BAB IV KERAJAAN BANGGAI DI ERA KOLONIAL BELANDA
4.1 Masuknya VOC di Kerajaan Banggai Rezim Maulana Prins Mandapar berakhir pada tahun 1601 M. Setahun kemudian, para pedagang Belanda mendirikan Vereeniging Oost-indische Compagnie (VOC) atau yang oleh kalangan pribumi lazim dikenal dengan sebutan Kompeni. Mulanya, VOC dibentuk sebagai kongsi dagang untuk mengurusi jalannya perniagaan Belanda di Hindia Timur (Nusantara). Lambat-laun, peran VOC kian meluas dengan menjalankan prinsip imperialis mereka yang terpatri dalam 3G: Gold (emas, kekayaan), Glory (kejayaan, wilayah, kekuasaan), dan Gospel (agama). Berdirinya VOC membuat Belanda semakin berani mencoba ikut campur dalam urusan internal Kerajaan Banggai. Hal ini membuat para petinggi kerajaan gerah dan berusaha ingin melepaskan diri dari tekanan VOC. Nuansa Portugis yang ditularkan oleh Kesultanan Ternate dan selama ini cukup kental di Kerajaan Banggai pun mulai melemah seiring aroma Belanda yang kian kuat. Menurut kesaksian seorang pelaut berkebangsaan Inggris bernama David Niddeleton yang pernah dua kali datang ke Banggai, pengaruh VOC di Banggai sudah ada sejak masa pemerintahan raja pertama kerajaan Banggai Maulana Prins Mandapar.1 Meskipun kehadiran VOC di Indonesia sudah ada sejak tahun 1602, namun peranan VOC dalam menopoli perdangan, baru diakui di kerajaan Banggai pada zaman raja Nurdin berkuasa pada tahun 1870-1880. Pada tahun 1908 Landschaap Banggai digabung dengan Onderploping yang berkedudukan di Bau-Bau, pulau Buton (Bau). Empat tahun berikutnya Onderploping yang 1
Iswara N. Raditya, http://www.Melayu One Line. Com. Data di unduh pada tanggal 4 oktober 2010.
1
berkedudukan di Bau-Bau, di pecah menjadi dua bagian. Meliputi Banggai Darat dan Banggai Kepulauan, masing-masing berkedudukan di Luwuk dan Banggai. Meski demikian raja Banggai dan pemerintah Hindia Belanda tetap berada di Banggai. 2 Selanjutnya, menurut Musahar Yasano dalam wawancaranya ia menjelasakan “ko Balanda lubat doi tano Bolukan doi taun 1630 pada saat Tomundo tolu na momerintah ko mian Balanda kona bisala sio na lubat doi tano Bolukan mian Banggaai na tarimayo yanila tukon monondok, na malumbito Balanda do kai sanggalasano”. Artinya : bangsa Belanda datang ke Banggai pada tahun 1630 pada saat itu di kerajaan Banggai raja yang berkuasa yaitu raja Doi Benteng, dan rakyat mengira kedatangan Belanda merupakan niat baik dan punya tujuan untuk membantu rakyat Banggai yang pada saat itu masi di kuasai oleh kesultanan Ternate. Nyatanya Belanda pula menjajah Banggai dan mengambil semua hak dagang yang di peroleh oleh masyarakat Banggai. Lama-lama kelamaan Belanda juga menjadi penguasa di kerajaan Banggai serta membagi-membagi daerah kekuasaan di tanah Banggai menjadi Banggai Darat dan Banggai Kepulauan. 4.2 Peralihan Kekuasaan VOC ke Pemerintahan Belanda Pada akhir abad ke-18 VOC bangkrut dan pada tahun 1800 kekayaan diambil alih kerajaan. Pemerintah Belanda melanjutkan politik tradisional Kompeni dengan tujuan memperoleh penghasilan sebagai upeti dan laba perdangangan, semuanya demi keuntungan kerajaan. Seperti politik dan administrasi Kompeni di jalankanlah suatu sistem pemerintahan tidak langsung, pembesar-pembesar pribumi dan agen-agen Belanda di kuasakan mengawasi tanam wajib yang hasil untuk pasaran Eropa. Dengan sendirinya penyelewengan-penyelewengan yang terdapat pada sistem ini tidak dapat di hindari, misalnya : permintaan pegawai-pegawai Belanda melampaui batas atau pemerasan dari pembesar-pembesar pribumi. Sejak semula politik 2
Setyo Utomo-Jaya Marhum, op.cit. H. 30.
2
Kolonial konservatif ini sudah mendapat kritikan pedas dari golongan liberal, yang menganjurkan suatu sistem pemerintahan secara langsung berdasarkan prinsip liberal dan perdagangan serta inisiatif partikelir. Sistem liberal ini memperoleh kesempatan untuk pertama kalinya pada zaman Raffles, selama Interregnum inggris (1811-1816).3 Selain itu, Belanda juga menerapkan politik pecah-belah dengan membagi-bagi wilayah yang dimiliki oleh sejumlah kerajaan. Kerajaan Banggai pun tidak luput dari politik rumusan Belanda itu, wilayahnya dipisahkan menjadi dua, yakni Banggai Daratan dan Banggai Lautan atau Banggai Kepulauan. 4 Tahun 1905, Belanda membagi Sulawesi menjadi dua provinsi yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Gubemur dan residen secarah organisatoris berada langsung di bawah Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi dalam beberapa afdeeling yang dikepalai oleh asisten residen berkebangsaan Belanda. Selanjutnya, masingmasing afdeeling masih dibagi pula dalam beberapa onderafdeeling yang dipimpin oleh seorang controleur. Wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai termasuk ke dalam area Onderafdeeling Banggai. Di bawah pemerintahan onderafdeeling inilah diterapkan pemerintahan distrik dan landschap (kerajaan) yang dikepalai oleh kepala distrik atau oleh raja yang diakui oleh pemerintah Kolonial Belanda.5 Selanjutnya, pada tanggal 1 april 1908 di kerajaan Banggai Raja H. Abdurrahman menandatangani pelekat pendek (Korte Verkaring) dengan pemerintah Hindia Belanda di Banggai. Pelekat pendek itu hanya memuat pernyataan kerajaan-kerajaan asli Indonesia, antara
3
Sartono Kartodirjo,1993. Sejarah Pergerakan Nasional, dari Kolonialismee Sampai Nasionalisme, Jilid 2. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. H. 8-9. 4
Iwan Tou Bua, “Sejarah Kabupaten Banggai Kepulauan”, dalam http://infokom-sulteng.go.id, data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010. 5
Iswara N. Raditya , “Lintasan Sejarah”, dalam http://infokom-sulteng.go.id, data diunduh pada tanggal 4 april 2012.
3
lain kerajaan Banggai untuk mengakui kekuasaan Belanda terhadap dirinya dan berjanji akan menaati segenap peraturan yang akan di tetapkan oleh Belanda. Dengan demikian, kerajaankerajaan asli Indonesia antara lain Banggai, diikat dan di kuasai oleh perjanjian-perjanjian politik. Dalam perjanjian-perjanjian politik itu Belanda mengakui berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut dan hanya untuk menjalankan pemerintahan mengenai rumah-tangganya sendiri dengan nama Zelfbestuurende landschappen (daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri) yang di atur lebih lanjut dengan Staatlad tahun 1938 No. 529 tentang Zelfbestuurregelen (peraturan-peraturan tentang hak untuk rumah tangganya sendiri).6 Pada tahun 1911, dengan Staatblad tahun 1911 Nomor 365, terjadi perubahan. Kepala Afdeling bukan lagi di luwuk, melainkan di Bau-Bau. Kapten A.R. Cherissen juga di pindahkan dari Luwuk ke Bau-Bau, dan sebagai penggantinya di tunjuk kapten Van Beek. Afdeling Banggai di ubah menjadi hanya onder Afdeling Banggai. 7 Setelah pemerintah Kolonial Hindia Belanda menguasai seluruh daerah di Sulawesi Tengah, berdasarkan staablad tahun 1911 nomor 365 itu juga, kekuasaan pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di kendalikan dari tiga tempat berikut : 1. Sulawesi Tengah bagian barat, di masukkan ke dalam wilayah kekusaan Gubernur Provinsi Selebes dan bawahannya (gouvernement celebes en Onderhoorigheden), yang berkedudukan di Makassar. 2. Sulawesi Tengah bagian tengah, termasuk bagian teluk Tomini, di masukkan ke dalam wilayah kekuasaan pemerintah Residen Sulawesi utara yang berkedudukan di Manado. 3. Sulawesi bagian Timur, termasuk teluk Tolo, di masukkan ke dalam wilayah kekusaan Residen Sulawesi Timur yang berkedudukan di Bau-Bau.
6 7
H.S. Padeatu. Op.cit. H 61-62. H.S. Padeatu. Op.cit. H 62
4
Pada tahun 1924 daerah Sulawesi Tengah yang di perintah dari tiga tempat tersebut di atas disatukan pusat pemerintahannya, yaitu masuk wilayah kekusaan Keresidenan Manado berkedudukan di Manado. Adapun Keresidenan Manado yang wilayahnya antara lain berada di Sulawesi Tengah terdiri dari dua Afdeling berikut. 1. Afdeling Donggala dengan ibu kota Donggala, terbagi pula dalam Onderafdeling Donggala, Onerafdeling Palu, dan Onderafdeling Toil-Toli. Pada masa berlakunya Onderafdeling-Onderafdeling tersebut, Toil-Toli di masukkan ke dalam Afdeling Donggala, sedangkan Onderafdeling Buol di masukkan ke dalam Afdeling Gorontalo. Di samping itu, terdapat tujuh kerajaan, yaitu Banawa (Donggala), Palu, Toil-Toli, Kulawi, Moutong, Sigi-Dolo, dan Tawaeli. Pada waktu Jepang datang di Indonesia, antara lain ke Sulawesi tengah pada pertengahan tahun 1945, yang menjadi raja Banawa (Donggala) adalah Rohana Lamaurana, raja Palu adalah Djanggola, raja Toil-Toli adalah R.M. Poesadan, raja Kulawi adalah Djiloi, raja Moutong adalah Kuti Tombolotutu, magau Sigi-Dolo di Biromaru adalah Lamasera dan Magau Tawaeli adalah Lamakampali. 2. Afdeling Poso dengan ibu kota Poso terbagi pula dalam Onderafdeling Poso, Onderafdeling Parigi, Onderafdeling Kolonedale, dan Onderfdeling Banggai. Di masa berlakunya Onderafdeling-Onderafdeling tersebut, Parigi di masukkan ke dalam Afdeling Poso. Di samping itu, terdapat pula delapan kerajaan, yaitu Poso, Parigi, Tojo, Lorea, Bungku, Mori, Una-Una dan Banggai. 8 Dengan demikian, Kerajaan Banggai sepenuhnya berada di bawah cengkeraman penjajah. Segala bentuk aktivitas politik kerajaan diawasi oleh Belanda, termasuk dalam penobatan dan penurunan raja. Beberapa nama raja yang tercatat pernah memimpin Kerajaan 8
H.S. Padeatu. Op.cit. H.61-63
5
Banggai pada periode pemerintah Kolonial Hindia Belanda ini antara lain Raja Nurdin, Raja Abdul Azis, Raja Abdul Rahman, dan Raja Haji Awaludin. Belanda mengontrol pemerintahan internal Kerajaan Banggai hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942. 4.3 Masa Pemerintahan Kolonial Belanda Kedatangan Kolonial Belanda tidak segera menyebabkan perubahan-perubahan dalam sistem atau struktur kekuasaan patrimonial. Bagi pihak Kolonial Belanda, kepentingan mereka yang utama adalah kepentingan di bidang ekonomi-politiknya terpenuhi, nampaknya aspekaspek di luar itu cenderung di abaikan. Sebagai sebuah usaha ekonomi dan politik, pemerintah Kolonial mengangkat pejabatpejabatnya sendiri, sebagian daerah sepenuhnya di tangan pemerintah Kolonial, dan sebagian lainnya dalam sebuah pemerintahan ganda yang selain pengangkatan pejabat Birokrasi Kolonial masih juga ada Birokrasi Tradisional. Pada umumnya orang-orang pribumi yang di angkat dalam jajaran Birokrasi Kolonial, termasuk semua saja yang mendapat imbalan berupa gaji yang besar maupun kecil, yang di sebut sebagai priyayi.9 Adapun pada permulaan abad ke-20, pemerintahan Kolonial Belanda terkenal dengan sistem sentralisasinya yang ekstrim, birokrasinya yang kaku, dan otokrasinya yang mutlak. Tidak ada badan politik satu pun yang menjadi alat penyalur suara rakyat. Sejumlah pegawai Belanda ditempatkan pada unit-unit pemerintahan pada berbagai tingkatan, yaitu dari keresidenan sampai ke distrik. Mereka itu memegang jabatan penasihat merangkap pengawas dari pejabat-pejabat pribumi. 10 Suatu pemerintahan Kolonial Belanda yang berlangsung di kerajaan Banggai dan raja pada saat itu yang memimpin di kerajaan Banggai adalah raja ke XXX H.Abdurrahman, bangsa
9
Priyo Budi Santoso,1993. Birokrasi Pemerintah Orde Baru.cet.1, Penerbit Raja Grafindo Persada.H.41. Sartono Kartodirdjo, op.cit. H.43.
10
6
Belanda masuk ke wilayah kerajaan Banggai (1906), setelah melakukan perlawanan dengan rakyat kerajaan Banggai bangsa Belanda kemudian menguasai seluruh wilayah kerajaan Banggai (1908), dan pada tahun 1908 kerajaan Banggai lepas dari kesultanan Ternate dan di bawah kekuasaan bangsa Belanda, hal tersebut di tandai dengan bersedianya raja Banggai H.Abdurrahman pada tanggal 1 april 1908 menandatangani Korte Verklaring (pelakat pendek) dengan pemerintah Hindia Belanda kapten A.R. Cherissen di Banggai yang kemudian mendapat status wilayah sebagai Zelfbestuurrende lansdchappen (daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri), yang antara lain isinya, “kerajaan Banggai untuk mengakui kekuasaan Belanda terhadap dirinya dan berjanji akan menaati segenap peraturan yang akan di tetapkan oleh Belanda.” Pada tahun 1908 Hindia Belanda di pulau Sulawesi mengeluarkan Staatblad Nomor 367, yang isinya “pemerintah Kolonial Belanda mengatur pemerintahan untuk wilayah Sulawesi Tengah bagian barat, di masukkan ke dalam wilayah kekuasaan Gubernur Provinsi Celebes dan bawahannya yang berkedudukan di Makassar. Sulawesi Tengah bangian tengah, termasuk Teluk Tomini, di masukkan ke dalam wilayah kekuasaan pemerintah Residen Sulawesi Utara yang berkedudukan di Manado, dan Sulawesi Tengah bagian timur, termasuk bagian Teluk Tolo, di masukkan ke dalam wilayah kekuasaan Residen Sulawesi Timur yang berkedudukan di BauBau, dan kerajaan Banggai masuk di wilayah ini dengan status wilayah Onder Afdeling Banggai.” Pada tahun 1924 pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Staatblad Nomor 365, yang isinya daerah kekusaan Sulawesi Tengah di pusatkan pemerintahannya, yaitu masuk wilayah kekusaan Keresidenan Manado dan berkedudukan di Manado. Keresidenan Manado terbagi dua wilayah Afdeling, pertama Afdeling Donggala, berkedudukan di Donggala, dengan wilayah-
7
wilayah kekuasaan Onderafdeling Donggala, Onderafdeling Palu, dan Onderafdeling Toli-Toli, dan kedua Afdeling Poso berkedudukan di Poso, dengan wilayah-wilayah kekuasaan Onderafdeling Poso, Onderafdeling Parigi, Oderafdeling Kolonodale, dan Onderafdeling Banggai. Onderafdeling Banggai berkedudukan di luwuk, terdiri dari Landschap Luwuk berkedudukan di luwuk, dan Landschap Banggai kepulauan berkedudukan di Banggai. Kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di wilayah kerajaan Banggai dengan nama Onderafdeling, pertama di pimpin oleh kapten Vaan Beek (1911-1918) dan ke-tiga di pimpin oleh kapten J.F.H.I Goslings (1918-1933), ke-empat di pimpin oleh kapten Paulissen (19331935) dan ke-lima di pimpin oleh kapten J.J Doermeier (1935-1937) serta ke-enam kapten Wolrabbe (1937-1942) sebagai Kontroleur di Luwuk. JJ. Doermier salah satu Kontroleur yang aktif dan produktif dalam meneliti masyarakat Banggai, sehingga mendapat gelar Doktor di bidang Hukum Adat Banggai di Rijks Universitiet (Unversitas Kerajaan) di Leiden, Nederland, dengan promotornya prof. Dr.V.E.Korn.11 Selanjutnya, menurut Yamin Muhamad dalam wawancara di rumah beliau pada hari (rabu-25-april-2012, jam 4 sore) mengatakan “na lubatan bangsa Balanda do aki kai na mababa ko perubahan doi mian Banggai loluk do, tongo kai mababa ko sakisa ko mian lipu Banggai”. Artinya : kedatangan bangsa Belanda tidak membawa perubahan di masarakat Banggai, akan tetapi membawa penderitaan pada masyarakat Banggai pada saat itu karena di jajah. 4.4 Perlawanan Rakyat Banggai Terhadap Kekuasaan Kolonial Belanda a. Perlawanan Djanggo Pute, Djanggo Item, dan Gulungunsing dari Suku Loinang.
11
Haryanto Djalumang. Op.cit., H. 23-24
8
Dari beberapa suku asli di daerah Luwuk Banggai, terdapat suku Loinang, sekarang di sebut suku Saulan, yang mendiami kecamatan Bunta, Pagimana, Luwuk, Kintom, sebagian Batui dan sebagian kecil Toili. Mula-mula suku Loinang merupakan suatu kesatuan walaupun di sana-sini dialeknya agak berbeda, namun akan bahasanya sama yaitu bahasa Loinang (bahasa madi, artinya tidak) karena adanya perubahan-perubahan keadaan, sedikit banyak terjadilah perbedaan-perbedaan. Menurut Dr. J. Wanner, seorang ilmuan Jerman yang sudah di sebutkan di atas, yang pernah mengunjungi suku Loinang pada tahun 1905 dan Dr. W. Kaudem yang berkebangsaan Belanda yang pernah mengunjungi suku Loinang pada tahun 1919, suku Loinang pada garis besarnya terbagi dua. a. Sub-suku Baloa, berasal dari Baloa dan desa-desa sekitarnya seperti Doda, Tambunan, dan Duhian; b. Sub-suku Lingketeng, berasal dari Lingketeng dan desa-desa sekitarnya seperti Pinapuan, Bulakan, dan Indang. Pada mulanya sub-suku Baloa dan sub-suku Lingketeng terdapat wilayah yang sama, yaitu wilayah Pagimana. Namun, lama-kelamaan keturunan sub-suku Baloa dan sub-suku Lingketeng mulai tersebar dan mendiami berbagai wilayah seperti tersebut di atas. Pada masa lampau, di kalangan suku Loinang kadang-kadang terjadi perselisihanperselisihan antar kelompok yang bermukim di tempat-tempat yang berlainan. Penyebab utama adalah masalah pelanggaran batas-batas wilayah. Antara Lingketeng dari sub-suku Lingketeng dengan Duhian dari sub-suku
Baloa banyak yang terlibat dalam urusan perang. Penyebab
utamanya adalah perebutan pencarian damar dan rotan atau perburuan hewan anoa (sapi hutan). Adapula korban-korban berjatuhan karena alasan magis atas dasar kepercayaan Animisme.
9
Untuk keperluan suatu upacara bagi kesuburan tanaman dan kesehatan umum, di butuhkan tumbal berupa kepala manusia. Maka, di adakanlah kegiatan-kegiatan mengayau, yakni perburuan terhadap kepala manusia yang di penggal kemudian di bawa ke tempat upacara. Subsuku Baloa seperti orang-orang Duhian juga mencari korban mereka di kalangan orang-orang Wana, wilayah Ampana daerah Poso. Orang-orang Wana ini tidak mau di perlakukan semaunya saja sehingga berkali-kali datang dan melakukan pembalasan tehadap suku Loinang, khususnya terhadap sub-suku Baloa. Orang-orang Duhian telah membunuh delapan orang Wana karena orang Wana tersebut telah melanggar batas-batas pencarian damar dan rotan. Karena pada waktu itu belum ada militer di Luwuk, sebuah patroli militer Poso datang ke tempat kericuhan tersebut untuk menertibkan keadaan, tetapi tidak begitu berhasil. Maka, atas perintah kontroleur Poso, di kirimlah ekspedisi militer dengan menggunakan kapal perang “Sibega”. Mereka menyusuri wilayah Banggai sepanjang pesisir barat laut dan mendarat di Bunta. Di situ pemerintah Hindia Belanda mengangkat beberapa juru bahasa, antara lain Said Abdullah Bin Syeh Abubakar dan Abdullatif Manganco. Orang-orang di angkat menjadi kepala distrik Bunta dan Tettu. Ekspedisi ini berangkat dari Bunta menuju Lobu; di tempat itu di angkat pula juru-bahasa bernam Patuo Akase. Selanjutnya, mereka menuju Pakowa dan di Situ Panini di angkat menjadi juru bahasa. Dari Pakowa mereka melanjutkan perjalanan menuju Pagimana dan di situ mereka mengangkat Umar Dillo menjadi juru bahasa lagi. Kedatangan ekspedisi ini mendapat perlawanan setempat, tetapi dengan perantaraan kapitan Tongkonunuk bernama Lasadong, pemerintah Hindia Belanda menempuh cara diplomasi. Dengan berbagai cara dan bujukan, daka’nyo Lingketeng dapat di kuasai. Perlu di jelaskan di sini bahwa ada perbedaan istilah antara daka’nyo (yang besar) dan bosa’nyo (yang
10
besar). J.J. Dormeier dalam bukunya “Banggaische Adatrecht” (Hukum Adat Banggai), 1974, halaman 23, mengatakan bahwa daka’nyo lebih besar daripada bosa’nya. Dalam susunan pemerintahan kerajaan Banggai yang salinannya di berikan kepada penulis oleh Jogugu Zakaria Uda’a di Banggai seperti yang sudah di ceritakan di atas, terdapat empat bangsa, yaitu Bangsa Bobato, Anak Bangsa, Bangsa Sarat, dan Bangsa Sangaji, pada Bangsa Sangaji terdapat daka’nyo lebih besar di banding bosa’nyo walaupun sama-sama berarti yang besar. Selanjutnya, muncul dugaan bahwa orang-orang Lingketeng itu dapat mempengaruhi komandan militer dengan mengatakan bahwa orang-orang Duhian akan membuat perlawanan. Maka, ekspedisi militer tersebut melaksanakan operasi sampai ke Duhian, Tambunan, Baloa melalui Lingketeng. Para pemimpin seperti Djanggo Pute (Janggut Putih) dari Baloa, Djanggo item (Janggut Hitam) atau Tumai Matubu dari Doda, dan Gulungunsing dari Tambunan siap untuk mengadakan perlawanan. Tiga pimpinan itu berunding dan sepakat untuk melakukan perlawanan sampai tetes darah penghabisan. Ekspedisi militer yang beroperasi di Lengketeng yang di pimpin oleh seorang sersan yang bernama Koloet, bergerak dan bergabung dengan pasukan marsose lainnya di Salingan, tidak jauh dari Lengketeng. Dari situ pasukan yang bergabung tersebut bergerak langsung ke Bulung, tidak jauh dari Baloa. Walaupun Djanggo Pute, Djanggo Item atau Tumai Matubu; dan Gulungunsing, bersama para pengikutnya masing-masing, telah mengadakan perlawanan gigih tetapi karena kalah dalam persenjataan akhirnya Djanggo Pute, Djanggo Item atau Tumai Matubu, dan Gulungunsing bersama beberapa kawan mereka menyerah sambil membawa tonda. Tonda adalah penyerahan secara adat Loinang berupa seekor anao (sapi hutan) yang diikat lehernya dengan secarik kain putih yang menggunakan sepotong kayu yang di sebut mandapolang.
11
Mereka yang menyerah di Bulung, dekat Baloa, berjumpa dengan pasukan Belanda di Lingketeng. Sapi itu di sita, orang-orangnya di tawan sambil tangan mereka di ikat dan di bawa ke Pagimana, tetapi Djanggo item atau Tumai Matubu gugur di tepi sungai kolobias, sedangkan Djanggo Pute dan Gulungunsing mati di tembak di Monongi. Sekarang tempat itu bernama Hakop (tertangkap). Agustinus Kutondong dari Honbola menceritakan kepada penulis tahun 1984, bahwa tokoh lainnya di Baloa juga di tangkap; Sitian di bawa ke jawa karena membunuh mandorpenjara di Luwuk, sedangkan Liasa di penjara di Luwuk, namun di lepas kembali oleh pemerintah Hindia Belanda. Tokoh-tokoh di Tambunan yang juga menentang pemerintah Hindia Belanda adalah Sahabat dan Ginsa. Selanjutnya, menurut Rabdi Hilal, anak dari penulis buku “sepintas kilas sejarah Banggai’’ dalam wawancara pada hari (jumat-27-april-2012, jam 5 sore) menuturkan bahwa perlawanan rakyat Banggai pada masa penjajahan Belanda yang di kenal dengan perlawanan Djanggo Pute, Djanggo Item dan Gulungunsing adalah dari rakyat Banggai Darat (Luwuk) suku Loinang, sekarang menjadi suku Saluan Balantak, dan Banggai. Ketika ekspedisi militer pada tahun 1908 yang melakukan operasi ke Baloa melalui Lingketeng yang di ceritakan di atas, beberapa tokoh Duhian di tahan. Mereka berusaha melepaskan diri, tetapi ada pula yang gugur. Peristiwa itu menimbulkan kesan mendalam pada kelompok Duhian sehingga sebagian besar dari mereka memasuki wilayah pedalaman dan pegunungan sehingga tidak terjangkau oleh orang lain. J.J. Dormeier dalam bukunya “Banggaische Adatrecht” (Hukum Adat Banggai) 1947, halaman 184, berkata bahwa “siapapun yang berpandangan luas akan mengatakan bahwa orang-orang pegunungan yang tidak bersalah itu selama bertahun-tahun di kejar-kejar seperti binatang tanpa merasa belas kasihan.”
12
Adapun sebagian besar orang-orang Duhian yang menamakan dirinya “Kahumama’’on” nama sejenis pohon yang mereka sebut “Kahumama” yang juga mereka pergunakan sebagai sarana isyarat dan tanda tertentu, tidak terdaftar dalam sensus kependudukan pemerintah Hindia Belanda sampai tahun 1935. Nama “Kahumama’on” juga sama dengan nama kelompok orang Simpang, wilayah Bunta, yang di sebut Kahumama’on juga. Penahanan dan kematian beberapa pemimpin orang-orang Duhian itu di gubah dalam bentuk syair pujaan yang indah di lihat dari segi sastra Indonesia, judulnya “Koloi Talenga” (Kidung untuk para pemimpin). Syair itu bercerita tentang raptan kematian yang tragis dari beberapa Talega mereka. Syair yang di gubah oleh seorang Duhian bernama Ligis, menumpahkan rasa benci dan marah, dan mengatakan bahwa orang Duhian sebagai penduduk asli Baloa. Laginda adalah seseorang yang tidak baik kelakuannya. Laginda dan beberapa kawannya sering merampas ternak-ternak dan selalu membuat keributan, kericuhan, dan keonaran. Oleh karena itu, di kirimkan sepasukan militer untuk menertibkan keadaan yang kacau tersebut dan Laginda harus di tangkap dan di hukum. Demikian keterangan-keterangan yang di sampaikan kepada penulis tidak, yang tentu saja penulis tidak dapat berkomentar banyak karena ada juga yang berpendapat bahwa Laginda adalah seorang pejuang dan pemberani melawan kekuasaan penjajah. Perlawanan Laginda melawan penjajahan Belanda tersebut terjadi sekitar tahun 19051911. Pada masa perlawanan ini, kendali kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda dipegang oleh Kapten A.R. Cherissen yang bertugas di daerah Luwuk Banggai pada tahun 1907-1911. Dalam melakukan perlawanan itu, tokoh-tokoh lain yang turut membantu Laginda antara lain Salawan, Banaan,dan Aiyo. Mereka mendirikan kubu-kubu pertahanan di sekitar pengunungan Sobol. Selain kubu pertahan itu, Laginda juga memusatkan pertahanan di Batubiring, distrik Balantak.
13
Di sini Laginda dibantu oleh Nasu dengan anak buah sejumlah 80 orang dan Daud dengan anak buah sejumlah 6 orang. Sementara itu, Laginda sendiri mempunyai anak buah sejumlah 20 orang, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Pada waktu itu kekuatan militir terdiri dari tiga unit pasukan masing-masing dipimpin oleh Sersan Van Brey, Sersan Manindola, dan sersan Tumewu. Pada tahun 1910 terjadi kontak senjata dengan pasukan militer karena Laginda dan para pengikutnya menghadang pasukan militer. Sebagai hasil penghadangan tersebut, Laginda dapat merebut beberapa pucuk senapan dari anggota-anggota militer yang terbunuh. Di antara pasukan militer yang tewas dalam suatu pertempuran, terdapat Sersan Tumewu yang di kuburkan di Dondo, distrik Balantak. Di Dondo pulalah kakek perempuan Laginda dijadikan semacam tawanan atau sandera oleh pasukan militer supaya Laginda mau menyerah. Pada suatu malam dengan diam-diam Laginda menyusuf ke perkemahan pasukan militer dan berhasil mengeluarkan kakak perempuannya, tetapi seorang pengikut Laginda tewas di tembak oleh pasukan militer. Pada tahun 1911, Laginda dan para pengikutnya bertempur lagi melawan pasukan militer. Walaupun Laginda melawan dengan gigih, tetapi karena pasukan militer selalu mendapatkan bantuan, lagi pula persenjataan Laginda berupa tombak, parang dan golok tidak seimbang dengan persenjataan pasukan militer berupa senapan dan pistol, maka Laginda dengan para pengikutnya terdesak. Mereka dikejar-kejar oleh pasukan militer dari gunung ke gunung. Akhirnya Laginda termasuk kakak laki-laki Laginda, yaitu danang, dengan beberapa pengikut. Laginda, tertangkap lalu di penjarakan di Luwuk. Akan tetapi, hanya beberapa tahun kemudian, Laginda dapat meloloskan diri dari penjara, lalu lari menyebrangi Selat Peling sampai tiba di pulau Banggai. Di situ Laginda bertemu dengan seseorang bernama Lasopawuno, yang kemudian diangkatnya menjadi pemimpin para pengikutnya yang mengadakan perlawanan di Banggai
14
Kepulauan. Namun, dengan tipu muslihat yang licik serta berkhianat oleh bangsa sendiri, akhirnya Laginda tertangkap lagi Bolong. Pegununggan Abason, distrik Totikum, serta di tangkap, Sersan Paimin memotong tangan kanan Laginda dengan menggunakan pedang. Setelah itu, Laginda dibawah ke Balantak, kemudian diarak untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai, dengan maksud untuk dijadikan contoh oleh pemeritah Hindia Belanda bagi siapa saja yang berani menentangnya. Setelah diarak, Laginda dibawa ke Luwuk untuk di rawat di Rumah Sakit Luwuk. Setelah sembuh, Laginda dijebloskan lagi ke penjara Luwuk. Namun tak lama kemudian, Laginda berhasil kembali meloloskan diri, dan akhirnya menghilang, masuk kedalam hutan untuk selama-lamanya. Kapan Laginda meninggal dunia dan di mana letak kuburannya, tak seorang pun yang mengetahuinya. Walaupun Laginda telah tertangkap tahun 1911, namun para pengikut Laginda tetap melancarkan perlawanan terhadap pasukan militer. Kubu pertahanan pengikut Laginda lainnya berada di distrik Masama, sebelah timur distrik Lamala pada masa pemerintahan Posano ke-16. Masama yaitu Appono Managkari (bertugas dari tahun1906-1915), khususnya di mana akhir-akhir jabatannya, banyak mengalami tantangan. Terdapat pengikut-pengikut Laginda antara lain Tambong, Nundo, Banaan, Basatu, dan kawan-kawannya yang tidak mau tunduk kepada pemerintahan Hindia Belanda. Oleh karena itu, mereka mengadakan kekacauan-kekacauan, bahkan berkali-kali menyergap pasukan militer.12 Akan tetapi, seorang anak buah Tambong yang menjadi mata-mata Tambong berkhianat, lalu menyerah kepada pemerintahan Hindia Belanda, yang pada waktu itu dipimpin oleh Kapten Van Beek. Anak buah Tambong yang berkhianat itu bersedia menunjukkan tempat persembunyian Tambong, Nundo, Banaan, Basatu, dan kawan-kawannya asal dia dibebaskan
12
H.S. Padeatu. Op.cit. H 69-79.
15
dari hukuman dan kerja paksa (Rodi). Penyergapan terhadap Tambong dilakukan, tetapi Tambong, Nundo, Banaan, dan beberapa teman lainnya lolos dari kepungan pasukan militer. Dalam penyergapan ini seorang putra dan istri Tambong tertawan. Pemerintahan Hindia Belanda mengancam bahwa apabila Tambong tidak menyerah, putra dan dan istri Tambong akan dibunuh. Oleh karena itu, mau tak mau Tambong akhirnya menyerah. Setelah jelas bahwa Tambong dan kawan-kawannya selalu mengadakan kekacauan-kekacauan di distrik Lamala, sementara persembunyian di distrik Masama, maka mereka yang bersedih bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda menuduh bahwa Basano Appono Manangkari bersekutu dan melindungi Tambong dan kawan-kawan yang anti pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, unsur-unsur pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di distrik Lamala mengirim utusan ke Makasar untuk membawa usul agar Basano Appono Manangkari diberhentikan sebagai sangaji dan distrik Masama dihapuskan, dan digabungkan dengan distrik Lamala. 13 Selanjutnya, para pengikut Laginda lainnya sering kali mendahului menyergap pasukan militer. Akibatnya, terjadilah pertempuran di beberapa tempat, antara lain di Binotik. Serangan pasukan militer berhasil membuat para pengikut Laginda terpencar-pencar. Sebagian besar menuju Lonas, dekat Boras, distrik Lamala
dan sebagian kecil menyusuri kaki gunung
Tompotika. Sebagian kecil itulah yang kemudian menetap di bukit Lantibung (nama yang sama dengan desa Lantibung, kecamatan Labobo Bangkurung) wilahyah Kecamatan Luwuk, terletak antara Hundohon dan Kamumu. Pengikut Laginda yang berada di Lantibung menetap selama 3 tahun sebelum akhirnya ditemukan oleh Kapitan Basa yang berkedudukan di Hundohon. Akhirnya, mereka ini kemudian di mukimkan di suatu tempat yang bernama Boyou (nama yang sama dengan desa Boyou, antara Luwuk-Biak), dekat Hunduhon, Kecamatan Luwuk.14
13 14
H.S. Padeatu. Op.cit. H. 79-80 H.S. Padeatu. Op.cit. H.69-81
16
4.5 Peralihan Birokrasi Tradisional ke Kolonial Belanda Kedatangan orang-orang Eropa di Indonesia pada abad ke-16, mengakibatkan perubahan sosial budaya yang terjadi di Sebagian besar wilayah Indonesia. Yang sebagian masyarakatnya masih menganut sistem dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem birokrasi tradisional kerajaan. Setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Indonesia khususnya bangsa Belanda, dari sinilah sistem masyarakat Indonesia berubah menjadi suatu sistem yang dulunya bersifat Tradisional beralih ke Kolonial Belanda yang semuanya itu berpengaruh pada sistem pemerintahan dan adat istiadat serta kepercayaan bangsa Indonesia. 1. Birokrasi Masa Kerajaan Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad 16 menganut sistem dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. a. Raja adalah pucuk pimpinan. b. Pemegang kekuasaan absolute/tunggal. c. Segala keputusan ada di raja, rakyat harus tunduk dan patuh. Birokrasi kerajaan pada masa dulu bercirikan sebagai berikut : a. Penguasa menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi b. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya. c. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang rajad. d. Gaji dari para pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak sang raja.
17
e. Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti hal nya yang dilakukan oleh raja. Birokrat dalam kerajaan (Indonesia), di dalam pemerintahan atau pusat (keraton). 1. Urusan pemerintahan diserahkan kepada 4 pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan kepada setingkat menteri koordinator (pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut membawahi masing-masing pegawai (abdi dalem) yakni orang yang mencurahkan pengabdianya kepada raja. 2. Untuk urusan di luar keraton (Mancanegara), raja menunjuk Bupati. Bupati adalah raja – raja daerah sekitar yang telah ditaklukan oleh raja, dapat juga kerabat raja ataupun pemuka masyarakat daerah tersebut. Untuk menjaga dari pengkhianatan, biasanya Raja memberikan hukuman mati, bisa juga mengikat persaudaraan dengan pernikahan, serta nyantrik (diajak masuk ke lingkungan kraton selama beberapa hari). Dan secara konsisten menghadap selama 3 kali dalam setahun pada Grebeg Mulud, Grebeg Syawal, Grebeg Besar disertai membawa Upeti. Beberapa Kementrian yang ada di Kerajaan/Kanayakan (Indonesia), yang merupakan dewan menteri (Nayaka) dan diketuai oleh Perdana Menteri (Pepatih Dalem). Dalam tiap kementrian terdapat fungsi rangkap yakni Militer, sehingga dalam keadaan yang diperlukan semua kementrian dapat berperang membela Kerajaanya, adapun kementriannya sebagai berikut : 1. Kementrian yang mengurusi yayasan dan pekerjaan umum (Kanayan Keparak Kiwo dan Kanayakan Keparak Tengen). 2. Kementrian yang mengurusi penghasilan dan keuangan kraton/ Kemenkeu (Kanayakan Gedhong Kiwo dan Kanayakan Gedhong Tengen).
18
3. Kementrian Dalam Negeri/ yang mengurusi masalah tanah dan pemerintahan (Praja) yakni (Kanayakan Siti Sewu dan Kanayakan Bumi Ijo) 4. Kementrian Pertahanan ( Kanayakan Panumping dan kanayakan Numbakanyar) Adapun selanjutnya dalam sistem peralihan birokrasi tradisional pemerintahan yang ada di kerajaan Banggai merupakan unsur yang tidak terlepas dari budaya atau suatu perjanjian di mana pemerintahan kerajaan Banggai menandatangani perjanjian penyerahan kekuasaan ke pemerintahan Hindia Belanda, adapun isinya perjanjian tersebut ialah sebagai berikut : Korte Verklaring atau perjanjian pendek tersebut adalah : kerja sama ekonomi dan pemerintahna selama 35 tahun. Setelah itu akan di perpanjang lagi. Di semping itu jabatan “raja dan komisi empat” yaitu : jogugu – mayor – ngofa – hokum tua dan kapitan laut di syahkan dan dengan di angkat besluit maka perjanjian penyerahan kekuasan itu telah selesai. Sedangkan dewan kerajaan atau Basolo Sangkap, tidak hadir. Dengan di tanda tanganinya Korte Verkaring pada tanggal 14 – 07 – 1908 maka secara resmi Belanda mulai bercokol di daerah kerajaan Banggai, apalagi surat yang di bawa oleh ekspedisi Belanda dari sultan Ternate adalah surat penyerahan bahwa kerajaan Banggai di serahkan kepada Belanda.15 Menurut tokoh adat Banggai Musahar Yasano pada saat wawancara di rumah beliau pada hari (selasa-24-april-2012, jam 8 malam) mengatakan bahwa peralihan kekuasaan dari kerajaan Banggai ke Kolonial Belanda itu tidak ada, artinya pemerintahan kerajaan Banggai itu berjalan dengan sendirinya tampa ada yang mengawasinya, nanti pada tahun 1908 dengan di tandatangani perjanjian pendek dengan pemerintahan Belanda di atas kapal “Kons Tantein” barulah bangsa Belanda mulai berkuasa penuh di kerajaan Banggai, dan membagi-bagi daerah-daerah bagian yang terdapat di kerajaan Banggai. 2. Birokrasi Masa Kolonial 15
Machmud Hk. Op.cit. H. 45.
19
Kolonial Belanda tidak serta merta dalam membentuk Birokrasi di Indonesia, selaku daerah jajahan. Mereka melakukan pendekatan kepada raja – raja sekitar, dengan maksud mereka untuk menumpang supaya masyarakat juga menghormati keberadaan kolonial tersebut. Pada dasarnya pendekatan itu bermaksud untuk menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Kemudian dalam perkembanganya, birokrasi di masa itu terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Yang pertama Sistem Administrasi Kolonial (Binnenlandsche Bestuur) dan Sistem Administrasi Tradisional/ Kerajaan (Inhemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan Belanda. Birokrasi Kolonial Belanda pada Puncaknya pada Raja Belanda, sedangkan yang menjalankan pemerintahan di daerah jajahan kewenanganya pada Gubernur Jenderal. Sultan tetap berperan hanya dalam menentukan kebijakan – kebijakan yang berkaitan dengan adat istiadat urusan pemerintahan keraton , yang masih sarat dengan adat istiadat. Sedangkan keuanganya berasal dari Pemerintah Kolonial atas dasar kontrk politik manakala seorang sultan tersebut dinobatkan menjadi raja. Adapun pelayanan yang diselengarakan oleh Birokrasi kolonial meliputi : Pembangunan Jalan dan jembatan, air minum, rumah sakit, pendidikan transportasi, dan pertahanan. Pembangunan fisik difokuskan dalam menjamin akses bagi pemerintah kolonial dalam mengambil kekayaan alam daerah jajahan. Sedangkan pelayanan kesehatan dan pendidikan hanya diperuntukan oleh pemerintah kolonial dan keluarga serta para priyayi – priyayi/ bangsawan. Jadi pelayanan ini bersifat Private buka Publik. Jadi, kesimpulan dari Birokrasi pada masa kolonial adalah, aparat birokrasinya cenderung memposisikan dirinya sebagai penguasa yang harus dilayani, bukannya melayani sehingga
20
kinerja pelayanan yang diberikan sangat tidak Public Accountable dan jauh dari kepentingan publik. Hal inilah yang menjadikan cikal bakal dari Patologi Birokrasi, yang berupa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kalau dulu memberi upeti sekarang memberi uang rokok/pelicin dalam pelaksanaan pelayan dalam birokrasi agar menjadi patron yang menguntungkan dalam mengakses kemudahan pelayanan birokrasi atau untuk memperoleh hak istimewa lainnya dalam berurusan dengan Birokrasi Pemerintah. 16 Dari kedua pembahasan tersebut diatas mengenai peralihan Birokrasi trdisional ke Kolonial Belanda yang terjadi di Indonesia khususnya di daerah Banggai pada Masa lalu. Ritus peralihan yang di maksud adalah mereka diresmikan ke dalam tahap kehidupannya serta lingkunngan sosialnya yang baru. Juga dalam bagian ketiga ini, seperti banyak upacara lingkaran hidup; dalam upacara inisiasi sering ada acara dimana individu yang bersangkutan secara pralambang seakan-akan di lahirkan kembali, dan mengukuhkan integrasinya ke dalam lingkungan sosial yang baru. 17 Dengan demikian peralihan kekuasaan di kerajaan Banggai itu terjadi sampai pada titik terangnya, dan masuknya bangsa Jepang dan mulailah terjadi penguasaan kembali atau penjajahan di tanah Banggai, sampai berakhinya penjajahan Jepang dan sampai merdeka bangsa Indonesia kerajaan Banggai pun masi bersifat kerajaan sampai pada tahun 1957 pada masa pemerintahan raja H.S.A. Amir.
16
Satria Kurniawan, Konteks Sejarah Birokrasi di Indonesia,. Data diunduh tanggal 26 oktober 2011,05:44. http://www.Kompasiana.com. 17 Koentjaraningrat,1993. Ritus Peralihan Di Indonesia. Jakarta, Penerbit Balai Pustaka. H. 33.
21