BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan pada 26 April sampai 10 Mei 2013 di Kelurahan Heledulaa Utara. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui gambaran Faktor risiko penderita ISPA balita di kelurahan Heledulaa Utara yang meliputi, Kondisi Fisik Rumah, ASI Eksklusif, Status Imunisasi, Keberadaan Perokok, dan Kepadatan Hunian. 4.1 Hasil 4.1.1 Gambaran Umum Kelurahan Heledulaa Utara merupakan kelurahan pemekaran dari kelurahan Heledulaa, yang sekarang menjadi Heledulaa selatan. Kelurahan Heledulaa Utara di resmikan pada tahun 1987. Kelurahan Heledulaa Utara terletak di Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo, dengan luas pemukiman 269 ha/m2 . dengan jumlah penduduk 4.509 jiwa yang terdiri dari, laki-laki 2.232 Jiwa dan Perempuan 2.277 jiwa, dan Jumlah KK 1.149 Jiwa. Adapun batas wilayah kelurahan Heledulaa Utara adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Dembe Jaya Kecamatan Kota Utara b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Heledulaa Selatan Kecamatan Kota Timur 44
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Moodu Kecamatan Kota Timur d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Llimba U1 Kecamatan Kota Selatan Sebagian besar penduduk di Kelurahan Heledulaa Utara bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil dan kelompok kedua adalah sebagai petani. Tingkat pendidikan penduduk paling tinggi adalah tamatan SMA/MA dan sebagian kecil adalah tamatan SD/MI. Sebagian besar penduduk memeluk agama Islam. 4.1.2 Hasil Penelitian Dalam penelitian ini distribusi variabel responden yang diambil gambaran dari sampel yang antara lain terdiri dari pendidikan, jenis kelamin, diagnosis medis, status imunisasi, ASI esklusif, keberadaan perokok, kepadatan hunian, luas ventilasi rumah, jenis lantai rumah dan kondisi dinding rumah yang didistribusikan dalam bentuk univariat dalam tabel-tabel sebagai berikut : Analisis Univariat a. Gambaran Distribusi Balita Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan hasil wawancara atau penelitian yang dilakukan di Kelurahan Heledulaa Utara didapatkan distribusi balita menurut jenis kelamin yang dapat dilihat di tabel 4.1 sebagai berikut:
Tabel 4.1 Distribusi Balita Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kelurahan Heledulaa Utara Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo Periode Januari 2012-Maret 2013 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Sumber : data primer
Jumlah n 101 75 176
% 57,4 42,6 100,0
Berdasarkan tabel 4.1 diperoleh bahwa distribusi balita terbanyak terdapat pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 101 orang (57,4%) dan distribusi balita terendah terdapat pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 42 orang (42,6%). b. Gambaran Distribusi Balita Menurut Umur Berdasarkan hasil wawancara atau penelitian yang dilakukan di Kelurahan Heledulaa Utara didapatkan distribusi balita berdasarkan umur yang dapat dilihat di tabel 4.2 sebagai berikut: Tabel 4.2 Distribusi Balita Menurut Umur Di Kelurahan Heledulaa Utara Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo Periode Januari 2012-Maret 2013 Umur (Tahun) 1-3 3-5 Jumlah Sumber : data primer
Jumlah n
%
92 84
52,3 47,7
176
100,0
Berdasarkan tabel 4.2 diperoleh bahwa distribusi balita terbanyak pada umur 1-3 Tahun yaitu 92 (52,3%), dan distribusi terkecil pada umur 35 tahun yaitu 84 (47,7%). c. Gambaran Distribusi Balita Berdasarkan Hasil Diagnosis Dokter Berdasarkan hasil wawancara atau penelitian yang dilakukan di Kelurahan Heledulaa Utara didapatkan distribusi balita berdasarkan hasil diagnosis yang dapat dilihat di tabel 4.3 sebagai berikut: Tabel 4.3 Distribusi Balita Berdasarkan Hasil Diagnosis Dokter Di Kelurahan Heledulaa Utara Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo Periode Januari 2012-Maret 2013 Diagnosis ISPA Tidak ISPA Jumlah Sumber : data primer
Jumlah n 176 0 176
% 100 0 100,0
Berdasarkan tabel 4.3 diperoleh bahwa distribusi balita terbanyak yaitu keseluruhan penderita ISPA berdasarkan diagnosis dokter sebesar 100% atau 176 balita. d. Gambaran Distribusi Balita Berdasarkan Status Imunisasi Berdasarkan hasil wawancara atau penelitian yang dilakukan di Kelurahan Heledulaa Utara didapatkan distribusi balita berdasarkan status imunisasi yang dapat dilihat di tabel 4.4 sebagai berikut:
Tabel 4.4 Distribusi Balita Berdasarkan Status Imunisasi Di Kelurahan Heledulaa Utara Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo Periode Januari 2012-Maret 2013 Status Imunisasi Lengkap melipti (BCG, DPT, Polio, hepatitis dan campak) Tidak lengkap Jumlah Sumber : data primer
Jumlah n 145
% 82,4
31 176
17,6 100,0
Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh bahwa distribusi balita terbanyak terdapat pada status imunisasi lengkap yaitu sebanyak 145 balita (82,4%) dan distribusi balita terendah terdapat pada status imunisasi tidak lengkap yaitu sebanyak 31 orang (17,6%). e. Gambaran Distribusi Balita Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan hasil wawancara atau penelitian yang dilakukan di Kelurahan Heledulaa Utara didapatkan distribusi Balita berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif yang dapat dilihat di tabel
4.5 sebagai
berikut: Tabel 4.5 Distribusi Balita Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif Di Kelurahan Heledulaa Utara Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo Periode Januari 2012-Maret 2013 ASI Esklusif Ya Tidak Jumlah Sumber : data primer
Jumlah n 141 35 176
% 80,1 19,9 100,0
Berdasarkan tabel 4.5 diperoleh bahwa distribusi balita terbanyak terdapat pada Pemberian ASI Eksklusif yaitu sebanyak 141 balita (80,1%)
dan distribusi balita terendah terdapat pada tidak ASI
Eksklusif yaitu sebanyak 35 orang (19,9%). f. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Berdasarkan hasil wawancara atau penelitian yang dilakukan di Kelurahan
Heledulaa
Utara
didapatkan
distribusi
responden
berdasarkan pendidikanm terakhir yang dapat dilihat di tabel
4.6
sebagai berikut: Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Di Kelurahan Heledulaa Utara Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo Periode Januari 2012-Maret 2013 Pendidikan Terakhir SD SMP SMA PT Jumlah Sumber : data primer
Jumlah n 3 25 125 23 176
% 1,7 14,2 71 13,1 100,0
Berdasarkan tabel 4.6 diperoleh bahwa distribusi responden untuk SD berjumlah 3 atau 1,7%, pendidikan SMP yaitu 25 atau 14,2%, untuk SMA yaitu berjumlah 125 atau 71%. Dan untuk PT yaitu 23 atau 13,1%. g. Gambaran Distribusi Rumah Balita Berdasarkan Keberadaan Perokok dalam rumah
Berdasarkan hasil wawancara atau penelitian yang dilakukan di Kelurahan Heledulaa Utara didapatkan distribusi rumah balita berdasarkan keberadaan perokok yang dapat dilihat di tabel
4.7
sebagai berikut: Tabel 4.7 Distribusi Rumah Balita Berdasarkan Keberadaan perokok didalam Rumah Di Kelurahan Heledulaa Utara Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo Periode Januari 2012-Maret 2013 Keberadaan Perokok Ada Tidak Ada Jumlah Sumber : data primer
Jumlah n 112 64 176
% 63,6 36,4 100,0
Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh bahwa distribusi rumah balita terbanyak terdapat pada adanya keberadaan perokok dalam rumah yaitu sebanyak 112 (63,6%) dan distribusi rumah balita terendah tidak ada perokok dalam rumah yaitu sebanyak 64 orang (36,4%). h. Gambaran Distribusi Rumah Balita Berdasarkan Kepadatan Hunian Berdasarkan hasil wawancara atau penelitian yang dilakukan di Kelurahan Heledulaa Utara didapatkan distribusi rumah balita berdasarkan kepadatan hunian yang dapat dilihat di tabel 4.7 sebagai berikut:
Tabel 4.8 Distribusi Rumah Balita Berdasarkan Kepadatan Hunian Di Kelurahan Heledulaa Utara Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo Periode Januari 2012-Maret 2013 Kepadatan Hunian Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat Jumlah Sumber : data primer
Jumlah n 80 96 176
% 45,5 54,5 100,0
Berdasarkan tabel 4.8 diperoleh bahwa distribusi rumah balita terbanyak terdapat pada kepadatan hunian yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 80 (45,5%) dan distribusi rumah balita terendah terdapat pada kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 96 (54,5%). i. Gambaran Distribusi Rumah Balita Berdasarkan Luas Ventilasi Rumah Berdasarkan hasil wawancara atau penelitian yang dilakukan di Kelurahan Heledulaa Utara didapatkan distribusi rumah balita berdasarkan Luas Ventilasi Rumah yang dapat dilihat di tabel 4.9 sebagai berikut:
Tabel 4.9 Distribusi Rumah Balita Berdasarkan Luas Ventilasi Rumah Di Kelurahan Heledulaa Utara Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo Periode Januari 2012-Maret 2013 Luas Ventilasi Rumah Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat Jumlah Sumber : data primer
Jumlah n 146 30 176
% 83 17 100,0
Berdasarkan tabel 4.9 diperoleh bahwa distribusi rumah balita terbanyak terdapat pada luas ventilasi rumah yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 146 (83%)
dan distribusi rumah balita terendah
terdapat pada luas ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 30 (17%). j. Gambaran Distribusi Balita Berdasarkan Jenis Lantai Rumah Berdasarkan hasil wawancara atau penelitian yang dilakukan di Kelurahan Heledulaa Utara didapatkan distribusi balita berdasarkan jenis lantai rumah yang dapat dilihat di tabel 4.10 sebagai berikut: Tabel 4.10 Distribusi Rumah Balita Berdasarkan Jenis Lantai Rumah Di Kelurahan Heledulaa Utara Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo Periode Januari 2012-Maret 2013 Jenis Lantai Rumah Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat Jumlah Sumber : data primer
Jumlah n 173 3 176
% 98,3 1,7 100,0
Berdasarkan tabel 4.10 diperoleh bahwa distribusi balita terbanyak jenis lantai rumah yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 173 (98,3%) dan distribusi balita terendah terdapat pada jenis lantai rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 3 orang (1,7%). k. Gambaran Distribusi Balita Berdasarkan Kondisi Dinding Rumah Berdasarkan hasil wawancara atau penelitian yang dilakukan di Kelurahan Heledulaa Utara didapatkan distribusi balita dengan kondisi dinding rumah yang dapat dilihat di tabel 4.11 sebagai berikut: Tabel 4.11 Distribusi Rumah Balita Berdasarkan Kondisi Dinding Rumah Di Kelurahan Heledulaa Utara Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo Periode Januari 2012-Maret 2013 Kondisi Dinding Rumah Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat Jumlah Sumber : data primer
Jumlah n 172 4 176
% 97,7 2,3 100,0
Berdasarkan tabel 4.11 diperoleh bahwa rumah distribusi balita terbanyak terdapat pada kondisi dinding rumah yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 172 (97,7%)
dan distribusi rumah balita terendah
terdapat pada pada kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 4 (2,3%).
4.2 Pembahasan 4.2.1 Kondisi Fisik Rumah 4.2.1.1 Luas Ventilasi Rumah Berdasarkan tabel 4.9 diperoleh bahwa distribusi rumah balita terbanyak terdapat pada luas ventilasi rumah yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 146 (83%) dan distribusi rumah balita terendah terdapat pada luas ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 30 (17%). Sebagian besar rumah balita di Kelurahan Heledulaa Utara memiliki luas ventilasi rumah yang memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI No.829/menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan yang menyebutkan bahwa luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. Luas ventilasi yang baik serta kebiasaan membuka pintu yang ditemukan pada sebagian besar rumah responden mendukung penyediaan udara segar serta sirkulasi yang baik di dalam rumah. Beberapa fungsi lain dari ventilasi dalam rumah adalah membebaskan udara ruangan dari bau, asap ataupun debu dan zatzat pencemar lain dengan cara pengenceran udara, sehingga pertukaran udara bersih menjadi lancar. Ventilasi juga berperan penting dalam. Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar CO2 menjadi racun Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Angelina candra dewi (2012) bahwa Hasil uji statistik dengan metode Chi Square untuk hubungan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gayamsari diperoleh nilai p = 0,181. Karena nilai p > 0,05, dengan demikian tidak ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti berasumsi bahwa luas ventilasi rumah bukan merupakan faktor risiko penderita ISPA pada balita di Kelurahan Heledulaa Utara. 4.2.1.2 Jenis lantai rumah Berdasarkan tabel 4.10 diperoleh bahwa distribusi rumah balita terbanyak yaitu jenis lantai rumah yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 173 (98,3%) dan distribusi rumah balita terendah terdapat pada jenis lantai rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 3 orang (1,7%). Sebagian besar balita memiliki jenis lantai rumah yang memenuhi syarat dibandingkan dengan rumah yang tidak memenuhi syarat. Rumah disamping merupakan lingkungan fisik manusia sebagai tempat tinggal, juga dapat merupakan tempat yang menyebabkan penyakit, hal ini akan terjadi bila kriteria rumah sehat belum terpenuhi. Menurut angka statistik kematian dan kesakitan paling tinggi terjadi pada orang-orang yang menempati rumah yang tidak memenuhi syarat dan terletak pada tempat yang tidak sanitar. Bila kondisi
lingkungan buruk, derajat kesehatan akan rendah demikian sebaliknya. Oleh karena itu kondisi lingkungan pemukiman harus mampu mendukung tingkat kesehatan penghuninya. Bahan bangunan yang dipakai harus dapat menjamin keawetan dan kemudahan dalam pemeliharaan "rumah" serta cukup terlindung dari karat, kelapukan dan serangga/rayap. Bagian-bagian ruang seperti lantai dan dinding tidak lembab. Lingkungan tidak terpengaruh pencemaran seperti bau, rembesan air kotor, udara kotor, gangguan suara dan sebagainya. Jenis lantai rumah di kelurahan Heledulaa Utara berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan, diperoleh jenis lantai rumah responden penderita ISPA balita sebagian besar memenuhi syarat kesehatan karena jenis lantai rumah responden terbuat dari ubin/plester atau keramik yang tidak menyebabkan lembab.. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Della Oktaviani, Nur Alam, dan Imelda G Purba Kelurahan Cambai Kota Prabumulih Tahun 2010 yang menyatakan bahwa Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 8,807 dengan 95% CI = 2,683-28,906 artinya responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 8,807 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang lantai rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa jenis lantai rumah bukan merupakan faktor risiko penderita ISPA balita di Kelurahan Heledulaa Utara.
4.2.1.3 Kondisi Dinding rumah Berdasarkan tabel 4.11 diperoleh bahwa distribusi rumah balita terbanyak terdapat pada kondisi dinding rumah yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 172 (97,7%) dan distribusi rumah balita terendah terdapat pada pada kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 4 (2,3%). Kondisi dinding rumah sebaiknya harus memenuhi syarat yaitu dinding rumah harus terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar. Kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat ini disebabkan karena status sosio ekonomi yang rendah, sehingga keluarga hanya mampu membuat rumah dari dinding yang terbuat dari anyaman bambu atau belum seluruhnya terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar. Dinding rumah yang yang terbuat dari anyaman bambu maupun dari kayu umumnya banyak berdebu yang dapat menjadi media bagi virus atau bakteri untuk terhirup penghuni rumah yang terbawa oleh angin. Status gizi balita yang rendah meningkatkan risiko terjadinya ISPA Setelah dilakukan obsevasi terhadap kondisi dinding rumah penderita ISPAdikelurahan heledulaa utara sebagian besar rumah responden memiliki kondisi dinding rumah memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti berasumsi bahwa kondisi dinding rumah bukan merupakan faktor risiko penderita ISPA balita di Kelurahan Heledulaa Utara. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Della Oktaviani, dkk. Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 1,830 dengan 95% CI = 0,717-4,666, menunjukkan bahwa dinding rumah belum tentu merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili oleh sampel 95% nilai rasio prevalensi terletak diantara 0,717-4,666,
mencakup nilai 1 (RP=1 menunjukkan bahwa dinding rumah bersifat netral). Nilai PValue = 0,299 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010. 4.2.2 ASI Eksklusif Berdasarkan tabel 4.5 diperoleh distribusi data Pemberian Asi Eksklusif balita, distribusi terbanyak terdapat pada balita dengan pemberian asi eksklusif yaitu 141 atau (80,1%) sedangkan distribusi yang terendah terdapat pada balita dengan tidak asi eksklusif yaitu 35 (19,9%) ASI adalah Air Susu Ibu yang mengandung zat kekebalam yang berguna bagi bayi. ASI yang pertama kali keluar banyak mengandung kolostrum, yang merupakan makanan paling baik untuk bayi. ASI mengandung macam-macam substansi anti infeksi yang melindungi bayi terhadap infeksi, terutama bilamana kebersihan lingkungannya tidak lengkap. Zat-zat anti infeksi dapat digolongkan dalam golongan spesifik dan non-spesifik. Responsi imunitas spesifik pada umumnya memerlukan kerja sama dengan zat non spesifik untuk menyingkirkan kuman atau anti virus dari tubuh (Pudiastuti 2011). Faktor-faktor proteksi terdiri atas berbagai macam immunoglobulin, lisozim, laktoperoksidase, faktor pertumbuhan laktobasilus, substansi antistreptokokus, laktoferin, makrofag, dan lemak. Mengingat terdapatnya berbagai faktor resistensi disebut tadi, maka ASI dapat melindungi bayi dari berbagai infeksi hingga dapat menurunkan angka sakit
dan angka kematian, terutama dari golongan sosio-ekonomi rendah yang hidup dalam lindungan yang kurang bersih. (Solihin,2003) Berdasarkan hasil penelitian di kelurahan heledulaa selatan, penderita ISPA balita yang diberi ASI Eksklusif memiliki distribusi terbesar dibandingkan dengan penderita ISPA balita yang tidak ASI eksklusif. Dengan ini peneliti berasumsi bahwa pemberian ASI Eksklusif bukan merupakan faktor risiko penderita ISPA di kelurahan Heledulaa Utara, Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Agustama (2008) di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang (2005) dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara status ASI eksklusif dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p=0,000, Ratio Prevalens 0,2 (di Kota Medan) sedangkan di Kabupaten deli Serdang RP=0,5. Artinya ASI Eksklusif bukan merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA. 4.2.3 Status Imunisasi Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh distribusi data status imunisasi dikelurahan heledulaa selatan, distribusi terbesar terdapat pada balita yang memiliki status imunisasi lengkap yaitu sebanyak 145 atau sebesar 82,4% dan distribusi terendah terdapat pada status imunisasi yang tidak lengkap. Pemberian
imunisasi
dapat
menurunkan
risiko
untuk
terkena
ISPA/pneumonia. Imunisasi yang berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA/pneumonia adalah imunisasi pertusis (DPT), campak, Haemophilus influenza, dan pneumokokus. (Kartasasmita 2010). Begitu bayi lahir, oleh bidan atau tenaga medis bayi sudah akan mendapatkan buku yang akan mencatat perjalanan imunisasinya. Program
imunisasi diharapkan dapat mengurangi atau mencegah penyakit. Terutama penyakit infeksi yang sudah menunjukkan hasilnya, demikian menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Vaksinansi tidaklah melindungi 100%, tetapi memperkecil resiko tertular dan memperingan dampak bila terjadi infeksi. (Sunarti, 2012:43). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Di Kelurahan Heledulaa Utara,. Diperoleh bahwa sebagian responden yang memiliki anak balita penderita ISPA, status imunisasinya lengkap. Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa status imunisasi bukan merupakan faktor risiko penderita ISPA balita di kelurahan Heledulaa Utara. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Nuryanto 2010 bahwa diperoleh Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,005, yang berarti ada hubungan antara penyakit ISPA dengan status imunisasi balita. Nilai OR = 4,41, artinya balita dengan status imunisasi tidak lengkap mempunyai peluang 4,41 kali menderita ISPA dibandingkan balita dengan status imunisasi lengkap.
4.2.4 Keberadaan perokok Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh bahwa distribusi balita terbanyak terdapat pada adanya keberadaan perokok dalam rumah yaitu sebanyak 112 (63,6%) dan distribusi balita terendah tidak ada perokok dalam rumah yaitu sebanyak 64 orang (36,4%). Rokok mengandung sekitar 4000 bahan kimia yang merugikan organ tubuh. Semua organ tubuh dapat diserang zat berbahaya dan memberikan gangguan seperti kanker paru-paru, sesak nafas, batuk, bronchitis, dan gangguan pada otak.(Tresna, 2009:216). Secara umum bahan ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu komponen gas dan komponen padat atau partikel,
sedangkan komponen padat atau partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Bila rokok dibakar maka asapnya akan berterbangan disekitar perokok. Asap yang berterbangan itu mengandung bahan yang berbahaya dan bila dihisap oleh orang yang berada disekitar si perokok, maka orang itu juga akan menghisap bahan kimia berbahaya didalam dirinya walau ia sendiri tidak merokok. Anak balita misalnya akan lebih berbahaya dibanding orang dewasa karena daya tahan tubuhnya masih rendah. Merokok terus menerus mempercepat kehilangan fungsi paru terkait usia yang normal dan terjadinya hiper-reaktivitas jalan napas. (Jeremy, Jane, Richard, Charles, 2007:83) Keberadaan perokok dalam rumah akan mengganggu keadaan sekitarnya, polusi udara, orang yang terhirup asap rokok akan lenih berbahaya dibandingkan dengan perokok itu sendiri, khususnya pada balita yang masih rentan terhadap berbagai penyakit salah satunya ISPA. keberadaan perokok didalam rumah memicu terjadinya gangguan pernafasan. Menurut Archer (1990), resiko terjadinya PPOM bagi non perokok didaerah yang udaranya tercemar sebesar 15%. Juga didapatkan adanya peningkatan insiden penyakit saluran pernapasan pada perokok pasif didaerah yang udara ambiennya tercemar oleh bahan bakar oksidan.(dalam Mukono,2008) Berdasarkan hasil penelitian terhadap penderita ISPA balita di kelurahan heledulaa utara bahwa diperoleh distribusi terbanyak terdapat pada adanya keberadaan perokok penghuni dalam rumah. sehubungan dengan hal itu peneliti berasumsi bahwa keberadaan perokok dalam rumah merupakan salah satu faktor risiko penderita ISPA.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuryanto 2010 bahwa Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,005, yang berarti ada hubungan antara penyakit ISPA pada balita dengan status merokok orang tua. Nilai OR = 3,60 artinya balita yang tinggal serumah dengan orangtua perokok mempunyai peluang 3,60 kali menderita ISPA dibandingkan balita yang tinggal serumah dengan orangtua bukan perokok. 4.2.5 Kepadatan Hunian Berdasarkan tabel 4.8 diperoleh bahwa distribusi balita terbanyak terdapat pada rumah dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 96 (54,5%). Dan distribusi balita terendah terdapat pada rumah dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 80 (45,5%) Berdasarkan KepMenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen didalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dikelurahan Heledulaa Utara rumah yang memiliki kepadatan hunian sebagian besar termasuk pada kategori tidak memenuhi syarat.
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO2 ruangan dan dampak peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan. Sesuai hasil penelitian yang diperoleh bahwa di kelurahan heledulaa utara rumah responden yang memiliki balita penderita ISPA sebagian besar tidak memenuhi syarat kesehatan, maka peneliti berasumsi bahwa kepadatan hunian merupakan salah satu faktor penderita ISPA di Kelurahan Heledulaa Utara. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Angelina Candra Dewi 2012 bahwa Hasil uji statistik dengan metode chi square untuk hubungan antara kepadatan hunian kamar tidur balita dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gayamsari diperoleh nilai p = 0,017 artinya kepadatan hunian kamar tidur balita memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita karena nilai p ≤ 0,05, sedang CI tidak mencakup angka 1 sehingga kepadatan hunian kamar tidur balita merupakan faktor risiko kejadian ISPA pada balita.
4.2.6 Karakteristik Balita Penderita ISPA 4.2.6.1 Jenis Kelamin Berdasarkan Tabel 4.1 diperoleh distribusi balita menurut jenis kelamin, distribusi terbanyak yaitu pada balita dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 101 (57,4%) dan distribusi terkecil terdapat pada balita berjenis kelamin perempuan yaitu berjumlah 75 (42,6%). Penyakit ISPA dapat terjadi pada setiap orang dengan tidak memandang suku, ras, agama, umur, jenis kelamin dan status sosial. Namun insiden ISPA pada anak Balita berdasarkan jenis kelamin disebutkan bahwa insiden ISPA pada laki laki lebih tinggi dari pada perempuan. Menurut buku pedoman program pemberantasan penyakit ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada balita, anak jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan (Depkes RI. 2009). Sesuai hasil yang diperoleh proporsi balita penderita ISPA berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan balita penderita ISPA yang berjenis kelamin perempuan, dengan demikian peneliti berasumsi bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko penderita ISPA pada balita. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruli Handayani Kota Palembang Tahun 2004, dengan desain Prospectice Cohort Study berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian gangguan saluran pernafasan diperoleh p value = 0,089 dan diperoleh nilai Relative Risk (RR) 1,77 (CI 95% : 1,162-2,716) artinya risiko anak laki-laki
terkena gangguan saluran pernafasan sebesar 1,77 dibandingkan dengan anak perempuan. 4.2.6.2 Umur Berdasarkan Tabel 4.2 diperoleh distribusi balita menurut umur, distribusi terbanyak yaitu pada balita dengan umur 1-3 Tahun berjumlah 92 (52,3%) dan distribusi terkecil terdapat pada balita dengan umur 3-5 Tahun yaitu berjumlah 84 (47,7%). Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih berat dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan anak balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Sedangkan orang `dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya. Insidens ISPA paling tinggi terdapat pada bayi dibawah satu tahun dan insidens menurun dengan bertambahnya umur (Kartasamita, 2000). Kejadian penyakit ISPA erat kaitannya dengan umur, risiko untuk terkena ISPA pada anak yang lebih muda umurnya leb ih besar dibandingkan dengan anak yang lebih tua umurnya . Sesuai hasil yang diperoleh dari data balita penderita ISPA di Kelurahan Heledulaa Utara dengan sebagian besar penderita berumur 1-3 tahun dibandingkan dengan penderita yang berumur 3-5 tahun, maka peneliti berasumsi
bahwa umur merupakan faktor risiko penderita ISPA, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung Anom Sukamawa dkk, 2006 di Puskesmas Blahbatu Bali, bahwa umur merupakan determinan dari kejadian ISPA pada anak Balita di wilayah kerja Puskesm as Blahbatuh II, dengan risiko untuk mendapatkan ISPA pada anak Balita yang berumur <3 tahun sebesar 2,56 kali lebih besar dari pada anak Balita yang berumur ≥3 tahun.