BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Makroskopis Hasil pengamatan makroskopis meliputi warna, corak, tekstur dan arah serat kayu disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Karakterisitik makroskopis pada enam potongan kayu yang diteliti Kode Sampel A
B C
D E F
Warna
Corak
Tekstur
Arah serat
Teras coklat tua (2480); gubal putih keabuan (1104)
Ada
Sedang (110,01 ± 31,12 µm)
Lurus hingga agak berpadu
Coklat muda (1403)
Tidak Ada
Halus (98,51 ± 23,09 µm)
Lurus
Teras coklat kemerahan (3404); gubal coklat kekuningan (2101)
Tidak Ada
Halus (88,62 ± 14,32 µm)
Lurus
Putih kelabu (1104)
Tidak Ada
Sedang (110,98 ± 15,56 µm) Halus (86,74 ± 18,89 µm)
Lurus hingga agak berpadu Lurus hingga berombak
Halus (93,25 ± 18,89 µm)
Lurus
Coklat tua kemerahan (3403) Teras coklat (2409); gubal kuning kelabu (1129)
Tidak Ada Tidak Ada
a. Warna dan corak Hasil pengamatan menunjukan bahwa masing-masing potongan kayu yang diteliti memiliki warna yang bervariasi (Gambar 4). Sampel A berwarna coklat tua (2480) pada bagian teras dan putih keabuan (1104) pada bagian gubal. Sampel B berwarna coklat muda (1403), sedangkan sampel C coklat kemerahan (3404) pada bagian teras dan coklat kekuningan (2101) pada bagian gubal. Sampel D dan E masing-masing berwarna putih kelabu (1104) dan coklat tua kemerahan (3403). Sampel F berwarna coklat (2409) pada bagian teras dan kuning kelabu (1129) pada bagian gubal. Menurut Hoadley (1990), warna kayu sangat berkaitan dengan kandungan zat ekstraktif yang ada. Pada umumnya kayu yang lebih gelap memiliki kandungan zat ekstraktif yang lebih banyak. Warna kayu yang lebih gelap menunjukkan bahwa kayu tersebut memiliki ketahanan yang tinggi terhadap serangan faktor perusak, sedangkan warna yang lebih cerah
16 menandakan bahwa ketahanannya relatif lebih rendah (Tsoumis 1991). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sampel A, B, C, E dan F memiliki ketahanan yang tinggi.
a
b
c
d
e
f
Gambar 4 Warna dan corak kayu: (a) Sampel A; (b) Sampel B; (c) Sampel C; (d) Sampel D; (e) Sampel E; (f) Sampel F Dari Gambar 4 dapat diketahui bahwa hanya sampel A yang memiliki corak yang khas. Adanya corak akan memperindah penampilan kapal. Corak yang terdapat pada sampel A ditandai dengan garis-garis lingkaran tumbuh yang mirip dengan yang ada pada kayu Jati. Dengan demikian maka besar kemungkinan bahwa potongan sampel A adalah potongan kayu Jati sebagaimana informasi yang diperoleh. b. Tekstur Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keseluruhan sampel kayu yang diteliti bertekstur halus (sampel B, C, E dan F) hingga sedang (sampel A dan D). Diameter pori sampel B, C, E dan F masing-masingnya adalah 98,51±23,09 µm, 88,62±14,32 µm, 86,74±18,89 µm dan 93,25±18,89 µm, sedangkan diameter pori sampel A dan D berturut-turut adalah 110,01±31,12 µm dan 110,98±15,56 µm. Hal ini sesuai dengan Wheeler et al. (2008) dimana kayu dikatakan bertekstur halus bila diameter porinya <100 µm dan bertekstur sedang bila diameter porinya 100-200 µm.
17 c. Arah Serat Hasil pengamatan menunjukkan bahwa arah serat pada potongan kayu yang diteliti berkisar antara lurus (sampel B, C dan F), lurus hingga berpadu (sampel A dan D) dan lurus hingga berombak (sampel E). Menurut Bowyer et al. (2003), arah serat dapat mempengaruhi sifat kayu khususnya sifat mekanis. Kayu dengan arah serat lurus menghasilkan kayu gergajian yang relatif lebih baik dibandingkan dengan kayu berserat miring terutama serat berpadu (interlocked grain) dan terpilin (spiral grain). 4.2 Sifat Mikroskopis Hasil pengamatan sifat mikroskopis disajikan pada Gambar 5, 6 dan 7, sedangkan Gambar 8 memuat hasil pengamatan terhadap serat kayu pada keenam potongan sampel uji yang diteliti.
Gambar 5 Penampang lintang: (a) Sampel A; (b) Sampel B; (c) Sampel C; (d) Sampel D; (e) Sampel E; (f) Sampel F (Perbesaran 50x)
18
Gambar 6 Penampang radial: (a) Sampel A; (b) Sampel B; (c) Sampel C; (d) Sampel D; (e) Sampel E; (f) Sampel F (Perbesaran 50x)
Gambar 7 Penampang tangensial: (a) Sampel A; (b) Sampel B; (c) Sampel C; (d) Sampel D; (e) Sampel E; (f) Sampel F (Perbesaran 50x)
Gambar 8 Sel serat: (a) Sampel A; (b) Sampel B; (c) Sampel C; (d) Sampel D; (e) Sampel E; (f) Sampel F (Perbesaran 100x)
19 a. Sel Pembuluh (pori) Hasil pengamatan terhadap pengelompokan, penyebaran, tipe bidang perforasi, tipe noktah antar pembuluh, diameter dan frekuensi pori disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 diketahui bahwa karakteristik sel pembuluh pada masing-masing potongan kayu yang diuji cenderung berbeda sehingga mengindikasikan jenis yang berbeda-beda. Potongan sampel B, C, D dan E memiliki pola penyebaran pori tata baur, sedangkan potongan sampel A tata lingkar. Pola penyebaran pori pada sampel F adalah semi tata lingkar. Tabel 2 Karakterisitik sel pembuluh pada enam potongan kayu yang diteliti Kode Sampel
Penyebaran
A
Tata lingkar
B
Tata baur
C
Tata baur
D
Tata baur
E
Tata baur
F
Semi tata lingkar
Bidang Perforasi
Noktah
Diameter (μm)
Frekuensi per mm²
Isi Pori
Sederhana
Selangseling
73-159
4-8
Tilosis, endapan putih
Sederhana
Selangseling
53-144
10 -16
Tilosis
Bentuk tangga
Bentuk tangga
64-112
10-18
Tilosis, endapan putih
Sederhana
Selangseling
83-141
6-11
Tilosis
Dominan soliter
Sederhana
Berhadaphadapan
48-110
15-21
Tilosis, endapan putih
Soliter dan bergabung radial 2-6
Sederhana
Selangseling
41-116
19-32
-
Pengelompokan Soliter dan bergabung radial 2-3 Soliter dan bergabung radial 2-5 Soliter dan bergabung radial 2-4 Soliter dan bergabung radial 2-3
Pengelompokan pori pada semua potongan sampel kayu yang diteliti adalah soliter dan bergabung radial 2 hingga 6 sel. Perbedaan diantara keenam potongan sampel terletak pada jumlah sel yang bergabung radial. Sampel A dan D memiliki 2-3 sel yang bergabung radial, sampel C 2-4 sel, sampel B 2-5 sel dan sampel F memiliki 2-6 sel. Pori-pori pada sampel E didominasi oleh pori soliter. Bidang perforasi yang ada pada semua potongan sampel kayu yang diteliti adalah bidang perforasi sederhana, kecuali sampel C yang memiliki bidang perforasi bentuk tangga. Pernoktahan di dinding sel pembuluh pada umumnya berupa pernoktahan yang berselang-seling (alternate), kecuali pada
20 sampel C dan E. Pernoktahan pada sampel C berupa pernoktahan bentuk tangga (scalariform), sedangkan pada sampel E berhadap-hadapan (opposite). Diameter pori berkisar antara 41-159 µm. Diameter pori pada sampel A, B dan D relatif lebih besar dibandingkan diameter pori pada sampel C, E dan F. Diameter pori sampel A, B dan D berturut-turut adalah sebesar 73-159 µm, 53-144 µm dan 83-141 µm, sedangkan diameter pori sampel C, E dan F berturut-turut adalah 64-112 µm, 48-110 µm dan 41-116 µm. Semakin besar diameter pori, semakin kasar pula tekstur kayu. Frekuensi pori pada penampang lintang digolongkan menurut jumlahnya per mm². Berdasarkan klasifikasi Bowyer et al. (2003); Pandit dan Kurniawan (2008), frekuensi pori pada keenam potongan sampel kayu berkisar antara sedikit-sedang (sampel A), sedang-banyak (sampel D) dan banyak (sampel B, C, E dan F). Tilosis dan endapan padat berwarna putih ditemukan di dalam sel pembuluh pada sampel A, C dan E yang diteliti, sedangkan pada sampel B dan D hanya terdapat tilosis. Sampel F tidak mengandung tilosis maupun endapan berwarna. Kayu yang memiliki tilosis dan endapan padat cenderung sulit untuk dikeringkan dan dimasuki bahan kimia sebagaimana Bowyer et al. (2003). b. Sel jari-jari Hasil pengamatan terhadap sel jari-jari kayu yang meliputi lebar atau jumlah baris (seri), komposisi, jumlah lapisan sel tegak, sel bujur sangkar, sel baring, silika, bentuk kristal, lebar dan tinggi disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 diketahui bahwa sel jari-jari kayu pada keenam potongan kayu yang diteliti cenderung berbeda. Masing-masing potongan juga mengindikasikan jenis yang berbeda-beda. Pengamatan pada bidang lintang menunjukkan bahwa lebar jari-jari bervariasi. Sampel B, E dan F didominasi oleh jari-jari uniseriate (1 seri hingga 1-2 seri), sampel D biseriate (2-3 seri), sedangkan sampel A dan C oleh jari-jari multiseriate (2-4 seri). Pengamatan bidang radial menunjukkan bahwa sel jari-jari kayu pada sampel A, B, C, E dan F adalah heteroseluler, sedangkan sampel D homoseluler.
21 Tabel 3 Karakteristik sel jari-jari pada enam potongan kayu yang diteliti Bidang dan Parameter Pengamatan Lebar atau X jumlah seri Komposisi Jumlah lapisan sel tegak Jumlah lapisan R sel bujur sangkar Jumlah lapisan sel baring Silika Bentuk Kristal Lebar T Tinggi
Sampel A
Sampel B
Sampel C
Sampel D
Sampel E
Sampel F
Multiseriate dominan; 2-4 seri Heteroseluler
Uniseriate dominan; 1-2 seri Heteroseluler
Multiseriate dominan; 2-4 seri Heteroseluler
Biseriate dominan; 2-3 seri Homoseluler
Uniseriate dominan; 1 seri Heteroseluler
Uniseriate dominan; 1 seri Heteroseluler
1-2
1
2-4
-
1-2
1-3
1-2
1
2-4
-
1-2
4-7
2-13
5-10
8-18
3-6
2-6
-
Ada -
2-5 8-28
1-2 6-17
Rhomboidal 1-3 6-24
Ada
-
Rhomboidal 2-5 35-53
Rhomboidal 1 6-28
1 5-13
1-3
Jumlah lapisan sel tegak, sel bujur sangkar dan sel baring pada keenam potongan kayu yang diteliti juga bervariasi. Jumlah sel tegak dan sel bujur sangkar masing-masingnya sebanyak 1 lapis pada sampel B, 1-2 lapis pada sampel A dan E, 1-3 lapis pada sampel F dan 2-4 lapis pada sampel C. Sampel D tidak memiliki sel tegak maupun sel bujur sangkar. Jumlah sel baring pada sampel A 4-7 lapis, pada sampel B 2-13 lapis, pada sampel C 5-10 lapis, sampel D 8-18 lapis, sampel E 3-6 lapis dan pada sampel F 2-6 lapis. Hasil pengamatan terhadap silika dan kristal di dalam sel jari-jari kayu juga memperlihatkan adanya variasi. Silika hanya ditemukan pada sampel B dan E, sedangkan kristal pada sampel C, D dan F. Bentuk kristal yang ditemukan adalah
kristal
prismatik
(rhomboidal).
Sampel A
tidak
mengandung silika maupun kristal. Berdasarkan pengamatan di bidang tangensial, lebar dan tinggi sel jarijari pada keenam potongan kayu yang diteliti juga bervariasi. Lebar jari-jari pada sampel E dan F hanya terdiri dari 1 sel, pada sampel A dan C 2-5 sel, pada sampel B 1-2 sel dan pada sampel D 1-3 sel. Tinggi jari-jari sampel A 8-
22 28 sel, sampel B 6-17 sel, sampel C 35-53 sel, sampel D 6-24 sel, sampel E 513 sel dan sampel F 6-28 sel. Menurut Tsoumis (1991), jari-jari kayu pada sampel E tergolong pendek-sedang, pada sampel A, B, D dan F termasuk pendek-tinggi, sedangkan pada sampel C tergolong tinggi. c. Sel parenkim Hasil pengamatan terhadap sel parenkim pada keenam potongan kayu yang diteliti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik sel parenkim pada enam potongan kayu yang diteliti Jenis Parenkim Apotrakeal Paratrakeal: Jarang Selubung Sepihak Aliform Konfluen Pita Marjinal
Sampel A -
Sampel B -
Sampel C -
Sampel D -
Sampel E -
Sampel F -
Ada -
Ada -
Ada -
Ada Ada -
Ada Ada -
Ada Ada Ada
Ada
-
-
-
-
-
-
Berdasarkan Tabel 4, tipe sel parenkim pada masing-masing potongan kayu yang diteliti juga cenderung berbeda. Pada seluruh potongan kayu, tidak ditemukan adanya sel parenkim tipe apotrakeal. Tipe yang mendominasi adalah parenkim paratrakeal, dimana tipe jarang ditemukan pada sampel B, C, D, E dan F; tipe selubung ditemukan pada sampel A dan D; tipe aliform ditemukan pada sampel E dan F, sedangkan tipe konfluen hanya ditemukan pada sampel F. Parenkim marjinal bentuk pita juga hanya ditemukan pada sampel A. Dengan parenkim marjinal bentuk pita, semakin kuat dugaan bahwa sampel A adalah kayu Jati. Pada kayu Jati ditemukan sel parenkim marjinal bentuk pita memanjang disamping parenkim paratrakeal bentuk selubung sebagaimana Martawijaya et al. (2005a). d. Dimensi sel serat Pengamatan dimensi serat meliputi panjang serat, diameter serat, diameter lumen dan tebal dinding disajikan pada Tabel 5.
23 Tabel 5 Dimensi serat pada enam enam potongan kayu yang diteliti Kode Sampel
Dimensi (μm) Diameter Diameter Serat Lumen 21,61 15,05
A
Panjang Serat 1268,68
Tebal Dinding 3,28
B
994,25
21,94
15,16
3,39
C
1024,79
25,59
12,80
6,40
D
884,35
23,23
16,24
3,49
E
1193,19
23,12
6,77
8,17
F
851,88
21,83
14,19
3,82
Dari Tabel 5 diketahui bahwa dimensi serat (panjang dan diameter serat, serta diameter lumen dan tebal dinding serat) pada keenam potongan kayu bervariasi. Perbedaan ini terkait dengan umur dan jenis pohon, lokasi dan kondisi pertumbuhan serta lokasi dalam batang sebagaimana Mandang dan Pandit (1997) serta Bowyer et al. (2003). Panjang serat berkisar antara 851,881268,68 µm, diameter serat antara 21,61-25,59 µm, diameter lumen antara 6,77-16,24 µm dan tebal dinding serat antara 3,28-8,17 µm. Secara keseluruhan sampel A memiliki serat terpanjang (1268,68 µm), sedangkan sampel F memiliki serat terpendek (851,88 µm). Panjang serat pada sampel B, C, D dan E masing-masing adalah 994,25 µm, 1024,79 µm, 884,35 µm dan 1193,19 µm. Diameter serat terlebar (25,59 µm) dijumpai pada sampel C, sedangkan diameter serat yang paling sempit (21,61 µm) terdapat pada sampel A. Sampel B, D, E dan F memiliki diameter serat masing-masing sebesar 21,94 µm, 23,23 µm, 23,12 µm dan 21,83 µm. Dari segi diameter lumen, sampel D memiliki diameter lumen yang paling lebar (16,24 µm), sedangkan sampel E memiliki diameter lumen yang paling sempit (6,77 µm). Diameter lumen serat pada sampel A, B, C dan F masing-masingnya adalah sebesar 15,05 µm, 15,16 µm, 12,80 µm dan 14,19 µm. Dari segi tebal dinding serat, sampel C dan E relatif lebih tebal dibandingkan sampel A, B, D dan F. Tebal dinding serat pada sampel C dan E berturut-turut adalah 6,40 µm dan 8,17 µm, sedangkan pada sampel A, B, D dan F masing-masing sebesar 3,28 µm, 3,39 µm, 3,49 µm dan 3,82 µm.
24 Serat memiliki fungsi penting dalam mendukung sifat mekanis suatu jenis kayu. Kayu dengan serat yang lebih tebal memiliki kekuatan yang lebih tinggi (Bowyer et al. 2003). 4.3
Identifikasi Kayu Tabel 6 memuat rekapitulasi hasil pengamatan makro- dan mikroskopis
terhadap enam potongan sampel kayu yang diteliti. Hasil yang diperoleh telah dicocokan dengan data kayu otentik dan data sekunder lainnya. Tabel 6 Hasil identifikasi jenis keenam potongan kayu Kode Sampel
A
B
C
D
E
F
Karakteristik Kayu Hasil Pengamatan Warna bagian teras coklat tua, gubalnya putih keabuan, lingkaran tumbuh jelas, ada corak yang khas, serat lurus hingga agak berpadu, tekstur sedang, pori tata lingkar, bidang perforasi sederhana, noktah berselang-seling, terdapat tilosis dan endapan putih, jari-jari multiseriate-heteroseluler, tidak ada silika dan kristal, dengan sel parenkim paratrakeal tipe selubung dan pita marjinal Kayu coklat muda, lingkaran tumbuh tidak jelas, tidak bercorak, serat lurus, tekstur halus, pori tata baur, bidang perforasi sederhana, noktah selang-seling, ada tilosis, jari-jari uniseriate, heteroseluler, ada silika, dengan sel parenkim paratrakeal tipe jarang Warna bagian teras coklat kemerahan, gubalnya coklat kekuningan, lingkaran tumbuh tidak jelas, tidak bercorak, serat lurus, tekstur halus, pori tata baur, bidang perforasi bentuk tangga, noktah bentuk tangga, ada tilosis dan juga endapan putih, jari-jari multiseriate-heteroseluler, ada kristal, dengan sel parenkim paratrakeal tipe jarang Kayu putih kelabu, lingkaran tumbuh tidak jelas, tidak bercorak, serat lurus hingga agak berpadu, tekstur sedang, pori tata baur, bidang perforasi sederhana, noktah berselang-seling, ada tilosis, sel jari-jari biseriate-homoseluler, ada kristal, dengan sel parenkim paratrakeal tipe jarang dan tipe selubung Kayu coklat tua kemerahan, lingkaran tumbuh tidak jelas, tidak bercorak, serat lurus hingga berombak, tekstur halus, pori tata baur, bidang perforasi sederhana, noktah berhadap-hadapan, ada tilosis dan juga endapan putih, jari-jari uniseriate-heteroseluler, ada silika, dengan sel parenkim paratrakeal tipe jarang dan tipe aliform Bagian teras coklat kemerahan, gubalnya kuning kelabu, lingkaran tumbuh tidak jelas, tidak bercorak, serat lurus, tekstur halus, pori semi tata lingkar, bidang perforasi sederhana, noktah berselang-seling, jari-jari uniseriate-heteroseluler, ada kristal, dengan sel parenkim paratrakeal tipe jarang, aliform hingga konfluen
Jenis Kayu
Tectona grandis
Santiria laevigata
Bruguiera parviflora
Vitex cofassus
Tristaniopsis decorticata
Anogeissus acuminata, Ziziphus spp., Eucalyptopsis spp. atau Dysoxylum spp.
25 Dari Tabel 6 diketahui bahwa seluruh potongan sampel kayu yang diteliti dapat diidentifikasi jenisnya, kecuali sampel F. Berdasarkan pengamatan terhadap ciri-ciri makro- dan mikroskopisnya diketahui bahwa sampel A adalah kayu Tectona grandis (jati), sampel B adalah kayu Santiria laevigata (besulo), sampel C kayu Bruguiera parviflora (bakau), sampel D kayu Vitex cofassus (bitti) dan sampel E adalah kayu Tristaniopsis decorticata (besi). Karakteristik kayu T. grandis adalah lingkaran tumbuh jelas, warna kayu coklat muda hingga coklat merah tua (teras) dan putih kelabu (gubal), tekstur agak kasar sampai kasar, serat lurus bergelombang sampai agak berpadu, pori tata lingkar,
bidang
perforasi sederhana,
noktah
berselang-seling,
parenkim
paratrakeal selubung serta ada juga yang berbentuk pita marjinal, tidak ditemukan kristal, memiliki endapan padat berwarna putih dan juga tilosis (Mandang & Pandit 1997; Martawijaya et al. 2005 a dan Ogata et al. 2008). Kayu S. laevigata memiliki karakteristik: lingkar tumbuh tidak jelas, warna kayu merah muda pucat (teras) dan coklat muda (gubal), tekstur agak halus, serat lurus, pori tata baur, bidang perforasi sederhana, noktah berselang-seling, parenkim paratrakeal jarang, lebar jari-jari umumnya satu seri tetapi ada juga yang beberapa 2 seri, ada tilosis dan silika (Abdurrohim et al. 2004 dan Ogata et al. 2008). Ciri-ciri kayu B. parviflora antara lain adalah warna coklat muda sampai coklat merah tua (teras) dan kuning coklat sampai coklat muda (gubal), tekstur halus, serat lurus, pori tata baur, bidang perforasi bentuk tangga, noktah bentuk tangga, parenkim paratrakeal jarang, memiliki tilosis dan kristal (Martawijaya et al. 2005 b dan Ogata et al. 2008). Ciri-ciri kayu V. cofassus adalah lingkaran tumbuh tidak begitu jelas, warna pada bagian teras putih agak kelabu, kuning kelabu hingga coklat dan tidak tegas batasnya dengan gubal, tekstur halus sampai agak kasar, serat lurus bergelombang sampai agak berpadu, porinya tata baur, bidang perforasi sederhana, noktah berselang-seling, parenkim berbentuk jarang serta selubung, mengandung kristal dan tilosis (Mandang & Pandit 1997 dan Ogata et al. 2008). Heyne (1987) menyebutkan bahwa kayu V. cofassus memiliki nama daerah antara lain kayu Gofasa, Bupasa, Katondeng dan Bitti. Ciri-ciri umum kayu T. decorticata adalah warna coklat tua kemerahan, tekstur halus, serat berpadu
26 hingga berombak, pori umumnya soliter, jari-jari uniseriate, parenkim jarang, mengandung tilosis, endapan dan silika (Sosef et al., 1998). Pelacakan melalui komputer (database ciri-ciri kayu otentik Indonesia) maupun pencocokan secara manual (Heyne 1987, Soerianegara & Lemmens 1993, Lemmens et al. 1995, Mandang & Pandit 1997, Sosef et al. 1998, Abdurrohim et al. 2004, Martawijaya et al. 2005a, Martawijaya et al. 2005 b dan Ogata et al. 2008), tidak menemukan satu species pun dengan karakternya sama dengan karakter hasil pengamatan terhadap sampel F. Hanya kayu-kayu Anogeissus acuminata yang berasal dari India (Sosef et al. 1998) serta Ziziphus spp., Eucalyptopsis spp. dan Dysoxylum spp. (data base ciri-ciri kayu otentik Indonesia) yang paling mendekati. Karakter sampel F yang diamati bercirikan: lingkar tumbuh tidak begitu jelas, tidak bercorak, serat lurus, tekstur halus, pori semi tata lingkar, bidang perforasi sederhana, noktah berselang-seling, jari-jari uniseriate-heteroseluler, ada kristal, dengan sel parenkim paratrakeal tipe jarang, aliform hingga konfluen. Berdasarkan informasi dari pengrajin, nama lokal sampel F adalah kayu Matikuli. Kayu ini sekarang sudah semakin sulit diperoleh sehingga fungsinya diganti dengan kayu T. decorticata. 4.4
Penentuan Jenis Kayu Alternatif Jenis-jenis kayu alternatif dipilih berdasarkan kesamaan nilai berat jenis
(BJ), kelas kuat dan kelas keawetan kayu karena penggunaan kayu sebagai konstruksi kapal sangat berkaitan dengan sifat mekanis dan sifat awetnya. Ratarata nilai BJ kayu, kelas kuat dan kelas awet jenis kayu yang diteliti disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Berat jenis, kelas kuat dan kelas awet enam jenis kayu yang diteliti Jenis Berat Jenis Kelas Kuat Kelas Awet Tectona grandis 0,67 II I – II Santiria laevigata 0,61 III IV Bruguiera parviflora 0,92 I – II III Vitex cofassus 0,74 II – III II – III Tristaniopsis decorticata 1,12 I II Matikuli Sumber: Abdurrohim et al. (2004), Muchlis & Sumarni (2008), Mandang & Pandit (1997) dan Seng (1990)
27 Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwa BJ kayu keenam jenis yang diteliti bervariasi mulai 0,61 hingga 1,12. T. decorticata dan B. parviflora memiliki BJ kayu yang lebih tinggi dibandingkan dengan T. grandis, S. laevigata dan V. cofassus. BJ kayu T. decorticata dan B. parviflora masing-masingnya sebesar 1,12 dan 0,92, sedangkan BJ kayu T. grandis, S. laevigata dan V. cofassus masing-masingnya sebesar 0,67, 0,61 dan 0,74. Menurut Sadiyo (1989) dalam Sadiyo (2011); Bowyer et al. (2003), perbedaan nilai BJ kayu disebabkan adanya perbedaan struktur anatomis kayu yang meliputi macam sel penyusun kayu termasuk penyebarannya, keberadaan saluran interselluler, kandungan bahan kimia dan ketebalan dinding sel. Dari Tabel 7 diketahui bahwa kelas kuat keenam jenis kayu yang diteliti bervariasi: T. decorticata Kelas Kuat I, B. parviflora Kelas Kuat I-II, T. grandis Kelas Kuat II, V. cofassus Kelas Kuat II-III, sedangkan S. laevigata Kelas Kuat III. Dari segi kekuatan, kelima jenis tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal. Menurut standar BKI (1989), persyaratan minimal kelas kuat kayu untuk suatu konstruksi adalah Kelas Kuat III. Dari Tabel 7 diketahui pula bahwa kelas awet seluruh jenis kayu yang diteliti bervariasi: T. grandis Kelas Awet I-II, T. decorticata Kelas Awet II, V. cofassus Kelas Awet II-III, B. parviflora Kelas Awet III dan S. laevigata Kelas Awet IV. Dari segi keawetan kayu, S. laevigata perlu diawetkan terlebih dahulu karena tergolong kurang awet. Tabel 8 memuat persyaratan teknis kayu sebagai bahan baku pembuatan kapal untuk masing-masing bagian konstruksi kapal atau penggunaannya. Tabel 8 Persyaratan teknis kayu konstruksi kapal Penggunaan
Persyaratan Teknis
Lunas
Tidak mudah pecah, tahan binatang laut
Gading-gading
Kuat, tidak mudah pecah, tahan binatang laut.
Kulit/lambung
Kuat, tidak mudah pecah, tahan binatang laut.
Bangunan atas dan dudukan Ringan, kuat, awet, keras, tidak mudah pecah karena mesin getaran mesin Pembungkus es dan balingLunak, sehingga tidak merusak logam baling Sumber: Dumanauw (1982) dalam Kusumanti (2009)
28 Berdasarkan persyaratan teknis sebagaimana Tabel 8, maka jenis-jenis kayu alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya harus memiliki BJ, kelas kuat dan kelas awet yang mendekati atau relatif sama dengan kayu-kayu yang selama ini digunakan. Jenis-jenis lokal lebih diutamakan karena selain relatif mudah dalam hal pengadaan sekaligus untuk meningkatkan pemanfaatan kayu secara lebih maksimal. Jenis-jenis kayu yang berpotensi menjadi kayu alternatif disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Jenis kayu yang digunakan, jenis kayu alternatif dan penggunaannya Jenis Kayu T. grandis
Jenis Kayu Alternatif 1. Artocarpus spp. (BJ = 0,64; KK = II-III; KA = II-III; Asal Muna) 2. Albizzia lebbeck (BJ = 0,69; KK = II; KA = II; Asal Muna) 3. Shorea laevifolia (BJ = 0,91; KK = I-II; KA = I-II; Asal Kalimantan ) S. laevigata 1. Canarium hirsutum (BJ = 0,61; KK = II-III; KA = IV-V; Asal Muna) 2. Garuga floribunda (BJ = 0,60; KK = II-III; KA = III; Asal Muna) 3. Peronema canescens (BJ = 0,63; KK = II-III; KA = III; Asal seluruh Kalimantan) 4. Shorea acuminata (BJ = 0,51; KK = III-IV; KA = III-IV; Asal Kalimantan) B. parviflora 1. Rhizophora stylosa (BJ = 1,04; KK = I; KA = III; Asal Kendari) 2. Rhizophora gymnorhiza (BJ = 0,94; KK = I-II; KA = III; Asal Buton) V. cofassus 1. Xylocarpus moluccensia (BJ = 0,74; KK = II; KA = II-III; Asal Kolaka) 2. Gannophyllum falcatum (BJ = 0,79; KK = I-II; KA = III; Asal Buton) T. decorticata 1. Maranthes corymbosa (BJ = 0,96; KK = I; KA = III; Asal Kolaka) 2. Diploknema oligomera (BJ = 1,12; KK = I; KA = III; Asal Kendari) 3. Xanthostemon confertiflorum (BJ = 1,28; KK = I; KA = I; Asal Kolaka) Matikuli 1. Lagerstroemia speciosa ( BJ = 0,69; KK = II-III; KA = II-III; Asal Muna) 2. Shorea laevifolia (BJ = 0,91; KK = I-II; KA = I-II; Asal Kalimantan ) 3. Intsia retusa (BJ = 0,74; KK = II; KA = I-II; Asal Muna) Keterangan: BJ = Berat Jenis; KK = Kelas Kuat; KA = Kelas Awet Sumber: Seng (1990), Whitmore et al. (1989) dan Martawijaya et al. (2005b )
Penggunaan gading-gading (kerangka dasar) kapal
kerangka tiang bagian atas kapal, ruangan kapten kapal
paku kapal
kerangka dasar bagian atas kapal, lantai kapal lunas kapal, dasar bawah kapal
lambung (kulit) kapal
Dari Tabel 9 diketahui bahwa untuk tujuan gading-gading kapal, kayu T. grandis dapat diganti dengan kayu Artocarpus spp., Albizzia lebbeck dan atau
29 Shorea laevifolia sebagaimana Sosef et al. (1998), Lemmens et al. (1995) dan Dumanauw (1982) dalam Kusumanti (2009). Menurut Sosef et al. (1998), kayu A. lebbeck dapat digunakan sebagai bahan baku untuk konstruksi rumah, jembatan, alat musik dan perahu; kayu Artocarpus spp. untuk konstruksi ringan, vener dan pembuatan perahu (Lemmens et al. 1995), sedangkan kayu S. laevifolia dapat digunakan sebagai gading-gading kapal (Dumanauw 1982 dalam Kusumanti 2009). Untuk kerangka tiang bagian atas kapal dan ruangan kapten kapal, kayu S. laevigata dapat digantikan oleh kayu Canarium hirsutum, Garuga floribunda, Peronema canescens dan atau Shorea acuminata. Menurut Dumanauw (1982) dalam Kusumanti (2009), kayu S. acuminta dan C. hirsutum dapat digunakan sebagai bangunan atas dan dudukan mesin. Menurut Heyne (1987), kayu G. floribunda dapat digunakan untuk bahan kayu konstruksi bangunan dan peti mati, sedangkan menurut Mandang dan Pandit (1997), kayu P. canescens dapat digunakan untuk dinding, rangka pintu dan jendela karena memiliki kesan dekoratif. Untuk bahan paku kapal, kayu-kayu hutan mangrove terutama Rhizophora stylosa dan R. ghymnorhiza dapat menggantikan kayu B. parviflora. Menurut Martawijaya et al. (2005b), kayu-kayu dari famili Rhizophoraceae biasa digunakan untuk tiang, balok perumahan dan tongkat jemuran daun tembakau. Untuk kerangka dasar bagian atas dan lantai kapal, kayu V. cofassus dapat digantikan oleh kayu Xylocarpus moluccensia dan atau Gannophyllum falcatum. Menurut Sosef et al. (1998), kayu G. falcatum dapat digunakan sebagai bahan konstruksi rumah, jembatan, jendela dan dek kapal, kayu X. moluccensia memiliki kualitas tinggi untuk furnitur. Untuk lunas atau bagian bawah kapal, kayu T. decorticata dapat digantikan oleh kayu Maranthes corymbosa, Diploknema oligomera dan atau Xanthostemon confertiflorum. Sosef et al. (1998) menyebutkan bahwa kayu D. oligomera biasa digunakan untuk kayu perkapalan, lantai dan furnitur, sedangkan kayu X. confertiflorum untuk pembuatan kapal, bangunan rumah dan jembatan. Dengan kadar silika yang tinggi, kayu M. corymbosa cocok untuk bahan
30 pembuatan kapal karena tahan terhadap serangan binatang laut penggerek kayu (Martawijaya et al. 2005 b). Kayu Matikuli selama ini digunakan sebagai bahan lambung atau kulit kapal. Kayu-kayu S. laevifolia, Lagerstroemia speciosa dan atau Intsia retusa berpotensi menjadi pengganti kayu Matikuli. Dumanauw (1982) dalam Kusumanti (2009) menyebutkan bahwa kayu S. laevifolia dan L. speciosa selain sebagai gading-gading kapal juga dapat digunakan untuk lambung kapal. Menurut Sosef et al. (1998), kayu L. speciosa dapat digunakan sebagai bahan baku kayu perkapalan, kayu bangunan dan jembatan. Kayu I. retusa dapat digunakan untuk konstruksi yang berhubungan dengan air seperti jembatan dan kapal (Soerianegara dan Lemmens 1993).