BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Sejarah pengadilan negeri Gorontalo
Keberadaandan praktek Peradilan di Gorontalo sudah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, sepanjang sejarah dan perkembangan Gorontalo dan masyarakat Gorontalo itu sendiri. Disamping
terbatasnya referensi juga
terbatasnya ruang dan waktu hingga dalam penulisan ini hanya memuat secara singkat sejarah Pengadilan Negeri Gorontalo, yang terbagi dalam:
A.Pengadilan Sebelum Kolonial Balanda: B.Pengadilan Masa Kolonial: C.Pengadilan Masa Kemerdekaan RI hingga sekarang: a). Pengadilan Sebelum Kolonial Balanda:
Tidak banyak catatan sejarah atau mungkin penulis belum menemukannya, mengenai keberadaan Pengadilan di Gorontalo dimasa jaman kerajaan kerajaan, namun dari data data yang terbatas, yaitu dari referensi tulisan yang ada di web.site Pemerintah kota Gorontalo maupun web.site resmi lainnya serta catatan singkat yang ada dalam laporan tahunan, maka dapat disimpulkan bahwa praktek peradilan di Gorontalo sudah berlangsung lama; Bahwa sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukuman ketatanegaraan Gorontalo.Kerajaan-kerajaan itu tergabung dalam satu
ikatan kekeluargaan yang disebut "Pohala'a".; Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohala'a :
1.Pohala'a Atinggola 2.Pohala'a Boalemo 3.Pohala'a Gorontalo 4.Pohala'a Limboto 5.Pohala'a Suwawa Dengan hukum adat itu maka Gorontalo termasuk 19 wilayah adat di Indonesia. Dan antara agama dengan adat di Gorontalo menyatu dengan istilah "Adat bersendikan Syara' dan Syara' bersendikan Kitabullah.
b). PengadilanMasaKolonial:
Padatahun 1824 daerah Limo Lo Pohalaatelahberada di bawah kekuasaan seorang asisten Residen disamping Pemerintahan tradisonal. Dan pada tahun 1889 sistem pemerintahan kerajaan dialihkan kepemerintahan langsung yang dikenal dengan istilah "Rechtatreeks Bestur". Pada tahun 1911 terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan Daerah Limo lo pohalaa dibagi atas tiga Onder Afdeling yaitu : • Onder Afdeling Kwandang; •Onder Afdeling Boalemo; • Onder Afdeling Gorontalo.
Dimasa colonial ini Pemerintahan colonial Belanda memberikan pengakuan terhadap peradilan adat dan landasan hukum yang berbeda beda atas keberadaan Pengadilan, misalkan untuk wilayah Gorontalo dituangkan dalam Stb.1889 No.90, dan pada masa pemerintahan Belanda system pengadilan di Indonesia dibedabedakan, yaitu berdasarkan pasal 163 IS (Indische Staats regeling),yaitu: golongan penduduk Eropa, golongan penduduk Timur Asing dan golongan penduduk Indonesia dengan peradilan yang berbeda-beda pula.
4.2
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2.1
Dasar pertimbangan hakim dalam Penerapan Pidana Penjara Terhadap Delik Gabungan (Concursus-Samenloop). Di dalam dasar pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim
terhadap penerapan Pidana penjara tindak pidana gabungan maka dapat di tinjau dari segi hukum (yuridis) dan dari segi non hukum (non yuridis). Berdasar dari segi hukum (yuridis), diketahui bahwa berdasarkan faktafakta yang ditemukan dipersidangan yaitu setelah menghubungkan antara keterangan saksi yang diajukan di depan persidangan, maupun keterangan dari terdakwa, baik yang dibacakan di muka persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun saksi yang hadir di muka persidangan. Seperti halnya contoh dalam kasus yang dituntut oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa dengan dakwaan dalam melakukan tindak pidana yaitu pasal 378 KUHP dakwaan kesatu dan pasal 372 KUHP dakwaan kedua dan dapat diketahui bahwa dakwaan tersebut disusun secara alternatif maka menjadi kewenangan Majelis Hakim untuk membuktikan dakwaan pasal 378 KUHP Penuntut
Umum tersebut, dan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana yang terkandung didalam pasal 378 KUHP tersebut. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 378 KUHP dakwaan kesatu adalah sebagai berikut: 1. Barang siapa. 2. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hak. 3. Dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan untuk menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang kepadanya supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang. Ad. 1. Barang siapa Bahwa yang dimaksud ”barang siapa” adalah ditujukan kepada siapa saja orang atau subyek hukum yang diduga sebagai pelaku (dader) dari suatu tindak pidana. Dipersidangan telah dihadapkan terdakwa yang telah didakwa melakukan suatu tindak pidana yang mengakui dan membenarkan identitasnya dan terdakwa pun telah membenarkan dakwaan Penuntut Umum tersebut sesuai dengan sebagaimana tersebut dan terurai dalam Surat Dakwaan. Ad. 2. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum atau hak
Bahwa yang dimaksud dengan menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum atau hak adalah pelaku menguasai barang. Selain melihat dari segi hukum (yuridis), sebelum menjatuhkan pemidanaan bagi terdakwa Majelis hakim mempertimbangkan dari segi non hukum (non yuridis), yang diterapkan didalam unsur-unsur yang memberatkan dan meringankan hukuman bagi terdakwa guna memperoleh penerapan hukum yang adil bagi terdakwa, sesuai dengan UU.No.48.Tahun 2009 Dengan terpenuhinya unsur yang ada di dalam pasal 378 KUHP, maka Majelis Hakim telah memperoleh bukti yang sah menurut hukum dan oleh karenanya timbulah keyakinan bagi Majelis hakim bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwa merupakan pelakunya. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Jifly Z Adam SH Pengadilan Negeri Gorontalo, 7/11/20131, bahwa hakim dalam setiap memberikan putusan tentunya didasari pada keyakinan majelis hakim bahwa suatu tindak pidana terlah terjadi dan terdakwa merupakan pelakunya, dari penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa setiap kasus yang merupakan tindak pidana gabungan oleh hakim dalam menetapkan suatu putusan selalu mendasari pada pertimbangan hukum terutama dari faktor memberatkan dan meringankan berdasarkan Undangundang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan yang sama terhadap apa yang dikemukakan oleh Penuntut Umum tentang fakta-fakta
1
hasil wawancara peneliti dengan Bapak Jifly Z Adam Pengadilan Negeri Gorontalo, 7/11/2013
dan dasar-dasar hukumnya. Selain melihat dari segi hukum (yuridis), sebelum menjatuhkan pemidanaan bagi terdakwa Majelis hakim mempertimbangkan dari segi non hukum (non yuridis), yang diterapkan didalam unsur-unsur yang memberatkan dan meringankan hukuman bagi terdakwa guna memperoleh penerapan hukum yang adil bagi terdakwa, sesuai dengan UU.No.48.Tahun 2009 Sedangkan unsur-unsur yang meringankan adalah sebagai berikut: a. Mempertimbangkan dari segi umur/usia. b. Terdakwa belum pernah dihukum. c. Terdakwa bersikap sopan selama persidangan. d. Terdakwa menyesali serta mengakui perbuatannya dan tidak ingin mengulangi lagi perbuatannya. Dalam hal penjatuhan pidana penjara oleh hakim terhadap penerapan hukum pada kasus tindak pidana gabungan adalah apabila hakim berkeyakinan
dan
melalui
pengamatan
teliti
terhadap
dilakukannya
pengawasan yang cukup terhadap dipenuhinya syarat-syarat yang telah di tetapkan hakim kepada terpidana, hal ini dimaksudkan untuk mencegah kejahatan dan menghormati hak asasi manusia. Suatu sanksi pidana mempunyai dua aspek penting, yaitu untuk kepentingan terpidana itu sendiri dan untuk kepentingan masyarakat. Apabila hakim yakin bahwa dengan menjalani pidana penjara terpidana akan menjadi lebih baik tentu saja terdakwa akan dijatuhkan pidana penjara. Tetapi apabila keyakinan hakim
bahwa pidana penjara akan menjadikan terpidana lebih buruk maka alternatif yang lain adalah bahwa terdakwa dapat dijatuhkan pidana bersyarat. Namun dalam kenyataan yang ada sekarang ini, dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat masih terdapat adanya perbedaan status sosial. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari adanya penjatuhan pidana bersyarat ratarata masih didominasi bagi golongan menengah keatas, bagi golongan menengah kebawah hal tersebut masih perlu suatu pertimbangan, karena anggapan bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang golongan menengah kebawah akan cenderung dilakukan berulang-ulangan dengan dalih alasan perekonomian yang sulit. Dengan adanya hal ini maka keadilan belum bisa ditegakkan apabila masih terdapat perbedaan status sosial. Sesuai dengan kenyataannya yang ada, dalam menjatuhkan pidana, Hakim yang memutus perkara ini tidak melihat dari status sosial terdakwa. Dengan mengetahui efek dari berbagai sanksi pidana pada umumnya, maka hakim dapat mempertimbangkan dengan lebih mantap jenis pidana atau cara pelaksanaan pidana apakah yang paling sesuai untuk kasus tertentu. Untuk itu diperlukan adanya informasi yang cukup, tidak hanya tentang pribadi terdakwa, akan tetapi juga tentang keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan sehingga hakim dapat mempertimbangkan faktorfaktor yang memberatkan dan meringankan terdakwa jika hakim menjatuhkan putusan pidana bersyarat (hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Dengan dasar itulah Majelis Hakim berpendapat bahwa penegakkan hukum harus dilakukan secara tegas, lugas namun tetap manusiawi sehingga pidana bersyarat adalah lebih tepat dan adil apabila diterapkan kepada terdakwa meskipun pada prinsipnya Majelis hakim sependapat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Faktor dari terdakwa tersebut maksudnya adalah dari latar belakang terdakwa, mengenai faktor psikologis maupun faktor ekonomi. Faktor psikologis
yaitu
dilihat
apakah
dalam
diri
terdakwa
mempunyai
kecenderungan untuk melakukan suatu tindak kejahatan yang dikaitkan dengan kondisi jiwa pelaku. Sedangkan dari segi ekonomi yaitu bahwa terdakwa adalah penopang kehidupan keluarganya, dimana dalam keluarganya terdakwa merupakan satu-satunya harapan keluarga dalam mencukupi kebutuhan perekonomian keluarga. Dari adanya pendapat tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam memutus pidana bersyarat para hakim Pengadilan Negeri Gorontalo selain melihat dari segi hukumnya (yuridis) juga memperhatikan segi non hukum (non yuridis) dengan mempertimbangkan beberapa faktor-faktor yang ada dalam diri terdakwa yang dirumuskan dalam unsur-unsur yang memberatkan terdakwa maupun unsur-unsur yang meringankan terdakwa (menurut pengamatan dan keyakinan hakim terhadap terdakwa). Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan rasa keadilan terhadap terdakwa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Sehingga jelaslah bahwa hakim pengadila negeri gorontalo tersebut dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku Perbarengan sudah barang tentu dikenakan sanksi berdasarkan aturan yang berlaku. Dalam pembahasan kali ini yang menjadi sorotan adalah perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau beberapa orang dalam rangka penyertaan. Tindak pidana-tindak pidana yang telah terjadi itu sesuai dengan yang dirumuskan dalam perundang-undangan. Sedangkan kejadiannya sendiri dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua/lebih tindakan atau beberapa tindakan secara berlanjut. Dalam hal dua/lebih tindakan tersebut masingmasing merupakan delik tersendiri, dipersyaratkan bahwa salah satu di antaranya belum pernah diadili.
Ajaran mengenai samenloop ini merupakan salah satu ajaran yang tersulit di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sehingga orang tidak akan dapat memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan samenloop van strafbaar feit itu sendiri, maupun permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam ajaran tersebut, apabila orang itu tidak mengikuti perkembangan pahampaham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri.
Perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri, khususnya yang terdapat didalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP, terjemahan perkataan feit di pasal ini dengan perkataan perbuatan
menunjukkan bahwa team penerjemah Departemen Kehakiman R.I. (sekarang Departemen Hukum dan HAM) Secara resmi telah menafsirkan perkataan feit di dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP itu sebagai suatu perbuatan yang nyata, yakni suatu penafsiran yang oleh Hoge Raad (HR) sendiri telah ditinggalkan sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Kiranya tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman itu juga tidak akan menerjemahkan perkataan feit di dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP itu dengan perkataan perbuatan, seandainya tim tersebut mengetahui bahwa sudah sejak setengah abad yang lalu terdapat keberatankeberatan terhadap penggunaan perkataan perbuatan itu sendiri.
Ukuran Pidana yang dapat dijatuhkan atas diri seseorang dalam tindak pidana Concursus. Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya gabungan adalah:
1. Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;
2. Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal penyertaan);
3. Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
4. Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.
Pada dasarnya teori gabungan tindak pidana dimaksudkan untuk menentukan pidana apa dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap seseorang yang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana.
Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:
1. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;
2. Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
3. Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.
Putusan hakim Pengadilan Negeri Gorontalo pada kasus tersebut memang sudah tepat bahwa memang terdapat penggabungan yaitu Concursus Realis dalam kasus tersebut. Akan tetapi, hakim tidak menerangkan dasar hukum dari Concursus Realis secara tepat karena mencantumkan baik pasal 65 dan 66 KUHP secara bersamaan padahal kedua pasal tersebut mengatur dua hal yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa hakim pengadilan gorontalo tidak tahu secara pasti bentuk dari Concursus Realis yang terjadi. Selain itu, hakim juga tidak mencantumkan dasar-dasar hukum lainnya yang menguatkan posisi dari Concursus Realis dalam kasus tersebut dan hanya mencermati dari pemidanaan yang seharusnya diberikan kepada terdakwa. Oleh karena itu, pasal yang tepat dalam menjelaskan dan menggali pertimbangan tersebut kami menjelaskan Pasal 66 ayat (1) KUHP yang menjadi landasan kami untuk menganalisis, yang menyebutkan:
“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.” Dalam rumusan pasal tersebut terdapat kata ”beberapa perbuatan” yang membuat perbuatan pidana yang mendasari Concursus Realis terlihat menjadi sempit, yaitu hanya perbuatan fisik semata. Akan tetapi, dalam rumusan pasal 66 ayat (1) KUHP pun disebutkan bahwa ”masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan.” Rumusan ini menjelaskan bahwa diantara perbuatan-perbuatan yang terjadi yang merupakan kejahatan dan dapat dihukum pidana, harus berdiri sendiri-sendiri. Jadi, untuk menentukan apakah suatu penggabungan tindak pidana merupakan Concursus Realis atau Concursus Idealis maka hubungan dari perbuatan-perbuatan tersebut adalah sangat penting.
Walaupun demikian, peneliti juga berusaha mencari dari sumber hukum lainnya yaitu berupa doktrin dimana secara negatif dapat dikatakan bahwa segala yang tidak termasuk concursus idealis atau perbuatan terus-menerus merupakan concursus realis. Dengan membuat definisi yang negatif ini, Jonkers merasa bahwa dirinya telah terbebas dari kewajiban membuat satu uraian tersendiri tentang apa itu concursus realis. Definisi jonkers tentang concursus realis tersebut memang tidak memberikan penjelasan yang tepat dan
pasti dari concursus realis apalagi membahas tentang ”beberapa perbuatan” yang merupakan unsur dari concursus realis, akan tetapi telah memberikan sedikit pemahaman bahwa concursus idealis, concursus realis, dan juga perbuatan berlanjut, adalah tiga jenis bentuk perbuatan yang berbeda.
Dalam penjelasan diatas dapat dilihat yaitu penerapan pasal 66 ayat (1) KUHP tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, karena sudah terbuktinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Pertimbangan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Gorontalo tidak bisa menjadi patokan karena Hakim PN hanya menjatuhkan pidana dengan jenis Penjara saja, tanpa melihat bahwa ketentuan pasal yang diancamkan pada Pasal 360 ayat (2) KUHP dan Pasal 409 KUHP mempunyai jenis yang berbeda yaitu penjara dan kurungan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi juga tidak mempertimbangkan masalah yang sama, sehingga memperbaiki putusan PN hanya masalah beratnya pidana yang dijatuhkan tanpa melihat ada dasar-dasar yang meringankan pidana non-yuridis yang lebih banyak dibandingkan dasar pemberat pidana non-yuridis, yaitu:
a. Hal-hal yang meringankan
1. Terdakwa mengaku terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan 2. Terdakwa bersikap sopan 3. Terdakwa masih muda 4. Terdakwa belum pernah dihukum.
b. Hal-hal yang memberatkan
1. Akibat perbuatan terdakwa
Apabila kita meneliti dari hal-hal yang meringankan dan memberatkan non-yuridis, maka kita akan menyimpulkan bahwa halhal yang meringankan lebih banyak dari pada hal-hal yang memberatkan. Terlepas dari hukuman yang dijatuhkan, maka apabila kita melihat ancaman hukuman pasal yang didakwakan, yaitu:
Tabel I
Jumlah perkara Delik Gabungan di Pengadilan Negeri Gorontalo
Tahun 2010-2012
NO
TAHUN
JUHLAH KASUS
1
2010
2
2
2011
1
3
2012
4
Jumlah
7
Sumber Data. Pemgadilan Negeri Gorontalo. 2013
Dari Jumlah kasus yang pernah diputuskan oleh pengadilan negeri gorontalo dari 3 (tiga) tahun terakhir maka dari tahun 2010 sebanyak 2 kasus, ditahun 2011 sebanyak 1 kasus sedangkan ditahun 2012 sebanyak 4 kasus, jadi
dapat digambarkan bahwa terdapat kasus tindak pidana gabungan di Kota gorontalo yang notabenenya bahwa tingkat kesadaran masyarakat yang masih kurang sehingga marak terjadi kasus tersebut.
Dalam penentuan pidana pada Pengadilan Negeri Gorontalo dan Pengadilan Tinggi gorontalo tidak menerapkan hukum dalam menjatuhkan pidana penjara, seharusnya Hakim menjatuhkan maksimum penjara adalah sebagai berikut: Kejahatan I: Penjara 12 bulan Kejahatan II: Kurungan 1 bulan 10 hari
Berdasarkan hal tersebut maka dapat digambarkan bahwa ada beberapa kasus perkara tindak pidana yang berhasil peneliti perolah dari Pengadilan Negeri Gorontalo dari 3 (tiga) tahun terakhir adalah :
TABEL II
Jumlah perkara Delik Gabungan di Pengadilan Negeri Gorontalo
Yang masih dalam proses Tahun 2010-2012
NO
TAHUN
JUHLAH KASUS
1
2010
-
2
2011
1
3
2012
2
Jumlah
3
Sumber Data. Pemgadilan Negeri Gorontalo. 2013
Dari kasus yang masih dalam tahap proses berjumlah 3 kasus oleh pengadilan negeri gorontalo maka dari tahun 2011 sebanyak 1 kasus sedangkan ditahun 2012 sebanyak 2 kasus, jadi dapat digambarkan bahwa terdapat kasus tindak pidana gabungan di Kota gorontalo yang notabenenya bahwa tingkat kesadaran masyarakat yang masih kurang.
Dalam hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penerapan pidana penjara pada kasus tindak pidana gabungan di kota gorontalo adalah bahwa berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan wakil panitra Pengadilan Negeri Gorontalo Ibu Foni Uloli, SH,01/11/20132, bahwa hal tersebut dilatarbalaknagi hakim dalam memberikan pertimbangan terhadap penerapan pidana penjara kepada pelaku karena akibat dari perbuatan yang dituduhkan sehingga hakim dapat mempertimbangkan factor-faktor yang memberatkan dan meringankan terdakwa berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman.
Dengan demikian, pertimbangan hakim pengadilan negeri kota gorontalo dari segi penjatuhan pidana sudah tepat, dan kelompok kami setuju dengan amar putusan tersebut, karena berdasarkan pasal 66 ayat (1) KUHP,
2
hasil wawancara peneliti dengan wakil panitra Pengadilan Negeri Gorontalo Ibu Foni Uloli, SH,01/11/2013
maka perbuatan yang diancamkan berbeda jenisnya (pasal 10 KUHP), sehingga harus dijatuhkan pidana yang berbeda terhadap kejahatan yang berbeda pula.
Gabungan Tindak Pidana ini merupakan persoalan yang sangat menarik untuk dibahas karena gabungan tindak pidana ini merupakan salah satu bentuk kejahatan yang pelakunya melakukan satu perbuatan, dengan satu perbuatan tersebut pelaku telah melanggar beberapa ketentuan yang diatur di dalam KUHP atau telah melanggar beberapa pasal atau pelaku melakukan beberapa perbuatan pidana dan masing-masing perbuatan tersebut berbeda ancaman hukumannya atau pelaku melakukan perbuatan berlanjut. Pelaku gabungan ini merupakan bentuk kejahatan yang mengancam keselamatan dan merugikan hidup orang lain, dimana hak hidup adalah Hak Azasi Manusia yang harus dijaga keselamatannya dan kemerdekaannya. Akhir-akhir ini pelaku gabungan tindak pidana sangat sering terjadi terutama di Kota Gorontalo, hal ini bisa kita lihat baik melalui media media massa, dimana banyak terjadi kasus-kasus kejahatan dengan beberapa perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku tunggal. Dimana perbuatan pelaku ini selain mengancam jiwa orang lain juga merugikan orang lain dan sangat meresahkan masyarakat terutama yang ada diwilayah kota gorontalo. Dalam praktik, memang cukup sulit untuk membedakan kualifikasi perbarengan tindak pidana (jenis-jenis gabungan delik), sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang Gabungan Dalam Suatu Perbuatan (Concursus Idealis),
Pasal 64 KUHP tentang Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling) dan Pasal 65 s.d. Pasal 69 KUHP tentang Gabungan Dalam Beberapa Perbuatan (Concursus Realis). Hal ini juga kerap kali menimbulkan perdebatan di antara pakar hukum pidana. Dalam proses administrasi suatu perkara pidana, Jaksa Penuntut Umum dimungkinkan untuk memberikan “P-19” yaitu Pengembalian Berkas Perkara untuk Dilengkapi (disertai adanya Petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum), karena setelah “P-21” atau dengan kata lain, pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap, tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti beralih dari penyidik ke penuntut umum. Selain itu, ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) juga telah memberikan pedoman agar surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. Unsur “uraian secara cermat, jelas dan lengkap” juga mengandung makna bahwa surat dakwaan harus memuat dasar hukum/pasal pidana mana yang dilanggar oleh seorang terdakwa. Hal ini penting, karena jika tidak cermat, jelas dan lengkap akan membuka celah bagi terdakwa atau penasihat hukumnya untuk menyampaikan keberatan (eksepsi) agar dakwaan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Adapun bunyi pasal-pasal yang menjadi dasar penerapan hukum dari gabungan melakukan tindak pidana ini, adalah: Pasal 63 tentang Concursus Idealis
(1)
Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai; jika pidana berlain, maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya;
(2)
Kalau bagi sesuatu perbuatan yang dapat dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentuan pidana khusus, maka ketentuan pidana khusus itu sajalah yang digunakan. Dari pasal di atas maka orang yang melakukan tindak pidana
sekaligus dapat dikatakan melakukan peristiwa pidana gabungan sebagaimana dimaksud oleh pasal ini. Sedangkan ayat 2 menjelaskan apabila ada sesuatu perbuatan yang dapat dipidana menurut ketentuan pidana yang khusus di samping pidana yang umum, maka ketentuan pidana yang khusus itulah yang dipakai. Ini adalah penjelmaan slogan kuno yang berbunyi lex specialis derogat
lex
generalis.
Mengenai
bagaimana
sistem
pemberian
hukuman/sanksi bagi seseorang yang telah melakukan delik gabungan, sebagaimana dijelaskan dalam bab pertama bahwa dalam KUHP terdapat empat teori yang dipergunakan untuk memberikan hukuman bagi pelaku tindak pidana gabungan, yaitu: 1. Absorbsi Stelsel Dalam sistem ini pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat di antara beberapa pidana yang diancamkan. Dalam hal ini seakan-akan pidana yang ringan terserap oleh pidana yang lebih berat. Kelemahan dari
sistem ini ialah terdapat kecenderungan pada pelaku untuk melakukan perbuatan pidana yang lebih ringan sehubungan dengan adanya ancaman hukuman yang lebih berat. Dasar daripada sistem hisapan ini ialah pasal 63 dan 64, yaitu untuk gabungan tindak pidana tunggal dan perbuatan yang dilanjutkan. 2. Absorbsi Stelsel yang Dipertajam Dalam sistem ini ancaman hukumannya adalah hukuman yang terberat, namun masih harus ditambah 1/3 kali maksimum hukuman terberat yang disebutkan. Sistem ini dipergunakan untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman hukuman pokoknya ialah sejenis. Adapun dasar yang digunakan adalah pasal 65. 3. Cumulatie Stelsel Adalah sistem cumulasi yang semua ancaman hukuman dari gabungan tindak pidana tersebut dijumlahkan, tanpa ada pengurangan apa-apa dari penjatuhan hukuman tersebut. Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan kejahatan dengan pelanggaran. Dasar hukumnya adalah pasal 70 KUHP.
1. Cumulatie yang Diperlunak
Yaitu tiap-tiap ancaman hukuman dari masing-masing kejahatan yang telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya. Namun tidak boleh melebihi maksimum terberat ditambah sepertiganya. Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis. Adapun dasar hukum sistem ini adalah pasal 66 KUHP. Dari keempat stelsel di atas yang sering dipergunakan hanyalah tiga, yaitu sistem absorbsi, absorbsi yang dipertajam, dan cumulasi yang diperlunak. Sementara itu cumulatie murni tidak pernah dipergunakan dalam praktek, karena bertentangan dengan ajaran samenloop yang pada prinsipnya meringankan terdakwa. Pasal 63 KUHP yang merupakan dasar dari concursus idealis dapat diketahui bahwa dalam concursus idealis ini menganut sistem pemidanaan absorbsi atau penyerapan. Dalam absorbsi ini pidana yang dijatuhkan bagi seseorang yang telah melakukan gabungan tindak pidana yaitu hanyalah satu jenis hukuman. Dimana hukuman tersebut seakan-akan menyerap semua hukuman-hukuman yang lain yang diancamkan kepada orang tersebut. Pada umumnya hukuman yang dimaksud adalah hukuman yang terberat di antara hukuman-hukuman lain yang diancamkan. Adanya kesan selama ini bahwa adanya gabungan dalam pidana merupakan ketentuan mengenai ukuran dalam menentukan pidana yang mempunyai kecenderungan dalam pemberatan pidana, namun dalam kenyataannya adanya gabungan ini justru
hukumannya lebih ringan, walaupun pada awalnya ketentuan pemberatan itu sudah tercantum dalam pasal 18 ayat 2 KUHP, yang berbunyi: “Pidana itu boleh dijatuhkan selama-lamanya satu tahun empat bulan dalam hal hukuman melebihi satu tahun, sebab ditambahi karena ada gabungan kejahatan, karena berulang melakukan kejahatan atau karena ketentuan pasal 52”.
4.2.2
Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pasal pertama 378 KUHP dan pasal kedua 372 KUHP pada putusan NO. 210/Pid.B/2012/PN. GTLO Menimbang bahwa sebelummenjatuhkan pidana kepada terdakwa , terlebih
dahulu
Majelis
akan
mempertimbangkan
hal-hal
yang
memberatkan dan meringankan sebagi berikut : Hal – hal yang memberatkan : 1. Perbuatan terdakwa tersebut merugikan orang lain, 2. Sifat dari perbuatan itu sendiri yang dapat meresahkan dan menggagu ketertiban masyarakat; Hal – hal yang meringankan :
1. Terdakwa mengaku belum pernah dihukum; 2. Terdakwa masih muda sehingga masih ada kesempatan untuk memperbaiki dirinya; 3. Terdakwa berlaku sopan di persidangan;
4. Terdakwa
mengakui
terus
terang
perbuatannya
sehingga
melancarkan jalanya persidangan; 5. Terdakwa sangat menyesali perbuatannya dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya; 6. Bahwa barang bukti berupa sebuah sepeda motor merek Yamaha Mio Sporti dengan nomor polisi DM 3161 AL warna putih kini telah dikembalikan oleh terdakwa;
Menimbang bahwa selama terdkwa berada dalam tahan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, akan dikurungkan sengenapnya dari pidanayang dijatuhkan tersebut.
Menimbang, bahwa karena lamanya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa lebih lama dari tahanan yang telah dijalani olehnya, maka terdakwa harus diperintahkan agar tetap berada dalam tahanan.
Mengingat ketentuan pasal 378 Jo pasal 372 KUHP, UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHP serta peraturan - peraturan hulkumlainnya yang bersangkutan.
4.2.3
Amar Putusan Adapun
yang
menjadi
amar
putusan
210/Pid.B/2012/PN GTLO ini adalah sebagai berikut: MENGADILI
dalam
perkara
No.
1.3.2
Menyatakan terdakwa DEFRI TOAR alias Dedep telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalalah melakukan tindak pidana „PENGGELAPAN’ sebagimana diatur dan dianjam pidana dalam pasal 372 KUHP sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
1.3.3
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pindsana penjara selama 9 (SEMBILAN ) Bulan.
1.3.4
Menetapkan bahwa lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurungkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
1.3.5
Memerintahkan agar terdakwa teteap berada adalam tahanan.
1.3.6
Menyatakan barang bukti berupa :
1.3.7
1 (SATU) unit sepeda motor merek Yamaha Mio Sporty warna putih DM 3161 AL dengan nomor rangka /Nik:MH328D203AK764802 nomor mesin 28D-1759801 bersama 1 (satu) lembar STNK SPM Yamaha Mio DM 3161 AL atas nama AMIR RUGA.
1.3.8
1 (SATU) BUAH BUKU BPKB sepeda motor Yamaha Mio Sporty bersama faktur dengan No. BPKB G No. 1935490 S2 atas nama AMIR RUGA.
1.3.9
DIKEMBALIKAN KEPADA YANG BERHAK YAKNI MELALUI SAKSI NOVI YUSUF
1.3.10 Menghukum terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- ( dua ribu rupiah)
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim pada hari SELASA, tanggal 15 januari 2013 oleh FERRY M.J SUMLANG, SH
sebagai Hakim ketua majelis, ROYKE H.INKIRIWANG, SH dan JIFLI Z ADAM, SH masing- masing Hakim Anggota, dan putusan mana yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari itu juga, oleh Hakim Ketua Majelis tersebut dengan di dampinggi oleh Hakim- hakim Anggota dengan di bantu oleh ANTON ROMPIES,SH Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Gorontalo,dan dengan dihadiri oleh YUGANOVA SIDIKI SH,MH, Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Gorontalo dan dihadiri pula oleh terdakwa.
Setelah memperhatikan amar putusan, terlihat bahwa hakim mengambil pertimbangan dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa dengan sanksi pidana. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang didasarkan fakta-fakta yuridis yang terungkap di depan persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang dimaksudkan tersebut diantaranya adalah dakwaan Jaksa Penuntut Umum, keterangan terdakwa dan saksi, barang-barang bukti dan unsur-unsur delik yang didakwakan, dan pertimbangan nonyuridis yang terdiri dari latar belakang perbuatan terdakwa, kondisi terdakwa, serta kondisi ekonomi terdakwa, ditambah hakim haruslah meyakini apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak sebagaimanayang termuat dalam unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dan disertai fakta-fakta yang terungkap di persidangan, serta tuntutan pidana penuntut umum dan ancaman pidana dari delik yang bersangkutan dihubungkan dengan fungsi dan tujuan pemidanaan, maka Majelis Hakim melakukan musyawarah dan berpendapat bahwa pidana
yang diputuskan tersebut dipandang telah pantas dan sesuai dengan rasa keadilan lalu kemudian menjatuhkan putusan tersebut