasannya meningkat atau dengan menimbang HT keberadaan HL dan konservasi, yakin HA kita masih lestari. Adapun argumen keeb k yang yaan mengatakan tidak setuju bahwa HA produksi kita tidak lestari bersandar y pada paad pertimbangan bahwa dari sisi potensi tingkat panen kita selama ini masih p di skala lestari. Deforestasipun tidak bisa dijadikan indikasi ketidakdi bawah b lestarian, karena ratenya sekarang sudah mengecil. Bila alasan potensinya, per leest ha ha nya menurun, kita punya Silin yang dengan TPTJ mampu meningkatkan produktivitas 10 kali lipat, jadi isunya bukan lestari-tidak lestari. prro ”Kalau alasan lestari dikaitkan dengan angka deforestasi, angka itu sekarang ”Ka K jauh jauh menurun....Data FAO 2010 menyebutkan deforestasi kita tinggal 500 ha/tahun, jadi sudah kecil, tidak bisa jadi alasan tidak lestari...Sementara dari haa/t sisi siisi s potensi, dari standing stock kita punya potensi sekitar 25 juta m3/tahun; dan dan jatah tebang kita ditetapkan sekitar 9 jt m3/th. Jadi isunya bukan soal da kelestarian, itu kan (level) konservatif banget... Katakanlah isu soal potensi, kele kita punya Silin, yang dengan TPTJ mampu meningkatkan 10 x produktivitas hutan (Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi dan huta biasa.” Perdagangan Internasional – era setelah 1998; Wawancara, 2 Mei 2011). Per
Kalangan akademisi, menilai kelestarian dari sisi bisnis masuk akal bagi Kal sebagian pengusaha, yang orientasinya jangka panjang dan multi-manfaat. sse seb eb Namun Na N am bagi sebagian besar pengusaha lainnya (dianggap tidak masuk akal, tidak melaksanakan, termasuk dalam menyiapkan perencanaan ssehingga) se eh tapak. ta apa pa Ini menjadi alasan kuat bagi kelompok ini, bahwa pendekatan atur dan aawasi aw wa (command and control) dinilai masih relevan dan perlu. Tidak masuk aakal ak ka manakala pertimbangannya adalah sifat bisnis yang berorientasi untung besar be b es dengan pengorbanan kecil dalam waktu secepatnya. Muncul pula pandangan bahwa kelestarian itu adalah investasi jadi bukan saja masuk akal, pa p an tapi tta api p memang sesuatu yang harus dilakukan. Pelaku usaha yang tidak melaksanakan kelestarian dinilai kelompok ini lebih karena tidak ada me m el
141
komitmen dan profesionalisme serta sifat dasar sebagai saudagar; sementara dari sisi pemerintah tidak ada pengawalan dan kebijakan yang yang tepat. Kelompok ini juga meyakini bahwa kelestarian adalah kebutuhan semua pihak dan bukan sekedar instrumen beroleh pasar dan atau insentif harga, tapi mementingkan pula fungsi dan manfaat lain dari hutan. Pandangan lain meyakini kelestarian sebagai kebutuhan akademisi, karena merekalah yang selalu bicara soal kelestarian, untuk mengukuhkan dan aktualisasi posisi akademisnya. Penekanan dari kelompok ini adalah bahwa kelestarian bukan kebetuhan Kemenhut, karena fakta tidak ada pengawalan untuk menjamin pencapaian kelestarian itu di lapangan dan di tataran implementasi. Kelompok ini memaknai kelestarian sebagai kelestarian hasil dan kelestarian usaha dengan
perspektif
jangka
panjang,
progresif,
terus
menerus
dan
menguntungkan baik secara ekonomi maupun finansial. Oleh karena itu untuk mewujudkannya kalangan ini memandang perlu adanya dukungan akan kemantapan kawasan, tidak ada penebangan berlebih dan (ada) penanaman kembali. Kelompok ini menilai, bahwa HA produksi tidak lestari, karena ”fakta menunjukkan demikian”. Pertimbangan lainnya, karena data laju dan besaran kerusakan hutan dan lahan serta adanya kencenderungan penurunan luas dan kemampuan HA untuk mendukung kehidupan manusia yang populasi dan kompleksitas persoalannya terus meningkat.
Bagai kalangan praktisi bisnis, pelestarian HA produksi dipandang masuk akal, sejauh pencapaiannya tidak mengurangi penerimaan atau keuntungan dan memang dapat diwujudkan sendiri dan tidak sekedar melaksanakan ketentuan dan regulasi pemerintah. Dalam argumen lain disebutkan, pemerintah tak perlu banyak mengatur secara detail dan rinci; tidak (perlu) banyak faktor yang ditentukan oleh pemerintah, agar capaian kinerja sepenuhnya dalam kontrol pelaku usaha. Tidak masuk akal, manakala pencapapaian kelestarian mencakup urusan untuk tidak ribut dengan masyarakat sekitar. Hal ini dikaitkan dengan fakta bahwa pelaku usaha banyak mengalami tekanan, termasuk dari pemerintah yang begitu saja menyerahkan persoalan kepada pelaku usaha, misal dalam penyelesaian konflik. Layanan
1142 14 42
pemerintah sendiri dinilai minim – untuk mengatakan tidak ada. Untuk pem beberapa kasus pemerintah justru minta dilayani, seperti terjadi di Pemda. beb Sementara ditegaskan pula bahwa tidak ada itu kelestarian hutan (SFM), Sem karena kare yang ada baru kelestarian bisnis. Pandangan lain di kelompok ini menyebutkan, bahwa kelestarian itu mahal, terutama saat pelaku usaha tidak men mampu mam menekan perambahan di areal konsesinya dan tidak ada jaminan dari ma pemerintah untuk tidak terjadi perambahan. Kelestarian itu sendiri dipahami peem p sebagai sekedar memaksimalkan “compliance” – sekedar melaksanakan apa seeb yang yaan pemerintah atur. Pelaku usaha cenderung menjauh dari kelestarian dan y bertindak dalam kerangka keuntungan jangka pendek, karena aturan bert be (pemerintah) yang berubah terus. (p pem e Dalam pandangan kelompok ini, melestarikan HA merupakan kebutuhan semua seem pihak, minimal secara teori, karenanya perlu dukungan semua pihak pula. puula p l Namun faktanya semua pihak pula tidak peduli, termasuk perusahaan yang yaan hanya memenuhi (compliance) kelestarian menurut ketentuan atau y regulasi pemerintah. Dengan begitu diskursus di kalangan ini juga reegu menyebutkan kelestarian itu bukan kebutuhan siapa-siapa. Menyadari meen m bagaimana kelestarian (banyak) diatur pemerintah, kalangan ini melihat bag bahwa kelestarian itu seolah milik pemerintah, pelaku usaha dan lainnya bah tinggal melakukan apa yang telah digariskan. Namun muncul pula pandangan ting dikalangan ini, bahwa kelestarian (sebenarnya) kebutuhan pelaku usaha, dika karenanya pemerintah sesungguhnya tidak perlu banyak mengatur. kare Dalam diskursusnya kalangan ini lebih pragmatis-realistis dalam memaknai kelestarian. Disebutkan bahwa kelestarian itu adalah (keadaan mem me dimana) usaha jalan terus, mampu memasok kebutuhan bahan baku (kayu) di m di dim terus teeru ru menerus tanpa jeda, dengan tetap memerhatikan aspek lingkungan dan sosial sosi budaya. Nilai hutannya sendiri – sebagai arus manfaat, berlanjut dan so meningkat secara progresif. Kelompok ini pun seluruhnya berpandangan meen m setuju bahwa HA kita tidak lestari. Alasannya, luas dan produktivitas HA sseetu t produksi menurun drastis oleh berbagai sebab empiris (konversi ke kebun dan prro p tambang dan pinjam pakai kawasan), selain bahwa jumlah dan luasan konsesi tam ta HPH HP H PH telah jauh berkurang serta fakta lain terkait tingginya angka kerusakan
143
hutan dan lahan. Alasan lain, karena fakta bahwa semua pihak tidak peduli dengan kelestarian, termasuk perusahaan yang (terpaksa) hanya sekedar memenuhi kelestarian menurut aturan pemerintah. Kalangan masyarakat sipil menegaskan bahwa yang masuk akal itu kelestarian usaha. Kelestarian hutan (SFM) dianggapnya masih utopis. Namun ini tidak sejalan dengan pandangan lain yang juga muncul dalam diskursus di kalangan ini, bahwa bagi pelaku usaha yang punya dan menjalankan etika usaha, kelestarian usaha berarti harus pula melestarikan hutannya. Disitulah pelestarian HA dipandang masuk akal, karena kelestarian bagaimanapun adalah menjalankan banyak faktor, yang antara lain disebut sebagai faktor kunci, yakni melestarikan hutan. Terkait fenomena banyak pelaku usaha yang tidak melaksanakan kelestarian, sekalipun dipandang masuk akal, kelompok ini sampai pada penilaiana bahwa hal itu disebabkan karena ketidakmampuan dalam mensiasati, orientasi dan komitmennya rendah, atau memang tujuannya sekedar hit and run, atau ada opsi lain yang lebih menarik. Usaha kehutanan baru sebatas kayu dan hanya kayu yang dihargai, hutannya tidak dihargai sebagai asset; kelestarian, karenanya tidak masuk hitungan. Sementara ditegaskan oleh kelompok ini, bahwa performance bond tidak dapat diandalkan, karena pemerintah terlalu banyak mengatur (tapi) dengan kontrol lemah
sehingga
mengundang
banyak
ketidakpastian
dan
perilaku
menyimpang. Diskursus di kalangan ini sampai pada penilaian bahwa kelestarian itu kebutuhan semua pihak, utamanya generasi mendatang, sehingga disebut juga sebagai kebutuhan negara, sebagai pelaksanaan mandat Pasal 33 UUD 45, antara lain agar manfaat SDA bisa lestari lintas generasi. Dengan pemahaman seperti itu diajukan syarat bahwa kebijakan yang ada tidak membebani atau meningkatkan ruang dan biaya transaksi. Adapun kelestarian sendiri dimaknai dalam perspektif jangka panjang, lintas generasi, dimana ketiga pilar fungsi hutan, tidak hilang, tetap terjaga, dan kualitasnya tidak menurun. Hampir keseluruhan narasumber di kelompok ini setuju bahwa sejauh ini HA produksi bukan saja tidak lestari, tetapi kondisinya rusak parah, indikasinya dari
1144 14 44
deforestasi yang terus meningkat dan hilangnya hampir keseluruhan fungsi defo hutan huta baik sosial, ekonomi, dan lingkungan. Peta diskursus para pihak terkait makna kelestarian tersebut diatas secara ringkas disajikan pada matriks Tabel 26. ring Tabel 26. Peta Diskursus Kelestarian di kalangan Para Pihak Komponen Ko K o Para Pa P a pihak Birokrasi Bi B iro
Akademisi Ak A ka
Pra Praktisi Bisnis Bis
Maspil/NGO Ma M a
Kelestarian masuk akal Masuk akal
Mengapa tidak dilakukan
Kelestarian kebutuhan siapa
Makna kelestarian
HA kita tidak lestari
Tidak menarik, tidak ada komitmen, iklim usaha tidak mendukung
Kebutuhan semua pihak, harus jadi pijakan bersama
Semua fungsi hutan tetap dari waktu ke waktu secara progresif, dengan perspektif keuntungan jangka panjang
Setuju karena faktanya,
Masuk akal bagi sebagian pelaku usaha
Tidak ada komitmen dan profesionalisme dari pelaku usaha
Masuk akal
Pelaku usaha banyak tekanan termasuk dari pemerintah, layannan pemerintah minim,
Kelestaria n usaha masuk akal; SFM masih utopis
Kebutuhan semua pihak, terutama akademisi
Pemerintah kurang mengawal
Tidak ada kelestarian SFM, yang ada baru kelestarian usaha, kelestarian itu mahal, sekedar compliance apa yang diatur pemerintah Pelaku usaha kurang siasat, kurang orientasi, kurang komitmen, memang tujuannya sekedar hit and run Pemerintah terlalu banyak ngatur dengan kontrol lemah
Kebutuhan semua pihak, setidaknya secara teori, perlu dukungan semua pihak pula Faktanya, bukan kebutuhan siapasiapa, karena semua pihak tidak peduli, termasuk pelaku usaha
Kebutuhan semua pihak, terutama generasi mendatang; jadi kebutuhan negara sesuai mandat Pasal 33 UUD 45
Sebagai values yang harus dipegang konsisten Kelestarian hasil dan usaha jangka panjang dan progresif, terus menerus menguntungkan Usaha jalan terus tanpa jeda, tetap memerhatikan aspek lingkungan, sosial dan budaya. Nilai hutan berlanjut, meningkat secara progresif.
Tiga pilar fungsi hutan tidak hilang, tetap terjaga, kualitas tidak menurun, dalam jangka panjang dan lintas generasi
Ragu-ragu, karena relatif, Tidak setuju, karena tingkat panen masih di bawah skala lestari
Setuju, karena faktanya
Setuju, karena luas dan potensi telah jauh menurun
Setuju, karena kerusakan hutan makin parah
145
Tabel di atas secara ringkas menunjukkan, bahwa keseluruhan kelompok para pemangku kepentingan melihat bahwa melestarikan hutan alam adalah masuk akal untuk bisnis dan dibutuhkan siapa saja, sekalipun ada yang mereduksi pemaknaannya lebih pragmatis menjadi sekedar kelestarian usaha (Masyarakat Sipil/NGO). Kuatnya indikasi bahwa sekalipun kelestarian masuk akal tapi banyak yang tidak melakukan, hampir keseluruhan kelompok melihat dari sisi pelaku usaha dan pemerintah sebagai faktor dalam memosisikan hutan alam; tidak disinggung, misalnya faktor terkait pasar, harga dan insentif yang relevan. Gambaran para pemangku demikian juga mengindikasikan, bahwa diskursus dan aliran pemikiran masih cenderung di seputar ekosistem hutan dan menempatkan hutan sebagai hal utama. Bila dikaitkan dengan fakta empiris, bahwa hutan alam produksi tidak lestari, maka tampak adanya paradoks yang memosisikan kelestarian dan ikhtiar melestarikan hutan alam sebagai barang publik: tidak jelas siapa pemliknya dan siapa penanggung-jawabnya, namun semua pihak memerlukannya. Posisi paradoks ini dapat dilustrasikan sebagaimana tampak pada Gambar 18.
Gambar 18. Paradoks kelestarian sebagai barang publik Gambar 18. memperlihatkan relasi kontestasi antara pemerintah (G) dengan praktisi bisnis (B) terkait klaim dan makna kelestarian baik dari sisi hukum, teori, dan praktek: kelestarian masuk akal, dan diperlukan semua pihak. Dalam kontestasi itu, fakta empiris tidak lestarinya hutan alam produksi bagi praktisi bisnis diyakini lebih karena persoalan terkait iklim usaha, komitmen, profesionalisme dan intervensi pemerintah. Akademisi (A) dan
1146 14 46
masyarakat sipil/LSM (L) melakukan interaksi – masing-masing searah – mas kepada keduanya (B dan G). kep 4. Persepsi atas Kebijakan Usaha Kehutanan Kelompok Birokrat menekankan pentingnya sebuah kebijakan dari sisi proses Kel dan da d an substansi kebijakan. Dari sisi proses disebut beberapa poin penting antara lain la ain in komunikasi, terbuka, dibangun berdasar common value, mekanisme keputusan tegas, melibatkan sebanyak mungkin para pemangku ppengambilan pe en kepentingan, membangun kesepakatan publik untuk kesejahteraan publik, ke k ep menangkap suara publik dan para pakar terutama yang berpengalaman dan me m en memiliki kredibilitas yang baik, penegakannya tegas dan adil. me m em
Dari sisi
substansi hal penting yang diangkat adalah fokus, tidak kaku, berangkat dari su ub masalah yang ingin dijawab, memastikan pemantapan kawasan, membuka ma m as sistem usaha baru (tak hanya kayu), diakui multi sektor, maksudppeluang pe elu l tujuan jelas, konsisten, berdasar pada kerangka yang jelas, tidak reaktiftu ujjuu menjawab persoalan dari mulai tingkat lokal, regional, nasional, kkasuistis, ka asu s bahkan internasional, namun tidak juga sekedar menjawab persoalan, tetapi ba b ah juga antisipatif, penuh idealisme, berdasar pada hal-hal ilmiah dan mulai dengan pilot, sebelum digeneralisasi. den Saat dihadapkan pada analogi resep vs diagnosa 25 , kelompok ini berpandangan beragam. Disebutkan bahwa kondisi yang ada mengindikasikan berp secara kuat, bahwa diagnosa keliru-resep tidak disebut; diagnosa keliru-resep seca salah; ssa sala alaa diagnosa tepat-resep salah; resep tepat, karena diagnosa tepat. Masih analogi itu, kelompok ini yakin bahwa situasi kebijakan usaha ddengan de en kehutanan saat ini identik dengan fakta bahwa (proses) pengobatan tidak ke k keh eh sekedar percobaan, penyakitnya sendiri komplikasi. Sementara kkontinyu, ko on bahwa pelaku diagnosa (semakin) banyak, hampir setiap orang ddiakui, di dia iak melakukan diagnosa berdasar kepentingan masing-masing, hasil diagnosa me m el banyak, sehingga bagaimana resep dibuat menjadi tidak jelas. Analogi lainnya ba b an adalah, (terlepas dari ada tidaknya diagnosa) resep dokter berganti terus, tidak aad da da jjelas je elaa mana yang pasti. 25
Untuk U ntu nt uk k lebih jelasnya, lihat poin 4.2 pada panduan wawancara pada Lampiran 2.
147
Dari penilaian kelompok ini, hampir semua pihak memiliki pengaruh atas proses perumusan atau perubahan kebijakan. Disebutkan, yang paling berpengaruh antara lain: masyarakat terpapar dampak kebijakan, DPR, pemerintah, NGO, pengusaha, forester. Namun ini semua (pihak yang paling berpengaruh) menjadi tidak jelas saat ada ”black-box”. Adapun masalah yang banyak memengaruhi (proses perumusan/perubahan kebijakan) adalah masalah pemerintah sendiri, masalah pengusaha, dan (masalah) bagaimana mencapai kemakmuran rakyat. Diluar itu semua, disebutkan bahwa yang paling berpengaruh itu adalah kelompok-kelompok yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya adalah swasta besar!. ”......Pihak yang paling dominan memengaruhi, tidak bisa merujuk hanya pada kelompok pemangku kepentingan tertentu, tapi lebih kepada mereka yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya swasta besar” (Staf Khusus Menteri Kehutanan era setelah 1998; Wawancara 29 Maret 2011) Semua nara sumber dalam kelompok ini melihat ada persoalan cara pikir dalam proses perumusan dan perubahan kebijakan usaha kehutanan. Namun indikator yang digunakan bermacam-macam. Ada yang mengaitkan dengan tidak terbuka, kurang mampu mengaitkan peran hutan dengan pembangunan nasional, kurang antisipatif, cenderung otoriter, sepihak, top down, pandangan lebih jangka pendek, tidak memiliki perspektif jangka panjang, tidak fokus, ego rimbawan, terjebak di hal-hal teknikal dan cenderung apolitik, lurus-lurus saja. Persoalan cara pikir lain, antara lain disebut keterjebakan hanya sekedar menjalankan aturan, walau sadar aturanya itu sendiri tidak tepat atau bahkan keliru – sementara, untuk hal substansi yang secara objektif perlu dan dibutuhkan, tidak dilakukan (pengaturan), karena tidak ada aturan ( di atas) nya. Persoalan lainnya disebutkan pula, pemerintah pembawaannya mau mengatur, yang diatur bahkan hal-hal teknis. Ada pula yang mengaitkan persoalan cara pikir ini dengan desentralisasi yang belum tuntas, sehingga banyak pihak (di daerah) yang ragu melangkah dalam menjalankan peraturan.
1148 14 48
Atau Ata ada pula yang mengaitkan dengan soal tupoksi 26 institusi yang disebutnya ”memengaruhi cara berpikir”. dise ”..... Ada, karena ada Tupoksi. Tupoksi itulah yang memengaruhi cara pikir. ”.... Sementara mekanisme sendiri kita punya Biro Hukum, yang bisa jadi ada Sem conflicting saat bicara substansi. Untuk substansi A bisa saja biro hukum con mengartikan dan mendeskripsikan B, sehingga formulasi substansi kebijakan m me e en aawal aw wa tidak tercapai. Soal black-box bisa saja ada, tapi bukan tanggung jawab ddan da an bukan kapasitas saya untuk masuk kesana. (Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional, Kemenhut, era setelah 1998; Ek E ko Wawancara 2 Mei 2011) W Wa a Perbaikan kebijakan menurut kelompok ini, sekecil apapun ada, walau masih Pe P eerb r banyak kelemahan, dan tidak signifikan. Adanya perubahan ditunjukkan, ba an terutama dalam hal niat, cara pikir, orientasi dan landasan akademik-ilmiah te eru ru yang ya y an lemah. Perbaikan juga tampak setidaknya pada adanya usaha untuk mendefinisikan dan memastikan tujuan, yang dulu tidak ada. Dari sisi proses me m een kelompok ini melihat telah melibatkan cukup banyak para pihak pemangku ke k elo l kepentingan. Dari isu yang muncul, isu masyarakat dan lingkungan pun sudah ke k ep cukup cu uk kuat, lebih karena spirit yang melatari waktu itu ”hutan lestari, rakyat sejahtera”. Dari sisi substansi, perubahan ke arah perbaikan dinilai ada, terkait seja pembenahan governance, fokus dan proritas. Diakui pula, perubahan kerangka pem pikir juga terjadi, (terindikasi dari) banyak generasi baru yang masuk dengan piki pengetahuan barunya. Dicontohkan, muncul banyak ide penetapan jatah pen tebang, prinsip-prinsip standard atas pelaksanaan REDD+ 27 dan lain-lain; teba diakui itu semua menunjukkan digunakannya ilmu dalam konstruksi diak kebijakan. Pengakuan lain, ada pula perubahan kerangka pikir, terkait gagasan ke k eb uuntuk un ntu t segera bergeser ke HT, atau bahkan hutan campuran; sementara untuk komoditi juga mengalami pergeseran, tak hanya kayu; lalu pengaturan ko k om om kawasan kini tidak dapat bertahan seperti dulu, karena harus menimbang ada ka k aw ssektor se ek lain. Sementara pandangan lain di kelompok ini menunjukkan, bahwa kurun ku k uru setelah 1998 lebih banyak konsolidasi manajemen kehutanan lalu softdan penurunan kuota jatah tebangan. llanding la and 26
Kepanjangan Ke epan ep anj dari Tugas Pokok dan Fungsi. Fenomena keraguan ini diperoleh, antara lain pada saat diskusi dengan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 20 Juli 2011 dan APHI Komda Jambi 21 Juli 2011. deng gan an K 27 Sebuah Se ebua uah inisiatif global yang menguat dalam kurun tiga tahun terakhir ini terkait upaya global mengurangi emisi emissi gas ggaas rumah kaca melalui pengurangan tingkat deforestasi dan kerusakan hutan.
149
Dalam mengindentifikasi hal terpenting dari kebijakan kelompok akademisi tidak banyak menyinggung proses. Dari sisi substansi disebutkan bahwa hal terpenting adalah: berangkat dari konsep yang jelas, sehingga masalah yang ingin dijawab pun jelas, fokus pada keseimbangan tarik-menarik kepentingan antar para pihak pemangku kepentingan, (fokus) perhatian (hendaknya) tidak sekedar pada aspek yuridis, sosiologis dan filosofis, tetapi pada aspek penting mencapai tiga pilar kelestarian dan identitas budaya. Sementara terkait analogi resep vs diagnosa, kelompok ini meyakini diagnosa dan resep salah, alasannya karena tidak ada konsep; sehingga resep dan diagnosa bisa terjadi masing-masing ataupun bersamaan. Pandangan lain, diagnosa lemah, dimungkinkan karena keterbatasan kapasitas (SDM dan teknologi), dan kekurang seriusan. Atau resep keliru, dimungkinkan karena kepentingan politik yang dominan, sehingga keliru pula di tingkat implementasi. Kalangan ini melihat pemerintah atau penguasa dan pengusaha dinilai paling memengaruhi proses perumusan atau perubahan kebijakan, terutama sebelum masa reformasi. Selain kedua pihak ini, diakui pula bahwa masyarakat sipil seperti akhir-akhir ini, turut memengaruhi, namun masih semu. Dalam diskursus muncul pula pemikiran, bahwa pemerintah identik dengan politikus yang lebih menyuarakan kepentingan politik baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Pelaku usaha identik dengan menyuarakan kepentingan ekonomi. Sementara kepentingan akan lingkungan dan sosial lebih disuarakan secara dominan oleh masyarakat sipil/LSM. Sementara akademisi diposisikan sebagai pihak yang diperlukan oleh keseluruhan para pihak ini, sehingga diyakini idealnya tidak mengusung kepentingan praktis tertentu. Keseluruhan narasumber di kelompok ini melihat bahwa ada persoalan kerangka pikir di balik proses perumusan dan perubahan kebijakan. Indikasinya antara lain, cenderung dominan positivistik, tanpa menimbang realitas secara memadai, tidak mengakar ke pengetahuan lokal, memandang hutan sekedar sumberdaya input produksi, memprioritaskan kepentingan ekonomi, hutan adalah sumberdaya dapat diperbaharui baik secara alam
1150 15 50
maupun manusia, sehingga tidak perlu khawatikan. Dengan keyakinan mau demikian, kelompok ini memandang tidak ada perubahan baik kualitas dem kebijakan maupun kerangka pikir di baliknya, karena esensinya sama saja. keb Yang Yan merasa ada perubahan menunjukkan bahwa sebelum 1998 orientasi dan keberpihakan kepada masyarakat dan lingkungan relatif kurang, lebih banyak keb pada pad pelaku usaha dan industri kehutanan. Setelah 1998 kondisinya terbalik, pa namun tidak melemahkan keragaan dunia usaha dan industri kehutanan. naam n Perubahan lain dinilai kelompok ini dari spririt dan orientasi kepada Peru Pe r masyarakat, pemisahan urusan admin dengan teknis melalui KPH, dan hutan maas m dipandang sebagai multifungsi. dipa di p Seperti halnya kelompok akademisi, kelompok praktisi bisnis tidak banyak menyoal proses dalam melihat hal terpenting dari kebijakan. Kelompok ini me m en memandang bahwa substansi kebijakan hendaknya mampu mengakomodasi me m em kepentingan secara keseluruhan, mengutamakan kemandirian pelaku usaha, ke k ep ep memberlakukan pendekatan dan kontrol berbasis hasil/dampak (outcomeme m em based), berorientasi ke penyempurnaan besar dan alokasi pungutan resmi, ba as tidak ti ida d membebani dan bahkan bila perlu membebaskan pelaku usaha, mengatur yang memang perlu diatur, aturan tidak terlalu teknis. Lalu kelompok ini yan berharap pula agar (para pihak, khususnya pembuat kebijakan) belajar dari berh pengalaman, dan lebih menegaskan target yang ingin dicapai. pen Menanggapi analogi resep vs diagnosa, kelompok ini menilai baik resep maupun diagnosa keliru. Diakui, diagnosa kadang akal-akalan dan mau manipulatif, sementara dari situ resep dibangun. Resep dibuat tanpa diagnosa, m ma an sering hal yang diatur bukan yang diperlukan, karena aturan (sudah) ssehingga se eh terlalu detail, sehingga apa yang tertulis dan apa yang berjalan berbeda. tte erl Penilaian lain, diagnosa keliru, sehingga resep apapun tidak manjur. P Pe en Diyakini kelompok ini, bahwa pemerintah cukup dominan memengaruhi proses perumusan dan perubahan kebijakan, tapi tidak disertai pengawasan pr p ro yang ya y an memadai, sehingga pelaku usaha merasa tidak pernah diajak dalam proses selain saat sosialisasi, itupun aturannya sudah jadi. Dan hal demikian pr p ro diakuinya terus berlangsung hingga kini, sehingga pemerintah dinilai tidak di d iiak aakk pernah belajar dari pengalaman. Kalaupun ada pihak lain yang dilibatkan, ia pe p ern r
151
tidak memiliki pengaruh langsung pada perbaikan substansi aturan, sehingga tetap saja mengundang banyak peluang terjadinya moral hazard. Pandangan lain, pemerintah kini lebih pro perusahaan tambang dan abai atas pelaku usaha kehutanan; dulu, 1970-90an, terutama zamannya Bob Hasan mereka mendengar pelaku usaha kehutanan, bahkan didikte perusahaan kehutanan. “.....Aturan terakhir Kemenhut justru terlihat pro perusahaan tambang. Usulan pengusaha hutan tidak didengar sama sekali. Begitu juga saran dari masyarakat dan akademisi. Dulu (1970-90an) mereka mendengar suara pengusaha. Bahkan didikte pengusaha. Terutama jamannya Bob Hasan. Sebetulnya suara siapapun asal itu upaya konsisten mencapai kelestarian hutan -- ya itu yg harus dipilih...bukan karena kepentingan sesaat....”(Praktisi Usaha Kehutanan, Deputy Direktur Ekskutif APHI, Wawancara 6 Juni 2011) Keseluruhan narasumber di kelompok ini menilai ada persoalan cara pikir. Disebutkan beberapa indikasi, antara lain rimbawan dianggap tidak mengerti bisnis, sehingga perlu diatur pemerintah, profitabilitas sering dianggap lebih penting dibanding kompetensi, apa yang harus diatur hanyalah untuk aturan itu sendiri, dan aturan itu sendiri akhirnya, tidak konsisten. Indikasi lain, ada kerangka pikir yang datang dari luar, sehingga banyak aturan yang tidak perlu tapi dipaksakan, karena datang dari luar. Disebutkan sebagai contoh adalah IHMB 28 . Kelompok ini secara dominan melihat bahwa tidak ada perbaikan kebijakan usaha kehutanan, baik perbaikan substansi maupun persoalan kerangka pikir. Bahkan muncul penilaian, bahwa (kekacauan substansi) semakin menjadi-jadi, makin parah, dan terpuruk; antara lain karena makin tidak jelas dan multitafsir, termasuk tafsir antara pusat-daerah, akibatnya mengundang lebih banyak pihak lain untuk turut mengurusi kayu yang ujungujungnya membebani biaya operasional usaha dan mendongkrak pos biaya entertainment di lapangan. Satu-satunya pandangan dari kelompok ini yang menilai ada perubahan pun (diujung) melengkapinya dengan label ”tidak tampak jelas”
hasil dan dampak perbaikan, mungkin karena tidak ada
perubahan dalam cara berpikir, termasuk penilaian yang inkonsisten.
28 2 8
Yang dimaksud adalah kebijakan inventarisasi hutan menyeluruh berkala – IHMB
1152 15 52
Dalam melihat kebijakan, kelompok masyarakat sipil tidak menyinggung proses sama sekali. Dari sisi substansi disebutkan, bahwa hal penting dari pro kebijakan antara lain mampu menciptakan kondisi yang bermanfaat untuk keb semua pihak, jangka waktu panjang, memberi akses ke masyarakat, antisipatif sem atas kondisi lapangan, mampu menyelesaikan persoalan, dapat dijalankan, tidak tti ida da bertele-tele, jelas kepentingan dan urgensinya, dan memiliki fungsi kontrol. Selain itu, perlu didukung upaya penegakan dan monitoring ko k on implementasinya. im mp Terhadap analogi resep vs diagnosa kelompok ini berpandangan beragam: diagnosa benar-resep salah; diagnosa salah-resep jadinya asal-asalan. di d iag a Ditegaskan bahwa salah resep, karena tidak mampu mendiagnosa. Diakui Di D ite t kalaupun diagnosa benar, resep dibuat menyimpang atau bahkan bertolak kala k ka al Jadi – menurut kelompok ini, ada kesengajaan disitu. (Karena) bbelakang. be ela l diagnosa salah, resep salah, aturan yang keluar sering sekedar menjawab dia d di iag symptom. Dengan penilaian demikian, kelompok ini berpandangan, bahwa sy ym yang ya y an keliru pikirannya, yakni hanya dari perspektif pengusaha dengan orientasi keuntungan jangka pendek. or o rie
Siapapun pihak yang merumuskan
kebijakan, sebaiknya tidak didominasi oleh pemikiran dan orientasi demikian. keb Pihak yang paling pengaruh dalam perumusan/perubahan kebijakan menurut kelompok ini adalah pihak yang tingkat kepentingannya lebih men menonjol, mereka bergerak lebih dominan, baik bersamaan maupun sendirimen sendiri. Namun sering pula, mereka yang memiliki kepentingan yang sama sen tidak tti idaa sejalan. Yang terjadi kemudian, pemerintah lebih dominan, karena langkah atau eksekusi akhir ada di mereka. Sebelum reformasi, dominasi ini lla ang n bersiombiosa dengan dunia usaha, sehingga tejadi kolaborasi penguasabe b ber ers pengusaha. Diakui, masyarakat tidak dilihat dan akademisi cenderung hanya pe p en sekedar legitimasi. Untuk beberapa kasus, dominansi ini bergeser. ddijadikan di dij ijjaa Saat Sa S aa isunya adalah pelepasan lahan, besaran jatah tebang, sistem silvikultur, pengusaha tampak lebih dominan. Untuk isu timber legality dan illegal pe p en logging, masuk pula masyarakat madani dan program kerjasama (donor) llo og g ogg internasional turut berpengaruh. iin ntee
153
Diakui pula oleh kelompok ini, bahwa ada persoalan cara pikir dalam kebijakan usaha kehutanan. Disebutkan, bahwa kebijakan harus (selalu) dari pemerintah, proses dan transparansi sering dianggap tidak penting, yang penting buat dulu aturan, urusan mengakomodasi lainnya belakangan dalam sosialisasi. Indikasi lain, tahu persoalan tahu obatnya, tapi tidak melakukan tindakan, dan tindakan yang dilakukan adalah hal lain karena alasan konflik kepentingan (akan merugikan yang bersangkutan sendiri). Pandangan pragmatis dari kelompok ini lebih merujuk pada kekakacau-balauan kehutanan sekarang ini yang merupakan signal dari kekacau balauan pikiran.
Kelompok ini melihat tidak ada perbaikan baik dalam cara pikir maupun kualitas kebijakan. Disebutkan keduanya tidak banyak berubah; sekalipun proses agak berkembang – melibatkan lebih banyak pihak, ada konsultasi publik yang relatif lama, namun sayang masih diwarnai fenomena ”black box”, sehingga banyak pihak merasa tidak terwakili. Ditunjukkan pula, dari aspek pengelolaan saja, UU 5/67 dan 41/99 tidak jauh berbeda, yakni pengelolaan domain pemerintah dan konsesi yang diberikan sebatas pemanfaatan. Sementara cara pikir tetap saja, tidak berubah sama sekali. Diakuinya, sebelum 1998 apa yang baik menurut Bob Hasan, jadilah kebijakan. Setelah 1998, masyarakat madani lebih vocal, karema banyak donor ikut campur, sehingga isu nya pun tergantung apa yang dibawa si donor. ”Hampir tidak ada. Tidak jauh-jauh dari aspek pengeloaan saja, UU 5/67 dengan 41/99 tidak jauh berbeda, pengelolaan domain pemerintah, konsesi yang diberikan sebatas pemanfaatan. Tidak merubah apa-apa, sama saja pola HPH. Sementara pengawasan tetap saja lemah.” (Direktur Eksekutif sebuah LSM; Wawancara 3 Mei 2011)
Selanjutnya, peta diskursus kebijakan usaha kehutanan di kalangan para pihak secara ringkas disajikan sebagaimana matriks pada Tabel 27.
1154 15 54
Tabel Tab 27. Peta Diskursus Kebijakan Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak Ko Komponen Para pihak Pa
Hal ter-penting dari kebijakan
Analogi Resep vs Diagnosa
Birokrasi Biro
Proses dan substansi
Resep tidak disebut – diagnosa keliru
Proses: Komunikasi, terbuka, berdasar common values, mekanisme tegas, partisipatif Substansi: Fokus, tidak kaku, berangkat dari dan antisipatif atas masalah, maksud dan tujuan serta solusi yang jelas
Akademisi Ak A ka
Pra Praktisi Bisnis Bis
Maspil/NGO M Ma a
Substansi: Berangkat dari konsep yang jelas, fokus pada keseimbang-an kepentingan
Substansi: Akomodasi keseluruhan kepentingan, utamakan kemandirian pelaku usaha, atur yang perlu diatur, tidak mengatur terlalu teknis
Substansi: Mencipatkan akses/kondisi bermanfaat untuk semua pihak, tidak cepat berubah, antisipatif atas kondisi lapangan dan memiliki fungsi kontrol
Diagnosa keliruresep salah Diagnosa tepatresep salah Diagnosa tepatresep tepat Pelaku diagnosa banyak, bingung membuat resep, penyakitnya komplikasi Diagnosa dan resep salah, karena ketiadaan konsep;
Pihak & Masalah paling berpengaruh dalam kebijakan Kelompokkelompok yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya adalah swasta besar.
Diagnosa kadang akal-akalan dan manipulatif, Resep dibuat tanpa diagnosa Diagnosa keluru, shg resep apapun tidak manjur Diagnosa benar, resep salah Diagnosa salah, resep asal-asalan Diagnosa benar, resep dibuat menyimpang
Perbaikan kebijakan
Ada. Kurang terbuka, tidak antisipatif, otoriter, sepihak, top down, jangka pendek, sekedar menjalankan aturan,
Sekecil apapun ada, hanya masih banyak kelemaha n dan tidak signifikan
Ada; terindikasi dominannya positivistik, minim realitas, tidak mengakar pada pengetahuan lokal, melihat hutan semata input produksi
Tidak ada perbaikan , baik kualitas kebijakan maupun kerangka pikir
Masalah pemerintah, bagaimana mencapai kemakmuran rakyat
Pemerintah dan pengusaha, lalu masyarakat sipil. Masalah politik dan ekonomi
Keduanya keliru
Ada persoalan cara pikir dalam konstruksi kebijakan
Pemerintah, namun pengawasan kurang Masalah tidak teridentifikasi
Pemerintah dan pihak yang tingkat kepentingannya paling menonjol; Dominasi bergeser menurut isu
Masalah ekonomi lebih menonjol Ada. Rimbawan dianggap tidak mengerti bisnis, sehingga harus diatur pemerintah, profitabilitas lebih penting daripada kompetensi; aturan sendiri tidak konsisten
Ada. Kebijakan harus selalu dari pemerintah, proses dan transparansi tidak penting, tau persoalan tau obat, tapi tidak bertindak. Kacau-balaunya hutan saat ini cermin dari kekacaubalauan pikiran
Tidak ada. Malah semaki menjadi parah dan terpuruk;
Tidak ada, pengelola an domian pemerinta h dan pelaku usaha sebatas pemanfaa tan
155
Tabel diatas memperlihatkan, bahwa aspek terpenting dari kebijakan dilihat sedikit berbeda. Kecuali kelompok birokrat (G), keseluruhan kelompok lain hanya melihat substansi sebagai hal terpenting dari sebuah kebijakan. Hanya kelompok birokrat yang mementingkan pula proses, selain substansi. Dari sisi substansi hampir keseluruhan mengaitkan perlunya menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan para pihak. Beberapa yang lain menekankan perlunya berangkat dari antisipasi masalah (G), konsep yang jelas (akademisi, A), kemandirian pelaku usaha dan tidak teknikal (praktisi bisnis, B) dan menciptakan akses manfaat (masyarakat sipil, L). Hampir keseluruhan kelompok memberikan ilustrasi bahwa pada dasarnya yang terjadi sejauh ini proses pembuatan/pembaruan kebijakan lebih didasarkan pada diagnosa dan resep yang keliru. Sementara itu, pihak dan masalah yang dianggap paling dominan oleh hampir keseluruhan kelompok adalah pemerintah dan masalahnya pun masalah pemerintah. Dan hal ini diakui pula oleh kelompok birokrat yang notabene kesehariannya adalah anasir pemerintah. Ada pula yang scara khusus menyebutkan bahwa pihak yang dominan adalah para pihak yang memiliki akses dan power yang besar, termasuk swasta besar (Birokrat) atau pihak yang kepentingannya paling menonjol (Masyarakat Sipil/NGO). Hampir keseluruhan kelompok, termasuk birokrat, melihat bahwa ada persoalan cara pikir dalam pembuatan/pembaruan kebijakan usaha kehutanan. Ini terkait antara lain dengan persoalan proses pembuatan kebijakan yang sepihak, top down, jangka pendek dan sekedar menjalankan aturan dari para pembuat kebijakan (Birokrat) atau tidak mengakar pada pengetahuan lokal dan menempatkan hutan sebagai sekedar input produksi (Akademisi) atau anggapan bahwa pelaku usaha tidak mengerti bisnis, sehingga perlu diatur pemerintah (Praktisi bisnis). Hal lain disinggung pula antara lain bahwa kebijakan itu harus dari pemerintah, sementara proses dan transparansi tidak penting. Isyarat yang kuat dari tabel di atas adalah, bahwa hampir keseluruhan kelompok para
1156 15 56
pemangku kepentingan menilai bahwa sejauh ini tidak ada perubahan cara pem pikir piki berarti dalam proses pembuatan/perubahan kebijakan. Dari keseluruhan diskursus yang berkembang tampak bahwa cara pikir yang yan tidak berkembang itu dapat dibaca sebagai semacam konfirmasi, bahwa para pihak, memosisikan pemerintah sebagai yang dominan, tanpa disinggung sama ssaam sekali bagaimana pentingnya keterlibatan para pemangku kepentingan sam potensial lainnya atau soal keseimbangan semua bentuk modal dalam usaha poote p t kehutanan. Di atas itu semua, kontestasi ini menunjukkan, bahwa di tengah ke h ke diskursus yang berkembang berbagai pengetahuan dan pengalaman praktis diisk d s para paara pihak tampaknya tidak hadir dan digunakan secara penuh dalam praktek p keseharian – the absence of knowledge in practice. Kontestasi ini secara ke s kes ke skematik sebagaimana tampak pada Gambar 19. skke
Gambar G Ga am 19. Kontestasi para pihak terkait isu kebijakan usaha kehutanan
Dengan demikian, terindikasi kuat, bahwa selain soal fenomena ketidak hadiran secara penuh pengetahuan yang dimiliki para pihak di tataran praktis, haad h diskursus yang ada juga masih berorientasi kuat atas sumberdaya hutan diisskk d sebagai hal sentral. Artinya, aliran kerangka pemikiran masih kental pada “the s eb se fo fforest orree first”.
157
E. Kualitas Kebijakan Usaha Kehutanan E 1. Makna lepas dari Diskursus Di atas terakumulasi pengetahuan bagaimana beragam “peta” kerangka pikir baik yang dibangkitkan dari hasil telaah isi dan narasi kebijakan usaha kehutanan maupun dari penjaringan persepsi melalui wawancara mendalam dan internet online polling. Beragam “peta” tersebut pada dasarnya sekaligus memberikan gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan yang ada. Dalam pendekatan Alvesson and Karreman (2000) kualitas itu berkaitan dengan lepasnya makna dari diskursus yang terakumulasi dalam teks kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan klaim-klaim atau pengakuan yang merepresentasikan kelestarian usaha kehutanan. Lawas diskursus yang berkembang sebatas kelas “mezo”, memperlihatkan kekurang-sungguhan dan ketidak-konsistenan antara apa yang menjadi tujuan kebijakan (niat) dengan apa yang akhirnya tertuang dalam teks dalam mengkerangka (framing) usaha kehutanan di satu sisi dengan penyiapan instrumen dan strategi pencapaian kelestarian disisi lain. Lepasnya makna dari diskursus juga teridentifikasi dari persepsi dan sekaligus posisi para pihak atas empat hal sebagaimana telah dijelaskan di atas, yakni: (a) hutan alam produksi Luar Jawa, (b) Usaha Kehutanan, (c) Kelestarian hutan dan pengelolaan hutan alam lestari, serta (d) Kebijakan usaha kehutanan. Persepsi dan posisi atas hutan alam hampir keseluruhan komponen para pihak menunjukkan setuju bahwa kondisinya rusak parah dengan beragam argumen dan ilustrasi empiris di baliknya. Namun, kondisi ini tidak sama sekali menghentikan semangat mereka untuk tetap melanjutkan memanfaatkan hutan alam
sebagaimana sebelumnya (Gambar 17) dan dengan tetap
mengandalkan kelestarian sebagai constraint. Situasi ini identik dengan dan dapat dianggap sebagai “konfirmasi” atas situasi yang dijadikan pembuka Bab ini. Konfirmasi ini dapat dipahami sebagai penegas, bahwa teks dan narasi kebijakan yang ada bukanlah wujud dari sebuah interaksi sosial, dimana pertarungan atau kontestasi ide, teori dan pemikiran antar para pemangku kepentingan – atau setidaknya antara pemerintah dengan pemegang hak,
1158 15 58
berlangsung. Dengan kata lain, ini adalah situasi yang bantu menggambarkan berl adanya gap antara teks dan interaksi sosialnya. Hal demikian dapat ditafsir ada bahwa bah kebenaran yang terkandung dalam tekstual substansi aturan main masih pada pad tingkatan kebenaran hukum terkait bunyi pasal demi pasal.
Lepasnya makna dari diksursus juga dapat dijumpai pada saat para pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada catatan kaki No. 24 peem p memosisikan dan memaknai kelestarian. Di sini bahkan dapat dipahami bahwa meem m lawas laaw diskursus terkait kelestarian merentang dari dimensi mega – kelestarian ditempatkan sebagai mandat pencapaian Pasal 33 UUD 45 – ke dimensi mikro dittee di – kelestarian sebagai hal-hal teknikal dan administratif-prosedural yang harus k dipenuhi pemegang unit usaha – dan akhirnya mengerucut pada dimensi meso, dipe di dimana kelestarian tak lebih sebagai daftar keharusan di tingkat unit dim di managemen yang bagi pemegang konsesi usaha, eksternal sifatnya: sekedar maan m menjalankan keharusan atau aturan yang telah ditetapkan pemerintah men me (compliance based). Seberapapun lawas diskursus yang mengemuka, para (cco om pihak piha pi h pemangku kepentingan, kecuali beberapa narasumber di komponen pemerintah, semuanya setuju bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi pem Luar Lua Jawa tidaklah lestari. Poin ini menjadi hal ironis lainnya, manakala dikaitkan dengan pandangan para pihak ini untuk tetap melanjutkan usaha dika kehutanan di hutan alam (Gambar 15 dan 17). Poin inipun menguatkan keh lepasnya makna diskursus, seperti juga dijumpai pada persepsi dan posisi para lepa pihak pihhaa atas kebijakan usaha kehutanan (Tabel 27). pi Tanpa
bermaksud
melakukan
simplifikasi
atau
menyederhanakan
persoalan yang tergambar berat ini, uraian terakhir di atas, dalam bahasa peers p sederhana dapat disebutkan bahwa para pihak pemangku kepentingan sseed sekalipun mengakui tiga hal tidak perform (kondisi hutan alam, kinerja usaha sek se kehutanan, dan kualitas kebijakan) namun semangatnya masih kuat untuk keeh k tetap teta te teta t melanjutkan usaha kehutanan hutan alam produksi di luar Jawa dengan alasan aallas las dan bahkan jargon yang kurang lebih tidak berubah: pembangunan ekonomi, sesuai mandat Pasal 33 UUD 45. eek ko
159
Kembali ke persepsi dan posisi para pihak atas kelestarian, sebetulnya ada yang lepas atau setidaknya kurang lengkap dari persepsi dan penarikan posisi para pihak atas kelestarian, yakni persoalan opportunity cost.
Dengan
mengasumsikan secara ekstrim, bahwa pemerintah lepas 100 % dan tidak campur tangan atas pengelolaan dan pengurusan hutan alam dan keseluruhan pengelolaan hutan alam produksi di Luar Jawa di berikan kepada pihak swasta, maka menjadi pertanyaan menarik seberapa jauh hutan alam ini akan lestari. Dengan asumsi demikian, maka swasta sebagai pelaku usaha tetap akan memaksimalkan keuntungannya dengan merujuk terutama pada tingkat bunga bank komersial sebagai patokan. Dengan asumsi tidak ada values (tata nilai, norma) lain, maka si pengusaha secara matematis akan mengambil keputusan dalam keadaan dimana total laju penebangan lestari ('v/v ) dengan perubahan harga hasil tebangan ('p/p) per tahun lebih besar dari bunga bank komersial (r) 29 . Keadaan ini akan tetap jadi pegangan para pelaku usaha sekalipun berada pada kondisi ketidak pastian, sejauh koefisien ketidakpastian itu (sebut saja G) tidak mengganggu laju keuntungannya dan in total tidak lebih kecil dari tingkat bunga bank komersial tadi. 30 Dengan frame ini maka kebijakan penetapan laju pertumbuhan hutan alam pertahun (MAI) sebesar 1 m3 per ha per tahun oleh pemerintah sebagai dasar penetapan jatah tebang tahunan akan menjauh dari capaian kelestarian, karena laju tebangan (dalam masa konsesi misal 40 tahun) hanya sebesar 2.5% jauh lebih kecil dari tingkat bunga bank saat itu (15-18%) atau bahkan dengan tingkat bunga bank komersial yang berlaku sekarang (5-6%). Kondisi ini bisa jadi alasan kuat, mengapa kelestarian – sekalipun diakui masuk akal, tapi tidak dilakukan oleh beberapa unit usaha. Hal ini sekaligus menjadi penegas, bahwa usaha kehutanan hutan alam produksi di Luar Jawa tidak mungkin lestari. Inilah salah satu gambaran yang lebih konkret terkait kualitas kebijakan usaha kehutanan sekaligus pemahaman terkait argumen makna lepas dari diskursus. Apakah ini sebuah jawaban bahwa kebijakan usaha kehutanan salama ini dinilai tidak berhasil mengubah perilaku ke arah kelestarian?
2299 3300
Dalam notasi matematis hal ini dituliskan sebagai ('v/v+'p/p) > r…..(01) Dalam notasi matematis: G('v/v+'p/p) > r …..(02)
1160 16 60
2. Tidak mengubah Perilaku Kualitas kebijakan juga terindikasi kuat tidak mampu mengubah perilaku Kua menuju ke kelestarian usaha, lebih karena persoalan kerangka pikir dibalik men kebijakan itu dibuat. Ini ditelaah Kartodihardjo (1998). Menurutnya, kebijakan keb usaha kehutanan hutan alam produksi di Indonesia tidak terlepas dari usa rangkaian konsep dan asumsi yang digunakan sebagai landasannya. Dalam rraang rang pengamatannya atas sejumlah isi peraturan perundangan usaha kehutanan pen pe (sampai 1998), diperoleh gambaran kerangka pemikiran yang digunakan (ssam untuk menetapkan kebijakan pelestarian hutan, yakni meletakkan hutan un u ntu t (natural capital) sebagai faktor utama. Dengan begitu, hutan dikonsepsikan (na na sebagai suatu ekosistem yang mempunyai fungsi alami dan tergantung dari sseeb tipe tiippee ekologis dan karakteristik hubungan makluk hidup yang ada di dalamnya. Pelestarian hutan – dalam pemikiran demikian – tergantung dari Peele P l keseimbangan sistem alami di dalam hutan itu sendiri. Ruang kebijakan kes ke (policy space) bagi pelestarian hutan disebutnya berada dalam lingkungan ((po po p o internal hutan yang dianalisis. Dengan demikian, pemanfaatan dan pelestarain innte t hutan huta memerlukan banyak jenis peraturan kerja (biasanya berupa petunjuk hu pelaksanaan dan petunjuk teknis) karena adanya perbedaan tipe ekosistem pela hutan huta dan banyaknya jenis kegiatan yang harus dilakukan oleh para pengelola hutan. huta Pandangan Kartodihardjo (1998) ini menegaskan, begitulah kerangka pikir piki dibalik kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan. Karena kerangka pikir piki itulah mengapa pemerintah begitu banyak membuat aturan dan berbagai aturan atuurr itu kebanyakan di tataran adminstratif dan teknikal. Pandangan ini juga at atu turut ttu uurru menjelaskan mengapa lawas diskursus seputar usaha kehutanan mengerucut ke dimensi meso. men me Merujuk pada kerangka pikir demikian, keberhasilan pelestarian hutan, karenanya sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah menghasilkan kare ka are peraturan kerja yang tepat dan kemampuan para pengelola hutan untuk dapat perraa pe mengerti dan melaksanakannya. Dalam pendekatan ini perdebatan mengenai men me upaya uppa pelestarian hutan selalu diseputar peraturan kerja yang tidak benar u akibat akiibb dari permasalahan penerapan keilmuan atau keabsahan data yang ak digunakan (Kartodihardjo, 1998). Dengan pandangan ini, ia melihat, bahwa digu di g
161
pembangunan kehutanan dilaksanakan secara monolitik, yang mana setiap aspek lain dari pembangunan yang berpengaruh terhadap kinerja pengusahaan hutan dianggap sebagai faktor eksogen. Selanjutnya, dalam kalkulasi Kartodihardjo, 1998) kerangka pemikiran sebagaimana digambarkan di atas mendorong upaya menjadikan pemerintah sebagai agen pembangunan yang kuat, dengan peralatan yang lengkap, sumber-daya manusia (human capital) yang terdidik dan terlatih, dan siap untuk menjalankan tugas agar seluruh peraturan kerja dapat dilaksanakan. Dengan kerangka pemikiran seperti ini, dapat dipahami kalau kegiatan pengamanan hutan dilakukan pemerintah dengan pendekatan seperti militer sebagaimana fenomena kehadiran Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC). Pandangan ini adalah gambaran lain dari adanya hegemoni atau dominasi pemerintah dalam penetapan kebijakan usaha kehutanan. Sehingga negara dikatakan sebagai “grand regulators” dimana pemanfaatan dan konservasi hutan dilaksanakan melalui pengorganisasian mekanisme internal di dalam tubuh organisasi pemerintah dengan menerbitkan peraturanperaturan yang banyak jumlahnya. Mekanisme pasar, harga, dan insentif dianggap Kartodihardjo (1998) dan Sfeir-Younis (1991) sebagai faktor eksogen. Hal disebut terakhir ini adalah jawaban, mengapa opportunity cost tidak masuk pertimbangan dalam proses konstruksi kebijakan. Dalam keyakinan Kartodihardjo (1998) kebijakan yang dibangun dengan landasan dan kerangka pemikiran demikian tidak memungkinkan mampu merubah perilaku para pemangku kepentingan, khususnya para pelaku usaha agar beperilaku menuju ke usaha kehutanan lestari. Hal ini dikuatkan temuannya bahwa (a) peraturan perundangan yang ada telah mereduksi kebijakan pengelolaan hutan menjadi sekedar pengaturan manajemen pengusahaan hutan, (b) keberadaan karakteristik dan konflik kepentingan aktor-aktor yang terlibat seperti pemegang HPH, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, pemerintah, sampai saat ini belum teratasi, (c) nilai opportunity cost dari modal yang digunakan dalam usaha kehutanan tidak diperhitungkan dalam penetapan besaran jatah tebangan tahunan, melainkan cukup didasarkan pada ukuran fisik yang tetap (fixed) yaitu asumsi riap kayu
1162 16 62
di hhutan, luas dan rotasi tebang, serta faktor eksploitasi dan faktor keamanan, sehingga perilaku pelaku usaha dalam pengambilan keputusan yang seh dipengaruhi oleh faktor moneter tidak diakomodasikan, (d) banyaknya jumlah dipe peraturan yang berisi tentang prosedur teknik dan adminis-trasi pelaksanaan pera pekerjaan telah menyebabkan peraturan perundangan usaha kehutanan hutan pek tak tak lebih sebagai penjabaran implementasi teknologi daripada implementasi ta institusi; (e) kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah untuk mendukung in nst s akurasi peraturan kerja; sementara pemerintah berkewajiban melaksanakan ak ku pengawasan agar pemegang HPH mematuhi peraturan; padahal kegiatan usaha peen p kehutanan, khususnya perlindungan hutan, menjadi sangat tergantung pada keh ke kemampuan pengawasan yang dilakukan pemerintah, dan kenyataannya ke m kem ke kemampuan pemerintah untuk melaksanakan pengawasan sangat terbatas. k em ke kem Terkait keyakinannya itu, Kartodihardjo (1998) menunjukkan capaian kinerja kine usaha kehutanan yang rendah dicirikan dari prosentase capaian kinerja ki dan dan banyaknya peringatan yang diberikan Departemen Kehutanan saat itu, da sebagaimana digambarkan tabel berikut ini. seeb Tabel Tab 28. Kinerja HPH dan Jumlah HPH yang diberi peringatan Tahun 19 1989/1990 1990/1991 19 1991/1992 19 1992/1993 19 1993/1994 19 9 1994/1995 119 9 11995/1996 9
Baik 4,2 20,7 18,5 19,2 4,0 10,55 21,35
Kinerja (%) Sedang 39,5 56,0 57,8 61,6 61,9 71,11 69,19
Kurang 56,3 23,3 23,7 19,2 34,1 18,34 9,46
Peringatan (unit HPH) I II III 307 53 10 409 160 21 416 168 32 424 174 38 475 220 65 30 24 12 140 86 33
Sumber: Sum Kartodihardjo (1998) – dimodifikasi
3.. Teks lepas dari interaksi sosial – Renstra Dephut 3 Dengan mempelajari Dokumen Rencana Strategis (RENSTRA) Direktorat Den De Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPK, kini BUK) Departemen Kehutanan Jen Je 31 2005-2009 20 2 00 , diperoleh pula gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan
31
Penelitian Pe enelliitti terpisah pada 2010, dimana penulis turut terlibat langsung dalam keseluruhan kegiatan penelitian Haassil i n telah dituangkan dalam jurnal pada Pusat Litbang Kebijakan Kehutanan dan Perubahan Iklim, ini. Hasilnya Badaan Litbang Lit Badan Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
163
dalam periode ini. Dalam RENSTRA dicakup informasi, antara lain terkait kondisi yang diharapkan, permasalahan, serta kinerja kelembagaan lingkup bina produksi kehutanan. Hasil evaluasi internal Ditjen BUK dan UPTnya didaerah memperlihatkan bahwa nilai rata-rata kinerja capaian program lingkup BPK sebesar 7,46 dalam skala 0-9 dimana 0 adalah tidak berhasil dan 9 berhasil. Capaian kinerja untuk keseluruhan PRO program lingkup Ditjen BPK sebagaimana disajikan dalam Gambar 20.
Nilai Capaian Program
Program
Pro Env Pro Poor Pro Job Pro Growth -
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
Skor
Gambar 20. Nilai Capaian Kinerja dirinci menurut Pro Program Capaian hasil tersebut di atas tidak terlepas dengan persoalan kinerja RENSTRA sebagai produk kebijakan. Seberapa jauh capaian kinerja produk kebijakan ini ditunjukkan oleh hasil evaluasi eksternal yang fokus pada masalah kehutanan yang terjadi dalam kurun renstra, khususnya 2006-2008, dan 2010. Masalah kehutanan 2006-2008 mencakup berbagai peraturan perundangan terkait isu kawasan hutan, perencanaan, silvikultur, produksi, peredaran hasil hutan, industri, pungutan dan iuran, serta pasokan. Analisis isi atas berbagai perundangan dalam kurun ini memperlihatkan sejumlah situasi masalah dalam hal implementasinya di lapangan. Implementasi ini terindikasi masalah hukum dan inefisiensi serta ekonomi biaya tinggi. Sintesa atas situasi masalah itu menunjukkan bahwa: (1) Pola pikir hutan alam digunakan dalam mengatur hutan tanaman ditunjukkan antara lain banyaknya persyaratan hutan alam diterapkan pada hutan tanaman. Misalnya pemberian tanda pada tunggak di hutan alam harus diterapkan juga pada hutan tanaman yang secara teknis harus bebas tunggak agar dapat ditanami kembali; (2) Pola pikir hutan di Jawa
1164 16 64
diterapkan untuk mengatur hutan di Luar Jawa, padahal alas titel pemilikan dite lahan laha di luar Jawa berbeda dengan alas titel pemilikan lahan di Jawa. Akibatnya, hutan rakyat di luar Jawa tidak dapat diakui sebagai hutan rakyat; Aki (3) Ketiadaan visi, sehingga sifat aturan menjadi reaktif dan tidak antisipatif. Misalnya kewajiban melampirkan bukti tanda terima laporan realisasi Mis produksi sebagai syarat pengesahan RKT sebagai respon terhadap prro p ketidaksiapan pejabat menjawab pertanyaan mengenai jumlah produksi yang keeti k t diajukan oleh pihak lain; (4) Kedudukan suatu prosedur sering tidak tegas – diaj di a contoh adalah RKT. Di satu sisi RKT dikatakan bukan sebagai ijin, tetapi di co on sisi siissii yang lain RKT perlu disahkan oleh pejabat; tanpa RKT sah, pekerjaan di lapangan tidak dapat dilaksanakan tanpa menghadapi konsekuensi yang berat. laapa p Masalah lain, konflik dengan peraturan lainnya terutama peraturan yang lebih leebi tinggi, kesulitan mengimplementasikan, sehingga menimbulkan biaya, menimbulkan keterlambatan, hingga kemungkinan tersangkut masalah hukum. meen m Implementasi peraturan karenanya berjalan sering dengan manipulasi. Im mp Akibatnya, birokrasi pemerintah menjadi kurang nyaman dan aman dalam Aki Ak bekerja; sebaliknya dunia usaha merasakan hambatan dan akhirnya inefisiensi bek be yang yan luar biasa. Sementara itu, keterkaitan antara peraturan dengan pengelolaan hutan lestari yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pen rakyat raky menjadi kurang terperhatikan. Dari evaluasi masalah selama kurun 2010, diperoleh beberapa pokok temuan, antara lain bahwa empat syarat keberlanjutan, yakni keuntungan dan tem distribusinya, kepastian areal dan usaha, serta penegakan hukum: (a) belum dist di dist st mendukung usaha kehutanan, (b) kebijakan pengusahaan hutan cenderung men me membebani dan tidak menyelesaikan masalah, (c) HPH/IUPHHK berkinerja meem m buruk dan kurang modal, (d) proses pengawasan lebih pada aspek buuru b r pelaksanaan, bukan outcome-based, (e) urusan pelayanan publik relatif tidak peela p berubah, dan (f) situasi governance belum mendukung. beeru b r Selama periode renstra 2005-2009 ada berbagai kebijakan yang diturunkan menjadi sejumlah peraturan baru maupun revisi peraturan lama dalam lingkup meenn program Ditjen BPK. Berbagai peraturan ini diharapkan lembaga ini dapat prro p menjadi jalan keluar atas masalah-masalah pokok dalam pelaksanaan usaha meen m
165
kehutanan. Hasil analisis isi atas berbagai peraturan ini memperlihatkan beberapa memenuhi harapan tersebut dan beberapa yang lain belum memberikan sesuai yang diharapkan. Dengan pendekatan Birkland (2001) khususnya terkait syarat kebijakan dan implementasinya (Tabel 4), sintesa atas hasil analisis ini sampai pada pengetahuan tentang faktor penentu efektivitas pelaksanaan peraturan usaha kehutanan, antara lain: (a) Kejelasan tujuan adanya suatu peraturan – seperti mencapai sesuatu kondisi atau target tertentu, misalnya pengelolaan hutan lestari; membuka kesempatan usaha baru; memenuhi syarat administrasi, misalnya adanya mandat peraturan yang lebih tinggi; (b) Sikap dan perilaku siapa yang diharapkan berubah agar tujuan kebijakan dapat dicapai. Hal ini penting dalam penyelesaian masalah. Secara umum hal ini ditentukan oleh pertimbangan manfaat dan korbanan, informasi tentang peraturan dan interpretasi atas peraturan tersebut, serta pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, (c) Memahami sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu. Misalnya apabila banyak usaha kehutanan melanggar peraturan (Y), apa penyebabnya (X). Bagaimana dapat dipastikan bahwa apabila X dihilangkan atau diminimumkan, maka Y akan berkurang. Apa asumsi dan syarat-syarat agar perlakuan terhadap X menentukan perubahan terhadap Y; (d) apa instrumen kebijakan yang akan dipilih dan diterapkan agar peraturan layak dijalankan: ukuran kinerja, prosedur, standar, jangka waktu ijin, tarif, hak dan kewajiban, insentif, denda, pengembangan kapasitas dan lain-lain.; (e) Siapa dan bagaimana program dan kegiatan untuk memecahkan masalah-masalah yang menentukan dapat tidaknya peraturan dijalankan, termasuk kesiapan prasyarat berjalannya peraturan, baik berupa bahan-bahan maupun kegiatan atau pelayanan unit kerja atau lembaga tertentu.
Berdasarkan faktor-faktor penentu itu, dapat ditunjukkan bahwa (a) dari sisi faktor eksternal untuk mencapai kinerjanya, Ditjen BPK memiliki ketergantungan atas capaian kinerja unit kerja lain di dalam lingkup Departemen Kehutanan selain Ditjen BPK dan capaian kinerja unit kerja atau lembaga lain di luar Departemen Kehutanan. Ketergantungan ini merupakan titik kritis pelaksanaan dan pencapaian kinerja kebijakan usaha kehutanan.
1166 16 66
Selain Sela itu (b) proses pembuatan peraturan, termasuk proses pembuatan teksnya masih lemah dalam menentukan hubungan antara tujuan peraturan, teks masalah dan solusi, meskipun semua peraturan yang ada telah sejalan dengan mas koridor hukum yang ada. Ini dimungkinkan antara lain karena belum kor terbukanya proses pembuatan peraturan. Keterbukaan tersebut penting terb dilakukan mengingat isi peraturan seringkali diubah hanya karena kurangnya diila d la pemahaman mengenai kondisi di lapangan maupun persoalan administrasi, peem p akibat pembahasan yang kurang komprehensif. Lalu (c) monitoring dan akkib i evaluasi – dalam pelaksanaan program dan kegiatan setiap bidang (Sub evva Direktorat Jenderal) belum diikuti oleh ukuran kinerja, monitoring maupun Diir D Dir pengendalian secara tepat, efisien dan efektif, termasuk bagi pelaksana pen pe en kebijakan (misal Dinas Kehutanan, UPT) maupun pelaku usaha kehutanan keb ke keb (misal (m mi swasta, koperasi); dan (d) interaksi sosial - pelaksanaan kebijakan yang tertuang di dalam peraturan juga sangat tergantung pada informasi dan teerrtt interpretasi peraturan tersebut oleh pelaksana kebijakan dan pelaku usaha in nttee kehutanan serta interaksinya. keh ke
Khusus terkait interaksi sosial disebut terakhir di atas, hasil evaluasi eksternal sampai pada peniliaian bahwa teks kebijakan usaha kehutanan masih eks lepas lepa dari interaksi sosialnya. Hal ini diperkuat oleh hasil evaluasi internalnya sendiri yang menunjukkan (a) lebih berfokus pada lingkup tertentu seputar sen aspek administratif yang cenderung membatasi substansi program dan asp kegiatan; sehingga kinerja program cenderung tidak ada kaitan dengan keg ke outcome yang diharapkan pihak lain; (b) substansi program lebih didasarkan outc ou t pada paad masalah yang dirumuskan pembuat kebijakan (Ditjen BPK) yang p umumnya terkait masalah-masalah administrasi dan konsistensi hukum dan umu um bukan masalah-masalah yang dihadapi pelaksana kebijakan (misal Dinas, buk bu UPT) UP U PT maupun pelaku usaha kehutanan (misal swasta, koperasi); dan (c) kuatnya orientasi pada kepentingan administratif telah mempersempit kuua k hubungan antara pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan pelaku usaha huuubb h kehutanan, terutama dalam penetapan instrumen agar suatu peraturan dapat keeh k eh secara sseeca efektif dijalankan.
167
4. Perubahan orientasi tidak nyata Dengan menggunakan pendekatan struktur-perilaku-kinerja, Ismanto (2010) antara lain menelaah perubahan insitusi pengelolaan hutan alam, terutama usaha kehutanan. Struktur yang diamati adalah adalah sejumlah aturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dalam dalam kurun 10 tahun, 19972007. Perubahan UU 5/67 tentang Pokok-pokok Kehutanan menjadi
UU
41/99 tentang Kehutanan menjadi titik berangkat penelitiannya. Dalam tafsirnya, perubahan di tingkat UU ini merupakan wujud perubahan institusi, termasuk re-orientasi pengelolaan hutan alam produksi. Namun perubahan ini dianggap tidak berhasil memperbaiki situasi, seperti kontribusi sektor kehutanan atas PDRB yang terus menurun sejak 1993 dan laju deforestasi yang positif terus meningkat. Ismanto (2010) memberikan gambaran hasil penelitiannya, antara lain bahwa visi perubahan di tingkat UU, khususnya dalam hal orientasi – dari hasil kayu ke multi hasil – belum terlaksana dan bahkan cenderung tidak nyata. Ia menyayangkan karena hal itu terjadi justru ditengah-tengah gencarnya pemberian berbagai izin pemanfaatan hutan alam. Menurutnya, perubahan tidak nyata karena tidak ada aturan yang mengarahkan pada tindakan optimasi. Dalam keyakinan Ismanto (2010) UU merupakan entitas membangun organisasi dan domain kebijakan sebagai organisasi makro pada domain publik. Sementara di tingkat pengelolaan provinsi dan kabupaten disebut sebagai organisasi makro dan meso pada domain publik. Lalu, pengelolaan di tingkat unit merupakan organisasi mikro pada domain quasi publik. Dalam hirarki demikian, pemanfaat (authorized user) merupakan organisasi mikro pada domain privat. Dalam pengamatan Ismanto (2010) beragam tingkatan peraturan ini campur baur, sehingga struktur, hirarkhi dan kebijakan cenderung mengambangkan prakondisi penting dari usaha kehutanan, yakni kelengkapan regime kepemilikan dan status tegakan hutan alam sebagai asset. Dalam hal ini ia lalu merujuk pada logika pengurusan hutan menurut UU: mulai dengan penetapan status kepemilikan, fungsi pokok, unit pengelolaan-
1168 16 68
pemanfaatan serta perizinan. Dalam pengamatannya, pemerintah lepas dari pem dan tidak menggunakan logika ini. Ditunjukkan, bahwa peraturan yang lahir lebih lebi awal adalah seputar perijinan pemanfaatan. Ini menjadi rujukan bagi peraturan lain yang terbit kemudian. Hal ini menurutnya, mengabaikan pera kebutuhan pengaturan syarat perlu dan telah menimbulkan bias yang terus keb melebar, termasuk mengabaikan hutan hak, dan menyebabkan orientasi lebih mel me pada paad urusan mikro. p Selain logika diatas, disebutkan pula bahwa UU pun secara umum menyiapkan institusi yang efektif, dimana ketidak jelasan status kepemilikan meen m dan daan asset, misalnya, d
dapat diperjelas dengan aturan pelaksanaan. Namun
dalam dala telaahnya, aturan pelaksanaan ini secara keseluruhan membuat institusi da menjadi tidak efektif. Dicontohkan pula bahwa ketidak jelasan hak dan asset meen m menyebabkan batas antara pemilik, pengelola, penyewa dan pengguna tidak men me dapat dap dipisahkan, sehingga de facto di lapangan telah terjadi kekosongan da institusi pengelolaan hutan. in nst s Masih dari sisi pemerintah, Ismanto (2010) juga melihat bahwa pemerintah tidak cukup menguasai informasi, sehingga terjadi situasi ketidak ppeem seimbangan penguasaan informasi (asimetric information) dengan para pelaku seim usaha. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah mengalihkan tanggung jawab usa pengelolaan hutan kepada pemegang IUPHHK yang sebetulnya berstatus pen “hanya” sebagai pengguna dengan sejumlah kewajiban pengelolaan hutan. “ha Akhirnya disebutkan, bahwa pemerintah dengan demikian bertindak tidak saja Akh sebagai regulator dan wasit, tetapi sekaligus juga sebagai pemain. Dengan seb seb se status stat seperti itu, aturan-aturan lahir banyak menimbulkan konflik dan biaya st transaksi yang tinggi, illegal dan merugikan. Dalam situasi yang kompleks tran tr a seperti itu, pemerintah ternyata tidak cukup informasi untuk menjalankan sseep kewenangannya, sehingga kinerja pemerintah dalam penegakan aturan lemah. kew ke F. R Ringkasan Ri in Berbagai argumen pembuka pada teks kedua UU Kehutanan dan masingBeer B masing peraturan turunannya semakin memperjelas, bahwa kerangka pikir mas a yang yaan y
menjadi
landasan
dibalik
kebijakan
usaha
kehutanan
adalah
169
memosisikan hutan alam sebagai isu sentral. Artinya, hutan alam dipandang sebagai suatu ekosistem multimanfaat, sehingga pengusahaannya secara lestari harus dilaksanakan dengan dikerangka agar tetap menjaga keseimbangan sistem alami hutan alam itu. Dengan begitu, ruang kebijakan (policy space) bagi usaha kehutanan lestari pun berada sebatas pada lingkup internal hutan alam itu (bio-centris). Latar aliran pemikiran seperti telah ini mendorong pemanfaatan dan usaha kehutanan lestari memerlukan banyak jenis peraturan kerja yang sangat teknikal karena alasan perbedaan kondisi dari satu ekosistem hutan ke ekosistem lainnya; selain juga karena relatif banyaknya jenis kegiatan yang harus dilakukan oleh para pelaku usaha. Namun dalam pelaksanaan, aturannya itu sendiri diposisikan seragam one size fit all. Dengan kerangka berpikir seperti di atas dapat dipahami mengapa pemerintah begitu sering membuat (termasuk merubah, menyempurnakan) banyak aturan dan berbagai aturan itu kebanyakan lebih di tataran administratif dan teknikal sebagaimana berkembang dalam diskursus di atas. Hal ini tampak misalnya pada bagaimana kelestarian dimaknai dan diposisikan. Lalu, dapat dipahami pula mengapa lawas diskursus seputar usaha kehutanan mengerucut kepada dimensi meso dalam pendekatan Alvesson-Karreman (2000). Keseluruhan argumen dalam kerangka pikir ini dapat juga diposisikan sebagai penjelas mengapa spirit eksploitatif atas hutan alam dari waktu ke watu dalam kurun lima dekade dengan empat periode penguasaan ini konsisten dan menguat.
Dari sisi proses tidak teridentifikasi dengan jelas wujud interaksi, terlebih interaksi yang berupa transaksi antar para pihak yang berkepentingan dalam menata aturan main usaha kehutanan. Siapa saja sesungguhnya pihak yang berinteraksi dan sekaligus bertransaksi tidak terindikasi secara tegas. Dari teks terdapat gambaran bahwa pihak atau aktor yang disebut dalam aturan main kegiatan usaha kehutanan terdiri dari pemerintah (pusat dan provinsi), pemegang hak, mayarakat pihak ketiga, dan masyarakat adat. Teks mengindikasikan begitu kuat, bahwa pemerintah tampak begitu dominan didalam menentukan aturan main, sehingga kesan sepihak dalam proses
1170 17 70
penentuan itu sulit dihindari. Relatif sulit pula untuk memastikan bagaimana pen gambaran proses interaksi dan transaksi para pihak dalam mengkonstruksi gam aturan atur main ini. Sampai disini, relatif sulit untuk dapat menjawab secara gamblang tiga pertanyaan yang diusung IDS (2006). gam Fenomena tidak teridentifikasinya proses interaksi dan transaksi di atas memperlihatkan situasi bahwa rumusan akhir kebijakan tidak berangkat dari mem me debat deeb para pihak. Pemerintah hanya melakukan dan mengakumulasi klaim, d tidak tiiddaa tampak adanya proses komunikasi dan kontestasi ide, beradu info, fakta dan dan idelologi – atau bahkan teori – antar para pihak pemangku kepentingan. da Tidak Tid tampak pula seberapa jauh ilmuwan (kehutanan) diberi peran dalam Tid Ti proses. Maka, macam kebenaran yang dominan dibalik narasi kebijakan ini pro pr ro baru baaru r sebatas kebenaran hukum, bunyi pasal-pasal, dan yang dipenuhi baru sebatas kebutuhan untuk membuat dan menjalankan aturan, belum menyentuh seeb kebutuhan dan masalah pihak lain (terutama para pemegang konsesi) dan keeb k eb kebutuhan dan masalah objektif usaha kehutanan di lapangan. k eb ke
Reflek para pihak pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam penelitian ini atas hutan alam, mencerminkan kerangka pikir yang kurang pen lebih lebi sama. Hampir keseluruhan dari mereka menempatkan hutan alam sebagai isu sentral dengan beragam alasan, termasuk yang senada dengan seb fenomena di atas. Lebih dari itu diskusrus yang berkembang memosisikan feno juga hutan alam produksi “layak” untuk terus diusahakan.
Reflek para pemangku kepentingan tersebut di atas menguat, bersamaan dengan kesadaran mereka juga bahwa hutan alam produksi saat ini telah rusak deen d den dengan beragam ilustrasi kualitatif. Bukan itu saja, hampir keseluruhan para deen d pihak piha juga menyadari bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi sejauh pi ini ini disadari tidak berhasil, hutannya tidak lestari. Para pihak juga mengakui in bahwa baah tidak ada perubahan kebijakan dalam dua kurun (sebelum dan sesudah b 1998) 199 kearah yang lebih baik. Mereka berpandangan, kebijakan kehutanan 19 dalam periode itu dinilai sama saja, tidak ada perubahan atau perbaikan daala d ala l berarti. beera b r
171
Para pemangku kepentingan pun memperlihatkan kerangka pikir yang unik. Di satu sisi hampir keseluruhan dari mereka menempatkan hutan alam sebagai isu sentral dengan beragam alasan dan karenanya memandang “layak” untuk terus diusahakan; disisi lain mereka mengakui juga tiga hal: hutan alam produksi Luar Jawa kondisinya sudah rusak parah, kinerja usaha kehutanan lestari tidak baik, hutan alamnya sendiri diakui tidak lagi lestari. Ini menjadi pengetahuan bagaimana diskursus lepas dari makna. Pengetahuan ini sekaligus menegaskan bahwa pengetahuan para pihak tidak hadir dalam tataran praktis, termasuk saat mengkonstruksikan kebijakan. Khusus dalam menilai kebijakan usaha kehutanan, para pemangku kepentingan melihat bahwa yang terpenting dari kebijakan adalah adanya proses diagnosa atas realitas objektif lapangan sebelum kebijakan dikonstruksi atau dieksekusi. Maka, kesenjangan antara teks aturan dimana kebijakan ditetapkan dan interaksi sosial bagaimana kebijakan itu di respon dan diimplementasikan, dapat dipersempit atau dihilangkan. Selain bahwa masih adanya kesenjangan antara teks aturan dengan interaksi sosialnya, kualitas kebijakan juga berkaitan dengan lepasnya makna dari diskursus, dan sejauh ini tidak mampu mendorong perubahan perilaku, termasuk perilaku para pihak menuju ke kelestarian. Corak keseluruhan diskursus, baik yang dibangkitkan dari teks perundangan maupun yang “berkontestasi “ dalam wawancara dalam polling, memperlihatkan beberapa situasi. Kentalnya relasi kuasa yang dilakukan komponen pemerintah untuk memproduksi pengetahuan yang mendominasi pemakanaan atas keseluruhan aspek usaha kehutanan, khususnya melalui pendekatan regulasi. Saat yang sama, komponen pemerintah memproduksi dan menetapkan regim kebenaran, yang dari ciri-cirinya kental berasosiasi dengan aliran the forest first. Aliran inilah yang oleh komponen pemerintah melalui proses dominasi dan hegemoni (dalam pendekatan Gramsci) digiring agar “khalayak” mengikutinya. Diskursus dengan corak ini sekaligus menjawab tiga pertanyaan kunci IDS (2006) terkait bagaimana diskursus telah berkembang – dan diproduksi, siapa sesunggunya aktor yang paling berpengaruh dalam konstruksi atau memproduksi kebijakan, dan bagaimana
1172 17 72
lintasan politik-ekonomi saat kebijakan diproduksi. Dengan demikian, lint diskursus usaha kehutanan di kalangan para pihak dan apapun corak aliran disk pemikiran disebaliknya adalah produk dari relasi kuasa dan sekaligus pem hegemoni kekuasaan yang terjadi selama ini. heg