BAB IV ANALISIS UPAYA GURU DALAM PEMBENTUKAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA DI SMA N 1 KAJEN A. Upaya Guru dalam Membentuk Kecerdasan Emosional Siswa di SMA N 1 Kajen Dalam pembentukan kecerdasan emosional siswa, maka seorang guru dalam menjalankan perannya harus mengetahui wilayah kecerdasan emosional itu sendiri, sehingga para siswa dapat meneladani dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. 1. Pembentukan kesadaran diri Menurut John Mayer, kesadaran diri berarti waspada baik terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati. Kesadaran diri dapat menjadi pemerhati yang tidak reaktif, tidak menghakimi keadaan-keadaan batin. Tetapi, Mayer menemukan bahwa kepekaan ini dapat pula bersifat kurang mantap, pikiran tipikal yang menyuarakan kesadaran diri emosional adalah termasuk “harusnya aku tidak peduli”, “aku akan memikirkan hal-hal yang menyenangkan untuk menghibur diri”, dan untuk kesadaran diri yang lebih sempit, adanya pikiran sepintas “Jangan dipikirkan” sebagai reaksi terhadap sesuatu yang kurang menyenangkan.1 Orang-orang yang dewasa dan matang emosinya sadar akan apa yang menyenangkan dan apa yang membuat jiwanya resah. Secara sadar
1
Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terjemahan T. Hermaya. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 64.
67
68
mereka memakai kesadaran diri dalam mengambil keputusan. Sebaliknya ketidakmampuan
untuk
mengakui
kemampuan-kemapuan
kita
bisa
menimbulkan banyak kekecewaan dan ketidak tentraman batin.2 Untuk membentuk kesadaran diri siswanya, guru di SMA N 1 Kajen melakukan upaya berupa penyadaran kepada siswa agar siswa dapat mengetahui siapa dirinya, kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya sebagai introspeksi diri sehingga dengan hal tersebut diharapkan siswa dapat merancang kehidupan yang dijalaninya dengan baik sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibu Rini Anggorowati “mengenalkan kepada anak untuk bisa memahami tentang dirinya juga menerima tentang dirinya baik itu kelebihan maupun kekurangannya juga menyangkut hal itu.” Selain hal itu, guru juga memberikan teladan bagi para siswanya yang teladan itu diberikan dengan cara pembiasaan sehingga dengan cara seperti itu siswa akan terbiasa melakukan hal-hal yang positif. Sadar dengan kemampuan yang dimiliki akan menjadikan seseorang tahu apa yang harus dilakukannya untuk masa depan dirinya. Berdasarkan data tersebut dapat dianalisis bahwa seorang guru sudah memberikan teladan yang baik bagi para anak didiknya sehingga anak didik dapat melihat secara langsung dan nyata apa yang diajarkan guru kepada mereka ketika di sekolah. Perbuatan-perbuatan positif yang guru lakukan setiap hari di lingkungan sekolah merupakan salah satu cara
2
Sandy Widiatmoko, Memprogram Pikiran: Memadukan Jiwa dan Pikiran yang akan Mengubah Cara Berpikir Anda, (Yogyakarta: ST Book, 2011), hlm. 103.
69
membentuk kesadaran diri anak didik sehingga anak didik mengerti perbuatan apa yang boleh ia lakukan dan yang tidak boleh ia lakukan. Anak didik yang mengetahui siapa dirinya, kelebihan serta kekurangan yang dimilikinya senantiasa akan berbuat yang dapat menutupi kekurangannya itu sehingga mereka dapat bergaul dengan teman-temannya tanpa mengejek kekurangan satu sama lain. Bahkan mereka dapat saling mengisi antara satu dengan lainnya tanpa memandang latar belakang pekerjaan orang tuanya. 2. Upaya menciptakan suasana hati siswa yang menyenangkan Suasana hati yang bahagia, ketika sedang berlangsung, dapat memperkuat kemampuan untuk berpikir dengan fleksibel dan dengan lebih kompleks, sehingga memudahkan menemukan pemecahan masalah, baik persoalan intelektual atau antarpribadi. Ini menyiratkan bahwa salah satu cara untuk menolong seseorang tetap mampu berpikir jernih ketika dihadang masalah adalah dengan melontarkan lelucon pada mereka.3 Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa upaya guru dalam menciptakan suasana hati yang menyenangkan adalah dengan berusaha selalu dekat dengan siswa, sharing sehingga guru dapat mengetahui keluhan-keluhan siswa sehingga dengan cara seperti itu dapat ditemukan solusi yang tepat. Selain itu, guru juga berusaha untuk selalu menanyakan kabar ketika masuk kelas, kemudian memberikan permainan-permainan kecil
3
Daniel Goleman, Op.Cit., hlm. 119.
70
ketika jam masuk kelas siang hari, ada pula yang memberikan beberapa cerita lucu kepada siswa, dan apabila ada siswa yang terlihat mempunyai masalah yang menyebabkan mereka murung di kelas, maka langkah yang dilakukan yaitu dengan memanggil siswa yang bersangkutan untuk menghadap guru di luar jam pelajaran sehingga dengan cara seperti itu guru dapat mengetahui masalah yang sedang dihadapi siswa dan sesegera mungkin dibantu mencari solusi. Berdasarkan data di atas dapat dianalisis bahwa dengan berusaha untuk selalu dekat dengan siswa, guru mampu menjadi teman untuk dimintai nasihat atau saran yang dapat membantu siswa mengelola perasaannya sendiri ketika mereka berhadapan dengan suasana yang menyedihkan atau ketika siswa sedang berhadapan dengan suatu masalah yang masalah tersebut membuat siswa menjadi murung, sehingga dengan kedekatan tersebut guru mampu mengetahui serta memberikan masukanmasukan positif agar siswa tidak berlarut-larut terbawa suasana tersebut. Perasaan sedih yang berlarut-larut apabila tidak segera ditangani dapat menghapus rasa gembira pada siswa. Guru berusaha untuk tersenyum dihadapan siswa dan selalu menyanyakan kabar ketika akan memulai pembelajaran, hal tersebut diharapkan agar apabila ketika pelajaran dimulai, siswa mendapatkan suasana baru yang menyenangkan dan mudah untuk menerima materi. Selain itu, hal-hal yang menyangkut masalah pembelajaran yang dirasa
71
siswa kurang nyaman dapat disampaikan langsung kepada guru agar guru dapat memperbaikinya di pembelajaran yang selanjutnya. 3. Upaya memotivasi siswa Kemampuan memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan individu dalam mendorong untuk mengubah energi dalam diri individu ke dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu.4 Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa cara guru memotivasi siswa di SMA N 1 Kajen adalah dengan cara menyemangati, memberikan bimbingan kepada siswa, tidak memarahi siswa ketika ada siswa yang menemui kegagalan, serta menjadikan kegagalan itu sebagai titik awal untuk berusaha yang lebih baik lagi atau dapat dikatakan pula menjadikan kegagalan sebagai kesuksesan yang tertunda sehingga dengan demikian siswa akan termotivasi untuk maju dan melakukan usaha dengan sungguh-sungguh. Selain itu, guru juga mengajarkan kepada siswa bahwa jika siswa mengalami kegagalan dalam suatu hal, maka guru mengatakan bahwa gagalnya kita pada saat sekarang ini bukan berarti kita akan menjadi orang yang gagal selamanya, justru dari kegagalan itu kita tumbuhkan semangat yang baru untuk bangkit kembali dengan usaha yang lebih keras lagi. Dengan cara seperti ini banyak guru mengakui bahwa terjadi perubahan yang signifikan pada siswa yang sebelumnya gagal akhirnya bisa menjadi lebih baik. 4
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 114.
72
Berdasarkan data di atas dapat dianalisis bahwa dengan guru memberikan bimbingan serta selalu menyemangati siswa, maka siswa menjadi mudah untuk bangkit dalam mencapai kesuksesan. Dengan guru mengatakan bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda, maka siswa menjadi yakin bahwa ia pasti bisa untuk berbuat yang lebih baik lagi dari apa yang sudah ia lakukan sebelumnya. Perbedaan tingkat emosi yang dimiliki siswa dapat menghambat atau mempertinggi kemampuan untuk berpikir atau merencanakan suatu hal, untuk mengejar impian jangka panjang, dan menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi. Untuk itulah dibutuhkan penyemangat bagi siswa agar mereka tidak menjadi patah semangat ketika menemukan sebuah kegagalan. Justru kegagalan yang mereka alami itu agar bisa dijadikan acuan titik awal untuk membangun semangat yang lebih tinggi. 4. Upaya mengajarkan siswa untuk menerima perbedaan. Menurut teori Konstruktivis Sosial Trevarthen, Dunn dan Vygotsky, anak-anak dan orang dewasa secara terus-menerus menyesuaikan diri satu sama lain dan saling belajar dari satu sama lain.5 Kemampuan mengenali emosi orang lain merupakan salah satu bentuk kecerdasan emosional yang berhubungan dengan perasaan sosial, baik bersifat perorangan maupun kelompok. Wujud perasaan ini seperti rasa solidaritas, persaudaraan, simpati, kasih sayang, dan lain sebagainya.
5
Carolyn Meggit, Memahami Perkembangan Anak, terjemahan Agnes Theodora W, (Jakarta: PT. Indeks, 2013), hlm. 202.
73
Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa cara guru mengajarkan kepada siswa agar siswa mampu menerima perbedaanperbedaan yang ada di antara mereka adalah dengan menanamkan konsep bahwa Islam itu rahmatan lil ‘alamin, jadi guru mengajarkan kepada siswa bahwa adanya perbedaan-perbedaan yang ada itu jangan sampai dijadikan dasar untuk saling memusuhi satu sama lain, justru dengan adanya perbedaan, mereka harus saling mengenal, mendukung, saling mengisi kekurangan yang ada, saling menyayangi satu sama lain sehingga tercipta persaudaraan yang kuat. Selain itu, di sekolah juga diterapkan sistem pembayaran Iuran Orang Tua (IOT) yang berbeda-beda berdasarkan tingkat ekonomi keluarga siswa yang tujuannya agar siswa yang kurang mampu dapat terbantu dan tidak merasa keberatan dalam membayar biaya pendidikan. Berdasarkan data di atas dapat dianalisis bahwa kemampuan seseorang untuk dapat mengenali emosi orang lain berkaitan dengan pemahaman perasaan atau keadaan orang lain. Orang yang dapat memahami orang lain yang berbeda dengan kita akan mudah menghargai perbedaan yang ada. Perbedaan-perbedaan yang ada di antara sekian ratus siswa di SMA N 1 Kajen merupakan hal yang wajar. Guru-guru di SMA N 1 Kajen telah menanamkan konsep kepada siswa bahwa perbedaan yang ada di antara mereka tidak boleh dijadikan sebagai ajang untuk saling membenci dan memusuhi, dengan seperti itu maka siswa-siswa yang memiliki berbagai macam latar belakang yang
74
berbeda dapat membaur dan bergaul satu sama lain tanpa ada perasaan canggung. Selain itu, dari pihak sekolah juga menerapkan sistem pembayaran Iuran Orang Tua (IOT) yang sengaja dibeda-bedakan. Tetapi maksud dari pembedaan ini baik, yaitu meringankan beban iuran bagi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu sehingga dengan diterapkannya sistem ini sekaligus menjadi pelajaran bagi siswa bahwa mereka yang berasal dari keluarga mampu harus bisa menyayangi dan membantu orang lain yang kurang mampu. 5. Upaya menanamkan perilaku terpuji Ahli teori behavioristik meyakini bahwa lingkungan anak adalah faktor utama yang memengaruhi perkembangan dan pembelajarannya. Seorang anak belajar untuk menyesuaikan perilakunya setelah mendapatkan apresiasi dan hukuman. Skinner menganggap bahwa orang dewasa turut mengambil andil dalam membentuk perilaku anak, sehingga anak tumbuh dengan mengkonfirmasi tingkah lakunya dengan ekspektasi dan konvensi budaya setempat. Skinner meyakini bahwa tingkah laku anak-anak dibentuk dengan pengaruh positif maupun negatif, dari apa yang diinginkan orang dewasa terhadapnya. Orang dewasa sering kali memberi anak-anak penghargaan senyuman atau pujian verbal karena berperilaku baik. Perilaku baik dalam konteks ini berarti adalah perilaku yang diinginkan oleh si dewasa.6
6
Ibid., hlm. 215.
75
Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa upaya guru dalam menanamkan perilaku terpuji kepada siswa yaitu melalui penanaman kejujuran. Sebab dengan kejujuran, siswa akan melakukan sesuatu sesuai dengan kenyataan yang ada selama itu tidak menyangkut masalah pribadi orang lain yang harus dijaga kerahasiaannya. Di samping itu, guru juga menanamkan sikap toleransi kepada siswanya agar siswa mampu menghargai perbedaan yang ada di antara mereka, sikap menghormati kepada orang lain terutama dengan orang yang lebih tua. Tidak berprasangka buruk kepada orang lain. Selain itu, di sekolah juga ditanamkan budaya salam, senyum, sapa, sopan, santun kepada semua warga sekolah tanpa kecuali. Dengan budaya seperti itu, akan terbentuk pribadi siswa yang ramah dan santun. Dalam hal beribadah, sekolah mengadakan pembiasaan untuk bershadaqah, mengeluarkan iuran kurban secara rutin, pemberian santunan kepada anak yatim, dan sholat dhuhur tepat waktu. Berdasarkan data di atas dapat di analisis bahwa penanaman kejujuran pada siswa itu sangat penting karena dengan sikap jujur, seseorang akan dapat dipercaya oleh orang lain. Guru telah menanamkan kebiasaan untuk berbuat jujur kepada siswa, maka dengan lingkungan seperti itu, diharapkan siswa akan berbuat jujur dalam segala hal kecuali yang berkaitan dengan pribadi orang lain yang memang harus dirahasiakan. Selain itu, guru juga menanamkan sikap toleransi, toleransi ini sangat diperlukan di SMA N 1 Kajen mengingat warga sekolah, baik guru maupun
76
siswa ada yang berbeda keyakinan yang dalam hal ini yaitu agama. Perbedaan agama ini harus disikapi dengan toleransi dan saling menghormati satu sama lain terutama ketika pemeluk agama tersebut akan melaksanakan ibadah sesuai agamanya. Penanaman budaya salam, senyum, sapa, sopan dan santun juga telah diterapkan di sekolah ini sehingga dengan kebiasaan-kebiasaan seperti itu akan terbentuk pribadi siswa yang ramah dan santun terhadap semua orang terutama kepada orang yang lebih tua usianya. Dalam hal beribadah, siswa dibiasakan dengan latihan iuran kurban yang dilakukan secara rutin satu kali dalam seminggu sehingga akan tumbuh kebiasaan bershadaqah, selain itu guru juga mendirikan sholat berjamaah dhuhur dengan siswa. 6. Upaya membina hubungan dengan siswa Pada abad ke-18, seorang filsuf Jerman Kant meyakini bahwa pembelajaran seorang anak adalah interaksi antara anak itu sendiri dengan lingkungannya. Ia mengatakan bahwa: “Anak-anak mengkonstruksi pemahaman dan pengetahuannya sendiri mengenai berbagai macam hal. Pendekatan ini disebut pandangan konstruktivis sosial tentang bagaimana seorang anak belajar. Model ini merupakan model yang paling banyak didukung dari berbagai macam penelitian perkembangan anak di dunia barat. Piaget, Vygotsky dan Bruner menggunakan pendekatan konstruktivis atau interaksionis sosial.”7 Untuk membina hubungan yang akrab dengan siswa, guru SMA N 1
Kajen
melakukan
beberapa
upaya
antara
lain
dengan
saling
berkomunikasi, menjaga silaturrahim dengan semua warga sekolah dan
7
Ibid., hlm. 222.
77
orang tua siswa, ikut serta dalam rapat kegiatan siswa seperti rapat OSIS, berbaur serta ikut mendukung kegiatan-kegiatan siswa di luar kelas, selain itu ada pula yang mempersilakan kepada siswa untuk menghubungi guru melalui sms ketika ada suatu masalah yang siswa itu butuh pendamping dalam menyelesaikannya. Berdasarkan data di atas dapat dianalisis bahwa dengan saling berkomunikasi antara guru dengan siswa dapat membina keakraban dan menjaga silaturrahim antara semua warga sekolah karena komunikasi dan silaturrahim merupakan salah satu cara untuk menyatukan semua warga sekolah. Dengan adanya komunikasi, kegiatan-kegiatan yang ingin siswa laksanakan akan mendapat dukungan dari semua pihak sehingga dapat berjalan dengan lancar. Berdasarkan analisis di atas maka dapat diketahui bahwa upaya yang dilakukan guru SMA N 1 Kajen dalam membentuk kecerdasan emosional siswanya banyak dilakukan dengan pembiasaan serta pemberian contoh konkret sikap terpuji dalam kehidupan di sekolah. B. Faktor-faktor Penghambat Upaya Guru dalam Membentuk Kecerdasan Emosional Siswa di SMA N 1 Kajen Beberapa faktor yang menjadi penghambat bagi guru di SMA N 1 Kajen dalam membentuk kecerdasan emosional siswanya antara lain: 1. Mentalitas guru yang tidak mau berubah Guru merupakan agen perubahan (agent of change), maka dari itu guru harus berani maju menghadapi tantangan-tantangan yang ada, guru
78
harus bisa membawa siswa ke arah yang lebih baik dan guru juga harus bisa menjadi teladan bagi siswanya karena setiap hari siswa selalu bertemu dengan guru, berinteraksi dengan guru, jadi segala sesuatu yang dilakukan oleh guru akan selalu diamati oleh siswanya. 2. Perbedaan tingkat usia guru Perbedaan tingkat usia guru dapat menjadi penghambat sebab ada perbedaan pola pikir guru yang sudah tua dengan guru yang masih muda sehingga adanya perbedaan ini perlu diperhatikan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Karena apabila terjadi kesalahpahaman maka dapat mengganggu hubungan antara guru satu dengan yang lain. 3. Keterbatasan waktu Keterbatasan waktu pertemuan antara guru dengan siswa juga dapat menjadi penghambat bagi guru dalam membentuk kecerdasan emosional siswanya, hal ini terjadi karena kebersamaan antara guru dengan siswa terbagi-bagi dalam beberapa mata pelajaran. Sehingga waktu-waktu yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaiknya-baiknya. 4. Jumlah siswa Banyaknya jumlah siswa yang ada dapat pula menjadi hambatan bagi guru sebab dengan keadaan seperti itu tidak semua siswa mempunyai hubungan akrab dengan guru, walaupun guru telah melakukan upaya yang sama terhadap semua siswa tetapi hasilnya akan berbeda-beda antara siswa satu dengan yang lain.
79
5. Kondisi lingkungan yang tidak selamanya mendukung Lingkungan yang ada di sekitar kita tidak selamanya mendukung terhadap apa yang guru upayakan, oleh karena itu guru harus bersabar terhadap semua kemungkinan yang terjadi. Terkadang apabila seseorang melakukan suatu hal yang niatnya baik, kadang-kadang orang lain menilai hal tersebut dengan sesuatu yang berlebihan. 6. Tidak mau diajak sharing Siswa yang memiliki sikap egois, susah untuk diajak sharing, dapat menjadi hambatan bagi guru dalam memberikan beberapa arahan. Karena siswa yang egois susah untuk diarahkan sebab kadang-kadang mereka merasa bahwa mereka sudah benar dan tidak mau tahu.