Bab IV Akuisisi, Pengolahan dan Interpretasi Data
IV.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di daerah Kampung Kondang dan Cirikip, Desa Cinyasag, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Km. ±158 dari Bandung atau Km. ±38 dari Kota Ciamis). Daerah pemantauan terletak pada koordinat: 108° 22’ 15” BT dan 07° 5’ 55” LS. Luas daerah yang tercakup di dalam penelitian ini ± 100.000 m2.
Gambar IV.1.
Peta Lokasi Penelitian (Pusat vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Bandung, 2005)
Sebelum melakukan pengambilan data di lapangan, terlebih dahulu dilakukan persiapan seperti birokrasi perizinan dan persiapan peralatan. Persiapan ini dilaksanakan selama ±1 bulan, sedangkan pengambilan data di lapangan dilaksanakan selama ±1 minggu. Pengukuran dimulai pada tanggal 14 Mei hingga 20 Mei 2006.
44
IV.2 Peralatan Dalam penelitian ini dibutuhkan peralatan sebagai berikut: a. Resistivity meter McOHM Model 2115A/ MARK VER. 4-02 b. Baterai/Accu sebagai sumber arus DC c. Elektroda (arus dan potensial) d. Kabel-kabel rol sebagai penghubung arus dan potensial e. Kit connector multi-channels
h. Meteran
f. Kompas dan Palu Geologi
i. Peta Lokasi
g. GPS Portable dan Altimeter
j. Tabel Data dan alat tulis
(a) Gambar IV.2.
(b)
(c)
Alat yang dibutuhkan; (a) Resistivity meter McOHM, (b) GPS portable, (c) Kit connector multi channels
IV.3 Teknik Pengambilan Data Resistivity Metoda geofisika yang digunakan dalam pengambilan data resistivitas adalah Metoda Geolistrik Tahanan Jenis Profiling (2D). Konfigurasi yang digunakan adalah Wenner Alpha (α) dan Wenner Beta (β). Hal ini dimaksudkan untuk membandingkan keunggulan dan kekurangan di antara kedua konfigurasi elektroda tersebut. Jumlah lintasan pengukuran sebanyak 7 buah yang tersebar di dua lokasi yang berbeda, yaitu empat lintasan di kampung Kondang dan tiga lintasan kampung Cirikip. Adapun alasan memilih kedua lokasi tersebut karena dari hasil pengamatan lapangan terdapat gejala gerakan tanah berupa nendatannendatan, pepohonan yang miring, jalan berundulasi dan bahkan terjadi retakan pada dinding-dinding rumah masyarakan di sekitarnya.
Dengan menggunakan fasilitas “Kit Connector Multi Channel” sebagai terminal, kedua konfigurasi yang digunakan dapat dilakukan tanpa mengubah posisi
45
elektroda di lapangan. Pengaturan pasangan elektroda cukup dilakukan dengan memasukkan ujung-ujung kabel kedalam terminal yang tersedia (Gambar IV.2c).
2 1
a
b c Gambar IV.3.
Peta lokasi penelitian di dua kampung (a), yaitu Kampung Kondang (b) dan Kampung Cirikip (c). (Peta Geologi dibuat oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Bandung, edisi tahun 2005)
Sebelum melakukan pengukuran, terlebih dahulu dilakukan tinjau lokasi atau survei jalur lintasan yang akan diukur. Arah lintasan dan penentuan titik-titik elektroda ditentukan dengan menggunakan kompas dan GPS portable. Agar posisi titik tidak hilang, ditandai dengan patok kayu atau bambu.
46
Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk pengambilan data resistivitas adalah sebagai berikut: 1. Mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan sebelum berangkat ke lapangan. 2. Survei lintasan sekaligus memasang patok-patok kayu/bambu sebagai tanda posisi elektroda. 3. Memasang elektroda di semua titik dalam satu lintasan dan mengatur posisi alat (resistivity meter, aki dan kit) di pertengahan lintasan. 4. Kabel-kabel diulur ke posisi patok/elektroda dan memasang ujungnya pada tiap-tiap elektroda dengan mencatat urutan warna dan gulungan kabel, kemudian ujung yang lain dipasang pada salah satu sisi kit (Gambar IV.4a,b). 5. Accu (aki) dihubungkan dengan resistivity meter, dan resistivity meter dihubungkan dengan terminal (kit) pada sisi yang lain (Gambar IV.4c).
(a)
(b)
Gambar IV.4.
(c)
(a) Patok kayu dan elektroda yang telah dipasangkan kabel, (b) Kit connector dihubungkan dengan kabel dari elektroda, (c) Kit connector dihubungkan dengan resistivity meter
6. Setelah dipastikan semua kabel terhubung dengan baik dan elektroda tertancap dengan baik, maka dilakukanlah pengukuran resistivitas. 7. Pengukuran yang konfigurasi Wenner Alpha dapat dimulai dengan mengatur komposisi arus dan potensial pada kit. Peralatan disusun seperti tertera pada Gambar IV.5a dengan interval atau elektroda spasi (a) = 5m. Resistivity meter dinyalakan lalu mengatur arus, dan ukur. Untuk akurasi data dan stabilitas alat, dilakukan pengukuran berulang. 8. Posisi C1, P1, P2, dan C2 dipindahkan berturut-turut ke patok 2, 3, 4, 5, dan seterusnya. Pengukuran dilakukan sampai C2 di patok terakhir.
47
9. Poin (7) dan (8) diulang untuk spasi 2 x a (= 10 m), dan seterusnya seperti terlihat Gambar IV.5c. 10. Dengan prosedur yang sama seperti yang dijelaskan pada tahap (7) sampai dengan (9), pengukuran dengan konfigurasi Wenner Beta dilaksanakan.
(a)
(b)
(c) Gambar IV.5.
(a) Urutan elektroda untuk Wenner Alpha, (b) Urutan elektroda untuk Wenner, dan (c) Pseudosection untuk konfigurasi Wenner Alpha. (Loke, 2004)
Lintasan pengukuran yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar IV.6 yang menunjukkan lintasan pengukuran per 20 meteran pada kedua lokasi pengukuran. Titik 20 meteran merupakan jarak yang diukur koordinatnya, kemudian dibagi lagi menjadi jarak 5 meter yang digunakan sebagai jarak terkecil dari spasi elektroda. Sebagaimana terlihat pada Gambar IV.6a, pengukuran yang dilakukan pada kampung kondang adalah empat lintasan yang memiliki panjang lintasan 120 meter. Dua lintasan (L-1 dan L-3) memiliki bentangan searah dengan gawir dan memotong dua lintasan lainnya (L-3 dan L-4) yang berpotongan dengan gawir.
48
Sementara itu, Gambar IV.6b menunjukkan tiga lintasan pengukuran yang dilakukan di kampung Cirikip, dimana dua diantaranya memiliki panjang lintasan 180 meter (lintasan L-5 dan L-6) sedangkan yang lain panjangnya hanya 90 m karena dibatasi oleh rumah-rumah penduduk dan persawahan yang berair.
Gambar IV.6.
Posisi patok 20 meteran (a) Lintasan L-1 s/d L4 di Kondang, (b) Lintasan L-5 s/d L-7 di Cirikip
49
Adapun data yang diperoleh berupa koordinat (x, y, z) dari GPS portable dan altimeter. Sedangkan data dari Resistivity meter adalah berupa nilai arus (I) yang diinjeksikan, potensial (V) yang dibangkitkan, dan tahanan (R) sebagai hambatan akibat adanya sifat anisotrofis bawah permukaan.
IV.4 Pengolahan Data Pengolahan data geolistrik tahanan jenis dalam penelitian ini diawali dengan pengolahan data lapangan. Metoda yang digunakan dalam hal ini adalah perhitungan secara matematis dengan menggunakan persamaan (2.13), untuk mendapatkan tahanan jenis semu. Dalam rangka untuk mengetahui model penyebaran resistivitas di sekitar bidang gelincir (kondisi bawah permukaan di daerah penelitian) dilakukan pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak RES2DINV versi 3.54.44. Parameter input program ini adalah resistivitas semu yang telah dihasilkan dari perhitungan data lapangan ditambah dengan datadata pendukung seperti spasi elektroda dan koordinat.
Hasil inversi dengan menggunakan perangkat lunak RES2DINV berupa profil penampang 2D secara vertikal yang dapat menunjukkan kedalaman dan sebaran resistivitas sebenarnya. Keluaran RES2DINV dari hasil inversi juga dapat berupa angka/nilai dalam bentuk data koordinat (x, y, z). Data yang dimaksud terdiri atas akumulasi jarak elektroda dari elektroda pertama, kedalaman penetrasi, nilai resistivitas sebenarnya (true resistivity) dan konduktivitas material bawah permukaan.
Data koordinat (x, y, z) ini dapat dijadikan sebagai data masukan untuk proses pemodelan kubus/balok resistivitas (3D). Program yang digunakan dalam pemrosesan ini adalah perangkat lunak Rock Works 2004, yang dimaksudkan untuk menggambarkan profil tiga dimensi dari hasil ekstrapolasi beberapa penampang 2D yang telah dihasilkan. Dengan menggunakan program ini, dapat pula dibuat sayatan-sayatan, baik ke arah vertikal (arah z) maupun ke arah horisontal (arah x dan y).
50
Bagan alir penelitian ini yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar IV.7.
Persiapan
Data Pendukung
Akuisisi Data
Data Pendukung
Data Geologi
Data Resistivity
Data GPS & GPR
Pengolahan Data Lapangan Resistivity Semu (ρa)
Res2Dinv Profil 2D
RockWorks Profil 3D
Analisis dan Interpretasi
Hasil Gambar IV.7.
Diagram Alir Penelitian
IV.5 Interpretasi Data Resistivitas Berdasarkan hasil penelitian geolistrik di sekitar lokasi penelitian oleh Badan Mitigasi Bencana Geologi Bandung tahun 2005 bahwa bagian atas lapisan tanah/batuan di desa Cinyasag adalah berbagai bahan rombakan (hasil pelapukan batuan). Di bawahnya adalah lapisan lempung yang diperkirakan sebagai bidang gelincir atau bidang longsoran (ditunjukkan pada Gambar IV.8).
51
Gambar IV.8.
Penampang lintasan geolistrik serta interpretasinya pada daerah persawahan di desa Cinyasag, kec. Panawangan, Ciamis – Jawa Barat. (Darso A, 2005)
Hasil inversi yang diperoleh dari penelitian ini, menunjukkan adanya perbedaan resistivitas yang tinggi antara kelompok jenis tanah atau batuan yang satu dengan kelompok yang lain. Hasil inversi yang diperoleh berupa profil 2D dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
IV.5.1 Empat Lintasan Pertama di Kampung Kondang Lintasan L-1 Lintasan L-1 diambil searah dengan kontur atau memotong arah gerakan tanah, dan diperkirakan berada pada bagian tanah yang massif. Pada lintasan ini belum tampak adanya perbedaan kelompok batuan/tanah, seperti terlihat pada Gambar IV.9. Hasil inversi Wenner Alpha (Gambar IV.9a), menunjukkan keseragaman nilai resistivitas yang rendah (hampir semua warna biru/hijau dengan nilai resistivitas di bawah 86 Ωm). Sementara pada Gambar IV.9b yang merupakan hasil inversi Wenner Beta, terlihat ada variasi nilai resitivitas dan di bagian bawah dengan harga resistivitas yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena kepekaan Wenner Beta secara vertikal rendah. Secara umum lintasan L-1 diperkirakan berada pada litologi massif yang mudah tersaturasi air permukaan atau sudah mengalami pergerakan, sehingga memiliki resistivitas batuan relatif rendah.
52
Infiltrasi
(a)
(b)
Gambar IV.9.
Profil 2D hasil inverse data geolistrik lintasan 1 di Kampung Kondang, Cinyasag, Kec. Panawangan, Ciamis – Jawa Barat. (a) Inversi Wenner Alpha, (b) Inversi Wenner Beta
Lintasan L-2 Lintasan L-2 yang memotong kontur atau searah dengan arah gerakan tanah, memperlihatkan adanya bidang batas antara kelompok material yang memiliki resistivitas rendah (ρ < 86 Ωm) dengan material yang memiliki resistivitas tinggi (ρ > 86 Ωm). Bidang batas yang dihasilkan diperkirakan sebagai batas antara Formasi Cijulang dengan Hasil Gunungapi G. Sawal. Walaupun kedua Formasi ini memiliki litologi yang sama, yaitu breksi vulkanik. namun memiliki umur dan sifat fisik yang berbeda. Hasil inversi menunjukkan bahwa litologi pada Formasi Cijulang memiliki tersistivitas yang lebih tinggi daripada resistivitas litologi Hasil Gunungapi G. Sawal. Hal ini disebabkan karena breksi pada Formasi Cijulang lebih terkompaksi (relatif lebih tua) sehingga porositasnya jelek, sementara breksi G. Sawal (relatif lebih mudah) memiliki porositas yang baik sehingga mudah menyimpan air pada musim hujan.
53
Infiltrasi Bidang Batas
(a)
Infiltrasi Bidang Batas
(b)
Gambar IV.10. Profil 2D hasil inverse data geolistrik lintasan 2 di Kampung Kondang, Cinyasag, Kec. Panawangan, Ciamis – Jawa Barat (a) Inversi Wenner Alpha, (b) Inversi Wenner Beta Lintasan L-3 Lintasan ini arahnya sama dengan lintasan L-1 yaitu sejajar dengan gawir, sehingga tidak memperlihatkan perbedaan resistivitas batuan yang menyolok. Hampir semuanya warna merah, yang menggambarkan kisaran resistivitas lebih besar dari 86 Ωm. Di bagian atas hasil inversi Wenner Beta, terdapat lapisan yang mempunyai resistivitas agak rendah (kebiru-biruan) yang menunjukkan adanya hasil pelapukan. Hasil inversi dari kedua konfigurasi ini secara umum
54
menunjukkan bahwa lintasan L-3 ini berada pada kelompok batuan yang lebih kompak, yaitu berada pada Formasi Cijulang dengan breksi yang lebih kompak.
(a)
(b)
Gambar IV.11. Profil 2D hasil inverse data geolistrik lintasan 3 di Kampung Kondang, Cinyasag, Kec. Panawangan, Ciamis – Jawa Barat (a) Inversi Wenner Alpha, (b) Inversi Wenner Beta Lintasan L-4 Lintasan L-4 yaitu searah dengan arah gerakan tanah sehingga jelas terlihat adanya perbedaan resistivitas yang tinggi. Seperti halnya dengan lintasan L-2, L-4 ini berada pada dua kelompok litologi yang memiliki sifat fisik berbeda. Pada stasiun/titik 70-75m bidang batas yang ditandai oleh warna kuning hingga hijau muda dengan kisaran nilai resistivitas antara 60-86 Ωm diperkirakan sebagai bidang gelincir longsornya. Bidang batas ini juga merepresentasi adanya kontask antara breksi pada Formasi Cijulang yang lebih tua dengan breksi Hasil Gunungapi G. Sawal yang relatif lebih muda. Kemudian di bagian bawah titik 90m terdapat nilai resistivitas yang rendah (hijau ρ ≈ 60 Ωm), yang terjadi karena adanya satusari air pada batuan berpori akibat rembesan air dari saluran irigasi.
55
Infiltrasi Bidang batas 2 kelompok batuan
Akibat rembesan air irigasi (a)
Infiltrasi Bidang batas 2 kelompok batuan
Akibat rembesan air irigasi (b)
Gambar IV.12. Profil 2D hasil inverse data geolistrik lintasan 4 di Kampung Kondang, Cinyasag, Kec. Panawangan, Ciamis – Jawa Barat (a) Inversi Wenner Alpha, (b) Inversi Wenner Beta
IV.5.2 Tiga Lintasan Berikutnya di Kampung Cirikip Lintasan L-5 Lintasan L-5 ini berorientasi timurlaut – baratdaya yang relatif memotong kontur atau cenderung searah dengan arah gerakan tanah. Hasil inversi seperti yang terlihat pada Gambar IV.13, zona lemah terjadi pada titik 85-90m dengan nilai resistivitas 90 Ωm ke bawah (warna coklat untuk Wenner α) dan pada titik 90100m (warna hijau muda untuk Wenner β). Zona ini dianggap sebagai bidang
56
longsoran lokal, sebagaiman hasil pengamatan langsung di lapangan, di sekitar titik 40 - 90m terdapat timbunan yang terdiri atas berbagai jenis bahan rombakan. Sementara itu di sekitar titik 120m terdapat air yang kelur dari dalam tanah, sehingga diasumsikan bahwa harga resistivitas rendah (warna biru ≈ 5 Ωm ke bawah) pada titik tersebut merupakan air tanah material yang tersaturasi dengan sempurna.
Gambar IV.13. Profil 2D hasil inverse data geolistrik lintasan 5 di Kampung Cirikip, Cinyasag, Kec. Panawangan, Ciamis – Jawa Barat. (a) Inversi Wenner Alpha, (b) Inversi Wenner Beta
Lintasan L-6 Lintasan L-6 berorientasi utara – selatan dengan morfologi yang bergelombang seperti terlihat pada Gambar IV.14. Bidang gelincir pada lintasan ini tidak terlalu kentara karena arah lintasan memotong arah gerakan tanah. Namun demikian dari hasil pengamatan di lapangan, terdapat gawir/nendata di sekitar stasiun 60m,
57
sehingga dapat ditarik suatu garis kemeneruan dalam penampang 2D. Garis ini dapat pula dianggap sebagai batas antara breksi Formasi Cijulang dengan breksi Hasil Gunungapi G. Sawal. Sedangkan mulai dari saluran air sampai unjung lintasan ini dalam kondisi labil karena di atasanya ada genangan air berupa kolamkolam ikan. Warna biru (ρ ≈ 20 Ωm) di kedua gambar diperkirakan sebagai rembesan dari saluran air dan dari resapan air kolam ikan masyarakat setempat.
Gambar IV.14. Profil 2D hasil inverse data geolistrik lintasan 6 di Kampung Cirikip, Cinyasag, Kec. Panawangan, Ciamis – Jawa Barat. (a) Inversi Wenner Alpha, (b) Inversi Wenner Beta
Lintasan L-7 Lintasan L-7 memotong kontur berorientasi barat – timur. Panjang lintasan hanya 90m karena di puncak pemukiman penduduk dan di lembah pesawahan. Mulai dari titik 0-60m merupakan daerah yang sangat labil, setiap saat bergerak dengan
58
tipe gerakan “rayapan”. Pada Gambar IV.15a memperlihatkan nilai resistivitas yang bervariasi, tidak jelas posisi bidang longsor, tetapi pada Gambar IV.15b pada kedalaman 3-7m didominasi resistivitas rendah, yaitu sekitar 90 Ωm ke bawah. Hal ini diperkirakan bahwa breksi di daerah ini memiliki porositas baik sehingga konsentrasi fluida menjadi tinggi. Batuan yang mendominasi pada lintasan ini adalah Breksi Gunungapi Muda, yang diperkuat dengan adanya fragmen-fragmen berupa tufa, batuan beku dan lempung.
Infiltasi
(a)
Infiltasi
(b)
Gambar IV.15. Profil 2D hasil inverse data geolistrik lintasan 7 di kampung Cirikip, Cinyasag, kec. Panawangan, Ciamis – Jawa Barat. (a) Inversi Wenner Alpha, (b) Inversi Wenner Beta
Hasil inversi selengkapnya yang memperlihatkan resistivitas semu hasil pengambilan data dan hasil Forward Modeling dari model sintetik dapat dilihat lampiran B2.
59
Penggabungan beberapa penampang 2D dalam program RockWorks digunakan untuk memperoleh model kotak resistivitas 3D dengan prinsip ekstrapolasi. Empat penampang 2D dari kampung Kondang digabungkan dalam program RockWorks untuk mendapatkan model 3D seperti terlihat pada Gambar IV.16 (Wenner Alpha) dan Gambar IV.17 (Wenner Beta).
PROFIL 3D WENNER ALPHA (LINTASAN L-1 S/D L-4)
Gambar IV.16. Profil 3D Lintasan L1 – L4 di Kampung Kondang dengan konfigurasi Wenner Alpha (α)
PROFIL 3D WENNER BETA (LINTASAN L-1 S/D L-4)
Gambar IV.17. Profil 3D Lintasan L1 – L4 di kampung Kondang dengan konfigurasi Wenner Beta (β)
Walaupun model ini merupakan hasil ekstrapolasi, namun cukup memberikan informasi yang jelas tentang batas antara kelompok batuan/jenis tanah yang
60
memiliki resistivitas tinggi dan yang rendah. Pada gambar IV.16 warna coklat sampai ungu memiliki nilai resistivitas tinggi (> 40 Ωm) yang menandakan bahwa batuan ini memiliki porositas jelek terpisah dengan jelas dengan kelompok batuan yang memiliki porositas baik dengan harga resistivitas rendah sekitar 40 Ωm ke bawah (warna hijau). Begitu pula pada gambar IV.17, terlihat dengan jelas pemisah antara batuan di sebelah timur yang memiliki resistivitas rendah (≈ < 40 Ωm) dengan yang tinggi di sebelah barat.
SAYATAN VERTIKAL ARAH TIMUR-BARAT
(a)
SAYATAN VERTIKAL ARAH UTARA-SELATAN
(b)
Gambar IV.18. Sayatan vertical profil 3D Lintasan L1 – L4 untuk konfigurasi Wenner α. (a) Sayatan arah Timur-Barat, (b) sayatan arah UtaraSelatan
61
Apabila Gambar IV.16 disayat secara vertikal arah timur-barat (memotong bidang gelincir) dan arah utara-selatan (sejajar bidang longsoran), maka akan terlihat kontras yang jelas seperti pada Gambar IV.18. Dan sayatan vertikal profil 3D untuk konfigurasi Wenner Beta dari Gambar IV.17 juga dapat dibuat memotong dan sejajar dengan bidang longsoran, seperti Gambar IV.19.
SAYATAN VERTIKAL ARAH TIMUR-BARAT
(b)
SAYATAN VERTIKAL ARAH UTARA-SELATAN
(b)
Gambar IV.19. Sayatan vertical profil 3D Lintasan L1 – L4 untuk konfigurasi Wenner β. (a) Sayatan arah Timur-Barat, (b) sayatan arah UtaraSelatan
Kita dapat melihat kembali peta geologi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Bandung tahun 2005, yang menggambarkan adanya sesar naik
62
dengan jurus ke arah selatan menenggara di sekitar daerah penelitian. Berdasarkan hal tersebut, kita dapat mengatakan bahwa daerah penelitian ini merupakan jalur sesar yang dapat dikategorikan sebagai “zona lemah”. Walaupun kemiringan perlapisan batuan memotong kemiringan lereng, namun pengaruh sesar naik dan saturasi air pada batuan sangat besar. Terlebih lagi adanya kantong-kantong air berupa kolam ikan tawar mempercepat terjadinya pelapukan. Dari morfologi daerah penelitian yang melandai menyebabkan pergerakan material sangat lambat dan secara pelan-pelan, sebagaimana terlihat di lapangan adanya gawir atau nendatan bertingkat. Jenis gerakan tanah yang terjadi pada daerah penelitian adalah “rayapan” atau aliran.
63