BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK DI WILAYAH HUKUM POLSEK TAMBANG
A. Pengertian Penegakan Hukum Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai usaha untuk melaksanakan hukum sebagaimana mestinya,mengawasi pelaksanaan agar tidak terjadi pelanggaran dan jika terjadi pelanggaran maka ada usaha lain untuk memulihkan agar hukum yang dilanggar tersebut untuk ditegakkan kembali27. Pengertian Penegakan Hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dalam kenyataan, proses penegakan hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum.28 Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.Faktor-faktor
27
Abdulkadir Muhammad, Log, cit. Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Yogyakarta :Genta Publishing, 2009, hlm. 24.
28
26
27
tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatif terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah :29 a. Faktor hukumnya sendiri, yang didalamnya dibatasi undang-undang saja. Undang-undang merupakan peraturan tertulis yang berlaku secara umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah.Mengenai berlakunya undang-undang terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif, artinya agar undang-undang tersebut mencapai tujuannya, sehingga efektif. Asasasas tersebut adalah :30 1) Undang-Undang tidak berlaku surut; artinya undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut dalam undangundang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang tersebut dinyatakan berlaku. 2) Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. 3) Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum; artinya terhadap peristiwa khusus wajib diberlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa itu. 4) Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan undangundang yang berlaku terdahulu, artinya undang-undang lain yang lebih dahulu berlaku yang mengatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apa bila ada undang-undang baru yang berlaku belakangan 29
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 8. Ibid. hlm. 12.
30
28
yang mengatur hal yang sama pula, akan tetapi makna dan tujuan berlainan dengan undang-undang lama tersebut. 5) Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat. 6) Undang-Undang
merupakan
suatu
sarana
untuk
mencapai
kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi melalui pelestarian ataupun pembaharuan. Masalah lain yang dijumpai didalam Undang-Undang adalah adanya berbagai Undang-Undang yang belum memiliki peraturan pelaksanaan, padahal di dalam suatu perundang-undangan harus memiliki peraturan pelaksanaan agar selalu terdapat keserasian antara ketertiban, ketentraman dan kebebasan.31 b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum. Penegakan hukum benar-benar menempati kedudukan yang penting dan menentukan. Apa yang dikatakan dan dijanjikan oleh hukum, pada akhirnya akan menjadi kenyataan melalui tangan orang-orang tersebut. Apabila kita melihat segala sesuatu dari pandangan tersebut, maka menjadi relevan untuk berbicara mengenai berbagai faktor yang memberikan pengaruh terhadap para penegak hukum. Penegakan hukum merupakan fungsi dari bekerjanya pengaruh-pengaruh tersebut.32 Penegak hukum merupakan titik sentral, hal ini disebabkan karena perundang-undangan, disusun oleh penegak hukum, penerapannya 31
Ibid. hlm. 14. Satjipto Rahardjo, Op. Cit, h. 2.
32
29
dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegak hukum dianggap sebagai panutan hukum bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, baik moral dari penegak hukum, maka baik pulalah penegakan hukum yang diinginkan sebaliknya buruk moral penegak hukum, maka buruk pulalah penegakan hukum yang dicita-citakan.33 c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu.Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.Bagaimana penegak hukum dapat bekerja dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alatalat komunikasi yang proporsional.34 Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya.35 d. Faktor masyarakat yang mencakup kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat.Oleh karena itu dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.Masyarakat Indonesia pada khususnya, mempunyai pendapat33
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 69. Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 64. 35 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 37. 34
30
pendapat tertentu mengenai hukum. Pertama-tama ada berbagai atau arti yang diberikan pada hukum, yang variasinya adalah :36 1) Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan 2) Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan 3) Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan prilaku yang pantas 4) Hukum diartikan sebagai tata hukum 5) Hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat 6) Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa 7) Dan lain-lainnya. Gustav Radbruch (1878-1949), seorang ahli hukum Jerman mengatakan, “Hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.” (Recht ist Wille zur Gerechtigkeit). Hukum positif ada untuk mempromosikan nilainilai moral, khususnya keadilan. Menurut teori etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak. Oleh karena itu hukum betujuan untuk merealisir atau mewujudkan keadilan. Hukum adalah suatu sistem yang dibuat oleh manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku tersebut dapat terkontrol dengna baik, dapat berupa peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan manusia dan menyediakan 36
Ibid. hlm. 45.
sangsi
bagi
siapapun
yang
melanggarnya.
Hukum
31
mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Masyarakat berhak untuk mendapat pembelaan di depan hukum. Tujuan dari hukum itu sendiri adalah bersifat universal seperti ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan di dalam tata kehidupan bermasyarakat. Beberapa fungsi hukum diantaranya adalah sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan social lahir dan batin, sebagai sarana penggerak pembangunan, serta sebagai fungsi kritis. Dari sekian banyaknya pengertian yang diberikan kepada hukum terdapat kecenderungan besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasinya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi) salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses.37 Terdapat suatu rumusan yang menyatakan, bahwa sumber satu-satu hukum dan kekuatan mengikat adalah kesadaran hukum masyarakat. Dikatakan kemudian, bahwa perasaan hukum dan keyakinan hukum individu di dalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu, merupakan pangkal dari pada kesadaran hukum masyarakat.Selanjutnya, pendapat tersebut menyatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah
37
Ibid. hlm. 46.
32
jumlah terbanyak dari kesadaran-kesadaran hukum individu mengenai suatu peristiwa tertentu.38 e. Faktor kebudayaan hukum Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilainilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang diserasikan. 39 Dalam syariat islam penegakan hukum lebih kepada tuntunan menekkakkan kebenaran dan keadilan, sebagaimana terdapat dalam tuntunan Al-Quran yang menyatakan: Dalam surat An-Nisa’ ayat 58 dan 135:
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat40. 38
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok SosiologiHukum, Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2007, h. 167. 40 Departemen Agama RI, AL-Qur’an dan Terjemahan, Maghfirah Pustaka, h.87
33
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia[361] Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan41. B. Pelaku Menurut ketentuan pasal 55 KUHP dapat ditarik kesimpulan yang dimaksud dengan pelaku ialah “ mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan atau mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”. Pelaku
adalah
orang
yang
melakukan
tindak
pidana
yang
bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang-Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul 41
Departemen Agama RI, AL-Qur’an dan Terjemahan, Maghfirah Pustaka, h. 100
34
dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakkan oleh pihak ketiga42. Melihat batasan dan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa orang yang dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dapat dikelompokkan kedalam beberapa macam antara lain : 1. Orang yang melakukan (dader plagen) Orang ini bertindak sendiri untuk mewujudkan segala maksud suatu tindak pidana. 2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plagen) Dalam tindak pidana ini perlu paling sedikit dua orang, yakni orang yang menyuruh melakukan dan yang menyuruh melakukan, jadi bukan pelaku utama yang melakukan tindak pidana, tetapi dengan bantuan orang lain yang hanya merupakan alat saja. 3. Orang yang turut melakukan (mede plagen) Turut melakukan artinya disini ialah melakukan bersama-sama. Dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang yaitu yang melakukan (dader plagen) dan orang yang turut melakukan (mede plagen). 4. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, memakai paksaan atau orang yang dengan sengaja membujuk orang yang melakukan perbuatan. Orang yang dimaksud harus dengan sengaja menghasut orang lain, sedang hasutannya memakai cara-cara memberi upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat dan lain-lain sebagainya
42
Barda Nawawi Arif ,Sari Kuliah Hukum Pidana II. Fakultas Hukum Undip.1984, hlm:
37.
35
C. Tindak Pidana Tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam 3 (tiga) bidang hukum, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan dan hukum tata usaha Negara yang oleh pembentukuan undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana.43Maka sifat-sifat yang ada dalam setiap tindak pidana adalah sifat melanggar hukum (wederrectelijkheid, onrechmatigheid).44 Beberapa pasal dalam ketentuan hukum pidana (strafbepaling) menyebutkan salah satu unsur khusus dari suatu tindak pidana tertentu adalahwerrechtelijkheid atau sifat-sifat melanggar hukum. Hal ini ditekankan bahwa tidak ada suatu tindak pidana yang dilakukan tanpa sifat melanggar hukum.45 Mengenai pengertian tindak pidana ini juga, para ahli tidak menemukan kesamaan dalam meneterjemahkan strafbaarfeit lebih tepat jika diterjemahkan menjadi kata “delik” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti “delik” diberi batasan sebagai berikut : “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.46 Sedangkan menurut Mr. Van Der Hoeven, rumusan tersebut tidak tepat karena yang dihukum bukan perbuatannya tetapi pelakunya (manusia).47 Begitu juga dengan Moeljatno yang menterjemahkan istilah strafbaarfeit dengan “perbuatan pidana” untuk kata “delik”, karena jika kata “delik”
43
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, hlm. 1. 44 Ibid 45 Ibid 46 Laden Marpaung, Log.Cit. 47 Ibid
36
diartikan dengan kata “tindak” maka cakupannya lebih sempit dari kata “perbuatan”. Kata “tindak” tidak menunjukkan pada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan yang konkrit. Sementara E. Utrecht menterjemahkan istilah strefbaarfeit dengan istilah “peristiwa pidana”, karena menurutnya yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana. Sedangkan Mr. Tirtaamidjja menggunakan istilah “pelanggaran pidana” untuk kata “delik”.48 Mengenai pengertian delik (tindak pidana) dalam arti istilah strafbaarfeit, para ahli hukum pidana masing-masing member defenisi sebagai berikut :49 1. Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum. 2. Van Hamel Delik adalah suatu serangan (ancaman) terhadap hak-hak orang lain. 3. Vos Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan Undang-Undang. Moeljatno dalam bukunya juga mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang
48
Ibid Ibid
49
37
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.50 a) Adanya perbuatan b) Perbuatan tersebut memenuhi rumusan tindak pidna c) Bersifat melawan hukum. Oleh karena itu sesuatu yang dikategorikan sebagi tindak pidana harus mengandung sifat melanggar hukum, karena tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.Dengan demikian apabila suatu perbuatan yang didakwakan kepada pelaku, maka unsure yang ada dalam tindak pidana tersebut harus terpenuhi.51 D. Pencabulan 1. Defenisi pencabulan Pencabulan atau perbuatan cabul merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan, karena disamping merampas hak asasi orang lain juga bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Pengertian pencabulan dalam Kamus Besar Indonesia adalah “Pencabulan adalah kata dasar dari “Cabul”, yaitu “Kotor” dan “Keji” sifatnya tidak sesuai dengan adab sopan santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzina, melakukan tindak pidana asusila, mencabuli: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno, keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan, kesopanan)52.
dimuat 50
Dalam Kamus Lengkap Prof. Dr. S. Wojowasito. Drs. Tito Wasito artinya dalam bahasa inggris: “Indecent”, “Dissolute”.
Moeljatno, Op. Cit, hlm.54. Ibid 52 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 142. 51
38
“Pornographical”. Umumnya cabul diterjemahkan dengan “Dissolute”. Mr. J.M. Van Bemmelen terhadap arti kata “cabul” mengutarakan antara lain: “Pembuat Undang-undang sendiri tidak memberikan keterangan yang jelas tentang pengertian cabul dan perbuatan cabul dan sama sekali menyerahkan kepada hakim untuk memutuskan apakah suatu tindakan tertentu harus atau dapat dianggap sebagai cabul atau tidak”53. Dalam Kamus Hukum pengertian pencabulan adalah : “Pencabulan berasal dari kata “Cabul” yang diartikan “Keji dan Kotor”, “Tidak senonoh” karena melanggar kesopanan dan kesusilaan, hal ini secara umum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 281 dan 282: diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau tindak pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”54. Mengenai pengertian pencabulan ini terdapat beberapa persepsi baik menurut Undang-Undang maupun para pakar hukum pidana, yaitu: 1. Menurut Pasal 390 RUU KUHP yang diambil dari Pasal 289 KUHP.55 Yaitu, segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan atau perbuatan lain yang keji yang semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada RUU KUHP adalah dalam lingkungan hawa nafsu atau birahi kelamin misalnya : 56 a) Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan menyentuhkannya pada alat kelaminnya. b) Seorang laki-laki meraba-raba badan seorang anak perempuan dan kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk mengelus-elus
53
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Reverensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 64. 54 Soedarso, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 64. 55 Laden Marpaung, Supra, (lihat catatan kaki nomor 4) hlm.64. 56 Ibid
39
buah dada dan menciumnya. Pelaku melakukan hal tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya. 2. Menurut Pasal 290 ayat (2) KUHP Yaitu, “barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 (lima belas) tahun, atau umur itu tidak ternyata, bahwa orang itu belum pantas untuk kawin”. Adapun unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam pasal ini meliputi: a) Barang siapa (setiap orang) b) Melakukan perbuatan cabul c) Dengan anak 3. Menurut Pasal 82 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Yaitu, “setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasaan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000.,00(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000.,00 (enam puluh juta rupiah)”. Adapun unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam pasal ini meliputi :
40
a) Setiap orang b) Dengan sengaja c) Dengan kekerasan d) Dengan ancaman kekerasan e) Memaksa f) Dengan tipu muslihat g) Dengan kebohongan h) Membujuk i) Anak j) Melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul 4. Menurut J. M. Van Bemmelen57 Yaitu, pembuat Undang-Undang sendiri tidak memberikan keterangan yang jelas tentang pengertian pencabulan dan sama sekali menyerahkannya kepada hakim menyerahkan kepada hakim untuk memutuskan apakah suatu tindakan tertentu harus atau dapat dianggap sebagai cabul atau tidak. 5. Menurut Simon 58 Yaitu, tindakan-tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dalam bidang seksual yang dilakukan dengan maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum tentang kesusilaaan. 57
Ibid, hlm. 64. P. A. F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan Dan Kepatutan, Bandung :Mandar Maju, 1999, hlm. 159. 58
41
6. Menurut R. Soesilo59 Yaitu, segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu didalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, merabaraba buah dada dan sebagainya. Mengenai tindak pidana pencabulan, harus ada orang sebagai subjeknya dan orang itu melakukannya dengan kesalahan, dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana pencabulan, berarti ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu terdapat kesalahan. Adapun unsur-unsur mengenai tindak pidana pencabulan menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Pasal 82 adalah: 1. Unsur “Barang siapa” , dalam hal ini menunjukkan tentang subjek atau pelaku atau siapa yang didakwa melakukan tindak pidana. 2. Unsur “Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancama kekerasan,
memaksa,
melakukan
tipu
muslihat,
serangkaian
kebohongan atau membujuk anak atau untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”60. 2. Dasar Hukum Pencabulan. Dasar hukum tentang Pidana Pencabulan termuat dalam KUHP Pasal 287 dan 288.
59
R. Soesilo Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor :Politeia,1996, hlm. 212. 60 Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2002, Pasal. 82
42
Pasal 287 Ayat (1): “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan istrinya, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umur wanita itu belum lima belas tahun, atau kalau umumnya belum jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. Ayat (2): “Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur wanita itu belum sampai dua belas tahun atau bila ada salah satu hal tersebut dalam Pasal 291 dan Pasal 29461. Pasal 288 Ayat (1): “Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawinkan, bila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Ayat (2): “Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun Ayat (3): “Jika perbuatan itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun62. Pasal 289: “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun63. Pasal 290:”Yaitu, barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 (lima belas) tahun, atau umur itu tidak ternyata, bahwa orang itu belum pantas untuk kawin. Adapun unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam pasal 290 meliputi: a. Barang siapa (setiap orang) b. Melakukan perbuatan cabul c. Dengan anak
61
LIHAT KUHAP, Pasal 287 Ayat 1 dan 2 LIHAT KUHAP, Pasal 288 Ayat 1 dan 2 63 LIHAT KUHAP, Pasal 289 62
43
Menurut Pasal 82 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak “Yaitu, setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasaan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000.,00(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000.,00 (enam puluh juta rupiah).
E. Anak Dibawah Umur Merujuk dari Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian anak secara etimologis diartikan dengan “Manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa”.64 Pengertian tersebut juga terdapat dalam pasal 45, pasal 46, pasal 47 dan pasal 72 KUHP yang memakai batas usia 16 (enam belas) tahun, yaitu: Pasal 45 berbunyi: Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan supaya si anak diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 497,
64
. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Balai Pustaka: Armico, 1984), h.
25.
44
503-505, 514, 517, 519, 526, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. Pasal 46 berbunyi: (1) Jika hakim memerintahakan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan Negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau deserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau dikemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun. (2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undangundang. Pasal 47 berbunyi: (1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. (2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
45
(3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3 tidak dapat diterapkan. Pasal 72 berbunyi: (1) Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dan orang itu umurnya belum cukup 16 (enam belas) tahun dan lagi belum dewasa, atau selama ia berada di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain daripada keborosan, maka wakilnya yang sah dalam perkara perdata yang berhak mengadu. (2) Jika tidak ada wakil, atau wakil itu sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas; juga mungkin atas pengaduan istrinya atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga. 65 Dari pasal
yang dipaparkan tersebut di atas maka penulis
berkesimpulan bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana adalah seseorang sebelum umurnya 16 (enam belas) tahun. Namun dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur
8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin dan dikenal dengan sebutan
65
. Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia (Jakarta: Raja Wali Pers, 2011), Ed. 1, h. 4.
46
anak nakal. Sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 dan 2 berbunyi: 1. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 2. Anak nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.66 Dengan berlakunya undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka Pasal 45 KUHP tidak berlaku lagi.67 Hal ini dijelaskan dalam Pasal 67 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang berbunyi “Pada saat berlakunya Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang peradilan anak, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undangundang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.68 Batasan umur untuk anak sebagai korban pidana diatur dalam Pasal 1 butir satu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak dirumuskan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
66
. Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Peradilan Anak RI No. 3 Tahun 1997 (Jakarta: 2009),Cet,1.h.3. 67 . Nashriana, Op. Cit. h. 4 68 . Ibid, h. 28.
47
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang berhak mendapat perlindungan hukum tidak memiliki batasan umur. Dari sejak masih dalam kandungan, ia berhak mendapatkan perlindungan. Sedangkan dalam pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, bahwa yang disebut dengan anak adalah “seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.69 Kemudian dalam pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa batas usia anak di bawah kekuasaan orang tua dan dii bawah perwalian sebelum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun70. Anak menurut bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita.9 Dalam Al-Qur’an kata anak sering disebut dengan وﻟﺪjamaknya اوﻟﺪ. Kata وﻟﺪdapat dilihat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi: Artinya: ‚Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.‛ (QS. An-Nisa’: 11)71 Dari kata اوﻟﺪanak dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 151 yang berbunyi:
69
. Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Kesejahteraan Anak (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), h. 52. 70 . Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Pokok Perkawinan (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 15. 71 Departemen Agama RI, Al-Jumanatul ‘Ali, (Bandung: CV Penerbit J-ART, 2005),h. 79
48
Artinya: ‚Berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamumembunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.‛ (QS. Al An’am: 151) Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak adalah manusia yang dilahirkan dari seorang wanita sebagai hasil hubungan antaraseorang wanitadan seorang laki-laki semenjak ia dilahirkan sampai ia mengalami masa balig. Dalam Islam, konsepsi tentang hak anak bisa diruntut dari sebuah hadist Nabi Muhammad SAW berikut: Artinya: “Seorang laki-laki mendatangi Nabi Muhammad SAW dan bertanya: Wahai Rasulullah apa saja hak-hak anakku ini? Nabi menjawab: Berilah nama yang baik, perbaiki moralitasnya, dan tempatkan ia dalam pergaulan yang baik”. (HR. Bukhari)72. Menurut Hanafi kriteria anak di bawah umur adalah dimulai sejak usia tujuh tahun hingga mencapai kedewasaan (balig) dan fuqoha membatasinya dengan usia lima belas tahun yaitu masa kemampuan berfikir lemah (tamyiz yang belum dewasa) jika seorang anak telah mencapai usia tersebut maka ia dianggap dewasa meskipun ia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya73. F. Pencabulan Menurut Perspektif Fiqih Jinayah Pencabulan berasal dari kata cabul yang dalam bahasa arab disebut juga dan secara bahasa diartikan : 1. Keluar dari jalan yang haq serta kesalihan. 72
Jalaluddin Abd Ibn Abi Bakr as-Suyuti, al-Jami’ ash-Shaghir, (Bandung: Dar al-Ihya’,
t.t), h. 98 73
A. Hanafi, Asas-Asas Pidana Islam, h. 370
49
2. Berbuat cabul, hidup dalam kemesuman dan dosa. 3. Sesat, kufur. 4. Berzina74. Sedangkan menurut istilah pencabulan atau perbuatan cabul bila melihat dari definisi cabul secara bahasa pencabulan berarti perbuatan yang keluar dari jalan yang haq serta kesalihan yang mengarah pada perbuatan mesum, dosa, sesat dan kufur serta mengarah pada perbuatan zina75. Secara mudah pencabulan juga bisa diartikan perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan yang berkaitan dengan seksual yang tidak sampai pada bentuk pada hubungan kelamin. Misalnya laki-laki yang meraba buah dada seorang perempuan, menepuk pantat, meraba-raba anggota kemaluan, oral seks, menggauli atau mencabuli dan lain-lain. Dalam Tinjauan Fiqih Jinayah, Islam memasukkan tindak pidana Pencabulan ini kedalam kategori jarimah takzir76. Yang dimaksud dengan jarimah takzir yaitu suatu perbuatan atau tindak pidana yang hukumnya tidak ditentuka dalam Al-Quran dan Hadist yang berkaitan dengan tindak kejahatanyang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada pelaku kejahatan untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa77. Karena hukum Islam tidak hanya memandang pencabulan sebagai pelanggaran hak perorangan
tetapi juga di pandang sebagai
pelanggaran terhadap hak masyarakat. Pencabulan adalah perbuatan yang
74
Ahmad Sya’bi, Kamus Al-Qalam, (Surabaya: Halim, 1997), h. 187 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1055 76 Neng Zubaedah, Perzinahan, , (Jakarta: Kencana, 2010), h. 119 77 Ahmad Djazuli, Fiqi Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam(Jakarta :Bulan Bintang)1996, h. 161 75
50
mendekati zina. Pencabulan tidak bisa dikatakan zina karena tidak adanya hubungan kelamin antara pelaku dan korban. Pencabulan adalah , segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu didalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya ciumciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman:
ًَﺎﺣ َﺸﺔً َوﺳَﺎء َﺳﺒِﻴﻼ ِ ﱢﱏ إِﻧﱠﻪُ ﻛَﺎ َن ﻓ َ َوﻻَ ﺗَـ ْﻘَﺮﺑُﻮاْ اﻟﺰ Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk,” (Al-Israa’: 32)78.
Pada umum nya yang menjadi korban pencabulan ini adalah anakanak. Korban pencabulan merupakan salah satu korban kejahatan yang juga memerlukan perlindungan hukum. Dalam proses peradilan pidana, keberadaan korban pencabulan tetap mengkhawatirkan79. Syari’at Islam merupakan piranti perlindungan anak dari tindak eksploitasi. Hukum Islam sebagai salah satu norma yang dianut dalam masyarakat perlu dijadikan landasan dalam mengkaji persoalan perlindungan anak. Elastisitas hukum Islam dengan prinsip “Shalih li Kulli Zaman wa Makan” dan prinsip “ al-Hukmu Yadurru ma’al Illati Wujudan wa ‘Adaman” menghendaki dilakukannya analogi dan interpretasi baru sesuai dengan konteks fenomena kejahatan yang terjadi pada anak saat ini. Nilai transedental yang melekat pada norma hukum Islam, merupakan kelebihan tersendiri yang menyebabkan penganutnya lebih yakin bahwa jika ajaran agama dipahami 78
Departemen Agama RI, AL-Qur’an dan Terjemahan, PT Syaamil Cipta Media, h.285 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,Bandung : Graha Ilmu, 2009, hlm. 21. 79
51
dengan baik, maka akan disadari pula betapa agama tidak menghendaki terjadinya eksploitasi sesama manusia. Nilai-nilai penegakan keadilan, pencegahan kezaliman, dan perlunya kerjasama dalam mengatasi masalahmasalah sosial merupakan misi kemanusiaan yang dibawa agama. Namun demikian,
nilai-nilai
tersebut
perlu
senantiasa
diaktualkan
dan
diinterpretasikan kembali sesuai dengan perkembangan terbaru modus kejahatan. Rasulullah SAW menekankan perlunya kasih sayang dan saling menghargai di antara sesama, sebagaimana hadis riwayat Anas bin Malik: ”Dari Anas bin Malik menuturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “tidak termasuk golongan umatku mereka yang (tua) tidak menyayangi yang muda, dan mereka yang (muda) tidak menghormati yang tua.” (HR. AlNasaiy)80. Dengan demikian tindakan pelaku terhadap perbuatan cabul diatas menurut hukum Islam masih tergolong percobaan melakukan jarimah. Dalam hukum Islam percobaan melakukan zina atau pra zina tidak boleh dihukum dengan hukuman yang dijatuhkan atas perbuatan zina sendiri yaitu jilid dan rajam, melainkan hukuman ta’zir Teori tentang jarimah ‚”percobaan” tidak kita dapati dikalangan fuqoha, istilah ‚percobaan‛ dengan pengertian teknis Yuridis juga tidak dikenal oleh mereka apa yang dibicarakan oleh mereka ialah pemisahan antara sjarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Tidak adanya
80
Al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuthiy, Sunan al-Nasaiy bi Syarh Jalaluddi al-Suyuthiy, Jilid 4, Juz 7 (Beirut: Dâr al-Jiil, t.th.), h. 311.
52
pengertian secara khusus terhadap jarimah percobaan disebab kan karena dua hal81: 1. Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir, bagaimanapun juga macamnya jarimah itu. Para fuqoha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimahjarimah hudud dan qi’as-diyat, karena unsur-unsur dan syarat-syaratnya tetap tanpa mengalami perubahan dan hukumannya juga sudah ditentukan jumlahnya dan tidak boleh dikurangi dan dilebihkan. 2. Dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara’ tentang hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hokum ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
81
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 134