BAB IV LOKASI PENELITIAN
4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Lokasi pertimbangan
dalam ilmiah
dipertanggungjawabkan.
penelitian dan
ini
ditentukan
melalui
berbagai
yang
dapat
tahapan-tahapan
Pertimbangan
ilmiah
adalah
dalam
rangka
membuktikan proposisi (tesis) dari D.H. Peny (1999) yang mengatakan bahwasanya “orang semakin miskin, maka semakin bertindak komersil” dan “semakin rawan pangan kondisi suatu tempat, maka akan membuat orang semakin bersikap individualistik”. Tesis tersebut dibangun berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh ekonomi pasar terhadap kemiskinan. Jika kita memahami kerawanan pangan dalam konteks rendahnya daya beli masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa golongan yang mengalami kondisi rawan pangan adalah masyarakat golongan miskin itu sendiri. Oleh karena itu, untuk membuktikan ada tidaknya perilaku komersil dan individualistik pada komunitas miskin, maka untuk menentukan lokasi penelitian ini dicari desa miskin di kabupaten Subang sebagai kriteria pertama.
Sumber : Data Susenas 2009 Gambar 8. Rata-Rata Pengeluaran perkapita/bulan Penduduk Kabupaten Subang tahun 2009
Kemiskinan suatu masyarakat atau wilayah tentu saja disebabkan oleh beragam faktor (multidimensional), mulai dari faktor sumber daya alam, sumber daya manusia, hingga persoalan struktural (akses, kontrol, kebijakan, marginalisasi, dll) dan kultural (adat istiadat, pandangan hidup masyarakat, kebiasaan, dll) lainnya. Dalam konteks ini, penelitian bukan menitikberatkan pada apa penyebab kemiskinan itu? melainkan lebih kepada tipe-tipe kemiskinan seperti apa yang ada di pedesaan. Tipe kemiskinan ini berkaitan erat dengan kondisi lingkungan dimana masyarakat tinggal. Berangkat dari keyakinan bahwa orang miskin di desa tentu saja berbeda dengan orang miskin di kota, orang miskin di pegunungan tentu saja berbeda dengan orang miskin di pesisir, dan seterusnya. Oleh karena itu, kriteria kedua dari lokasi penelitian komersialisasi sosial di pedesaan ini adalah kondisi agro-ekologis dan sosial-ekonomi yang khas, seperti wilayah pesisir, ekosistem sawah dan pegunungan atau hutan. Kedua kriteria utama diatas kemudian dioperasionalisasikan ke dalam pemilihan lokasi dengan melihat data-data Badan Pusat Statistik (BPS) kabupaten Subang terbaru (2010-2011) sekaligus dengan melakukan verivikasi langsung ke lapangan secara bertahap, yaitu verivikasi di tingkat Kecamatan, Desa/Kelurahan dan Dusun/Kampung. Khusus untuk pemilihan desa dan dusun, peneliti menganggap bahwa aparat dan masyarakat setempat adalah yang paling tahu dan memahami kondisi wilayahnya. Oleh karena itu, penentuan lokasi desa dan dusun didasarkan pada informasi petugas Kecamatan dan aparat Desa/Kelurahan setempat. Dari proses semacam ini, peneliti memperoleh tiga lokasi, yaitu Desa Jayamukti Kec. Blanakan (Subang Utara), Desa Pasirmuncang Kec. Cikaum (Subang Tengah) dan Desa Cimenteng Kec. Cijambe (Subang Selatan) dengan gambaran sebagai berikut :
4.1. Subang Utara Wilayah Subang Utara dikenal juga dengan sebutan Pantura Subang atau Pantai Utara Subang. Terdapat tiga kecamatan yang memiliki bentang pantai di wilayah ini (dari Barat ke Timur), yaitu kecamatan Blanakan, Kecamatan Legon Kulon dan Kecamatan Pusakanegara. Penilitian ini mengambil salah satu wilayah kecamatan yang terpadat populasinya dan memiliki banyak rumah tangga prasejahtera (miskin) menurut kriteria BPS, yaitu kecamatan Blanakan, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Karawang di sebelah baratnya. Kecamatan Blanakan terdiri dari 9 Desa/Kelurahan dan 49 Dusun. Meskipun tergolong masyarakat pesisir, sebagian besar penduduk di Subang Utara ini mayoritas masih bekerja di dunia pertanian padi (sawah), lalu sebagian menjadi petambak dan nelayan. Namun demikian, karakteristik masyarakatnya memang cenderung lebih terbuka karena sebagian besar dulunya merupakan pendatang dari Jawa.
Sumber : Profil desa Jayamukti tahun 2011 Gambar 9. Komposisi Penduduk dan Etnis di Desa Jayamukti, Kec. Blanakan, Kabupaten Subang
Sumber : Profil desa Jayamukti tahun 2011 Gambar 10. Komposisi Pekerjaan/Matapencaharian di Desa Jayamukti tahun 2011
4.2. Subang Tengah Mayoritas penduduk desa pasir muncang bekerja sebagai buruh tani di perkebunan tebu (PG. Rajawali). Sebagian besar areal lahan di desa ini ditanami tebu yang sekaligus menjadi pemasok utama untuk produksi gula di pabrik yang juga berlokasi dan beroperasi di daerah ini. Hanya sebagian kecil saja lahan yang masih menjadi milik petani setempat dan biasanya ditanami padi. Dulunya, areal perkebunan tebu ini adalah bekas kebun karet. Lokasi dusun-dusun di desa pasir muncang ini berkelompok-kelompok (semacam berpetak-petak) dan satu sama lain dipisahkan oleh kebun tebu yang cukup luas. Sehingga jalan penghubung antar dusun dan antar desa juga masih berupa tanah berlumpur dan berbatu (sebagian hasil pengerasan) yang sulit dilalui ketika musim penghujan. Selain menjadi buruh tani, ada juga penduduk yang menjadi buruh pabrik, pedagang dan tukang ojek.
Sumber : data dasar desa Pasirmuncang tahun 2011 Gambar 11. Komposisi Jumlah penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum (Subang Tengah)
Pabrik gula yang beroperasi di pasirmuncang ini sudah masuk kontrak tahap II. Setiap sekali kontrak memiliki jangka waktu hingga 20 tahun. Kontrak pertama dimulai tahun 1982 s.d. 2002, lalu kontrak kedua tahun 2002 s.d. 2022. Beberapa warga menuturkan, “kalau
boleh memilih, lebih baik pabrik gula ini pergi dari sini. Sebab, jika dihitung-hitung, kami warga masyarakat banyak dirugikan”. Selain memberikan lapangan pekerjaan bagi sebagian warga, adanya perkebunan tebu ini memang juga menyebabkan beberapa kerugian bagi warga lainnya, seperti :
Kerusakan infrastruktur dan lingkungan karena banyaknya truktruk besar yang lewat setiap hari
Pada waktu tertentu, alat-alat berat juga masuk untuk pengolahan tanah (penggemburan/pembalikan)
Akibatnya, pada musim kemarau, debu berterbangan kemanamana, jalanan rusak dan berlubang tanpa pernah diperbaiki. Diperbaiki pun percuma, pasti rusak lagi.
Pada musim penghujan, tanah-tanah dari kebun tebu yang berlumpur merah itu longsor dan masuk ke sawah-sawah milik warga. Dari tahun ke tahun, sawah-sawah di desa ini semakin dangkal akibat longsor tersebut. Menurut penuturan beberapa informan, kebanyakan warga di
desa Pasimuncang ini memiliki kebiasaan “nganjuk” (hutang), baik ke warung, toko, maupun ke tetangga. Sebab, mereka sudah dari dulu terbiasa mengandalkan upah dari PT (pabrik gula). Oleh karena itu, siapapun yang mau jadi pedagang atau buka warung di Pasirmuncang, konon harus punya modal 7 kali lipat dari biasanya, untuk mengantisipasi kebiasaan nganjuk dari warga tersebut. jika modal usaha/berdagang terlalu sedikit, maka kemungkinan besar akan rugi/bangkrut karena kebiasaan nganjuk tersebut.
Sumber : Data dasar desa Pasirmuncang tahun 2011 Gambar 12. Komposisi Pekerjaan/Matapencaharian penduduk Ds. Pasirmuncang tahun 2011
4.3. Subang Selatan Subang selatan merupakan daerah yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Orang Subang menyebut daerah selatan ini sebagai daerah tonggoh (atas). Sebagai daerah dengan topografi pegunungan
semacam
itu,
menyebabkan
bentuk-bentuk
perkampungan/desa yang khas pula, yaitu menggerombol satu sama lain. Salah satu kecamatan yang paling padat penduduknya di wilayah Subang Selatan ini adalah Kecamatan Cijambe. Di Kecamatan Cijambe ini, penelitian dilakukan di desa Cimenteng, salah satu desa yang berlangganan mendapat kategori sebagai desa tertinggal sejak tahun 1982. Desa berpenduduk 3.961 jiwa ini berjarak kurang lebih 20 km dari jalan raya utama Cijambe (Subang-Bandung).
Sumber : profil desa Cimenteng tahun 2010 Gambar 13. Komposisi Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Ds. Cimenteng tahun 2010
Meskipun desa-desa di tonggoh ini nampak terisolasi, bukan berarti tidak tersentuh oleh perubahan. Justru yang mengherankan, rumah-rumah penduduk disini tidak kalah bagus dengan rumah-rumah di perkotaan (berlantai keramik, bertembok bata, memiliki parabola, dan sebagainya). Infrastruktur jalan yang kurang memadai tidak menghalangi warga desa Cimenteng, misalnya, untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Meskipun sebagian besar warga
menggantungkan kehidupan dari hasil hutan dan ladang, banyak pula yang mengadu nasib ke luar negeri (Arab dan Malaysia) serta yang menikah dengan penduduk dari luar desa/kota. Dengan demikian, jangan
dibayangkan
masyarakat
tonggoh
ini
sebagai
sebuah
masyarakat yang tertutup dan homogen seperti jaman dahulu, melainkan kini sudah cukup heterogen dan dinamis layaknya desadesa di dataran rendah. Teknologi komunikasi dan transportasi memudahkan mereka untuk mencapai kemajuan yang setara itu.
Sumber : Profil desa Cimenteng tahun 2010 Gambar 14. Komposisi Pekerjaan Penduduk di Desa Cimenteng, Kec. Cijambe tahun 2010
Sumber : Subang dalam Angka, BPS, 2010:12 Gambar 15. Perbandingan jumlah KK Total dan KK miskin di tga kecamatan tempat lokasi penelitian tahun 2010
Tabel 7. Lokasi Penelitian dan Gambaran Umum Tradisi Sosial di 3 Desa Kecamatan Desa Dusun Kondisi Geografis Mata pencaharian
Istilah untuk tradisi Gantangan
Blanakan (Subang Utara) Jaya Mukti Tegaltangkil Pesisir, Dataran Rendah, komunitas petambak dan pertanian padi Petambak, Petani, buruh tani Pendapatan petambak benur rata-rata Rp. 900.000/bulan (dengan luas tambak 1 ha)
Cikaum (Subang Tengah) Pasir Muncang Awilarangan Dataran rendah, komunitas sekitar perkebunan tebu dan pertanian padi Mayoritas pekerjaan petani/buruh tani di perkebunan tebu dengan beberapa jenis pekerjaan, antara lain : Nanem : diupah Rp. 15.000/ ½ hari Babat : diupah Rp. 30.000/ ½ hari Nglethek : diupah Rp. 15.000/ ½ hari Nebang : diupah Rp. 50.000/ ½ hari
Cijambe (Subang Selatan) Cimenteng Cimenteng Dataran tinggi, perbukitan, komunitas sekitar hutan (peladang) dan pertanian padi Mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai petani, buruh tani, dan peladang
Telitian = pertukaran uang dan beras dalam Rombol = Pertukaran uang dan beras Andilan = uleman Rp. 1000, (jaman harita satu desa (antar dusun), dilakukan ketika dalam satu dusun, dilakukan ketika dicatet, tapi artos hungkul). rumah tangga melakukan hajat atau rumah tangga memiliki kebutuhan Persatuan = Pertukaran uang dan beras membangun rumah. Jumlah minimum mendesak, seperti membangun rumah, ketika hajatan dengan sesama warga satu sumbangan ½ gantang s.d. 1 gantang, tidak sumur, dll kampung/dusun diatur oleh panitia, melainkan oleh masing- Gantangan = Pertukaran uang dan Gintingan = Pertukaran uang dan beras masing bapak hajat (menyebarkan undangan beras antara warga dusun Awilarangan ketika Hajatan dengan warga di luar seminggu sebelum hari H) dan warga Dusun Waladin, dilakukan kampung/dusun Golongan/Lawangan = pertukaran uang dan ketika hajatan Kondangan : Uleman (Undangan) untuk beras (arisan) yang dilakukan dalam satu Talitihan = Sumbangan/simpanan bapak, simpanan berupa artos (uang), kelompok terdiri dari 20-30 orang. Jumlah yang diberikan sebelum hajatan, Uleman untuk istri, simpanan berupa beas minimum beras dan uang adalah 50 kg, biasanya berupa bumbu dapur atau (beras) daging 25 kg, dll. Dikoordinir oleh panitia sembako. Liliuran : iuran/gintingan untuk (Bpk. Cartiwan dan Bapak H. Abdul pembangunan rumah warga Rohman)