BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Pada penelitian ini, penulis menggunakan 2 data geofisika, yaitu gravitasi dan resistivitas. Kedua metode ini sangat mendukung untuk digunakan dalam eksplorasi panas bumi. Metode gravitasi digunakan untuk mengetahui keadaan geologi bawah permukaan dengan cara merekam nilai gravitasi di setiap titik pengukuran. Kelebihan dari metode ini adalah dapat memberikan gambaran geologi bawah permukaan lebih dalam dan lebih luas. Metode gravitasi biasa digunakan untuk menginterpretasi keadaan struktur geologi daerah penelitian, potensi sumber panas, dan siklus hidrologi. Sedangkan metode resistivitas biasa digunakan untuk menentukan zona batuan penutup dan kedalaman dari zona tersebut. Karena zona batuan penutup memiliki karakteristik tertentu, batuan penutup merupakan batuan yang memiliki nilai resistivitas rendah.
4. 1 Gravitasi Seperti yang telah ditulis dalam bab 2 (Prinsip Dasar), pengukuran gravitasi bertujuan untuk mengukur besar gaya gravitasi pada tiap-tiap titik pengukuran. Hasil pengolahan data reduksi diolah di program Surfer 8 sehingga menghasilkan peta penyebaran anomali Bouguer lengkap, atau disebut juga Complete Bouguer Anomaly. Peta penyebaran anomali regional juga diolah dari hasil pengolahan data reduksi, yang ditampilkan pada Surfer 8 dalam bentuk regresi dari peta anomali Bouguer lengkap (CBA). Sedangkan peta penyebaran anomali residual diperoleh dari hasil pengurangan data anomali Bouguer lengkap (CBA) dengan data anomali regional, yang juga ditampilkan dalam program Surfer 8. Ketiga peta tersebut berupa peta kontur anomali dengan satuan miliGal. Tujuan dari metode gravitasi ini adalah untuk mengestimasi keberadaan sumber panas pada daerah penelitian. Seperti yang tertulis pada bab 1 (Prinsip Dasar), pada umumnya sumber panas bumi di Indonesia merupakan batuan beku. Jika dilihat dari posisinya secara regional, daerah studi dipengaruhi oleh zona subduksi, sehingga sumber panas pada daerah ini diestimasikan sebagai batuan beku.
30
4.1.1 Interpretasi Anomali Bouguer Lengkap Peta penyebaran anomali Bouguer lengkap
pada daerah studi Sipoholon ini
merupakan tampilan hasil pengolahan data reduksi dengan koreksi densitas Bouguer atau densitas rata-rata 2.43 gr/cm3. Peta penyebaran anomali Bouguer lengkap (CBA) ini menggambarkan gabungan keadaan struktur bawah permukaan dangkal maupun dalam. Anomali gaya berat bouguer daerah Sipoholon (Gambar 4.1) memperlihatkan anomali gayaberat negatif, dan dikelompokkan menjadi 3 anomali bouguer negatif: tinggi (–47miligal sampai –37miligal), sedang (–47 miligal sampai –77 miligal), dan rendah (lebih besar dari 77 miligal). Anomali negatif rendah dengan nilai –47 sampai –37 terdapat di tiga lokasi, masingmasing disekitar mata air panas Sipoholon mulai dari lintsan A di utara bagian timur sampai lintasan E bagian timur; yang kedua di ujung barat lintasan B, dan anomali negatif rendah yang ke tiga terdapat disekitar Hutabarat lintasan F dan G. Dari ketiga lokasi tersebut, anomali negatif rendah disekitar mata air panas Sipoholon memperlihatkan daerah anomali yang cukup luas. Penyebaran anomali bouguer negatif rendah ini mengindikasikan sebagai sumber panas karena memiliki anomali yang lebih positif dibandingkan yang lain. Pola kelurusan anomali Bouguer memperlihatkan arah umum baratlaut-tenggara, dan di beberapa tempat seperti di Sipoholon dan Hutabarat terjadi pembelokan dan pengkutuban anomali negatif rendah dan negatif tinggi. Kondisi demikian mengindikasikan adanya struktur (sesar) yang cukup komplek di sekitar lokasi tersebut diatas, hal ini didukung oleh data geologi permukaan yang mengindikasikan adanya sesar di daerah tersebut.
31
Gambar 4.1 Peta Anomali Bouguer
32
4.1.2 Interpretasi Anomali Regional Peta penyebaran anomali regional merupakan tampilan hasil pengolahan atau penyaringan data anomali Bouguer lengkap (CBA), dengan menggunakan perhitungan polinomial regresi orde-2. Penyaringan ini dilakukan untuk menunjukkan efek atau respon anomali gravitasi dalam, sehingga pada peta anomali regional ini dapat diamati anomali gravitasi daerah Sipoholon secara umum/regional. Peta ini juga menggunakan densitas ratarata 2.43 miliGal. Anomali gaya berat regional Sipoholon (Gambar 4.2) dikelompokkan menjadi 3 anomali negatif; anomali negatif tinggi (-53 sampai –47 miligal), anomali negatif sedang (–65 sampai –53 miligal), dan anomali negatif rendah (lebih kecil dari -65 miligal). Anomali regional ini memperlihatkan pola kelurusan yang berarah utara-selatan dan nilai anomali cenderung mengecil ke arah utara, dengan nilai -47 m.gal (mendekati nol) dan membesar keselatan dengan nilai anomali > –65 mgal. Pola kontur anomali regional memperlihatkan pola menjarang dibagian tengah dan merapat pada ujung timur dan barat. Pola demikian mencirikan pola graben (struktur graben) di bagian tengah daerah penyelidikan.
33
Gambar 4.2 Peta Anomali Regional
34
4.1.3 Interpretasi Anomali Sisa (Residual) Peta penyebaran anomali residual daerah Sipoholon merupakan tampilan data hasil pengurangan data anomali Bouguer lengkap (CBA) yang merupakan gabungan respon anomali gravitasi dangkal dan dalam dengan data anomali regional respon anomali gravitasi dalam, sehingga pada peta penyebaran anomali residual ini dapat diamati efek atau respon anomali gravitasi dangkal. Sama seperti kedua peta tersebut, peta penyebaran anomali residual menggunakan koreksi densitas atau densitas rata-rata sebesar 2.43 gr/cm3. Pada peta anomali residual Sipoholon (Gambar 4.3) dapat diamati bahwa anomali positif mendominasi, jika dibandingkan dengan anomali negatif. Pada peta terdapat beberapa zona dengan nilai anomali yang cukup tinggi (lebih dari 5 miliGal) yang diestimasikan sebagai zona potensi sumber panas bumi. Dari peta anomali residual menunjukkan adanya anomali negatif (kurang dari -5 miligal) di sepanjang sesar Sipoholon dan sesar Sigeon, anomali tersebut mengindikasikan struktur graben. Anomali negatif ini dapat disebabkan karena adanya kontras densitas negatif antara satuan batuan yang mengisi struktur graben (Piroklastik Toba) dengan daerah di sekitarnya yang memiliki batuan dengan densitas tinggi, seperti dolok Palangka Gading dan dolok Jorbing. Anomali positif yang terdapat di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh adanya sumber panas berupa sisa magma dari kegiatan vulkanisme yang terjadi di daerah penelitian. Anomali positif tersebar di timur laut – barat laut graben Tarutung dan berada pada dolok Palangka Gading, dolok Jorbing, dan barat dolok Martimbang.
35
Gambar 4.3 Peta anomali Sisa
36
Gambar 4.4 Peta anomali residual dan penyebaran zona potensi sumber panas
37
4.1.4 Pemodelan 2D Penampang Gravitasi Setelah mengetahui potensi sumber panas dari peta anomali residual, tahap selanjutnya adalah mengetahui kedalaman sumber panas dan kondisi geologi di bawah permukaan dengan membuat penampang gravitasi. Interpretasi zona potensi sumber panas dibuat model penyebaran kontras gravitasi sepanjang penampang A-BC (Gambar 4.4). Pemodelan ini dibuat menggunakan program GM-SYS berdasarkan data gravitasi sepanjang penampang gravitasi dan disesuaikan dengan data geologi yang ada pada daerah penelitian. Hasil model gravitasi diinterpretasikan sebagai satuan batuan yang memotong penampang. Maka harus diketahui besar densitas relatif dari setiap satuan batuan dan menentukan satuan yang ada pada penampang. Penulis menggunakan data densitas satuan batuan dari Pusat Sumberdaya Geologi (2005). Penentuan densitas ini dilakukan dengan cara mengambil sempel batuan yang representatif, kemudian dihitung besar densitasnya.
Nama Satuan
Nama Batuan
Densitas gr/cm3
Satuan Aliran Lava Palangka Gading
Andesit piroksen
2.54
Piroklastik Toba
Tuf Toba
1.95
Satuan Aliran Lava Siborboran
Andesit piroksen
2.46
Formasi Kluet
Metasedimen
2.65
Tabel 4.1 Densitas sampel batuan daerah panas bumi Sipoholon (Pusat Sumberdaya Geologi, 2005) Sedangkan penentuan satuan geologi yang terdapat pada penampang ditentukan dari peta geologi regional (Aldiss dkk, 1982) dan peta geologi daerah penelitian (Pusat Sumberdaya Geologi, 2005). Satuan batuan yang terdapat pada penampang A-B-C adalah Satuan Aliran Lava Palangka Gading (Qvpg), piroklastik Toba (Qvt), satuan Aliran Lava Siborboran (Tmlsb), Formasi Kluet (tidak tersingkap di daerah penelitian), dan intrusi.
38
Gambar 4.5 Profil anomali gravitasi pada lintasan A-B-C lapangan panas bumi Sipoholon
Gambar 4.6 Model gravitasi pada lintasan A-B-C lapangan panas bumi Sipoholon
39
Gambar 4.7 Model geologi dalam bentuk penampang pada lapangan panas bumi Sipoholon lintasan A-B-C
40
Profil anomali gravitasi (Gambar 4.5) menunjukkan besar nilai gravitasi pada penampang A-B-C. Sedangkan model gravitasi (Gambar 4.6) merupakan hasil dari interpretasi dari anomali gravitasi dengan menentukan jumlah satuan yang ada dan nilai densitas dari sempel batuan (Tabel 4.1). Model gravitasi dibuat berdasarkan kondisi geologi di daerah penelitian. Model geologi (Gambar 4.7) merupakan hasil interpretasi dari model gravitasi dan model geologi ini dapat dianggap sebagai penampang geologi untuk menginterpretasi sistem panas bumi seperti kedalaman potensi sumber panas, letak dan satuan dari batuan penutup dan reservoar, tapi harus dikombinasikan dengan data yang lain. Model geologi dari data anomali residual (Gambar 4.7) baik digunakan untuk mengetahui keadaan struktur bawah permukaan daerah penelitian karena nilai gravitasi anomali residual menunjukkan kondisi bawah permukaan yang sebenarnya. Pada model geologi terlihat adanya struktur graben (graben Tarutung) yang merupakan zona depresi Sesar Sumatera segmen Batang Toru (M.Lumbanbatu, 2005) dan terbentuk hasil dari pergerakan Sesar Sumatera. Graben ini terisi oleh Satuan Piroklastik Toba hasil dari letusan gunung api Toba yang meletus pada kala Plistosen Tengah (Graha, 1997). Letusan gunung api Toba menghasilkan produk piroklastik yang sangat besar, sehingga menutupi lapisan yang lebih tua dengan skala regional dan endapan piroklatik yang dihasilkan tebal. Model geologi juga menunjukkan adanya intrusi pada kedalaman ±1700-1800 m berada di sebelah barat-laut dan tenggara penampang. Penulis memperkirakan kedua intrusi tersebut adalah intrusi andesit dan memperkirakan intrusi yang berada di barat-laut merupakan sisa magma hasil dari pusat erupsi Dolok Palangka Gading yang terjadi pada zaman Kuarter (Pusat Sumberdaya Geologi, 2005) karena letak anomali positif tersebut berada di sekitar Dolok Palangka Gading. Sedangkan intrusi yang berada di tenggara penampang model geologi (gambar 4.7) diperkirakan sisa magma dari kegiatan vulkanik dari titik erupsi Dolok Jorbing dengan jenis batuan adalah andesit piroksen yang berumur Miosen Tengah (Pusat Sumberdaya Geologi, 2005).
41
Daerah penelitian merupakan daerah yang memiliki kegiatan tektonik sangat aktif karena berada tepat di zona Sesar Sumatera. Ada 4 proses tektonik di Sumatera yang mempengaruhi geologi daerah penelitian (Graha, 1997) : •
Tektonik Mesozoikum Tengah, mengakibatkan deformasi yang menyebabkan batuan Paleozoikum sampai Mesozoikum tersingkap sepanjang Bukit Barisan (uplift bukit barisan) disertai intrusi batholit.
•
Deformasi Kapur Akhir-Tersier Awal, menghasilkan sesar geser berarah utara-selatan dan zona depresi,
•
Tektonik Miosen tengah, mengakibatkan terangkatnya Bukit Barisan disertai penyesaran
•
Tektonik
Plio-Plistosen,
mengakibatkan
berkembangnya
sesar
geser
menganan. Namun proses tektonik pada kala Miosen Tengah dan Plio-Plistosen yang memungkinkan membentuk sistem sumber panas (intrusi) di daerah penelitian. Berdasarkan peta geologi regional lembar Sidikalang (Aldiss dkk, 1982) terdapat pusat-pusat erupsi di sekitar daerah penelitian yang berumur Miosen Tengah dan PlioPlistosen. Hal ini disebabkan karena kedua proses tektonik tersebut menyebabkan terbentuknya zona lemah yang mengakomodasi magma mencapai ke permukaan. Selain itu fisiografi daerah penelitian berada di busur vulkanik yang merupakan pusat vulkanisme.
42
4.2 Resistivitas Metode resistivitas atau disebut juga dengan metode Geolistrik merupakan metode geofisika yang digunakan untuk mengetahui karakter fisik batuan di bawah permukaan berupa penyebaran resistivitas batuan. Seperti yang tertulis pada bab 2 (Prinsip Dasar), metode ini menangkap arus yang dikirimkan ke tanah, dan menghitung beda potensial yang ada. Dengan mengetahui kuat arus dan beda potensial, maka resistivitas semu akan diperoleh. Nilai resistivitas batuan mencerminkan kondisi fisik dari batuan yang diamati. Nilai resistivitas batuan berbanding terbalik dengan nilai konduktivitas batuan yang memiliki hubungan semakin konduktif suatu batuan maka nilai resistivitasnya akan semakin kecil. Dari sudut pandang geologi, nilai konduktivitas batuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain porositas, temperatur, permeabilitas, keberadaan dan jenis fluida, serta indikasi kandungan logam. Porositas dan permeabilitas pada batuan memberikan ruang untuk di isi oleh fluida. Karena fluida memiliki konduktivitas yang lebih tinggi dari konduktivitas batuan sekitarnya, maka keberadaan porositas dan permeabilitas yang diikuti oleh kehadiran fluida akan memberikan nilai resistivitas yang lebih kecil dari batuan sekitarnya. Jenis fluida juga mempengaruhi harga konduktivitas, sebagai contoh fluida pada sistem geothermal umumnya banyak mengandung ion-ion seperti CO3, HCO3, SO4, Cl, dan lainnya yang berkontribusi meningkatkan harga konduktivitas batuan. Metode resistivitas pada studi ini menggunakan konfigurasi Schlumberger yang titik pengukurannya berupa garis lurus dan memiliki jarak antartitik pengukuran yang relatif sama (Gambar 2.2)
Data resistivitas yang digunakan pada studi ini ada 2, yaitu penampang resistivitas (sounding) dan pemetaan resistivitas (mapping). Data resistivitas batuan pada penelitian ini diolah menjadi 2 bagian, yaitu pembuatan penampang resistivitas (sounding) dan pemetaan resistivitas batuan (mapping). Data pemetaan resistivitas (mapping) menunjukkan penyebaran lateral dari resistivitas batuan pada kedalaman tertentu yang ditampilkan dalam bentuk peta kontur dengan program Surfer 8 dan Global Mapper. Untuk pemetaan resistivitas (mapping) dengan menggunakan konfigurasi Schlumberger. Data resistivitas baik data pemetaan dan data sounding yang tersedia terdapat di bagian utara daerah penelitian (Gambar 4.8).
43
Sedangkan data penampang resistivitas semu mencerminkan total resistivitas yang terbaca di setiap titik penelitian, yang diolah dengan program IPI2win. Pada studi ini, dari data yang ada dan berdasarkan daerah yang memiliki nilai resistivitas rendah, maka dibuat 3 buah penampang resistivitas semu, yaitu: penampang line B (B3000, B4000, dan B4500), line C (C2000, C3000, dan C4050), dan D (D2000, D3000, dan D4800). Penampang resistivitas ini dapat digunakan untuk mengetahui kedalaman dari zona resistivitas rendah (batuan penutup). Pada umumnya nilai resistivitas tinggi terdapat pada zona yang dingin dari suatu sistem panas bumi (pada zona di atas batuan penutup) dimana memiliki temperatur kurang dari 70°C, hal ini diakibatkan karena pada zona ini saturasi air yang tidak bagus sehingga sedikit alterasi hidrotermal. Sedangkan nilai resistivitas yang lebih kecil 1-10 Ωm ditemukan pada selang temperatur 70-200°C. Resistivitas rendah dapat berasosiasi dengan zona yang memiliki fluida panas dan salinitas dari suatu sistem panas bumi. Umumnya resistivitas rendah dihubungkan dengan lempung hidrotermal yang terjadi pada temperatur tertentu. Untuk temperatur lebih besar dari 200°C memiliki nilai resistivitas yang lebih besar dari 100 Ωm tergantung dari jenis litologinya (Ussher dkk, 2000). Pada eksplorasi atau penyelidikan potensi panas bumi metode resistivitas digunakan untuk mengetahui zona batuan penutup. Berdasarkan penjelasan di atas, penentuan zona penutup adalah daerah yang memiliki nilai resistivitas rendah (1-10 Ωm). Kedua metode yang digunakan dapat menentukan penyebaran lateral dan dan kedalaman dari batuan penutup, tapi tebal dari zona alterasi ini tidak dapat ditentukan dengan pasti.
44
Gambar 4.8 Peta lokasi pengukuran resistivitas lapangan Sipoholon
45
Gambar. 4.9 Pemetaan resistivitas (mapping) AB/2=500m
46
Gambar. 4.10 Pemetaan resistivitas (mapping) AB/2=750m
47
Gambar. 4.11 Pemetaan resistivitas (mapping) AB/2=1000m
48
Dari hasil pemetaan dan penampang resistivitas dapat diamati adanya daerahdaerah dengan nilai resistivitas yang kecil. Nilai resistivitas yang kecil berarti batuan yang ada memiliki konduktivitas yang besar, hal ini bisa disebabkan adanya porositas yang besar dan terisi oleh fluida sehingga nilai konduktivitas naik. Adanya Batuan dengan porositas besar dan terisi fluida dapat berfungsi sebagai reservoar yang baik. Untuk itu dalam mencari prospek keberadaan reservoar dan batuan penutup adalah dengan mencari keberadaan daerah-daerah dengan nilai resistivitas yang kecil. Berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa nilai resistivitas yang dijadikan target adalah yang memiliki nilai resisitivitas rendah dan mendelineasi daerah-daerah yang memiliki nilai resistivitas rendah, baik dari pemetaan resistivitas maupun penampang resistivitas. Karena daerah tersebut merupakan daerah yang memiliki potensi panas bumi yang baik sebagai batuan penutup ataupun reservoar panas bumi. Hasil dari pemetaan resistivitas AB/2=500m,750m,dan 1000m (Gambar 4.9, Gambar 4.10, dan Gambar 4.11) terlihat penyebaran resistivitas rendah terletak di sekitar depresi Tarutung atau di sekitar mata air panas Sipoholon. Penyebaran resistivitas rendah ini sangat dipengaruhi oleh struktur sesar (zona depresi) di sekitar Sipoholon karena struktur sesar memungkinkan fluida hidrotermal naik dan fluida tersebut menyebabkan batuan yang dilalui berubah menjadi lempung hidrotermal yang dapat bertindak sebagai batuan penutup maupun reservoar sistem panas bumi. Berdasarkan pementaan resistivitas AB/2=500m terlihat penyebaran nilai resistivitas rendah berada di sebelah barat dari peta resistivitas dan berada di sekitar sesar Sigeon dan sesar Pintubosi dan juga di sekitar manifestasi air panas Sipoholon dan Tapian Nauli. Kedalaman zona resistivitas rendah. Sedangkan dari pemetaan resistivitas AB/2=750m terlihat penyebaran zona resistivitas rendah mulai lebih luas dari pada AB/2=500m. Nilai resistivitas rendah masih terletak di sebelah barat peta, tapi dibandingkan dengan AB/2=500m zona tersebut mulai menyebar ke arah utara dan ke arah timur di tengah-tengah depresi Tarutung (di antara sesar Sigeon dan sesar Sipoholon). Penyebaran zona yang luas dari zona ini karena zona ini terletak lebih dalam dan perubahan akibat fluida hidrotermal lebih intensif. Sedangkan untuk pemetaan resistivitas AB/2=1000m,
terlihat penyebaran zona resistivitas rendah
mulai meluas ke bagian selatan dan timur peta pemetaan resistivitas. Penyebaran resistivitas rendah di daerah depresi Tarutung (diantara sesar Sipoholon dan sesar Sigeon), utara sesar Pintubosi dan sebelah barat sesar Sigeon sudah terlihat jelas. 49
Sedangkan secara keseluruhan terlihat perubahan penyebaran nilai resistivitas di sebelah timur sesar Sipoholon, dari peta pemetaan AB/2=500m dan 750m terlihat penyebaran nilai resistivitas tinggi (lebih besar dari 45 Ωm) di sebelah timur sesar Sipoholon dan berdasarkan peta pemetaan resistivitas AB/2=1000 penyebaran nilai resistivitas mulai menunjukkan nilai resistivitas sedang (15 Ωm-30 Ωm). Hal ini menunjukkan bahwa di sebelah timur sesar Sipoholon nilai resistivitas rendah berkembang.
Gambar 4.12 Potensi batuan penutup berdasarkan metode pemetaan resistivitas
50
Gambar 4.13 Penampang resistivitas line B3000, B4000, dan B4500
51
Gambar 4.14 Penampang resistivitas line C2000, C3000, dan C4050
52
Gambar 4.15 Penampang resistivitas line D2000, D3000, dan D4800
53
Sedangkan Penampang resistivitas lapangan panas bumi Sipoholon dapat menujukkan penyebaran nilai resistivitas secara vertikal dan sudah menunjukkan nilai kedalaman. Pada penampang B 3100-B 4000-B 4500 (Gambar 4.13) zona resistivitas rendah berada pada kedalaman lebih dari 200 m dan tersebar di sekitar B 3100 dekat dengan sesar Sipoholon dan sesar Pintubosi. Sedangkan pada penampang line C 2000C 3000-C 4050 (Gambar 4.14), terlihat nilai resistivitas di bawah 10 Ω meter yang berada kedalaman 600m. Pada penampang diagonal D 2000, D 3000, D 4800 (Gambar 4.15), zona resistivitas rendah berada pada kedalaman 800m. Dengan pertimbangan bahwa akurasi vertikal dari penampang resistivitas lebih baik dari pemetaan (mapping), maka kedalaman zona resistivitas rendah berada pada kedalaman 200 m hingga 1000 m dengan penyebaran lateral resistivitas rendah yang tidak homogen. Oleh karena itu, penampang resistivitas dapat mendukung data resistivitas pada pemetaan resistivitas. Nilai resistivitas batuan mencerminkan kondisi fisik dari batuan yang diamati. Nilai resistivitas batuan berbanding terbalik dengan nilai konduktivitas batuan, yang memiliki hubungan semakin konduktif suatu batuan maka nilai resistivitasnya akan semakin kecil. Dari sudut pandang geologi, nilai konduktivitas batuan dapat digambarkan sebagai adanya faktor porositas, permeabilitas, keberadaan dan jenis fluida. Sehingga zona batuan penutup daerah panas bumi Sipoholon terletak pada kedalaman 200 m – 1000 m. Berdasarkan peta geologi Aldiss dkk (1982) dan Pusat Sumberdaya Geologi (2005), potensi zona batuan penutup terletak pada Satuan Piroklastik Toba. Sedangkan zona potensi batuan reservoar diestimasi berdasarkan nilai pemetaan resistivitas (mapping) dan penampang (sounding) yang menunjukkan zona dengan nilai resistivitas tinggi dan terletak di bawah batuan penutup yang memiliki nilai resistivitas rendah. Hasil alterasi pada temperatur tinggi memiliki konduktivitas rendah, sehingga pada zona reservoar memiliki salinitas yang rendah sampai sedang dan menyebabkan zona ini memiliki nilai resistivitas tinggi (Ussher dkk, 2000). Potensi zona reservoar terletak pada kedalaman lebih dari 1000m berdasarkan penampang resistivitas (gambar 4.13, gambar 4.14, dan gambar 4.15). Berdasarkan peta geologi (Aldiss dkk, 1982) dan Pusat Sumberdaya Geologi (2005), potensi zona reservoar terletak pada Formasi Kluet dengan kedalaman lebih dalam dari 1000 m di bawah permukaan dan dengan media fluida adalah rekahan. Terbentuknya rekahan-
54
rekahan sebagai media fluida ini diperkirakan akibat tektonik yang sama membentuk Sesar Sumatera, yang disimpulkan dari orientasi sesar-sesar normal yang terdapat di daerah Sipoholon memiliki orientasi yang sama dengan Sesar Sumatera, yaitu barat laut- tenggara.
Gambar 4.16 Peta potensi panas bumi daerah Sipoholon
55
Gambar 4.17 Model konseptual sistem panas bumi daerah Sipoholon
56
57
58