BAB IV
PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang akan memaparkan kesimpulan atas isu hukum yang muncul sebagai rumusan masalah dalam bab pertama (Supra 1.2.). Ide-ide yang penulis simpulkan didasarkan pada analisa dan pembahasan yang sudah diuraikan dalam bab kedua dan ketiga, dengan bersumber pada berbagai bahan hukum yang memuat doktrin atau pendapat para ahli hukum internasional, konvensi atau perjanjian hukum internasional, serta putusanputusan hakim terdahulu. Berdasarkan kesimpulan tersebut, bab ini juga menyajikan saran dan rekomendasi yang diharapkan dapat menjawab tujuan dan manfaat penelitian serta penulisan hukum yang penulis lakukan. 4.1. Kesimpulan Dengan mengutamakan pendekatan konseptual, serta pengkajian terhadap berbagai statuta, konvensi atau perjanjian internasional dan putusan hakim yang menjadi yurisprudensi, penulis telah menyusun analisa dan pembahasan secara logis dan sistematik. Dengan berdasar pada analisa dan pembahasan di bab-bab sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. HHI memuat prinsip dan norma hukum yang memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Berbagai instrumen hukum yang tersedia dalam HHI, baik tertulis maupun kebiasaan, telah memberikan perlindungan hidup yang memadai bagi lingkungan hidup selama perang berlangsung. Selama para pihak yang terlibat dalam perang mematuhi setiap norma HHI, maka dapat dipastikan bahwa sekalipun 89
dalam keadaan perang, namun keberlangsungan lingkungan hidup dapat tetap dipertahankan. 2. Lingkungan hidup sebagai obyek sipil dan obyek militer. Pada dasarnya lingkungan hidup terklasifikasi sebagai obyek sipil (civilian object). Implikasi hukum atas status lingkungan hidup adalah bahwa lingkungan hidup tidak boleh menjadi obyek serangan dan harus dilindungi dalam keadaan apapun. Meskipun demikian, ada 2 (dua) alasan mendasar dalam HHI, sehingga lingkungan hidup menjadi legitimate military objective. Alasan yang pertama, status lingkungan hidup sebagai obyek sipil telah berubah menjadi obyek militer karena memenuhi kriteria dalam ketentuan Pasal 52 ayat (2) Protokol Tambahan I tentang definisi obyek militer. Dan alasan yang kedua, penyerangan terhadap lingkungan hidup didasarkan pada suatu kebutuhan militer (military necessity). Dalam hubungannya dengan kerusakan sampingan (collateral damage), penulis mendapati bahwa hal ini adalah konsep hukum yang sah. Kemunculan isu collateral damage juga berarti bahwa sebuah serangan dinyatakan proporsional, karena collateral damage dianggap sebagai kerusakan yang tidak bisa dielakkan sekalipun telah dilakukan langkah-langkah untuk menghindarinya sehingga dimaknai sebagai akibat yang muncul karena ketidaksengajaan (unintentionally). Norma pertanggungjawaban yang dimuat dalam Statuta Roma 1998, membatasi tanggung jawab pidana terhadap tindakan tidak sah (unlawful act) yang dilakukan atas dasar niat dan pengetahuan.
90
3. Kejahatan perang adalah bentuk internationally wrongful act. Dalam keadaan perang, apabila terjadi perusakan terhadap lingkungan hidup oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perang, maka baik individu maupun negara dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan tersebut. Menurut Statuta Roma 1998, serangan secara berlebihan terhadap lingkungan hidup yang dilakukan dengan sengaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kejahatan perang. Sehingga pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara individual. Adapun dengan berdasar pada prinsip atributabilitas atau imputabilitas, dimana angkatan bersenjata (armed forces) merupakan salah satu organ negara yang menjalankan tugas negara selama perang berlangsung, maka setiap tindakan individu yang termasuk dalam angkatan bersenjata juga menjadi tanggung jawab negara. Artinya, ketika individu melakukan kejahatan perang entah karena suatu perbuatan, kelalaian atau gabungan dari keduanya, maka negara dapat dinyatakan bertanggung jawab atas atas dasar internationally wrongful act. Dengan kata lain pula, dapat dikatakan bahwa dalam konteks perang suatu kejahatan perang, apapun itu bentuknya, selama dilakukan oleh individu yang secara otoritatif menerima kekuasaan untuk bertindak atas nama negara maka tindakan tersebut dapat dinyatakan sebagai internationally wrongful act. 4. Pada akhirnya, bentuk pertanggungjawaban yang bisa diberikan oleh seorang individu adalah tanggung jawab pidana secara individual di hadapan Mahkamah Pidana Internasional. Pertanggungjawaban pidana seorang individu juga harus dibarengi dengan tanggung jawab negara
91
sebagai bagian dari masyarakat internasional. Berdasarkan Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts yang diadopsi oleh ILC, dapat diketahui bahwa bentuk reparasi yang bisa dilakukan oleh negara sebagai pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan hidup ada 3 (tiga), yakni restitution, compensation, dan satisfication.
Compensation
adalah
bentuk
reparasi
yang
paling
memungkinkan untuk dilaksanakan, dengan harapan bahwa pembiayaan terhadap sumber daya manusia dan teknologi secara finansial dapat mengurangi dan memulihkan lingkungan hidup atau setidaknya dapat mempertahankan kondisi sewajarnya yang dibutuhkan agar lingkungan hidup dapat tetap bertahan. 4.2. Rekomendasi
Dengan berdasar pada kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan rekomendasi sebagai berikut: 1. Negara-negara harus segera meresmikan suatu perjanjian internasional atau konvensi yang memuat hukum pertanggungjawaban negara dan individu dalam hal perusakan lingkungan hidup baik secara sengaja maupun tidak sengaja secara komprehensif. 2. Setiap pihak yang terlibat dalam perang harus melindungi lingkungan hidup dalam keadaan apapun, kecuali atas dasar military necessity dengan tetap memperhatikan prinsip proporsionalitas. Negara harus menjamin bahwa setiap organ maupun individu yang bertindak atas
92
nama negara menghormati prinsip dan norma HHI dalam keadaan apapun. 3. Dalam hal telah terjadi perusakan lingkungan hidup oleh pihak dalam perang, maka individu harus mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Mahkamah Pidana Internasional, sementara negara harus melakukan langkah-langkah reparasi yang ditujukan untuk memulihkan kembali atau setidaknya mempertahankan keberlangsungan lingkungan hidup. 4. Masyarakat internasional harus pula ikut serta dalam mengawasi dan mengkampanyekan perlindungan terhadap lingkungan hidup, bukan saja dalam keadaan damai tetapi juga dalam keadaan perang.
93