BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa “Otiola” diambil dari bahasa Gorontalo yaitu “Atiolo” yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni “Kasihan”, dimana
pada tahun 1959 masyarakat membuka lahan pertanian dan
pemukiman di Desa Otiola dan sebagaian besar menanami lahan dengan ubi kayu, sehingga masyarakat setempat mengkonsumsi ubi kayu sebagai makanan pokoknya. Pada saat itu Desa Otiola sering menjadi tempat persinggahan para nelayan untuk beristirahat sejenak sekaligus menikmati ubi kayu sebagai makanan pokoknya (Kantor Desa Otiola, 2013). Selanjutnya dalam profil Desa Otiola (2013) dijelaskan bahwa melihat kondisi tersebut di atas, para nelayan merasa iba atau kasihan karena sering menyaksikan keadaan masyarakat yang hanya mengkonsumsi ubi kayu setiap harinya sebagai makanan pokoknya, sehingga setiap melintasi lokasi atau tempat persinggahan tersebut mereka sering mengatakan “Otiola atau Atiolo”. Desa Otiola masuk dalam Kecamatan Ponelo Kepulauan bersama tiga desa lainya yaitu Desa Induk Ponelo, Desa Malambe dan Desa Tihengo. Letak geografis batas wilayah Desa Otiola sebelah Utara berbatasan dengan Desa Induk Ponelo, sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tihengo, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Sulawesi. Terdapat
25
jalan setapak yang menghubungkan tiga dusun yang ada di Desa Otiola. Ketiga dusun yang dimaksud yaitu Dusun 1 Oyiledata, Dusun II Otioladaa, dan Dusun III Otiolakiki. Desa Otiola memiliki jumlah penduduk 814 jiwa dengan jumlah KK 203 jiwa (Kantor Desa Otiola, 2013). Masyarakat di Desa Otiola sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dengan tingkat taraf hidup pra sejahtera. Untuk akses dari darat menuju Kecamatan Kepulauan Ponelo terutama Desa Otiola dapat dilakukan dengan menggunakan sarana transportasi laut berupa perahu motor dan diperlukan waktu sekitar 10-15 menit untuk dapat sampai di tempat tersebut.
B. Kondisi Fisika-Kimia perairan dan substrat Pengukuran
parameter
fisika-kimia
perairan
pada
setiap
lokasi
pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 3. Parameter Fisika-Kimia Perairan Pada Lokasi Pengamatan Lokasi pengambilan sampel NO
Parameter
Satuan 0
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
29 33 8,2 4,7 Pasir berlumpur, Karang mati
29,2 31 8 4,4 Pasir berlumpur, Karang mati
1 2 3 4
Suhu Salinitas pH DO
C ‰ Mg/l
29,5 30 7,8 4,3
5
Substrat
-
Lumpur berpasir
Suhu merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan bagi lamun. Berdasarkan hasil pengamatan pada tiga stasiun di peroleh nilai suhu yang berkisar antara 29-29,5 0C. Nilai tersebut masuk dalam kisaran suhu
26
optimum untuk pertumbuhan lamun. Lamun dapat mentolerir suhu perairan antara 20-36 0C, sedangkan suhu optimum untuk fotosintesis lamun berkisar 28-30 0C (Phillips dan Menez, 1988 dalam Apramilda, 2011). Kisaran salinitas di stasiun pengamatan memiliki nilai 30‰-33‰ di seluruh stasiun pengamatan. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis, salinitas juga berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih. Kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh tumbuhan lamun adalah 10‰ - 40‰, dimana nilai optimalnya adalah 35‰ (Dahuri, 2003). Nilai derajat keasaman (pH) diseluruh stasiun pengamatan mempunyai kisaran yang tidak jauh beda antara 7,8-8,2. Derajat keasaman terendah di Stasiun 1 dengan nilai 7,8 dan pH tertinggi di Stasiun 2 dengan nilai 8,2. Nilai tersebut memperlihatkan bahwa pH perairan cenderung bersifat basa dan termasuk normal untuk pH air laut (Phillips dan Menez, 1988 dalam Argadi, 2003). Kandungan DO merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan air digunakan untuk respirasi. Dari hasil penelitian diperoleh nilai dari oksigen terlarut pada seluruh stasiun berkisar antara 4,3-4,7 mg/l. Nilai ini berada pada kisaran normal. Kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/l mengakibatkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik (Effendi, 2000 dalam Putri, 2004). Kondisi perairan di lokasi pengamatan masih cukup jernih, ini terjadi karena saat pengamatan kedalaman perairan mencapai ± 110 cm, sehingga intensitas cahaya matahari masih sampai di dasar perairan dan juga keberadaan
27
lamun masih di daerah yang cukup dangkal. Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk proses fotosintesis. Kiswara (1997) dalam Nainggolan (2011), mengelompokan sebaran lamun secara vertikal berdasarkan genangan air dan kedalaman dimana lamun dapat tumbuh sampai kedalaman 35 m. Perairan di sekitar Kecamatan Ponelo Kepulauan memiliki subtrat yang berbeda di setiap desa. Desa Otiola memiliki substrat lumpur berpasir, pasir berlumpur, dan pasir dengan sedikit campuran karang yang terletak dari bibir pantai ke arah tubir. Padang lamun dapat hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari 40% endapan lumpur. Kebutuhan substrat yang paling utama bagi pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen yang cukup. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen mencakup 2 hal, yaitu: (1) pelindung tanaman dari arus laut, (2) tempat pengolahan dan pemasok nutrien (Dahuri, 2001 dalam Hasanuddin, 2013). Perbedaan komposisi jenis substrat dapat menyebabkan perbedaan komposisi jenis lamun dan juga dapat mempengaruhi perbedaan kesuburan dan pertumbuhan lamun. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa perbedaan komposisi ukuran butiran pasir akan menyebabkan perbedaan nutrisi bagi pertumbuhan lamun dan proses dekomposisi dan meneralisasi yang terjadi di dalam substrat (Kiswara,1992 dalam Hasanuddin, 2013). Kondisi
fisika-kimia
perairan
merupakan
faktor
pembatas
yang
mempengaruhi suatu habitat kehidupan organisme perairan yang ada di dalamnya, baik berpengaruh secara langsung maupun secara tidak langsung. Tidak menutup kemungkinan faktor pembatas ini juga mempengaruhi kehidupan berbagai jenis
28
lamun yang ada di perairan tersebut. Seperti halnya mangrove, lamun juga hidup di lingkungan yang sulit. Pengaruh gelombang, sedimentasi, panas air, pasang surut harus dihadapi dengan penyesuaian secara morfologis (Fachrul, 2007).
C. Komposisi Jenis Lamun Hasil pengamatan dari ke tiga stasiun, ditemukan 4 jenis lamun di Desa Otiola yang termasuk dalam 2 famili yaitu famili Hydrocharitaceae dengan 3 jenis yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, dan Halophila ovalis serta famili Potamogetonaceae yaitu Cymodocea rotundata. Komposisi jenis lamun (%) yang ditemukan pada tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi Jenis Lamun (%) Pada Setiap Lokasi Pengamatan Stasiun Jenis Rata-rata I II III Enhalus acoroides 60.55 31.69 30.69 40.98 Thalassia hemprichii 22.02 30.39 35.86 29.42 Cymodocea rotundata 0 19.74 18.62 12.79 Halophila ovalis 17.43 18.18 14.83 16.81 Total 100 100 100 100 Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013 Jenis yang ditemukan tersebut lebih banyak dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Putri (2004) di Perairan Pantai Tidung Besar Kepulauan Seribu yang hanya ditemukan 3 jenis lamun saja yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea
rotundata
dan
Thalassia
hemprichii,
namun
lebih
sedikit
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Eki (2013), di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan yang menemukan 8 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rodunata, Cymodoceae
29
serrulata, Holodule uninervis, Halophila minor, Syringodinium isotifolium, Halophilla ovalis. Jenis yang ditemukan pada lokasi pengamatan lebih sedikit ini diduga mengalami suksesi, karena pada lokasi pengamatan pernah menjadi tempat penebangan hutan mangrove sehingga lingkungan disekitar terutama ekosistem lamun menjadi terganggu selain itu tidak ditemukannya jenis lain dikarenakan kurangnya kemampuan untuk berkompetisi dengan jenis lamun yang mempunyai bentuk morfologi daun besar seperti Enhalus acoroides, hal ini terlihat jenis Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata dan Halophila ovalis yang ditemukan pada lokasi pengamatan mempunyai ukuran morfologi daun yang kecil tidak seperti pada umumnya. Pertumbuhan lamun diduga dapat dipengaruhi oleh faktor internal seperti kondisi fisiologi dan metabolisme, serta faktor eksternal seperti zat hara (nutrien), dan tingkat kesuburan perairan (Hemminga dan Duarte, 2000 dalam Hartati, dkk, 2012). Lamun yang ditemukan di stasiun 2 dan stasiun 3 berjumlah empat jenis yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata dan Halophila ovalis. Stasiun 1 ditemukan tiga jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, dan Halophila ovalis. Jenis lamun Enhalus acoroides memiliki komposisi jenis tertinggi di setiap stasiun 1 sebesar 60.55% dan pada stasiun 2 sebesar 31.69% sedangkan pada stasiun 3 jenis lamun Thalassia hemprichii memiliki nilai komposisi tertinggi sebesar 35.86%. Berdasarkan rata-rata komposisi jenis lamun untuk seluruh stasiun pengamatan, diperoleh hasil, jenis lamun Enhalus acoroides lebih banyak
30
ditemukan dengan persentase sebesar 40.98%. Sisanya 29.42%, 16.81% dan 12.79% diperoleh pada jenis lamun Thalassia hemprichii, Halophila ovalis dan Cymodocea rotundata. Eki (2013) pada penelitiannya melaporkan bahwa jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata dan halophila ovalis merupakan jenis yang dominan ditemukan. Nilai komposisi jenis di semua stasiun menunjukan bahwa jenis lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii mempunyai nilai presentase yang tidak jauh beda, dikarenakan substrat pada semua stasiun merupakan substrat yang cocok bagi kehidupan kedua jenis lamun tersebut terutama pada substrat lumpur berpasir dan pasir berlumpur. Nienhuis, et al., (1989) dalam Takaendengan (2010) melaporkan bahwa E. acoroides umumnya tumbuh di sedimen yang berpasir atau berlumpur serta dapat tumbuh menjadi padang yang monospesifik; juga tumbuh pada susbstrat berukuran sedang dan kasar; mendominasi padang lamun campuran; dan seringkali tumbuh bersama-sama dengan Thalassia hemprichii.
D. Kerapatan Jenis Lamun Hasil pengamatan yang dilakukan kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis lamun Enhalus acoroides dengan nilai kerapatan 65 tegakan/m2 pada stasiun 1 dan 67.78 tegakan/m2 pada stasiun 2, sedangkan pada stasiun 3 jenis Thalassia hemprhicii memiliki nilai kerapatan tinggi dibanding Enhalus acoroides dengan nilai kerapatan 57.78 tegakan/m2. Lebih jelasnya nilai kerapatan dari tiap – tiap jenis lamun dapat dilihat dalam Tabel 5.
31
Tabel 5. Rata-Rata Kerapatan (Tegakan/m2) Lamun di Setiap Lokasi Pengamatan Stasiun Jenis Rata-rata I II III Enhalus acoroides 65 67.78 49.45 63.52 Thalassia hemprichii 26.67 65 57.78 49.81 Cymodocea rotundata 0 42.22 29.99 24.07 Halophila ovalis 20.78 35 23.89 26.56 Total 120.78 210 161.11 163.96 Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013 Berdasarkan tabel di atas, jenis Enhalus acoroides mempunyai kerapatan rata–rata tertinggi dengan nilai 63.52 tegakan/m2. Jenis lamun Enhalus acoroides pada lokasi pengamatan sering ditemukan memiliki morfologi daun dengan panjang berkisar antara 40-60 cm. hal ini sesuai dengan tipe substrat yang ditumbuhi lamun tersebut cocok untuk pertumbuhannya. Bengen (2001) dalam Arthana (2004) menyatakan bahwa Enhalus accoroides merupakan lamun yang tumbuh pada substrat berlumpur dari perairan keruh dan dapat membentuk jenis tunggal, atau mendominasi komunitas padang lamun. Jenis Thalassia hemprichii mempunyai nilai kerapatan rata-rata 49.81 tegakan/m2. Kerapatan rata-rata terendah 24.07 tegakan/m2 didapat pada jenis Cymodocea rotundata ini dikarenakan tidak ditemukannya jenis Cymodocea rotundata pada stasiun 1, hal tersebut dapat terjadi disebabkan jenis ini tidak mampu bersaing untuk hidup dengan jenis Enhalus acoroides yang ditemukan memiliki morfologi daun lebih besar pada lokasi pengamatan. Jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii mempunyai bentuk morfologi besar sehingga daya saing jenis ini lebih besar dibanding jenis lain (Fauzyah, 2004).
32
Jenis Halophila ovalis memiliki nilai kerapatan rata-rata 26.56 tegakan/m2. Jenis ini di duga mampu hidup di seluruh stasiun disebabkan pada lokasi pengamatan kebanyakan substrat terutama pada substrat pasir berlumpur di temukan substrat yang membentuk gundukan kecil sebagai tempat hidupnya. Substrat yang membentuk gundukan tersebut mungkin disebabkan adanya aktifitas menggali hewan bentos untuk mencari makan atau bersembunyi. Menurut Nienhuis, et al, (1989) dalam Takaedengan (2010), Halophila ovalis dapat menjadi jenis pionir terutama pada substrat yang terganggu. Lamun pada Stasiun 3 menunjukkan bahwa jenis Enhalus acoroides memiliki nilai kerapatan rendah dari jenis Thalassia hemprichii yang memiliki kerapatan tinggi. Hal ini dapat terjadi karena dibandingkan Stasiun 1 dan 2 pada Stasiun 3 cenderung memiliki komposisi substrat pasir berlumpur dan pasir dengan sedikit karang mati lamun jenis Thalassia hemprichii banyak ditemukan pada substrat tersebut. Menurut Nienhius, et. al., (1991) dalam Fauzyah (2004), Thalassia hemprichii dapat membentuk komunitas tunggal yang rapat pada substrat pasir kasar. Jenis ini seringkali mendominasi vegetasi campuran dengan sebaran vertikal dapat mencapai 25 m serta dapat tumbuh pada berbagai jenis substrat mulai dari pasir lumpur, pasir berukuran sedang dan kasar sampai pecahan - pecahan karang (Hutomo, et. al., 1988 dalam Takaendengan, 2009). Jenis lamun Thalassia hemprichii yang memiliki bentuk dan morfologi daun lebih kecil membuat jenis ini memiliki tegakan lebih banyak dibanding jenis yang memiliki bentuk dan morfologi yang besar. Dalam penelitiannya Fauziyah (2004) melaporkan bahwa setiap jenis lamun mempunyai bentuk morfologi yang
33
berbeda, semakin besar ukuran lamun, jumlah individu yang dapat mendiami suatu luasan tertentu akan berkurang. Dari total keseluruhan kerapatan diperoleh nilai tertinggi pada stasiun 2 (dekat mangrove) yaitu 210 tegakan/m2 dan terendah dengan nilai kerapatan 120.78 diperoleh pada stasiun 1 (dekat pemukiman). Menurut Kiswara (2004) dalam Hasanuddin (2013), kerapatan jenis lamun dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh dari lamun tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerapatan jenis lamun diantaranya adalah kedalaman, kecerahan, dan tipe substrat. Hasil analisis varians (ANOVA) pada taraf uji 0,05 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan nilai kerapatan antar stasiun. Untuk melihat perbedaan antar stasiun dilakukan dengan menggunakan uji Tukey. Hasil analisis dengan uji Tukey menunjukkan bahwa stasiun yang berbeda nilai kerapatannya adalah antara stasiun 1 dengan stasiun 2, sementara stasiun 1 dengan stasiun 3 maupun antara stasiun 2 dengan stasiun 3 tidak berbeda nyata. Hasil analisis ada dalam Lampiran 5.
E. Tingkat Kemerataan Lamun Tingkat kemerataan menggambarkan tingginya penyebaran jenis lamun pada suatu komunitas dimana semakin tinggi indeks kemerataan menunjukkan penyebaran yang merata (Argadi, 2003). Hasil penghitungan nilai indeks kemerataan lamun dilokasi pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6.
34
Tabel 6. Jenis-Jenis dan Rata-Rata Jumlah Tegakan serta Nilai Indeks Kemerataan Lamun Di Lokasi Pengamatan Stasiun Jenis I II III 14.7 13.56 9.89 Enhalus acoroides 5.33 13 11.56 Thalassia hemprichii 0 8.44 6 Cymodocea rotundata 4.22 7.78 4.78 Halophila ovalis 26 42.78 32.22 Jumlah individu (N) 3 4 4 Jumlah jenis (S) 0.55 0.73 0.72 Indeks Keanekaragaman (H’) Indeks Kemerataan (E) 0.50 0.53 0.52 Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013 Berdasarkan tabel 6 di atas, Nilai indeks kemerataan untuk semua stasiun menunjukkan bahwa tingkat kemerataan lamun di lokasi pengamatan berada dalam kategoti sedang. Semakin besar nilai indeks keanekaragaman maka semakin tinggi keanekaragaman jenisnya, memperlihatkan komunitas lamun di perairan tersebut makin merata (Fauziyah, 2004). Indeks kemerataan berkisar antara 0 sampai 1, bila indeks kemerataan kurang dari 0,4 maka ekosistem tersebut berada dalam kondisi tertekan dan mempunyai kemerataan rendah, Jika indeks kemerataan antara 0,4 sampai 0,6 maka ekosistem tersebut dalam kondisi kurang stabil dan mempunyai kemerataan sedang, dan indeks kemerataan lebih dari 0,6 maka ekosistem tersebut dalam keadaan stabil dan mempunyai kemerataan tinggi (Argadi, 2003). Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa keberadaan lamun memang tidak merata. Hasil analisis varians (ANOVA) yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan nilai indeks kemerataan antar stasiun dengan taraf signifikan 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai indeks 35
kemerataan antar stasiun. Hasil analisis varians ada dalam Lampiran 5. Tidak berbedanya mungkin disebabkan oleh semua nilai berada dalam kategori sedang, yang menunjukkan bahwa kondisi lokasi penelitian secara relatif berada pada kondisi yang sama.
36