BAB IV HASIL PENELITIAN
Penggunaan senjata api oleh aparat polri saat ini tak lagi sesuai dengan fungsinya dan tak jarang aparat yang memilikinya menggunakan senjata api semena-mena dengan sikap arogan yang memicu ketidaktenangan masyarakat.1
Penyalahgunaan senjata api oleh aparat dapat dibedakan dalam dua hal yaitu penyalahgunaan senjata api dalam tugas dan penyalahgunaan senjata api non tugas.2
Penyalahgunaan senjata api dalam tugas misalnya penembakan terhadap warga sipil karena salah sasaran mengejar penjahat, atau pada saat operasi latihan. Sedangkan penyalahgunaan senjata api non tugas misalnya seperti:
a. Bunuh diri, b. Membunuh atau menembak orang lain, c. Memain-mainkan senjata api dengan cara menembakkan ke udara yang dapat meresahkan masyarakat sekaligus dapat mencelakai masyarakat, d. Menggunakan senjata api untuk menakut-nakuti orang lain dengan maksud untuk dapat melakukan satu aksi kejahatan, e. Menggunakan senjata api untuk kejahatan seperi mencuri atau merampok. 1 2
www.google.penggunaansenjataapi.html Ibid…
Data Catatan Personel Polda Gorontalo Dan Jajaran Periode 2012 NO 1
IDENTITAS PELANGGAR MOHAMAD RIZKI ISLAMI MALIKI BRIPTU/8304113 5 BA SAT LANTAS POLRES GORONTALO POLDA GORONTALO
REFERENSI
URAIAN
Laporan Polisi Nomor : LP/01/I/2012/Y anduan Sie Propam tanggal 28 januari 2012
Anggota Tersebut Pada Saat Menjabat Sebagai Ba Sat Lantas Polres Gorontalo Polda Gorontalodi duga melakuka pelanggaran displin yakni penyalhagunaan senjata api dengan cara secara sengaja membuang tembakan sebanyak 1 kali berua peluru tajam mengarah ke atas tanpa alas an yang jelas Anggota tersebut pada saat menjabat sebagai Ba Dit Intelkam Polda Gorontalo diduga melakukan pelanggaran disiplin yakni telah melakukan penodongan dengan senjata api perhadap masyarakat masing masing a.n Sdr. MULIADI DODA dan Sdr. WARDI DATAU.
2
RANTO TAMMU BRIPTU / 87110696 BA DIT INTELKAM POLDA GORONTALO
Laporan Polisi Nomor : LP/02/2012/Ya nduan tanggal 30 Januari 2012
3
RIDWAN USMAN BRIGADIR / 82030148 BA SAT RESKRIM POLRES LIMBOTO POLDA GORONTALO
Laporan Polini Nomor : LP /15/III/2012/Ya nduan tanggal 18 Maret 2012
Anggota Tersebut Pada Saat Menjabat Ba Sat Reskrim Polres Lipboto Polda Gorontalo Diduga Melakukan Pelanggarandisiplin Yakni Terlibat Kesalahpahaman Dengan Salah Seorang Anggota Kodem 13/04 Gorontalo a.n LETDA INF ROY BUMULO di depan pintu masuk hotel Quality pada sekitar pukul 04.30 wita sehingga menyebabkan perdebatan antara keduanya, insiden tersebut berkahir dengan rusaknya mobil milik LETDA INF ROY BUMULO dikarenakan terkena peluru senjata api yang tidak dikenal pelakunya
4
FADLI I. SULEMAN BRIPDA / 87110521 BA BIDKUM POLDA GORONTALO
Laporan Polisi Nomor : LP/ 27/VI/2012/ Yanduan tanggal 8 Juni 2012
Anggota tersebut pada saat menjabat Ba Bidkum Polda Gorontalo di duga melakukan pelanggaran disiplin yakni telah menyalahgunakan penggunaan senjata api dinas yang dipinjam pakaikan dengan cara menodongkannya kepada Sdr. RISKI NAKI lalu menembakkannya ke udara sebanyak 4 kali dengan alasan tudak dalam rangka tugas melainkan urusan pribadi yang terjadi
Sumber : data di peroleh dari bidang profesi dan pengamanan polda gorontalo
Penyalahgunaan senjata api oleh aparat polri tentunya di pengaruhi oleh faktor-faktor tertentu dan oknum yang melakukan penyalahgunaan senjata api tersebut di kenakan tindakan hukum disiplin dan pidana.
4.1 Faktor-faktor penyebab penyalahgunaan senjata api oleh aparat polri Senjata api diperlukan oleh anggota Polri dalam pelaksanaan tugas khususnya anggota yang mengemban fungsi penegakan hukum dalam rangka upaya paksa. Namun dalam penggunaan senjata api yang dilakukan oleh anggota Polri masih banyak penyalahgunaan yang dilakukan. Penyalahgunaan penggunaan senjata api ini ada yang dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas dan ada yang dilakukan diluar konteks pelaksanaan tugas3. Salah satu kasus tentang penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh anggota yang tercatat dalam catatan pelanggaran personel Polda 3
Barker Thomas and Carter David, 1999, Penyimpangan Polisi (terjemahan Police Deviance), Jakarta, Cipta Manunggal.
Gorontalo dan jajaran periode tahun 2012 adalah Briptu Moh. Rizki islami maliki pada saat menjabat sebagai Ba Sat Lantas Polres Gorontalo diduga melakukan pelanggaran disiplin yakni penyalahgunaan senjata api dengan cara sengaja membuang tembakan sebanyak 1 kali berupa peluru tajam mengarah ke atas tanpa alasan yang jelas, kejadian ini terjadi pada tanggal 28 januari 2012. Memang permasalahan-permasalahan penyalahgunaan senjata api oleh anggota Polri masih banyak terjadinya. Penggunaan senjata api seperti halnya makan buah simalakama bagi anggota Polri. Dimakan ayah meninggal, tidak dimakan ibu meninggal. Seperti halnya senjata api oleh anggota Polri, digunakan salah, tidak digunakan juga salah. Digunakan diperiksa provost, tidak digunakan juga diperiksa provost. Senjata api dibagikan kepada anggota banyak menimbulkan masalah seperti beberapa contoh kasus diatas, tidak dibagikan kepada anggota juga salah karena anggota banyak yang meninggal sia-sia seperti yang terjadi pada saat pengamanan unjuk rasa di Universitas Cendrawasih Jayapura dan menjadi korban kejahatan dilapangan. Selain itu anggota Polri juga sesuai fungsi, peran dan tugasnya tidak dapat membela dan melindungi masyarakat dari kejahatan yang mengancam4. Penyalahgunaan senjata api oleh anggota Polri ada yang disebabkan oleh faktor internal pribadi dari anggota itu sendiri maupun disebabkan dari faktor ekternal anggota tersebut5.
4
http://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/10/09/buah-simalakama-senjata-api-bagi-anggotapolri/ 5 Rahardjo Sadjipto, 1993, Polisi Pelaku dan Pemikir, Jakarta, PT Gramedia
4.1.1
Faktor Internal Dari faktor internal pribadi sangat ditentukan oleh faktor Psykologi, faktor
Emosional dan kurang profesionalnya anggota polri6. a. Faktor psykologi Pengamat hukum dari Unair Surabaya I Wawan Titip Sulaksana SH, menyatakan selain tes psikologi untuk mengetahui kadar emosi polisi yang memegang pistol, otoritas kepolisian juga perlu melakukan tes fisik atas anggotanya yang memegang pistol dan membawa ke rumah. Polisi yang memegang pistol harus sehat secara psikis dan bugar secara fisik. Langkah berkelanjutan perlu dilakukan terkait penggunaan senjata oleh anggota polisi. Caranya dengan melakukan tes psikologi dan fisik secara kontinyu setiap enam bulan sekali7.
Pengaruh senjata api terhadap prilaku dan psikologis bagi pemegang senjata api sangat dapat dirasakan oleh aparat polri pada awal masa dinas saat pertama kali memegang senjata api, kepercayaan diri meningkat bahkan sampai pada tahap over convidence. Dari perasaan over convidence ini timbul sikap-sikap arogansi, dimana di saat-saat yang tidak tepat dan tidak mengharuskan penggunaan senjata api, senjata digunakan untuk menunjukan kekuatan dan kekuasaan serta kewenangan. Dalam istilah premannya, polisi yang baru pertama kali memegang senjata api ini di sebut preman senggol bacok, dimana kalau ada yang menyenggol 6 7
Ibid .., Ibid..,
langsung dibacok. Hal ini secara alami terjadi karena kurangnya pengalaman maupun pengetahuan yang dimiliki karena memang selama pendidikan hanya diajarkan cara menembak tepat dan benar, tanpa diajarkan secara mendalam kapan dan situasi apa senjata boleh digunakan. Tentu ini dirasakan oleh sebagian besar anggota Polri pada awal memegang senjata api8.
b. Faktor Emosional Sebagai yang tersurat pada hukum Negara, polisi kita mempunyai tugas pokok membimbing, mengayomi, melayani, dan menegakkan hukum di masyarakat. Sebagai pembimbing, pengayom, dan pelyan tak ubahnya polisi bagaikan seorang guru atau ulama. Ia harus memiliki kesabaran, kebijakan dan kearifan yang prima. Sedang sebagai penegak hukum Polisi di tuntut tegas, konsisten dalam tindakan, dan etis dalam obyeknya adalah
sikap. Itulah jati diri Polisi, karena
masyarakat, bangsa yang dihadapi, heterogen dan
kompleks. Kearifan Polisi harus lebih dari sekedar kearifan seorang guru disekolah. Kearifan seseorang berkolerasi sangat erat dengan kemampuannya mengendalikan emosinya. Semakin tinggi kearifan seseorang akan semakin tinggi
pula kemampuannya dalam mengendalikan emosi
(stabilitas emosional). Polisi yang setiap hari dihadapkan pada tugas yang
8
Ibid ..,
tak menentu dan berhadapan langsung dengan masyarakat, sangat mutlak memiliki kestabilan emosi yang baik9. Menjadi Polisi perlu memiliki berbagai persyaratan dan kriteria. Kriteria
Polisi yang baik sekurang-kurangnya ada tiga antara lain,
memiliki kepribadian yang konsisten, tidak emosional, an berpendidikan yang memadai. Kalau tiga kriteria tersebut tak terpenuhi dengan baik, maka Polisi akan mudah terjebak pada hal-hal yang kurang simpatik. Menurut pemikiran Socrates yang juga dikembangkan Jhon L. Sulivan menyimpulkan bahwa untuk memperoleh Polisi yang baik harus dilakukan lima hal yaitu: a.
Dilakukan seleksi yang baik agar masukan (input) polisi adalah orangorang yang benar benar terpilih.
b.
Dilakukan pendidikan yang baik agar di peroleh polisi-polisi yang pintar dan berbudi luhur.
c.
Dilatih dalam keseharian yang baik agar diperoleh polisi yang terampil cekatan dan berpenampilan baik
d.
Diperlengkapi secara baik agar dapat bertindak cepat, tepat, tangguh , adil dan benar.
e.
Digaji yang memadai agar di peroleh polisi yang sejahtera dan tidak mudah berbuat nyeleweng atau mempunyai sifat keberpihakan yang dapat mengusik rasa keadilan dimasyarakat.
9
Kunanto.etika kepolisian.cipta manunggal.jakarta1997.hal : 55
Untuk menciptakan Polisi yang memiliki stablitas emosinal yang baik memang harus dipersiapkan dengan matang. Ini tentunya diawali dari penyaringan masuk menjadi calon Polisi (well motivated). Kemudian juga selama dididik dalam lembaga pendidikan dan juga faktor sosial yuridis ikut mempengaruhi emosional Polisi. Melihat perjalanan perkembangan emosional Polisi selama ini paling tidak dihadapkan pada tiga dilema yang perlu diperhatikan yakni pertama dilembaga pembentukan personil Polri, masih sering terdengar hukuman main tempeleng dan main tendang terhadap para siswa atau taruna Polri yang melakukan pelanggaran disiplin. Ini akan ikut mempengaruhi pembentukan watak kelak, setelah terjun dialapangan tugasnya. Kedua, dilema sosial masyarakat yang masih sering belum tampak sadar akan hukum. Masih sering terdengar banyak pelanggar hukum yang melawan petugas secara fisik maupun umpatan kata-kata kotor terhadap Polisi. Ini juga akan mempengaruhi stablitas emosional petugas. Ketiga, pihak pengadilan sendiri masih sering menjatuhkan hukuman ringan terhadap masyarakat yang menghina Polisi10. Berdasarkan kenyataan di lapangan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh Polisi dalam hal ini penyalahgunaaan senjata api faktor yang paling dominan adalah di picu oleh faktor emosi yang tidak stabil
10
Ibid..,
dari aparat Polisi itu sendiri sehingga sangat rentan terjadinya pelanggaran yaitu dalam hal penyalahgunaan senjata api11.
c. Faktor Kurang Profesional Secara institusional, profesional kepolisian dapat dilihat dan sangat ditentukan dari beberapa indikator seperti: nilai dasar, sumber daya manusia, training, manajemen, konsep operasi, struktur, akuntablitas, dan tarnsparansi di tubuh institusi kepolisian. Untuk mencapai Polisi yang profesional dan yang efektif di perlukan Polisi yang dilandasi dengan ilmu pengetahuan sehingga dapat menyesuaikan dengan corak masyarakat dan kebudayaan serta lingkungan yang dihadapinya. Pemolisian (Policing) adalah cara pelaksanaan tugas polisi yang mengacu pada hubungan antara polisi dengan pemerintahan maupun dengan masyarakat yang didorong adanya kewenangan, kebutuhan serta kepentingan baik dari pihak kepoilisian, masyarakat maupun dari berbagai organisasi lainnya . Dalam rangka mencapai dan meningkatkan profesionalisme Polri diperlukan dasar atau landasan ilmu pengetahuan, salah satunya adalah ilmu kepolisian dalam rangka menghadapi tantangan dan upaya penyelesaianya. Dan untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat dalam menciptakan dan menjaga kamtibmas dan tentunya Polri dapat bertindak sebagai polisi yang netral, jujur, terbuka bersih dan
11
Ibid..,
berwibawa yang dicintai dan dihormati,dipercaya serta dibanggakan oleh masyarakatnya. Dalam mengimplementasikan pemolisian ko muniti (community policing) melalui Polmas dapat dibangun antara lain dengan membangun kebudayaan organisasi Polri dalam birokrasi yang rasional. Yang berbasis kinerja dan kompetensi yang fair antara lain dengan : a.
Mengidentifikasi faktor-faktor
yang menyebabkan Polri tidak
dipercaya oleh masyarakatnya; b.
Membangun aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana serta strategi-strategi yang diformalisasikan serta dibuat standarisai yang jelas sehingga dapat mendukung sistem operasional yang efektif dan dapat
dijadikan
pedoman
bagi
anggota
kepolisian
dalam
melaksanakan tugasnya serta dapat menghambat atau memperkecil peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Dan adanya etika kerja; c.
Berorientasi pelayanan pada Customer. Dengan membangun forum kemitraan polisi masyarakat sebagai wadah bagi polisi dan masyarakat untuk menjalin dan membangun kemitraan;
d.
Mengimplementasikan pemolisian komuniti (community policing) melalui Polmas dengan konsisten, konsekuen dan berkesinambungan;
e.
Menambah materi muatan Lokal yang diajarkan padaSPN (sekolah Polisi Negara)
f.
Mengacu prinsip-prinsip demokrasi (supremasi hukum, memberikan jaminan
dan
perlindungan
Hak
Azasi
Manusia,
transparan,
akuntabilitas kepada publik, berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat). Dan adanya lembaga yang netral dan mandiri dan sekaligus penasehat dan pendukung Polri dalam menciptakan dan menjaga kamtibmas (komisi kepolisian).
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa faktor internal yang menyebabkan penyalahgunaan oleh aparat polri adalah faktor kepribadian anggota polri itu sendiri, oleh karena itu dalam pemenuhan prasyarat kepemilikan senjata api yang harus di penuhi oleh anggota harus benarbenar sesuai dengan standard utamanya dalam tes psikologi dan emosional anggota.
4.1.2
Faktor Eksternal faktor eksternal anggota biasanya disebabkan oleh faktor kurangnya
pengawasan terhadap aparat pemegang senjata api, disiplin yang tidak tegas, serta situasi dan kondisi yang dihadapi oleh anggota12.
a. Kurangnya Pengawasan Terhadap Aparat Pemegang Senjata Api Selain adanya pelatihan yang kurang memadai , bahwa kesenjangan antara
upaya
Polri
untuk
menghilangkan
tindakan
kekerasan
dan
penyalahgunaan senjata api di lingkungan operasional institusi Polri, juga didorong
12
Ibid ..,
sebagai akibat pengalaman empiric bahwa kekerasan dan
penyiksaan dalam operasi Kepolisian , apakah dalam menghadapi massa, ataukah pengerebekan dan penangkapan tersangka diduga berbahaya, juga ditentukan oleh pengendalian lapangan, Penggelaran pasukan ( personel deployment) dalam waktu lama akan menimbulkan kejenuhan dan mungkin juga tekanan psikologi ( stress) yang mudah memancing emosi petugas untuk melakukan penganiayaan dan meyalah gunakan senpi.13 Pasal 14 ayat (1 dan 2 ) tentang pengawasan dan pengendalian penggunaan senajata api seperti yang diatur dalam Perkap. 01 Tahun 2009. setiap pimpinan sebelum menugaskan anggota yang diperkirakan akan menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian wajib memberikan arahan kepada anggota yang ditugaskan mengenai penggunaan kekuatan. setiap anggota yang menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian wajib memperhatikan arahan pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menjadikannya sebagai pertimbangan dalam menerapkan diskresi kepolisian. Sanksi yang diterapkan kepada anggota Polri pelaku penyalahgunaan senjata Polri tergantung dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Unit P3D. Apabila perbuatan tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin, maka sanksinya adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003. Selanjutnya apabila tindakan tersebut dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Unit P3D dinyatakan sebagai pelanggaran disiplin dan tindak pidana, maka selain diberikan sanksi disiplin juga
13
Chairuddin ismail, Drs,SH.,MH.,DR., Polisi Sipil Dan Paradigma Baru Polri ( Kumpulan Naskah Bahan Ceramah ), PT Merlyn Lestari, Jakarta , 2009. Hal 155
dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam KUHP. Penjatuhan sanksi disiplin14
b. Disiplin Atau Kebikajan Yang Tidak Tegas Kebijakan reaktif pasca insiden penyalahgunaan senpi
tidak
menimbulkan penjeraan kepada rekan sejawat lainnya, selain ketiadaan akuntabilitas penghukuman yang memadai , kebijakan reaktif yang dilakukan harus menunggu jatuhnya korban serta setelah citra Polri luntur. Kebijakan proaktif mencegah penyimpangan belum menjadi agenda utama Polri untuk meningkatkan dan memelihara kredibilitas penegak hukum yang ada di masyarakat , dilihat dari belum adanya kebijakan yang khusus mengatur tentang penggunaan NLW sebagai alat kelengkapan tugas sehari hari yang harus digunakan setiap anggota Polri ketika turun kejalanan. Manakala Polri tidak segera membangun kembali komitmen perubahan kultural dengan melakukan akselerasi reformasi menuju terwujudnya kultur polisi sipil yang antara lain bercirikan: protagonis, berorientasi pada kepentingan masyarakat, bukan antagonis yang menjadi alat kekuasaan; humanis, melalui internalisasi nilai-nilai HAM terhadap seluruh anggota Polri, utamanya dalam memperhatikan hak-hak saksi, korban dan tersangka, baik hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, maupun hak budaya; demokratis, memperhatikan aspirasi rakyat dan dekat dengan warga masyarakat; transparansi, membuka akses ke publik dan tidak menutup fakta; 14
Sentra HAM UI, Kemitraan partnership dan Korps Brimob Polri, Modul Pelatihan HAM bagi ANggota Brimon Polri, Jakarta , 2009.halaman 58.
akuntabel, mampu mempertanggungjawabkan semua tugas dan tindakannya, baik kepada pemerintah, DPR, maupun kepada public, maka sampai kapanpun Citra Polri akan selalu negative, Polisi bertindak dianggap melanggar HAM, Polisi diam dianggap membiarkan kejahatan, termasuk bila Polisi menjadi korban kejahatan akan dianggap cedera janji profesionalitas; bila membela diri sendiri tidak mampu , bagaimana mau membela masyarakat.15
c. Situasi Dan Kondisi Yang Dihadapi Aparat Polri Situasi dan kondisi yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan senjata api oleh aparat polri adalah ketika Polisi menghadapi perlawanan tidak seimbang dari seseorang atau sekelompok orang saat berada di lapangan, kondisi ini diperparah dengan provokasi massa dengan tindakan ataupun ucapan yang bersifat menyerang pribadi petugas, maupun tindakan melecehkan petugas , dengan mempertontonkan
dan menyandera petugas
yang berhasil ditangkap kelompok massa Situasi lain yang juga sering menjadi pemicu adanya tindak kekerasan secara berlebihan dan penyalahgunaan senpi ketika terjadi konflik bernuansa SARA maupun separatis, akibat tekanan psikologis , keterbatasan fasilitas dan dukungan dalam operasional, jatuhnya korban jiwa dikalangan petugas sendiri sebagai akibat serangan kelompok yang bertikai turut mendorong adanya bentuk kekerasan dan penyalahgunaan senpi.
15
Chairuddin Ismail, Polisi Sipil dan Paradigma Baru Polri, Merlyn Press, Jakarta, 2011, hal.155.
Kedua kondisi diatas perlu mendapat perhatian, dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan senpi sebagai bentuk tindak kekerasan, penyiksaan yang bertentangan dengan penghormatan terhadap HAM dan Konvensi anti penyiksaan , dapatlah Polri menyusun rencana strategis secara proaktif melakukan tindakan pencegahan dengan: membatasi
masa tugas dan
frekuensi penugasan personil didaerah rawan dan Konflik bersenjata, memberikan piranti lunak dan keras terkait upaya penegakkan hukum , pemeliharaan kemanan dan ketertiban , serta pelindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat secara memadai baik kuantitas dan kualitas , peralatan perlindungan lengkap dan sesuai kebutuhan tugas diikuti pelatihan dan pembekalan piranti lunak terkait upaya mencegah penyalahgunaan senpi dan tindak kekerasan berlebihan.16
Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa faktor eksternal yang mempengaruhi penyalahgunaan senjata api adalah pengawasan yang kurang terhadap anggota pemegang senjata api dan kurang kurang tegasnya disiplin yang di berlakukan terhadap anggota pelaku penyalahgunaan senjata api sehingga tidak menimbulkan efek kehati-hatian anggota dalam penggunaan senjata api.
16
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/05/19/1750485/Ketiga.Polisi.Itu.Nyaris.Disandera, http://nasional.vivanews.com/news/read/183584-demonstran-ditahan–mahasiswa-sandera-polisi
4.2 Penindakan Oleh Aparat Polisi Terhadap Penyalahgunaan Senjata Api Polisi sebagai aparat yang utamanya bertanggung jawab di bidang keamanan dan ketertiban dalam
pelaksanaan tugasnya
dihadapkan pada situasi dan kondisi
akan selalu
yang berubah-ubah sejalan dengan
dinamika masyarakat itu sendiri17. Sebagai aparat negara pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, maka Polisi harus selalu bisa memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Berbagai macam program dan petunjuk teknis ( Juknis ) pun telah dikeluarkan oleh polri dengan tujuan untuk membentuk sosok polri yang humanis, berwibawa dan profesional18. Untuk itu dalam penanganan unjuk rasa, POLRI sudah menggunakan istilah baru, bukan lagi dinamakan penanganan unjuk rasa tetapi menjadi “pelayanan unjuk rasa”19. Pertanggungjawaban anggota Polri yang melakukan pelanggaran prosedur dalam penggunaan senjata api terbagi menjadi dua yaitu pertanggungjawaban secara administrative dan pertanggungjawaban secara pidana bagi anggota Polri berlaku apabila di dalam penggunaan senjata api oleh anggota Polri menimbulkan korban20.
17 18 19 20
www.kramatmulya.wordpress.com//pertanggungjawabanpolri Ibid.., Ibid.., Ibid..,
4.2.1 Pertanggungjawaban Secara Administratif oleh Anggota Polri Pertanggungjawaban
secara
administratif
bagi
anggota
Polri
diberlakukan apabila anggota Polri melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan ataupun peraturan-peraturan internal kepolisian seperti pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri dan pelanggaran terhadap Peraturan Disiplin Polri yang penyelesaiannya pun melalui sidang internal kepolisian21. Terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana tidak diberlakukan lagi hukum dalam
pengadilan
Tindakan yang
tidak
militer, tetapi hukum
sipil yang
diadili
sipil.
aparat kepolisian
yang menggunakan
senjata api
sesuai dengan prosedur harus dilihat apakah memang itu
dilakukan atas perintah atasan atau atas inisiatif dari aparat polisi sendiri, akan tetapi jikapun itu dilakukan atas inisiatif dari aparat polisi itu sendiri harus dimitai juga pertanggungjawaban dari atasannya22. Seperti
hal
yang
dikatakan
sebelumnya
bahwa
tindakan
anggota kepolisian yang melakukan kekerasan dan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh aparat hukum berupa pemakaian senjata merusak
21
22
23
integritas keseluruhan
api aparat
yang tidak sesuai penegak
penegak prosedur,
hukum 23.
Sakidjo, Aruan S.H M.H dan Dr. Bambang Poernomo, S.H. 1988. Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodofikasi.Ghalia Indonesia : Jakarta Timur.hal :107 Ibid.., Suparmin, 2012, Model Polisi Pendamai, Badan penerbit diponegoro, Semarang.hal : 124
Jika ada pihak yang dirugikan atau keberatan karena penggunaan senjata api, petugas polisi yang bersangkutan wajib membuat penjelasan secara terperinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan dan akibat tindakan yang telah dilakukan (Pasal 49 ayat [2] huruf a Perkapolri 8/2009). Selain itu, setelah menggunakan senjata api, polisi harus membuat laporan terperinci mengenai evaluasi pemakaian senjata api. Laporan tersebut berisi antara lain (Pasal 14 ayat [2] Perkapolri 1/2009): a. Tanggal dan tempat kejadian; b. Uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga memerlukan tindakan kepolisian; c. Alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan; d. Rincian kekuatan yang digunakan; e. Evaluasi hasil penggunaan kekuatan; f. Akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut. Laporan inilah yang akan digunakan untuk bahan pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan, serta sebagai bahan pembelaan hukum dalam hal terjadi gugatan pidana/perdata terkait penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bersangkutan (Pasal 14 ayat [5] huruf e dan f Perkapolri 1/2009). Pada prinsipnya, setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan (senjata api) dalam tindakan
kepolisian yang dilakukannya (Pasal 13 ayat [1] Perkapolri 1/2009). Oleh karena pertanggungjawaban secara individu terhadap penggunaan senjata api oleh polisi, maka penggunaan senjata api yang telah merugikan pihak lain karena tidak mengikuti prosedur dapat dituntut pertanggungjawabannnya secara perdata maupun secara pidana. Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia. Dalam Pasal 7, 8 dan 9 PP No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia adalah sebagai berikut : Pasal 7 : Anggota Kepolisian Republik Indonesia
yang ternyata
melakukan pelanggran disiplin anggota kepolisian Republik Indonesia
dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan atau
hukuman disiplin. Pasal 8 : (1) Tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/atau teguran fisik (2) Tindakan disiplin
dalam ayat (1)
tidak mengahapus
kewenangan Ankum untuk menjatuhi Hukuman Disiplin. Pasal 9 :
Hukuman disiplin berupa : a. Teguran tertulis b. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun c. Penundaan kenaikan gaji berkala d. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun e. Mutasi yang bersifat demosi f. Pembebasan dari jabatan g. Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 Hari
Bagi anggota Polri yang tidak terlibat kasus tindak pidana selain diadili dalam penerapan
lingkungan
sanksi
peradilan
2003
Republik
Indonesia.
tentu saja ada
yaitu pemberhentian dari dinas kesatuan Polri.
Mengenai Pemberhentian Dari Kesatuan dinas Tahun
umum,
tentang
diatur dalam
PP No.
pemberhentian Anggota Kepolisian
Dalam
PP
No. 1 Tahun
2003
bab
1
Negara III diatur
mengenai pemberhentian tindak pidana dengan hormat pada Pasal 11 dan 12 ayat (1) sub a dan ayat (2) sebagai berikut : Pasal 11: Anggota
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
yang
diberhentikan tidak dengan hormat apabila; a. Melakukan tindak pidana b. Melakukan pelanggaran c. Meninggalkan tugas atau hal lain
Pasal 12: ayat
1
(satu)
anggota
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia diberhentikan dengan tidak hormat dari Dinas Kepolisian Republik Indonesia apabila: Sub
a. dipidana
penjara berdasarkan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap
putusan
pengadilan
dan
menurut
pertimbangan pejabat
yang
dipertahankan
tetap berada dalam Dinas Anggota
untuk
Kepolisian Republik Indonesia
berwewenang
tidak
dapat
Ayat 2 (dua) pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
setelah
melalui sidang
Komisi
Kode
Etik
Profesi Kepolisian Republik Indonesia.
Mengenai sidang Komisi
Kode Etik Profesi Kepolisian Republik
Indonesia tersebut diatur dalam Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2003 pada Pasal 15 sebagai berikut : anggota Polri yang diputus pidana penjara minimal 3 (tiga) bulan
yang
berkekuatan
hukum
tetap,
dapat
direkomendasikan oleh Anggota Sidang Komisi Kode Etik Polri tidak layak untuk dipertahankan sebagai anggota Polri.
4.2.2 Pertanggungjawaban pidana Oleh Anggota Polisi Pertanggungjawaban pelaku penyalahgunaan senjata api, baik sebagai pemilik senjata api ataupun sebagai orang yang tidak memiliki senjata api itu tetapi menyalahgunakannya akan dipertanggungjawabkan sesuai dengan bagaimana orang tersebut berkaitan dengan suatu tindak pidana yang terjadi. maka harus dilihat lagi bagaimana seseorang bisa menyalahgunakan senjata api tersebut. Dalam Pasal 56 KUHP :
Dihukum sebagai pembantu-pembantu didalam suatu kejahatan, yaitu :
1. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebut.
2. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, saranasarana atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Pembuat delik dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya jika memiliki unsur kesalahan. Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicelanya karena, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan demikian.
Indonesia memiliki 2 (dua) buah Undang-undang yang walaupun sudah berusia “lanjut” namun tetap berlaku secara efektif, salah satunya yaitu Undang-undang Nomor 12/Drt Tahun 1951 tentang Senjata Api (Undangundang senjata Api).
Undang-undang ini merupakan satu-satunya Undang-undang yang masih efektif diberlakukan terhadap pelaku penyalahgunaan Senjata Api. Dalam Undang-undang tersebut, secara tegas diatur unsur-unsur dari tindak pidana penyalahgunaan Senjata Api di Indonesia, sebagaimana Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Senjata Api yang menyatakan : “Barang siapa tanpa hak memasukkan ke Indonesia atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya 20 tahun”.
Sesuai
ketentuan
tersebut
di
atas,
pelaku
tindak
pidana
penyalahgunaan Senjata Api dapat dipastikan akan dihadapkan dengan ancaman sanksi/hukuman secara berjenjang sebagai berikut :
a. Hukuman Mati ; atau b. Hukuman penjara seumur hidup ; atau Hukuman penjara maksimal 20 (dua puluh) tahun. Jika dilihat dari ancaman sanksi “minimal” dalam Pasal 1 ayat 1 tersebut di atas yaitu penjara maksimal 20 tahun, diharapkan agar tidak aka ada penyalahgunaan senjata api oleh masyrakat sipil maupun oleh aparat polri.
Berdasarkan hal yang terurai diatas bahwa aparat polri yang melakukan penyalahgunaan senjata api dan merugikan pihak lain karena tidak mengikuti prosedur harus mempertanggung jawabkan perbuatannya secara individu dan dapat dituntut secara perdata maupun secara pidana berdasarkan hasil sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Indonesia yang pemutusan pertanggungjwabannya dengan berdasar pada pertimbangan atas akibat yang ditimbulkan adanya penyalahgunaan senjata api oleh aparat polri tersebut.