36
BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN
A. Ihwal Lahirnya Suwawa Mengenang sejarah lahirnya Suwawa di bumi Gorontalo, dalam beberapa aspek juga sama halnya dengan menelusuri jejak lahirnya nenek moyang masyarakat Bolaang Mongondow (dan sekitarnya), Buol (dan sekitarnya) serta Gorontalo (dan sekitarnya). Yang paling menyolok dari hal itu dapat ditinjau dalam perspektif perkembangan sosio-kultural maupun sosio-geografis Suwawa. Bolaang Mongondow, Buol dan khususnya Gorontalo, secara geografis awalnya merupakan bentangan lautan luas yang bila dilihat dari selatan, yang nampak kala itu hanyalah tiga tonjolan gunung. Tiga gunung tersebut yakni Gunung Tilongkabila1, Gunung Gambuta dan Gunung Ali. Konon nama ketiga gunung tersebut merupakan nama orang pertama yang menapakkan kakinya di gunung tersebut. Gunung Tilongkabila berasal dari nama manusia pertama yang ada disana yaitu Tilonggibila yang berjenis kelamin perempuan. Sementara di Gunung Gambuta, terdapat seorang manusia pertama yang berjenis kelamin laki1
Pada salah satu bagian lereng Gunung Tilongkabila di ketinggian ± 700 m diatas permukaan laut, ditemukan garam laut dan batu karang. Hal ini memperkuat asumsi bahwa kala itu Gorontalo masih lautan luas, garam laut dan batu karang tersebut adalah batas luapan air laut waktu itu. Daitom H. Wantogia & Jusuf H. Wantogia, Sejarah Gorontalo: asal usul dan terbentuknya Kerajaan Suwawa, Limboto dan Gorontalo, Gorontalo: Toko Buku Mokotambibulawa, 1980, hlm. 3.
37
laki bernama Mooduliyo. Begitu juga dengan Gunung Ali yang merepresentasikan seorang lelaki pertama yang ada disana yang dikenal bernama Ali. Ketiga manusia tersebut menurut catatan sejarah purba Suwawa juga dikaitkan dengan kisah Nabi Nuh a.s. dan pengikutnya yang selamat dari bencana banjir bandang.
2
Alim S.
Niode sendiri menjelaskan bahwa oleh para ‘pelancong’ Sulawesi Selatan, ketiga tonjolan gunung tersebut dinamakan Gunung Tellu yang kemudian di plesetkan menjadi Gorontalo.3 Setelah beberapa abad lamanya, berdasarkan cerita turun temurun masyarakat Suwawa―yang kemudian ditulis oleh Raja Mooduto (1320-1427)4 pada tahun 1350, bahwa antara Mooduliyo dan Tilonggibila bertemu di suatu lembah dataran tinggi diantara ketiga gunung tadi. Lembah tersebut sangatlah luas dan terang, hingga akhirnya tempat tersebut diberi nama dataran tinggi Bangio (Bahasa Suwawa). Keduanya kemudian menikah dan melalui pernikahan inilah awal dimulainya populasi penduduk kala itu.5 Salah satu keturunan dari pernikahan Mooduliyo dan Tilonggibila yang terkenal adalah Putri Peedaa. Putri Peedaa dikenal arif dan bijaksana, dialah konon pencetus lahirnya dua kelompok masyarakat yang termasyur dikalangan adat Gorontalo. Dua kelompok masyarakat tersebut yakni Pidodotiya dan Witohiya 2 Dituturkan oleh Alim S. Niode melalui wawancara pada 19 Maret 2013. Lihat juga Daitom H. Wantogia & Jusuf H. Wantogia, Sejarah Gorontalo: asal usul dan terbentuknya Kerajaan Suwawa, Limboto dan Gorontalo, Gorontalo: Toko Buku Mokotambibulawa, 1980, hlm. 2. 3 Dituturkan oleh Alim S. Niode melalui wawancara pada 19 Maret 2013. Lihat juga Alim S. Niode, Gorontalo: perubahan nilai-nilai budaya dan pranata sosial, Jakarta: PT. Pustaka Indonesia Press, 2007, hlm 19-20; dan Alim S. Niode & Elnino, Abad Besar Gorontalo, Gorontalo: Presnas Publishing, 2003, hlm. 8. 4 Raja Mooduto (1320-1427) adalah raja ke-19 Suwawa. Daitom H. Wantogia & Jusuf H. Wantogia, Sejarah Gorontalo: asal usul dan terbentuknya Kerajaan Suwawa, Limboto dan Gorontalo, Gorontalo: Toko Buku Mokotambibulawa, 1980, hlm. 11; 16. 5 Ibid., hlm. 6.
38
yang dibentuk sekitar abad ke-4.6 Melalui musyawarah kedua kelompok ini, dibentuklah Kerajaan Tuwawa (selanjutnya Kerajaan Suwawa) dengan maha ratu pertamanya yakni Ayudugiya (500-579). Nama ‘Suwawa’ menurut beberapa sumber, berasal dari Bahasa Suwawa: Tuwawa atau Tuwawa’a (Bahasa Gorontalo: Tuwawu = satu) yang merupakan serapan dari kata Towawa’a yang artinya ‘satu tubuh’ atau ‘satu badan’. Makna dari kata Towawa’a tersebut hingga saat ini beragam namun memiliki keselarasan. Ada yang memaknainya sebagai suatu kesatuan sosial berdasarkan genealogi, teritorial, dan kultural masyarakat Suwawa. Artinya, masyarakat Suwawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang terintegrasi secara emosional berdasarkan faktor kekeluargaan, wilayah dan budaya. Ada juga yang memaknainya terbatas pada segi teritorial kontemporer, misalnya Abdul Karim Sidiki yang mengatakan bahwa ‘Tuwawa’ itu bermakna sebagai tempat menyatukan pendapat. Menurutnya, dahulu bila ada gerakan-gerakan adat di Gorontalo, harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan para pemuka adat di Suwawa. Bahkan tak hanya pada aspek adat saja, pada sebagian aktivitas keagamaanpun demikian halnya. Misalnya dalam menentukan hari pertama pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan.
6
Pidodotiya merupakan nama kelompok penduduk yang tinggal dan menetap di Bangio (komunitas Suwawa saat ini). Sedangkan kelompok Witohiya adalah kelompok yang melakukan pengembaraan. Clusterisasi ini dilakukan ketika mulai surutnya air laut yang ditandai dengan meluasnya daratan, selain itu populasi penduduk juga berkembang pesat. Akibatnya mulai bermunculan inisiatif penduduk untuk meninggalkan Bangio. Tujuan pembagian dua kelompok ini yaitu untuk menjaga originalitas keturunan. Oleh karena itu, antara kelompok Pidodotiya dan Witohiya memiliki perbedaan secara kultural. Dalam perkembangannya, kelompok Pidodotiya menjadi masyarakat Suwawa, sedangkan kelompok Witohiya berafiliasi menjadi masyarakat Limboto-Gorontalo dan beberapa wilayah yang menjadi jejak pengembaraan mereka. Ibid., hlm. 6-7.
39
Namun seiring dengan kemajuan perkembangan zaman, kebiasaan tersebut mulai luntur. 7 Dalam buku “Sejarah Kerajaan Suwawa” sendiri, kata Totowawa’a bermakna sebagai simbol persatuan antara bangsa Pidodotiya dan Witohiya. Walaupun menggunakan bahasa dan adat yang sedikit berbeda, namun kedua kelompok masyarakat ini adalah suatu kesatuan yang terwujud lewat sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lain.8 Dengan diangkatnya Maha Ratu Ayudugiya sebagai maha ratu pertama, hal ini menandakan awal dimulainya masa-masa kerajaan di Suwawa. Wilayah dan ibu kota kerajaannya pun ditetapkan berada di kawasan dataran tinggi Bangio―di sekitar wilayah Pinogu sekarang. Sebagaimana yang dikatakan Alex Koniyo bahwa “… dulu, letak Suwawa itu di atas dataran tinggi Pinogu, sedangkan ini laut semua, tanda-tandanya itu masih ada di gunung-gunung itu yang bekas-bekas karang laut”.9 Kerajaan Suwawa juga memiliki istana kerajaan seperti kerajaan-kerajaan pada umumnya di Indonesia, istana tersebut dikenal dengan sebutan Leda-leda (Yogyakarta: Keraton). Leda-leda merupakan tempat dilangsungkannya pemerintahan Kerajaan Suwawa khususnya sebagai tempat bersidangnya raja-raja Suwawa. Sayangnya, tidak semua raja Suwawa sempat meningkmati nuansa
7
Dituturkan oleh Abdul Karim Sidiki melalui wawancara pada 17 April 2013. Daitom H. Wantogia & Jusuf H. Wantogia, Sejarah Gorontalo: asal usul dan terbentuknya Kerajaan Suwawa, Limboto dan Gorontalo, Gorontalo: Toko Buku Mokotambibulawa, 1980, hlm. 7. 9 Dituturkan oleh Alex Koniyo melalui wawancara pada 27 Maret 2013. 8
40
pemerintahan kerajaan di Leda-leda.10 Dalam perkembangannya, Kerajaan Suwawa banyak mengalami pergantian raja. Adapun raja-raja Suwawa antara lain dapat dilihat pada Tabel 4.1. Raja Mooduto (1320-1427) yang merupakan raja ke-19 Kerajaan Suwawa adalah raja Suwawa terakhir yang bersidang di Leda-leda. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penyerangan Kerajaan Suwawa oleh Kerajaan Bolaang Mongondow yang diprakarsai oleh Pulumoduyon11. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1427 itu menelan banyak korban jiwa dari Kerajaan Suwawa serta menewaskan Raja Mooduto.12 Konon, peristiwa penyerangan itu diabadikan menjadi nama desa di Suwawa yakni Pinogu. Nama Pinogu merupakan serapan dari kata ‘Pinogumbala’ (Bahasa Suwawa) yang artinya ‘tempat perkelahian’.
10
Daitom H. Wantogia & Jusuf H. Wantogia, Sejarah Gorontalo: asal usul dan terbentuknya Kerajaan Suwawa, Limboto dan Gorontalo, Gorontalo: Toko Buku Mokotambibulawa, 1980, hlm. 9. 11 Pulumoduyon sebenarnya adalah kakak kandung dari Raja Mooduto. Setelah terpilihnya Mooduto sebagai raja Suwawa ke-19, Pulumoduyon merantau ke wilayah Kaidipang dan selanjutnya ke Bolaang Mongondow. Karena kesaktiannya, Pulumoduyon berhasil mempropagandakan Kerajaan Bolaaang Mongondow untuk menyerang Kerajaan Suwawa. Penyerangan Kerajaan Bolaang Mongondow ke Kerajaan Suwawa merupakan buntut dari kekecewaan Pulumoduyon karena tidak terpilih sebagai raja Suwawa yang ke-19. Ibid., hlm. 11. Lihat juga M. Lipoeto, Sedjarah Gorontalo: oedoeloewo looe limo lopohalaa, Jilid II, Gorontalo: Percetakan Rakjat, 1943, hlm. 3-33. 12 Ibid.
41
Tabel 4.1: Daftar Nama Raja-Raja di Tuwawa (Totowawa)13
NO
NAMA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
PiI DaA Ayu Duhiya I Igo + Tanda Ali Mokotambi Bulawa Dulanowulu Dulandimo I Mooluwadu Pombolohuludu I Ayuduhiya II Guruwalu Tanda Ali Maindua Bini Gunibala Ohito Tumati Mooduto Motelo Luwadu II Gintulangi Bowuwa II Bumulo Wolango (istilah Duluwo Limo Lo Pohalaa) Lakibulan Mogulaingo Puluhulawa Pulumoduyo II Syini Dulandimo II Bobihu Tilomo Bowuwa II Buba Ako Tolumo Baruadi Oadu Lahayi Oke Hiyola Abd Rauf Golopango (Hulopango) Iskandar Hasan Monoarfa Pulumuduyo II Humungo Arus Bone I (Wartabone) Rukhban (yang membuka jalan Gorontalo/ Suwawa)
13
MASA PEMERINTAHAN (TAHUN) Abad ke-6 Abad ke-7 Abad ke-8 1690 1700 -
Tabel ini dikutip dari denah “Tuwawu Duluwo Limo lo Pahalaa”. Lihat juga M. Lipoeto, Sedjarah Gorontalo: oedoeloewo looe limo lopohalaa, Jilid II, Gorontalo: Percetakan Rakjat, 1943, hlm. 48.
42
Lanjutan Tabel 4.1
NO 47 48
NAMA
MASA PEMERINTAHAN (TAHUN)
Arus Bone II (Wartabone) Tangahu
-
Pada masa Kerajaan Suwawa, pernah juga muncul beberapa sebutan kerajaan yakni Kerajaan Bone, Kerajaan Suwawa-Bone, Kerajaan Bone-Suwawa dan Kerajaan Bintauna-Suwawa. Kerajaan-kerajaan ini bila dilihat dari susunan raja-rajanya diduga merupakan suatu kesatuan yang terpisah secara sistemik dengan Kerajaan Suwawa (serikat kerajaan). Hal tersebut dapat dilihat dari adanya kesamaan beberapa nama raja yang pernah memerintah di kekarajaankerajaan tersebut seperti Kerajaan Suwawa, Kerajaan Bone, Kerajaan SuwawaBone dan Kerajaan Bone-Suwawa. Namun, kesulitannya adalah kurangnya keterangan mendetail mengenai perkembangan dan dinamika kerajaan-kerajaan tersebut, serta uraian mengenai relasi antara kerajaan-kerajaan tersebut dengan Kerajaan Suwawa. Dari beberapa kerajaan yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, salah satu yang berhasil dilacak informasinya―walaupun agak membingungkan― adalah kerajaan Bone-Suwawa. Kerajaan ini hadir ketika masa pemerintahan Raja Mooduto di Suwawa. Pada waktu itu, Raja Mooduto menikah dengan Puteri Rawe14 yang kemudian memberikan wilayah kekuasaan kepada isterinya tersebut. 14
Puteri Rawe merupakan puteri raja Luwu yang diperintahkan meninggalkan kerajaan. Dalam perantauannya, dia berlabuh di Sinandaha dekat dataran tinggi Bangio. Perkawinannya dengan Raja Mooduto menjadi awal asimilasi antara Suwawa dan Bugis. Daitom H. Wantogia & Jusuf H. Wantogia, Sejarah Gorontalo: asal usul dan terbentuknya Kerajaan Suwawa, Limboto dan Gorontalo, Gorontalo: Toko Buku Mokotambibulawa, 1980, hlm.21-23.
43
Wilayah kekuasaan itu dikukuhkan sebagai wilayah Kerajaan Bone pada tahun 1350 dengan raja pertamanya adalah Puteri Rawe sendiri. Pusat Kerajaan Bone sendiri terletak di suatu dataran tinggi Tinonggihia yang terletak di Desa Bonedaa sekarang.15. Mengenai raja-raja yang memerintah di Kerajaan Bone, Kerajaan Suwawa-Bone, Kerajaan Bone-Suwawa dan Kerajaan Bintauna-Suwawa dapat dilihat berturut-turut pada Tabel 4.2, Tabel 4.3, Tabel 4.4 dan Tabel 4.5 berikut ini.
15
Ibid., hlm.23.
44
Tabel 4.2: Daftar Nama Raja-Raja Bone16
NO
NAMA
KETERANGAN
1
Puteri Rawe
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Luwadu Ohito Maindoa Mooduto II Pulumoduyo I Bini BumbuluwoO Tilagunde Gulimbala Dagutanga Mooduto III Mooluwadu Ayuduhiya III Dulandimo Pongoliuw
17 18 19
Lagayi (Lahayi) Puteri Oke Giola (Hiola)
20
Zainudin Abd. Rauf
21
Golopango (Hulupango)
22 23
Iskandar Monoarfa Pulumoduyo II
24 25 26
Humungo Arus Bone (Wartabone) Rububani
27
Arus Bone (Wartabone)
28
Tanggango (Tangahu)
Keluarga Kerajaan Bone Selatan (Bangsa Bugis) karena pertentangan antar keluarga kerajaan, meninggalkan negeri bersama rakyatnya yang setia menuju Teluk Tomini melalui Boulemo sampai di Bayalomilate. Saudaranya laki-laki Sarigade (Sawerigading) menetap di Teluk Tomini hingga akhir hayatnya. Puteri Rawe diperisteri oleh Maharaja Wadipalapa (Ilahude) 1385/1387. Datang dari Bintauna, menjadi raja 3 kali berturut-turut. Pembawa agama Islam ke Bone. Turut mempersatukan Limboto-Gorontalo. Memperkuat Islam di Bone serta pernah dilantik menjadi Raja Limboto dengan gelar “Ta to Huhulihe Hulawa”. Bergelar “Ta Le’i Hutuba Dulahu”. Pernah melakukan kontak dengan VOC untuk penanaman kopi. Bergelar “Ta Le’i Tarawe Dulahu”, sebab malam itu Pegawai Serak (Syara’) tidak hadir karena hujan. Bergelar “Ta Yilo LoO loOpo”, karena beliau pernah menjadi Raja Limboto/ Gorontalo, menjadi Raja Bone atas permintaannya sendiri kepada rakyat. Bergelar “Ta Ilo Ponu lo Lipu”. Bergelar “Ta Pilobalango”. Hanya 7 bulan menjadi Raja Bone. Tahun 1849 M meniadakan pemasukan emas kepada VOC. Karena kurang senang, meminta berhenti (hanya menjabat selama 7 bulan). Tinggal dan wafat di Taludaa. Untuk kedua kalinya menjadi raja. Bergelar “Ta Yili Tihidi to Lipu”, beliau bergelar demikian sebab waktu wafatnya makamnya diwasiatkan (dibaringkan di bukit). Bergelar “Ta Yilo Tahangi”, beliau bergelar demikian karena beliau tidak menerima perubahan pemerintahan belanda tahun 1885 (menolak diberi gaji).
16
Dikutip dari denah “Tuwawu Duluwo Limo lo Pahalaa”. Lihat juga M. Lipoeto, Sedjarah Gorontalo: oedoeloewo looe limo lopohalaa, Jilid II, Gorontalo: Percetakan Rakjat, 1943, hlm. 49-51.
45
Tabel 4.3: Daftar Nama Raja-Raja Suwawa-Bone17
NO
NAMA
KETERANGAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ayudugia I Igo Mokotambibulawa Dulanowulu Dulanimo Mooluwadu Ponimbuludu Ayudugia II Guru Walu Tanda Ali
11 12
Mooduto I Wolango
13 14
Lakibulan Mogolaingo
15
Pulumuduyo II
Satu-satunya bangsa Kurdi dari Persia yang beragama Islam masuk. Kerajaan Suwawa pada abad ke-7 Raja Gorontalo yang menjadi Raja Suwawa dengan gelar “Ta to Intani”. Orang Ternate yang terakhir dilantik di Ternate. Begelar “Ta to Ambalo Wuta”. Beliau wafat ketika musim wabah cacar. Bergelar “Ta Ilo Ponu lo Lipu” (dicintai/ mencintai negeri).
Tabel 4.4: Daftar Nama Raja-Raja Bone-Suwawa18
NO
NAMA
KETERANGAN
1
Gintulangi
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bowuwa Tua Syini (Bini) Dulandimo Bobigi (Bobihu) Tilome Bowuwa Muda Bubake (Buba Ake) Puteri Tolumo Pulubulawa (Puluhulawa) Bombole (Bumulo) Bombuluwu Baruadi
Yang mengubah Suwawa-Bone menjadi BoneSuwawa. Bergelar “Ta Pilo Ambuwa” -
17
Dikutip dari denah “Tuwawu Duluwo Limo lo Pahalaa”. Dikutip dari denah “Tuwawu Duluwo Limo lo Pahalaa”. Lihat juga M. Lipoeto, Sedjarah Gorontalo: oedoeloewo looe limo lopohalaa, Jilid II, Gorontalo: Percetakan Rakjat, 1943, hlm. 51. 18
46
Tabel 4.5: Daftar Nama Raja-Raja Bintauna-Suwawa19
NO
NAMA
KETERANGAN
1 2 3 4
Syendono Buwai (Baruadi) TaluE Tua TaluE Muda
5 6
Talumoda Duwawulu (Datuk Raja Bintauna M. Datunsolang)
Bergelar “Ta Lo Tolo Ibadati” (Yang Tekun Beribadah). -
Baik Tabel 4.1, Tabel 4.2, Tabel 4.3, Tabel 4.4 dan Tabel 4.5 urutan nomor tidak sepenuhnya merupakan susunan yang sistematik mengenai raja-raja yang memerintah. Begitu juga dengan masa pemerintahan dan uraian keterangan mengenai setiap raja, yang dalam beberapa tulisan sejarah memiliki kisaran masa dan keterangan yang berbeda-beda. Sebelum peristiwa penyerangan Kerajaan Suwawa pada tahun 1427, seiring dengan meluasnya daratan, persebaran masyarakat Suwawa sudah berjalan secara masif. Sebagai kerajaan pertama kala itu, Kerajaan Suwawa memiliki wilayah yang sangat luas mulai dari utara, timur hingga selatan. Sementara di bagian barat Suwawa―wilayah Kota Gorontalo saat ini―pada waktu itu masih lautan dangkal (rawa). Bahkan secara gografis, Rusliyanto Monoarfa menjelaskan hal tersebut berdasarkan tekstur kemiringan tanah dari Suwawa ke Kota Gorontalo saat ini. Menurut Rusli, sistem kemiringan Suwawa-Kota Gorontalo itu setinggi 8 m.20 Berabad-abad kemudian, persebaran penduduk yang sifatnya kontinuitas ini secara spontan membentuk kerajaan-kerajaan disetiap wilayah yang mereka lalui. Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Kerajaan Bolaang Mongondow, Kerajaan 19 20
Ibid. Dituturkan oleh Rusliyanto Monoarfa melalui wawancara pada 16 April 2013.
47
Atinggola, Kerajaan Bintauna, Kerajaan Kaidipang, Kerajaan Buol, Kerajaan Limboto (1330) serta kerajaan-kerajaan kecil (Linula) yang akhirnya bermuara pada terbentuknya Kerajaan Gorontalo pada tahun 1385 dengan raja pertamanya Matanotingga21.22 Wilayah Suwawa yang awalnya luas, pasca mengalami pemekaran menjadi beberapa kerajaan, kemudian menyempit dengan wilayahnya yang meliputi Suwawa dan Bone Pantai. Berdasarkan elaborasi beberapa peristiwa yang dijelaskan sebelumnya, maka tidak pelak lagi jika asumsi sebelumnya yang menyatakan bahwa Suwawa adalah kerajaan pertama di Gorontalo sekaligus sebagai cikal-bakal masyarakat Gorontalo saat ini, sulit terbantahkan. Memang dalam beberapa catatan sejarah Gorontalo serta beberapa penuturan ‘pencerita’ sejarah Gorontalo disebutkan bahwa kerajaan pertama di Gorontalo adalah Kerajaan Wadda yang letaknya di pegunungan Boliyohuto―wilayah Kabupaten Gorontalo sekarang. Akan tetapi, secara epistemologi akademik hal tersebut sulit dibuktikan. Akibatnya, tidak ada pemaparan yang jelas dan sistematis mengenai evolusi dari Kerjaan Wadda ke Kerajaan Gorontalo. Bahkan Alim S. Niode lagi-lagi menyebut Kerajaan Wadda
21
Matanotingga merupakan keponakan dari Raja Suwawa ke-19 (Raja Mooduto). Matanotingga selama mejadi raja memiliki 8 gelar atau sebutan yakni Matolodula, Hintailimo, Linte, Patahuhe, Yilahudu, Wadipalapa, Latandri papa Tuwawa dan Rantau der papang. Hal inilah yang membuat kebanyakan orang kebingungan ketika menjawab pertanyaan tentang maha raja pertama Gorontalo. Setiap orang memiliki versi nama yang berbeda-beda, tetapi sesungguhnya nama-nama itu (hanya) mengarah pada satu orang―Matanotingga. Matanotingga terkenal sebagai maha raja persatuan Kerajaan Gorontalo yang pertama. Daitom H. Wantogia & Jusuf H. Wantogia, Sejarah Gorontalo: asal usul dan terbentuknya Kerajaan Suwawa, Limboto dan Gorontalo, Gorontalo: Toko Buku Mokotambibulawa, 1980, hlm.17-19. 22 Ekspedisi masyarakat Suwawa secara resmi pertama kali dimulai ketika masa pemerintahan raja ke II Suwawa yakni Maha Ratu Ige (579-662). Ekspedisi resmi besar-besaran kedua terjadi pada masa pemerintahan Raja Mokotambibulawa (662-750), raja ke-3 Suwawa. Kedua ekspedisi resmi tersebut juga menjadi evidensi dari adanya kemiripan antara Bahasa Suwawa (Bahasa Bune) dengan bahasa-bahasa daerah Bintauna, Bolaang Uki, Kaidipang, Bolaang Mongondow, Bolaang Itang bahkan Bahasa Bantik. Ibid., hlm. 10-20.
48
sebenarnya berasal dari kata Leda-leda yang diplesetkan oleh orang Sulawesi Selatan menjadi Wadda, mereka menyebutnya Badda. Celakanya, ini juga sempat ditulis di lontara sebagai Kerajaan Wadda.23 Catatan Daitom H. Wantogia dan Jusuf H. Wantogia (1980) juga menjelaskan bahwa secara geografis, wilayah pegunungan Boliyohuto kurang memenuhi syarat menjadi pemukiman. Pada bagian utara pegunungan tersebut sangatlah terjal sedangkan di bagian selatan justru bertebaran batu-batu besar yang bila dilihat dari kejauhan persis seperti pondok-pondok yang berjejeran. Belum lagi di Pegunungan Boliyohuto juga sangatlah sulit akan sumber air. Inilah yang membuat para pengembara periode ke-2―masa pemerintahan Raja Mokotambibulawa di Suwawa―tak mendiami pegunungan ini untuk waktu yang lama.24 B. Metamorfosis Suwawa dalam Perkembangan Kekinian Awal masuknya intervensi kolonialisme Belanda (VOC) secara resmi pada tahun 1677 di Gorontalo tidak secara langsung ‘mematikan’ sistem sosial model kerajaan pada tiap-tiap kerajaan yang ada di Gorontalo―khususnya Kerajaan Suwawa.25 Dengan konsep ‘politik adu domba’, Belanda tidak secara eksplisit menghapus kerajaan-kerajaan yang ada di Gorontalo. Belanda justru ‘memperalat’ sistem kerajaan yang ada untuk mendapat legitimasi dan pengaruh yang besar di 23
Dituturkan oleh Alim S. Niode melalui wawancara pada 19 Maret 2013. Daitom H. Wantogia & Jusuf H. Wantogia, Sejarah Gorontalo: asal usul dan terbentuknya Kerajaan Suwawa, Limboto dan Gorontalo, Gorontalo: Toko Buku Mokotambibulawa, 1980, hlm.13. 25 Selengkapnya dapat dilihat dalam Harto Juwono & Yosephin Hutagalung, Limo lo Pohalaa: sejarah Kerajaan Gorontalo, diprakarsai oleh H. Alex Sato Bya, Yogyakarta: Ombak, 2005. 24
49
Gorontalo. Berbagai macam agresi politik Belanda berhasil merasuk dan mempengaruhi sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan di Gorontalo. Pengaruh Belanda ke sistem pemerintahan kerajaan waktu itu tercermin salah satunya lewat pembentukan wilayah-wilayah afdeeling-onder afdeeling maupun distrik-onder distrik yang tentu dibawah kendali Belanda. Perangkat-perangkat kerajaan mulai dari raja hingga para olongia mulai berafiliasi secara sadar dan patuh terhadap desain pemerintahan ala Belanda―walaupun pada ‘lap terakhir’ terjadi pemberontakan. Bahkan pasca perjuangan 23 Januari 1942, warisan administratif pemerintahan seperti itu masih tetap diberlakukan. Di Suwawa, situasi yang ada tak jauh berbeda dengan wilayah-wilayah Gorontalo pada umumnya. Separuh regenerasi raja-raja Suwawa pernah menduduki jabatan-jabatan jogugu26 yang membawahi wilayah Distrik Suwawa. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa sumber, pada masa tersebut Distrik Suwawa meliputi Onder Distrik Kabila, Onder Distrik Tapa dan Onder Distrik Bone Pantai yang masing-masing dibawah tanggung jawab seorang marsaoleh. Namun menurut Jumadi Botutihe, sistem pemerintahan distrik-onder distrik di Suwawa kemudian beralih ke sistem pemerintahan kawedanan. Sistem pemerintahan Kawedanan operasionalnya sama halnya dengan sistem pemerin26 Klaim Istilah Jogugu berasal dari Ternate sebenarnya masih perlu diragukan. Pasalnya, istilah Jogugu sudah ada sejak masa Maha Ratu Ayudugiya. Pada waktu itu, Maha Ratu Ayudugiya membentuk semacam kabinet yang terdiri dari Gugu, WuU dan Talenga. Gugu merupakan akronim dari Guha-guha (Bahasa Suwawa) yang artinya orang tua, berwibawa dan bijaksana. Tugas para Gugu adalah menjalankan fungsi pemerintahan. Walaupun dengan sebutan yang sedikit berbeda dengan Jogugu, paling tidak manifestasi fungsinya dalam pemerintahan tak jauh berbeda. Lihat Harto Juwono & Yosephin Hutagalung, Limo lo Pohalaa: sejarah Kerajaan Gorontalo, diprakarsai oleh H. Alex Sato Bya, Yogyakarta: Ombak, 2005, hlm. xxii. Bandingkan dengan Daitom H. Wantogia & Jusuf H. Wantogia, Sejarah Gorontalo: asal usul dan terbentuknya Kerajaan Suwawa, Limboto dan Gorontalo, Gorontalo: Toko Buku Mokotambibulawa, 1980, hlm.7-8.
50
tahan distrik-onder distrik. Hanya saja, untuk sebutan jogugu, diubah menjadi wedono. Begitu juga dengan cakupan wilayah yang dulunya meliputi Suwawa, Kabila, Tapa dan Bone Pantai, pada sistem kawedanan hanya meliputi wilayah Suwawa dan Bone Pantai. Sitem pemerintahan yang menurut Moh. Kilat Wartabone berlaku mulai sekitar tahun 1930-an ini tetap menempatkan Suwawa sebagai pusat kawedanan yang dikepalai seorang wedono, sementara wilayah Bone Pantai tetap dikepalai oleh marsaoleh.27 Suwawa menjadi satu wilayah administratif kecamatan secara de facto dimulai sejak tahun 1960 dengan camat pertamanya yakni Aroman Wartabone. Akan tetapi, sejak tahun 2007 Kecamatan Suwawa mengalami pemekaran menjadi 4 wilayah.28 Bahkan akhir tahun kemarin (2012), Desa Pinogu yang sebelumnya merupakan wilayah Kecamatan Suwawa Timur, kini telah otonom sebagai satu kecamatan. Adapun nama-nama camat yang memerintah di wilayahwilayah Suwawa sebelum dan pasca pemekaran dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut ini.
27
Dituturkan melalui wawancara oleh Jumadi Botutihe pada 15 April 2013 dan Moh. Kilat Wartabone pada 29 April 2013. 28 Tahun 2007 ketika masa pemerintahan Ismet Mile dan Moh. Kilat Wartabone, Suwawa dimekarkan menjadi beberapa wilayah yakni Suwawa (induk), Suwawa Tengah, Suwawa Selatan dan Suwawa Timur. Pemekaran ini sebenarnya menciptakan pemaknaan endogen yang sifatnya paradoks dikalangan masyarakat Suwawa. Ada yang berpendapat bahwa pemekaran yang terjadi lebih berorientasi politik penguasa pemerintahan pada masa itu, ada juga yang menganggap bahwa pemekaran yang dilakukan merupakan manifestasi tindakan positif Pemerintah Kabupaten Bone Bolango dalam meningkatkan efisiensi pelayanan publik khususnya dalam hal pembangunan wilayah.
51
Tabel 4.6: Daftar Nama-Nama Camat yang Memerintah di Wilayah-Wilayah Suwawa Sebelum dan Pasca Pemekaran Tahun 200729 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1 1 1 2 3
NAMA
MASA PEMERINTAHAN (TAHUN)
Suwawa Aroman Wartabone Yasin Idango Cono, BA Sinaro Lahay Sartono Habi Sasen Otoluwa Halim Lasulika Sartono Habi Drs. M. Nasir Tome Drs. Garibaldi Lahay Rizal Jacob, BA Warson Tangahu, SE Musa Yasin Drs. Safri Puili Drs. Harmain Mansur Suwawa Selatan Maxmilian Ali, S.Pd Suwawa Timur Mikson Gubali, S.Pd Suwawa Tengah Moh. Weldy K. Iyou, S.Sos Hapna Pangulu, SM.Ek Vera Wartabone, SH., MH
1960 – 1971 1971 - 1973 1973 - 1974 1974 - 1976 1976 - 1977 1977 – 1981 1981 – 1996 1996 - 1999 1999 - 2003 2003 - 2004 2004 - 2005 2005 - 2006 2006 - 2011 2011 - Sekarang 2007 – Sekarang 2007 – Sekarang 2007 – 2008 2008 - 2010 2010 - Sekarang
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa pergantian camat di Kecamatan Suwawa telah terjadi sebanyak 14 kali pergantian sejak 1960 s.d sekarang; Kecamatan Suwawa Tengah sebanyak 3 kali pergantian sejak 2007 s.d sekarang; sementara Kecamatan Suwawa Selatan dan Suwawa Timur belum pernah mengalami pergantian camat sejak dimekarkan tahun 2007.
29
Data diolah dari Kecamatan Suwawa dalam Angka 2012, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 12; Kecamatan Suwawa Tengah dalam Angka 2012, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm 12; Kecamatan Suwawa Selatan dalam Angka 2012, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 12; dan Kecamatan Suwawa Timur dalam Angka 2012, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 15.
52
Secara geografis administratif berdasarkan pemekaran tahun 2007, Kecamatan Suwawa dengan luas wilayah 33,51 km² terletak pada garis lintang 0’30° LU, 1,00° LS, 121,00° BT dan 123,10° BB serta terdiri dari 10 desa30. Kecamatan Suwawa Selatan dengan letak garis lintang yang sama dengan Kecamatan Suwawa, memiliki luas wilayah 243,47 km² dengan pembagian administrasi pemerintahan sebanyak 8 desa31. Begitu juga dengan Kecamatan Suwawa Timur yang memiliki letak garis lintang yang sama dengan Kecamatan Suwawa. Akan tetapi dengan luas wilayah yang lebih luas (489,20 km²), Kecamatan Suwawa Timur memiliki jumlah desa terbanyak (14 desa32) dibanding Kecamatan Suwawa, Suwawa Selatan dan Suwawa Tengah. Sedangkan Kecamatan Suwawa Tengah dengan luas wilayah 64,70 km² memiliki komposisi jumlah desa yang paling sedikit dibanding Kecamatan Suwawa, Suwawa Selatan dan Suwawa Timur. Kecamatan Suwawa Tengah juga terletak pada garis lintang yang sama dengan Kecamatan Suwawa.33 Letak geografis yang sama antara Kecamatan Suwawa, Suwawa Selatan, Suwawa Timur dan Suwawa Tengah di-
30
Kesepuluh desa tersebut yakni Tingkohubu, Boludawa (ibu kota kecamatan), Bube, Huluduotamo, Bubeya, Bube Baru, Tinelo, Ulanta, Tingkohubu Timur dan Helumo. Kecamatan Suwawa dalam Angka 2012, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 11. 31 Kedelapan desa tersebut yakni Bulontala, Libungo, Molintogupo (ibu kota kecamatan), Bonedaa, Bondawuna, Bulontala Timur, Pancuran dan Bonda Raya. Kecamatan Suwawa Selatan dalam Angka 2012, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 11. 32 Keempat belas desa tersebut yakni Pinogu, Tulabolo, Dumbaya Bulan (ibu kota kecamatan), Tilangobula, Bangio, Tulabolo Timur, Pinogu Permai, Dataran Hijau, Tulabolo Barat, Poduoma, Panggulo, Tinemba, Pangi dan Tilonggibila. Kecamatan Suwawa Timur dalam Angka 2012, diter-bitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 13. 33 Lihat “Kecamatan Suwawa dalam Angka 2012”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 3; “Kecamatan Suwawa Tengah dalam Angka 2012”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm 3; “Kecamatan Suwawa Selatan dalam Angka 2012”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 3; dan “Kecamatan Suwawa Timur dalam Angka 2012”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 3.
53
sebabkan oleh letak keempat kecamatan tersebut yang saling berbatasan. Sehingga dapat ditempuh dengan akses jalan yang relatif searah pula. Mengenai batas administratif wilayah-wilayah Suwawa pasca pemekaran dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut ini. Sedangkan perkembangan jumlah dan kepadatan penduduk di empat kecamatan tersebut pada tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada tabel 4.8. Tabel 4.7: Batas Administratif Wilayah-Wilayah Suwawa Pasca Pemekaran Tahun 200734 NO
KECAMATAN
BATAS GEOGRAFIS Utara Timur
1
Suwawa
Selatan Barat Utara
2
Suwawa Selatan
Timur Selatan Barat Utara Timur
3
Suwawa Timur
Selatan Barat Utara Timur
4
Suwawa Tengah
Selatan Barat
34
Ibid., hlm. 4; 4; 4; dan 5.
: Berbatasan dengan Kecamatan Tapa : Berbatasan dengan Kecamatan Suwawa Tengah : Berbatasan dengan Kecamatan Suwawa Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Kabila dan Tilongkabila : Berbatasan dengan Kecamatan Suwawa Tengah : Berbatasan dengan Kecamatan Suwawa Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Bone Pantai : Berbatasan dengan Kecamatan Botupingge : Berbatasan dengan Kecamatan Atinggola : Berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Sulawesi Utara) : Berbatasan dengan Kecamatan Bone Pantai : Berbatasan dengan Kecamatan Suwawa Tengah : Berbatasan dengan Kecamatan Tapa : Berbatasan dengan Kecamatan Suwawa Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Suwawa Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Suwawa
54
Tabel 4.8: Perkembangan Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Suwawa, Kecamatan Suwawa Selatan, Kecamatan Suwawa Timur dan Kecamatan Suwawa Tengah Tahun 2010 dan 201135 No
KECAMATAN
1
Suwawa
2
Suwawa Selatan
3
Suwawa Timur
4
Suwawa Tengah
2010
JUMLAH PENDUDUK (orang) 10.688
KEPADATAN PENDUDUK (orang/ km²) 319
2011 2010
11.898 4.796
355 26
2011
5.158
28
TAHUN
2010
6.578
13
2011
7.184 5.716 6.151
15 88 95
2010 2011
Pada Tabel 4.8, Kecamatan Suwawa setiap tahunnya memiliki jumlah penduduk dan tingkat kepadatan penduduk yang paling banyak. Hal tersebut barangkali merupakan akibat dari situasi sosial sebelum Kecamatan Suwawa dimekarkan menjadi 4 kecamatan saat ini.36 Meski dengan jumlah penduduk terbanyak setiap tahunnya, dari segi pertumbuhan penduduk Kecamatan Suwawa memiliki laju pertumbuhan yang relatif sama dengan Kecamatan Suwawa Selatan, Suwawa Timur maupun Suwawa Tengah. Meskipun Suwawa telah dimekarkan menjadi beberapa kecamatan, namun secara inheren pemekaran yang ada tidak mempengaruhi konstruksi emosional masyarakat Suwawa, sama halnya dengan ikatan emosional masyarakat Suwawa dengan masyarakat di wilayah Kecamatan Bone Pantai dan sekitarnya.
35 Data diolah dari Bone Bolango dalam Angka 2011, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2011, hlm. 34; dan Kabupaten Bone Bolango dalam Angka 2012, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango dan Badan Perencanaan Pembangunan (BAPPEDA) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 43. 36 Ketika belum dimekarkan menjadi 4 kecamatan, Kecamatan Suwawa (saat ini) adalah pusat kecamatan waktu itu. Sehingga aktivitas masyarakat seperti ekonomi (bisnis) dan pemerintahan menjadi terkonsentrasi di Kecamatan Suwawa.
55
C. Sosial-Budaya Masyarakat Suwawa Perspektif sejarah Gorontalo utamanya dalam perkembangan masyarakatnya, tak mungkin lepas dari kehadiran Suwawa. Garis perjalanan sejarah antara Suwawa dan Gorontalo yang sulit untuk dipisahkan telah membentuk relasi yang erat antara keduanya, misalnya dalam hal adat istiadat. Antara Suwawa dan Gorontalo memilki adat yang sama, walaupun dalam beberapa aspek Suwawa mempunyai karakteristik yang lebih spesifik. Suwawa yang merupakan perintis keturunan Gorontalo, dalam asosiasi adat Gorontalo menempati posisi sebagai Tiyombu. Tiyombu yang dimaksud bukanlah mengarah pada kelompok orangorang ‘uzur’ tetapi lebih pada posisi adat bagi kelompok yang menjadi cikal bakal masyarakat dan sebagai sumber referensi adat Gorontalo. Seperti yang diungkapkan oleh Alim S. Niode, bahwa “… karena kehidupan pertama disana, lalu kemudian disebut dengan golongan Tiyombu. Jadi masyarakat Gorontalo itu menganalogikan masyarakat itu sebagai keluarga. Jadi dalam keluarga ada Tiyombu, ada Tiilo-Tiyamo, ada Wala’o. Nah, di Suwawa itulah yang disebut Tiyombu, asal usulnya orang Gorontalo”.37 Aspek kebahasaan adalah salah satu yang bisa dikatakan unik dalam genealogi Suwawa-Gorontalo. Walaupun Suwawa merupakan nenek moyang dari masyarakat Limboto-Gorontalo, namun secara sosio-linguistik tidak menjamin kesamaan penguasaan bahasa daerah antara keduanya. Masyarakat Suwawa menguasai dua bahasa daerah yakni Bahasa Gorontalo dan bahasa khas lokal yang sering disebut Bahasa Bune ataupun Bahasa Bonda, sedangkan masyarakat 37
Dituturkan oleh Alim S. Niode melalui wawancara pada 19 Maret 2013
56
Limboto-Gorontalo umumnya hanya menguasai satu bahasa daerah saja yakni Bahasa Gorontalo. Begitu juga dalam hal prosesi adat seperti perkawinan dan kematian, walaupun secara umum memiliki kesamaan karakteristik, tetapi dalam adat Suwawa ada beberapa bagian dari prosesi adat yang agak berbeda. Perbedaan instrinsik antara Suwawa dan Limboto-Gorontalo―khususnya pada aspek kebahasaan―merupakan implikasi dari strategi proimordial yang telah dirancang sebelumnya oleh para leluhur orang Gorontalo―masyarakat Suwawa kuno. Ketika daratan mulai meluas, muncul kekhawatiran masyarakat yang ada di Bangio tentang gejolak persebaran penduduk yang bisa berakibat pada lunturnya kemurnian identitas lokal. Dibentuklah 2 kelompok masyarakat, yakni kelompok Pidodotiya bagi mereka yang menetap dan mereka yang melang-lang buana disematkan status sebagai kelompok Witohiya. Kelompok Witohiya kemudian dianugerahi bahasa tersendiri yakni Bahasa Motomboto atau yang saat ini kita kenal dengan Bahasa Gorontalo sedangkan kelompok Pidodotiya menggunakan bahasa asli setempat yakni Bahasa Bune yang saat ini dikenal dengan Bahasa Suwawa.38 Pembagian kelompok masyarakat tersebut kemudian mengarah pada pelaksanaan adat yang sedikit berbeda pula. Yang terpenting juga bahwa status Pidodotiya dan Witohiya bukanlah merupakan bentuk stratifikasi masyarakat Gorontalo.
38
Daitom H. Wantogia & Jusuf H. Wantogia, Sejarah Gorontalo: asal usul dan terbentuknya Kerajaan Suwawa, Limboto dan Gorontalo, Gorontalo: Toko Buku Mokotambibulawa, 1980, hlm. 6-7.
57
Mengenai aspek kebahasaan, menurut Abd. Karim H. Tajabu Bahasa Bune atau Bahasa Suwawa memiliki aksara tersendiri. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1 berikut ini.
Gambar 4.1: Aksara Suwawa Visi utama menjaga keaslian identitas lokal Suwawa melalui pembagian 2 kelompok masyarakat tersebut, hingga kini masih dapat dirasakan iklim sosialnya. Mulai dari wilayah Kecamatan Suwawa hingga Kecamatan Pinogu memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat erat. Homogenitas ini lestari lewat ‘fatwa’ pernikahan bagi masyarakat Suwawa. Renald Komendangi menyebutkan bahwa ‘menikah’ bagi masyarakat Suwawa bukan merupakan hal yang sembarangan. Masyarakat Suwawa hanya dapat menikah dengan ‘mereka’ yang juga merupakan
58
masyarakat lokal asli Suwawa.39 Tidak jarang, dalam mengidentifikasi apakah seseorang merupakan ‘orang Suwawa’ atau tidak, dapat dilakukan melalui penelusuran terhadap marga (asal-usul keluarga) dan penguasaan Bahasa Suwawa. mengenai ikatan jaringan keluarga masyarakat Suwawa, baiknya dapat dilihat pada penggalan stamboom pada Gambar 4.2 berikut ini. Olongia Matanotingga (1385)
Raja Walangadi
Raja Tilahunga
Raja Oadu
Raja Wolango
Raja Puluhulawa
Keterangan: 1. 2. 3.
4. 5.
6.
: Keturunan beberapa generasi. Pada Generasi selanjutnya, Raja Walangadi kemudian menurunkan antara lain Botutihe, Yilowale, Arbabu, Kai, Hala, Lihawa, Mia, Manila, dst. Pada Generasi selanjutnya, Raja Tilahunga kemudian menurunkan antara lain Timboku, Bui, Papu, Taupa, Halima, Tilondu, Gayamo, Tamani, Hudamani, Kamaru, Hamunta, Imbalo, Mantulangi, Kuti, Lupu, Dukaya, Uliani, Tangahu, Eko, Anggata, Laita, Pogu, dst. Pada Generasi selanjutnya, Raja Oadu kemudian menurunkan antara lain Abd. Rauf, Pulumoduyo, Wartabone, Pouweni, Telebiu, Juliha, Jamia, Kakia, dst. Pada Generasi selanjutnya, Raja Wolango kemudian menurunkan antara lain Musa, Kakatua, Kalima, Ini, Pangenia, Mohangga, Haimuna, Kabia, Himuwa Luwe, Deila, Laidimo, Mokua, dst. Pada Generasi selanjutnya, Raja Puluhulawa kemudian menurunkan antara lain Kadungo, Lakana, Haluni, Detuage, Rahmani, dst.
Gambar 4.2: Silsilah Keluarga Suwawa40 Nama-nama yang tercantum pada Gambar 4.2 memiliki ikatan keluarga yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh pernikahan yang bersifat homogen. Sayangnya, saat ini ketentuan substansi pernikahan yang demikian, oleh kebanyakan orang dianggap sudah mulai luntur bahkan 39
Dituturkan oleh Renald Komendangi melalui wawancara pada 1 April 2013 Gambar ini dikutip dari stamboom silsilah keluarga Suwawa yang secara struktural terdiri dari 6 generasi yang mencakup ± ribuan nama keturunan. Uraian generasi yang di sebutkan diatas hanyalah meliputi kelompok “Pra Generasi” dan “Generasi A”. Stamboom, “Silsilah Keluarga Suwawa”. 40
59
nyaris sudah tidak menjadi pegangan. ‘Pernikahan’ yang merupakan ‘benteng pertahanan’ terakhir Pidodotiya, saat ini sudah mulai didobrak oleh arus modernisasi yang kian deras. Sehingga Suwawa saat ini mulai mengalami erosi identitas akibat pembauran yang semakin meningkat setiap tahunnya (lihat Tabel 4.9). Tabel 4.9: Perkembangan Jumlah Migrasi Penduduk di Kecamatan Suwawa, Kecamatan Suwawa Selatan, Kecamatan Suwawa Timur dan Kecamatan Suwawa Tengah tahun 2010 dan 201141 NO
KECAMATAN
1
Suwawa
2
Suwawa Selatan
3
Suwawa Timur
4
Suwawa Tengah
TAHUN 2010
JUMLAH MIGRASI PENDUDUK DATANG PINDAH 62 39
2011
90
39
2010
22
37
2011
105
37
2010
13
8
2011
13
15
2010
22
12
2011
117
64
Homogenitas masyarakat Suwawa membuat upaya pemetaan strata sosial sangatlah sulit. Nyaris tidak ada yang disebut bangsawan ataupun rakyat biasa. Semuanya telah melalui proses budaya kawin-mawin yang sifatnya primordial dan berlangsung dalam waktu yang panjang hingga membentuk link yang terkait erat. Apalagi bila melihat raja-raja Suwawa yang dipilih bukan berdasarkan keten41 Data diolah dari Suwawa dalam Angka 2011, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2011, hlm. 20; Kecamatan Suwawa dalam Angka 2012, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 25; Suwawa Selatan dalam Angka 2011, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2011, hlm. 21; Kecamatan Suwawa Selatan dalam Angka 2012, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 23; Suwawa Timur dalam Angka 2011, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2011, hlm. 20; Kecamatan Suwawa Timur dalam Angka 2012, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 31; Suwawa Tengah dalam Angka 2011, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2011, hlm 20; dan Kecamatan Suwawa Tengah dalam Angka 2012, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm 23.
60
tuan keturunan raja sebelumnya. Moh. Kilat Wartabone menjelaskan bahwa “…. Harus diketahui bahwa orang Suwawa itu turunan raja semua, sampai sekarang sebetulnya begitu. Mengapa dia jadi turunan raja semua? Karena semua marga ini memerintah, semua terpilih, pernah terpilih jadi raja”.42 Begitu juga dengan proses perkawinan yang tidak harus dengan pertimbangan status sosial. Sehingga klaim adanya kelompok-kelompok bangsawan di Suwawa menjadi paradoks bila mengingat hubungan kekeluargaan masayarakat Suwawa yang sangat erat dengan tidak membeda-bedakan status. Akan tetapi, karena masyarakat Suwawa memilki rasa hormat yang besar terhadap mereka yang memilki peran sosial strategis―formal maupun non formal, maka timbul anggapan adanya strata sosial di internal masyarakat Suwawa. Peranperan strategis tersebut biasanya melalui keterlibatan seseorang dalam konfederasi Buwatulo Towu Loongo (Indonesia: tiga utas tali; Suwawa: Buawatulo Tolo Nobunga) yang meliputi Buwatulo Birokrasi, Buwatulo Adati dan Buwatulo Syara’. Ketiga unsur penggerak masyarakat tersebut sering mendapat tempat dan perlakuan khusus yang dimotori oleh adat. Dalam kegiatan hajatan misalnya, terdapat tempat duduk khusus yang disebut Bulita bagi orang-orang yang berkecimpung dalam Buwatulo Towu Loongo. Rasa hormat masyarakat Suwawa terhadap setiap pemimpin ataupun mereka yang tergabung dalam Buwatulo Towu Loongo menjadi ‘kronis’ ketika masuknya Belanda. Upaya Belanda dalam memecah-mecah kesatuan sosial lewat pemberian jabatan-jabatan formal pada kalangan tertentu telah memberi ‘margin’ 42
Dituturkan oleh Moh. Kilat Wartabone melalui wawancara pada 29 April 2013
61
yang sangat besar antara mereka yang memiliki jabatan dan mereka yang tidak memiliki jabatan. Apalagi Belanda memberi prestise ekonomi yang lebih tinggi kepada mereka yang menduduki jabatan pemerintahan dalam birokrasi Belanda. Perlahan peristiwa tersebut mulai membentuk lapisan masyarakat berdsarkan pertimbangan ekonomi dan kedudukan. Kulminasinya kemudian adalah timbulnya sifat kesadaran akan kedudukan dalam interaksi sosial masyarakat. Menurut Abdul Karim Sidiki, stratifikasi sosial masyarakat Suwawa lahir secara spontan dalam hati masing-masing orang, mereka seakan-akan sudah menyadari posisi mereka dalam masyarakat.43 Dinamika sejarah Suwawa yang panjang tak hanya mempengaruhi arena sistemik saja, tetapi juga telah membentuk karakter khas masyarakatnya. Baik masyarakat Suwawa maupun Gorontalo pada umumnya menilai orang Suwawa memiliki karakter yang keras, terbuka dan patriotis. Karakter tersebut oleh Alim dianggap merupakan representasi dari karakter yang dimiliki oleh setiap talenga (Jawa: patih) di Kerajaan Suwawa khususnya Pogambango.44 Selain itu, Masyarakat Suwawa juga memilki sikap yang anti penjajahan. Sikap inilah yang kemudian menjadi momok bagi kolonialisme Belanda dalam menjajah Suwawa bahkan Gorontalo. Secara jelas, manifestasi dari prinsip hidup yang demikian telah melahirkan rasa nasionalisme yang besar bagi masyarakat Gorontalo khususnya Suwawa yang disimbolkan melalui sosok Nani Wartabone.
43 44
Dituturkan oleh Abdul Karim Sidiki melalui wawancara pada 17 April 2013. Dituturkan oleh Alim S. Niode melalui wawancara pada 10 April 2013
62
Dari sisi spiritual, masyarakat Suwawa sebelum mengenal Islam, sejak awal telah meyakini adanya ketunggalan Tuhan. Di internal Suwawa terdapat istilah “Toguwata Tomita no Oto Mita Niya” (Bahasa Gorontalo: Eya Tuwawu lo Utuwawu Liyo) yang bermakna ke-esa-an Tuhan.45 Hanya saja, keyakinan tersebut dijalankan dengan instrumen adat. Masuknya Islam di Suwawa tidak mengalami hambatan dengan adanya pondasi ketunggalan Tuhan yang sejak awal sudah diyakini oleh masyarakat Suwawa. Islam menjadi agama kolektif di Suwawa, bahkan tahun 2010 dan 2011 di Kecamatan Suwawa Selatan, Suwawa Timur hingga Kecamatan Pinogu tak ada satupun yang bukan muslim. Mengenai per-kembangan pemeluk berbagai macam agama di Suwawa tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.10 berikut ini.
45
Daitom H. Wantogia & Jusuf H. Wantogia, Sejarah Gorontalo: asal usul dan terbentuknya Kerajaan Suwawa, Limboto dan Gorontalo, Gorontalo: Toko Buku Mokotambibulawa, 1980, hlm. 3.
63
Tabel 4.10 : Perkembangan Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut di Kecamatan Suwawa, Kecamatan Suwawa Selatan, Kecamatan Suwawa Timur dan Kecamatan Suwawa Tengah Tahun 2010 dan 201146 NO
KECAMATAN
AGAMA Islam Protestan
1
Suwawa
Katolik Hindu Budha Islam Protestan
2
Suwawa Selatan
Katolik Hindu Budha Islam Protestan
3
Suwawa Timur
Katolik Hindu Budha
4
Suwawa Tengah
Islam Protestan
46
TAHUN
JUMLAH (ORANG)
2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010
10.623 11.627 64 77 1 0 0 0 0 0 4.796 5.068 0 0 0 0 0 0 0 0 6.879 7.112 0 0 0 0 0 0 0 0 5.716 5.674 0
Data diolah dari “Suwawa dalam Angka 2011”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2011, hlm. 43; “Kecamatan Suwawa dalam Angka 2012”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 53; “Suwawa Selatan dalam Angka 2011”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2011, hlm. 42; “Kecamatan Suwawa Selatan dalam Angka 2012”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 45; “Suwawa Timur dalam Angka 2011”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2011, hlm. 43; “Kecamatan Suwawa Timur dalam Angka 2012”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 57; “Suwawa Tengah dalam Angka 2011”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2011, hlm 43; dan “Kecamatan Suwawa Tengah dalam Angka 2012”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm 53.
64
Lanjutan Tabel 4.10
NO
NAMA
AGAMA
TAHUN
JUMLAH (ORANG)
Protestan
2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011
0 0 0 0 0 0 0
Katolik 4
Suwawa Tengah
Hindu Budha
Bila dianalisis beradasarkan pertimbangan geografis, adanya minoritas agama lain selain Islam di Kecamatan Suwawa dan Kecamatan Suwawa Tengah, disebabkan oleh letak geografis 2 kecamatan tersebut yang relatif dekat dengan Kota Gorontalo. Dekatnya jarak antara Kecamatan Suwawa dan Kecamatan Suwawa Tengah dengan Kota Gorontalo memicu adanya interaksi dan pembauran dengan masyarakat yang bukan beragama Islam. Apalagi dengan semakin lunturnya paktek adat lokal tentang pernikahan antar sesama Pidodotiya.
D. Sosial-Politik Masyarakat Suwawa Berbicara mengenai sosial-politik masyarakat tidak mungkin dapat dipisahkan dari dinamika kekuasaan serta mekanisme legitimasi di internal suatu masyarakat. Tanpa legitimasi, kekuasaan hanyalah merupakan sesuatu yang parsial. Kekuasaan tak mungkin bersifat ortodoks dan statis. Kekuasaan haruslah fleksibel dengan nilai-nilai legitimasi yang berkembang dalam masyarakat. Berubah tidaknya legitimasi masyarakat, harus tetap membuat para pemegang kekuasaan selalu sensitif dengan dinamika politik yang sering sulit ditebak.
65
Evidensinya, kekuasaan dan kepemimpin merupakan produk legitimasi yang setiap saat dapat mengalami fluktuasi. Sebagai daerah Tiyombu, secara informal Suwawa sangatlah sensitif terhadap setiap orang yang hendak menjadi pemimpin. Bagi masyarakat dan semua kalangan elite di Suwawa, pemimpin di Suwawa haruslah benar-benar mampu merepresentasikan karakter Suwawa dalam menjalankan kepemimpinannya. Karakter yang dianggap dapat menjadi pemimpin di Suwawa antara lain memiliki sikap yang tegas, berani, patriotis dan berakhlak mulia. Akhlak yang tercermin lewat cara berinteraksi dalam masyarakat sangatlah menentukan layak tidaknya seseorang tersebut menjadi pemimpin di Suwawa. Kelayakan menjadi pemimpin di Suwawa dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, masyarakat begitu mengidolakan gaya kepemimpinan raja-raja Suwawa serta kabinetnya yang tegas dan keras. Bahkan para raja tak segan-segan menolak sesuatu yang dianggap tabuh dalam masyarakat. Selain itu, masyarakat juga terbius dengan karakter berani yang dipersonifikasikan oleh Talenga seperti Pogambango. Kedua, sikap patriotis yang ditunjukkan oleh para legenda Suwawa dalam mengusir penjajahan mendapat simpati yang besar dari masyarakat. Bagi masyarakat karakter-karakter tegas, berani, patriotis dan memiliki akhlak mulia menjadi identitas lokal yang juga harus dimiliki oleh setiap orang yang hendak menjadi pemimpin. Terpenuhinya karakter tersebut dalam diri seorang pemimpin dapat menjamin kokohnya legitimasi masyarakat terhadap sang pemimpin.
66
Meskipun kriteria kepemimpinan tersebut merupakan penegasan identitas lokal, namun hal yang sulit terbantahkan bahwa karakter kepemimpinan tidak dimiliki oleh semua masyarakat. Terdapat stigma adanya golongan-golongan dengan marga tertentu yang memilki kharisma menjadi pemimpin. Mereka adalah orang-orang yang sejak dulu selalu berkecimpung dengan kekuasaan baik pada zaman sebelum kolonialisme maupun setelah kolonialisme. Mereka yang lahir dan besar dalam nuansa kekuasaan kekuasaan lebih berpotensi memilki karakter kepemimpinan ketimbang mereka yang menekuni bidang-bidang non kekuasaan (petani, nelayan, pedagang, dst). Munculnya partai politik tidak terlalu memberi pengaruh yang signifikan di Suwawa. Hal ini disebabkan oleh orientasi politik masyarakat yang cenderung bersifat patron client dan primordial. Misalnya pada era Orde Lama, hampir semua masyarakat Suwawa memiliki identitas politik yang sama dengan kiblat politik Nani Wartabone―PNI. Menurut Karim Sidiki, pada Orde Lama Suwawa merupakan pendukung PNI. Karim menyebut hal itu disebabkan oleh besarnya kewibawaan Nani Wartabone yang kemudian membuat masyarakat tunduk dan menghormati secara moral keputusan politik Nani Wartabone.47 Bahkan ketika PNI berafiliasi menjadi PDI-P, masyarakat juga mengikuti alur afiliasi identitas tersebut. Hal yang sama juga terjadi ketika memasuki Orde Baru yang terkenal dengan era kejayaan ‘si kuning’. Beralihnya Nani Wartabone ke Golkar pada tahun 1982 juga membuka ruang legitimasi masyarakat terhadap partai tersebut.
47
Dituturkan oleh Abdul Karim Sidiki melalui wawancara pada 17 April 2013.
67
Pasca era Nani Wartabone, PDI-P dan Golkar menjadi partai yang tumbuh subur dalam iklim politik Suwawa dengan beberapa partai pengiring lainnya. Baik PDI-P maupun Golkar sama-sama dihuni oleh orang-orang yang memilki pengaruh di Suwawa. Akan tetapi, jika pada era sebelumnya pilihan politik terkonsentrasi pada figuritas Nani Wartabone, maka saat ini pilihan politik menjadi lebih terbuka. Masyarakat maupunpun tokoh lokal Suwawa tidak lagi harus monoton ke PDI-P ataupun ke Golkar. Mereka tersebar bahkan hampir di semua partai politik yang relevan dengan dinamika politik lokal dan nasional. Fenomena tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.11 tentang komposisi Anggota DPRD Kabupaten Bone Bolango periode 2009-2014 yang berasal dari Dapil 3 Suwawa berdasarkan partai politik yang mereka ‘kendarai’. Tabel 4.11 : Komposisi Anggota Legislatif (DPRD) Kabupaten Bone Bolango Periode 2009-2013 Dapil 3 Suwawa Berdasarkan Partai MasingMasing Aleg. NO
NAMA
NAMA PARTAI
1 2 3 4 5
Nurdin Wartabone Hi. Husin Mahmud Usman Hasan Hulopi Fajar Wartabone Yakub Tangahu, SH
PDK Golkar PKNU PDI-P PBB
Sumber: Diolah dari DPRD Kabupaten Bone Bolango Tabel 4.11 menunjukkan masih kuatnya hegemoni marga-marga besar di Suwawa seperti Wartabone dan Tangahu dalam kontes politik lokal Suwawa. Meski tidak bernaung di partai-partai besar seperti Golkar dan PDI-P, tidak membuat kharisma ketokohan mereka luntur. Perbedaan pilihan politik di Suwawa tidak membuat pecahnya jalinan kekeluargaan di Suwawa. Walaupun mereka dalam hal berpolitik sering berkompetisi secara sengit, namun silaturahmi keke-
68
luargaan tetap terjaga. Asumsinya, partai politik yang merupakan kendaraan yang ideal untuk mencapai kekuasaan tak dapat mengesampingkan karakter primordial masyarakat Suwawa.
E. Ekonomi dan Pendidikan Masyarakat Suwawa Aspek ekonomi dan pendidikan tak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendidikan biasanya sulit dilepaskan dari kompromi ekonomi. Kesempatan memperoleh pendidikan, seringkali kerap berbenturan dengan faktor ekonomi yang dimilki. Apalagi dengan kondisi masyarakat yang masih dalam taraf terkebelakang, tuntutan mengenyam pendidikan menjadi dilematis dengan pertimbangan ekonomi. Sebelum masuknya kolonialisme, rata-rata pekerjaan masyarakat Suwawa adalah bertani. Namun pola pertanian yang dijalankan masih dalam bentuk yang primitif. Sehingga pertumbuhan ekonomi masyarakat berjalan dengan sangat lamban. Hasil-hasil pertanian kebanyakan hanya berorientasi pada konsumsi ketimbang distribusi. Hal ini disebabkan hampir tidak adanya celah distribusi hasil pertanian masyarakat Suwawa. Ekonomi masyarakat Suwawa mulai menunjukkan pergerakan ketika memasuki masa penjajahan. Walaupun hasil-hasil bumi Suwawa cenderung di eksploitasi oleh pihak asing, akan tetapi banyak pengembangan yang dilakukan untuk menunjang kemajuan khususnya dibidang pertanian. Contohnya dengan pembuatan bendungan dan irigasi yang membuka agresivitas masyarakat untuk mengembangkan persawahan. Selain itu, masyarakat Suwawa juga mulai diper-
69
kenalkan dengan strategi bercocok tanam yang modernis. Komoditi utama yang menjadi andalan dan pijakan kemajuan ekonomi di Suwawa adalah kopra. Belanda memang pernah berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian di Suwawa. Namun hal tersebut menurut Jumadi Botutihe berjalan dengan tidak merata. Jumadi mengungkapkan bahwa “Kalau perkembangan ekonomi masyarakat Suwawa ini sebelum kolonial itu biasa-biasa aja. Tapi setelah kolonialisme ini, itu nampak hanya dikalangan orang-orang tertentu yang dekat dengan kekuasaan itu sendiri maupun dengan kolonialis itu sendiri. ….”.48 ‘Kedekatan’ yang dimaksudkan Jumadi yakni mengarah pada mereka yang menduduki posisi ataupun jabatan-jabatan tertentu di pemerintahan Belanda. Memasuki era pasca penjajahan, ekonomi Suwawa perlahan namun pasti menunjukkan lompatan yang signifikan. Banyak pihak yang menganggap kemajuan ekonomi Suwawa disebabkan oleh dua faktor. Pertama, yakni dengan adanya tambang rakyat yang kira-kira mulai beroperasi secara masal pada tahun 1997. Faktor kedua yakni dengan dimekarkannya Kabupaten Bone Bolango pada tahun 2004. Akibat perkembangan ekonomi yang relatif berjalan lambat, maka aspek pendidikan juga mengalami imbasnya. Pendidikan masyarakat Suwawa pada masa Belanda berjalan searah dengan pertumbuhan ekonomi. Walaupun pendidikan terbuka bagi siapa saja, namun dengan kondisi ekonomi yang dibawah rata-rata, upaya mengenyam pendidikan kala itu masih menjadi ‘utopia’ sebagian
48
Dituturkan oleh Jumadi Botutihe melalui wawancara pada 15 April 2013.
70
besar masyarakat Suwawa. Pada umumnya hanya mereka yang memiliki status sosial yang ‘elegan’ (bangsawan) dan ekonomi yang berkecukupan yang dapat mengenyam pendidikan hingga menengah atas.49 Walaupun tidak sedikit mereka yang memiliki satatus sosial dan ekonomi yang mapan justru memilih jalan naturalistis tanpa melibatkan pendidikan. Kondisi pendidikan yang demikian diperparah dengan sarana pendidikan di Suwawa yang nyaris tidak memadai. Beberapa putra-putri pribumi Suwawa oleh orang tuanya terpaksa disekolahkan di luar Gorontalo―termasuk Nani Wartabone. Pada kisaran masa penjajahan hingga pra Orde Baru, di Suwawa hanya terdapat satu sekolah―itupun hanya setingkat SD―yang disebut Sekolah Rakyat (SR). Bila hendak melanjutkan ke tingkat SMP, maka solusi terdekat adalah memasuki SMP yang ada di Kecamatan Kabila. Sementara untuk tingkatan SMA kala itu hanya terdapat di Kota Gorontalo. Paradigma masyarakat Suwawa mengenai pendidikan ketika masa pra penjajahan maupun pasca penjajahan juga masih dibayang-bayangi pikiran konservatif. Alex Koniyo mengatakan bahwa pada waktu itu, terdapat ungkapanungkapan konservatif masyarakat seperti: “Ti turunan lando ta lali raja lo Suwawa ti woluwo ta lo sikolah hingga tingoliyo ti lali motota?” (Indonesia: apakah keturunan kita yang menjadi raja Suwawa ada yang sekolah hingga mereka memiliki kecerdasan?). Alex juga menekankan adanya dua faktor yang 49
Pada masa kolonialisme Belanda, mereka yang hendak memasuki pendidikan formal haruslah memenuhi salah satu persyaratan, yakni bukti kebangsawanan. Bukti tersebut biasanya ditunjukkan dengan Stamboom (daftar silsilah keturunan raja). Hingga kini beberapa kalangan keluarga bangsawan Gorontalo―termasuk di Suwawa, masih menyimpan daftar silsilah tersebut. Alim S. Niode & Elnino, Abad Besar Gorontalo, Gorontalo: Presnas Publishing, 2003, hlm. 34.
71
mempengaruhi pendidikan di masa itu, yakni ekonomi orang tua dan kemauan belajar.50 Sehingganya dalam hal pendidikan, masyarakat Suwawa memang agak lambat berkembang. Masyarakat Suwawa seakan-akan terlena dengan status keTiyombua-an dan heroisme yang melekat pada Suwawa. Memasuki pertengahan Orde Baru barulah sarana pendidikan mulai dari TK hingga SMA mulai tersedia di Suwawa. Hingga saat ini perkembangannya pun berlangsung pesat walaupun disetiap kecamatan masih dapat dihitung dengan jari saja. Tahun 2011 saja tercatat sebanyak 65 sekolah di Suwawa yang tersebar di 4 Kecamatan yakni Suwawa, Suwawa Selatan, Suwawa Timur dan Suwawa Tengah. Selengkapnya diperinci pada Tabel 4.12 berikut ini.
50
Dituturkan oleh Alex Koniyo melalui wawancara pada 27 Maret 2013.
72
Tabel 4.12 : Jumlah Sekolah di Kecamatan Suwawa, Kecamatan Suwawa Selatan, Kecamatan Suwawa Timur dan Kecamatan Suwawa Tengah Diperinci Per-tingkatan Sekolah pada Tahun 201151 NO
1
KECAMATAN
TINGKATAN SEKOLAH
JUMLAH SEKOLAH
TK/ Raudatul Athfal/ Bustanul Atfal
11
SD/ MI
8
SMP/ MTs
3
SMA/SMK/ MA
3
TK/ Raudatul Athfal/ Bustanul Atfal
6
SD/ MI
5
SMP/ MTs
2
SMA/SMK/ MA
0
TK/ Raudatul Athfal/ Bustanul Atfal
5
SD/ MI
6
SMP/ MTs
3
SMA/SMK/ MA
1
TK/ Raudatul Athfal/ Bustanul Atfal
5
SD/ MI
6
SMP/ MTs
1
SMA/SMK/ MA
0
Suwawa
2
Suwawa Selatan
3
Suwawa Timur
4
Suwawa Tengah
Total
65
Dari 65 sekolah yang ada, Kecamatan Suwawa dengan jumlah penduduk terbanyak dan terpadat dibanding tiga kecamatan lainnya juga diimbangi dengan jumlah sekolah yang lebih banyak yakni 25 sekolah. Sedangkan kecamatan Suwawa Tengah memiliki jumlah sekolah yang paling sedikit (12 sekolah). Hal tersebut disebabkan oleh luas wilayah Kecamatan Suwawa Tengah yang relatif kecil dibanding tiga kecamatan lainnya serta geografisnya yang berdekatan dengan Kecamatan Suwawa. 51
Data diolah dari “Kabupaten Bone Bolango dalam Angka 2012”, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bone Bolango dan Badan Perencanaan Pembangunan (BAPPEDA) Kabupaten Bone Bolango, 2012, hlm. 43.