“NIGEM” PADA MASA KOLONIAL BELANDA DI GORONTALO ABAD
XX **Sabahrudin Laode Mago , Trisnowaty Tuahumse2, Surya Kobi3 Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo** 1
ABSTRAK Sabahrudin Laode Mago, 2014, “ NIGEM Pada Masa Kolonial Belanda di Gorontalo Abad XX “. Adapun permasalahan yang disajikan dalam penelitian ini adalah bagaimana latar historis munculnya ide atau gagasan adanya NIGEM di Gorontalo oleh colonial Belanda dan realisasi NIGEM yang menbantu colonial Belanda selama ia melakukan penjajahan di bumi Gorontalo. selain itu dibahas juga latar historis yang menjadikan NIGEM sebagai perusahaan milik Negara Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian sejarah NIGEM (perusahaan listrik) di Gorontalo sejak hadirnya listrik di Gorontalo pada masa kolonial Belanda Hingga tahun 1945. Memang kita semua menyadari akan kemajuan keteknologi saat ini khususnya di Gorontalo yang membuat listrik semakin menjamur dimasyarakat sebab benda ini sangat dibutuhkan oleh manusia. Namun Dimasa sekarang ini kurang mendapat perhatian bahkan peninggalan-peninggalan Belanda (benda-benda sejarah) telah beralih fungsi, yang lebih memprihatinkan bangunan-bangunan yang tidak terawat bahkan mulai hancur seiring dengan pertambahan waktu, dimasa mendatang kondisi seperti ini perlu mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak terutama pemerintah dimana bangunan garpu induk listrik sekarang ini telah dijadikan sebagai lapangan indoor bulutangkis. Seharusnya bagaimanapun primitifnya bangunan dan listrik pada waktu itu merupakan nenek moyangnya keberadaan listrik di Gorontalo. Apalagi saat ini terjadinya krisis dibidang energi hal ini perlu mendapat perhatian dalam melihat peluang dan tantangan perlistrikkan di Gorontalo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang historis NIGEM di Gorontalo dan bagaimana perkembangannya hingga tahun 1945. Dalam penelitian ini menggunakan metodologi sejarah, metodologi sejarah termuat juga metode. Inti pokok metode sejarah meliputi heuristic, kriktik sumber, interprestasi dan historiografi. Penelitian ini mudah-mudahan akan memperkaya ilmu pengetahuan yang lebih khususnya ilmu sejarah dari unit sejarah kecil keunit sejarah yang lebih luas. Kata Kunci : NIGEM PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kolonialisasi oleh bangsa Belanda di tanah air Indonesia telah meninggalkan banyak hal khususnya di Gorontalo yaitu khususnya perusahaan NIGEM4 (Perusahaan Listrik). Namun pada sisi yuridis Nasional kelistrikkan ada sejak dikeluarkannya 1
Sabahrudin Laode Mago, Mahasiswa Jurusan Sejarah angkatan 2010 Trisnowaty Tuahumse Pembimbing Satu 3 Surya Kobi Pembimbing Dua 2
4
NIGEM (Netherland Indische Gas en Electreceteit Maatschappiji) nama perusahaan listrik pada masa kolonial Belanda
penetapan pemerintah No. 1 SD/1945 tanggal 27 Oktober 1945. Isi penetapan ini meyebutkan bahwa Jawatan Listrik dan Gas secara resmi dimasukan kedalam jajaran Departemen Perkerjaan Umum. Dan sebagai pimpinan pertama adalah Ir. Soedooro Mangoesoemo.5 Maka setiap tanggal 27 Oktober diperingati sebagai hari jadinya Listrik dan Gas di Indonesia. Listrik berkonotasi dengan kata terang, cahaya atau sinar. Dalam kamus bahasa Indonesia karangan W.J.S Poerwardaninta yang diolah oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,penerbit PN. Balai Pustaka, disebutkan bahwa kata “listrik” berarti daya atau kekuatan. Antara lain ditimbulkan karena adanya pergeseran atau dapat terjadi kerena pergesearan bahanbahan kimia dari keterangan ini dapat kita simpulkan bahwa terang dapat juga terwujud disebabkan proses kimia. Melalui proses kimia tersebut muncul sebutan listrik.6 Perkembangan ketenaagalistrikan di Indonesia berlangsung dengan pesat sekali namun hal ini tentu mengalami suatu periode yang panjang mulai dari penemuannya di dataran Benua Eropa yang ditemukan oleh Mihical Faraday yang berkebangsaan Prancis. Pada perkembangan selanjutnya tenaga listrik dikembangkan dalam wahana komersial yang berawal pada tahun 1882 ini mulai beroperasi pada bulan Januari pertama di London Ibu Kota Negara Inggris, yang disusul pada bulan September tahun yang sama di New York City yang merupakan salah satu Kota di Negara Amerika Serikat. Kedua kota ini mengunakan arus searah tegangan rendah. Pengunaan arus searah tegangan rendah tentu tidak akan memadai untuk pengunaan listrik untuk kota yang besar. Sehingga dicari sistem yang memenuhi, system ini dibuka dengan adanya penemuan arus bolak – balik yang dikembangkan oleh Lucien Gaulard yang berkebangsaan Prancis dan John Gibbs yang berkebangsaan Inggris mereka mendapatkan hak paten untuk penemuan mereka. Paten ini dibeli oleh George Westinghouse seorang pengusaha pada tahun 1885.7 Listrik merupakan sarana yang ditinggalkan oleh Belanda yang mendukung aktivitas mereka selama di Indonesia khususnya di Gorontalo, keberadaan listrik di Gorontalo yang pada masa pemerintahan kolonial Belanda berpusat di Sulawasi Utara. Surat izin pengoperasian yang dikeluarkan oleh pihak NV. NIGM juga sampai ke wilayah di luar Jawa. Misalnya untuk wilayah Palembang diperkirakan mulai ada sebelum tahun 1920 sedangkan untuk wilayah kota Medan, Tangjung Karang, Ujung Pandang, Manado dan lain-lain itu terjadi setelah tahun 1920.8 Jadi keberadaan listrik di Gorontalo terjadi setelah tahun 1920. Di masa sekarang ini kurang mendapat perhatian bahkan peningalan-peningalan Belanda (benba-benda sejarah) telah beralih fungsi, yang lebih menprihatinkan bangunan-bangunan yang tidak terrawat lagi bahkan mulai hancur seiring dengan pertambahan waktu, di masa mendatang kondisi seperti ini perlu mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak terutama pemerintah dimana bangunan gardu induk listrik sekarang ini telah dijadikan sebagai lapangan indoor bulutangkis. Seharusnya bagaimanapun primiitifnya bangunan dan listrik pada waktu itu merupakan nenek moyangnya keberadaan listrik di Gorontalo. Berdasarkan uraian di 5
Ayatrohaedi dan Tim Peyusun , Kumpulan Buklet Hari Bersejarah II Jakarta. Proyek Inventarisme dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1994 hlm 123 6
Ibid hlm 121 Kadir Abdul, Penbangkit Tenaga Listrik (Jakarta :UI-PRESS, 1996) hlm v 8 Ibid, hlm 125 7
atas maka dianggap perlu untuk melakukan penelitian dengan formulasi judul “NIGEM Pada Masa Kolonial Belanda di Gorontalo Abad XX”. Penelitian ini akan mencoba meneksplanasikan tentang perlistrikan di Gorontalo dalam periode antara tahun 1922 sampai dengan 1945. Batas temporal ini berawal dari awal masuknya listrik di Gorontalo hingga perusahaan listrik ini menjadi milik Negara. Penelitian ini bertujuan menbahas tentang NIGEM pada masa kolonial Belanda, untuk memfokuskan permasalahan dalam Skripsi ini akan dijawab tiga permasalahan utama sebagai berikut : 1. Bagaimana awal penbangunan NIGEM oleh kolonial Belanda dan apakah mengikutsertakan masyarakat dalan penbangunan NIGEM di Gorontalo ? 2. Bagaimana perkembangannya pada masa kolonial Belanda? 3. Hal-hal apa yang menyebabkan terjadinya proses nasionalisasi perusahaan NIGEM menjadi milik Negara Indonesia? Ruang Lingkup Kajian Penentuan ruang lingkup kajian dalam penelitian sejarah haruslah didasarkan pada berbagai pertimbangan diantaranya pertimbagan praktis dan suatu kewajaran mengunakan pertimbangan metodologis sejarah. Dimana pertimbngan praktis, antara lain ketersediaan sumber yang memungkingkan untuk dikaji, pertimbangan yang tak bisa dihindari para peneliti sejarah yaitu pertimbangan secara metodologis agar lebih bisa dipertanggungjawabkan karena berkaitan dengan hal kajian tentang “ NIGEM Pada Masa Kolonial Belanda pada abad XX di Gorontalo” dalam Skripsi ini akan mengunakan penbatasan ruang linkup diataranya penbatasan ruang lingkup spasial, ruang lingku temporal, dan ruang lingkup keilmuan.9 1. Ruang Lingkup Spasial Ruang lingkup spasial pada skripsi ini adalah wilayah Gorontalo. hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa NIGEM terdapat di Gorontalo tepatnya Gardunya terletak dijalan Wolter Monginsidi, kelurahan tenda RT VII/RW III Kecamatan Holontalangi. Gardu yang terletak dijalan Wolter Monginsidi ini telah digunakan sebagai pemasok daya listrik untuk menerangi Kota Gorontalo. Gardu NIGEM ini merupakan awal keberadaan penbangunan Listrik di Gorontalo. 2. Ruang Lingkup Temporal Ruang lingkup temporal kajian penelitian ini adalah antara tahun 1922 hingga tahun 1945. Tahun 1922 dipilih sebagai awal penulisan, karena pada tahun ini awal dibangunnya perusahaan NIGEM oleh kolonial Belanda untuk daerah diluar jawa atau Indonesia Timur khususnya di daerah Gorontalo. „Sementara itu tahun 1945 dipilih sebagai batas akhir kajian dalam penelitian ini, karena pada tahun 1945 adalah tahun diproklamirkan kemerdekaan Negara Indonesia dan dua bulan kemudian adanya usaha proses nasionalisasi segala perusahaan dan kepemilikan negara asing menjadi milik negara Indonesia khususnya perusahaan NIGEM ditetapkan pada tanggal 27 Oktober 1945, pada saat itu telah dikelolah oleh pemerintahan negara Indonesia dan dimasukkan kedalam jajaran Departemen Pekerjaan Umum dan sebagai pimpinan pertamanya yaitu 9
Taufik Abdullah, Sejarah Lokal Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996), hlm.10.
Ir. Soedooro Mangoesoemo.10 Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan keberadaan NIGEM di Gorontalo atau mengalami perubahan dalam segi pemanfaatan ini akan memberikan pengaruh terhadap tujuan diadakannya peruhahaan NIGEM oleh kolonial Belanda terhadap masyarakat di Gorontalo. Walaupun kajian ini dibatasi oleh lingkup temporal yang telah ditetapkan di atas namun penbahasan bisa saja akan menyentil peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar batas temporal itu. Ini menjadi jelas bahwa setiap kejadian menpunyai keterkaitan dalam kondisi waktu yang lampau yang terjalin dengan masa depan.11 3. Ruang Lingkup Keilmuan Skripsi ini dapat dimasukkan kedalam kategori sejarah institusi. Permasalahan Sejarah institusional yang dapat dikaji sebenamya sangat luas, sehingga kadang-kadang muncul kebingungan mengenai apa saja yang termasuk atau yang tidak termasuk dalam sejarah institusi. Dalam perpestik lain sejarah institusi dapat dimasukkan ke dalam sejarah lokal, tetapi disisi lain dapat dimasukkan juga kedalam sejarah lainnya, seperti sejarah ekonomi, sejarah sosiologi, sejarah politik atau sejarah kolonial.12 Penulis berpendapat bahwa skripsi ini termasuk dalam kajian sejarah institusi dan sekaligus sejarah lokal. Klasifikasi sebagai sejarah institusi dalam skripsi ini didasarkan pada penbahasan yang difokuskan pada institusi NIGEM yang didirikan oleh colonial Belanda di daerah jajahannya yang mulai dinasionalisasi pada masa pemerintahan Presiden Repulib Indonesia yang pertama Soekamo hingga saat ini. Sementara itu sebagai sejarah lokal skripsi ini berisi kisah di kelampauan masyarakat yang berada pada lingkup geografis terbatas.13 Perusahaan NIGEM yang dikaji dalam skripsi ini, pada dasamya merupakan salah satu peningalan kolonial Belanda di Indonesia khususnya di Gorontalo, pada dasamya perusahan listrik pertama di Gorontalo yang pada masa colonial Belanda memiliki peran yang sangat penting, namun hal ini berubah menjadi mililk Negara Indonesia diawal kemerdekaannya hingga sekarang. Hal ini terbukti dengan masuknya listrik dalam daftar Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuan Dan Manfaat Penelitian Perusahaan NIGEM di Gorontalo merupakan fenomena yang terjadi di tingkat lokal dan menarik untuk dikaji, sebagaimana Sugeng Priyadi mengemukakan bahwa sejarah lokal adalah sebagai unit historis kecil, yang seharusnya dari sanalah penulisan sejarah bangsa ini dimulai. Lokal memiliki jiwa dan semangat nasionalisme lokal karena penduduk Indonesia sebagian besar mengisi ruang di luar kota metropolitan Jakarta. Selama ini, penulisan penulisan sejarah dimulai dari Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Hal ini meyebabkan terbunuhnya nasionalisme lokal secara perlahan-lahan. Sekarang identiitas dan solidaritas lokal menjadi tidak jelas seiring dengan banyaknya data yang tidak lolos selekksi alam. Persoalan-persoalan yang menyangkut penulisan sejarah lokal menjadi lebih sulit karena munculnya masalah-masalah waktu. Para sejarawan lokal berpacu dengan umur para pelaku sejarah dan penyaksi apabila akan menulis dengan sumber sejarah lisan. Banyak dari pelaku dan penyaksi telah keburu masuk liang lahat sehingga penulisan sejarah lokal hanya bertumpu kepada dokumen. 10
Ayatrohaedi dan Tim Peyusun., op.cit., Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 97. 12 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 53-56. 13 Abdullah, op. cit., hlm. 15. 11
Sementara dokumen di tingkat lokal lebih banyak yang jarang meninggalkan dokumen seiring tidak biasanya orang-orang umum meyimpannya, kecuali beberapa orang saja yang tergolong orang pandai di lokal yang akan menyimpang dokumen tersebut.14 Masyarakat lokal seyogiannya memiliki identitas dan solidariitas yang khas sehingga penulisan sejarah lokal akan mengambarkan spirit lokal. Kalau pun penulisan sejarah lokal tidak menjadi fokus, paling tidak penulisan sejarah lokal ditulis serempak dengan unit historis yang lebih besar, yakni SNI. Sejarawan lokal adalah mitra sejarawan Nasional sepanjang waktu. SNI yang selama ini diprioritaskan untuk ditulis terlebih dahulu telah menunjukkan bahwa sejarah lokal menjadi unik historis yang agak ditelantarkan antara hidup dan mati. Akibabnya, SNI sendiri mengalami kemacetan dan kemandekan. Mulai sekarang sejarawan Indonesia mestinya menggarap sejarah lokal dan SNI bersama-sama agar historiografi Indonesia menjadi semarak, seperti taman yang ditumbuhi bunga-bunga yang berwama-wami dan harum.15 Selain itu juga penelitian ini ditujukan kepada para pembaca khususnya para penerhati sejarah dan yang ingin lebih banyak tahu mengenai hal-hal yang menyangkut listrik dan sejarahnya. Dan sebagai sumber informasi yang mudah-mudahan dapat menberi tafsiran baru atas sejarah yang selama ini tidak tertulis. Sejarah Nasional Indonesia lebih di prioritaskan untuk ditulis terlebih dahulu hal ini menunjukkan bahwa sejarah lokal menjadi unit history yang agak diterlantarkan antara hidup dan mati, serta memberikan wawasan Nasionalisme akan pentingnya sejarah bangsa dalam merebut perusahaan listrik menjadi perusaahaan milik Negara kerena mempelajari sejarah bukan saja diperuntukkan bagi mereka yang mendalami ilmu sejarah. Melainkan “ sebagaimana yang dituliskan pada buku Sejarah : Pemikiran, Rekonstruksi,Persepsi, sejarah yang ada dihadapan anda, bukan saja diperuntukkkan bagi mereka yang mendalami masalah sejarah, melainkan juga bagi para mahasiswa, peminat, dan pengamat masalah-masalah sejarah”.16 Tujuan lain dari penulisan ini, lahir dari sebuah keprihatinan terhadap kehidupan sosial masyarakat yang mengangap sejarah hanya tulisan cerita yang hanya indah untuk dikenang tidak dijadikan sebagai pelajaran untuk merancang hari esok yang lebih baik. Sebagai mana yang disampaikan oleh Bambang Purwanto dalam karyanya Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta : Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia, bahwa sejarah ibaratnya hanya untuk menhormati masa lalu yang telah lewat sebagai hiasan yang indah untuk dinikmati dan dipamerkan, bukan masa lalu sebagai pelajaran atau warisan intektual untuk memahami kekinian dan merancang masa depan yang lebih baik. Kalaupun sejarah memiliki relevansi kekinian, sejarah tidak dipahami sebagai ilmu dan pengetahuan. Sejarah lebih dipahami secara normatif, sebagai alat penbenaran kekinian berdasarkan kebesaran yang interpretatif dan dianggap pemah ada pada masa lalu, walaupun kenyataan historisnya berbeda.17
14
Sugeng Priyadi, Sejarah Lokal Konsep,Metode dan Tantangannya (Yogyakarta : Ombak, 2012)
hlm xii 15
Ibid, hlm xiii 16 Media Komunikasi Profesi Masyarakat Sejarawan Indonesia, SEJARAH : Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi (Jakarta : MSI berkerja sama dengan Arsip Nasional Republik Indonesia,1999 ) hlm. Sampul. 17 Bambang Purwanto., Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia, Dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Ed. Henk Schulte, Bambang
Kerangka Teoretis Dan Pendekatan Pada hakikatnya sejarah sesungguhnya hanya melihat dua hal yakni sejarah sebagai tulisan (history asa written) dan sejarah sebagai kejadian (history as actualty).18 Adapun studi sejarah yang akan disampaikan dalam penulisan ini masuk dalam kategori sejarah lokal dan sejarah institusi. Sugeng Priyadi mengemukakan bahwa secara prinsipil, semua peristiwa yang tertulis dalam sejarah nasional Indonesia adalah peristiwa lokal. Realitas itu, tidak dapat terbantahkan karena setiap lokalitas menjadi ajang peristiwa sejarah. Kemudian ada proses klasifikasi terhadap peristiwa-peristiwa sehingga ada yang menganggap bahwa peristiwa tertentu hanyalah peristiwa lokal saja sedangkan yang lain dinilai menpunyai kadar sebagai peristiwa nasional. Namun, sesungguhnya semua peristiwa bisa di pandang sebagai peristiwa yang bertaraf nasional. Hal itu tergantung dari sudut pandang orang yang melakukan penilaian. Penilaian tersebut jelas subjektif karena didasarkan pada pendapat-pendapat individual. Setiap individu menpunyai dasar sendiri-sendiri.19 Yang selanjutnya bagaimana generasi memaknai konsep penbangunan suatu bangsa karena suatu kejadian yang unik dalam sejarah Indonesia oleh karena mencakup momen-momen yang amat menentukan nasib bangsa ini di masa yang akan datang. Seperti sejarah pergerakkan nasional perjuangan masa pendudukan Jepang, masa Revolusi dan periode pasca Revolusi. Konsep nasionalisme sebagai kontra-ideologi dan kolonialisme yang berfungsi sebagai teologi pergerakan untuk pebentukkan kultur politik yang manpu mengadakan peyesuaian terhadap konstalasi dunia serta memantapkan integrasi bangsa ini dari berbagai unsur sehingga pluralitas berkembang sebagai homogenitas politik.20 Untuk mengunkapkan keadaan perusahaan pemerintah maka perlu melihat, keadaan penyediaan barang public yang dibutukan oleh masyarakat, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Guritno Mangkoesaoebroto bahwa beberapa jenis barang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetapi tidak seorangpun yang bersedia menhasilkannya atau mungking dihasilkan oleh pihak swasta akan tetapi dalam jumlah yang terbatas, misalnya pertahanan, peradilan, dan sebagainya. Jenis barang tersebut dinamakan barang public mumi yang menpunyai dua krakteristik utama, yaitu pengunaannya tidak bersaing (non rivaklry) dan tidak dapat diterapkan pripsip pengecualian (non excludability). Oleh karena itu pihak swasta tidak mau menhasilkan barang public mumi, maka pemerintahlah yang harus menhasilkannya agar kesejahteraan seluruh masyarakat dapat ditingkatkan.21 METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini mengunakan metodologi sejarah yang merupakan proses pengujian dan analisis peristiwa masa lampau. Pengertian metode sejarah itu sendiri sebenamya bermacam-macam menurut Daliman bahwa dalam metodologi sejarah termuat juga metode. Inti pokok metode sejarah meliputi heuristic, kriktik sumber, Purwanto, dan Ratna Saptari, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, Pustaka Larasan, 2013. hlm 249 18 Daliman A., Pengantar Filsafat Sejarah, Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2012. 19 Sugeng Priyadi, op. cit., hlm 16-17 20 Prof. Dr. Sartono Kartodirjo, Pembangunan Bangsa Tentang Nasionalisasi, Kesadaran, dan Kebudayaan Nasional. (Yogyakarta : Aditya Media, 1993), hlm vii 21 Guritno Mangkoesoebroto, Ekonomi Publik (Yogyakarta : BPFE-YOGYAKARTA, 1999), hlm 42
interprestasi dan historiografi.22 Sedangkan menurut Gottschalk, metode sejarah adalah menguji dan menganalisis rekaman-rekaman sejarah masa lampau manusia yang direkonstruksi secara imajimatif melalui data sumber sejarah setelah melalui kriktit sumber atau biasa disebut dengan istilah interprestasi.23 Pada tahap pertama yaitu mengumpulkan sumber diantaranya sumber tertulis dan yang tidak tertulis, apakah itu sumber primer ataupun sumber sekunder. Sumber yang dicari adalah sumber-sumber yang memiliki kesesuaian dengan permasalahan dalam penelitian ini. Sumber primer adalah yang utama, karena menyangkut validitas, otentintas, dan kredibilitas dari informasi yang ada di dalamnya, sedangkan sumber yang kedua berarti sumber sekunder akan menperkuat dan melenkapi kekurangan-kekurangan informasi dari sumber primer. Sumber-sumber primer adalah sumber-sumber yang tertulis seperti arsip atau dokumen. Tahap kedua adalah melakukan kriktik sumber yaitu memilih dan memilah untuk menbedakan apa yang benar , apa yang tidak benar (palsu), apa yang mungking dan apa yang meragukan atau mustahil,24 kritik sumber ada dua aspek yang akan dikritik yaitu kritik eksteren (keaslian sumber) dan kritik interen (tingkat kebenaran informasi) sumber sejarah.25 Kriktik eksteren dilakukan untuk mengetahui otentitas sumber tersebut dan lebih pada hal-hal yang bersifat material seperti jenis kertas, stempel, ejahan, bentuk huruf, tinta yang di gunakan, temporal penulisan dan lain sebagainya, serta lengkap tidaknya sumber. Kritik interen dilakukan untuk mengetahui kredibilitas dan keakuratan isi sumber yang telah diperoleh. 26 Sumber yang sudah terkumpul untuk menperoleh data yang benar dan dapat dipercaya, atau agar mampu menhasilkan data yang tidak tersangkal oleh mereka yang berakal, dengan segala bukti yang tidak tertolak para pengkaji, dengan segala berita yang tidak terdusta. 27 Tahap ketiga yaitu interprestasi, interpertasi merupakan keinginan untuk menjelaskan (ekplanasi) sejarah karena tanpa adanya keinginan untuk menjelaskan sejarah atau peristiwa tersebut sangatlah mustahil makna dari sejarah akan terungkap. Bukti –bukti sejarah hanyalah saksi sejarah yang bisu yang tidak bisa berbicara sendiri mengenai apa yang disaksikannya dari realitas masa lampau. 28 Interpretasi ada dua dorongan utama yakni mencipta-ulang (re-create) dan menafsirkan (interpret), re-create akan berorientasi pada deskripsi dan narasi sedangkan interpret berorientasi pada analisis29, namun keduanya akan mengarah pada penyatuan biasa disebut sintesis. Setelah itu dilakukan interprestasi, yaitu pemahaman terhadap fakta sehingga bisa menunjukan secara kronologis mengenai peristiwa masa lampau yang saling terkait. Pada tahap ini berimajinasi sangat diperlukan untuk mengabungkan fakta yang telah disintesiskan dan kemudian diinterpretasikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat agar mudah untuk dipahami dengan memadukan ilmu sejarah dengan kesastraan.
22
Daliman, Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2012) hlm 51 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008), hlm. 33. 24 Sjamsuddin Helius, Metodologi Sejarah. (Yogyakarta. Ombak, 2007) hlm 131 25 Abd. Rahman Hamid & Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta : Ombak, 2011) hlm 47 26 Ibid., hlm 47-48 27 Adian Husain, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegomoni Kristen Ke Dominasi SekularLiberal (Jakarta : Gema Insani, 2005) hlm xviii 28 Lop.cit., hlm 81 29 Tosh, op.cit., hlm 158 23
Tahap keempat historiografi, merupakan tahapan yang terakhir dalam metodologi sejarah yaitu berupa penulisan sejarah yang disebut historiografi merupakan sarana bagi peneliti untuk mengungkapkan hasil-hasil penelitiannya yang telah diuji (Verfikasi) dan diinterprestasi kedalam kerangka peyusunan fakta-fakta agar menjadi satu kesatuan yang utuh, mensejarahkan berarti mengisahkan yang berarti bermula dari awal hingga akhir penbatasan waktu dan tempat dimana penelitian itu diadakan. “NV. NIGM” PADA MASA KOLONIAL BELANDA HINGGA MASA PENDUDUKAN JEPANG NV. NIGM Pada Masa Kolonial Belanda Perkembangan ketenaagalistrikan di Indonesia berlangsung dengan pesat sekali namun hal ini tentu mengalami suatu periode yang panjang mulai dari penemuannya di dataran Benua Eropa yang ditemukan oleh Mihical Faraday yang berkebangsaan Prancis. Pada perkembangan selanjutnya tenaga listrik dikembangkan dalam wahana komersial yang berawal pada tahun 1882 ini mulai beroperasi pada bulan Januari pertama di London Ibu Kota Negara Inggris, yang disusul pada bulan September tahun yang sama di New York City yang merupakan salah satu Kota di Negara Amerika Serikat. Kedua kota ini mengunakan arus searah tegangan rendah. Pengunaan arus searah tegangan rendah tentu tidak akan memadai untuk pengunaan listrik untuk kota yang besar. Sehingga dicari sistem yang memenuhi, system ini dibuka dengan adanya penemuan arus bolak – balik yang dikembangkan oleh Lucien Gaulard yang berkebangsaan Prancis dan John Gibbs yang berkebangsaan Inggris mereka mendapatkan hak paten untuk penemuan mereka. Paten ini dibeli oleh George Westinghouse seorang pengusaha pada tahun 1885.30Sejarah penyediaan tenaga listrik secara komersial di tanah air tercinta Indonesia diawali dengan selesainya penbangunan sebuah penbangkit tenaga listrik di Gambir, Jakarta. Ketenagalistrikan di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-19 yaitu pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Mengenai jangka waktu penbangunan kelistrikkan di wilayah Negara Indonesia pada waktu yang berbeda-beda. Di Kota Batavia pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah menjadi ibukota negara kolonial dengan basis pemerintahan feodal Belanda. Setelah Indonesia merdeka temyata Batavia yang telah berganti nama menjadi Jakarta masih tetap menjadi ibukota. Hanya saja bukan lagi sebagai ibukota kolonial melainkan ibukota negara Republik Indonesia dibangun sebuah tenaga kelistrikkan yang bemama Electriciteit Batavia dibangun pada tahun 1893 tepatnya di Gambir. Di Kota Medan, elektrifikasi didirikan pada tahun 1903. Sedangkan di Kota Surabaya mulai ada kira-kira Pada tahun 1907.31 ini semua didirikan atau dibangun perusahaan Belanda mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk keperluan sendiri. Yang selanjutnya Pengusahaan tenaga listrik tersebut berkembang menjadi untuk keperluan umum, diawali dengan perusahaan swasta Belanda yaitu NV. NIGM. Perusahaan listrik NV. NIGM mulai mengadakan pengoperasiannya diluar pulau Jawa sekitar tahun 1920. Sedangkan Gorontalo sebagai salah satu Wilayah pengoperasian perusahaan Listrik swasta Hindia Belanda diperkirakan mulai ada setelah
30
Kadir Abdul, Penbangkit Tenaga Listrik (Jakarta :UI-PRESS, 1996) hlm v Ayatrohaedi dan Tim Peyusun , Kumpulan Buklet Hari Bersejarah II Jakarta. Proyek Inventarisme dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1994 hlm 124 31
tahun 1920 bersamaan dengan Wilayah Medan, Tanjung Karang, Ujung Padang, Manado dan lain-lain.32 Perusahaan listrik di Gorontalo pada masa pemerintahan Hindia Belanda merupakan anak perusahaan dari NV. NIGM yang berpusat di Surabaya. Sedang perlistrikkan di Surabaya bermula ketika perusahaan gas NV. NIGM pada tanggal 26 April 1909 mendirikan perusahaan listrik yang bemama Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM). Listrik merupakan barang mewah pada jamannya. Tidak semua rumah mendapatkan aliran listrik. Masing – masing daerah memiliki perusahaan listrik tersendiri, tidak seperti saat ini yang dikuasai PLN. Inilah daftar perusahaan listrik yang menyuplai listrik diberbagai daerah pemerintahan Hindia Belanda :33 Anak perusahaan listrik dari ANIEM yang ada di Gorontalo disebut EBALOM (NV. Electriciteits Maatschappij Bali dan Lombok) tepatnya gardu induknya terletak di jalan Wolter Monngisidi, Kelurahan Tenda RT VII/RW III, Kecamatan Kota Selatan. Gardu Induk ini dikenal dengan nama Kantor Jaga Pohe. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda gardu induk ini berfungsi sebagai pemasok daya listrik yang menerangi Kota Gorontalo. Namun bangunan ini hanya dapat difungsikan sampai tahun 1978. Sekarang ini sudah dijadikan sebagai lapangan Indoor Bulutangkis. Sedangkan Kantor PLN Area Gorontalo pindah di Jalan Jend. Sudiman Nomor 63 Kota Gorontalo dan kantor dieselnya terletak dijalan Andalas.34 Perusahaan listrik di Gorontalo dibangun oleh NV NIGEM/ EBALOM, yaitu salah satu perusahaan Listrik swasta Hindia Belanda yang berpusat di Surabaya, sedangkan di Manado/Minahasa dibangun oleh N.V. "Overzeesche Gasen Electriciteits Mij." (O.G.E.M.)35 setelah tahun 1920 yang berpusat di Bandung. Jadi pada zamannya Masing – masing daerah memiliki perusahaan listrik tersendiri, tidak seperti saat ini yang dikuasai PLN sehingga pengelolahan dan pendistribusian menjadi terpusat pada PLN. Kolonial Belanda Menjelang Pendudukan Jepang di Gorontalo Sebagaimana yang dikatakan dalam buku “De Ontwikkeling Onzer Electriciteit Voorziening ”, buku ini diterbitkan di Nederland pada tahun 1948 dengan nama penerbit Vereeniging van Directeuren van Electriteits Bedrijven in Nederland (Persatuan Direktur Perusahaan Kelistrikkan di Belanda) disini dijelaskan bahwa perkembangan kelistrikkan dari tahun 1880 sampai dengan tahun 1938 cukup menarik36, mengapa 32
33
Ibid., hlm 125
Nikki Putrayana, Transformator Huisje (https://nikkiputrayana.wordpress.com/tag/netherland/)
dikunjungi pada 20 Juni 2015. 34
I Wayan dan Tim Peyusun , Laporan Inventarisasi Cagar Budaya Kota Gorontalo . Gorontalo. Program Kerja Balai Pelestarian Peningalan Purbakala Gorontalo 2010 hlm 23-24 35 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1959 Tentang Penentuan Perusahaan Listrik Dan/Atau Gas Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi 36
Ir. Djiteng Marsudi dan tim penyusun 50 Tahun pengabdian PLN. Jakarta PT. PLN (Persero) 199. Hlm 15
kerena perkembangan kelistrikkan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dimana pada tahun 1892, izin pengelolahan listrik diterbitkan untuk Surabaya, sedangkan untuk Jakarta (Batavia) pada tahun 1893. Namun kelistrikkan untuk wilayah Jakarta lebih dahulu diusahakan dan disalurkan dalam tahun 1987 dan usaha kelistrikkan ini dibawah pengelolahan yang dilakukan oleh Nederlaandsch Indische Electriciteits Maatschappij, kemudian pada tahun 1905 pengelolahannya dilanjutkan Oleh NIGM (Nederlaandsch Indische Gas Maatschappij ), pada tahun 1889 Joosten menperoleh izin untuk melakukan pengelolahan untuk kota Solo namun pada tahun 1901 diserahkan kepada SEM (Solosche Electriciteits Maatschappij) yang berada dibawah Maintz & Co. Pada tahun 1902 H. R. du Mosch menperoleh izin pengelolahan kelistrikkan untuk Kota Bandung dan Cimahi dan izin tersebut pada tahun 1905 dialihkan kepada Bandoengsche Electriciteits Maatschappij. Pada tahun 1904 Schoutendorp menperoleh izin pengelolahan kelistrikan untuk Semarang, Surabaya, Malang, dan Pasuruan. Izin tersebut pada tahun1909 dialihkan kepada N.V. ANIEM (Algemeene Nederlaandsch Indische Electriciteits Maatschappij) di bawah Maintz & Co. ANIEM banyak melakukan usaha pengembangan kelistrikan terutama keempat kota diatas.37 Beberapa izin untuk ANIEM diterbitkan antara lain pada tahun 1913 untuk Salatiga, pada tahun 1914 untuk daerah Yogyakarta dan Kota Gede serta pada tahun 1915 untuk Maatschappij Electra di Tulungagung. Hampir 120 perizinan diterbitkan oleh pemarintahan Hindia Belanda untuk berbagai pengelolahan kelistrikan dihampir 325 tempat di seluruh Indonesia. Perizinan tersebut meliputi antara lain 200 untuk Pulau Jawa, 60 untuk Pulau Sumatra, 30 untuk Sulawesi, 122 untuk Kalimantan dan selebihnya untuk tempat yang lainnya. Izin tersebut diterbitkan untuk melayani kota dengan hampir 30.000 sambungan dan Desa dengan 30 sampai 50 sambungan.38 Semenjak Perang Dunia II pecah dan pasukan tentara Jerman melakukan blitzkrieg terhadap negeri Belanda pada tanggal 10 Mei 1940, disusul empat hari kemudia pemerintah Jepang mengumumkan perang terhadap pemerintah Hindia Belanda, koloninya di Asia Timur.39 Pada tanggal 14 Mei 1940 pemerintah dan ratu Belanda meningalkan negerinya mengungsi ke London ibu kota Negara Inggris. Kota Rotterdam, yang merupakan kota dagang terbesar di Negeri Belanda dihancur leburkan oleh pasuka Nazi yang dipimpin oleh Hitler yang selanjutnya Ibu Kota Kerajaan yang terletak di Amsterdam diterjunkan pasukan payung Jerman dan disana terjadilah pertempuran-pertempuran di jalan-jalan ditengah-tengah kota. Dalam keadaan seperti ini sebuah mobil berbendera “Matahari” dari Kekaisaran Jepang yang menbawah duta besamya di Belanda melintasi mencari jalan aman untuk menuju ke Departemen Luar Negeri Belanda yang pada kondisi itu negeri Belanda kacau balau. Tujuan duta besar Jepang ini menyerahkan nota kepada pemerintah Kerajaan Belanda mengenai Koloninya yang ada di Asia Pasifik dan menekankan serta menganjurkan dibukanya perundingan tentang hubungan-hubungan ekonomi yang lebih luas antara Jepang dan Hindia Belanda, dan disaat itu Jepang menunjukkan Notanya yang dikirim pada tanggal 2 Februari 1940 yang belum dijawab oleh pemerintahan Kerajaan Belanda. Keesokkan harinya tepatnya 15 Mei 1940, Kerajaan Belanda menyerah dan wilayahnya diduduki Pemerintahan Jerman. Semenjak saat itu Amsterdam tidak lagi berfungsi sebagai pangung pengambil kebijakan-kebijakan untuk Negeri Hindia Belanda atau Indonesia 37
Ibid., hlm 16 Ibid. 39 Joni Apriyanto, Konflik Gorontalo-Hindia Belanda Periode 1856-1942 (Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo Pess, 2006), hlm 128 38
pada umumnya termasuk Gorontalo pada khususnya. Tiga hari kemudian tepatnya tanggal 18 Mei 1940 Di Batavia sekarang Jakarta Konsul Jenderal Jepang mengadakan audiensi istimewa dengan Gubemur Jenderal Kerajaan Belanda Jhr. Tjarda Van Starkenborgh-Stachouwer sambil menyampaikan ikut belasungkawa dan duka cita atas malapetaka yang menimpa Kerajaan Belanda oleh tentara Nazi Jerman, sekaligus menperdengarkan usulan-usulan dan ancaman-ancaman. Sementara itu di Tokyo Jepang Duta Besar Belanda dipangil Menteri Luar Negeri Jepang pada saat itu Arita, yang meyodorkan sebuah nota padanya. Nota tersebut merupakan pemyataan kepuasan pemerintahan Kekaisaran Jepang dengan jaminan Gubemur Jenderal yang dinyatakan melalui kedubes Belanda di Jepang pada saat itu dijabat oleh Jenderal J. C. Pabst, dengan isi pemyataannya adalah bahwa hubungan perdagangan dan ekspor bahan-bahan mentah Indonesia ke Jepang tidak akan memenui halangan apa-apa. Jaminan ini diberikan tanggal 16 Mei 1940.40 Kondisi Hindia Belanda yang mengalami kemerosotan yang disebabkan pertama makin maraknya penentangan Hindia Belanda oleh berbagai organisasi pergerakkan yang telah ada sejak 1908 s/d 1942 telah menjamur di bumi Indonesia lahimya berbagai organisasi ini dilatarbelakangi adanya Kaum terpelajar Indonesia dan adanya politik Balas Budi dari Bangsa Belanda, maka dari ini muncullah kesadaran rakyat bangsa Indonesia akan kepincangan sosial, kebodohan, dan kemiskinannya yang disebabkan pemerintahan Hindia Belanda maka rakyat Indonesia mengembangkan pergerakkan dan kebangkitan nasional sedang di Gorontalo di pelopori oleh Nani Wartabone yang telah mengeyang pendidikan di tanah Jawa. Kedua berita jatuhnya negeri Belanda ke tangan Jerman tersiar dan merambat pula sampai di daerah Gorontalo melalui siaran-siaran radio yang selalu didengar setiap hari surat kabar yang diperoleh dari teman-teman wartawan, tokoh politik, dan tokoh pemuda, serta anggota polisi bahwa jatuhnya Negeri Belanda kepada Jerman dalam Perang Dunia II bulan Mei 1940. Nani Wartabone makin yakin, bahwa suatu saat akan terjadi suatu peristiwa pengambilalihan atau perebutan kekuasaan dari tangan penjajah.41 Ketiga disusulnya pengumuman perang oleh Jepang yang diawali dengan peyerbuan secara mendadak dari 360 pesawat terbang Djapang, penbom dan pemburu atas Pearl Harbour pada akhir tahun 1941 tepatnya pada tanggal 08 Desember 1941 yang menenggelamkan dan merusakkan hebat 8 Kapal penempur Angkatan Laut Amerika. Dengan terjadinya peyerangan ini Jepang mendadak menhilang lenyapkan Superioritet armada Sekutu Inggris-Amerika disemua Samudera didunia ini kecuali yang berada di Samudera Atlantik.42 Pengeboman atas Pearl Harbour mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk mulai siap siaga pegawai-pegawai Belanda yang ada di Indonesia diwajibkan untuk mengikuti milisi atau wajib militer sedangkan pegawai-pegawai pribumi diharuskan mengikuti berbagai tugas yang bersifat kemiliteran namun sebagian pegawai-pegawai yang berkebangsaan Indonesia merasa ketika mengenakan pakaian militer milik Pemerintah Belanda berarti bersankutan seolah-oleh menbantu dan setia Kepada Belanda dalam perang hal ini ditolak oleh sebagian Pegawai-pegawai yang berkebangsaan Indonesia dengan gigih. Kesiagaan yang lainnya yang dilakukan 40
Ibid., hlm 129-130 DR. Ir. Sudirman Habibie, Msc dan Tim Peyusun , 23 Januari 1942 dan Nasionalisme Nani Wartabone (Gorontalo: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 2004), hlm 50-53 42 Mr Auwjong Peng Koen, Perang Pasifik 1941-1945(Jakarta : KENG PO DJAKARTA, 1957) hlm 3 41
Belanda adalah berupa pemindaan Kantor ANIEM Surabaya di Embong Trengguli dan Embong Wungu ke sebuah Gedung sebelah Timur Hotel Simpang dan dekat Bioskop Maxin. Konon Kantor di Embong Trengguli dan Embong Wungu di gunakan sebagai markas militer Belanda.43 Kekuasaan Kolonial Belanda di Gorontalo di berbagai bidang di antaranya bidang Politik, Ekonomi dan sosial budaya telah mengakibatkan penderitaan rakyat Gorontalo, yang berkepanjangan, sehingga muncul perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dipimpin oleh tokoh-tokoh setempat. Dengan memanfaatkan kondisi Hindia Belanda yang mengalami kemerosotan sebagaimana yang telah disebutkan pada penbahasan sebelumnya maka Nani Wartabone harus melakukan pengambilalihan kekuasaan ia teringat ungkapan Soekamo bahwa ketika pecah perang dunia kedua maka itulah kesempatan bangsa Indonesia untuk bersatu. Perang Pasifik yang diawali oleh Jepang dengan pengeboman atas Pearl Harbour pada akhir tahun 1941, dengan menburuknya kekuatan Kolonial Belanda maka Nani Wartabone teguh pada ucapan Bung Kamo yang isinya bahwa apabila pecah perang dunia kedua maka itulah kesempatan emas bagi bangsa-bangsa yang terjajah untuk merebut kemerdekaannya. Kesempatan inilah yang menbuat Nani Wartabone melakukan perlawanan dengan telah menperhitungkan kondisi dan situasi yang telah dialami oleh kolonial Belanda di Gorontalo44 Untuk mengantisipasi penyerangan Jepang, maka pemerintahan Hindia Belanda melalui Residen Hirschman yang di Manado menginstruksikan kepada Asisten Residen Com yang ada di Gorontalo bersama pejabat-pejabat untuk segera melakukan persiapanpersiapan pertama, penbentukan pasukan Penhancur yang bertugas melakukan penhancuran terhadap bangunan-bangunan Vital seperti gudang-gudang minyak sebagai bahan bakar perlistrikkan di Gorontalo, gudang makanan, jembatan, saluran irigasi dan lain-lain yang dapat dipakai oleh Jepang apabila mereka telah menguasai Gorontalo. Kedua mengadakan monitoring berita yang hasilnya setiap hari di laporkan kepada Asisten Residen Com dalam bentuk ketikkan dua rangkap. Ketiga penduduk diperintahkan untuk menancapkan bambu-bambu runcing dengan posisi runcingannya di atas. Keempat lampu-lampu di kota dimatikan termasuk lampu-lampu penduduk dibatasi nyalanya. Kelima mengadakan pengawasan yang ketat terhadap kaum nasionalis dan penduduk tidak diperkenalkan berkumpul lebih dari dua orang45 Aksi penbumihangusan yang pertama yang dilakukan pasukan penhancur Belanda adalah menhancurkan tujuh buah gudang kopra yang terletak di Kampung Pabean. Tindakkan ini menurut Kolonial Belanda ini merupakan reaksi balik atas invansi yang dilakukan oleh Jepang diberbagai Daerah. Jadi aksi pembumihangusan yang dilakukan Kolonial Belanda di Gorontalo adalah sebagai langkah untuk tidak memberikan kesempatan kepada Jepang untuk mengakses sumber-sumber ekonomi yang dibutuhkan oleh Jepang karena Indonesia kaya akan sumber daya alam yang sangat dibutuh oleh Jepang terutama minyak bumi dan hal ini salah satu factor pendorong Jepang untuk menguasai Indonesia. Melihat situasi penbumihangusan yang dilakukan Kolonial Belanda maka Nani Wartabone tepatnya pada tanggal 10 Januari 43
Ir. Djiteng Marsudi dan tim penyusun 50 Tahun pengabdian PLN. Jakarta PT. PLN (Persero) 199. Hlm 16 44 DR. Ir. Sudirman Habibie, Msc dan Tim Peyusun , 23 Januari 1942 dan Nasionalisme Nani Wartabone (Gorontalo: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 2004), hlm 60 45 Joni Apriyanto, Konflik Gorontalo-Hindia Belanda Periode 1856-1942 (Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo Pess, 2006), hlm 140
1942 mengirim surat kepada Asisten Residen Com dan Kontrolir Dancona, yang isinya antaralain berupa ancaman apabila penerintah Kolonial Belanda tetep mengadakan penhancuran maka rakyat siap mengadakan perlawanan.46 Untuk mengatisipasi aksi-aksi penbumihangusan yang dilakukan Kolonial Belanda selanjutnya, maka pada Jum‟at malam, 16 Januari 1942 kaum nasionalis bergerak secara rahasia untuk menhadapi aksi-aksi penbumihangusan Kolonial Belanda mereka mengadakan rapat di Rumah Kediaman R.M. Koesno Danoepojoyang terletak di Kampung Ipilo Kota Gorontalo. Dalam rapat tersebut berhasil menbentuk suatu badan perjuangan yang disebut dengan Komite Duabelas dan ketua terpilih yaitu Nani Wartabone. Komite Duabelas ini bertugas menjaga dan melindungi keselamatan rakyat dan daerah dari segala tindakan yang merugikan rakyat baik yang datangnya dari Belanda maupun dari pihak Tentara Jepang.47 Karena tepatnya pada tanggal 11 Januari 194248 angkatan perang Jepang telah melakukan pendaratan dan pendudukan di Manado maka tindakan yang merugikan rakyat dari pihak Jepang perlu diwaspadai. Selanjutnya Komite Duabelas menbagi tugas, mengatur siasat serta melakukan konsolidasi dengan para pemuda, ditengah konsolidasi dengan para pemuda dilakukan, pasukan penhancur Belanda lagi lagi melakukan aksi pembakaran kembali yang dilancarkan pada tanggal 19 Januari 1942 yang menjadi sasaran penbumihangusan adalah kompleks pelabuhan Gorontalo dan Kwandang akhimya sejumlah gudang di Pelabuhan, perumahan rakyat yang ada disekitamya dan sebuah kapal Kalolio turut terbakar serta bahan bakar yang terletak di Wedloop Societeit Gorontalo (WSG) diangkut oleh Vemielingscorps (pasukan penhancur) Belanda yang selanjutnya dibuang kelaut dekat kampung Pabean.49 Setelah semua pasukan dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya seperti Cina dan Arab telah siap dikota pada pagi hari, sedangkan orang-orang Belanda tidak mengetahui adanya gerakkan perlawanan atau penankapan yang dipimpin oleh Nani Wartabone tersebut. Sehingga pada saat penankapan yang dilakukan pasukan Inti Nani Wartabone mereka heran, kaget bahkan ketakutan sedangkan rakyat menberikan dukungan dan motivasi berupa teriakan, yel-yel “Wakupa Walanta50” Nani Wartabone bertindak sebagai pucuk pimpinan menjaga agar dalam penangkapan tersebut tidak terjadi tindakkan yang brutal, kasar, penjarahan, dan penyiksaan, tetap menjaga etika dan moral sebagai dasar dan kultural rakyat Gorontalo sangat dipegang teguh.51 Selasai penangkapan terhadap orang-orang Belanda, Nani Wartabone memimpin rakyat untuk segera menurunkan bendera Kolonial Belanda diganti dengan bendera Nasional Indonesia, merah putih, selain itu juga rakyat di arahkan untuk menuju Alunalun di depan Rumah Asisten Residen (sekarang rumah Gubemur Gorontalo). Bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan Bendera Nasional merah putih dengan diiringi 46
Joni Apriyanto, Sejarah Gorontalo Modern Perlawanan Kolektif Tahun 1942 (Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo Pess, 2010), hlm 68-70 47 Joni Apriyanto, Sejarah Gorontalo Modern dari Hegemoni Kolonial ke Provinsi (Yogyakarta: Pemerbit Ombak, 2012), hlm 64 48 Mr Auwjong Peng Koen, Perang Pasifik 1941-1945(Jakarta : KENG PO DJAKARTA, 1957) hlm 7 49 Joni Apriyanto, Sejarah Gorontalo Modern Perlawanan Kolektif Tahun 1942 (Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo Pess, 2010), hlm 73 50 Wakupa Walanta artinya Tangkap Belanda 51 DR. Ir. Sudirman Habibie, Msc dan Tim Peyusun , 23 Januari 1942 dan Nasionalisme Nani Wartabone (Gorontalo: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 2004), hlm 66
lagu Indonesia raya dengan penuh semangat, terutama para pemuda dan siswa-siswi yang telah menguasai lagu tersebut. Para orang tua merasa terharu dan merasa sangat bersyukur. Ketika itu rakyat menanti apa yang akan di perintahkan pemimpin mereka. 52 Hilangnya rasa hormat rakyat Indonesia terhadah penjajah Kolonial Belanda, gambaran ini menberikan harapan dan menbesarkan hati yang dahulu rakyat dibelengu dan dihina, sekarang orang-orang Belanda yang berlagak itu harus hidup dibawah aturan-aturan yang dalulu mereka terapkan kepada rakyat Indonesia. Nasib buruk yang dirasakan penbesar-penbesar Belanda itu barangkali masih bisa dijadikan alasan untuk saling menarik simpati masing masing dan melahirkan suasana kerjasama atas dasardasar yang baru.53 Seperti halnya yang terjadi di Gorontalo pada khususnya para pejabat-pejabat Belanda di masukkan kedalam penjara yang mereka buat sendiri dan di tugaskan membersihkan jalan raya. Pada tanggal 26 Februari 1942 militer Jepang masuk ke Gorontalo dengan mengunakan kapal perang Angkatan Laut mereka. Beserta pasuka militer Jepang yang dipimpin oleh Yamai. Tujuan kedatangan mereka adalah datang berunding dengan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) dalam rangka kerja sama. Tujuh hari kemudiaan Jepang menlakukan kunjungan keduanya di Gorontalo melalui pelabuan Kwandang dibawah pimpinan Yamada.54 Pada bulan Maret 1942 setelah balatentara Jepang melakukan pendaratan pada tiga lokasi di pulau Jawa pantai utara Jawa beberapa hari kemudian pemerintah Belanda yang berkuasa di Indonesia (Hindia Belanda)akhimya menyerahkan kekuasaannya tanpa Syarat ketangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Peristiwa ini terjadi di Rumah sejarah disekitar pangkalan udara Angkatan Udara (AU) Kalijati, Subang Jawa Barat. Dengan adanya penyerahan tersebut maka berakhirlah masa penjajahan Hindia Belanda di Indonesia yang diganti oleh kekuasaan kekaisaran Jepang. Rakyat Indonesia tidak dipersiapkan untuk mennentukan nasibnya sendiri, oleh Belanda melepasnya begitu saja kepada kekejaman penguasa Jepang. Dengan bemikian pemerintahan diambil alih oleh militer Jepang.55 Sedangkan di Gorontalo nanti pertenggahan tahun 1942 setelah Jepang telah mengukuhkan hegomoninya atas daerah Gorontalo sehingga Jepang melakukan perubahan struktur pemerintahan di Gorontalo seperti halnya yang dilakukan di pulau Jawa pada bulan Agustus 1942 yang ditandai dengan dikeluarkannya undang-undang No. 27 tentang aturan pemerintahan daerah mulai pejabat tertingi hingga pemerintahan Desa.56 Invansi Awal Jepang Dalam Menguasai Sumber Energi Bersamaan dengan berpindahnya kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda kepada pemenintah balatentara Jepang dalam Perang Dunia II, maka perusahaan listrik dan gas yang ada diambilalih oleh Tentara Jepang, kemudian digabung menjadi satu badan, yang bemama Djawa Denki Djigvo Kosha, dengan pembagian daerah yaitu: daerah Jawa dikuasai Angkitan Darat (Riku Gun) dan daerah luar Jawa yang dikuasai Angkatan Laut (Kai Gun). Untuk daerah Jawa dibagi lagi menjadi tiga daerah 52 53
DR. Ir. Sudirman Habibie, Msc dan Tim Peyusun , 23 Januari Ibid …..hlm 72 S. J. Rutgers, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012),
hlm 93 54
DR. Ir. Sudirman Habibie, Msc dan Tim Peyusun , 23 Januari Ibid …..hlm 85-86 Hendri F. Isnaeni & Apid Romusa Sejarah yang Terlupakan . (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008). hlm 5 56 Joni Apriyanto, Sejarah Gorontalo Modern Perlawanan Kolektif Tahun 1942 (Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo Pess, 2010), hlm 168-169 55
pengusahaan, dengan struktur pengusahaan daerah: Jawa Barat dikuasai Seibu Djawa Denki Djigyo Kosha, Jawa Tengah dikuasai Tyubu Djawa Denki Djigyo Kosha dan Jawa Timur dikuasai Tobu Djawa Denki Djigyo Kosha. Akibat pembagian wilayah yang terpisah-pisah oleh Angkatan Darat dan Angkatan 1aut, begitu pula pembagian wilayah kelistnikan di pulau Jawa, maka komunikasi menjadi tidak lancar, bahkan sangat sulit, dan informasi antar daerah boleh dikata tidak terjadi komunikasi. Para pegawai selain melakukan tugas rutin sehari-hari diwajibkan pula mengikuti kyoren (latihan kemiliteran), yang sewaktu-waktu diperlukan dapat mendukung pertahanan militer Jepang. Dibentuklah barisan Seinendan dan Tjikeidan, dan Zoshi Seinendan bagi pegawai wanita.57 Selama masa kekuasannya di Indonesia, Jepang juga melaksanakan proyek proyek kelistrikan dengan pola kerja paksa, yaitu menggunakan tenaga pekerja pembangunan yang disebut romusha. Proyek-proyek yang ditopang oleh pekerjapekerja romusha itu berdampak langsung maupun tidak langsung, Di PLTA Mendalan dan PLTA Siman dikerahkan juga ratusan romusha guna memperbaiki kerusakan lapangan yang diakibatkan oleh pengeboman Tentara Sekutu tanggal 1 Februari 1945. Pengeboman tersebut mengorbankan cukup banyak, antara lain Banuarli tertimbun tanah di lokasi dan ditolong oleh Widji Tikno. Perbaikan teknis dilakukan oleh Koeswadi dan kawan-kawan ditambah oleh Tommy dan Zeegers, dua orang Indonesia yang dikirim dari Malang oleh Jepang. PLTA Mendalan dan PLTA Siman dapat berfungsi kembali setelah memakan waktu enam bulan perbaikan. Di samping proyek-proyek tersebut, Angkatan Laut Jepang membangun PLTA Tonsea Lama (Sulawesi Utara) dengan memindahkan turbin dan generator dan Filipina yang sebelumnya pemah digunakan di Jepang. Generator tersebut sampai saat ini masih aktif berfungsi dan beroperasi.58 Semula pembangunan PLTA Tonsealama Unit I dirintis oleh Bangsa Belanda semasa masih berkuasa di Indonesia, namun setelah bangsa Jepang merebut kekuasaan Belanda di Indonesia Proyek pembangunan PLTA Tonsealama diteruskan oleh bangsa Jepang sekitar tahun 1942 sampai dengan tahun 1945 yang antara lain membuat Bendungan, Terowongan, pemasangan Pipa Pesat dan mendatangkan Turbin dan Generator. Turbin mesin Unit I ini performance Test pabrik pada tahun 1917 dan pemasangannya mulai tahun 1918 di PLTA Katsuragawa Jepang, sedangkan Generatomya bongkaran dari Philipina.59 Di Jakarta, kelistrikan yang dikelola oleh Sato (Perwira Militer Jepang), Praptono dan kawan-kawan dan Jakarta diberi tugas melanjutkan penyelesaian pemasangan 2 buah diesel Stork (masing-masing 800 kVA) yang ditinggalkan Belanda dalam kondisi 75% di pusat listrik tenaga diesel PLTD Kebon Baru. Fondasi untuk mesin ketiga yang telah disiapkan sebelum perang dan karena belum tibanya mesim, pekerjaannya tidak dilaniutkan. Menurut Praptono tugas tersebut dapat diselesaikan dengan baik berkat kemampuan petugas pelaksana yang kebanyakan terdiri dan anak Betawi asli yang cekatan. Di samping itu di Jawa Timur untuk mengatasi keperluan akan isolator 30 kV dan 70 kV, Jepang melakukan percobaan-percobaan pembuatannya. Bagi Jepang listrik merupakan sarana penting dalam rangka memperkuat kedudukan, karena itu pimpinan dalam perusahaan listrik tersebut digantikan oleh orang-orang sipil Jepang. 57
Ir. Djiteng Marsudi dan tim penyusun 50 Tahun …. Op, Cit hlm 17 Ir. Djiteng Marsudi dan tim penyusun 50 Tahun …. Op, Cit hlm 19 59 Profil Sejarah singkat PLTA Tonsealama Sektor Minahasa 58
Setelah pengelolaan kelistrikan diserahkan dan penguasa militer Jepang kepada penguasa sipil Jepang maka nama Djawa Denki Djigyo Kosha menjadi Djawa Denki Eigyo Sha.60 Setelah pasukan Jepang di medan perang Asia dan Pasifik menderita kekalahan beruntun, dan keadaan ekonomi di Indonesia memburuk, keadaan perlistrikan pun menyedihkan. Tidak ada toko yang menjual lampu pijar. Untuk mendapatkannya orang harus antri mulai tengah malam di kantor Denki. Pemadaman pun diadakan. Lampulampu jalan tidak menyala lagi. Dan setelah lidah api peperangan menjilat beberapa wilayah Indonesia, lampu-lampu listrik di perumahan harus diberi selongsong berdiameter 10 sentimeter. Sinar lampu itu hanya bisa menerangi permukaan meja seluas lingkaran berdiameter 75 sentimeter. Siapa yang melanggar peraturan itu akan dituduh sebagai mata-mata musuh, karena sinar yang terang akan menjadi petunjuk bagi pesawat terbang Sekutu yang menyerang di malam hari. Dan hukuman siksaan dan Kenpetai (polisi militer Jepang yang terkenal kejam) akan menimpa.61 “NV. NIGM” PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN Teror NICA Penyerahan Jepang kepada Sekutu segera diikuti datangnya pasukan Sekutu atau AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) di Indonesia. Tugas AFNEI ialah menerima kekuasaan dan tentara pendudukan Jepang di Indonesia, melucuti pasukan Jepang membebaskan tawanan perang yang selama itu disekap dalam kamp-kamp intemiran dan menyerahkannya kepada pemerintah sipil setempat serta menghimpun keterangan dan menuntut penjahat perang. Pasukan AFNEI pertama-tama mendarat di Jakarta tanggal 29 September 1945 disusul dengan pendaratan di Semarang tanggal 20 Oktober 1945, dan lima hari kemudian pendaratan di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Belanda yang ingin menegakkan penjajahan di Indoiesia berhasil menggunakan kesempatan pendaratan tentara Sekutu tersebut. Mereka membonceng, lain membentuk pemerintahan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) dan mempersenjatai bekas serdadu-serdadu KNIL (Koninklijk Nederlands lndisch Leger, Tentara Kerajaan di Hindia Belanda). Serdadu-serdadu Belanda ifti mengadakan teror, penangkapan dan penahanan terhadap penduduk „lug tidak mau mematuhi pemerintahan NICA. Pemuda-pemuda Indonesia yang bertekad mempertahankan kemerdekaan negaranya dengan gagah berani melawannya. Setelah melihat kenyataan bahwa pemerintahan NICA tidak dapat menjamin keamanan dan terbukti tidak dikehendaki oleh rakyat Indonesia yang sudah memprokiamasikan kemerdekaannya, komando AFNEI mengadakan pembicaraan dengan pemerintah RI pada tanggal I Oktober 1945. Pembehtukan Lasykar Pegawai atau buruh perusahaan listrik dan gas yang telah mengambil alih perusahaan dari penguasa Jepang, membentuk organisasi pemuda dan kelasykaran dengan nama Lasykar Buruh Listrik dan Gas Indonesia dan Angkatan Muda Listrik dan Gas Indonesia, yang kedua-duanya dipimpin oleh Banoearli Mangkoesoejatno. Dalam perkembangan selanutnya pimpinan Angkatan Muda Listrik dan Gas Indonesia dipegang oleh R. P. Parwoto. Disamping itu dibentuk pula organisasi Barisan Buruh Listrik dan Gas Indonesia yang kemudian menjadi Serikat Buruh Listrik dan Gas 60 61
Ir. Djiteng Marsudi dan tim penyusun 50 Tahun ….. Ibid hlm 19 Ir. Djiteng Marsudi dan tim penyusun 50 Tahun ….. Ibid hlm 19
Indonesia (SBLGI). Pitnpinan Djawatan Hijrah ke Jogya Pada masa itu Djawatan Listrik dan Gas hanya memiliki lima orang tenaga Insinvur Elektro, yaitu Dipi. log MA. Safwan (eks OGEM Jakarta), Jr. FL Inkiriwang (eks OGEM Jakarta), Ir. Moenandar (eks LWB Bogor), Ir. R.M. Saijo (eks ANIEM Surahayal, dan Jr. Soedoro Mangoenkoesoemo (eks Djawa Denk Djigvo Sha Bandung). Dipi. Ing. MA. Saiwan kemudian gugurdalam peristiwa pemberontakan P1 (1 Madiun tahun 1948 di Purwodadi. Mengingat panasnya situasi politik di Jakarta pada waktu itu, maka Pemerintah RI. pada tanggal 3 Januaii 1946 dipindahkan ke Yogyakarta. Karena kesukaran tempat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Djawatan Listrik dan Gas dipindahkan dahulu ke Purworejo, baru kemudian ke Yogyakarta, di Kidul Loji. Di Jawa terdapat 4 Kantor Wilayah Djawatan Listrik dan Gas Kebijakan Bumi Hangus Sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah RI. agar instalasi yang dianggap vital tidak dikuasai NICA, maka instansi yang dianggap penting penlu memiliki satuan pemusnahan (vemieJings corps). Tugas satuan tersebut menghancurkan dan membumihanguskan unit instalasi yang penting agar tidak dikuasai dan digunakan oleh musuh. Baik di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur diadakan persiapan untuk tindakan tersebut. Untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur dilakukan latihan di markas TRI (Tentara Republik Indonesia), Rampal, Malang selama 2 minggu. Dalam agresi Militer Belanda I, A. Atmadibrata memimpin aksi penghancuran PLTA Lamajan, di Jawa Barat. Di Jawa Tengah sasarannya adalah PLTA Jelok yang telali dikuasai NICA. Banoearii dan Soemardo telah memberi perintah untuk menghancurkannya, tetapi tidak berhasil. Pembentukan Djawatan Listrik dan Gas Pada tanggal 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Republik Indonesia diprok1amasikan dan pada tanggal 19 Agustus 1945 Kabinet Pertama RI. terbentuk, namun Perusahaan Listrik dan Gas belum ditetapkan status keberadaannya, dalam lingkungan Kementerian Kemakmuran atau Perhubungan & Pekerjaan Umum. Kelistrikan merupakan sarana penting bagi industri dan merupakan sumber keuangan. Pihak PU. melihatnya dan sudut historis, karena di zaman Belanda kelistrikan masuk dalam lingkungan Departement van Verkeer en Waterstaat dan di dalamnya terdapat Dienst voor Waterkracht en Electhciteit Wezen. Pada akhir bulan September 1945 Kobarsjih, selaku anggota KNIP, bersama dengan beberapa pegawai/ buruh listrik dan gas, di antaranya Soedibjo Hartojo (Jawa Timur), A. Muhti dan Dipl. Ing. M. A. Safwan (Jakarta) menghadap Ketua BP. KNIP Mr. Kasmari Singodimedjo, melaporkan bahwa perusahaan-perusahaan listrik dan gas milik Belanda dan swasta lainnya telah dikuasai oleh pegawai/ buruh listrik dan gas. Pada permulaan bulan Oktober 1945 laporan itu diteruslan oleh Mr. Kasman Singodimedjo, selaku Ketua BP-KNIP, bersama Kobarsjih dart Adam Malik kepada Presiden Soekamo. OIeh beliau perusahaan-perusahaan itu diberi nama Djawatan Listrik dan Gas yang selanjutnya pada tanggal 27 Oktober 1945 dengan Penetapan Pemerintah 1945 No. 1/SD. dimasukkan dalam Iingkungan Departemen Pekerjaan Umum. Dengan Penetapan Pemerintah tersebut, berarti status pegawai Perusahaan Listrik dan Gas diakui sebagai pegawai negeri dan melalui surat keputusan Menteri PU No. As. 702 tanggal 21 Desember 1946 gaji pokoknya disesuaikan dengan gaji pegawai negeri. Tanggal 27 Oktober tersebut kemudian ditetapkan sebagai Han Listrik dan Gas oleb Menteri PU (Pekerjaan Umum) ad. interim D. Soeprajogi dengan keputusannya tanggal 19 Oktober 1960 No. 20 tahun 1960. Tetapi oleh Menteri PUTL (Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik) Ir. Soetami, dengan keputusannya tanggal 30 September 1975 No. 253/KPTS/1975 Hari Listrik dan Gas
dihapus karena Departemen PUTL sudah mempunyai Hari Kebaktian PU, yaitu tanggal 3 Desember. Oleh Menteri Pertambangan dan Energi Ir. Drs. Ginandjar Kartasasmita, Hari Listrik dan Gas dihidupkan kembali, bahkan ditingkatkan menjadi Hari Listrik Nasional melalui surat keputusannya tanggal 31 Agustus 1992 No. 1134.K/43/ MPE/ 1992. Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Listrik dan Gas Perjuangan mengambil alih perusahaan-perusahaan listrik dan gas ditingkatkan sampai Mosi Koharsjih (SBLGI) tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan Listrik dan Gas milik swasta diterima Parlemen RI pada tanggal 18 Desember 1950. Untuk pelaksanaannva Pemeritah mengeluarkan Keppres No. 163 tenggal 3 Oktober 1953 sementara terbatas terhadap perusahaan-perusahaan swasta dengan modal 100% Belanda. Maka mulailah pelaksanaan nasionalisasi dilakukan terhadap : NV EMA di Ambon pada tanggal I Oktober 1953, NV EMBP di Balikpapan pada tanggal 1 November 1953, NV OGEM di Jakarta, Tangerang, Cirebon termasuk perusahaanperusahaan gasnya di Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon, Semarang, Surabaya, Makassar dan Medan pada tanggal 1 Januari 1954, dan NV ANIEM Jawa Tengah - Jawa Timur pada tanggal 1 November 1954. Agar pelaksanaan nasionalisasi berjalan lebih efektif unuk mencapai tujuannya, maka dengan Keppres No. 15 tahun 1955 tanggal 27 Januari 1955 dibentuk Panitia Negara Pertimbangan Nasionalisasi PerusahaarPerusahaan Listrik dan Gas yang telah habis konsesinya dan disusul dengan keputusan Menteri PUT No. Bpu. 16/7/13 tanggal 30 November 1955 tentang pembentukan Panitia Kerja Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Listrik dan Gas yang terdiri atas 3 anggota , masing-masing dan Departemen PUT Direktorat Jenderal Tenaga dan Departemen Keuangan dengan tugas: a) menyusun daftar perusahaan-perusahaan yang belum dinasionalisasi lengkap dengan data konsesinya, b) menyusun daftar harga sisa dan perusahaan-perusahaan pada tiap akhir tahun sejak 1955 menurut aturan konsesi, c) menyusun rencana kerja mengenai penyelesaian nasionalisasi dengan kemungkinankemungkinan keuangan , dan d) mengajukan rencana itu kepada Panitia Negara Pertimbangan Nasionalisasi. Pembentukan Perusahaan Listnik Negara (PLN) Dalam perkemnbangannya, organisasi BPU-PLN mengalami perubahan, yaitu dengan Peraturan Menteri PUT No. 9/PRT/1964 tanggal 28 Desember 1964 PLN dan PGN masing- masing mempunyai Direksi sendiri. Melalui Surat Keputusan Menteri PUT No. I /Kpts/1965 tanggal 5 Januari 1965 ditunjuk sebagai anggota Direksi: PLN: Ir. Srigati Santoso sebagai Pj . Presiden Direktur dibantu oleh - Jr. Um Tiauw Hing sebagai Pj. Direktur Operasi & Logistik - Ir. Abdul Kadir sebagai Pj. Direktur Pengembangan - Kresno Parmo sebagai Pj. Direktur Personalia & Administrasi. PGN: Jr. R Ahmad Moeh. Hoesni, sebagai Pj. Presiden Direkiur dibantu oleh: - R.P. Parwoto sebagai Pj. Direktur Oplog - Jaja Tasmaja sebagai Pj. Direktur Pengembangan. Dengan terbentuknya Direksi PLN dan Direksi PGN secara terpisah, maka bentuk BPU PLN tidak sesuai lagi. Oleh karenanya dengan PP. 19/ 1965 tanggal 13 Mei 1965 BPU-PLN dibubarkan. Maka masing-masing perusahaan (PLN dan PGN) mengadakan perubahanperubahan struktur organisasinya berdasarkan Peraturan Menteri PUT No.1 /PRT/1965 tanggal 21 Januari 1965. Pembaharuan/Perubahan Tata Cara Kerja PEN di Bidang Administrasi Direksi PLN dengan surat keputusannya No.Kpts/906/DIRPLN/65 tanggal 25 Mei 1965 membentuk Team Penyeragaman Efisiensi Kerja, yang mengadakan rapat
plenonya yang pertama pada tanggal Ii Juni 1965 dan menghasilkan antara lain terbentuknya dua Sub Team, yaitu: 1. Sub Team Administrasi Kepegawaian sesuai dengan Kpts/OlO/DIRPLN/65 tanggal 22 Juni 1965, dan 2. Sub Team Arsip dan Korespondensi sesuai dengan Kpts/012/DIRPLN/65 tnggal 22 Juni 1965. Kelistrikan di Sulawesi NV. NIGN ( Nederlandsch lndische Gas Niaalschappij ) hadir di kota Makassar (Ujung Pandang.) berdasarkan Konsesi No. 27 tanggal 19 Januari 1920/ No. 15 tanggal 11 Juli 1923 untuk kota Makassar dan Konsesi No. 14 tanggal 11 Juni 1923 untuk daerah selatan kota Makassar. Konsesi tersebut diikuti dengan admya PLTD Sunggu Minasa di Goa dan Jaringan Kelistrikan yang melayani masyarakat terutama Kantor pemerintah, sejak Januari 1921. Di luar kota Makassar kelistrikan di tangani oleh NV MEPB (N.V. Maatschappij tot Exploitatie van Plaatselijke Bedrijven) yang berkantor Pusat di Makassar dan memiliki 8 (delapan) Cabang Perusahaan Listrik antara lain: Pare-pare, Sengkang, Watampone, Palopo, Madjene, Sindjai, Bantaeng, dan Bau-Bau. Perusahaan-perusahaan tersebut melayani pabrik-pabrik, seperti pabrik es. pabrik pengeringan jagung, pabrik penggilingan padi, bengkel , dan veem. Adapun pemegang sahamnya adalah beberapa Swapradja (Sw) pada masa itu antara lain : Sw Buton, Sw. Wadjo, Sw. Bone, Sw. Soppeng, Sw. Luwu, Sw. Adjattapparang, Sw. Mandar dan Sw. Laiwui (Kendari) Antara tahun 1938 sampai dengan tahun 1972, NV MEPB yang pada pemerintahan Republik Indonesia menjadi PT. MPS (PT. Maskapai Perusahaan Perusahaan Setempat), menambah cabang-cabangnya sebanyak 23 buah yaitu: Tahun 1938 : Malino, Pinrang, PLTM Sawito, Tahun 1941 : Tanrutodong, Tahun 1951 : Watansoppeng, Tahun 1952: Rappang, Tahun 1953: Bulukumba, Raha, Kendari, Tahun 1954: Pangkadjane Maros, Pangkadjane Sidenreng, Tahun 1957: Telaga/Gorontalo, Maros, Tahun 1958 : Kolaka, Makalo, Tahun 1960 : Suppa, Tahun 1969: Balawa (Wadjo), Tahun 1971 : Kariango (Pinrang), Tahun 1972: Wonomuljo (Polmas). Pada jaman pendudukan Jepang kelistrikan di Sulawesi Selatan dan Tenggara, baik yang berada di bawah NV. NIGM maupun NV. MEPB dikuasi oleh NIPPON Hatsoden Kabusiki Kaisha. Pengembangannya berupa peningkatan jaringan dan pemasangan PLTU (mesin-mesinnya dipindahkan dan Birma). PLTU tersebut terletak di kota Makassar ditepi sungai Tallo. Menjelang tahun 1945 lokasi itu mengalami pemboman oleh tentara sekutu yang mengakibatkan areal sentral menjadi porak poranda sehingga PLTU tidak dapat dioperasikan. Setelah Prokiamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 tentara sekutu dengan NICA-nya mendarat, kelistrikan di Sulawesi Selatan dan Tenggara dikuasai kembali oleh pemilik semula NV. NIGM menjadi NV. OGEM (NV Overzeesche Gas en Electriciteit Maatschappij) dan NV MEPB menjadi NV MPS (NV. Maskapai untuk Perusahaan-perusahaan setempat). NV OGEM kemudian mendirikan PLTD di Bontoala. Pegawai-pegawai yang bekerja di PLTD tersehut, di antaranya sdr. A. Rauf, secara diam-diam menggabungkan diri dengan suatu regu sabotase yang telah diberi tugas tertentu. Alangkah sialnya nasib mereka. Pada tanggal 10 Desember 1946 mereka ditangkap dan ditahan oleh tentara KNIL atas laporan L. de Yong, seorang juru Teknik yang kemudian temyata adalah seorang marinir. Melalui siksaan mereka dilepas dan diperkerjakan kembali di PLTD di bawah tekanan L. de Yong tadi. Peristiwa tanggal 10 Desember 1946 itu temyata membawah keberuntungan bagi mereka, karena mereka terhindar dan maut, yaitu penangkapan dan pembantaian massal yang dimulai sejak tanggal 7 Desember 1946 oleh tentara KNIL di
bawah komandannya Raymond Westerling. Peristiwa ini terkenal dengan nama “ Peristiwa Westerling” Sejalan dengan telah dicapainya KMB (Konferensi Meja Bundar) dan telah berlangsungnya nasionalisasi atas milik NV. OGEM, PLTD Bontoala kemudian diperkuat kapasitasnya dengan satu diesel dan PLTD Senayan Jakarta. Akan halnya dengan NV. MEPB yang kemudian menjadi NV. MPS, daerah Pinrang memiliki beberapa pembangkit, antara lain PLTM Sawito yang mempakan bagian dan proyek bendungan irigasi sungai Saddang. Pembangkit lainnya adalah PLTU Tello yang memperkuat kelistrikan kota Makassar. Namun sayang, akibat kesalahan disain dan pabrik pembuat, maka PLTU tersebut sempat terbakar. Akibatnya beberapa petugas ditahan untuk waktu yang cukup lama dengan penuh penderitaan. Berkat penjelasan seorang anggota Direksi dari Jakarta yang meyakinkan, kasus PLTU itu terselesaikan dengan baik dan semua petugas yang ditahan dilepas kembali. Walaupun kelistrikan di Sulawesi Selatan pengelolaannya telah dilakukan dan dilaksanakan oleh PLN Wilayah VIII, namun masih terdapat perusahaan-perusahaan swasta yang menangani kelistrikan di daerah tersebut yang tergabung di dalam MPS atau Maskapai Perusahaan-perusahaan Setempat di Sulawesi Selatan. Guna mengejar ketinggalan di bidang kelistrikan di Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan tersebut, maka Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan maupun DPRD Provinsi Tmgkat I Sulawesi Selatan serta Departemen Dalam Negeri dan Departemen PUTL menyetujui penyerahan MPS Sulawesi Selatan kepada PLN. Pada tahun 1976 MPS Sulawesi Selatan diserahkan kepada PLN dan penyerahan tersebut tertuang dalam Keputusan Direksi PLN No.73/ DIR/76 tanggal 30 Oktober 1976 dengan Akte Notarial No. 33 tanggal 28 Maret 1976. Berkembangnya Kelistrikan Pedesaan dan dibangunnva PLTA Bakaru serta ditambahnya beberapa pembangkit baru, memperkuat pelavanan kelistrikan di PLN wilayah VIII. Dengan berakhimya kekuasaan Jepang dan dengan adanya Gerakan Merah Putih oleh Nani Wartabone, maka kelistrikan Sulawesi Utara berada di bawah Pemenintah Daerah yang berpihak kepada Pemerintah Republik Indonesia. Kehadiran NICA Belanda menyebabkan Kelistrikan di SuIavesi Utara dikuasai kembali oleh NIGM yang berubah menjadi OGEM. Setelah terjadinya nasionalisasi di Indonesia, maka kelistrikan di Sulawesi Utarapun berada di lingkungan Pemerintah Indonesia kembali. Pada masa pemberontakan Permesta, kelistrikan di Sulawesi Utara tetap berada di bawah Pemerintah Republik Indonesia, walaupun situasi cukup menyulitkan bagi kariyawan kelistrikan di Sulawesi Utara. Pada malam tanggal 3 April 1960 PLTA Tonsea Lama diserang oleh Permesta untuk dikuassi, Pasukan Brigmob (Brigade Mobil) dan petugas PLTA berhasil bertahan dan pada saat serangan usai di antara korban yang tewas, gugur pun Benyamin Kirijoma, salah seorang operator PLTA Tonsea Lama. PENUTUP Kesimpulan Pada abad ke-19, di Amerika dan Eropa, banyak sekali usaha yang dilakukan menggali kemanfaatan gejala elektromagnetik bagi kesejahteraan hidup. Pengunaan telegraf yang pertama-tama memanfaatkan gejala elektromagnetik ini dalam skala ekonomi. Selanjutnya telegraf berkembang dengan pertumbuhan jalan kereta api. Perkembangan telegraf ini memacu para ahli dalam bidang kelistrikan untuk menciptakan sarana yang lebih baik dan salah satu hasilnya adalah generator listrik yang digerakkan oleh mesin uap pada 1870-an. Mesin ini merupakan pembangkit tenaga listrik dengan ukuran yang memadai, keandalan yang baik dan pengelolaan dengan
biaya rendah, yang memungkinkan digunakan serta sesuai untuk keperluan industri. Pada tahun 1880, pencahayaan dengan sumber tenaga listrik, dalam bentuk lampu karbon untuk mercusuar dan lampu pijar untuk pameran dan eksperimen, telah ditemukan dan dikembangkan lebih lanjut. Bola lampu pijar ditemukan Tomas Alva Edison pada tahun 1878 dan persaingan intemasional tidak resmi untuk menciptakan sistem pusat listrik, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk kemanfaatan umum telah dimenangkan oleh Edison. Sistem tersebut mensyaratkan tegangan distribusi yang konstan untuk berbagai beban listrik setiap pelanggan dapat menghubungkan peralatan listriknya sesuai dengan keinginannya dan dapat menggunakan arus listrik sebanyak yang diperlukannya. tegangan yang memang diatur oleh pembangkit listrik tidak mempengaruhi kemudahan menggunakan alat-alat listrik para pelanggan. Edison memilih dengan distribusi 120/240 volt, sistem 3 kawat dan mengembangkan lampu filamen karbon yang dapat dioperasikan pada tegangan 120 volt. Pada tahun 1880-an terjadi 2 buah penemuan yang mengubah seluruh prospek, yaitu William Stanley memperbaiki transformator yang kemudian diikuti oleh penemuan Nikola Tesla tentang motor dan generator arus bolak-balik lifasa. Arus bolak-balik polifasa digunakan dengan pilihan-pilihan tegangan yang ekonomis pada pembangkit, transmisi, distribusi dan peralatan listrik lainnya. Pemanfaatan tenaga listnk untuk keperluan rumah tangga dimulai pada tahun 1882 di New York City dan contoh lainnva di Rotterdam pada tahun 1885. Baru pada tahun 1897 listrik menyala di Batavia (Jakarta) setelah Nederlandsch Indiasche Electriciteits Maatschappij mendapatkan konsesi. Konsesi kemudian dilimpahkan kepada Nederlansch Indische Gas Maatschappij pada tahun 1905 Ketenagalistrikan di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-19, saat beberapa perusahaan Belanda, antara lain pabrik gula, pabrik teh dan perkebunan lainnya mendirikan penbangkit tenaga listrik untuk keperluan perusahaan sendiri. Adapun ketenagalistrikan untuk kepentingan umum baru dimulai pada saat perusahaan swasta Belanda yaitu NV NIGM (Naamlooze Vennootschap Nederlandsch Indiasche Gas Maatschappij) Jakarta, yang semula bergerak dibidang gas memperluas usahanya di bidang listrik untuk kepentingan umum. Hal ini dimungkinkan dengan diundangkannya Ordonansi 1890 No. 190 tanggal 13 September 1890 yang memberi kesempatan kepada perusahaan swasta Belanda mengelolah kelistrikan untuk kepentingan umum. Izin yang diberikan itu berbentuk Electriciteits Vergunning atau Concessie dan dapat diberikan untuk suatu tempat atau suatu wilayah usaha. Di Gorontalo keberadaan ketenagalistrikkan merupakan Anak perusahaan listrik dari ANIEM yang disebut EBALOM (NV. Electriciteits Maatschappij Bali dan Lombok) tepatnya gardu induknya terletak di jalan Wolter Monngisidi, Kelurahan Tenda RT VII/RW III, Kecamatan Kota Selatan. Gardu Induk ini dikenal dengan nama Kantor Jaga Pohe. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda gardu induk ini berfungsi sebagai pemasok daya listrik yang menerangi Kota Gorontalo. Yang diperkirakan didirikan setelah tahun 1920 Namun bangunan ini hanya dapat difungsikan sampai tahun 1978. Sekarang ini sudah dijadikan sebagai lapangan Indoor Bulutangkis. Sedangkan Kantor PLN Area Gorontalo pindah di Jalan Jend. Sudiman Nomor 63 Kota Gorontalo dan kantor dieselnya terletak dijalan Andalas. Pada masa Kolonial Belanda listrik di Gorontalo dibawah pengelolahan perusahaan EBALOM yang digunakan sebagai pemasok daya listrik untuk daerah kota Gorontalo dengan mengunakan pembangkit tenaga diesel sebelum tentara Jepang melakukan pendudukannya di Gorontalo Nani Wartabone bersama Komiteduabelas, organisasi
keislaman dan kaum nasionalis mengadakan pertemuan menbicarakan harus ada perebutan kekuasan dari pemerintah Hindia Belanda karena Belanda telah menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang telah diketahui oleh Nani Wartabone dan para pemuda. Sedangkan kondisi pejabat belanda di Gorontalo telah melakukan aksi penbumihangusan aset-aset vital yang ada di Gorontalo. Maka untuk menhentikan tindakkan tersebut maka Nani Wartabone segera melakukan penangkapan terhadap para pejabat Kolonial Belanda tersebut dan tindakan ini sekaligus mencegah terjadinya pertumpaan darah apabila Jepang akan mengenvansi ke Gorontalo. Jepang mengukuhkan hegomoninya atas daerah Gorontalo pada pertenggahan tahun 1942. Jepang segera melakukan perubahan struktur pemerintahan di Gorontalo seperti halnya yang dilakukan di pulau Jawa pada saat itulah Jepang menguasai segala yang dimiliki oleh rakyat Indonesia khususnya Gorontalo. Menjelang pertengahan tahun 1945 keadaan Jepang semakin terjepit karena kekalahannya pada perang yang terjadi di Pasifik, para tahanan telah dibebaskan dari penjara dan berita menyerahnya tentara Jepang kepada sekutu telah diketahui oleh sebagian rakyat Gorontalo. Akhimya para tahanan beserta pemuda lainnya menbentuk gerakan anti Jepang. Dengan berakhimya kekuasaan Jepang dan dengan adanya Gerakan Merah Putih oleh Nani Wartabone, maka kelistrikan Sulawesi Utara dan Gorontalo tetap berada di bawah Pemenintah Daerah yang berpihak kepada Pemerintah Republik Indonesia. Kehadiran NICA Belanda menyebabkan Kelistrikan di SuIavesi Utara dikuasai kembali oleh NIGM yang berubah menjadi OGEM. Setelah terjadinya nasionalisasi di Indonesia, maka kelistrikan di Sulawesi Utarapun berada di lingkungan Pemerintah Indonesia kembali. Pada masa pemberontakan Permesta, kelistrikan di Sulawesi Utara tetap berada di bawah Pemerintah Republik Indonesia, karena permesta gagal untuk menguasainya. Saran Berdasarkan penelitian sejarah dalam perspektif sejarah Intistitusi dalam skala lokal tentang NIGEM pada masa Kolonial Belanda di Gorontalo abad XX, maka ada beberapa hal penting yang harus dipahami, yakni: 1. Hal ini bahwa inti dari sejarah yaitu pemaknaan dari setiap peristiwa yang tidak serta merta akan diketahui sebagai sejarah maka dari itu perlu adanya penulisan sejarah dan pengarsipan yang perlu di tingkatkan agar generasi yang akan datang adalah generasi yang bersejrah. 2. Secara realities penelitian ini sangat diharapkan agar berkesinanbungan dengan penelitian-penelitian lainnya yang sejenis dengan penelitian ini, sehingga lebih merekonstruksi pemahanan tentang sejarah perjuangan bangsa dalam menasionalisasikan perusahaan-perusahan asing dan swasta menjadi milik bangsa Indonesia yang hari ini terbalik dengan dengan fenomena perjuangan bangsa dalam menasionalisasikan perusahaan-perusahan asing dan swasta menjadi milik Negara Indonesia. 3. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi khalayak, agar dapat dijadikan sebagai teologi pergerakan untuk penbentukan kultur penbangunan yang mampu mengadakan penyesuaian terhadap konstalasi dunia baru serta memantapkan integrasi berbagai unsure yang ada di bangsa yang berragam ini. 4. Pemahaman makna sejarah sangat dipandang perlu dan menjadi perhatian penting agar tidak lahir generasi tanpa sejarah dan identitas kerena bangsa yang tidak memiliki sejarah dan identitas adalah bangsa yang lemah.
DAFTAR PUSTAKA Abd. Rahman Hamid & Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta : Ombak, 2011). Adian Husain, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegomoni Kristen Ke Dominasi SekularLiberal (Jakarta : Gema Insani, 2005). Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modem. (Sleman Yogyakarta: INSAN MADANI, 2011). Ayatrohaedi dan Tim Peyusun, Kumpulan Buklet Hari Bersejarah II (Jakarta : Proyek Inventarisme dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994). Bambang Purwanto, Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia, Dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Ed. Henk Schulte, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, Pustaka Larasan, 2013). Daliman A, Metode Penelitiian Sejarah. (Yogyakarta : Ombak, 2012). DR. Ir. Sudirman Habibie, Msc dan Tim Peyusun, 23 Januari 1942 dan Nasionalisme Nani Wartabone (Gorontalo: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 2004). , Pengantar Filsafat Sejarah, Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2012). Guritno Mangkoesoebroto, Ekonomi Publik 1999).
(Yogyakarta : BPFE-YOGYAKARTA,
Hasanuddin dan Basri Amin, Gorontalo dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2012). Hendri F. Isnaeni & Apid Romusa Sejarah yang Terlupakan . (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008). I Wayan dan Tim Peyusun , Laporan Inventarisasi Cagar Budaya Kota Gorontalo (Gorontalo :Program Kerja Balai Pelestarian Peningalan Purbakala Gorontalo, 2010). Ir. Djiteng Marsudi dan tim penyusun 50 Tahun pengabdian PLN. (Jakarta PT. PLN (Persero) 1995). Joni Apriyanto, Konflik Gorontalo-Hindia Belanda Periode 1856-1942 (Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo Pess, 2006). Joni Apriyanto, Sejarah Gorontalo Modem Perlawanan Kolektif Tahun 1942 (Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo Pess, 2010). Joni Apriyanto, Sejarah Gorontalo Modem dari Hegemoni Kolonial ke Provinsi (Yogyakarta: Pemerbit Ombak, 2012). Kadir Abdul, Pembangkit Tenaga Listrik.. (Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press), 1996). Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003). Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008).
Media Komunikasi Profesi Masyarakat Sejarawan Indonesia, SEJARAH : Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi. (Jakarta : MSI berkerja sama dengan Arsip Nasional Republik Indonesia, 1999). Mohamad Jefri N. Abdul, Arsitektur Koolonial Belanda Sebagai Identitas” Kota Tua” Gorontalo. (Gorontalo : Skripsi, 2012). Mr Auwjong Peng Koen, Perang Pasifik 1941- 1945 (Jakarta : KENG PO DJAKARTA, 1957). Prof. Dr. Sartono Kartodirjo, Pembangunan Bangsa Tentang Nasionalisasi, Kesadaran, dan Kebudayaan Nasional. (Yogyakarta : Aditya Media, 1993). Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Altematif (Jakarta: Gramedia, 1982). Sjamsuddin Helius, Metodologi Sejarah. (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2007). S. J. Rutgers, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012). Sugeng Priyadi, Sejarah Lokal : Konsep, Metode, dan Tantangannya. (Yogyakarta : Ombak, 2012). Taufik Abdullah, Sejarah Lokal Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996).