BAB IV ISU-ISU UTAMA 4.1. Arahan Pengembangan Perikanan di Kabupaten Banyuasin Merupakan suatu upaya untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam yang optimal dan berkelanjutan yang dilakukan melalui perencanaan dan pengelolaan, diharapkan melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang bijaksana melalui suatu pengelolaan yang baik bisa menjadikan sektor perikanan sebagai sektor unggulan yang mampu menjadi roda penggerak perekonomian dan pembangunan daerah. Kegiatan penangkapan ikan di laut dan budidaya perikanan di wilayah pesisir merupakan dan dimanfaatkan secara lestari, bertitik tolak dari permasalahan dan tujuan yang ada kegiatan sektor perikanan yang dianggap memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan kemudian dilakukan kajian terhadap potensi sumberdaya untuk perikanan tangkap maupun budidaya. Wilayah pesisir (coastal zone) dalam Keputusan menteri perikanan dan Kelautan Nomor 10 Tahun 2002 adalah wilayah peralihan ekosistem darat dan laut yang saling mempengaruhi dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah laut tersebut untuk kabupaten/kota dan ke arah darat pada batas administrasi kabupaten/kota. Wilayah laut adalah ruang laut yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan yaitu: 1) pendekatan ekologis, 2) pendekatan administratif dan 3) pendekatan perencanaan. Dilihat dari aspek ekologis wilayah pesisir adalah wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah daratan mencakup wilayah yang masih dipengaruhi proses-proses lautan seperti pasang surut dan ke arah laut dipengaruhi oleh proses-proses yang berasal dari daratan seperti sedimentasi. Dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten atau kota yang mempunyai laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk provinsi atau sepertiga untuk kabupaten/kota. Sedangkan dilihat dari aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan yang difokuskan pada penanganan isu yang ditangani secara bertanggung jawab. Untuk kepentingan pengelolaan, penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem
45
pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya yang ada di dalamnya, serta tujuan dari pengelolaan itu sendiri. 4.2. Metode Finansial 4.2.1. Analisis Finansial Keberhasilan suatu usaha pemanfaatan sumberdaya akan dinilai dari besarnya pendapatan yang diperoleh (keuntungan), pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya. Penerimaan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi dengan harga jual produk, sedangkan biaya merupakan semua pengeluaran yang digunakan dalam kegiatan usaha. Berdasarkan sifatnya biaya dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost), biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak tergantung dengan banyak sedikitnya jumlah barang yang diproduksi, dan biaya tidak tetap adalah biaya yang besarnya berubah apabila ukuran usahanya berubah, seperti biaya input produksi (Soekartawi, 1986). Selanjutnya disebutkan bahwa untuk mengetahui suatu usaha menguntungkan atau tidak, dapat diukur dengan dengan menggunakan indikator perimbangan antara penerimaan dan biaya, berdasarkan pengukuran tersebut jenis usaha dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1) jenis usaha yang bersifat semusim (musiman), 2) jenis usaha yang bersifat tahunan. Jenis usaha musiman biasanya memiliki karakteristik : 1) memiliki periode produksi lebih dari satu kali dalam setahun, 2) umumnya memerlukan modal relatif kecil, 3) diusahakan dalam skala kecil dengan teknologi yang sederhana. Sedangkan jenis usaha tahunan memiliki karakteristik antara lain : 1) memiliki periode produksi lebih dari satu tahun, 2) umumnya memerlukan modal dan investasi cukup besar, 3) diusahakan dalam skala besar (proyek). Untuk jenis usaha yang bersifat musiman, digunakan analisis RIC (revenue cost
ratio), sedangkan dalam evaluasi untuk jenis usaha yang bersifat tahunan (usaha yang dilakukan dalam skala proyek) secara umum digunakan analisis Benefit-Cost ratio (B/C ratio). 4.2.2. Analisis Produksi Surplus Tujuan penggunaan model produksi surplus adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang yang dikenal dengan hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/ MSY). Model ini 46
dapat diterapkan bila hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya (Catch Per Unit Effort/ CPUE) per spesies dalam beberapa tahun dapat diperkirakan dengan baik. Perhitungan MSY di perairan Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu upaya dalam
pengelolaan
sumberdaya
ikan
dikaitkan
dengan
prinsip
perikanan
yang
bertanggungjawab (Responsible Fisheries) seperti yang ada dalam naskah Code of Conduct
for Responsible Fisheries yang dikeluarkan oleh FAO Tahun 1995. Penerapan prinsip perikanan yang bertanggungjawab melalui penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch) untuk jenis sumberdaya perikanan sebesar 80% dari potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield). 4.2.3. Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) Analisis arahan pengembangan sektor perikanan pesisir Kabupaten Banyuasin, menggunakan analisis SWOT akan menghasilkan strategi pengembangan sektor perikanan berdasarkan pada kajian-kajian yang dilakukan maupun hasil identifikasi deskriptif faktorfaktor eksternal dan internal sektor perikanan baik tangkap maupun budidaya. Menurut Salusu (1996) Analisis SWOT adalah analisis yang mencoba mengidentifikasi berbagai faktor secara sistemastis untuk merumuskan strategi organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan ( strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Jenis keputusan yang hendak diambil dapat diklasifikasikan ke dalam 4 kategori, yaitu: 1) cita-cita (goals), 2) keputusan strategis, 3) keputusan taktis dan 4) keputusan teknis operasional. Goals merupakan sumber dari segala keputusan yang mana goals dicapai melalui keputusan strategis. Keputusan strategis adalah pilihan tidak terprogram yang diambil oleh pembuat keputusan tingkat tinggi mengenai serangkaian tindakan diantara berbagai alternatif yang tersedia yang didesain untuk mencapai tujuan utama dari suatu organisasi melalui hubungan yang efektif dengan lingkungan, sementara keputusan taktis dibuat untuk merealisasikan keputusan strategis sehingga jangka waktunya lebih pendek, sedangkan keputusan teknis dan keputusan operasional merupakan jenis keputusan yang berada pada tingkatan terbawah yang dibuat untuk menyukseskan keputusan taktis. Untuk setiap keputusan taktis dibuatkan banyak keputusan operasional.
47
Lebih lanjut Salusu (1996), menyatakan bahwa analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 model matriks yaitu : Matriks SWOT atau Matriks
TOWS. Model Matriks TOWS berbeda dengan Matriks SWOT. Matriks TOWS mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang). Kemudian melibatkan kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Suatu strategis dirumuskan setelah TOWS selesai dianalisis. Matriks TOWS menghasilkan 4 strategi (Salusu, 1996), yaitu : (1) Strategi SO, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang (2) Strategi WO, memperbaiki kelemahan untuk dapat memanfaatkan peluang (3) Strategi ST, memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal (4) Strategi WT, memperkecil kelemahan dan menghindari ancaman Tabel 4.1. Model Matriks TOWS dalam Analisis SWOT MATRIKS TOWS OPPORTUNITIES
THREATS
STRENGTHS
WEAKNESSES
Strategis SO: Pakai kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi WO: Tanggulangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang
Strategi ST: Pakai kekuatan untuk menghindari ancaman
Strategi WT: Perkecil kelemahan dan hindari ancaman
Hasil analisis berupa produksi lestari sumber daya yang dapat ditangkap dengan upaya optimum yang seharusnya digunakan untuk mendapatkan produksi lestari tersebut, dengan demikian dapat diketahui jumlah alat tangkap yang seharusnyan beroperasi di wilayah perairan Banyuasin untuk memperkecil tekanan yang berlebih terhadap stok sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management) merupakan upaya penting dalam menjaga kesinambungan sumberdaya (sustainability), hal ini dimaksudkan agar tidak hanya generasi sekarang yang dapat meniikmati kekayaan sumberdaya, tetapi juga generasi mendatang. Secara teoritis ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, masing-masing open access dan controlled access regulation. Regulasi yang pertama adalah membiarkan para nelayan menangkap ikan kapan saja, dimana saja, berapa pun jumlahnya, dan dengan alat apa saja sehingga regulasi ini mirip dengan hukum rimba dan pasar bebas. Secara empiris regulasi ini menimbulkan dampak negatif yang dikenal dengan tragedy of the
common berupa kerusakan sumberdaya perikanan maupun konflik antar nelayan. Gagalnya 48
regulasi tersebut mendorong munculnya bentuk regulasi lainnya yakni controlled access
regulation. Dalam regulasi akses yang terkontrol tersebut, paling tidak ada dua kategori menurut Anderson dalam Satria 2002, yaitu : 1. Berdasarkan pembatasan input (Input restriction) yang membatasi jumlah pelaku dan jenis kapal, serta jenis alat tangkap ; 2. Berdasarkan pembatasan output (Output restriction) yang membatasi jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota, Individual Quota (IQ), Individual Transferable
Quota (ITQ) dan lainnya yang umumnya diterapkan di negara-negara maju. Pembatasan input merupakan instrument kebijakan yang masih sering digunakan negara-negara Asia dan Negara berkembang lainnya. Salah satu formulasi dari pembatasan input adalah territorial use rights yang menekankan penggunaan fishing right (hasil untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan) dalam suatu wilayah tertentu dengan batas yurisdiksi yang jelas. Dalam sistem ini hanya pemegang fishing rights yang berhak untuk melakukan kegiatan perikanan di suatu wiayah, sementara pihak yang tidak memiliki fishing rights tidak diizinkan beroperasi di wilayah tersebut, selain diatur pihak yang berhak melakukan kegiatan perikanan, diatur juga waktu dan alat yang boleh digunakan dalam kegiatan perikanan. Sistem ini memang menjurus pada bentuk pengkavlingan laut. Salah satu negara yang industri perikanannya maju yang kita kenal dan menerapkan
territorial use rights adalah negara Jepang. Pengkavlingan laut telah terjadi di Jepang, pengkavlingan
diatur
untuk
membuat
efektif
dan
produktif
usaha
perikanannya,
pengkavlingan laut yang mereka lakukan melalui kelembagaan fishery rights. Dalam fishery
rights, diatur mengenai jenis ikan yang boleh ditangkap, waktu penangkapan, jenis alat tangkap dan metode penangkapan. Sangat tegas bahwa nelayan luar dari wilayah lain tidak diizinkan masuk dan beroperasi di wilayah tersebut.
Fishery rights dikategorikan menjadi tiga tipe, yaitu: 1. Common fishing rights merupakan hak yang diberikan kepada nelayan melalui koperasi perikanan di wilayah pesisir (costal) dengan batas wilayah hingga 2 km dari garis pantai. 2. Set-net fishing rights merupakan bak penangkapan ikan dengan jaring tancap (set-net) pada kedalaman lebih dari 27 meter dengan wilayah tertentu sesuai dengan haknya. Umumnya alat ini menangkap ikan yang bermigrasi. 3. Demarcated fishing rights umumnya digunakan pada usaha budidaya ikan di pesisir (moriculture) yang seringkali berbentuk jaring apung. Hanya nelayan yang menjadi anggota koperasi perikanan yang memperoleh fishery rights tersebut, para nelayan pun dikenai pajak atas apa yang diperoleh dan dibayarkan setiap tahun kepada koperasi.
49
Pengkavlingan laut melalui kelembagaan fishery rights membawa sejumlah dampak positif. Pertama, konflik-konflik antar nelayan di perairan menjadi makin berkurang seiring dengan jelasnya batas-batas yurisdiksi usaha perikanan. Kedua, pendapatan nelayan meningkat karena memperoleh jaminan wilayah usaha dan dapat menikmati kekayaan alam di wilayahnya sendiri. Ketiga, dengan adanya hak tersebut, nelayan akan bertanggungjawab terhadap masa depan wilayah perairannya. Selanjutnya diidentifikasi wilayah penangkapan ikan yang potensial berdasarkan pada wilayah front dengan kelimpahan klorofil yang tinggi dalam wilayah kewenangan pengelolaan Kabupaten Banyuasin, dalam upaya meminimalisasi konflik perebutan wilayah atau ruang operasi penangkapan dilakukan penerapan penggunaan jalur-jalur penangkapan berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 tahun 1999. Selanjutnya dilakukan analisis kelayakan ekonomi melalui analisis finansial untuk usaha sektor perikanan tangkap dominan yaitu udang menggunakan alat tangkap trammel
net, sedangkan kegiatan perikanan budidaya dimulai dengan melakukan analisis kesesuaian lahan untuk budidaya tambak, selanjutnya dilakukan analisis kuantifikasi perairan dalam mengencerkan
limbah
tambak
untuk
mendapatkan
luas
lahan
lestari
yang
bisa
dikembangkan untuk usaha budidaya tambak. 4.3. Perencanaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Pengelolaan wilayah pesisir dan laut merupakan kegiatan manusia dalam pengelolaan ruang atau penggunaan sumberdaya alam yang terdapat pada suatu wilayah pesisir, pengelolaan wilayah pesisir dan laut merupakan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan (environmental service) yang terdapat di kawasan pesisir dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment), menentukan tujuan dan sasaran, merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut diarahkan untuk mencapai dua tujuan yaitu: 1) pendayagunaan potensi pesisir dan laut
untuk
meningkatkan kontribusi terhadap
pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, 2) untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan. Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu diperlukan informasi tentang potensi pembangunan yang dapat dikembangkan di suatu wilayah pesisir dan laut serta permasalahan yang ada, baik aktual maupun potensial, terdapat tiga langkah utama
50
dalam pengelolaan wiayah pesisir dan laut secara terpadu yaitu (i) perencanaan, (ii) implementasi dan (iii) pemantauan dan evaluasi. Agar dapat mencapai hasil yang efektif dan tepat guna, maka teknis perencanaan tata ruang wilayah pesisir harus berdasarkan pada pendekatan hirarki, tingkat pertama wilayah pesisir dapat diklasifikasikan menjadi tiga zona, yaitu: 1) Zona pemanfaatan; meliputi perkotaan, lokasi perindustrian dan transportasi (pelabuhan, jalan raya, jalan kereta api dan lainnya) 2) Zona Konservasi (budidaya) ; meliputi tanah pertanian, danau buatan dan kolam (tambak, jarring apung, hutan budidaya dan mangrove) 3) Zona Preservasi; meliputi ekosistem alami seperti hutan, sungai, estuaria, terumbu, karang, danau dan lautan. Pada tingkat selanjutnya zona tersebut diklasifikasikan lagi menjadi tiga bagian yang lebih detail menurut lokasi wilayah (spasial) masing-masing unit berdasarkan berbagai aktivitas pembangunan, agar dapat menempatkan berbagai kegiatan pembangunan di lokasi yang sesuai maka kelayakan biofisik dari wilayah pesisir harus diidentifikasikan terlebih dahulu. Pendugaan kelayakan biofisik ini dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biofisik (biophysical requirements) setiap kegiatan pembangunan, kemudian dipetakan (dibandingkan) dengan karakteristik biofisik wilayah pesisir itu sendiri, dengan cara ini dapat dibuat peruntukkan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) wilayah pesisir. Penempatan wilayah pembangunan di lokasi yang sesuai, tidak saja menghindari kerusakan lingkungan tetapi juga menjamin keberhasilan (viability) ekonomi kegiatan tersebut, di samping itu secara sosial dan budaya akan menambah kesejahteraan penduduk setempat. Setelah berhasil menempatkan segenap kegiatan pembangunan pada lokasi yang secara ekologis sesuai (suitable), kemudian perlu menentukan tingkat (laju) optimal dari kegiatan pembangunan, dalam hal ini yang dimaksud dengan tingkat pembangunan yang optimal
adalah
suatu
besaran
(intensitas)
pembangunan
yang
secara
ekonomis
menguntungkan dan secara ekologis aman atau segenap dampak lingkungan negatif yang ditimbulkannya masih dapat ditenggang oleh ekosistem alami. 4.4. Zona Pemanfaatan Perikanan Tangkap Zona pemanfaatan merupakan zona yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan ekonomi, salah satu kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya tersebut adalah perikanan tangkap, perikanan tangkap didefinisikan sebagai suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati laut melalui penangkapan ikan atau pengumpulan hewan dan tumbuhan laut lainnya, yang selanjutnya hasil tangkapan tersebut digunakan untuk 51
pemenuhan kebutuhan hidup pelaku kegiatan, dalam hal ini nelayan, dengan cara mengkonsumsinya langsung atau memasarkannya dalam bentuk ikan segar ataupun ikan olahan. Menurut lokasi kegiatannya, perikanan tangkap di Indonesia dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu (1) perikanan lepas pantai (offshore fisheries); (2) perikanan pantai (coastal
fisheries) dan (3) perikanan darat (inland fisheries). Yang dimaksud dengan perikanan pantai (coastal fisheries) bahwa kegiatan menangkap populasi hewan air (ikan, udang, kerangkerangan) dan memanen tumbuhan air (ganggang, rumput laut) yang hidup liar di perairan sekitar pantai. Kualitas dan kuantitas sumberdaya perikanan sebagai sasaran dari kegiatan perikanan tangkap sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan sebagai tempat hidupnya dan berbagai ekosistem pesisir pantai seperti rawa, mangrove, dan terumbu karang yang baik. Kondisi perairan terkait erat dengan ekosistem-ekosistem yang ada di pesisir pantai, penurunan kualitas perairan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat disebabkan karena penurunan berbagai fungsi ekosistem yang ada di pesisir tersebut karena pengrusakan ekosistem mangrove rawa dan terumbu karang merupakan daerah-daerah penting tempat pdan pembesaran berbagai macam hewan air. Ekosistem mangrove dapat dijumpai di daerah dataran rendah ekosistem estuaria. Hutan mangrove merupakan tumbuhan pantai yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis. Daerah pertumbuhan mangrove merupakan suatu ekosistem yang spesifik, hal itu disebabkan adanya proses kehidupan biota (flora dan fauna) yang saling berkaitan baik yang terdapat di daratan maupun lautan. Energi yang terdapat pada ekosistem mangrove dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik seperti sungai-sungai pasang surut, aliran laut dan faktor-faktor biologi seperti produksi serasah dari tumbuhan yang jatuh dan dekomposisi serta semua mekanisme yang mengatur kecepatan pemasukan, pengeluaran dan penyimpanan bahan organik dan anorganik. Hutan mangrove yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Banyuasin khususnya yang terletak di Taman nasional Sembilang, bila dipandang dari segi vegetasinya mempunyai jenis-jenis komersial yang besar dan dari segi ekologis ekosistem hutan mangrove ini mempunyai manfaat yang besar terhadap dukungan faktor lingkungan perairan sekitarnya. Kawasan perairan mangrove Sungai Sembilang, di Kabupaten Banyuasin ini merupakan perairan yang cukup produktif sebagai daerah perikanan tangkap, wilayah perairannya yang menghadap dan berhubungan langsung ke Laut Cina Selatan merupakan daerah pengelolaan ikan tersendiri.
52
4.5. Zona Pemanfaatan Perikanan Budidaya Perikanan budidaya tambak yang hendak diwujudkan adalah sistem usaha perikanan budidaya yang mampu menghasilkan produk yang berdayasaing tinggi, menguntungkan, berkeadilan dan berkelanjutan. Adapun pola kebijakan dan program yang semestinya dijalankan, seyogyanya berdasarkan pada: 1) potensi dan kesesuainan wilayah untuk komoditas budidaya, 2) kemampuan dan aspirasi masyarakat dalam mengadopsi dan menerapkan teknologi budidaya. Pengembangan
kawasan
budidaya
di
wilayah
pesisir
sangat
perlu
untuk
memperhatikan potensi dampak penting terhadap lingkungan wilayah laut dan pesisir itu sendiri. Selain itu, rencana pengembangan kawasan budidaya di kawasan pesisir perlu mempertimbangkan peran fungsi lindung wilayah pesisir, pendekatan yang terpadu dan menyeluruh sangat diperlukan. Keberhasilan dalam pengembangan kawasan budidaya terletak dalam ketepatan dalam pemilihan lokasi yang merupakan hal yang penting karena tidak semua areal lahan cocok untuk kawasan tersebut, salah satu contoh yang harus diperhatikan adalah seberapa jauh areal yang akan dijadikan kawasan budidaya dari pantai, penggunaan tanah tersebut, aksesibilitas, tingkat kemiringan lereng dan lain-lain. Perikanan tambak umumnya terkonsentrasi di daerah kaya nutrien, terutama di sekitar hutan bakau atau hutan rawa pantai. Perikanan ini memanfaatkan nutrien di lingkungan air payau. Batas ambang buangan nutrien penting diperhatikan untuk menjaga keseimbangan proses-proses ekologis bagi wilayah sekitar dan faktor penyerapan lahan pantai. Karena produksi nutrien yang tinggi dapat mengakibatkan tingginya limbah nutrien ke lingkungan perairan sekitar yang berpotensi menimbulkan eutrofikasi. Perencanaan pemanfaatan ruang kawasan pesisir untuk kepentingan perikanan tambak perlu mempertimbangkan dampak penting yang dapat timbul oleh dua proses pembangunannya, yaitu tahap konstruksi dan tahap operasi. Pada tahap konstruksi sudah pasti akan dilakukan kegiatan deforestasi hutan mangrove sehingga akan merubah keseimbangan ekosistem yang sudah ada. Selanjutnya ketika sudah mencapai tahap operasi tentu akan menghasilkan bahan buangan yang berpotensi mengubah sistem hidrologi lingkungan sekitar, kualitas air, dan kondisi keseimbangan nutrien lingkungan perairan sekitar.
53
4.6. Metode Pengumpulan Data Data terdiri dari data primer dan data sekunder, data primer yaitu data yang belum mengalami pengolahan yang terdiri dari data penginderaan jauh dan data spasial dari data hasil observasi di daerah pesisir Kabupaten Banyuasin. 4.7. Analisis Arahan Pengembangan Perikanan Kabupaten Banyuasin Pengembangan kebijakan pengelolaan kawasan pesisir Banyuasin dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities and Threats). Analisis ini dilakukan dengan menggunakan data kuantitatif dan deskripsi keadaan. Dari analisis ini dapat dihasilkan strategi pengembangan kawasan pesisir dan laut di Kabupaten Banyuasin untuk kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, adapun tahapan kegiatan yang dilakukan dalam analisis SWOT ini adalah : Pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis, pada tahap ini data dibedakan menjadi dua yaitu, data eksternal dan internal, data eksternal berasal dari lingkungan luar. Berupa peluang (opportunities) dan ancaman (threats), sedagkan data internal berasal dari dalam sistem pengelolaan kawasan pesisir Banyuasin, mencakup ketersediaan sumberdaya alam, kondisi sumberdaya manusia dan arah pengembangan kawasan yang dijalankan yang diterjemahkan menjadi kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses). Dalam tahap tersebut, digunakan dua model matriks yaitu: (i) Matrik faktor strategi eksternal, dan (ii) Matrik faktor strategi internal. Matrik dapat disusun dengan langkah-langkah berikut: - Pada kolom 1 (Faktor-faktor strategi eksternal), disusun peluang-peluang dan ancamanancaman - Pada kolom 2 (bobot), masing-masing deskripsi dari peluang dan ancaman pada kolom pertama diberi bobot, Bobot bernilai 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Jumlah bobot untuk semua faktor peluang dan ancaman sama dengan 0,0. - Pada kolom 3 (rating), setelah diberi nilai bobot selanjutnya masing-masing faktor diberi skala peringkat dimulai dari nilai 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi pemanfaatan lahan untuk suatu kegiatan tertentu. Pemberian nilai peringkat untuk peluang bersifat positif (nilai 4= sangat besar, 3= besar, 2= sedang, dan 1= kecil). Sedangkan peringkat nilai untuk ancaman bersifat negatif (nilai 4= kecil, 3= sedang, 2= besar dan 1= sangat besar).
54
- Pada kolom 4 (skor), berisikan nilai hasil perkalian bobot dan rating. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari masing-masing faktor. - Pada kolom 5 (komentar), diisi catatan mengenai mengapa faktor-faktor tertentu dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung. - Terakhir adalah menjumlah skor pembobotan pada kolom 4. Nilai tersebut menunjukkan bagaimana sistem bereaksi terhadap faktor-faktor strategis eksternalnya. Tabel 4.2. Matrik Analisis Faktor-faktor Stratrgi Eksternal Faktor-faktor Strategi Eksternal 1
Bobot
Rating
Skor
Komentar
2
3
4
5
Peluang (O) : O1 O2 Ancaman (T) : T1 T2 TOTAL Matrik Faktor Strategi Internal disusun sama seperti halnya matrik faktor Eksternal di atas, namun terdapat perbedaan pengertian nilai peringkat pada kolom 3. Kekuatan bersifat positif (nilai 4 = sangat besat, 3 = besar, 2 = sedang, dan 1 = kecil), sedangkan pemberian nilai peringkat untuk kelemahan bersifat negative (nilai 4 = kecil, 3 = sedang, 2 = besar, dan 1= sangat besar). Tabel 4.3 Matrik Analisis Faktor-faktor Strategi Internal Faktor-faktor Strategi Internal 1
Bobot
Rating
Skor
Komentar
2
3
4
5
Kekuatan (S) : S1 S2 Kelemahan (W) : W1 W2 W3 TOTAL
55
Tahap analisis data, pada tahap ini digunakan Model Matrik TOWS, dimana terdapat 4 strategi yang dapat dihasilkan, yaitu strategi SO, WO, ST, dan WT (Tabel 4.4). Setelah diperoleh matriks TOWS, selanjutnya disusun rangking semua strategi yang dihasilkan berdasarkan faktor-faktor penyusun strategi tersebut. Tabel 4.4 Model Matrik TOWS Hasil Analisis SWOT MATRIK TOWS OPPORTUNITIES
THREATS
STRENGTH
WEAKNESSES
SO1
WO1
SO2
WO2
SOn
WOn
ST1
WT1
ST2
WT2
STn
WTn
56