BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………… 113 A. Karakteristik Wilayah Penelitian……………..…………………………
113
B. Karakteristik Demografi dan Status Gizi Subjek Penelitian…………….
115
C. Karakteristik Status Yodium dan Status Tiroid WUS…………………..
117
D. Hubungan Faktor Demografi, Status Gizi dan Status Tiroid …………… 124 E. Kajian Instrumen Gangguan Tiroid Yang Pernah Dikembangkan……… 132 F. Perbandingan TDQ dengan Indeks-indeks Sebelumnya…………
141
G. Tahapan Pengembangan TDQ…………………….…………………….
146
H. Keterbatasan Penelitian………………………………………………….
238
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………….
239
A. Kesimpulan…………………………………………………………….
239
B. Saran……………………………………………………………………
240
DAFTAR PUSTAKA…........................................................................................
241
xii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Kebutuhan yodium menurut golongan umur ……………………….
27
Tabel 2 Kriteria epidemiologi median UIC..…………………………………
28
Tabel3. Klasifikasi goiter….………………………………………………….
29
Tabel 4. Kisaran referensi hormon tiroid ……………………………………
38
Tabel 5. Jenis kelainan fungsi tiroid …………………………………………
39
Tabel 6. Distribusi penyebab hipotiroid dan hipertiroid ………………………
40
Tabel 7. Tabel untuk menghitung uji diagnostik..……………………………
84
Tabel 8. Interpretasi probabilitas diagnosis…………………………………….
85
Tabel 9. Data cakupan program gizi di Puskesmas Prambanan…………………
114
Tabel 10. Distribusi karakteristik demografi dan status gizi subjek……………
115
Tabel 11. Status yodium subjek berdasarkan kadar EYU……………………….
118
Tabel 12. Status tiroid subjek…………..………………………………………..
120
Tabel 13. Karakteristik statistik deskriptif TSH-FT4 subjek……………………. 122 Tabel 14. Karakteristik statistik deskriptif TSH-FT4 berdasarkan status tiroid.... 123 Tabel 15. Hubungan antara faktor demografi, status gizi dan status tiroid……..
124
Tabel 16. Indeks Wayne………………………………..………………………..
133
Tabel 17. Indeks Billewicz………………………………………………………
135
Tabel 18. Indeks Zuwleski………………………………………………………
137
Tabel 19. Ringkasan ThyPRO…………………………………………………..
139
Tabel 20. Ringkasan uji diagnostik hipotiroid dan hipertiroid………………….
141
Tabel 21. Ringkasan karakteristik TDQ dan indeks-indeks lain…..……………
144
Tabel 22. Tanda dan gejala biopsikososial gangguan tiroid…………………….
148
Tabel 23. Domain dan item gejala terpilih…………………….………………… 150 Tabel 24. Hasil seleksi domain dan item…………………………….………….
155
Tabel 25. Hasil akhir seleksi item dan nilai CVR………………… ……………. 159
xiii
Tabel 26. Hasil penskalaan item………………………………………………… 170 Tabel 27. Domain dan distribusi skor TDQ……………………………………..
184
Tabel 28. Hasil analisis inter-rater reliability…………………………………..
189
Tabel 29. Deskripsi hasil penilaian oleh 3 rater………………………………… 190 Tabel 30. Hasil analisis penggunaan waktu TDQ……………………………….
195
Tabel 31. Karakteristik item dan skor TDQ……………………………………... 197 Tabel 32. Hasil analisis status tiroid berdasarkan skor TDQ……. ……………..
198
Tabel 33. Hasil analisis impact score TDQ…………………………………….
202
Tabel 34. Skor TDQ, TSH-FT4 kelompok muda dan premenopause…………..
207
Tabel 35. Status skor TDQ, status tiroid kelompok muda dan premenopause….
208
Tabel 36. Distribusi frekuensi subjek berdasarkan c.o.p skor TDQ…………….
212
Tabel 37. Tabel silang kategori hipotiroid menurut TDQ dan TSH-FT4………
214
Tabel 38. Ringkasan hasil uji diagnostik TDQ untuk hipotiroid ……..………… 215 Tabel 39. Distribusi frekuensi subjek hipertiroid dalam berbagai c.o.p………… 225 Tabel 40. Tabel silang kategori hipertiroid menurut TDQ dan TSH-FT4………
226
Tabel 41. Ringkasan hasil uji diagnostik TDQ untuk hipertiroid ……..………..
227
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Wheel Model pada program eliminasi IDD …………………………
21
Gambar 2. Siklus yodida…………………….…………………………………..
25
Gambar 3. Domain psikosomatik………….…………………………………….
44
Gambar 4. Proses skrining……..…………..……………………………………
73
Gambar 5. Ilustrasi akurasi dan presisi…..………………………………………
81
Gambar 6. Contoh kurva ROC……..……………………………………………
89
Gambar 7. Model penentuan nilai J statistik………….…………………………
92
Gambar 8. Kerangka teori………………………..………………………………
95
Gambar 9.Kerangka konsep …………….………………………………………
96
Gambar 10. Kerangka proses penelitian.………………………………………..
98
Gambar 11. Kerangka disain penelitian…………………………………………
99
Gambar 12. Tahap operasionalisasi konsep dan penulisan item ……………….
109
Gambar 13. Tahap uji coba dan uji diagnostik..………………………………… 110 Gambar 14. Scatterplot skor tes pertama dan kedua…………………………….. 192 Gambar 15. Kurva ROC predicted probability hipotiroid………………………
221
Gambar 16. Kurva ROC skor berbagai c.o.p TDQ hipotiroid….……………….
222
Gambar 17. Scatterplot TDQ dan TSH pada hipotiroid……………………….
223
Gambar 18. Kurva ROC predicted probability hipotiroid………………………
230
Gambar 19. Kurva ROC skor berbagai c.o.p TDQ hipertiroid…………………
231
Gambar 20. Kurva ROC predicted probability hipertiroid……………………… 233
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Ringkasan Disertasi Lampiran 2. Ethical Clearance Lampiran 3. Surat Pernyataan (Informed Consent) Lampiran 4. Lembar Validasi Isi Aspek Biopsikososial Lampiran 5. Lembar Penjelasan Expert Judgment Lampiran 6. Lembar Penskalaan Gejala Hipotiroid dan Hipertiroid Lampiran 7. Hasil Penskalaan Thurstone oleh Expert RSUP Sardjito dan Puskesmas Lampiran 8. Surat Izin Penelitian oleh Bappeda Sleman Lampiran 9. Lembar Catatan Perbaikan Kuesioner oleh Rater Lampiran 10. Surat Keterangan Penelitian (RSUP Dr. Sardjito, Desa Gayamharjo, Desa Wukirharjo) Lampiran 11. Master Tabel (Karakteristik WUS, Uji Diagnostik Hipotiroid, Uji Diagnostik Hipertiroid) Lampiran 12. Hasil Analisis Data (Uji Reliabilitas TDQ :Alpha Cronbach, ICC, test retest; Univariat dan Bivariat Karakteristik WUS; Hasil Uji Diagnostik Hipotiroid, Uji Diagnostik Hipertiroid) Lampiran 13. Foto-foto Dokumentasi Lampiran 14. Petunjuk Penggunaan TDQ Lampiran 15. Daftar Riwayat Hidup
xvi
DAFTAR SINGKATAN
AHMAC AITD AKG ANS ART ASI ATP AUC BAB BMR BP2 CCK-4 CI CNS CSF CVR DIT D/S NIS DOR ECL ECLIA EENT EKG ELISA EYU FT3 FT4 GAKY 5-HT ICCIDD IDD IIH IMT ISPA IQ KEK LDL LH
: Australian Health Ministers’ Advisory Council : Autoimmune Thyroid Disease : Angka Kecukupan Gizi : Autonomic Nervous System : Ankle Reflex Time : Air Susu Ibu : Adenosintriphospate : Area Under Curve : Buang Air Besar : Basal Metabolism Rate : Balai Penelitian dan Penanggulangan : Cholecystokinin peptide : Confidence Interval : Central Nervous System : Cerebrospinalfluid : Content Validity Ratio : Diiodotyrosines : Ditimbang/Seluruh Balita (partisipasi penimbangan) : Natrium Iodida Symporter : Diagnostic Odds Ratio : Electrochemiluminescence : Electrochemiluminescence immune sorbent assay : Eye-Ear-Nose-Throat : Elektrokardiogram : Enzyme-linked immuno-sorbent assay : Ekskresi Yodium Urin : Free T3 (free triiodotironin) : Free T4 (free tyroxine) : Gangguan Akibat Kekurangan Yodium : 5-hydroxytryptamine receptors : International Council for the Control of Iodine Deficiency Disorders : Iodine Deficiency Disorders : Iodine Induced Hyperthyroidsm : Indeks Massa Tubuh : Infeksi Saluran Pernafasan Akut : Inteligence Quotient : Kurang Energi Kronis : Low Density Lipoprotein : Luteinizing Hormone xvii
LILA LR MIT mRNA USG NPA NPV N/D N/S OR PPA PPV QoL RBC RIA RNI ROC RSUD RSUP Se SEM SD/MI SK SKG Sp TBG TDQ TGR Tg TSH UIE UMR UNICEF USG USI WHO
: Lingkar Lengan Atas : Likelihood Ratio : Monoiodotyrosine : messenger ribonukleatic acid : Ultrasonography : Negative Percent Agreement : Negative Prediction Value :Naik berat badan/balita yang ditimbang (keberhasilan program penimbangan) : Naik berat badan/Seluruh balita (keberhasilan program gizi) : Odds Ratio : Positive Percent Agreement : Positive Prediction Value : Quality of Life : Red Blood Cell : Radioimmunoassay : Recommended Nutrient Intake : Receiver Operating Characteristic : Rumah Sakit Umum Daerah : Rumah Sakit Umum Pusat : Sensitivitas : Standard Error Measurement : Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah : Sandell-Kolthoff : Survei Konsumsi Gizi : Spesifisitas : Thyroid Binding Globulin : Thyroid Dysfunction Questionnaire : Total Goiter Rate : Thyroglobulin : Thyroid Stimulating Hormone : Urinary Iodine Excretion : Upah Minimum Rata-rata : United Nations Children’s Fund : Ultrasonography : Universal Salt Iodization : World Health Organization
xviii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius (Joshi et al., 2006; Mazzarella et al., 2009; Medani et al., 2011), karena berdampak sangat besar terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia. Penyebab GAKY adalah, tidak tercukupinya asupan yodium di dalam tubuh (Zimmermann et al., 2004; Zimmermann et al., 2005, Zimmermann et al., 2006; Kapil, 2007; Delshad et al., 2010), yang dikenal sebagai iodine deficiency disorder (IDD). Menurut Zimmermann (2003), berdasarkan hasil pemeriksaan urinary iodine excretion (UIE), atau ekskresi yodium urin (EYU), sebanyak 2 miliar individu di dunia menderita defisiensi yodium. Indonesia menjadikan GAKY sebagai salah satu masalah gizi utama, karena sejumlah 42 juta penduduk tinggal di daerah endemis GAKY, 10 juta menderita gondok dan 750 ribu menderita kretin. Hasil survei di seluruh Indonesia, menunjukkan adanya peningkatan prevalensi total goitre rate (TGR), dari 9,8% pada tahun 1998, menjadi sebesar 11,1% pada tahun 2003 (Tim GAKY Pusat, 2005). Defisiensi yodium berkaitan erat dengan faktor geografis, seperti daerah pegunungan, yang lapisan humus tanah sebagai tempat menetapnya yodium, sudah tidak ada, akibat erosi tanah secara terus menerus, terkikis oleh banjir, lahar, hujan tropik pada lahan miring, tanah berkapur dan yodium larut dalam air yang terbawa sampai ke muara sungai dan laut, serta karena adanya pembakaran
1
hutan. Beberapa kondisi geografis tersebut, menyebabkan keadaan tanah, air dan bahan pangan kurang mengandung yodium. Suatu wilayah yang mempunyai karakteristik yang menyebabkan berkurangnya kandungan yodium dalam tanah ini disebut sebagai daerah endemis GAKY (Black, 2003; Ritanto, 2003; Djokomoeljanto, 2008; Bayram et al., 2009). Daerah endemis GAKY berisiko menyebabkan defisiensi yodium pada semua kelompok umur, mulai dari janin, neonatal, anak-anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Dampak dari defisiensi yodium mencakup spektrum yang sangat luas, seperti: abortus, lahir mati, cacat bawaan, kematian perinatal, kematian bayi, kretin, gondok, hypothyroidism, penurunan IQ, gangguan fungsi mental, gangguan
fungsi
otot,
pertumbuhan
terhambat
dan
iodine
induced
hyperthyroidism atau IIH (Dillon dan Milliez, 2000; Verma dan Raghuvanshi, 2001; Sebotsa et al., 2009). Permasalahan baru yang terjadi di daerah endemis IDD adalah adanya ekses yodium, sebagai dampak dari program eliminasi terhadap defisiensi yodium berupa universal salt iodization (USI) dan suplementasi yodiol dalam jangka waktu yang relatif panjang (Fountoulakis et al., 2007; Burgi, 2010; Henjum et al., 2010). Tidak berbeda dengan defisiensi yodium, ekses yodium juga berisiko terhadap kesehatan, seperti mengakibatkan tiroiditis, hipertiroid, hipotiroid, goiter (Henjum et al., 2010) dan berbagai dampak IIH dengan berbagai manifestasi, seperti meningkatnya denyut nadi, menurunnya berat badan, keringat berlebihan dan tremor. Pearce et al. (2002), Fountoulakis et al. (2007), Alsayed et al. (2008) dan Burgi (2010)
menyatakan bahwa,
2
IIH merupakan risiko dari kondisi
autoimmune thyroid disease (AITD). Lebih lanjut, Burgi menjelaskan bahwa terdapat 2 tipe ekses yodium, yang pertama sporadic excess, yakni bila terjadi pada beberapa individu di sejumlah populasi, dengan kadar EYU < 300 µg/l, yang kedua endemic excess, yakni bila terjadi pada sebagian besar proporsi populasi dengan kadar EYU ≥ 300 µg/l. Beberapa penelitian telah menemuka adanya kasus ekses yodium di daerah endemis, seperti Alsayed et al. (2008) menemukan 54,8% wanita di Mesir mengalami ekses yodium dan berkorelasi dengan kondisi hipotiroid subklinis. Hasil penelitian Mutalazimah dan Asyanti (2010) pada pengukuran EYU anak sekolah dasar di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman, menunjukkan prevalensi defisiensi yodium sebesar
70% dan ekses yodium sebesar 10%.
Penelitian Henjum et al. (2010) menunjukkan hasil yang sangat ekstrim, yakni menemukan 84% anak sekolah di daerah endemis Saharawi mengalami ekses yodium. Sementara itu, pada studi pendahuluan, Mutalazimah et al. (2013) menemukan kasus hipertiroid subklinis pada wanita usia produktif di daerah endemis defisiensi yodium sebesar 26%. Penelitian ini mendukung penelitian Hermann et al. (2004) dan Lamfon (2008) mengenai adanya hipertiroid subklinis, yang ditandai dengan kecenderungan penurunan serum thyroid stimulating hormone (TSH) pada subjek di daerah endemis defisiensi yodium. Berbagai masalah yang berkaitan dengan yodium dan tiroid pada kelompok dewasa, terjadi 4 – 10 kali lebih sering pada wanita dibandingkan dengan pria, khususnya pada masa usia produktif (Strieder et al., 2003; Gonen et al., 2004; Fountoulakis et al., 2007; Lamfon, 2008; Watt, 2009). Berdasarkan data
3
bahwa wanita lebih rentan terhadap IDD, direkomendasikan untuk melakukan skrining pada wanita secara teratur, terutama yang berumur lebih dari 35 tahun, bahkan semakin muda semakin baik untuk mempersiapkan kehamilan (Glinoer, 2008; Stockigt, 2010). Berlawanan dengan hal tersebut, pelayanan kesehatan di Indonesia belum melakukan pemeriksaan rutin gangguan fungsi tiroid pada wanita hamil (Susanto, 2006). Tidak terdeteksinya wanita usia produktif yang menderita defisiensi yodium, akan menimbulkan risiko kehamilan yang berkaitan dengan kematian janin, dengan prevalensi bervariasi sampai 79% (Allan et al., 2000; Andersson et al., 2004; Hetzel, 2005; Girling, 2006; Wang et al., 2009; Bashir et al., 2012). Selain itu, juga adanya peningkatan congenital hypothyroidism, kretinisme, keterbelakangan mental, gangguan perkembangan psikomotor dan menurunnya kecerdasan pada anak yang akan dilahirkan, karena IQ anak menjadi lebih rendah 4 sampai 7 poin (Smallridge dan Ladenson, 2001; Glinoer, 2008; Bogale et al., 2009; Charlton et al., 2010; Bashir et al., 2012). Pengukuran IDD bisa dilakukan melalui beberapa metode, dan idealnya semakin banyak metode yang digunakan, hasilnya akan semakin baik (WHO, 2001). Yang menjadi pertimbangan adalah optimalisasi hasil pengukuran dan biaya yang dikeluarkan, sehingga instansi pelayanan kesehatan di beberapa negara hanya menggunakan metode tertentu,
yang dinilai murah dan cukup
menggambarkan permasalahan GAKY. Metode standar yang digunakan untuk mengukur defisiensi yodium, adalah pemeriksaan ekskresi yodium dalam urin (Demers dan Spencer, 2002; Temple et al., 2004; Bogale et al., 2009; Vejbjerg et al., 2009; Singh et al., 2010; Medani et al., 2011). Kelebihan pemeriksaan EYU
4
dibandingkan dengan palpasi goiter adalah karena EYU mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi, perubahannya tidak memerlukan waktu yang lama, sehingga dapat dengan cepat menggambarkan status yodium pada tubuh seseorang (El Sayed et al., 1997; Rasmussen et al., 1999; Van den Briel et al., 2000; Zimmermann et al., 2006). Skrining defisiensi yodium di Indonesia pada tingkat komunitas, seharusnya dilakukan melalui pengukuran EYU, bahkan untuk mengetahui risiko terhadap dampak terjadinya hipotiroid dan hipertiroid, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan TSH dan free tyroxine atau FT4 (Free T4). Namun, pada kenyataannya, dengan mempertimbangkan mahalnya biaya dan sulitnya teknis pelaksanaan, hal tersebut belum memungkinkan dilakukan secara massal. Sebagai alternatif, pemutakhiran data defisiensi yodium dilakukan dengan palpasi goiter pada anak sekolah dan digunakan sebagai indikator endemisitas suatu wilayah. Pengukuran goiter merupakan pengukuran terhadap pembesaran kelenjar tiroid, yang baru bermanifestasi setelah kekurangan atau kelebihan yodium terjadi dalam jangka waktu yang relatif panjang, sehingga goiter merupakan fenomena gunung es (Djokomoeljanto, 2008; Min, 2009; Medani et al., 2011). Selain itu, goiter dengan kategori II bersifat ireversibel (Zimmermann, 2009). Goiter juga merupakan dampak yang bisa ditimbulkan, baik dari kondisi defisiensi maupun ekses yodium, sehingga tidak bisa digunakan untuk membedakan antara keduanya. Mutalazimah (2010a) menemukan bahwa dari 35 anak yang mengalami defisiensi yodium, ada 5,7% (2 anak) yang mempunyai goiter dan dari 5 anak yang ekses yodium, ditemukan 20% (1 anak) mempunyai goiter.
5
Berbagai keterbatasan metode TGR, sebagai satu-satunya indikator skrining IDD, akan mengakibatkan risiko ketidaktepatan program pemantauan prevalensi defisiensi dan ekses yodium, serta perencanaan program-program intervensi. Ketidaktepatan intervensi tersebut, akan berdampak pada berlanjutnya kondisi secondary disorder atau progression to overt disease, karena dengan bertambahnya waktu, gejala klinis dan psikologis akan semakin meningkat tanpa terapi yang memadai (Canaris et al., 1997; O‘Reily, 2000). Berdasarkan fakta tersebut, maka pemutakhiran prevalensi defisiensi yodium, yang berdampak pada hipotiroid dan hipertiroid perlu didukung melalui pengukuran gejala lainnya, yang terkait secara biologis, psikologis dan sosial atau yang lebih dikenal sebagai pendekatan model biopsikososial. Model biopsikososial menyatakan bahwa kesehatan, sakit dan penyakit adalah hasil dari interaksi antara faktor biologis, psikologis dan sosial, melalui mekanisme perbedaan antara proses patofisiologi, yang menyebabkan penyakit dan persepsi seseorang tentang kesehatan dan akibat-akibatnya, yang disebut penyakit (Carrio et al., 2004; Brown et al., 2005; Novack et al., 2007; Bruns dan Warren, 2011). Model biopsikososial juga menjelaskan efek psikologis dan sosial dari risiko penyakit, pencegahan, kepatuhan pengobatan, morbiditas, kualitas hidup dan kelangsungan hidup. Brown et al. (2005) menjelaskan bahwa model biopsikososial pada hipotiroid, didasarkan pada berbagai tanda dan gejala defisiensi dan ekses yodium, yang bermanifestasi secara biologis (berkaitan dengan kondisi fisik, klinis, fisiologis), secara psikologis (berkaitan dengan
6
kondisi psikis) dan secara sosial (berkaitan dengan interaksi individu dengan lingkungan sosialnya). Pendekatan biopsikososial didasarkan pada adanya keterkaitan antara hasil pemeriksaan klinis, psikologis dan hasil pemeriksaan biokimia, pada anak-anak dan orang dewasa yang menderita defisiensi yodium dan hipotiroid (Grant, et al., 1992; Canaris et al., 1997; Zulewski et al., 1997; Giavoli et al., 2003; Indra et al., 2004; Ocal et al., 2004; Agha, et al., 2007). Sementara itu, berkaitan dengan pengukuran klinis, Mutalazimah (2010b) menemukan bahwa sebesar 28% anak sekolah, mempunyai skor klinis yang tergolong defisiensi yodium dan terdapat hubungan yang signifikan, antara status klinis dan status yodium dalam urin. Brown et al. (2005), menemukan beberapa domain dari model biopsikososial yang berkaitan dengan hipotiroid, yakni: 1) aspek biologis, mencakup central nervous system (CNS), muskuloskeletal, kardiovaskuler, gastrointestinal, eye-ear-nose-throat (EENT), genito urinary, general dan radiologi; 2) aspek psikologis, meliputi mood disorder dan stress dengan berbagai gejala depresi, seperti gangguan tidur, penurunan aktivitas, kurang berenergi, penurunan konsentrasi dan gangguan nafsu makan. Gonen et al. (2004) menambahkan, bahwa 2/3 dari penderita gangguan fungsi tiroid mengalami gangguan psikologis, seperti mudah panik, cemas, depresi, fobia, iritabilitas dan mudah marah. Sementara itu, Hermann et al. (2004) menyatakan 16 gejala dalam domain depresi, yang berkaitan dengan gangguan tiroid di daerah endemis defisiensi yodium; dan 3) aspek sosial, meliputi rendahnya rasa percaya diri,
7
mudah terlibat konflik dengan orang lain, kurang bisa memahami orang lain, serta membatasi interaksi dengan orang lain (Watt, 2009). Beberapa penelitian mengenai keterkaitan gangguan tiroid dan gejala biopsikososial
tersebut,
memperkuat
dasar
bahwa,
berbagai
sindrom
biopsikososial, dapat dijadikan dasar penyusunan instrumen untuk mengukur hipotiroid dan hipertiroid. Instrumen sebagai alternatif metode skrining, harus memenuhi syarat, tidak saja lebih komprehensif dan teruji reliabilitasnya, tetapi juga harus memenuhi beberapa kriteria uji diagnostik, yakni nilai diagnostiknya tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar, memberi kenyamanan yang lebih bagi pasien, lebih mudah dan sederhana (user friendly), lebih murah, serta dapat mendiagnosis pada fase lebih dini (Sastroasmoro dan Ismael, 1995; Knottnerus, 2002; Dopson dan Fitzgerald, 2006; Mc.Dowell, 2006; Mayer, 2010). Senada dengan hal tersebut, Mahfoud et al. (2011) menyatakan hasil penelitiannya, bahwa pengembangan dan validasi kuesioner untuk skrining, merupakan langkah awal dalam upaya diagnosis selanjutnya. Berbagai langkah ideal yang berkaitan dengan skrining massal IDD, seperti penggunaan kuesioner, terlebih lagi pengukuran TSH dan FT4 belum dapat diwujudkan di Kabupaten Sleman. Program palpasi goiter terakhir kali dilakukan pada tahun 2003, sehingga sampai saat ini tidak tersedia data hasil pemantauan angka TGR yang terbaru. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Prambanan, karena memiliki angka TGR sebesar 35,8%, lebih tinggi dibandingkan dengan angka TGR di Kabupaten Sleman sebesar 18,1%. Dengan prevalensi > 20%, Kecamatan Prambanan merupakan daerah endemis GAKY
8
tingkat berat (Dinkes Sleman, 2003). Pertimbangan lain, karena Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman secara intensif pernah melakukan program suplementasi yodium, pada awalnya melalui suntikan lipiodol, dan dewasa ini melalui kapsul yodium, terutama pada anak sekolah dan wanita usia produktif, sebelum dihentikan pada tahun 2009. Dengan demikian, memungkinkan adanya peluang terhadap risiko terjadinya ekses yodium dengan segala manifestasinya termasuk kondisi hipotiroid dan hipertiroid.
B. Permasalahan Dampak dari kondisi iodine disorder, terutama yang terjadi di wilayah endemis IDD, adalah defisiensi dan ekses yodium, yang menimbulkan berbagai sindrom hipotiroid dan hipertiroid yang meliputi aspek biologis, psikologis dan sosial. Wanita usia produktif, merupakan salah satu kelompok yang rawan terhadap dampak dari IDD, terutama berkaitan dengan risiko terhadap kualitas anak yang akan dilahirkannya. Tidak seperti di negara maju, pengukuran EYU, TSH dan FT4 di Indonesia masih dirasakan sangat mahal dan sering terkendala secara teknis, sehingga belum memungkinkan dilakukan secara massal dan rutin. Masih terbatasnya metode skrining IDD melalui TGR saja, menyebabkan penemuan kasus menjadi kurang akurat, karena TGR belum bisa membedakan antara hipotiroid dan hipertiroid, sehingga mengaburkan langkah intervensi penanggulangan IDD sebagai penyebab hipotiroid dan hipertiroid. Mengkaji ringkasan permasalahan yang telah terurai, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian, yakni: 1) defisiensi dan ekses yodium di Indonesia masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat; 2) defisiensi dan 9
ekses yodium sebagai penyebab utama hipotiroid dan hipertiroid, dapat berdampak sistemik terhadap aspek biopsikososial termasuk pada wanita usia produktif, yang berisiko terhadap kehamilan dan penurunan kualitas anak yang dilahirkan; 3) terbatasnya metode TGR untuk skrining hipotiroid dan hipertiroid; 4) terhentinya kegiatan skrining sejak tahun 2003; 5) masih diperlukan alat skrining hipotiroid dan hipertiroid, yang murah, mudah serta teruji reliabilitas dan validitasnya. Dengan demikian, penelitian ini bermaksud menyusun alat skrining dengan kriteria tersebut, dalam bentuk kuesioner berbasis gejala biopsikososial, dengan nama thyroid dysfunction questionnaire (TDQ). Adapun pertanyaan penelitian adalah: 1. Gejala biopsikososial apa saja yang teridentifikasi dari tahap item generation berbasis kajian pustaka dan kajian subjek dengan kondisi hipotiroid dan hipertiroid? 2. Bagaimana hasil akhir TDQ yang disusun berdasarkan tahapan konstruksi instrumen? 3. Bagaimana hasil analisis pengujian presisi dan akurasi dalam uji diagnostik TDQ untuk skrining hipotiroid dan hipertiroid pada wanita usia produktif?
C. Tujuan Berbasis model biopsikososial sebagai manifestasi IDD, diperlukan pengembangan alat ukur baru, yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengukur kondisi hipotiroid dan hipertiroid, melalui instrumen dengan performansi yang memadai. Instrumen baru harus memenuhi syarat untuk 10
diagnosis, yakni lebih memberi kenyamanan bagi pasien, lebih mudah dan sederhana (user friendly), lebih murah serta sedapat mungkin dapat mendiagnosis pada fase lebih dini. Selain itu, karena tanda dan gejala IDD, baik yang bersifat biologis, psikologis maupun sosial, merupakan variabel yang bersifat subjektif, maka dalam proses penyusunan TDQ harus melalui tahapan yang terukur reliabilitas dan validitasnya. Dengan demikian, dapat dirumuskan tujuan penelitian mencakup tujuan umum dan tujuan khusus. 1. Tujuan umum Mengembangkan TDQ berbasis biopsikososial untuk skrining kasus hipotiroid dan hipertiroid pada wanita usia produktif. 2. Tujuan khusus a. Mengidentifikasi gejala-gejala biopsikososial pada kondisi hipotiroid dan hipertiroid pada wanita usia produktif. b. Melakukan tahapan pengembangan TDQ berbasis model biopsikososial pada wanita usia produktif. c. Melakukan analisis presisi dan akurasi dalam uji diagnostik TDQ untuk skrining hipotiroid dan hipertiroid pada wanita usia produktif.
D. Manfaat 1. Manfaat teoritis Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah keilmuan mengenai uji diagnostik, melalui pengembangan kuesioner khususnya untuk skrining defisiensi dan ekses yodium, pada wanita usia
11
produktif. Secara lebih luas, penelitian ini akan memberikan informasi hasil literature review, mengenai gambaran model biopsikososial, yang berkaitan dengan sindrom defisiensi dan ekses yodium, proses dan hasil pelaksanaan expert judgment, uji validitas dan penskalaan item, tahapan operasionalisasi penyusunan kuesioner, proses dan hasil uji coba kuesioner serta hasil reliabilitasnya, proses pengukuran dan analisis data laboratorium sebagai gold standard, serta hasil analisis data secara keseluruhan mengenai presisi dan akurasi uji diagnostik. 2. Manfaat praktis Hasil pengembangan TDQ dari penelitian ini, akan bermanfaat secara praktis dalam jangka pendek, yaitu bisa digunakan sebagai instrumen pemeriksaan rutin, dalam rangka skrining hipotiroid dan hipertiroid. Adapun sasaran pengguna TDQ adalah petugas pelayanan kesehatan masyarakat, yakni ahli gizi di puskesmas, sebagai salah satu tugas pokok dan fungsi yang berkaitan dengan perbaikan permasalahan gizi mikro, yakni defisiensi yodium. Selain itu, juga untuk mengaktifkan kembali kegiatan pemutakhiran prevalensi GAKY oleh dinas kesehatan yang terhenti sejak tahun 2003. Penemuan tanda dan gejala hipotiroid dan hipertiroid ini, dapat menjadi dasar untuk melakukan rujukan bagi pasien ke rumah sakit atau BP2 GAKY, sehingga mendapatkan pemeriksaan lanjutan dan penanganan yang sesuai. Selanjutnya, manfaat jangka panjang dari TDQ adalah, bahwa dengan segera diketahui dan ditanganinya hipotiroid dan hipertiroid pada wanita usia produktif, bisa diantisipasi terjadinya kehamilan dalam kondisi hipotiroid atau
12
hipertiroid. Dengan demikian, secara dini akan dapat dicegah berbagai dampak negatif yang timbul, mulai gangguan selama kehamilan, persalinan, termasuk pencegahan terjadinya penurunan kualitas anak yang akan dilahirkan. Selain itu, dengan segera diketahui keluhan yang berkaitan dengan hipotiroid dan hipertiroid, akan dapat dicegah berlanjutnya penyakit sekunder atau kondisi penyakit yang lebih kompleks. Dengan demikian, dampak kesakitan dan kecacatan akibat hipotiroid dan hipertiroid, bisa dicegah sedini mungkin, status gizi menjadi lebih optimal, serta kualitas dan kelangsungan hidup masyarakat dapat meningkat.
E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengembangan instrumen dan uji diagnostik mengenai hipotiroid atau hipertiroid, sebagian besar berbasis rumah sakit. Belum ditemukan penelitian yang secara khusus mengembangkan kuesioner skrining hipotiroid dan hipertiroid, yang berbasis model biopsikososial pada tingkat komunitas. Selengkapnya diuraikan sebagai beberapa penelitian yang berkaitan dengan kuesioner gangguan tiroid, yakni: 1. Penelitian Wayne (1960) berjudul ―Clinical and metabolic studies in thyroid disease‖. Penelitian ini bertujuan mengembangkan indeks untuk skrining hipertiroid, yang disebut sebagai Indeks Wayne, yang terdiri dari 9 gejala dan 10 tanda, masing-masing dengan pembobotan yang berbeda dalam cara penskoran. Gejala-gejala yang mengarah pada hipertiroid, diberi skor positif, sedangkan yang mengarah pada hipotiroid diberi skor negatif (penurunan nafsu makan, kesukaan udara panas dan peningkatan berat badan). Persamaan dengan 13
penelitian ini, instrumen digunakan untuk skrining hipertiroid. Perbedaannya, penelitian tersebut tidak mencakup instrumen hipotiroid, berbasis pasien di rumah sakit, tidak melakukan literature review untuk mencari domain hipertiroid, skala yang dikembangkan hanya single domain, yakni gejala klinis (tidak memasukkan domain sindrom psikologis), tidak melakukan expert judgment, tidak melakukan penskalaan item, tidak ada uji coba instrumen, pengujian reliabilitas inter observer (Anova), analisis uji diagnostik hanya dengan menghitung proporsi hasil diagnosis hipertiroid berdasarkan indeks pemeriksaan secara biokimia (87%). 2. Penelitian Billewicz et al. (1969), berjudul ―Statistical methods applied to the diagnosis of hypothyrodism‖, mengembangkan indeks Billewicz dengan 14 item, yang menilai ada atau tidaknya berbagai tanda dan gejala hipotiroid, untuk menegakkan diagnosis. Skor pada indeks Billewicz diperoleh dengan cara menghitung frekuensi subjek yang mengalami hipotiroid, berdasarkan pemeriksaan kadar protein binding iodine (PBI) dan memberikan tanda (+) di depan angka frekuensi tersebut. Sementara itu, frekuensi subjek yang normal, diberi tanda (-) di depan angka frekuensi tersebut. Persamaan dengan penelitian ini, instrumen digunakan untuk skrining hipotiroid. Perbedaannya, penelitian tersebut tidak mencakup instrumen hipertiroid, subjek berbasis pasien rumah sakit, tidak melakukan literature review untuk mencari domain hipotiroid, skala yang dikembangkan hanya single domain, yakni gejala klinis (tidak memasukkan domain sindrom psikologis dan sosial), tidak melakukan expert judgment, tidak melakukan penskalaan item, tidak melakukan analisis item,
14
tidak ada uji coba instrumen, tidak ada pengujian reliabilitas dan validitas instrumen, analisis uji diagnostik dilakukan dengan menghitung proporsi hasil diagnosis hipotiroid berdasarkan indeks Billewicz dan pemeriksaan biokimia sebesar 42%. 3. Penelitian Zulewski et al. (1997) yang berjudul ―Estimation of tissue hypothyroidism by a new clinical score: evaluation of patients with various grades of hypothyroidism and controls”. Penelitian tersebut bertujuan mengevaluasi tanda dan gejala hipotiroid, dalam perspektif perkembangan tes fungsi tiroid dari indeks Billewicz. Dilakukan dengan mengembangkan skor klinis yang nyaman, untuk menilai derajat keparahan dari gangguan fungsi tiroid. Penelitian tersebut juga menghubungkan TSH, FT4, T3 dan beberapa tes yang berkaitan dengan dampak kelainan pada jaringan seperti ART (ankle reflex time) dan kadar kolesterol. Analisis diagnostik untuk membandingkan dengan indeks Billewicz, meliputi sensitivitas (Se), spesifisitas (Sp), receiver operating characteristic (ROC) curve. Persamaan dengan penelitian ini adalah tujuan instrumen untuk skrining hipotiroid, subjek penelitian adalah wanita dewasa, menggunakan TSH dan FT4 sebagai gold standard. Perbedaannya, penelitian tersebut tidak mencakup instrumen hipertiroid, berbasis pasien di rumah sakit, tidak melakukan literature review untuk mencari domain hipotiroid, skala yang dikembangkan hanya single domain, yakni gejala klinis (tidak memasukkan domain sindrom psikologis), tidak melakukan expert judgment, tidak melakukan penskalaan item, tidak melakukan analisis item, tidak ada uji coba instrumen, tidak ada pengujian reliabilitas dan validitas
15
instrumen, analisis akurasi uji diagnostik dilakukan dengan menghitung proporsi hasil diagnosis hipotiroid menggunakan indeks Zulewski dan pemeriksaan biokimia sebesar 62%. 4. Penelitian Watt (2009) yang berjudul “Development of a Danish thyroidspecific quality of life questionnaire”. Penelitian tersebut bertujuan mengembangkan kuesioner, yang berkaitan dengan quality of life (QoL) pada pasien gangguan tiroid. Subjek penelitian meliputi laki-laki dan perempuan dengan semua bentuk gangguan tiroid, mencakup domain classic symptoms, cognition, sexual life sampai pada aspek social life. Kuesioner lebih bersifat thyroid patient reported outcome, untuk mengukur kualitas hidup sebagai dampak penyakit. Persamaan dengan penelitian ini adalah mengembangkan instrumen untuk mengukur thyroid disorder, melakukan literature review untuk mencari domain hipotiroid, melakukan expert judgment dan patient rating, analisis item, menyusun wording pada item, melakukan uji coba instrumen, menguji reliabilitas dan validitas instrumen. Perbedaannya, penelitian tersebut mengembangkan kuesioner yang bukan untuk skrining, tetapi untuk mencatat dampak penyakit terhadap kualitas hidup, dan lebih umum pada semua gangguan tiroid (bukan hanya hipotiroid dan hipertiroid). Selain itu, tidak melakukan metode penskalaan pada hasil expert judgment, tidak mengukur gold standard, tidak menganalisis akurasi uji diagnostik. 5. Perbandingan karakteristik TDQ (Mutalazimah et al., 2012) dengan indeksindeks sebelumnya. Berdasarkan tujuan penyusunannya, terdapat persamaan antara TDQ, indeks Wayne, indeks Billewicz dan indeks Zuwleski, yakni untuk
16
skrining, sementara itu ThyPRO cenderung sebagai laporan dampak penyakit. Ada perbedaan mendasar pada pada objek yang ingin diukur, TDQ bertujuan mengukur hipotiroid dan hipertiroid dari kuesioner yang sama. Perbedaan mendasar lain, pada tahapan konstruksi instrumen, antara TDQ dengan indeksindeks sebelumnya, misalnya basis substansi TDQ adalah biopsikososial di komunitas, sedangkan indeks Wayne, indeks Billewicz dan indeks Zuwleski berbasis klinis di rumah sakit, serta ThyPRO berbasis kualitas hidup berbasis rumah sakit. Perbedaan lain, seperti metode item generation, pengujian validitas isi, pembobotan, jumlah item, cara penskoran, interpretasi skor, dan desain layout. Secara lebih detail, TDQ mempunyai beberapa kelebihan, yakni: dirancang menggunakan prinsip-prinsip research and development, mulai dari penelitian pendahuluan sampai pada validasi dan implementasi. Penelitian pendahuluan dilakukan, melalui literature review dan pengkajian pada subjeksubjek yang terindikasi mengalami hipotiroid dan hipertiroid. Selanjutnya, penelusuran terhadap item-item dalam TDQ dilakukan melalui proses item generation, dengan berbagai pengujian validitas dan relevansi isi, yang melibatkan para ahli kedokteran dalam kegiatan expert judgment. Selain itu, dalam proses perbaikan dan uji coba TDQ dilakukan untuk mengetahui reliabilitasnya. Validitas isi diuji melalui serangkaian proses justifikasi 3 ahli, yang profesional dalam bidang endokrinologi dan tiroid, dan dianalisis melalui pengujian content validity ratio (CVR) dan content validity index (CVI).
17
Selanjutnya, penentuan skor masing-masing item, dilakukan melalui metode penskalaan Thurstone, dengan meminta justifikasi kepada 44 dokter residen internis dan 44 dokter puskesmas. Validitas muka dilakukan melalui diskusi terfokus dengan dokter-dokter puskesmas. TDQ dirancang melalui 4 tahap, meliputi rancangan instruksi, bentuk pertanyaan, jenis huruf, redaksional masing-masing item dan layout secara keseluruhan. Perbaikan setiap tahapnya dilakukan melalui diskusi dengan ahli dan dokter-dokter puskesmas. Kelebihan proses penskalaan item, berbasis expert judgment pada TDQ dengan menggunakan penskalaan Thurstone, adalah dengan pertimbangan bahwa tahapan yang dilakukan pada penskalaan ini lebih detail, dengan hasil akhir skor item dalam bentuk skala interval, yang bisa dijumlahkan karena skor merupakan nilai dalam skala interval. Sementara, bila skala ordinal tidak bisa dijumlahkan, karena ketika dilakukan penjumlahan, yang dijumlahkan tersebut hanya kode respons jawaban dalam skala ordinal, hal ini yang seringkali tidak disadari sebagai ketidaktepatan metode skoring oleh banyak peneliti. Beberapa perbedaan pada analisis reliabilitas juga sangat terlihat, bahwa selain menguji konsistensi internal (yang dianalisis pada ThyPRO) dan inter-rater agreement (yang dianalisis pada indeks Wayne), TDQ juga menguji test-retest reliability, serta menganalisis durasi waktu yang digunakan oleh observer dan impact score. Sementara itu, indeks Billewicz dan Zuwleski menguji kesepakatan ahli dengan menggunakan analisis frekuensi pasien dengan tanda dan gejala yang sama. Perbedaan lain, pada analisis
18
validitas kriteria untuk menilai akurasi diagnostik, pada indeks Wayne, indeks Billewicz dan indeks Zuwleski menggunakan proporsi jumlah subjek yang positif menurut indeks dan positif menurut biokimia. Berkaitan dengan penentuan skor diagnostik untuk hipotiroid dan hipertiroid, dilakukan pengujian presisi dan akurasi uji diagnostik dengan beberapa indikator seperti percent agreement (PA), koefisien Kappa, Se, Sp, LR(+), LR(-), indeks Youden, AUC pada kurva ROC dan DOR. Dengan demikian, terpilih skor yang mempunyai nilai akurasi terbaik, berdasarkan kombinasi beberapa indikator presisi dan akurasi tersebut. Berdasarkan uraian perbedaan TDQ dengan indeks-indeks yang dikembangkan sebelumnya, dapat dijelaskan kebaruan TDQ antara lain yang utama adalah TDQ digunakan untuk skrining hipotiroid dan hipertiroid berbasis komunitas, selanjutnya pada proses konstruksi TDQ disusun menggunakan penskalaan metode Thurstone (skor item yang digunakan dalam skala interval), melakukan item generation melalui expert judgment berbasis klinis dan komunitas, melakukan pengujian beberapa indicator reliabilitas dan validitas yang terukur secara kuantitatif, menganalisis durasi waktu, melakukan analisis impact score serta menganalisis dan membandingkan berbagai indikator analisis pengujian presisi dan akurasi dalam uji diagnostik.
19