Bab IV Akuisisi, Pengolahan dan Interpretasi IV.1 Data Resistivitas Pengukuran resistivity sounding dilakukan di lokasi Brumbung dan Pulau Sapeken (Gambar IV.1), dengan menggunakan konfigurasi Schlumberger. Pengukuran sounding di Brumbung (Gambar IV.1a) terdiri dari 4 titik pengukuran yakni S6, S7, S8 dan S9. Sedangkan pengukuran di Pulau Sapeken (Gambar IV.1b) terdiri dari 5 titik sounding yakni S1, S2, S3, S4 dan S5. Akuisisi dari pengukuran resistivity sounding dengan menggunakan konfigurasi Schlumberger ini, dilakukan menurut skema yang ditunjukkan pada Gambar IV.2. Seluruh pengukuran sounding dimulai dari panjang AB/2 = 1 meter pada MN/2 = 0,25 meter sampai dengan panjang bentangan (AB/2) maksimum, yaitu antara 100-150 meter pada MN/2 = 20 meter, untuk target kedalaman sekitar 20-30 meter. Pengolahan data resistivity sounding dalam penelitian ini (contoh data pada Lampiran 1), dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak IPI2Win versi 2.0.
Gambar IV.1 Lokasi pengukuran geolistrik, (a) Brumbung dan (b) Pulau Sapeken
28
G Gambar IV.22
Skema akuisisi ressistivity souunding mennggunakan konfigurasi k berger Schlumb
P Pengukuran resistivity imaging haanya dilakuukan di Pullau Sapekenn (Gambar I IV.1b) deng gan mengguunakan konnfigurasi Wenner-Schlu W umberger, seebanyak 4 l lintasan pen ngukuran, yaaitu C-D (P11), E-F (P2),, S-T (P3) dan d X-Y (P44). Akuisisi p pengukuran resistivity imaging ddengan men nggunakan konfigurasii WennerS Schlumberg er, dilakukaan menurut skema yangg ditunjukkaan pada Gam mbar IV.3, d dengan panjang bentang gan 100 meteer untuk targ get kedalamaan sekitar 200 meter. P Pengolahan data resistiivity imaginng (contoh data d pada Lampiran L 2) dilakukan d dengan men nggunakan so oftware kom mputer RES2D DINV.
G Gambar IV.3
Skema akkuisisi resistivity imagingg menggunakan konfiguraasi WennerSchlumberrger (Loke, 2004)
29
Hasil inversi data resistivity sounding di Pulau Sapeken (S1, S2, S3, S4, S5), diperoleh kurva sounding sebagaimana ditunjukkan pada Gambar IV.4 berikut:
Gambar IV.4 Hasil inversi dari data pengukuran resistivity sounding di Pulau Sapeken untuk titik sounding S1, S2, S3, S4 dan S5.
Dari Gambar IV.4, terlihat bahwa kurva sounding S1 (dekat laut) menunjukkan pola kurva yang smooth, mengindikasikan adanya lapisan yang relatif homogen dimana pada lapisan-lapisan atas memiliki resistivitas rendah, yang kemudian secara gradual harga resistivitas meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Sehingga di pantai sebelah utara Pulau Sapeken, memungkinkan intrusi air laut hanya terjadi pada lapisan-lapisan atas dimana harga resistivitasnya rendah. Sedangkan sounding-sounding (S2, S3, S4, S5) yang makin jauh dari pantai bagian utara Sapeken menunjukkan pola kurva lapangan yang eratik, mengindikasikan adanya perselingan antara struktur batugamping yang terisi air (resistivitas rendah) dan batugamping masif atau struktur batugamping yang terisi udara (resistivitas tinggi). Hasil inversi titik-titik sounding pada Gambar IV.4, selanjutnya dapat dikorelasikan untuk menghasilkan penampang resistivitas bawah permukaan yang ditunjukkan pada Gambar IV.5a dan IV.5b berikut:
30
Gambar IV.5a Penampang vertikal electrical sounding (VES) dari korelasi sounding S1, S2, S3, S4 dan S5 di lokasi Pulau Sapeken
Pada Gambar IV.5a, di titik sounding paling utara (S1) yang berdekatan dengan laut, mengindikasikan adanya zona resistivitas yang sangat rendah pada lapisan atas yaitu kurang dari 1 Ωm, yang diduga sebagai zona intrusi air laut.
Gambar IV.5b Penampang vertikal electrical sounding (VES) di Pulau Sapeken menggunakan program IPI2Win; atas, pseudo cross-section dan bawah, resistivity section.
31
Sedangkan zona resistivitas rendah (16,9-235 Ωm) yang berada di antara sounding S2 sampai S4 diidentifikasi sebagai zona air tanah. Zona-zona resistivitas yang rendah ini juga terlihat pada penampang Gambar IV.5b, yang diindikasikan sebagai warna hitam-biru. Pada bagian tengah penampang tersebut juga terlihat adanya zona resistivitas rendah yang terpisah dari lainnya, dalam kasus ini diduga sebagai struktur-struktur batugamping (goa atau rekahan) yang terisi air. Hasil-hasil inversi 2D resistivity imaging di Pulau Sapeken untuk lintasan P1, P2, P3 dan P4 ditunjukkan pada Gambar IV.6. Penampang F-E (P2) merupakan penampang bagian paling selatan, penampang C-D (P1) di bagian tengah, dan penampang S-T (P3) pada bagian paling utara (dekat laut), dimana ketiga penampang ini berarah relatif selatan-utara. Sedangkan penampang X-Y (P4) berarah timur-barat yang memotong penampang C-D (P1), dimana di dekat perpotongan kedua penampang tersebut terdapat sumur domestik. Dari keempat penampang imaging di Pulau Sapeken (Gambar IV.6) mengindikasikan adanya zona-zona resistivitas rendah (warna biru) yang diidentifikasi sebagai akumulasi air tanah dalam struktur-struktur batugamping. Selain itu juga terlihat adanya zona resistivitas yang sangat tinggi (warna merah-coklat tua), yang mana diidentifikasi sebagai batugamping masif atau goa batugamping yang terisi udara. Dari Gambar IV.6 juga diindikasikan adanya zona kontras resistivitas (resistivitas tinggi dan rendah) yang diidentifikasi sebagai sesar atau rekahan (dalam Gambar IV.6 ditunjukkan dengan garis hitam tebal). Khusus pada lintasan S-T (P3) yang paling dekat dengan laut bagian utara, menunjukkan adanya zona resistivitas tinggi sebagaimana diindikasikan oleh kurva sounding Sapeken S1. Zona resistivitas tinggi ini diduga sebagai penghalang terhadap masuknya air asin dari akuifer air laut ke dalam akuifer air tawar. Berdasarkan hasil-hasil dari interpretasi resistivity sounding dan imaging di lokasi Pulau Sapeken (Gambar IV.5 dan IV.6), dan didukung oleh data penampangpenampang geologi pada Bab III, maka selanjutnya dapat dibuat perkiraan geometri akuifer di Pulau Sapeken (Gambar IV.7). Batas antara zona batugamping masif dan zona intrusi air laut diestimasi dari interpretasi resistivity sounding (Gambar IV.5), sedangkan struktur-struktur sesar ataupun rekahan diestimasi dari
32
Gambar IV.6
Hasil-hasil penampang resistivity imaging pada lintasan Selatan-Utara di Pulau Sapeken.
33
Gambar IV.7
Hasil perkiraan bentuk geometri akuifer berdasarkan hasil-hasil interpretasi resistivity sounding dan imaging, serta penampangpenampang geologi pada lokasi Pulau Sapeken.
resistivity imaging (Gambar IV.7) dimana melewati kedalaman sekitar 20 meter, geometri struktur-struktur tersebut diperkirakan. Hasil inversi data resistivity sounding di Brumbung (S6, S7, S8, S9), diperoleh kurva sounding sebagaimana ditunjukkan pada Gambar IV.8 berikut:
Gambar IV.8 Hasil inversi dari data pengukuran resistivity sounding di Brumbung (Pulau Paliat) untuk titik- titik sounding S6, S7, S8 dan S9.
34
Dari kurva-kurva sounding pada Gambar IV.8 menunjukkan pola-pola kurva yang relatif beragam. Pada kurva sounding S6 menunjukkan pola kurva lapangan yang relatif smooth dimana lapisan atas memiliki resistivitas yang lebih tinggi dari pada lapisan di bawahnya. Sedangkan pada S7, S8 dan S9, menunjukkan pola-pola kurva lapangan yang eratik. Secara umum pola-pola kurva lapangan di lokasi Brumbung (Gambar IV.8) menunjukkan pola-pola kurva yang semakin eratik ketika mendekati batas laut. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya beberapa zona intrusi air laut pada akuifer air tawar yang berbatasan dengan akuifer air laut. Hasil inversi titik-titik sounding dari Gambar IV.8, selanjutnya dapat dikorelasikan untuk menghasilkan penampang resistivitas bawah permukaan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar IV.9a dan IV.9b. Dari Gambar IV.9a ditunjukkan adanya zona-zona resistivitas rendah (4,19-7,2 Ωm) yang berada pada lapisan yang lebih dalam dari sounding S6 hingga S7 dan pada lapisan dangkal dari sounding S8 hingga S9. Pada sounding S9 yang berbatasan dengan laut, ketebalan zona resistivitas rendah ini sekitar 7 m dan semakin menipis hingga menjadi sekitar 2 m di sounding S8. Zona resistivitas rendah yang berbatasan dengan laut ini, selanjutnya diidentifikasi sebagai zona intrusi air laut,
Gambar IV.9a Penampang vertikal electrical sounding (VES) dari korelasi sounding S6, S7, S8 dan S9 di lokasi Brumbung
35
Gambar IV.9b Penampang vertikal electrical sounding (VES) di Brumbung menggunakan program IPI2Win; atas, pseudo cross-section dan bawah, resistivity section.
sedangkan zona resistivitas rendah di bagian tengah (S6-S7) diidentifikasi sebagai struktur rekahan atau goa batugamping yang terisi air. Zona-zona resistivitas yang rendah ini juga terlihat pada penampang Gambar IV.9b, yang diindikasikan sebagai warna hitam-biru. Bahkan pada penampang ini terlihat beberapa zona resistivitas rendah pada S9, yang diduga sebagai zona-zona intrusi air laut.
IV.2 Data Kualitas Air Data kualitas air diperoleh dari pengambilan sampel air sumur dan mata air dari daerah penelitian untuk kemudian dilakukan analisa sifat fisika-kimianya di laboratorium guna mengetahui kualitas air dan perkiraan jenis air tanahnya. Analisis sampel air dilakukan di Laboratorium Teknik Lingkungan ITB yang mengacu pada Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater (SMEWW) 20th Edition 1998 dan Standar Nasional Indonesia (SNI) Tahun 1991. Parameter fisika-kimia air yang dianalisis meliputi: (1) salinitas, (2) TDS, (3) DHL dan (4) pH.
36
Hasil analisis kualitas air terhadap sampel-sampel air di Pulau Sapekan yang dilakukan pada Agustus 2005 (musim kemarau) ditunjukkan pada Tabel IV.1. Tabel IV.1 Hasil analisa laboratorium dari sampel-sampel air di Pulau Sapeken pada bulan Agustus 2005 berdasarkan SMEWW 1998 dan SNI 1991 No.
Kode
1 2 3 4 5 6 7 8 9
S1A* S1B* S4 S5 S6 S7 S8 S9 S11
Salinitas (‰) 1.3 2.0 3.6 3.7 1.5 1.1 2.2 1.0 1.3
Analisis TDS (mg/L) DHL (µS/cm) 1750 2500 2710 3860 4600 6570 4780 6840 2010 2850 1573 2250 2850 4080 1416 2020 1786 2560
pH 7.65 8.02 7.78 7.88 7.86 7.74 7.96 7.75 7.99
Ket.: * sumur-sumur kunci
Dari Tabel IV.1, dapat diketahui bahwa kualitas air di Pulau Sapeken sangat bervariasi, yang nilai-nilainya berada di antara sampel S9 dan S5. Sampel S9 memiliki nilai salinitas, TDS dan DHL yang paling rendah, berturut-turut, 1,0 ‰, 1.416 mg/L dan 2.020 µS/cm, sedangkan sampel S5 memiliki nilai salinitas, TDS dan DHL yang paling tinggi, berturut-turut, 3,7 ‰, 4.780 mg/L dan 6.840 µS/cm. Menurut klasifikasi USGS (Fetter, 1994) berdasarkan kandungan garam-garam terlarutnya (TDS), seluruh sampel di Pulau Sapeken termasuk dalam kategori air payau (TDS antara 1.000-10.000 mg/L). Selain itu, pH air juga menunjukkan nilai-nilai yang bervariasi, yakni mulai dari 7,65 di S1A hingga 8,02 di S1B. Untuk tujuan air minum, rentang batas pH air yang diizinkan menurut ketentuan WHO (Laluraj et al., 2005) adalah 6,5-8,5. Sehingga seluruh sampel air di Pulau Sapeken berdasarkan nilai pH-nya, layak untuk dikonsumsi. Data kualitas air Pulau Sapeken pada Tabel IV.1, dapat juga disajikan dalam bentuk kontur untuk masing-masing parameter analisis, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar IV.10. Hasil sayatan dari masing-masing peta kontur Gambar IV.10, dihasilkan penampang-penampang yang ditunjukkan pada Gambar IV.11. Dari Gambar IV.10 dan IV.11, terlihat adanya variasi kualitas air di Pulau Sapeken
37
B
B
A
A B
B
A
A
Gambar IV.10 Peta kontur dari parameter-parameter kualitas air di Pulau Sapeken; (a) salinitas, (b) TDS, (c) DHL dan (d) pH.
yang heterogen dan tidak ada hubungan yang sistematik dengan jauhnya garis pantai. Sebagai contoh, pada garis pantai sebelah utara dimana terdapat sumur S11, S9, S1A dan S1B, memiliki harga salinitas yang relatif rendah yaitu antara 12 ‰; sedangkan di garis pantai sebelah selatan (sumur S4 dan S5) dengan jarak garis pantai yang hampir sama, memiliki harga salinitas yang relatif tinggi, yaitu 3,6 dan 3,7 ‰. Sedangkan variasi nilai-nilai pH (Gambar IV.10d) dapat dihubungkan dengan ion-ion yang terkandung pada setiap tubuh air.
38
Gambar IV.11 Penampang A-B dari setiap peta kontur pada Gambar IV.10; (a) salinitas, (b) TDS, (c) DHL dan (d) pH.
Hasil analisa laboratorium terhadap sampel-sampel air di Pulau Paliat yang dilakukan pada bulan Agustus 2005 (musim kemarau) ditunjukkan pada Tabel IV.2. Dari Tabel IV.2 terlihat bahwa kandungan TDS pada sampel air P1 sebesar 918 mg/L, sampel SM7 sebesar 2.620 mg/L dan sampel S17 (sumur kunci) sebesar 1.744 mg/L. Sesuai kriteria USGS (Fetter, 1994) diketahui bahwa sampel SM7 dan S17 merupakan air payau, sedangkan sampel P1 merupakan air tawar (TDS < 1.000 mg/L). Di samping itu, nilai pH pada sampel air P1, SM7 dan S17, Tabel IV.2 Hasil analisa laboratorium terhadap sampel-sampel air di Pulau Paliat pada bulan Agustus 2005 berdasarkan SMEWW 1998 dan SNI 1991
No.
Kode
1
P1
2 3
Analisis Salinitas (‰)
TDS (mg/L)
DHL (µS/cm)
pH
0.7
918
1312
7.68
SM7
2.0
2620
3960
7.61
*
1.3
1744
2490
7.20
S17
Ket.: * sumur kunci
39
berturut-turut, sebesar 7,68, 7,61 dan 7,20, dimana menurut kriteria WHO (Laluraj et al., 2005) ketiga sampel di Pulau Paliat ini termasuk air dalam kategori layak minum. Data kualitas air Pulau Paliat pada Tabel IV.2, dapat disajikan dalam bentuk kontur untuk masing-masing parameter analisis, yang hasilnya ditunjukkan pada Gambar IV.12. Hasil sayatan dari masing-masing peta kontur Gambar IV.12, dihasilkan penampang-penampang yang ditunjukkan pada Gambar IV.13. Dari Gambar IV.12 dan IV.13, terlihat adanya variasi kualitas air di Pulau Paliat yang heterogen dan tidak ada hubungan yang sistematik dengan jauhnya garis pantai. Di daerah Brumbung dimana terdapat sampel P1 (dekat pantai sebelah utara) dan di daerah Tanjung dimana terdapat sampel S17 (dekat pantai sebelah timur), memiliki kandungan salinitas yang relatif rendah, berturut-turut, 0,7 ‰ dan 1,3 ‰; sementara itu, sampel SM7 yang letaknya agak jauh dari garis pantai sebelah selatan, memiliki kandungan salinitas yang relatif tinggi yaitu sebesar 2 ‰.
Gambar IV.12 Peta kontur dari parameter-parameter kualitas air di Pulau Paliat; (a) salinitas, (b) TDS, (c) DHL dan (d) pH. 40
Gambar IV.13
Penampang A-B dari setiap peta kontur pada Gambar IV.12; (a) salinitas, (b) TDS, (c) DHL dan (d) pH.
Dari peta-peta kontur (Gambar IV.10 dan IV.12) dan penampang-penampang (Gambar IV.11 dan IV.13), secara umum menunjukkan pola-pola untuk salinitas, TDS dan DHL yang relatif serupa. Hal ini terjadi karena parameter-parameter tersebut memiliki hubungan yang positif, dalam arti makin tinggi kandungan garam-garam terlarut (TDS atau salinitas) dalam air tanah, maka makin tinggi pula nilai DHL yang dihasilkan. Sedangkan pola kontur dan penampang untuk pH, menunjukkan pola-pola yang relatif berbeda dari parameter lainnya, yang mana diduga dipengaruhi oleh perbedaan kandungan ion dari setiap sampel air. Selanjutnya, hasil analisis laboratorium pada bulan Maret 2006 (musim hujan) terhadap parameter-parameter kualitas air di Pulau Paliat dan Pulau Sapeken pada sumur-sumur kunci (S1A, S1B, S17) dan mata air Ostberk (Pulau Kangean) yang mana diasumsikan sebagai salah satu daerah recharge, ditunjukkan pada Tabel IV.3. Pada Tabel IV.3, disajikan juga kandungan ion-ion yang terdapat pada masing-masing sampel. Harga TDS tidak disajikan, namun dapat dihitung dengan menjumlahkan ion-ion dari Tabel IV.3 untuk masing-masing sampel. Dari perhitungan terhadap ion-ionnya diperoleh nilai TDS sebesar 1174,3 mg/L dan 1477,7 mg/L, berturut-turut, untuk sampel air Sapeken S1A dan S1B, serta TDS sebesar 1409,2 mg/L untuk sampel air Tanjung S17. 41
Tabel IV.3 Hasil analisa laboratorium dari kualitas air di sumur-sumur kunci dan sampel daerah recharge pada bulan Maret 2006 berdasarkan SMEWW 1998 dan SNI 1991 Hasil Analisis Parameter Analisis
Satuan
Metoda
S1A
S1B
S17
Ma. Ostberk
Salinitas
‰
SMEWW 2520
0,4
1,1
1,0
0.5
Daya hantar listrik
µS/cm
SMEWW 2510
1847
2260
1950
1045
pH
-
SMEWW 4500-H+
7,53
7,44
6,72
6,96
Natrium (Na )
mg/L
SMEWW 3500-Na
245,19
314,5
149,3
88.89
Kalium (K+)
mg/L
SMEWW 3500-K
10,36
2,63
2,53
4,02
mg/L
SMEWW 2340-C
345
407,8
598
372,6
Kalsium (Ca )
mg/L
SMEWW 3500-Ca
75,39
102,18
206,4
107,14
Magnesium (Mg2+)
mg/L
SMEWW 3500-Mg
38,15
36,54
20,2
25,58
Karbon dioksida (CO2)
mg/L
SMEWW 4500-CO2
8,76
15,76
24,5
16,64
Bikarbonat (HCO3 )
mg/L
SNI 06-2420
328,3
434,37
525,3
467,19
Klorida (Cl-)
+
Kesadahan (CaCO3) 2+
-
mg/L
SMEWW 4500-Cl
356,4
430,65
306,9
108,9
(SO42-)
mg/L
SMEWW 4500-SO4
86,43
114,02
139
23,87
Silikat (SiO2)
mg/L
SMEWW 4500-SiO2
24,5
26,07
34,36
16,39
Boron (B)
mg/L
SMEWW 4500-PO4
0,01
0,0096
0,010
0
Fluorida (F)
mg/L
SMEWW 3500-Fe
0,80
1,0
0,70
0.4
mg/L
SNI 06-2420
-
-
-
-
Sulfat
Karbonat
(CO32-)
Analisis lebih lanjut terhadap sampel-sampel air di sumur-sumur kunci dan suatu sampel yang merepresentasikan daerah recharge pada musim hujan (Tabel IV.3), dapat
dilakukan
menggunakan
diagram
trilinier
Piper,
yaitu
dengan
mengelompokkan ion-ion utamanya sebagai kation dan anion. Hal ini dilakukan dengan mengkonversi semua konsentrasi ion ke satuan ekuivalen/liter, menggunakan persamaan berikut: Konsentras i ( meq L ) =
Konsentras i ( mg L ) Berat ekivalen ion
(21)
dimana Berat ekivalen ion =
Berat atom relatif ( Ar ) Valensi ion
42
(22)
Selanjutnya, persen dari konsentrasi-konsentrasi (dalam meq/L) kation dan anion, diplot dalam diagram trilinier yang sesuai. Perpotongan antara dua garis dari titik kation dan anion yang bersesuaian kemudian diplot pada bidang berbentuk belah ketupat (Gambar IV.14a). Klasifikasi berdasarkan ion-ion dominan dalam fasies hidrokimia (Gambar IV.14b), dapat digunakan untuk menggambarkan tubuhtubuh air tanah pada suatu akuifer yang berbeda komposisi kimianya.
Gambar IV.14 Penyajian hasil analisis kimia air, (a) Diagram Piper, (b) Sistem klasifikasi hidrokimia untuk air-air natural (Fetter, 1994).
Hasil plot ke dalam diagram trilinier Piper dari sampel air sumur Sapeken (S1A, S1B), mata air Tanjung-Pulau Paliat (S17) dan mata air Ostberk-Pulau Kangean (Tabel IV.3), disajikan pada Gambar IV.15. Berdasarkan klasifikasi fasies hidrokimia (Gambar IV.14b), dapat diketahui bahwa jenis air di mata air Ostberk Pulau Sapeken ternyata didominasi oleh fasies Ca-HCO3, mata air Tanjung Pulau Paliat (S17) didominasi oleh fasies Ca-Cl, dan air sumur Sapeken S1A dan S1B, masing-masing, didominasi oleh fasies Na-Cl. Menurut klasifikasi Stuyfzand (Giménez & Morell, 1997), urutan fasies hidrokimia air tanah selama tahap intrusi yang bersesuaian dengan musim kemarau dan tahap penyegaran yang bersesuaian dengan musim hujan ditunjukkan pada Gambar IV.16. Pada tahap penyegaran, menurut klasifikasi Stuyfzand, proses pertukaran ion yang terjadi disebut direct ion exchange, sedangkan pada tahap intrusi disebut reverse ion exchange.
43
Gambar IV.15 Hasil plot diagram Piper dari sampel air S1A, S1B, S17 dan mata air Ostberk ke dalam kation dan anion utamanya.
Berdasarkan klasifikasi Stuyfzand ini, data pada Gambar IV.15 yang merepresentasikan data pada musim hujan adalah termasuk dalam tahap penyegaran (Gambar IV.16b). Dengan demikian, fasies Ca-HCO3 pada mata air
Gambar IV.16 Urutan fasies hidrokimia air tanah berdasarkan klasifikasi Stuyfzand: (a) tahap intrusi, dan (b) tahap penyegaran (Giménez & Morell, 1997)
44
Ostberk
merepresentasikan
air
recharge
yang
kontak
dengan
litologi
batugamping, sedangkan fasies Ca-Cl yang masih muncul di S17, padahal menurut klasifikasi Stuyfzand ini mencirikan fasies pada tahap intrusi, sehingga di sekitar mata air Tanjung diduga masih terjadi intrusi air laut meskipun musim hujan sudah berlangsung. Pada sampel Sapeken (S1A dan S1B) muncul fasies NaCl, yang merepresentasikan air discharge dimana air salin masih ada. Dari Tabel IV.3 dapat dilihat kandungan ion-ion utama pada air sumur-sumur kunci (S1A, S1B, S17 dan mata air Ostberk), yang selanjutnya disajikan pada Gambar IV.17, untuk melihat kecenderungan perubahannya. Secara umum dari mata air Ostberk ke sumur Sapeken S1B (Gambar IV.17), menunjukkan bahwa konsentrasi ion kalsium dan bikarbonat cenderung makin menurun, sebaliknya konsentrasi sodium dan klorida makin meningkat. Hal ini mengindikasikan makin besarnya pengaruh pertukaran ion dan percampuran dengan air laut ketika makin mendekati zona discharge. Namun demikian, secara parsial dari mata air Ostberk ke S17, menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi ion-ion bikarbonat, kalsium dan sulfat yang mana diperkirakan akibat meningkatnya recharge, pelarutan atau percampuran air. Meningkatnya recharge mengindikasikan adanya penambahan air dari sumber-sumber lain, seperti dari Pulau Paliat bagian up-gradient (selatan).
Gambar IV.17 Perbandingan ion-ion utama dalam fasies air tanah dari data Tabel IV.3 untuk sampel air S1A, S1B, S17 dan mata air Ostberk.
45
Berdasarkan analisis laboratorium terhadap sampel-sampel air pada sumur-sumur kunci (S1A, S1B, S17) yang dilakukan pada bulan Agustus 2005 (Tabel IV.1 dan Tabel IV.2) dan bulan Maret 2006 (Tabel IV.3), kemudian dapat disajikan dalam bentuk grafik (Gambar IV.18). Dilihat dari kandungan TDS, DHL, pH maupun salinitas pada Gambar (IV.18), seluruh parameter menunjukkan kecenderungan penurunan dari analisis pada bulan Agustus 2005 (musim kemarau) dan pada bulan Maret 2006 (musim hujan). Berkurangnya nilai-nilai TDS dan DHL mengindikasikan adanya penurunan kadar salinitas air, sedangkan penurunan nilai pH dalam kasus ini kemungkinan dapat dihubungkan dengan penurunan kadar sodicitas air.
Gambar IV.18 Perbandingan hasil analisis kualitas air di laboratorium pada sumursumur kunci (S1A, S1B, S17) untuk bulan Agustus 2005 dan Maret 2006; (a) salinitas, (b) TDS, (c) DHL, dan (d) pH.
46
IV.3 Pengujian Hipotesis Dari ketiga hipotesis yang telah diajukan sebelumnya, terkait asal-usul air tanah di Pulau Sapeken, maka berdasarkan analisis dari data-data geolistrik dan fasies hidrokimia dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: 1) Hipotesis: air tanah Pulau Sapeken berasal dari air hujan lokal. Hal ini dapat dijelaskan dari kesetimbangan input dan output air tanahnya. Dari segi output, sebagai gambaran jumlah penduduk Pulau Sapeken pada tahun 2006 sekitar 11.000 orang. Jika setiap orang rata-rata membutuhkan pasokan air sebesar 120 liter/hari (asumsi ini didasarkan dari hasil penelitian di Kota Merauke oleh Soewaeli et al., 2003), maka kebutuhan air yang diperlukan mencapai 1.320.000 liter/hari atau 481.800.000 liter/tahun; dimana kebutuhan ini hampir seluruhnya dibebankan pada air bawah permukaan karena ketiadaan aliran-aliran sungai di Pulau Sapeken. Sedangkan dari segi input, curah hujan tahunan di Pulau Sapeken adalah rata-rata sebesar 960 mm/tahun atau 9,6 dm/tahun (LAESANPURA, 2005). Luas Pulau Sapeken adalah sekitar 1 km2 atau 100.000.000 dm2, jika diasumsikan daerah infiltrasi/resapan sebesar 25%, maka luas daerah infiltrasi di Pulau Sapeken adalah 25.000.000 dm2. Sehingga jumlah curah hujan total di Pulau Sapeken adalah 9,6 dm/tahun x 25.000.000 dm2 = 240.000.000 dm3 atau 240.000.000 liter/tahun. Selanjutnya, jika diasumsikan nilai koefisien resapan lapisan soil Pulau Sapeken adalah 20% dari curah hujan total, maka jumlah curah hujan yang meresap menjadi air tanah adalah 20% x 240.000.000 liter/tahun = 48.000.000 liter/tahun. Sehingga, dibandingkan dengan jumlah air tanah Pulau Sapeken yang dikonsumsi (output) yaitu 481.800.000 liter/tahun, maka input dari air hujan lokal Pulau Sapeken sebesar 48.000.000 liter/tahun, ternyata hanya memiliki kontribusi sekitar 10% dari konsumsi air total bagi seluruh penduduk Sapeken. Gambaran secara umum tentang perkiraan ketersediaan air tanah Pulau Sapeken untuk memenuhi kebutuhan air bagi penduduknya, dan suplai air dari Pulau Paliat dengan asumsi koefisien resapan di Pulau Sapeken adalah konstan yaitu sebesar 20%, ditunjukkan pada Gambar IV.19. Dari Gambar
47
IV.19 terlihat bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk Sapeken, maka konsumsi air juga akan meningkat. Di sisi lain, jumlah air hujan yang meresap di Pulau Sapeken cenderung makin berkurang. Dari Gambar IV.19 ditunjukkan bahwa saat jumlah penduduk Sapeken masih sekitar 1.500 orang, jumlah air hujan yang meresap seimbang dengan jumlah air yang dikonsumsi. Pada tahun 2006, jumlah penduduk Sapeken sekitar 11.000 orang dimana dari perhitungan sebelumnya, air tanah lokal hanya memenuhi sekitar 10% dari total konsumsi air penduduk Sapeken. Namun demikian, jika mendapat suplai air dari Pulau Paliat, maka kebutuhan air tersebut masih dapat dipenuhi. Biarpun demikian, jika jumlah penduduk terus meningkat, diperkirakan keberadaan air tanah tersebut suatu saat tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan air penduduk Sapeken.
Gambar IV.19 Hubungan antara jumlah penduduk versus ketersediaan air tanah di Pulau Sapeken.
2) Hipotesis: air tanah Pulau Sapeken berasal dari air purba (air konat). Berkaitan dengan asal-usul air tanah di Pulau Sapeken berasal dari air purba (air konat), ini kelihatannya tidak mungkin, karena pada umumnya air konat adalah air asin. Menurut Delleur (1999), air konat berasal dari air laut yang terperangkap ketika sedimen-sedimen marin diendapkan, sehingga memiliki salinitas yang kebanyakan sama dengan air laut. Sebagaimana terlihat pada hasil-hasil analisa laboratorium terhadap sampel-sampel air di Pulau Sapeken
48
baik pada musim kemarau maupun musim hujan, seluruh sampel masih tergolong dalam kategori air tawar hingga air payau. 3) Hipotesis: air tanah Pulau Sapeken berasal dari migrasi air. Berdasarkan hasil-hasil analisis geolistrik dan hidrokimia, serta dengan mempertimbangkan karakter batuan dan distribusinya, dapat diestimasi bahwa keberadaan air di Pulau Sapeken berasal dari suplai air recharge dari Pulau Paliat bagian up-gradient (selatan) dan Pulau Kangean bagian timur, yang mengalir melalui sistem rekahan batugamping Formasi Tambayangan, Formasi Jukong-Jukong ataupun Formasi Cangkaraman melewati jalan antara Tanjung-Sapeken.
IV.4 Simulasi Aliran Fluida Berdasarkan hasil interpretasi resistivitas dan analisis kualitas air yang telah dibahas sebelumnya, maka kemudian dapat dibuat simulasi aliran fluida untuk menggambarkan fenomena intrusi air laut di daerah penelitian secara regional (P. Paliat-P. Sapeken). Untuk tujuan ini digunakan perangkat lunak VS2DTI versi 1.2, dimana menurut Hsieh at al. (2000), VS2DTI merupakan model beda hingga yang memecahkan persamaan Richard untuk aliran fluida dan persamaan adveksidispersi untuk transport zat terlarut. Adapun parameter-parameter simulasi VS2DTI yang digunakan pada penelitian ini, meliputi: 1) Textural classes Domain model dalam VS2DTI dibagi ke dalam area-area batuan yang berbeda (dikenal sebagai textural classes), yang menunjukkan sifat-sifat hidraulik dan transport dari suatu batuan atau medium berpori. Parameter textural classes yang dipilih dalam studi ini adalah parameter van Genuchten yang telah disediakan dalam program VS2DTI. 2) Profil kesetimbangan dan konsentrasi mula-mula Profil kesetimbangan mula-mula (initial equilibrium profile) digunakan untuk mendefinisikan posisi mula-mula muka air tanah dan pressure head minimum.
49
3) Syarat batas (boundary conditions) Program VS2DTI hanya mengizinkan penentuan syarat batas di antara batasbatas eksterior domain model. Syarat batas didefinisikan pada domain model untuk setiap periode recharge. Gambar IV.20 menunjukkan parameter textural classes dari masing-masing batuan dan struktur batuan yang diidentifikasi dari Pulau Paliat hingga Pulau Sapeken. Dari Gambar IV.20, terlihat tekstur warna biru muda dan warna kuning yang diasumsikan, masing-masing, merepresentasikan parameter textural classes untuk batupasir/rekahan (warna biru) dan struktur sesar (warna kuning) pada batugamping yang secara khas memiliki permeabilitas yang tinggi. Pada Pulau Sapeken bagian utara, struktur-struktur sesar atau rekahan diestimasi berdasarkan hasil-hasil interpretasi resistivity sounding dan resistivity imaging, sedangkan struktur sesar/rekahan lainnya diperkirakan dari kandungan salinitas pada masingmasing sampel air sumur dan mata air. Gambar IV.21 menunjukkan parameter-parameter input simulasi yang meliputi domain model, kondisi hidraulik mula-mula, jarak grid, dan syarat batas yang didefinisikan. Domain model adalah daerah dimana aliran fluida dan transport zat terlarut disimulasikan, dimana pada penelitian ini domain model memiliki panjang 13 satuan horizontal atau 13 km dan lebar domain adalah 2 satuan vertikal atau 1 km. Kondisi hidraulik mula-mula didefinisikan sebagai pressure head minimum, posisi awal water table dan konsentrasi mula-mula. Dari Gambar IV.21 terlihat bahwa pressure head minimum didefinisikan sebesar -0,16 satuan vertikal atau -80 meter, posisi awal water table sebesar 0,1 satuan vertikal atau 50 meter, dan konsentrasi mula-mula sebesar 0,0 dengan asumsi pada awalnya belum terjadi kontaminasi. Jarak grid didefinisikan sebagai grid seragam yang terdiri dari 200 kolom dan 50 baris. Sedangkan syarat-syarat batas didefinisikan untuk dua periode recharge, yaitu periode recharge I (0-60 hari) adalah merepresentasikan musim kemarau dan periode recharge II (60-120 hari) adalah merepresentasikan musim hujan.
50
Gambar IV.20 Parameter textural classes untuk setiap jenis batuan berdasarkan parameter aliran (van Genuchten) dan transport zat terlarut yang didefinisikan.
Gambar IV.21 Parameter-parameter model dan syarat-syarat batas yang ditentukan untuk setiap periode recharge. Angka romawi I mengindikasikan periode recharge I (0 – 60 hari) dan II adalah periode recharge II (60 – 120 hari). 51
Berdasarkan parameter-parameter input yang telah didefinisikan pada Gambar IV.20 dan IV.21, diperoleh hasil simulasi aliran fluida secara regional dari Pulau Paliat hingga Pulau Sapeken (Gambar IV.22) untuk setiap periode recharge. Pada periode recharge I (musim kemarau), di daerah resapan (Pulau Paliat) didefinisikan dengan total head (h) sebesar 0,01 satuan vertikal atau 0,01 x 500 = 5 m pada konsentrasi di batas (Cb) sebesar 0,5 kg/m3, sedangkan pada periode recharge II (musim hujan) didefinisikan total head (h) meningkat menjadi 0,5 satuan vertikal atau 250 m dengan konsentrasi Cb sebesar 0,5 kg/m3 yang diasumsikan akibat meningkatnya volume aliran. Sementara itu, laju volume aliran (q) air laut yang masuk konduit air tawar di daerah luahan (discharge zone), diasumsikan tetap yakni sebesar 1 satuan horizontal atau sebesar 1.000 m3/hari dengan konsentrasi di batas (Cb) sebesar 3 kg/m3, untuk kedua periode recharge (musim kemarau dan hujan).
Gambar IV.22 Hasil simulasi aliran fluida secara regional (P. Paliat-P. Sapeken) untuk periode recharge I (0 – 60 hari) dan periode recharge II (60 – 120 hari). Warna merah menunjukkan konsentrasi fluida tinggi, sedangkan warna biru menunjukkan konsentrasi rendah
52
Gambar IV.23 Hasil simulasi aliran fluida secara lokal (Pulau Sapeken) untuk periode recharge I (0 – 60 hari) dan periode recharge II (60 – 120 hari). Warna merah menunjukkan konsentrasi fluida tinggi, sedangkan warna biru menunjukkan konsentrasi rendah
Dari output simulasi (Gambar IV.22 dan IV.23) menunjukkan bahwa pada periode recharge I (musim kemarau) yaitu pada 0-20 hari, air laut secara umum masih secara bebas memasuki konduit air tawar, karena air tawar dari daerah recharge belum sepenuhnya sampai di daerah discharge, akibat jaraknya yang relatif jauh. Sehingga di bawah sampel-sampel air daerah discharge, ditunjukkan konsentrasikonsentrasi air akuifer yang relatif sangat tinggi. Pada hari ke-20 hingga hari ke60, air tawar sudah mulai mengisi konduitnya masing-masing, sehingga beberapa aliran air asin sudah mulai terdesak menuju laut. Hasilnya menunjukkan adanya suatu variasi salinitas dimana air Sapeken S1A memiliki salinitas yang hampir sama dengan air Tanjung S17, yaitu dengan konsentrasi yang relatif rendah. Sedangkan air Sapeken S1B memiliki konsentrasi yang sedikit lebih tinggi daripada S1A, dan air Sapeken pada bagian selatan memiliki konsentrasi yang paling tinggi. Pada periode recharge II ketika musim hujan telah berlangsung,
53
jumlah air recharge mengalami peningkatan sehingga tekanan dari konduit air tawar juga meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan laju volume aliran. Pada hari ke-60 hingga hari ke-65, air asin makin didesak menuju ke laut secara lebih cepat, sehingga mulai terjadi penurunan konsentrasi pada semua air tawar secara bervariasi. Pada hari ke-90 telah ditunjukkan adanya variasi-variasi yang agak berbeda dengan musim kemarau, dimana pada musim hujan (hari ke-90) ini, air Sapeken S1A memiliki salinitas dengan konsentrasi yang relatif sangat rendah. Sedangkan air Sapeken S1B memiliki salinitas dengan konsentrasi yang hampir sama dengan air Tanjung S17; dan air Sapeken pada bagian selatan, meskipun sudah relatif menurun, namun masih menunjukkan konsentrasi yang cukup tinggi. Adanya variasi-variasi salinitas dari sampel-sampel di atas diestimasi akibat adanya perbedaan jumlah konduit air tawar yang mensuplai sumur-sumur dan mata air-mata air tersebut. Selanjutnya pada hari ke-120 (akhir simulasi), terdapat kecenderungan bahwa air salinitas tinggi pada konduit di bawah sumur Sapeken bagian selatan perlahan-lahan makin terdorong kearah selatan, sehingga mengakibatkan peningkatan konsentrasi pada S17. Hal ini diakibatkan oleh lebih besarnya tekanan air tawar pada Pulau Sapeken khususnya pada bagian utara, akibat lebih banyaknya konduit yang mensuplai. Dari penelitian sebelumnya, Bonacci & Bonacci (1997) telah mengajukan mekanisme intrusi air laut pada mata air-mata air karst pesisir di Blaž Spring Kroasia. Mekanisme intrusi air laut pada akuifer karstik homogen yang diajukan oleh Bonacci & Bonacci (1997) ditunjukkan pada Gambar IV.24. Gambar IV.24 mengindikasikan ketika level air tanah (GWL) sangat rendah sehingga batas antara air laut dan air tawar menjadi lebih tinggi dari perpotongan antara konduit 1 dan 2 (titik A), maka intrusi air laut ke dalam akuifer air tawar dan mata air karst dapat mungkin terjadi. Lebih lanjut, menurut Maramathas et al. (2006), ketika tekanan dalam konduit air tawar (konduit 1) lebih kecil daripada tekanan dalam konduit air laut (konduit 2), maka akan dihasilkan air payau di perpotongan tersebut (titik A).
54
Gambar IV.24 Mekanisme intrusi air laut pada akuifer karstik homogen (Bonacci & Bonacci, 1997)
Selain itu dari hasil simulasi aliran fluida dalam penelitian ini (Gambar IV.22 dan IV.23), ditunjukkan bahwa ketika intrusi air laut terjadi pada akuifer-akuifer karstik, maka akan muncul variasi-variasi salinitas dalam air-air sumur dan mata air akibat adanya perbedaan jumlah konduit yang mensuplai masing-masing sumur dan mata air tersebut.
55