BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga yang berletak di jalan Hasanuddin No.806, Kelurahan Ngawen, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Rumah sakit ini pertama kali didirikan pada awal tahun 1934 dengan nama RSTP
Ngawen
Salatiga
yang
berfungsi
sebagai
tempat
petirahan/sanatorium yaitu sebagai fasilitas medis untuk penyakit jangka panjang, terutama tuberkulosis, bagi penderita kesehatan paru yang pada masa itu lebih banyak didominasi oleh warga keturunan Belanda. Pendirian Sanatorium tersebut dilatar belakangi dengan kondisi udara yang sejuk karena secara geografis daerah Ngawen Salatiga memiliki ketinggian kurang lebih 800 meter dari permukaan air laut dengan suhu udara berkisar antara 18 – 29 C. Fungsi sanatorium ini terus berlanjut hingga diberi sebutan sebagai Rumah Sakit ParuParu. Pada tahun 1978 dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 137/MenKes/SK/IV/1978 ditetapkan Struktur Organisasi yang lebih jelas tugas pokok dan fungsinya yaitu sebagai rumah sakit
50
51 khusus
yang
menyelenggarakan
pelayanan
terhadap
penderita
penyakit TB paru, dengan sebutan RSTP. Selanjutnya pada tanggal 26 September 2002, dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI, nomor 1208/Menkes/SK/IX/2002, RSTP “Ngawen” Salatiga berubah nama menjadi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga, dan merupakan satu-satunya rumah sakit paru di Provinsi Jawa Tengah (www.rspaw.or.id). Menurut data dari Dinas Kesehatan Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah 2012, sampai sekarang ini RSPAW masih merupakan satu-satunya rumah sakit paru di Provinsi Jawa Tengah (Dinkes Jateng, 2012). Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan memiliki fasilitas pelayanan yaitu Instalasi Gawat Darurat dan Instalasi Rawat Jalan, yang terdiri dari Ruangan Eksekutif dan Poliklinik. Rumah Paru dr. Ario Wirawan mempunyai ruang rawat inap berjumlah 8 ruang dan didukung dengan instalasi
antara
lain
terdiri
dari,
Instalasi
Radiologi,
Instalasi
Laboratorium, Rehabilitas medis, Instalasi Gizi dan Instalasi Farmasi. Rumah sakit ini memiliki pelayanan unggulan dalam pemeriksaan spirometri, bronkoskopi, Ct Scan, dan Ct Guide, analisa gas darah dan petanda tumor.
52 Dari 8 ruangan Intalasi Rawat Inap, peneliti melakukan penelitian di 2 ruangan yaitu ruangan Dahlia bawah dan ICU. Ruangan Dahlia bawah merupakan tempat perawatan bagi pasien kelas III yaitu pasien
yang
menggunakan
Jamkesmas
(jaminan
kesehatan
masyarakat) dan yang tidak menggunakan jaminan kesehatan ini. Ruangan Dahlia bawah memiliki 19 perawat dengan memiliki kapasitas 38 tempat tidur dan di Ruangan ICU memiliki 13 perawat dengan kapasitas 5 tempat tidur.
Gambar 4.1: Peta lokasi RSP dr. Ario Wirawan salatiga (www.rspaw.or.id).
53 4.2
Karakteristik Responden Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan masa kerja selengkapnya disajikan dalam tabel 4.1. Tabel 4.1 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan masa kerja (n:32)
Karakteristik
Jumlah (n:32)
Presentase (%)
Jenis Kelamin : Pria Wanita
14 18
43,8 56,2
Usia : 20-30 tahun 31-40 tahun
12 20
37,5 62,5
Tingkat Pendidikan : D3 S1
31 1
96,9 3,1
Masa Kerja <5 tahun >5 tahun
14 18
43,8 56,2
Responden
Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini mayoritas wanita yaitu 56,25% dibandingkan dengan jumlah responden pria yaitu 43,75%. Mayoritas usia responden yaitu 31-40 tahun sebanyak 62,5%. Tingkat pendidikan responden hampir seluruhnya D3 dengan 96,875% disusul S1 hanya 3,125%. Mayoritas masa kerja lebih banyak rata-rata antara <5 tahun yaitu 43,75%, menyusul masa kerja >5 tahun yaitu 56,25%.
54 4.3
Gambaran Kepatuhan Perawat terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga Berikut ini adalah distribusi gambaran kepatuhan perawat terhadap penggunaan alat pelindung diri yang meliputi
penggunaan
masker,
handschoen,
pelindung
tubuh/baju dalam menangani pasien penderita TB Paru. Peneliti memisahkan gambaran kepatuhan perawat terhadap penggunaan APD di Ruang ICU dan Ruang Dahlia. Hasil penelitian selengkapnya disajikan dalam tabel 4.2 dan tabel 4.3. Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden terhadap Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di Ruang ICU Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga
No
Kepatuhan Penggunaan
Frekuensi
Presentasi
APD 1
Patuh
13
100
2
Kurang Patuh
0
0
3
Tidak Patuh
0
0
Jumlah
13
100%
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa seluruh responden di ruang ICU patuh dalam penggunaan alat pelindung diri dengan kategori 100.
55 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden terhadap Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di Ruang Dahlia Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga No
Kepatuhan Penggunaan APD
Frekuensi
Presentasi
1
Patuh
16
84,2
2
Kurang Patuh
3
15,8
3
Tidak Patuh
0
0
Jumlah
19
100%
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa responden di ruang Dahlia sebagian besar patuh terhadap penggunaan alat pelindung diri dengan kategori baik 84,2%, disusul responden kurang patuh 15,8%. 4.3 Pembahasan 4.3.1 Karakteristik Responden 4.3.1.1 Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Ruang ICU dan Dahlia Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga pada bulan Juni 2012, dari 32 responden perawat jumlah perawat perempuan sebanyak 18 orang (56,25%) sedangkan untuk jumlah perawat laki-laki sebanyak 14 orang (40,625%). Penelitian ini sesuai dengan pendapat Muchlas (2004) yang menyatakan bahwa proporsi perempuan dalam personel keperawatan jauh lebih besar dibandingkan dengan laki-laki.
56 Hal ini sesuai dengan rumah sakit lain pada umumnya, dimana sebagian besar perawat pelaksananya didominasi oleh kaum perempuan. Dilain pihak terdapat pertimbangan lain bahwa perempuan dalam melaksanakan pekerjaannya lebih disiplin dalam mematuhi wewenang daripada
laki-laki,
sehingga
akan
tercapai
pelayanan
keperawatan secara optimal (Stephen P. Robbin, 2001:48). Ariyani, 2008 mengatakan bahwa tidak ada batas ideal perbandingan antara perawat laki-laki dan perempuan. Namun
dalam
manajemen
keperawatan
mengenai
pengaturan jadwal dinas, dianjurkan dalam satu shift ada perawat
laki-laki
dan
perempuan,
melakukan tindakan yang bersifat
sehingga
apabila
privacy bisa dilakukan
oleh perawat yang sama jenis kelaminnya misalnya personal higiyene, eliminasi, perekaman EKG, pemasangan asesoris bed side monitor dan lain-lain. Dalam tindakan keperawatan selain memberikan asuhan keperawatan kepada klien, tenaga laki-laki lebih cenderung dibutuhkan untuk membantu memindahkan beban yang berat seperti pasien obesitas, peralatan tabung O2 serta
tindakan
lain
yang
sulit
untuk
dilakukan
oleh
perempuan, dimana akan mengganggu kelancaran proses keperawatan ketika perawat sedang bertugas.
57 4.3.1.2 Usia Rata-rata umur responden di atas 30 tahun, dengan umur termuda 22 tahun. Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa
umur
responden
berdasarkan
kelompok
umur
sebesar 37,5% untuk umur 20 tahun sampai 30 tahun dan sebesar 62,5% untuk umur diatas 30 tahun. Secara fisiologis pertumbuhan dan perkembangan seseorang dapat digambarkan dengan pertambahan umur. Dengan peningkatan umur diharapkan terjadi pertumbuhan kemampuan motorik sesuai dengan tumbuh kembangnya, yang identik dengan idealisme tinggi, semangat tinggi dan tenaga yang prima. Umur responden dalam penelitian ini antara 22 tahun hingga 40 tahun. Umur sampai 40 merupakan umur yang masih
sangat
produktif
yang
dalam
menjalankan
pekerjaannya masih bersifat ideal ditunjang dengan fisik yang masih kuat dan prima sehingga dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Pada umur 40 sampai 45 tahun, secara fisik sudah mengalami kemunduran (Monks, 2000). Faktor usia juga merupakan variabel individu, secara prinsip
bahwa
seseorang
bertambah
usianya
akan
bertambah kedewasaannya dan semakin banyak menyerap informasi yang akan mempengaruhi perilakunya. Hal ini
58 sesuai dengan keadaan di ruangan dimana perawat yang paling dominan di ruangan adalah perawat yang umurnya di atas 30 tahun dan dari hasil penelitian didapatkan bahwa hampir seluruhnya dari jumlah perawat patuh terhadap penggunaan alat pelindung diri (Baihaqi, 2009). Menurut Georgios Efstathiou, 2011 umur dapat menjadi penentu terhadap kepatuhan penggunaan alat pelindung diri. Semakin tinggi umur perawat maka akan lebih mengikuti kepatuhan penggunaan alat pelindung diri. Umur menjadi penentu pengalaman praktek seorang perawat. Perawat yang sudah berpengalaman selama bertahun-tahun akan
membuat
mereka
lebih
melakukan
tindakan
pencegahan seperti halnya penggunaan alat pelindung diri.
4.3.1.3 Tingkat Pendidikan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 32 orang perawat Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga, tingkat pendidikan perawat pelaksana hampir seluruhnya lulusan Akademi Keperawatan yang berjumlah 31 orang perawat (96,875%). Hal ini membuktikan bahwa perawat pelaksana di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga rata-rata sudah memiliki tingkat pendidikan yang cukup untuk kapasitas pekerjaannya.
59 Kriteria pendidikan
perawat tinggi
profesional
keperawatan
adalah minimal
lulusan Akademi
Keperawatan, mentaati kode etik, mampu berkomunikasi dengan pasien dan keluarga, serta mampu memanfaatkan sarana kesehatan yang tersedia secara berdaya guna dan berhasil guna,mampu berperan sebagai agen pembaharu dan mengembangkan ilmu serta teknologi keperawatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan lebih rasional dan kreatif serta terbuka dalam menerima adanya bermacam usaha pembaharuan dan dapat menyesuaikan diri terhadap pembaharuan (Baihaqi, 2009). Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Dengan bekal pendidikan yang tinggi seseorang akan lebih banyak menyerap informasi dan luasnya pengetahuan yang telah diperoleh dan tanggap dengan permasalahan yang dihadapi sehingga mereka akan dengan cepat menerima perubahan dan informasi serta melakukan tindakan nyata dalam memproteksi diri dari bahaya akibat dari pekerjaannya dengan
berperilaku
aman
dalam
bekerja
dengan
menggunakan alat pelindung diri (APD) (Baihaqi, 2009). Jenjang
pendidikan
yang
tinggi
menyebabkan
perawat memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap
60 tugas. Perawat yang mempunyai jenjang pendidikan yang lebih tinggi yang diikuti pengalaman yang lebih banyak serta mendapatkan informasi tentang teori-teori baru mengenai pencegahan infeksi nosokomial diharapkan semakin mampu melakukan upaya pencegahan infeksi nosokomial. Pada penelitian ini tidak bisa menunjukkan efek pendidikan terhadap praktik pencegahan infeksi karena responden mempunyai tingkat pendidikan yang homogen. 4.3.1.4 Masa Kerja Masa kerja responden berkisar antara 1 sampai 10 tahun dengan rata-rata masa kerja 5 tahun. Masa kerja responden <5 tahun berjumlah 14 orang (43,75%), masa kerja responden >5 tahun berjumlah 18 orang (56,25%). Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah lama menjalankan profesinya sebagai perawat. Semakin lama perawat bekerja semakin banyak kasus yang ditanganinya sehingga semakin meningkat pengalamannya, sebaliknya semakin singkat orang bekerja maka semakin sedikit kasus yang ditanganinya.(Agus, 2002). Seseorang perawat yang pengalaman kerjanya sudah lama, akan memiliki ketelatenan atau keterampilan lebih luas karena sudah banyak menangani berbagai macam kasus serta sudah dapat menyesuaikan diri dengan pekerjaannya
61 dan lingkungan pekerjaannya. Sehingga perawat yang berpengalaman dengan status masa kerja lebih lama akan lebih patuh dan akan melaksanakan tugasnya dengan baik. Semakin banyak pengalaman kerja yang dimiliki seorang perawat baik dari kemampuan teknis dan praktek dalam tindakannya keperawatan yang dilakukan, maka akan dapat meningkatkan prestasi perawat tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena seseorang yang telah lama bekerja memiliki wawasan yang luas dan pengalaman yang lebih dan seseorang individu akan melakukan sesuatu tindakan berdasarkan pengalamannya. Petugas kesehatan yang berpengalaman akan melakukan tindakan sesuai ketentuan yang telah mereka kenal dan tidak merasa canggung dengan tindakannya. Jadi asumsi peneliti bahwa, semakin lama masa kerja responden maka mereka semakin patuh. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti pengalaman yang lebih banyak dalam
mengatasi
keterampilan
dalam
berbagai
macam
menghadapi
kasus
penyakit,
pekerjaannya
serta
kemampuan teknis praktek. Asumsi peneliti diatas juga sesuai dengan yang dikatakan Siagian (2006) yang mengatakan bahwa kualitas dan
kemampuan
kerja
seseorang
bertambah
dan
62 berkembang melalui 2 jalur utama yakni pengalaman kerja yang dapat mendewasakan seseorang dari pelatihan dan pendidikan. 4.3.2 Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Dalam pembahasan ini peneliti membahas masing-masing tingkat kepatuhan di kedua ruangan yang diteliti. Dari 32 jumlah responden perawat, di Ruang ICU terdapat 13 orang perawat yang diteliti dan 19 orang perawat di Ruang Dahlia yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.2 dari 13 responden di Ruang ICU menunjukkan bahwa frekuensi responden berdasarkan kepatuhan perawat menggunakan alat pelindung diri dalam menangani pasien penderita TB Paru diatas, bahwa semua perawat pelaksana di ruangan tersebut patuh dalam penggunaan alat pelindung diri yaitu masker, handschoen dan baju pelindung diri. Semua responden dikategorikan patuh karena, selama peneliti melakukan observasi langsung sebanyak 3 kali dalam waktu yang berbeda pada setiap responden, peneliti melihat bahwa setiap perawat selalu menggunakan dengan tepat dan benar alat pelindung diri dalam menangani pasien penderita TB Paru. Penggunaan alat pelindung diri ini merupakan teknik pencegahan penyakit menular seperti TB Paru, yang dapat menular melalui udara sehingga perlu menggunakan masker, selain itu dapat juga menular melalui percikan darah jika mengenai tubuh perawat sehingga mewaspadai
63 penularan dengan menggunakan handschoen dan baju/pelindung diri. Dari hasil penelitian ini dapat diasumsikan peneliti bahwa hal ini didukung pula karena penggunaan APD merupakan kebijakan rumah sakit dalam penerapan SPO (Standar Prosedur Operasional) dalam memberikan asuhan keperawatan. Disamping itu dipengaruhi juga oleh peran kepala ruang atau kepala tim dalam memimpin dan mengayomi anggota atau perawat pelaksana dalam menerapkan SPO khususnya penggunaan APD demi menjaga keselamatan dan kesehatan kerja pasien dan juga perawat. Hal ini menunjukkan ketua tim di ruangan tersebut berhasil mengembangkan tipe kepemimpinan dan ilmu yang dimiliki dengan cara
membantu
staf
dalam
menetapkan
sasaran
asuhan
keperawatan. Selain itu hampir seluruhnya perawat pelaksana di ruangan
memiliki
tingkat
pendidikan
tinggi
yaitu
Akademi
Keperawatan dan pengalaman kerja dimana lebih dari setengah responden memiliki masa kerja lama yaitu di atas 5 tahun. Berbeda halnya dengan hasil penelitian pada tabel 4.3 dari 19 responden di Ruang Dahlia menunjukkan jumlah responden yang patuh yaitu 16 orang perawat (84,2%) dan jumlah responden yang kurang patuh yaitu 3 orang perawat (15,8%). Responden
dengan
kategori
kurang
patuh
terlihat
menggunakan alat pelindung diri dengan tidak benar dan tidak tepat.
64 Observasi peneliti menunjukkan, hal ini diakibatkan karena perawat saat itu datang terlambat sehingga tidak terlalu memperhatikan kelengkapan atribut APD yang digunakannya. Sebab lain karena ada pasien yang dalam keadaan darurat harus segera diberikan pertolongan, dan perawat memiliki prinsip lebih mendahulukan akan keselamatan
pasien.
Hal
ini
menjadikan
perawat
kurang
memperhatikan kelengkapan dan kerapian penggunaan APD yang digunakan dalam setiap memberikan asuhan keperawatan. Hal tersebut juga sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anastasios Merkouris (2011) yaitu tentang faktorfaktor
yang
penggunaan
mempengaruhi alat
pelindung
kepatuhan diri
untuk
perawat
terhadap
menghindari
pajanan
mikroorganisme di Amerika Serikat, dimana hasil dari penelitiannya mengatakan
bahwa
alasan
dari
keseluruhan
respondennya
mengalami hambatan dalam kepatuhan penggunaan alat pelindung diri karena ketika mereka sedang bertugas, sesuatu yang tidak terduga/darurat bisa terjadi seperti menemukan pasien dalam situasi hidup atau mati, pada saat itu juga mereka akan segera memberikan perawatan
secara
langsung
bukan
lagi
memikirkan
untuk
menggunakan alat pelindung diri. Perhatian utama mereka adalah untuk
melindungi
keselamatan
membahayakan diri mereka sendiri.
pasien
sekalipun
itu
akan
65 Keadaan ini sangat berisiko atau berpotensi menimbulkan bahaya
kesehatan
bagi
perawat
selama
menangani
pasien
penderita TB Paru. Pada studi pendahuluan sebelum peneliti melakukan penelitian, peneliti memperoleh informasi dari salah seorang perawat di RSPAW Salatiga mengemukakan bahwa, dalam dua tahun belakangan ini, ada beberapa perawat yang tertular penyakit TB Paru. Jumlah perawat yang tertular TB tidak dapat di data, karena jika mereka tertular TB/ penyakit dari pasien mereka tidak
pernah
melaporkan
atau
dengan
kata
lain
mereka
menyembunyikan kasus tersebut karena merupakan privasi masingmasing individu perawat tersebut. Penyebab penularan ini diduga diakibatkan karena kurang disiplin dalam menjaga keamanan diri sendiri dengan tidak disiplin menggunakan APD. Dari kejadian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa alat pelindung diri berperan penting untuk perlindungan diri bagi perawat sendiri. Perawat yang patuh menggunakan alat pelindung diri serta digunakan dengan tepat dan benar memiliki tingkat resiko rendah untuk tertular penyakit menular seperti TB Paru dibandingkan dengan perawat yang kurang patuh ataupun tidak patuh dalam menggunakan alat pelindung diri. Dikatakan perawat patuh dengan memiliki tingkat resiko rendah tertular penyakit menular seperti TB Paru, jika menggunakan APD tidak akan dengan mudah terinfeksi karena masih ada atribut di
66 luar tubuh yang bisa melindungi anggota tubuh bagian dalam. Apabila perawat tertusuk jarum suntik mungkin hanya tertusuk di kulit luar handschoen atau baju pelindung tubuh. Jika terkena paparan selaput lendir, kemungkinan hanya terkena sampai di bagian luar baju pelindung tubuh, sedangkan paparan udara/droplet masih terhalangi oleh penggunaan masker yang menutupi bagian muka. Dalam observasi yang dilakukan oleh peneliti, penilaian APD dilihat dari kepatuhan penggunaan alat pelindung diri dan cara penggunaannya.
Ini
merupakan
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi penilaian tingkat kepatuhan perawat. Penilaian yang dimaksud peneliti yaitu, tentang penggunaan APD dengan benar dan tepat dan penggunaan alat pelindung diri dengan tidak benar dan tidak tepat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusran Muhammad pada tahun 2007 dengan judul kepatuhan penerapan prinsip-prinsip pencegahan infeksi (Universal Precaution) pada perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Muluk Bandar Lampung,
yakni
dihasil
penelitiannya
menemukan
bahwa
pelaksanaan Universal Precaution oleh responden masih sub optimal. Hanya 64 (33,5%) responden yang masuk dalam kategori baik dalam menjalankan prinsip Universal Precaution. Tingkat
67 kepatuhan penggunaan alat pelindung diri (gaun, pelindung mata, pelindung wajah) masih rendah. Hasil dalam penelitian ini sama halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Georgios Efstathiou, (2011) tentang kepatuhan perawat terhadap penggunaan alat pelindung diri untuk pencegahan
penularan
menemukan
hanya
patogen
9,1%
di
responden
Amerika yang
Serikat, patuh
yang
terhadap
penggunaan alat pelindung diri. Dalam penelitiannya, Georgios mengatakan bahwa sebagian dari respondennya kurang patuh karena
tidak
selalu
menggunakan
sarung
tangan
ketika
berimplementasi kepada pasien, maupun masker dan pelindung tubuh hanya kadang-kadang mereka menggunakannya. Respondennya mengatakan bahwa mereka menggunakan cincin
dan
kuku
palsu
sehingga
akan
mengganggu
jika
menggunakan sarung tangan, merasa tidak nyaman menggunakan masker karena memiliki bau yang mengerikan, serta dalam penggunaan gaun pelindung tubuh mereka mengatakan akan mengganggu ketangkasan dan keterampilan mereka dalam bekerja. Peneliti mengaitkan tentang kepatuhan perawat dalam penggunaan alat pelindung diri, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berdasarkan Standard Precautions
Clinical
Governance,
2010. Penggunaan SPO di suatu Rumah Sakit, dapat mencegah
68 kontaminasi (orang ke orang atau benda yang terkontaminasi ke orang) baik itu resiko penularan patogen melalui darah dan droplet. Selain prosedur tetap yang diterapkan di rumah sakit harus dipatuhi, sikap, ketekunan dan kesadaran perawat turut memberi sumbangsih
terhadap
kepatuhan
penggunaan
APD
dalam
menjalankan tugasnya. Hal ini sesuai dengan teori kepatuhan perawat
menurut
Setiadi, 2007 bahwa kepatuhan perawat adalah perilaku perawat sebagai profesional terhadap suatu anjuran, prosedur atau peraturan yang dilakukan atau ditaati. Akan tetapi perilaku kepatuhan bersifat sementara karena perilaku ini akan bertahan bila ada pengawasan. Jika pengawasan hilang atau mengendur maka akan timbul perilaku ketidakpatuhan. Perilaku kepatuhan ini akan optimal jika perawat itu sendiri mengganggap perilaku ini bernilai positif yang akan diintegrasikan melalui tindakan asuhan keperawatan.