BAB IV KONSEP PERANCANGAN 4.1 Konsep Secara Umum Konsep wayfinding sebagai penekanan dalam perancangan arsitektur stasiun MRT berkaitan dengan bagaimana merancang kelancaran dan kemudahan dalam perpindahan pengguna bangunan. Sirkulasi yang didesain dengan pendekatan wayfinding berorientasi pada skenario dan pengalaman yang akan dilalui oleh pengguna ketika melewati setiap ruang dalam bangunan. Ketika sirkulasi dan pengalaman ruang pengguna dalam bangunan menjadi orientasi, maka dapat dikatakan bentuk maupun strategi desain arsitektur pada bangunan akan mengikuti fungsi yang diharapkan (form follow function). Untuk meningkatkan perfoma wayfinding didalam bangunan, maka konsep taktilitas diterapkan pada bangunan. Taktilitas pada bangunan berarti menerapkan pendekatan rangsangan kelima sistem sensorik manusia pada desain. Dengan pendekatan kelima sensorik tersebut, selain menjadikan proses wayfinding sebagai proses alamiah juga meluaskan perfoma komponen wayfinding terhadap beberapa pengguna yang memiliki kekurangan pada beberapa sistem sensor (difabel).
4.2 Konsep Sirkulasi Bangunan Konsep wayfinding berkaitan erat dengan sirkulasi pada bangunan. Menentukan bagaimana pengalaman ruang ketika sirkulasi berlangsung menjadi pertimbangan arsitektur selanjutnya pada bangunan. Sirkulasi pada bangunan terbagi menjadi dua bagian, yaitu: 4.2.1
Sirkulasi Eksternal Menentukan skenario sirkulasi eksternal bangunan berkaitan dengan penentuan titik entrance bangunan terhadap site. Titik entrancance dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu :
a. Titik potensi crossing sirkulasi pada kawasan. Potensi crossing sirkulasi merupakan titik dimana bertemu nya sirkulasi manusia pada dua arah atau lebih. Titik tersebut termasuk juga pertemuan antara kendaraan dan pejalan kaki. b. Titik nodes pada kawasan. Simpul kegiatan pada kawasan menjadi titik yang mencolok pada kawasan. Dengan menjadi simpul kegiatan pada kawasan maka
113
Dari kedua cara tersebut dapat disimpulkan dimana titik yang memiliki kesamaan lokasi dapat menjadi lokasi entrance umum. Semakin banyak terjadi nya crossing atau kegiatan pada nodes maka semakin mencolok titik tersebut yang memudahkan penemuan lokasi entrance.
Gambar 4.1 Analisis Sirkulasi Eksternal Sumber : Analisis Penulis, 2015 Dua cara tersebut menjadi penentu dimana titik entrance diletakan. Banyaknya crossing dan potensi nodes pada kawasan tersebut menjadikan posisi entrance kuat dan mudah ditemukan. Entrance menjadi penentu utama untuk sirkulasi internal berikutnya. Posisi entrance tidak serta merta menjadikan seluruh nya memiliki hirarki yang sama. Banyak nya nodes pada kawasan dan crossing sirkulasi yang terjadi pada analisis sebelum nya menjadi penentu hirarki entrance.
114
Gambar 4.2 Potensi titik entrance Sumber : Analisis Penulis, 2014
Pada hasil analisis tersebut, Titik entrance ditentukan pada 4 titik. 3 titik ditentukan karena adanya nodes dan crossing sirkulasi, sedangkan satu titik hanya terdapat crossing sirkulasi. Entrance dengan titik nodes didekatnya memiliki hirarki yang lebih besar serta hirarki mengikuti ukuran dan ketercapaian nya terhadap kawasan.
Gambar 4.3 Aksonometri desain titik entrance Sumber : Analisis Penulis, 2015
115
4.2.2
Sirkulasi Internal Sirkulasi internal pada bangunan dapat ditentukan setelah titik entrance telah diketahui. Skenario sirkulasi dalam bangunan dibagi berdasarkan level bangunan sebagai berikut :
a. Level 1 Pada level 1 merupakan level external bangunan. Bangunan merupakan elevated station sehingga kegiatan internal utama pada stasiun dimulai pada level diatas tanah. b. Level 2 Pada level ini berfungsi sebagai area penerimaan pengguna datang ke stasiun MRT. Adanya dua lapis entrance (entrance penerimaan dan entrance utama) dengan maksud membedakan hirarki antara pengguna yang hanya bermaksud menyebrang dari sisi timur ke barat (pada kasus ini solusi masalah pada kawasan adalah tidak ada nya fasilitas penyebrangan yang memadai). Entrance utama berfungsi menerima pengguna yang bermaksud menggunakan fasilitas bangunan, sedangkan entrance penerimaan adalah jembatan yang menghubungikan level 1 dan level 2.
Gambar 4.4 Skenario sirkulasi pada level 2 Sumber : Analisis Penulis, 2015
Alternatif sirkulasi adalah dengan menjadikan titik sirkulasi vertikal pada dua kutub, namun orientasi hall tetap di pusat bangunan. Hal ini dimaksudkan untuk memecah jumlah kepadatan pengguna dari arah utara dan selatan. Namun pada sirkulasi ini menjadikan hall memiliki arah orientasi sehingga mengurangi kemampuan wayfinding.
116
Gambar 4.5 Alternatif skenario sirkulasi pada level 2 Sumber : Analisis Penulis, 2015
c. Level 3 Pada level ini merupakan area perantara platform dan free concourse.
Gambar 4.6 Skenario sirkulasi pada level 3 Sumber : Analisis Penulis, 2014 Alternatif
lain
sirkulasi
menunjang
skenario
apabila
terdapat
pemisahan sirkulasi vertikal pada kedua kutub. Kedua kutub tersebut dipertemukan di hall sebelum melalui fare c. collector.
Gambar 4.7 Alternatif skenario sirkulasi pada level 3 Sumber : Analisis Penulis, 2014
117
d. Level 4 Pada level 4 sirkulasi yang memegang peranan adalah sirkulasi yang mengantarkan pengguna dari kereta – sirkulasi vertikal. Area platform dan waiting area menjadi jembatan terhadap dua titik destinasi tersebut. Sirkulasi cenderung linear mengikuti rel kereta. Jalur stasiun MRT Blok M memiliki pertimbangan jalur kereta 2 arah, namun pada sisi barat terpecah menjadi 2 sehingga total terdapat 3 jalur yang ditampung stasiun. Kawasan Blok M menurut perkiraan memiliki tingkat kenaikan keberangkatan dan penurunan penumpang yang cukup tinggi. Perkiraan kenaikan penumpang cukup tinggi karena merupakan lokasi tarikan yang pada waktu tertentu terjadi ledakan penumpang yang cukup tinggi. Untuk mendukung sistem tersebut, maka platform menggunakan jenis center platform. Center platform mendukung bentuk stasiun yang ramping dan hemat ruang. Bentuk stasiun yang ramping cocok digunakan pada kawasan Blok M yang padat. Selain itu pada satu sisi peron platform dapat melayani 2 jalur kereta. Dua sisi platform memiliki kelebihan dalam penemuan wayfinding. Hal tersebut dikarenakan dua platform mendifinisikan secara tidak langsung arah keberangkatan kereta ke utara atau selatan. Selain itu fasilitas penunjang sirkulasi vertikal yang digunakan menjadi lebih sedikit dibandingkan side platform. Hal tersebut juga mengurangi jumlah cabang arah sirkulasi pada level 3.
Gambar 4.8 Skenario sirkulasi pada level 4 Sumber : Analisis Penulis, 2015
118
Gambar 4.9 Contoh penerapan side platform pada level 4 Sumber : Analisis Penulis, 2015
Hasil skenario sirkulasi tersebut diterapkan pada skenario alur sirkulasi konkrit pada setiap level bangunan. Skenario tersebut memasukan kecenderungan dari kelima jenis tipe pengguna dalam stasiun. Memasukan skenario sirkulasi pada setiap pengguna bertujuan memberikan arahan terhadap transformasi bangunan kedepannya. Selain itu pada setiap sirkulasi yang memiliki titik perubahan arah
sirkulasi diamati sehingga
kesimpulan yang dapat diperoleh adalah potensi munculnya decision point. Decision point berguna sebagai titik yang berpengaruh pada skenario wayfinding.
Gambar 4.10 Skenario alur sirkulasi konkrit dan Decision Point pada bangunan Sumber : Analisis Penulis, 2015
Jenis sirkulasi vertikal yang digunakan berupa lift, tangga, eskalator, dan ramp. Perletakan nya disesuaikan dengan luas ruang yang tersedia serta kebutuhan lainnya. 119
4.3 Konsep Zonasi Ruang Konsep zonasi penempatan ruang dipengaruhi dari skenario sirkulasi dalam bangunan. Pada bangunan dibagi menjadi 2, yaitu zonasi vertikal dan horizontal. Zonasi dibentuk melalui penempatan fungsi ruang, zonasi publik – privat, serta hubungan jalur dan ruang.
Gambar 4.11 Aksonometri zonasi ruangan Sumber : Analisis Penulis, 2015
Zonasi publik- privat bertujuan untuk membentuk hirarki terhadap arah wayfinding disesuaikan dengan arah sirkulasi yang dilalui oleh pengguna tertentu. Penentuan Zonasi publik – privat didasarkan pada kedalaman ruang dan level bangunan. Semakin dekat dengan zona platform maka semakin meningkat derajat privasi ruang. Hal tersebut dikarenakan pembedaan jenis concourse. Pada level 2 bangunan, ruang didominasi oleh ruang jenis free concourse. Fungsi nya sebagai jembatan penghubung lebih ditujukan kepada fungsi publik yang bisa dimasuki oleh siapapun. Pada level 3 ruang privat menjadi sangat dominan. Hal tersebut karena fungsi level sebagai area antara jenis concourse yang ditandai dengan adanya ruang fare collector. Selain itu level tersebut didominasi oleh ruang office dimana akses ditujukan kepada pengelola. 120
Gambar 4.12 Area Publik – Privat pada bangunan Sumber : Analisis Penulis, 2015
Hirarki yang terbentuk juga berasal dari hubungan jalur dan ruang. Hubungan jalur sirkulasi yang melewati ruang mendominasi pada level 1 dan 2. Hal tersebut bertujuan agar jalur sirkulasi utama tidak dibatasi oleh sekat-sekat ruang yang tidak berhubungan langsung. Dalam hal ini beberapa ruang seperti area komersil, toilet, dan ruang kantor termasuk dalam kategori ruang tersebut.
Gambar 4. 13 Jalur sirkulasi diantara beberapa ruang Sumber : Francis D.K. Ching, 1996
121
Ruang yang memiliki hirarki tinggi serta menjadi penentu sirkulasi utama didalam bangunan disusun dengan hubungan jalur menembus ruang. Dalam hal ini ruang seperti Entrance, Hall meeting point dan Fare C. Collector termasuk didalam nya.
Gambar 4.14 Jalur yang lewat menembus ruang Sumber : Francis D.K. Ching, 1996
Susunan ruang dengan tingkat privat yang cukup tinggi dan hanya memungkinkan satu pengguna memiliki susunan sirkulasi yang berhenti didalam ruang. Dalam hal ini ruang yang masuk dalam kategori back office termasuk didalam nya. Perletakan ruangan cenderung pada sudut terluar bangunan dan menjauhi sirkulasi utama bangunan.
Gambar 4.15 Jalur yang berhenti didalam ruang Sumber : Francis D.K. Ching, 1996
4.4 Konsep Komponen Wayfinding 4.4.1 Identitas Ruang Untuk membentuk identitas ruang yang kuat, maka konsep karakter ruang salah satu nya dibentuk dari. Identitas pada setiap ruang dibentuk dari serangkaian macam komponen konsep sehingga menjadi satu kesatuan identitas. Komponen konsep tersebut tidak keluar dari pendekatan taktilitas, dimana konsep mempertimbangkan dampak atau efek yang ingin ditimbulkan pada pengguna melalui sistem sensor indra.
122
Tabel 4.1 Konsep Penyelesaian Taktilitas Berdasarkan ruang Jenis Ruang &
Konsep Penyelesaian Taktilitas
Perfoma Taktil
System Visual
System
Haptic System
Smell – Taste
Basic
System
Orienting
Auditory
System -
-
-
Seamless
Blok
Vision Landscape
-
Area Buffer
Efek
kebisingan
udara kotor
Leveling
dari luar.
melalui
pada
Atraktif
desain
Entrance
Karakter
landscape
massa entrance -
-
Elemen
Pengarah
Tactile path
Kontrol aliran
repetisi
kebisingan
sebagai
udara
pengarah
dari arah
pengarah
sirkulasi
Platfom
sirkulasi dan
-
secara visual
pembagi area
(Bayangan
sirkulasi semu
dan Detil
-
Atrium
Ruang Lapang
arsitektur) -
Seamless Vision
-
Kesan Luas
-
Elevasi Visual
Pengaraha
Seamless
kebisingan
Vision
dari arah
-
Tactile path
Kontrol aliran
Ruang
udara
-
Atrium
sirkulasi luas
Platfom
Sumber : Analisis Penulis, 2015
123
-
Bentuk kanopi
Sumber
sebagai visual
-
Tactile path
Kontrol aliran
Kebisingan
sebagai pembagi
udara
landmark
serta blok
waiting area ,
Kesan Luas
suara
arus sirkulasi,
berlebih
maupun alat
-
Atrium
bantu difabel
Penurunan
Cross
derajat visual
Ventilation
dari sirkulasi
sebagai
utama
penekanan
bangunan
kenyamanan
Atrium
ruang Identitas
Strategi
Furniture
hubungan
sebagai
dengan jalur
pembentuk
sirkulasi
Atrium
hirarki visual
-
-
-
Elemen
Blok suara
Repetisi
berlebih dari
membagi
Atraksi Visual
beberapa titik
kawasan komersil
potensi
dan sirkulasi
keramaian
utama.
-
Atrium
Tactile path yang
Logo & warna
Cross
karakter
Ventilation
gender
sebagai
Atrium
penekanan kenyamanan ruang
Penjabaran mengenai konsep identitas setiap ruang adalah sebagai berikut:
124
a. Entrance Pada konsep identitas visual entrance ditekankan pada pemunculan identitas sebagai “welcoming gate” stasiun MRT. Untuk memunculkan kesan tersebut, maka konsep yang terapkan berupa penekanan karakter massa dan lanskap entrance. Kedua elemen tersebut menjadi elemen penarik perhatian agar mudah ditemukan. Konsep visual lainnya adalah seamless visual. Penerapan desain entrance setidaknya dapat memberikan pandangan kedalam bangunan sehingga pengenalan arah sirkulasi dalam bangunan lebih dini dapat dilakukan. Semakin dini pengenalan arah sirkulasi maka semakin jelas arah tujuan yang dituju yang mengakibatkan meningkatnya efisiensi pergerakan. Penyelesaian karakter auditori pada entrance adalah bagaimana menghadirkan uplifting experience pada bangunan. Blok kebisingan dari arah luar bangunan dengan adanya lanskap menjadi batas yang jelas pengalaman ruang yang berbeda ketika memasuki entrance. Selain berguna sebagai buffer kebisingan, konsep lanskap juga dapat mendukung penurunan kadar udara kotor pada entrance. Lokasi entrance merupakan lokasi yang paling dekat dengan akses jalan raya sehingga kadar polusi disekitar memiliki keadaan yang paling buruk diantara seluruh ruang. Khusus pada entrance pertama yang berhubungan langsung dengan jalan raya, penerapan
konsep bentuk
yang
menunjukan
orientasi
elevasi
sebagai
penyelesaian terhadap basic orienting system. Kesan tarikan gravitasi akibat ketinggian didapatkan ketika semakin tinggi dari permukaan tanah dan sadar akan ketinggian tersebut.
125
Gambar 4.16 Elemen pembentuk karakter ruang Entrance Sumber : Analisis Penulis, 2015
b. Concourse Pada area concourse identitas dibentuk agar menonjolkan ruang yang memiliki karakter dominan sebagai sirkulasi utama bangunan. Kesan sirkulasi ditonjolkan dengan melakukan modifikasi elemen perulangan bentuk (Repetition of locomotor pattern). Karena terdapat dominasi sensor visual dalam pembentukan karakter ruang, maka perlakuan terhadap bayangan cahaya menjadi elemen penting. Repetisi yang dihasilkan dari bayangan sinar matahari maupun cahaya selain menjadi elemen estetis, juga menjawab konsep wayfinding sehingga permainan cahaya dan bayangan menjadi salah satu penentu pergerakan sirkulasi dalam concourse.
Gambar 4.17 Arah sirkulasi yang dituntun melalui repetisi detil arsitektur dan bayangan Sumber : Analisis Penulis, 2015
126
Selain menggunakan cahaya, pembentukan karakter melalui haptic system dibentuk melalui hadirnya tactile path. Tactile path memiliki permukaan lantai yang timbul dan pola tertentu. Desain tactile path menyesuaikan arah pergerakan sirkulasi dan membagi arah sirkulasi sehingga terdapat pembagi arah secara semu.
Gambar 4.18 Arah sirkulasi yang dituntun dengan tactile path Sumber : Analisis Penulis, 2015
Karakter ruang concourse selain menonjolkan sirkulasi juga memiliki karakter ruang yang luas. Ruang yang luas, baik dengan penyelesaian ruang dengan skala besar maupun hanya berupa kesan bertujuan untuk mengurangi tekanan psikologis pengguna apabila pada terjadi ledakan jumlah sirkulasi pada waktu tertentu. Tekanan psikologis berupa stress atau berupa gejala lelah dapat berakibat pada berkurang nya respon sistem sensorik seseorang.
Gambar 4.19 Kesan luas concourse Sumber : Analisis Penulis, 2015 127
c. Fare C. Collector Identitas ruang Fare C. Collector merupakan “entrance” kedua yang terletak didalam bangunan. Konsep ruang ini adalah menciptakan bagaimana titik letak nya dapat diketahui ketika jauh sebelum ruang tersebut dijangkau. Dengan kata lain, semakin mudah untuk ditemukan lokasi nya dari titik yang menjauhi nya, semakin baik perfoma identitas ruang nya.
Gambar 4.20 Konsep visual fare fare c. collector Sumber : Analisis Penulis, 2015
Konsep atrium pada pusat massa bangunan dimanfaatkan sebagai titik lokasi fare collector dibawah nya sehingga hirarki secara visual dapat tercapai. Ketika kepadatan berbagai fungsi ruang yang ada pada concourse cukup padat, maka perletakan titik lokasi fare collector dapat diletakan pada level yang berbeda. Letak tersebut juga memberikan orientasi sirkulasi vertikal yang memberikan penegasan titik selanjutnya dilalui. Untuk meningkatkan hirarki ruang, konsep area terang dan bayangan diterapkan. Area concourse menjadi area dengan tingkat bayangan yang lebih banyak dibandingkan entrance dan fare collector. Hal tersebut secara visual membentuk area kontras dengan area terang sebagai hirarki yang lebih tinggi dari area bayangan.
128
Gambar 4.21 Hirarki identitas fare c. collector Sumber : Analisis Penulis, 2015
Pada
penyelesaian
identitas
auditori
ruang
fare
collector
lebih
dititikberatkan pada bagaimana sumber kebisingan (dalam kasus stasiun MRT, sumber kebisingan utama merupakan suara kereta) dapat diteruskan dari platform menuju ruang yang menjadi sirkulasi utama bangunan. Kebisingan tersebut menjadi orientasi terutama pada pengguna yang datang dari entrance. Penjagaan tingkat kebisingan tetap terjaga. Penyelesaian apabila terjadi kebisingan yang berlebih dapat menggunakan barrier pemecah suara pada titik yang diharapkan untuk pengurangan kebisingan.
129
Gambar 4.22 Karakter auditori fare collector Sumber : Analisis Penulis, 2015 d. Platform Dengan luasan ruang paling luas, platform menjadi titik akhir dan awal sirkulasi pengguna. Seperti hal nya dengan ruang concourse, dominasi kegiatan sirkulasi pada ruang ini memiliki potensi penumpukan pengguna. Kesan luas didapatkan dengan permainan skala ruang atau pemberian keleluasaan arah visual. Selain elemen visual, kontrol terhadap udara dan suara membentuk karakter ruang ini. Kontrol udara yang baik seperti hal nya pada ruang concourse menjamin kenyamanan ruang dan mengurangi tingkat tekanan psikologis pengguna. Platform merupakan sumber kebisingan utama dalam bangunan karena suara yang datang dari kereta serta kegiatan yang memadat pada peron platform. Karena kawasan blok M memiliki tingkat kepadatan yang tinggi, maka kebisingan keluar bangunan dalam hal ini dikontrol agar tidak berlebih . Kebisingan pada kereta menjadi salah satu pembentuk identitas keseluruhan stasiun. Untuk mencapai hal tersebut bentuk kanopi platform menjadi hal yang sangat penting. Identitas keseluruhan ruang platform banyak dipengaruhi oleh penyelesaian bentuk kanopi, mulai dari bagaimana skala ruang yang dibentuk, batasan ruang, serta penyelesaian udara dan kebisingan diselesaiakan oleh bentukan kanopi. Dengan kata lain penyelesaian sistem sensorik visual, auditory, dan smelltaste bergantung pada desain kanopi.
130
Gambar 4.23 Kanopi Platform sebagai pembentuk identitas ruang Sumber : Analisis Penulis, 2015
Selain kanopi, elemen path dapat memberikan identitas terhadap platform. Pada path, sistem sensorik yang dapat diterapkan adalah haptic system. Path merupakan elemen yang dapat bersentuhan langsung dengan tubuh pengguna. Seperti pada concourse, aplikasi desain menggunakan tactile path pada area sirkulasi sebagai guide line arah sirkulasi. Selain itu fungsi dari tactile path adalah menjadi batas semu waiting area dan sirkulasi. Hal tersebut agar arus sirkulasi dan waiting area tidak bertabrakan yang mengakibatkan ketidaklancaran sirkulasi.
Gambar 4.24 Konsep path pada platform Sumber : Analisis Penulis, 2015
131
e. Staff Room Karena bukan merupakan ruang yang dilalui oleh jalur sirkulasi utama didalam bangunan, hirarki ruang staff tidak semenonjol ruang concourse maupun fare c. collector . Hal tersebut bertujuan agar menjaga sifat privat ruangan dimana hanya pengelola yang diizinkan masuk. Karakter yang diharapkan pada ruang staff didominasi oleh sensor smell-taste system. Ciri khas ruang staff, dimana tempat pengguna dengan jenis pengelola bekerja tidak seperti pada jenis traveller yang hanya mengunjungi ruang pada jam jam tertentu. Cross vent diterapkan pada ruangan sehingga dapat mengurangi kadar karbon dioksida didalam ruang. Selain itu dengan menghadirkan tanaman berguna untuk mengurangi kadar polusi yang berasal dari udara luar kawasan Blok M.
Gambar 4.25 Identitas ruang staff Sumber : Analisis Penulis, 2015
f.
Waiting Room Karakter waiting room berdasarkan perfoma taktil didominasi oleh pencitraan sistem visual dan smell-taste system. Selain itu karakter khusus yang dimiliki oleh ruang ini adalah integrasi dengan beberapa ruang sehingga nampak menyatu didalamnya. Identitas waiting room dapat dicapai melalui adanya furnitur publik pada suatu ruang. Furnitur publik dapat berupa kursi-kursi yang disusun dengan pola tertentu. Untuk memperjelas hirarki ruang, penggunaan elemen lainnya dapat digunakan seperti penempatan signage. Elemen pendukung identitas ruang ditentukanberdasarkan letak zonasi serta elemen yang membentuk hirarki visual nya. Letak zonasi secara visual 132
mudah ditemui dengan didekatkan dengan jalur sirkulasi utama pada suatu ruang. Perletakan ruang setidaknya dapat diperhitungkan apabila sirkulasi terjadi peningkatan jumlah pengguna. Perletakan waiting room ditentukan agar tetap mudah ditemukan. Perletakan waiting room sebaiknya tidak ditempatkan dimana pada saat peningkatan jumlah pengguna menurunkan akses visual. Pendekatan smell-taste system memiliki prinsip yang sama dengan platform maupun concourse, dimana unsur kenyamanan menjadi penentu perfoma wayfinding. Secara perletakan waiting room berprinsip pada pemberian akses udara.
Gambar 4.26 Identitas waiting room Sumber : Analisis Penulis, 2015
g. Area Komersil Area komersil memiliki identitas karakter ruang yang dibentuk oleh sistem sensorik visual. Penghadiran karakter tersebut diselesaikan dengan penghadiran konsep atraksi visual. Atraksi visual tersebut dapat berupa susunan elemen seni rupa dalam format etalase. Untuk menjaga agar area komersil tidak melebihi hirarki entrance dan fare c collector, pola pada setiap ruang kios sewaan diatur dengan
133
elemen repetisi yang konstan. Bentuk ruang maupun elemen lainnya didesain agar tidak mengganggu arah pandang pada sirkulasi utama bangunan.
Gambar 4.27 Karakter visual area komersil Sumber : Analisis Penulis, 2015 h. Toilet Identitas toilet secara visual mudah dikenali dengan adanya dua ruangan yang dibedakan berdasarkan fungsinya terhadap jenis kelamin. Pembedaan ruang tersebut ditandai dengan elemen tertentu yang saling berbeda. Konsep identitas ruang tersebut secara visual dapat diselesaikan dengan pembedaan logo dan warna yang berbeda. Ketentuan warna dapat menggunakan ketentuan warna kontras menurut Kenneth (2004) atau warna lainnya yang dapat menggambarkan karakter jenis kelamin tertentu. Identitas karakter taktil pada toilet selain elemen visual yaitu smell-taste system. Toilet terutama pada bangunan publik perlu mendapat perhatian kenyamanan udara sekitar. Sama seperti pada kasus identitas ruang lainnya, menjadikan ruang toilet yang secara nyaman sebaiknya mendapat pengudaraan yang baik. Salah satu penyelesaian nya dapat dengan penerapan cross ventilation pada ruangan.
134
Gambar 4.28 Identitas ruang toilet Sumber : Analisis Penulis, 2015 4.4.2 Konsep Signage Konsep yang diterapkan pada desain dan perletakan signage berdasarkan beberapa aturan tertentu. Titik perletakan signage berdasarkan titik decision point yang ada. Penempatan konsentrasi signage pada beberapa titik tersebut bertujuan mengurangi perletakan signage yang berlebih. Signage yang berlebih selain membuat kompleks pesan yang diterima juga mengurangi kualitas arsitektur.
Gambar 4.29 List Signage pada Decision Point Sumber : Analisis Penulis, 2015 135
Desain signage menerapkan konsep taktilitas, yaitu tidak hanya merangsang sensor visual semata, namun juga mengakomodir sensor lainnya untuk bekerja. Hal tersebut salah satu nya bertujuan untuk mengakomodir pengguna dengan kemampuan khusus. Pada signage dengan jarak yang masih bisa dicapai oleh tangan / indra peraba, penerapan tactile element yaitu dengan menerapkan pesan timbul. Penerapan bahasa braille dapat diterapkan selama pengguna dengan kemampuan visual dapat diakomodir.
Gambar 4.30 Contoh penerapan elemen taktil pada signage map rute destinasi Sumber : Designforalleurope.com (diakses pada 05/05/2015)
Pada signage untuk mengarahkan atau memiliki satu pesan tertentu, bentuk logo lebih diutamakan dan mendapat penekanan khusus walaupun tidak terlepas dalam format tulisan. Signage dengan bentuk logo dapat mempercepat proses penalaran dibandingkan dalam bentuk tulisan. Bentuk logo tidak terlepas dari standard bentuk yang diterapkan pada umum nya. Hal tersebut bertujuan agar pengenalan bentuk logo tidak menghambat pesan yang ditangkap.
136
Gambar 4.31 Standar desain logo pada setiap pesan signage Sumber : interiortech.com (diakses pada 05/05/2015)
Kombinasi warna pada signage setidaknya mengikuti standar warna kontras yang dianjurkan oleh Kenneth (2004). Selain itu perletakan signage tidak menutupi dan merusak konsep arsitektur yang ada. Dengan kombinasi dan perletakan yang baik dapat membentuk interior stasiun yang menarik.
Gambar 4.32 Kombinasi warna dan Perletakan signage pada interior stasiun Sumber : wikimapia.com (diakses pada 05/05/2015)
137
4.5 Transformasi Massa Bangunan Transformasi bentuk massa bangunan dibentuk berdasarkan pertimbangan perilaku wayfinding serta identitas fungsi bangunan. Pertimbangan tersebut pada akhir nya menjadi citra arsitektur yang diharapkan. Dalam membentuk citra estetika arsitektur, konsep yang digunakan adalah menggunakan elemen reptisi pada massa bangunan. Elemen repetisi selain banyak diterapkan pada bangunan stasiun kontemporer pada umumnya, juga membentuk pengalaman berulang dalam melewati rute tertentu (Repetition of locomotor pattern). Setelah adanya repetisi, penghadiran kesan “titik akhir semu” diselesaikan dengan adanya pembedaan bentuk pada pusat massa. Titik akhir semu tersebut bertujuan untuk menunjukan hirarki arah sirkulasi yang cenderung pada satu titik. Elemen tersebut dibentuk dengan berprinsip pada bagaimana arah orientasi sirkulasi bangunan dibentuk. Dengan kata lain citra landmark yang terbentuk dapat merepresentasikan sebuah perpindahan gerak (motion) pada bangunan.
Gambar 4.33 Elemen Repetisi dan Dominasi Arsitektur Sumber : Analisis Penulis, 2015
Gambar 4.34 Flow Massa bangunan yang berorientasi pada arah sirkulasi Sumber : Analisis Penulis, 2015 138
4.5.1 Konsep Visual Site Konsep visual pada site ditentukan dari flow bangunan massa di sekitar nya. Untuk menonjolkan visual landmark, maka pergerakan flow yang diharapkan adalah bentuk yang curam dan kontras dari bangunan sekitar nya namun tanpa mengurangi kenyamanan pandangan visual kota. Untuk mendapatkan konsep visual yang diinginkan maka diterapkan studi flow ketinggian massa bangunan dengan sekitar. Semakin curam perbedaan ketinggian semakin tinggi derajat visual yang didapatkan.
Gambar 4.35 Studi flow massa bangunan terhadap sekitar Sumber : Analisis Penulis, 2015 4.5.2 Atrium Atrium pada bangunan menciptakan ruang terbuka pada bagian dalam sehingga memberikan jalan atau akses bagi masuknya cahaya alami. Dengan ada nya ruang pada bagian dalam bangunan, ruang-ruang yang lain akan memiliki akses terhadap cahaya matahari melalui sisi luar dan dalam. Kesan orientasi bangunan yang ke atas menciptakan rangsangan terhadap basic orienting system. Hal tersebut dimunculkan dengan kesan ketinggian yang diakibatkan oleh gaya gravitasi apabila berada pada ketinggian tertentu dari permukaan tanah.
139
Gambar 4.36 Konsep atrium pada pusat bangunan Sumber : Analisis Penulis, 2015 4.6 Konsep Intermoda Konsep intermoda bertujuan untuk mengoptimalisasi jaringan angkutan umum yang berada di sekitar kawasan serta mengintegrasikan nya dalam satu tatanan yang berkesinambungan. Konsep terdiri dari Penetapan lokasi titik intermoda dan strategi taktilitas yang mendukung terciptanya wayfinding, terutama pada masalah gap antara moda lainnya dengan stasiun MRT. Penentuan titik aktivitas intermoda ditentukan berdasarkan perletakan titik entrance yang sudah ada. Dengan kata lain secara zonasi akan terintegrasi dengan pintu entrance. Hal tersebut bertujuan untuk memperpendek perjalanan dan membuat perjalanan lebih efisien karena semua kegiatan diletakan pada satu titik yang saling berdekatan. Pemadatan aktivitas yang didukung oleh nodes eksisting mempermudah penemuan wayfinding pada kawasan sehingga baik secara visual dan auditori menciptakan perbedaan dengan lingkungan sekitar. Detail arsitektur serta street furniture yang mengarahkan pada titik penting secara sentuhan menjadi pengarah didalam area intermoda. Titik intermoda yang terletak dekat dengan Taman Martha C. Tiahahu menjadi titik yang paling penting dalam perpindahan moda dikarenakan menjadi penghubung antara stasiun MRT dengan Terminal Blok M. Konsep ditawarkan adalah menciptakan jalur interchange hub. Konsep tersebut dimulai dengan menjawab permasalahan yang akan terjadi apabila titik tersebut dijadikan titik intermoda seperti kurang nya sense of place jalur dan secara visual tidak begitu menonjol. Selain itu dengan menjadikan akses seluruh perpindahan moda pada susunanan linear memudahkan penemuan moda transportasi yang diharapkan.
140
Gambar 4.37 Skema program Interchange hub Sumber : Analisis Penulis, 2015
Fasilitas intermoda pada titik berupa drop off halte feeder bus (pada jalan ini kendaraan umum yang melewati adalah bus Bianglala AC76) pada zona yang bersebelahan langsung dengan Jalan Panglima Polim dan drop off untuk kendaraan tanpa trayek tertentu seperti kendaraan pribadi dan taksi. Pembedaan area drop off tersebut bertujuan untuk menghindari bottleneck effect pada Jalan Panglima Polim. Bottleneck effect yang terjadi adalah kemacetan yang diakibatkan oleh pengurangan volume jalan dikarenakan banyaknya kendaraan yang melakukan drop off sehingga meningkatkan kepadatan pada sisi jalan lainnya. Selain itu jumlah pengguna kendaraan pribadi yang jauh lebih banyak sehingga memerlukan area yang khusus dan terpisah dari jalan besar.
Gambar 4.38 Bottle Neck Effect Sumber : dot.gov (diakses pada 24/06/2015)
Fasilitas Park and Ride memanfaatkan area yang sudah ada pada Terminal Blok M. Fasilitas yang sebelumnya sudah terintegrasi dengan Mall Blok M Square disatukan agar meningkatkan integrasi moda area tersebut. Pada sisi barat, terdapat fasilitas pangkalan ojek yang diintegrasikan dengan desain. Dengan memerhatikan konteks sisi barat kawasan dan adanya pangkalan ojek yang tumbuh secara organik sebelumnya, maka pengintegrasian desain dirasa tepat agar kawasan lebih tertata 141
Gambar 4.39 Zonasi Interchange hub pada kawasan Sumber : Analisis Penulis, 2015
Konsep taktilitas yang diterapkan pada desain Interchange plaza meliputi kelima elemen sensorik untuk meningkatkan wayfinding . Melalui visual system, desain dapat terlihat langsung ketika perpindahan moda terjadi. Masing – masing fasilitas perpindahan moda memiliki karakter visual masing – masing, baik menggunakan pembedaan warna maupun bentuk. Pada auditory system solusi ditekankan kepada pengurangan kebisingan yang berasal dari Jl. Panglima Polim. Solusi yang ditawarkan adalah melakukan redesain lanskap disekitar desain agar disesuaikan dengan tanaman yang mempunyai kemampuan peredaman suara. Dalam hal ini jenis tumbuhan yang efektif meredam suara ialah yang mempunyai tajuk tebal dengan daun yang rindang, seperti . Kemudian pada haptic system, penggunaan elemen repetisi dan material yang bertekstur pada path dan partisi memiliki orientasi yang mengarahkan pada fasilitas intermoda tertentu. Penyelesaian smell – taste system digunakan dalam membantu menciptakan kondisi udara yang baik. Dalam hal ini 142
taman yang sudah ada disekitar desain menjadi keuntungan tersendiri untuk desain. Penambahan tanaman dengan keuntungan aroma yang menyenangkan dapat diterapkan pada area terbuka hijau juga untuk meningkatkan kondisi udara.
Gambar 4.40 Skema Penerapan Taktilitas pada Interchange Hub Sumber : Analisis Penulis, 2015
Pada Entrance sisi selatan Stasiun MRT mempunyai prinsip yang sama seperti pada Interchange Hub di sisi utara, namun dengan fasilitas yang lebih minim. Halte Feeder bis diletakan sebagai fitur utama dan menjadi satu kesatuan dengan entrance jembatan stasiun untuk mempercepat wayfinding intermoda. Jenis penumpang bis yang dilayani pada sisi ini adalah yang berhubungan langsung dengan Jalan Panglima Polim seperti Bianglala AC76 dan yang melewati perempatan Jalan Melawai seperti Metromini S610, Kopaja S605, dan Kopaja S614.
143
Gambar 4.41 Skema intermoda pada entrance stasiun sisi selatan Sumber : Analisis Penulis, 2015
Area Drop Off kendaraan non trayek hanya terdapat pada sisi barat. Area yang terpakai meliputi sepanjang tikungan pada pertigaan disekitar taman kota. Seperti pada sisi utara, pemisahan area drop off dari arah Jl. Panglima Polim diterapkan agar tidak menambah beban jalan tersebut.
Gambar 4.42 Zonasi intermoda pada entrance stasiun sisi selatan Sumber : Analisis Penulis, 2015 4.7 Konsep Detail Arsitektur Utama Detil arsitektur setidaknya dapat mendukung tercapai nya konsep karakter yang diharapkan pada setiap sisi bangunan. Pada eksterior bangunan yang mengusung visual landmark, elemen arsitektur yang diterapkan harus menonjolkan bangunan dari sekitar nya 144
Selain itu agar kegiatan didalam bangunan nampak dari luar maka diterapkan elemen transparan. Salah satu elemen transparan yang umum digunakan yaitu kaca. Kaca selain dapat menampilkan kegiatan dibalik massa nya juga dapat merefleksikan keadaan sekitar. Dengan memahami kegiatan didalam bangunan, maka setidaknya pengunjung dapat memperkirakan kegiatan apa yang dilakukan sebelum masuk kedalam bangunan.
Gambar 4.43 Material yang memungkinkan Seamless Visual Sumber : Analisis Penulis, 2015
Hal tersebut berguna ketika membentuk visual landmark diantara ruang yang sangat padat. Elemen tersebut menonjol namun tidak memberikan kesan sempit pada lingkungan sekitar. Kesan terbuka/welcoming environment juga didapatkan, terlebih Contoh penerapan kaca untuk mengejar visual landmark pada bangunan Cartier Foundation yang dirancang oleh Jean Nouvel. Pencahayaan dalam bangunan ikut mendukung suasana didalam bangunan di malam hari. Pada siang hari, pantulan cahaya dari matahari merefleksikan kegiatan diluar bangunan. Kombinasi dengan elemen struktur baja ikut mendukung
145
Gambar 4.44 Penerapan elemen transparan pada Cartier Foundation Sumber : Archdaily.com (diakses pada 05/05/2015)
Gambar 4.45 Elemen Semi-transparan pada selubung bangunan Sumber : Analisis Penulis, 2015
Tactile path yang diterapkan pada beberapa ruang stasiun MRT dibentuk dari susunan tactile block. Saat ini kehadiran tactile block sudah menjadi standar baru dalam bangunan publik sebagai pengarah jalan, terutama untuk pengguna dengan kebutuhan khusus / difabel. Tactile block memanfaatkan bentuk yang menonjol dan menciptakan rangsangan terhadap haptic system.
Gambar 4.46 Tactile block dan penerapan nya pada lantai Sumber : tsatactile.au (diakses pada 05/05/2015) 146
Gambar 4.47 Pesan Braille pada Ramp Sumber : tsatactile.au (diakses pada 05/05/2015) 4.8 Konsep Sistem Struktur Bangunan Terdapat dua alternatif aplikasi penggunaan struktur bangunan. Pemilihan jenis sistem struktur bangunan didasarkan pada kemampuan memfasilitasi konsep sirkulasi maupun karakter yang diharapkan pada bangunan. Beberapa alternatif sistem struktur bangunan tersebut yaitu. 1. Sistem Kolom Balok Dengan sistem ini memiliki beberapa kelebihan seperti : a. Struktur sederhana, aplikasi mudah b. Aplikasi konsep sirkulasi yang mudah. c. Dalam hal pembentukan visual landmark memerlukan elemen arsitektur yang lebih baik
Gambar 4.48 Sistem Kolom Balok Sumber : Saragih, 2013
147
2. Rangka Kaku + Core + Braced Dengan sistem ini memiliki beberapa kelebihan seperti : a. Memungkinkan fleksibilitas bentuk untuk mencapai konsep visual landmark yang kuat. b. Minim interfensi area terbangun, terutama pada sisi terluar bangunan c.
Alur sirkulasi utama pada bangunan perlu adanya modifikasi sehingga konsep skenario sirkulasi dapat diaplikasi
Gambar 4.49 Rangka Kaku + Core + Braced Sumber : Saragih, 2013
4.9 Konsep Sistem Pengamanan Kebakaran
Jalur evakuasi menjadi penting pada stasiun, terlebih pada stasiun MRT yang memiliki lantai banyak. Dengan jenis stasiun center platform, titik jalur evakuasi terbagi pada masing-masing platform. Tangga darurat ditempatkan pada setiap ujung sisi platform serta ditempatkan seefisien mungkin agar dapat menjangkau tiap level dari bangunan stasiun.
148
Gambar 4.50 Titik dan Arah Sirkulasi Evakuasi Kebakaran Sumber : Analisis Penulis, 2013
149