BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Bagaimana Pengaruh Kolonial Belanda Terhadap Agama Islam Di Tidore 4.1.1 Awal dan Perkembangan Islam Di Tidore Agama islam tersebar di Asia Tenggara dan di kepulauan indonesia sejak abad XII atau XIII. Sekarang disejumlah daerah yang telah berabad-abad memeluknya, nama meraka yang beranggap berjasa dalam menyebarkan agama islam itu disebut dengan hormat dan khidmat. Masuk islamnya berbagai suku bangsa di kepulauan Indonesia ini tidak berlangsung dengan jalan yang sama. Begitulah anggapan umum; legenda mengenai orang suci dan cerita mengenai para penyebar agama islam dan tanah asal usul mereka sangat beragam. Kondisi demikian juga terjadi di wilayah Maluku Utara dimana mubalikh pembawa islam konteks mitologinya sangat kental dengan cerita lisan yang umum terjadi di Maluku Utara. Dalam mitos berkembang di Maluku Utara mengenai masuknya islam konon islam di Maluku Utara (Tidore, Ternate, Jailolo, Bacan) dibawah oleh Jafar Sidig dari tanah arab yang terdampar di Ternate. Dalam cerita mitosnya dikisahkan bahwa setelah terdampar di pulau Ternate, Jafar Sidiq melakukan Sholat di tepi telaga, setelah selesai sholat ia melihat ada tujuh bidadari turun mandi. Akibatnya bidadari yang satu itu tidak dapat pulang ke khayangan, Jafar Sidiq berjanji mengembalikan pakaiannya bila bidadari itu mau menjadi istrinya, dan memeluk agama islam. Bidadari itu lalu diperistri oleh Jafar Sidiq dan diberi nama Nursaefa. Dari pernikahan dengan bidadari bungsu itu, Jafar Sidik dikaruniai tujuh orang anak. Empat orang laki-laki, tiga orang perempuan. Putra tertua diankat menjadi sultan Jailolo, yang kedua menjadi sultan Tidore, putra ketiga menjadi sultan Bacan dan putra yang bungsu menjadi sultan Ternate.
Dari legenda ini tersirat bahwa islam masuk ke Ternate karena peran mubalikh yang turut serta dalam aktifitas perdagangan. Dari nama yang disebutkan dalam legenda menunjukkan bahwa mubalikh yang membawa islam ke Maluku Utara sesungguhnya berasal dari tanah Arab. Mengenai islamisasi di Tidore dibawah oleh Syeh Al- Mansyur. Syeh Umar, Syeh Amin dan Syeh al-Banjari. Dari mubalikh-mubalikh ini, yang lebih muda untuk di deskripsikan proses penyebaran islam adalah yang dilakukan oleh Syeh Al-Banjari. Asumsi yang mendasarinya yakni tersimpannya silsilah dari Al-Banjari dan beberapa manuskrip tinggalnya telah dipelajari oleh keturunannya dan ada yang sudah ditulis. Penyebaran islam di Tidore terjadi secara bergelombang. Mulah-mulah mubalikh yang datang adalah Syeh Mansur dan ia menyebarkan islam di wilayah tidore bagian utara. Syeh Mansur datang pertama kali di suatu tempat bernama Lebe (sekarang masuk wilayah kelurahan Mareku), mubalikh ini menyebarkan islam dengan dawah dan mengawini penduduk lokal. Mengenai kapan datanya mubalikh ini tidak diketahui secara pasti akan tetapi dimana ia menyebarkan agama islam masih dapat kita temui marga keturunannya. Folaimam mengklaim diri sebagai marga keturunan Syeh Mansyur dan kebenaran klaim ini didasarkan pada kitab-kitab lontara yang ditinggalkan oleh Syeh Mansur masih tetap terpelihara secara baik dan sangat dikeramatkan oleh marga Folaimam. Sebelum Islam menjamah Tidore, masyarakat Tidore sudah teratur dengan kelompokkelompoknya, karena kuatnya adat yang dianut. Sebab adat juga dapat diterjemahkan sebagai kebiasaan setempat yang mengatur interaksi sesama anggota masyarakat, sistem struktur, sistem nilai dan hokum yang kemudian mewujudkan pola perilaku ideal.
Ketika agama Islam masuk di Tidore, banyak juga adat yang bertentangan. Hal ini sebab adat menganut sistem matrineal, sementara Islam lebih cenderung kepada sistem patrineal. Kendati demikian ketika pertama kali datang, tidak serta merta agama Islam dan adat saling tolak menolak. Islam diterima karena dipandang dapat memperkaya khazanah adat dan sebaliknya adat tidak ditolak untuk kemudian di lenyapkan oleh islam. Islam nyatanya kemudian kokoh adat, tentu dengan menambah unsur-unsur baru yang sesuai dengan kehendak Islam. Di satu sisi kendati adat ditaati secara ketat, namun adat sendiri memperkenankan perubahan. Keterbukaan itulah yang memperlancar usaha para dai menyiarkan agama islam sebagian dari adat. Usaha membumi Islam juga memperlancar pula oleh kondisi politik Tidore yang sejak semula tampak tidak mengenal sistem pemerintahan pusat. Ada sistem pria berwibawa, ada sistem Papa Se Tete. Ada Sowohi dan Bobato yang memiliki kekuasaan keseimbangan yang sah dari lembaga pemerintahan. Fungsi pemerintahan dijalankan oleh Bobato. Tidak ada aritokrasi atau pun feodalisme yang kuat. Kekuasaan pemerintah sebenarnya terletak pada Syah se Mufakat. Dengan demikian, adat dan istiadat di Tidore merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arti dan kelakuan dan perbuatan manusia dan masyarakat. Adat di Tidore dapat dibedakan dalam empat tingkat, yaitu; 1) Tingkat nilai budaya, 2) Tingkat norma budaya, 3) Tingkat hokum dan tingkat aturan khusus.
Rumusan sintesa antara Adat dan Agama di Tidore menjadi dasar bagi ”watak orangorang Tidore” yang berbunyi “Adat Ge Mauri Syara Mauri Kitabullah”. Yang artinya adat bersendi syariat (ajaran agama) dan syariat bersedi kitab Allah SWT. (Al-Qur’an).(Maswin Muhammad Rahman 2006: 82) 4.1.2 Masuknya Islam Dan Perkembangan Tarekat Di Tidore Perkembangan islam di Nusantara berjalan secara veriatif diberbagai daerah. Para pedagang dan mubalikh atau mubalikh yang merangkap menjadi mubalikh yang menjadi otak utama di dalam terjadinya islamisasi di Nusantara. Walaupun fakta historis menunjukkan juga bahwa paren para tokoh lokal dalam menyebarkan islam di berbagai daerah di Nusantara. kerap ditemukan dalam catatan sejarah. Konteks ini dalam universal di kemukakan oleh para ahli sejarawan. Teori apapun tentang islamisasi di Nusantara akan dianut menjelaskan kenapa proses tersebut berawal dari suatu masa tertentu, dan bukan beberapa abad sebelumnya atau sesudahnya. Orang-orang musil dari negeri asing semakin sudah menetap di pelabuhanpelabuhan dagang di sumatra dan jawa selama beberapa abad, tetapi baru menjelang ahir abad ke13-lah kita menemukan adanya jejak-jejak orang islam pribumi. Bukti pertama berasal dari pantai utara sumatra, di mana beberapa kerajaan muslim yang sangat kecil, atau lebih tepatnya negara-negara pelabuhan muncul, kerajaan perlak dan kerajaan kembar samudra dan pasai. Selama abad ke-14 dan ke-15, islam secara berangsur-angsur menyebar melampaui daerah pantai sumatra dan semenanjung malaya, ke pantai utara pulau jawa dan beberapa pulau penghasil rempah-rempah di indonesia bagian timur.
Walaupun
memang
dalam
proses
berlangsungnya
perpindahan
agama
tidak
terdokumentasi dengan baik, sehingga menimbulkan banyak spekulasi di kalangan para ilmuwan dan kadang-kadang menimbulkan perbedaan yang sengit. Proses tersebut tidak mungkin berjalan menurut pola yang serupa untuk seluruh Nusantara. Perdagangan dan aliansi politik antara pedagang dan raja pastilah memainkan peranan di dalamnya, sebagaimana juga perkawinan antara para pedagang muslim yang kaya dengan para putribangsawan setempat. Di beberapa wilayah, sebagaimana diceritakan berbagai sumber setempat, islam juga telah disebarkan dengan menggunakan perdagangan, tetapi secara umum proses tersebut berlangsung dengan jalan damai. Ada anggapa umum bahwa tasawuf dan berbagai tarekat telah memainkan peranan yang menentukan dalam proses tersebut. Ketika islamisasi terjadi hal yang cukup menonjol disamping ajaran islam juga berkembang kebudayaan islam. Masuknya kebudayaan islam ini telah melahirkan suatu transformasi masyarakat dalam tataran budaya. Konteksnya adalah ketika islam masuk, para penyebar juga memberikan amalan sufi atau tasawuf. Pada tingkat tasawuf inilah dalam berbagai ritual yang berdimensi islam bertransformasi dengan berbagai tradisi pribumi Nusantara. Apapun yang kita lihat secara realitas dalam ritual tertentu dimana unsur islam mungkin sangat menonjol akan tetapi secar internal dari setiap perilaku ritual tetap ditemukan adanya unsur-unsur lokal yang berpadu dengan tradisi islam. Proses transformasi budaya dan integrasi tradisi yang sederet dapat kita temukan dalam tradisi islam Nusantara, salah satunya tradis Dabus (Taji Besi) tradisi ini merupakan media penyebaran islam, dikenal akrap pada masyarakat di Nusantara dengan dan secara spesifik dapat ditemukan di Aceh, Banten dan Maluku. Jadi secara pasti bukan tentatif ritual Dabus (taji besi)
masuk bersamaan dengan masuknya islam di Nusantara, dan ritual ini sarat dengan amalanamalan tasawuf. Proses perilakunya berintegrasi dengan tradisi-tradisi lokal.
4.1.3 Masuknya Agama Kristen Protestan Di Tidore Gereja kristen Protestan mulai kehadirannya di maluku pada 1621. Cikal bakalnya adalah perkumpulan “pelayat orang sakit” yang memberika layanan spritual kepada orang-orang sakit. Pada 1626, perkumpulan yang dipimpin Tobias dan kawan-kawannya ini diberi izin operasional oleh Gubernur kompeni Houtman. Pada tahun yang sama, bertugas dibacan Kornelis Maas, dengan Geritszoon Bloem di tafasoho, Makian. Sebelumnya, pada 17 september 1624, beberapa pendeta yang dipimpin Jan Herman pernah menjadi penginjil di Manila selama 13 tahun dikirim dari Batavia ke Ternate. Rombongan pendeta ini melakukan tugas tidak atas namaresmi Kompeni, tetapi secara individual. Pendeta resmi pertamanya adalah Gregorius Candidius, yang diangkat dengan persetujuan pemerintahan pusat Kompeni di Batavia dan tiba di Ternate pada 1626. Namun ia sulit bergerak melakukan tugasnya karena kurang mendapat dukungan dari Gubernur Maluku, Jagues Le Fabre. Candidus pernah melaporkan sepak terjang Le Fabre kepada dewan Gereja Pusat di Batavia, ketika kembali ke sana lantaran bentrok dengan sang Gubernur. Lalu telah pergantian Le Fabre, Candididus kembali ke Ternate disertai seorang pendeta dari dewan Gereja Hindia Belanda di Batavia. Setibanya kedua pendeta itu di ternate, aktivitas penginjilan kembali diangkat dan keduanya mulai menggarap daerah Makian, Bacan dan Obi. Pada tahun 1667, sebuah Gereja telah didirikan masing-masing di Bacan dan Obi, serta ritual peribadatan Kristen mulai
diselenggarakan. Khutbah-khutbah diberikan dalam bahasa Melayu dan Belanda. Dalam laporannya kepada Gubernur Antonie Huardt di Ambon, Candididus pendeta yang bertanggung jawab atas tugas-tugas penginjilan di Maluku mengeluh bahwa ketidakberhasilan mereka dalam tugasnyadisebabkan hambatan dan kendala yang datang sari pada sultan. Yang secara terangterangan menunjukan sikap antipati kepada mereka. Namun, dalam laporan itu juga digarisbawahi kesuksesan para penginjil dalam misinya di Manado dan Sangir Talaud. Tanggal 17 september bebrapa pendeta yang dipimpin Jan Herman dikirim dari Batavia ke Ternate disusul Pendeta Gregorius Candididus. Beberapa tahun kemudian Candididus membuat laporan kepada Antonio Huart di Ambon bahwa aktivitas penginjilan tidak membuahkan hasil yang maksimal. Di Ternate aktivitas keresten hanya sebatas kampong “sarani” yang sebagian besar penduduknya dari sanger, Ambon, dan Manado. Di Tidore dan Makean bias dikatakan penginjilan “tidak berbekas” Yusuf Jainal (wawancara 23 April 2013). Sebelum datangnya Bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda. Tidore sudah menganut agama islam yang kuat kecuali daerah-daerah yang berada di bagia pesisir Halmahera seperti suku Tabaru dan Tagutil yang menganut agama Kristen yang dibawakan oleh Kolonial Belanda, sementara daerah Tidore dan Ternate sudah menganut agama islam. Pada tahun 1624 Belanda dengan tujuan untuk menyebar injil di Tidore tetapi Sultan Saifuddin alias Jou Kota menyampaikan kepada Belanda bahwa Tidore sudah menganut agama islam yang cukup kuat, kalu kalian ingin menyebarkan injil (Protestan) pergi saja di satu daerah yang belum menganut agama yaitu daerah Papua, sehingga Sultan diperintahkan kepada kedua orang sangaji untuk mengantarkan penyebar injil ini ke daerah Papua. Ridwan Dano Tahir (wawancara, 22 April 2013).
Kemajuan-kemajuan penting peninjilan baru terjadi pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Halmahera Utara (wilayah kesultanan Ternate) dan Halmahera Timur (wilayah kesultanan Tidore) yang dilakukan sebuah perkumpulan zending negeri Belanda, yaitu UZV (Utrechtsche Zending Vereninging, “perkumpulan Zending Utrecht”). (Dalam Maswin 2006 : 35). Perkumpulan peninjil ini didirikan di Utrecht pada 1865 dengan tujuan awal melakukan penginjilan di Papau. Tetapi, Residen Ternate pada waktu itu, P. van der Crab (1863-1867) meminta UZV beroperasi di Halmahera. Permintaan ini dikabulkan oleh pimpinan UZV, dan pada 14 April 1866 rombongan pertama pendeta UZV tiba di Galela, rombongan ini terdiri dari dua pendeta, masing-masing Van Dyken dan H.H. Bode, kemudian disusul oleh pendeta ketiga, Klaassen. Pada tahun berikutnya, tiba pula pendeta keempat, Been. Galela merupakan pos pertama UZV di Halmahera. Kota ini sebenarnya berpenduduk hampir seluruhnya muslim. Jadi, sebenarnya kurang tepat menempatkan pos zending di sini. Tetapi, atas dasar pertimbangan yang sulit dipahami, UZV menempatkan posnya di sana. Akibatnya, selama lima tahun pertama aktivitas zending di sini, UZV tidak mencatat keberhasilan apapun. Sampai 1870, Klaassen dan Bode masih bekerja dalam misi penginjilan di Galela. Sebuah pos baru dibuka di Laete.(Soakonora) dan Klaassen ditugaskan untuk memimpinya. Pada 1873, Klaassen kembali ke negerinya dan digantikan de Graaf, yang pernah bertugas di Ternate selama sepuluh tahun sebagai wakil pendeta. Selama bertugas di pos Leate, Graaf pernah mengeluh karena “harus menjaga sebuah gereja kecil tanpa seorang Kristen pun” ketika de Graaf kembali ke Belanda, pos Leate dirangkap kepemimpinannya oleh van Baarda. Karena gagal menunaikan
misinya, pos ini ditutup pada 1897. Sejumlah kecil orang Kristen pribumi yang ada di kampung sekitarnya Seki, Togawa dan Soakonora diurus secara individual oleh pos UZV di Duma. Pos zending berikutnya didirikan UZV di Tobelo pada 1870 oleh Been, yang memimpinya hingga 1878. Tidak jelas apa yang menyebabkan Been dipecat dari kepemimpinannya di pos Tobelo pada 1878. Tetapi, posisinya kemudian digantikan oleh pendeta Hueting yang tiba di Halmahera sejak 1876. Pada 1875, pemukiman UZV di Galela terbakar habis. Van Dyken lalu memindahkan posnya ke Duma, sebuah perkampungan di pedalaman Galela. Duma merupakan pos pusat UZV di Halmahera Utara. Bersamaan dengan pembangunan pemukiman UZV, didirikan pula sebuah sekolah dasar kelas 3. Pemilihan Duma sebagai pos pengganti barangkali didasarkan pada kenyataan bahwa pada 1871 beberapa pribumu Duma meminum “ake sarani” sebagai tanda konversi mereka ke agama Kristen. Pada akhir 1876, van Dyken cuti ke negeri Belanda, dan kembali lagi ke Duma pada 1 Februari 1877,. Pada 1879, Duma resmi menjadi sebuah kampung dengan kimalaha (kepala kampung) tersendiri. Van Dyken bekerja di Duma sekitar 35 tahun, dan selama itu pula Duma berpenduduk sekitar 200 jiwa pada 1899 menjadi komunitas Kristen. Dengan demikian, selama 35 tahun melakukan aktivitas zending, van Dyken baru berhasil mengonversi 200orang kedalam Kristen. Setelah van Dyken meninggal, ia digantikan menantunya, H.J van Baarda. Pada 1900, UZV yang dipimpin van Baarda melebarkan sayapnya ke Kao, Loloda, Buli, Weda, pulau Morotai, Dodinga dan Jailolo. Para pendeta UZV yang memimpin pos-pos zending di Halmahera ini adalah: van Baarda (Galela), J. Metz (Tobelo), C. Maan (Buli dan Weda), J.
Forgens (Jailolo) G.J. Ellen (Kao), A. van Essen (Morotai), H. Labchuit (Dodinga), D.C. Prins (Loloda).sementara J.C. Munk mengepalai sekola guru di Tobelo. Ada dua pendeta yang di samping tugas pokoknya menjalankan zending, juga melakukan penelitian mengenai bahasa dan antropoli. Keduanya adalah van Baarda dan A. Hueting. Yang terahir ini menghasilkan berbagai tulisan dan buku tentang Tobelo. Sementara van Baarda berhasil menulis sebuah kamus Galela-Belanda, tata bahasa Loloda dan berbagai tulisan tentang kepercayaan asli orang Galela. Ia menjadi anggota lembaga terkenal KTL (Koninklijk Instituut voor Taal ev Volkenkunde van Ned. Indie), dan sejak 1906 menjadi anggota Korespodensi Akademik Ilmu pengeTahuan Kerajaan Belanda di Amsterdam. Pada 1915, hueting dipindahkan dari Tobelo ke Buru, sementara van Baarda kembali ke negeri asalnya, Belanda pada 1917. Pengganti van Baarda di Galela adalah Boger. Sampai 1908, sebanyak 80 sekolah dasar dan sebuah sekolah guru berhasil dibangun UZV di berbagai posnya secara merata. Pemerintah Belanda, sejak 1895, telah memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah tersebut. Anggaran belanja UZV sendiri setiap tahun berjumlah 40.000 hingga 50.000 gulden, yang diperolehnya dari pusat UZV dari negeri Belanda. Sebagian anggaran itu digunakan membiayai rumah sakit yang didirikan UZV mandiri dibidang keuangan, Hueting ketika bertugas di Tobelo membuka “Perkebunan kElapa Wari” di Tobelo Utara. Usaha ini berhasil baik. Perkebunan tersebut memberikan kontribusi yang signifikan dalam membiayai separuh dari kegiatan UZV. Sesuai hal di atas, UZV pernah membuka pendidikan membantu pendeta di Tobelo dan Galela dengan tujuan menghasilkan pembantu-pembantu pendeta lokal. Tetapi hasilnya dinilai
kurang memuaskan. Karena itu, YZV telah banyak menggunakan tanaga pembantu pendeta yang didatangkan dari Ambon. Ketika perang duni II pecah, UZV menghentikan seluruh kegiatannya di Halmahera Utara. Tugas-tuganya kemudian diambil alih oleh gereja masehi injil Halmahera (GMIH), sebuah perkumpulan penginjil lokal. Dari uaraian pembahasan diatas dapat diketahiu bahwa ketika masuknya Kolonial Belanda di Tidore tidak membawa pengaruh terhadap perkembangan Islam yang ada di Tidore. Karena sebelum kedatangan bangsa Belanda, Tidore sudah menganut islam yang cukup kuat sehingga penginjilan ahanya dilakukan di daerah Papua, Halmahera Utara dan Halmahera Timur. 4.2 Kondisi Masyarakat Tidore Pada Masa Kolonial Belanda 4.2.1 kehidupan Politik Masyarakat Tidore Pada Masa Kolonial Belanda Pada pertengahan abad ke-18 sekitar tahun 1850, Belanda membulatkan kekuasaan di Maluku sesudah mengalahkan menghalaukan lawan-lawan dan konkuren-konkurennya, Portugis dan Inggris berturut-turut di Ambon, Ternate, Bacan dan Banda, menaklukan bangsa-bangsa Indonesia di Maluku dan mengadakan kontrak-kontrak yang mengikat sultan-sultan dan raja-raja di seluruh Maluku. Di antara raja-raja itu hanya sultan Tidorelah yang tidak tunduk kepada kuasa kompeni dan tidak dapat diharuskan menyuruh menjalankan ekstirpasi, kerena Tidore pada waktu itu adalah ekutu spanyol, dan dimata dunia internasional termasuk daerah jajahan Spanyol, yang ketika itu mempunyai kedudukan yang kuat dan benteng-bentengnya di Gam Lamodi pantai barat daya pulau Ternate dan tahula
Marieku di pulau Tidore, sedangkan induk kekuasaannya terdapat di Kepulauan Filipina tidak seberapa jauh dari Tidore. (dalam E. Katoppo 1989 : 32). Dalam tahun 1648 ditutup perjanjian perdamaian di Munster antara Spanyol dan Belanda, atas dasar uti possidesis masing-masing pihak memegang apa yang telah didudukinya sebelum perdamaian itu, dan juga masing-masing pihak tidak akan menyingug jajahan yang atau milik pihak lain atau menyerang, menaklukan raja-raja dan bangsa-bangsa yang ada di bawah kekuasaan pihak lain. Bagaimana akal Belanda untuk menguasai seluruh kepulauan yang menghasilkan rempah-rempah, untuk mebulatkan lingkaran monopolinya yang kini masih terbuka besar di pihak timur laut. Dalam hal ini, ahli-ahli hokum internasionak di Belanda telah lebih dahulu memberi tafsira-tafsirannya atas pasal-pasal perjanjian itu. Dengan Gubernur Spanyol di GamLamo, Belanda mengadakan perundingan-perundingan dan memberitahukan bahwa kompeni Belanda telah mempermaklumkan perang pada Sulta Tidore (1853), dimintanya agar d’Eistebar, Gubernur Spanyol, jangan campur tangan dalam peperangan itu dengan penjelasan bahwa Tidore sewajarnya sebagian dari wilayah Sultan Ternate yang di bawah kedaulatan Belanda;Tidore tidak termasuk dalam Daerah-daerah yang berada dibawah kedaulatan Raja Spanyol, bukankah Spanyol hanya sekutu, bukan daulat Sultan Tidore. Amin Faruk (wawancara 22 April 2013). Belanda tidak akan menyingung hidup dan milik warga Spanyol, berdasarkan perjanjian di Muster, sebab di pulau Tidore sendiri, dimana terdapat benteng-benteng dan kantor-kantor dagang milik Spanyol tidak akan diserang oleb Belanda, melainkan hanya daerah-daerah Tidore di Halmahera dan Papua. Bagaiaman Spanyol akan turut campur dalam persengketa antara
Belanda dan Tidore, maka orang Spanyol akan diperlakukan oleh tentara Belanda sebagai orang-orang Tidore. Kompeni Belanda menyuruh Simon Cos dengan satu angkatan Korakora ke Seram, Halmahera dan pulau-pulau Papua untuk mengadakan kerugian bagi Tidore. Cos mengadakan ekstirpasi dibeberapa tempat, membakar sebuh kampong di pantai Weda, tetapi Ia dipukul mudur di Patani. Sultan Tidore memerintahkan Raja Salawati dengan 15 buah korakora mengadakan serangan balasan di pulau-pulau Ambon, terutama di Pantai Hitu. Dengan kegiatan yang meluap-luap, pengorbanan jiwa manusia. Benda dan uang yang banyak sekali, superintendentArnold de Vlaming menindas semua perlawanan bagi bangsa dan raja-raja di Indonesia Timur , semua itu hanya untung kepentingan monopolinya. Pada suatu ketika Kompeni berperang serentak dengan Tidore, Bacan, Seram Laut dan Makasar.setelah maksudnya tercapai, yaitu mengadakan pengurangan pohon-pohon rempah di Halmahera dan pulau-pulau Papua, dan setelah pula Tidore mengadakan serangan-serangan balasan di perairan Ambon sendiri, maka kompeni mengadakan perdamaian dengan Tidore (1654), agar mendapat tagan bebas terhadap Makasar dan Lain-lain bangsa yang melawan. Tetapi Diplomat-diplomat Belanda amat giat dalam menggunakan kesempatan bila mana ada pergantian raja dalam suatu kerajaan di Indonesia; karena sogokan “hadiah”, dan janji-janji yang muluk, maka Bobato-bobato Tidore, mulai dari perdana Menteri Joujau Ali,Hukum Soasiu, dan lain-lain kepala, memilih dan menobatkan adik Goranya, yaitu Kaicil Golfino menjadi Sultan Tidore dengan nama Sulta Saifuddin. Sultan Saifuddin mengadakan perjanjian lisan dengan Gubernur Belanda Simon Cos ; dalam perjanjian itu Saifuddin menyetujui ekstirpasi pohon-pohon rempah dalam kerajaannya,
dan kompeni berjanji membayar sejumlah uang tunai setiap tahun selaku pengganti kerugian. Spanyol telah meninggalkan pelabuhan soasio (Tidore) pada tanggal 2 Januari 1664, berangkatlah pula kuasa Eropa barat terahir, yang menjadi saingan-ancaman kuat bagi Belanda di Maluku. (dalam E. Katoppo 1989 : 33). Sejak itu dapatlah Belanda menjalankan politiknya dengan semena-mena, politik yang berkisar pada satu tujuan yaitu monopoli perniagaan rempah-rempah. Dengan ketiga Sultan di Maluku telah diadakan kontrak-kontrak ekstirpasi untuk menekan produksi supaya jangan melebihi kuantitas yang tiap tahun dapa diangkut oleh armada-armada Retour kompeni ke Negeri Belanda. Politik Belanda dapat dirumuskan dengan singkat: Raja-Raja harus tunduk dan bergantung pada sama sekali kerpada kompeni Belanda sedang dalam pemerintahan dan terhadap rakyat Raja-raja berkuasa (berdaulat) sepenuh-penuhnya. Dalam waktu lebih sedikit setengah abad, Belanda berniaga di Indonesia ini, telah didapatinya bagian yang amat lemah dalam penghidupan bangsa ini yaitu keuanga. Selama perdagangan masih berada pada taraf tukar-menukar barang, uang tidak jadi soal, tetapi ketika bangsa Asing dari luar Indonesia yaitu bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda datang membeli sendiri rempah-rempah itu di Maluku maka semua harga, mau dari hasil bumi anak Negeri maupun dari barang-barang impor sperti pakaian, porselin, barang besi, perkakas rumah dan lainlain, semua harga itu diperhitungkan dengan nilai mata uang. 4.2.2 Kehidupan Ekonomi Masyarakat Tidore Pada Masa Kolonial Belanda Ekonomi rakyat tidak seberapa diperlihatkan oleh Kompeni dengan monopolinya dan oleh raja-raja dengan upetinya taraf penghidupan anak negeri rendah. Pertanian hapir tidak ada. Di beberapa tempat disana-sini orang membuka ladang yang ditanami padi, jagung, ubi dan
ketela. Makanan yang terutama yaitu sagu. Hutan-hutan pohon sagu yang luas-luas menudungi pantai-pantai pulau-pulau istimewa di Halmahera dan Irian. Nasi dan jagung amat sedikit dimakan sehari-hari hanya berupa makanan tambahan atau sedap-sedapan. Amin Faruk Kondisi masyarakat pada masa Kolonial Belanda sangat tertindas, dilihat dari sistem perdagangan pihak Kolonial Belanda sangat menguntungkan dari pada rakyat tidore. Mereka berdagang cengke dan pala dengan harga yang ditentukan oleh mereka sendiri. Kemudian mereka menjual di Negara Eropa dengan harga yang mahal dua kali lipat dari harga yang mereka perdagangkan di Tidore. (wawancara 23 April 2013). Kondisi masyarakat Tidore pada abad ke-18 pernah dibumi hanguskan oleh kompeni belanda dengan sekutunya ternate pada masa sultan Nuku bertahta di Tidore, karena pengaruh sultan menentang kompeni maka masyarakat juga ikut menetang kompeni karena Nuku berperan sebagai Sultan dan sebagai panglima perang dengan sejengkal tanah kekuasaannya di Tidore tidak ada sentuhan oleh kaum penjajah belanda,setelah Sultan nuku wafat 1805. Kemudian pada tahun 1808 Tidore di bumi hanguskan. Jadi Belanda dengan sekutu Ternate mengepung tidore yang dikenal hongi bala ngenge (hamper seluruh masyarakat Tidore hidup nyaris kelaparan) karena mereka tidak bisa keluar dari tempat khususnya wilayah Tidore. untuk mencari pertumbuhan ekonomi dam hal berkebun.karena seluruh perairan di Tidore sudah di kuasai oleh belanda dan sekutunya Ternate. Sehingga pada waktu itu masyarakat tidore hanya bisa mengkonsumsikan sagu yang di olah oleh pahon enau dan pembuatan gula aren dikelolah dari pohon kelapa , karena belanda dan sekutunya ternate mengepung Tidore selama 3 tahun tapi ahirnya bangkit patriot-patriot yang lain kemudian memukul mundur pasukan Belanda dan sekutunya ternate pada saat itu. Amin Faruk (wawancara 22 April 2013).
Untunglah laut, teluk-teluk dan selat-selat yang panjang-panjang, yang berteluk berlubuk berliku-liku, terhisab perairan yang terkaya di Dunia. Jadi kekurangan zat putih telur (protein) dan menu sehari-hari dapat ditutup dengan berjenis-jenis ikan laut. Orang Tidore tetmasuk pelaut-pelaut yang cukup cakap, juga sebagai penangkap ikan, nelayan-nelayan Tidore terbesar diseluruh Maluku, sampai ke pantai-pantai Sulawesi dan Timor. Berbulan-bulan lamanya suatu regu nelayan keluar kampungnya dengan perahu rorehe dan giupnya. Pandai pula mereka mengerjakan ikan yang ditangkapnya itu agar menjadi makanan yang tahan lama, untuk berkalannya dan untuk perdagangkan. Dimana kompeni berkuasa, seluruh pembelian hasil bumi dan usaha rakyat dan penjualan barang-barang yang didatangkan dari luar, dipusatkan pada kantor-kantor dan loji-loji kompeni, dapat dikatakan bahwa seluruh ekspor dan inpor digenggam oleh kompeni. Yang diekspor yaitu cengkeh, pala, kulit mosi, karet, tripang, sedikit mutiara dan kulit mutiara. Yang diimpor yaitu beras, barang tekstl, porselin, barang besi, senjata dan mesiu. Cengkeh di Maluku utara dapat dikatakan habis “diestirpeer”. Pala diextirpeer berkala.extirpatie yaitu usaha usaha belanda untuk menebang dan menumpas pohon-pohon cengkeh dan pala untuk membatasi produksi. Produksi dibatasi banyaknya, harga belipun dibatasi, artinya kompeni yang menentukan harga beli itu, sultan-sultan Tidore senantiasa menentang extipartie itu.dan selama Nuku berkuasa, diusahakannya sedapat-dapatnya memperbaiki kedudukan produsen, dengan meninggikan dan turut menetapkan harga beli rempah-rempah itu.
Kerajaan Tidore yang terdiri dari ratusan pulau-pulau merupakan suatu Negara kelautan atau maretim. Hidup matinya bergantung pada utuhnya berhubungan di laut. Hal ini diinsyafi
benar-benar oleh Nuku. Perjuangan untuk mempersatukan daerah-daerah yang dipisahkan oleh lautan, menggalan keutuhan kesatuan, mempertahankan kemerdekaan kerajaan hanya bisa berhasil baik, jika dapat dibentuk dan dipelihara suatu angkatan kora-kora yang kuat dibawah komando perwira-perwira laut yang gaga perkasa, cakap dan berpengalaman. Honginya menjadi alat yang sakti dalam ia mengadakan pertahanan, mengadakan penyerangan dan mengurung Ternate, kubuh musuhnya, yaitu Kompeni Belanda, yang bukan dibencinya, tetapi juga yang amat hina dalam pedagangnya. Demi menjamin kemakmuran Rakyat ia membagi desa-desa dengan lapangan kerja mereka masing-masing sebagai berikut: 1. Desa Topo, sebagai penghasil bawang 2. Desa Seli penghasil padi ladang dan hasil kebun lainnya 3. Desa Tongowai, Gurabati dan Tuguiha penghasil sagu. Istilahnya “Alo Hule” . desa Tuguiha juga sebagai penghasil kapur (porno kapur) dan atap rumbia. 4. Desa Tomalou, desa nelayan yang hanya menangkap ikam julung, dengan “rorehe” 5. Desa Toloa, pandai besi 6. Desa Mareko, nelayan khusus ikan julung 7. Desa Mare, pengrajin keramik. Sultan ini juga membuat undang-undang satuan hasil dalam menjamin kehidupan ekonomi Masyarakat: 1. Penetapan satuan untuk beberapa jenis produksi seperti a. Satu “mumu” (cucu/ ikatikan julung jumlahnya 20 ekor) b. Satu mumu ikan tude 40 ekor
c. Satu ikat atap = 30 bangkawan (lembar/ helai) d. Satu ikat jagung = 40 buah 2. Untuk satuan mata uang a. Satu pirange = satu gobang
= 2,5 sen
b. Satu palofo
= 1,5 sen
c. Satu saratu
= 3,5 sen
d. Satu pesio
= 7,5 sen
e. Satu peju moi= satu real
= 160 sen