BAB III Sosial Budaya Masyarakat Palembang
3.1 Gambaran Umum Propinsi Sumatera Selatan 3.1.1 Geografi Sumatera selatan terletak diantara 1-4 derajat Lintang selatang dan 102-108 Bujur Timur dan berbatasan di sebelah Utara dengan Propinsi Jambi, sebelah selatan berbatasan dengan propinsi Lampung, sebelah Barat berbatasan dengan propinsi Bengkulu, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Karimata dan Laut Jawa.
Menurut topografis, wilayah Sumatera Selatan beriklim tropis, dengan kelembaban udara rata-rata 85 km, suhu cukup panas yaitu antara 24-32 derajat celcius, curah hujan rata-rata 226/17 mw terjadi paling banyak di bulan Oktober dan paling sedikit di bulan April. Daerah di Sumatera Selatan sebagian besar merupakan daratan rendah, sebagian lagi terdiri atas rawa-rawa, dan tanah pegunungan. Suhu di dataran rendah dan di daerah rawa-rawa berkisar antara 2628 derajat celcius, di dataran tinggi bersuhu antara 26,3-17 derajat celcius dan di pegunungan suhu berkisar antara 17-6,2 derajat celcius. Propinsi Sumatera Selatan masih di pengaruhi oleh pasang surutnya laut, karena dilintasi oleh beberapa sungai besar seperti sungai Musi, sungai Lematang, sungai Kelingi, sungai Lakitan, sungai Rawas, Sungai Rumpit, Sungai Batang Hari Leko, sungai Ogan, dan sungai Komering. Kesembilan sungai ini sebelum airnya mencapai laut, semuanya bermuara di sungai Musi. Oleh karena itu daerah Sumatera Selatan terkenal dengan sebutan daerah Batang Hari Sembilan.
Propinsi Sumatera Selatan tanahnya bergunung-gunung berupa rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera. Disana banyak terdapat daratan tinggi Ranau, Pasemah, Semendo, dan Musi Rawas.
61
Di daerah daratan tinggi banyak turun hujan dan tanahnya subur, di daerah itu dapat ditanami kopi, teh, dan tembakau.Daerah sebelah timur tanahnya penuh dengan rawa-rawa dan hutan rimba yang ditumbuhi oleh pohon gelam, bakau, dan nipah. Di antara rawa-rawa dan pegunungan terbentang daratan rendah yang subur, di aliri oleh sungai-sungai dimana banyak terdapat lebak lebung yang dapat ditanami padi. Propinsi Sumatera Selatan terdiri dari 10 daerah tingkat II yaitu: -
Kotamadia Palembang dengan ibu kotanya Palembang.
-
Kotamadia Pangkal Pinang dengan ibu kotanya Pangkal Pinang.
-
Kabupaten Musi Bayuasin dengan ibu kotanya Sekayu.
-
Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan ibu kotanya Kayu Agung.
-
Kabupaten Muara Enim dengan ibu kotanya Muara Enim.
-
Kabupaten Ogan Komering Ulu dengan ibu kotanya Baturaja.
-
Kabupaten Lahat dengan ibu kotanya Lahat.
-
Kabupaten Musi Rawas dengan ibu kotanya Lubuk Linggau.
-
Kabupaten Bangka dengan ibu kotanya Sungai Liat dan
-
Kabupaten Belitung dengan ibu kotanya Tanjung Pandan.
Berdasarkan data yang terhimpun, maka Sumatera Selatan mempunyai luas wilayah 11.333,07 km persegi, terdiri dari 10 daerah tinggkat II, serta 110 kecamatan, 264 kelurahan dan 2.612 desa.
62
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan disajikan tabel tentang pembagian wilayah administratif dan luas daerah menurut kabupaten / kotamadia yakni sebagai berikut: Pembagian wilayah administrasi dan luas daerah propinsi Sumatera Selatan menurut Kabupaten/Kotamadia Kabupaten/ No. Kotamadia
Luas daerah (km)
1. Ogan Komering Ulu 2. Ogan Komering Ilir 3. Muara Enim 4. Lahat 5. Musi Rawas 6. Musi Banyu asin 7. Bangka 8. Belitung 9. Palembang 10 Pangkal Pinang Jumlah
14.679,11 21.387,49 9.575,33 6.355,75 18.650,38 26.099,25 11.533,65 4.547,70 421,01 89,40 113.339,07
Jumlah kecamatan
Jumlah Kelurahan
14 14 11 15 12 13 13 6 8 4 110
6 7 19 19 27 12 14 2 103 55 264
Jumlah Desa 487 414 263 591 250 401 136 67 3 2.612
Sumber: Sumatera Selatan dalam angka 2005
Penduduk Sumatera Selatan berjumlah 7.775.800 jiwa, tersebar di delapan Kabupaten dan dua Kotamadia. Daerah yang terpadat penduduknya adalah Kotamadia Palembang dan penduduk terkecil di wilayah Ki Gede Ing Suro, dengan tingkat rata-rata penduduk 69/km.
3.1.2 Penduduk Dalam propinsi Sumatera selatan terdapat banyak golongan / suku-suku penduduk menurut daerahnya. Penduduk tersebut mempergunakan bahasa daerah masing-masing yang antara satu dengan yang lain tidak banyak berbeda dan hampir bersamaan. Golongan atau suku dimaksud diantaranya adalah: 1. Suku asli Palembang, sebagian besar berdiam di kota Palembang. 2. Suku Musi / Sekayu, dalam Kabupaten Musi Banyu Asin.
63
3. Kabupaten OKI, suku Pegagan, Meranjat, Kayu Agung, Pendamaran, Komering Ilir. 4. Kabupaten OKU, suku Ranau, Paya, Kisam, Komering, dan Ogan. 5. Kabupaten Muara Enim, suku Semendo Darat, Lematang, Enim. 6. Kabupaten Lahat, suku Pasemah, Kikim, Lintang, lematang, Pagar Alam, Jarai. 7. Kabupaten Musi Rawas, suku Rejang, Musi ulu, Rawas, anak Dalam (Kubu). 8. Kabupaten Bangka, suku Bangka, keturunan cina, Sekak (Mapur). 9. Kabupaten Belitung, suku Belitung, keturunan Cina, Bugis, Sawang (suku Laut)
Adapun data mengenai jumlah penduduk berdasarkan Kabupaten / Kotamadia dapat dilihat pada tabel berikut: Jumlah penduduk berdasarkan Kabupaten / Kotamadia Kabupaten / Kotamadia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jumlah Penduduk
rata-rata Penduduk/
Ogan Komering Ulu Ogan Komering Ilir Muara Enim Lahat Musi Rawas Musi Banyuasin Bangka Belitung Palembang Pangkal Pinang
1.144.800 948.600 720 678.700 613.600 1. 219.600 600.600 210.300 1.479.500 1.298.000
78 44 75 107 34 47 520 46 3.514 1.452
Jumlah
7.775.800
69
Sumber: Sumatera Selatan 2005
64
Jika dilihat dari pertumbuhan penduduk antara pria dan wanita maka di daerah Sumatera selatan masih dapat dikatakan berimbang, karena jumlah pria 3.905,7 dan jumlah wanita 3.870,1 berarti selisih yang terjadi hanya 356. Untuk melihat jumlah penduduk di Kabupaten / Kotamadia propinsi Sumatera Selatan berdasarkan jenis kelamin dapat disaksikan pada tabel berikut:
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin
No
Kabupaten / Kotamadia
1. Ogan Komering Ulu 2. Ogan Komering Ilir 3. Muara Enim 4. Lahat 5. Musi Rawas 6. Musi Banyuasin 7. Bangka 8. Belitung 9. Palembang 10. Pangkal Pinang Jumlah
laki-laki
perempuan
jumlah
589,7 480,0 364,5 344,5 326,8 588,4 305,9 107,6 733,2 65,1
555,1 468,6 355,8 334,2 361,8 631,2 294,7 102,7 746,3 64,7
1.144,8 948,6 720,3 678,7 643,6 1.219,6 600,6 210,3 1.479,5 129,8
3.905,7
3.870,1
7.775,8
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan
Mengenai kondisi masyarakat Sumatera Selatan saat ini sudah lebih baik dibandingkan dengan beberapa tahun yang silam. Jika dilihat dari pendapatan regional perkapita dengan migas, dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Sebagai fakta yang otentik dapat dilihat dari hasil pendapatan oleh kantor Statistik propinsi Sumatera Selatan dalam tiga tahun belakangan ini. Di tahun 2003 pendapatan regional perkapita dengan migas berjumlah Rp. 2.977.400, tahun 2004 adalah Rp. 4.280.543 dan pada tahun 2005 berjumlah Rp.3.668.702. Secara garis besar penduduk Sumatera Selatan mempunyai mata pencaharian bertani, dan berdagang bagi penduduk yang tinggal di kota-kota, disamping juga hidup sebagai pegawai/pekerja.
65
3.2 Gambaran Umum Daerah Palembang 3.2.1 Letak Geografi
Gambar III.1 Peta propinsi Sumatera Selatan
Letak daerah Ki Gede Ing Suro berdekatan dengan kota Palembang, bisa dikatakan masih dalam wilayah kota Palembang. Daerah Ki Gede Ing Suro terletak di bagian timur Sumatera pada 2 derajat 58 Lintang Selatan, dan 105 derajat Bujur Timur. Suhu udara yang diukur dengan alat termometer ‘Fahrenheit’ di daerah tersebut, pada waktu pagi menunjukkan 80 derajat celcius dan biasanya naik sampai 92 derajat celcius pada tengah hari. Dalam bulan juni – September mengalami musim kemarau (panas) dengan suhu tetap tinggi 92 derajat celcius. Dalam bulan oktober- April mengalami musim hujan, termometer turun sampai 76 derajat celcius dan biasanya suhu naik tidak lebih dari 85 derajat celcius.
66
Daerah Ki Gede Ing Suro terletak pada kedua tepi sungai Musi, kira-kira 15 mil dari muaranya di mana sungai ini disebut Sungsang, arus air sungai berakhir pada muara Musi atau sungai induknya. Dari hilir hingga hulu, sungai ini dapat dilayari oleh kapal-kapal besar. Ibukotanya letaknya kira-kira 1 mil sebelah hilir dari tempat sungai ogan dan sungai Komering yang bersatu dengan sungai musi. Kedua sungai ini bersama-sama dengan sungai Musi merupakan jalan masuk ke daerah-daerah pedalaman Palembang.
3.2.2 Penduduk Wilayah daerah Ki Gede Ing Suro 80 persen peduduk asli orang Palembang yang disebut dengan Wong Palembang. Sedangkan di wilayah Ki Gede Ing Suro lebih dominan suku Palembang, 5 persen masyarakat pendatang dari pulau jawa, dan 15 persen pendatang berasal dari kabupaten Lahat, (OKU) Ogan Komering Ulu, Ogan komering Ilir, serta Muara Enim.
Jumlah penduduk di wilayah Ki Gede Ing Suro sebesar 3.438 jiwa dan jumlah KK (Kepala Keluarga) 703 KK terdiri dari laki-laki 1.477 orang. Sedangkan jumlah perempuan 1.961 orang. Dilihat dari angka diatas maka jumlah perempuan lebih besar dibandingkan dengan jumlah laki-laki, atau selisih antara laki-laki dan perempuan adalah 484 orang. (profil daerah Ki Gede Ing Suro, 2005).
3.2.3 Pelapisan Sosial Palembang Pada abad 18 di zaman Kesultanan Palembang, termasuk diwilayah Ki Gede Ing Suro. Terdapat stratifikasi sosial yang digolongkan dengan beberapa lapisan masyarakat, yaitu:
Pertama golongan priyayi, berarti turunan raja-raja atau kaum ninggrat ini dapat diperoleh karena kelahiran atau atas perkenaan dari raja. Priyayi-priyayi dibagi lagi menjadi tiga golongan. Yaitu golongan Pangeran, Raden, dan Masagus.
67
Golongan Pangeran, berarti yang memerintah, dalam hal ini Putera raja atau Sultan. Gelar ini harus selalu diberikan oleh Raja dan tidak seorangpun mendapatkannya bagi yang tidak mempunyai jabatan. Tetapi kemudian gelar ini diberikan semuanya, seperti pemberian gelar tersebut oleh Sultan kepada PasirahPasirah yang telah berjasa. Golongan Raden adalah putera yang lahir dari perkawinan antara putera Pangeran dan putri Pangeran. Golongan Mas Agus adalah putera yang lahir dari perkawinan antara seorang putera Pangeran atau putera Raden dengan wanita golongan rakyat.
Peraturan tersebut di atas berlaku pada waktu Susuhunan atau Sultan Cindo Belang menduduki tahta kerajaan Palembang. Tetapi pada waktu Sultan Limbang memerintah, peraturan ini berbeda sedikit, yaitu Putera yang lahir dari perkawinan seorang putera Pangeran atau Raden dengan seorang wanita golongan rakyat, harus disebut Raden.
Istri-istri golongan priyayi mempunyai gelar tersendiri pula. Istri sultan sebenarnya bergelar ratu, istri dan anak perempuan seorang Pangeran dan Ratu bergelar Raden Ayu dan isteri dan anak perempuan seorang Masagus bergelar Mas Ayu.
Golongan rakyat, terbagi atas tiga golongan, masing-masing golongan Kiai Mas atau Kimas, golongan Kiai Agus atau Kiagus, dan golongan rakyat jelata. Golongan Kiai-Mas, adalah anak laki-laki dari perkawinan seorang Mas Ayu dengan seorang pria dari rakyat jelata. Golongan Kiai-Agus, adalah anak laki-laki dari Mantri turunan Raden yang terendah dengan rakyat jelata. Mereka diwajibkan ikut serta dalam pekerjaan yang ringan dan halus, tetapi tidak untuk mendayung atau mengerjakan pekerjaan kasar. Rakyat jelata, dibagi lagi atas orang-orang Miji, orang-orang Senan dan orangorang yang mengandaikan diri budak-budak.
68
Orang-orang Miji, yang tinggal di Ibukota (Palembang) sama kedudukannya dengan Mata Gawe di daerah pedalaman. Hanya Mata Gawe wajib membayar pajak, sedang orang Miji bebas. Orang Miji sering dipakai Raja, Pangeran, dan Raden antara lain untuk berperang, mengerjakan pekerjaan tangan atau karyakarya seni. Namun mereka adalah orang-orang merdeka, dan jikalau kurang senang mereka bebas pindah atau bekerja pada Pangeran atau Raden yang lain. Seorang Miji biasanya mempunyai beberapa orang Alingan untuk membantu pekerjaannya, dan keperluannya dipenuhi. Orang senan atau Snauw, suatu golongan yang lebih rendah dari Miji, tetapi yang tidak boleh dipekerjakan oleh siapapun, kecuali hanya oleh raja. Orang Senan dipergunakan untuk membuat dan memperbaiki perahu-perahu raja, rumah-rumah raja, dan mendayung untuk untuk raja. Mereka juga mempunyai alingannya, sebagai pembantu.
Golongan ketiga dan keempat yaitu orang-orang yang mengandaikan diri untuk membayar hutang dan budak-budak adalah tenaga-tenaga kerja yang tidak langsung berhubungan dengan raja, tetapi dipergunakan oleh mereka yang meminjamkan uang kepada mereka atau telah membelinya. Mereka golongan yang paling celaka dan paling menyedihkan hidupnya. Para ulama atau petugas keagamaan tidak dimasukkan kedalam golongan yang diuraikan di atas, karena mereka berasal dan dipilih dari semua golongan penduduk. Mereka dapat digolongkan ke dalam pegawai kerajaan, dan disebut Penghulu atau Pangeran serta dibantu oleh khatib, Mudin atau Modin dan lainlain.
Perlu juga disinggung sedikit tentang Raban atau Jenang, yakni orang yang oleh raja dianugerahi beberapa marga atau dusun mereka mungkin keluarga dekat raja, tetapi dapat juga seorang mantri yang karena sesuatu hal yang luar biasa memperoleh kemurahan hati Sri Baginda. Ia memungut hasil dari marga-marga atau dusun-dusun itu. Semua urusan dan perisritiwa yang terjadi di dalam margamarga atau dusun-dusun harus dilaporkan dulu kepada Raban.
69
Apabila perlu Raban itulah yang melaporkannya kepada Raja. Sebaliknya segala perintah dan titah Raja tidak disampaikan langsung kepada kepala marga atau dusun, tetapi melalui Raban atau jenang.
Sejalan dengan perkembangan zaman stratifikasi sosial telah diuraikan diatas. Maka dalam lapisan sosial daerah Ki Gede Ing Suro saat ini, didasarkan kepada status dan peranan seseorang dalam masyarakat, yang diukur melalui kapasitas berupa ilmunya, kekayaan atau peranannya (kekuasaan atau pangkatnya). Pelapisan masyarakat seperti diatas disebut stratifikasi yang bersifat terbuka. Karena setiap anggota masyarakat dapat terbuka dan kesempatan baginya untuk dapat berpindah dari jenjang yang satu ke jenjang yang lebih tinggi. 3.2.4 Sosial Budaya Wilayah Ki Gede Ing Suro, jika ditinjau dari segi tingkat kemakmuran masyarakat sehubungan dengan kondisi rumah dan lingkungan pemukiman cukup memadai sesuai dengan mata pencaharian dan pendapatan masyarakat setempat. Rumah-rumah penduduk yang dibangun, sebagaian besar telah memenuhi syarat kesehatan selain juga masyarakat telah mengenal arti pentingnya gizi dalam pertumbuhan anak-anak. Ini memuat berkat seringnya petugas kesehatan memberikan penyuluhan kepada penduduk daerah setempat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah bangunan menurut jenisnya yaitu: bangunan permanen 140 buah, dan bangunan sederhana 394 buah, dan semua rumah tangga telah menggunakan listrik. Sedangkan tata busana bagi masyarakat Ki Gede Ing Suro tidak banyak mengalami perbedaan dengan daerah lainnya yang ada di kota Palembang. Untuk kaum tua cukup mengenakan kain dan kebaya, sedangkan kaum muda mengikuti perkembangan mode sekarang. Demikian pula keturunan antar keluarga masih tetap dipelihara, sehingga terjalin hubungan baik antara mereka. Untuk lebih jelas, berikut ini disajikan tabel tentang mata pencaharian penduduk daerah Ki Gede Ing Suro, yakni sebagai berikut:
70
Mata Pencaharian Penduduk No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Daerah Ki Gede Ing Suro Mata Pencaharian Tenun Kain Pandai Besi Nelayan PNS ABRI Dagang lain-lain
Jumlah 825 700 45 30 11 50 1.742
Sumber: Data dasar profil wilayah Ki Gede Ing Suro Jika diperhatikan tabel mata pencaharian di atas maka yang tampak menonjol ada tiga butir. Pertama mata pencaharian lain-lain 1.742 orang, kedua mata pencaharian pandai besi 750 orang. Jadi secara nyata mata pencaharian utama adalah tenun kain dan pandai besi.
Sesuai dengan pengamatan lapangan, bahwa mata pencaharian penduduk Ki Gede Ing Suro yang terbesar adalah di bidang industri. Jenis industri di sini berupa industri rumah tangga seperti pandai besi dan tenun kain. Pekerjaan menempa besi biasa dilakukan oleh kaum pria dan kaum perempuan bertenun. Keterampilan bertenun di dapat masyarakat secara turun temurun atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Keadaan ini terus berlangsung hingga kini. Untuk masyarakat Ki Gede Ing Suro bertenun bukan merupakan pekerjaan yang baru karena keterampilan ini telah diwariskan oleh nenek moyang mereka sejak dahulu dan nampaknya generasi sekarang menerima warisan ini dengan baik serta menjadikannya sebagai mata pencaharian pokok dalam menopang hidup seharihari.
Sarana pendidikan yang tersedia di wilayah Ki Gede Ing Suro adalah TK sebanyak 1 unit, SD Negeri 5 unit, SMP dua unit, SMU sebanyak satu unit. Sedangkan jumlah sarana kesehatan yang di miliki masih belum memadai hanya mempunyai satu unit puskesmas pembantu. Ditinjau dari segi tenaga kesehatan
71
paramedis dua orang, bidan satu orang, bidan desa satu orang, dan dukun bayi satu orang.
Di daerah Palembang terdapat berbagai macam jenis budaya yang sangat menarik, diantanya adalah: Pertama, seni musik dalam masyarakat Sumatera Selatan terdapat sejenis perkumpulan rebana yang anggotanya kebanyakan remaja putri dengan nyayian yang dibawakan bernapaskan keagamaan (agama islam). Disamping itu mereka juga membawakan lagu padang pasir, serta lagu-lagu yang berirama Melayu.
Jenis musik lain adalah orkes yang lebih popular dengan sebutan irama dangdut, serta seni musik lainnya. Seni drama, seni drama tradisional yang menonjol dari daerah ini adalah Dul Muluk, yang seakan-akan telah mendarah daging pada masyarakat Sumatera Selatan sebagai hiburan rakyat. Seni bela diri, terutama di kalangan remaja banyak mempelajari seni bela diri yang difungsikan sebagi olahraga selain sebagai menjaga diri dari kehendak jahat orang lain. Di samping itu juga diajarkan berbagai ilmu pengetahuan tentang budi luhur yang berlandaskan agama islam. Hal tersebut dimaksudkan untuk membuat anak sehat rohani maupun jasmani yang merupakan syarat mutlak untuk menempuh hidup yang sempurna. Seni tari, dalam cabang seni yang satu ini banyak berkembang jenis tari klasik maupun maupun tari kreasi yang masih berpangkal pada tari tradisional, antara lain:
72
Gambar III.2 Tari Tanggai berasal dari daerah Palembang. (sumber: esklopedi 13,1993:225)
Tari tanggai, merupakan sebuah tarian untuk menyambut tamu yang disertai dengan upacara kebesaran. Tari puteri Bekhusek, sebauah tarian yang sangat terkenal dari kabupaten Ogan komering Ulu yang menggambarkan putri sedang bermain, melambangkan kemakmuran daerah sumtera selatan.
Gambar III.3 Tari Gending Sriwijaya berasal dari daerah Palembang (sumber: esklopedi 15, 1993)
73
Tari Gending Sriwijaya, yang merupakan tari kebesaran adat kerajaan Sriwijaya yang digelarkan untuk menyambut tamu agung. Tari selendang, tari pergaulan muda-mudi yang biasa ditampilkan pada perayaan-perayaan atau pesta adat di Sumatera Selatan.
Kedua, masyarakat Palembang dalam hal seni bangunan tradisional mengenal beberapa bentuk, baik itu yang difungsikan sebagai bangunan tempat tinggal, musyawarah, ibadah dan bangunan lainnya. Bagi mereka yang tinggal didaratan, kebanyakan membangun rumahnya di atas panggung, seperti rumah Limas dan rumah Ulu. Sedangkan mereka yang hidupnya diatas air juga mempunyai rumah tradisional yang disebut rumah Rakit. Rumah Limas adalah bangunan empat persegi panjang di atas panggung yang memiliki atap berbentuk Limas dengan lantai yang berundak. Setiap undakan atau kekijing tersebut berbentuk empat persegi panjang pula. Jumlah kekijing bekisar antara dua atau tiga bahkan ada yang sampai empat buah. Tinggi tiang rumah kira-kira 1,5-2 meter dari permukaan tanah. Bahkan bangunan yang digunakan dipilih jenis kayu yang bermutu baik, seperti kayu petanang, kayu tembesu, dan kayu merawan. Biasanya rumah ini didirikan di pinggir sungai menghadap ke barat dan merupakan rumah milik para bangsawan. Karena limas berarti lima dan emas. Ketiga, masyarakat sumatera selatan mengenal senjata tradisional yang berupa keris yang mempunyai jumlah lekukan yang ganjil, yakni 7,9 atau 13. senjata ini selain digunakan sebagai alat menjaga diri juga mempunyai peranan sosial, seperti sebagai pelengkap pakaian adat. Selain itu juga dikenal tombak, pedang, dan badik.
Keempat, kain tenun yang suku Palembang miliki nilai estetika budaya yang sangat menarik dan unik sehingga menimbulkan kesan mewah dan etnik. Keindahan kain tenun suku Palembang dapat dilihat dari berbagai macam ragam hias dan makna yang terkandung dalam sebuah simbol kain tenun. Kain tenun merupakan bagian dari pakaian adat yang terbagi atas dua macam yaitu yang dikenakan oleh kaum laki-laki dan kaum wanita. Pakaian adat kaum pria daerah
74
ini biasanya berupa mahkota, kalung bersusun dengan baju yang khas. Juga memakai celana panjang dan kain songket pada bagian tengah badan.
Sedangkan pakaian adat yang dikenakan oleh kaum wanita mirip dengan yang dikenakan kaum prianya yaitu bermahkota, kalung bersusun, pending dan gelang pada kedua belah tangan. Ia juga memakai kain songket yang melingkar pada bagian tengah badan serta berkain songket. Pakaian ini biasanya digunakan untuk upacara pernikahan. 3.3 Karakteristik Songket Palembang Songket Palembang sendiri yang membedakannya dengan songket yang dihasilkan oleh daerah lain di Sumatera Selatan. Secara umum orang mengenal songket Palembang adalah songket yang dihasilkan oleh daerah Ki Gede Ing Suro dan daerah Tangga Buntung saja. Dalam berbagai buku reverensi ditemui banyak ragam songket Palembang dengan berbagai corak ragam hiasnya yang indah. seperti songket Lepus, songket Tawur, songket Limar, dan lain-lainnya. Kalau diperhatikan masing-masing songket tersebut mempunyai karakteristik yang membedakannya diantara songket-songket lainnya ialah bentuk ragam hiasnya, warna, fungsi dan makna songket Palembang itu sendiri. Dalam karakteristik bentuk dapat menjadi salah satu ciri khas utama yang diamati secara langsung pada bentuk produk songket. Untuk lebih jelas mengenai karakteristik bentuk songket, maka dibawah ini akan diuraikan secara menyeluruh mengenai ragam hias dan lay out, fungsi dan makna serta warna songket
3.3.1 Sejarah kain songket Palembang Pada dasarnya bahan sandang yang diproses melalui pertenunan di seluruh Nusantara ini sama bernama tenun. Karena secara prinsip dasar pembuatannya hampir sama, yaitu menyusun benang kapas mendatar dan membujur dalam suatu kerapatan dan memakai corak yang bermacam-macam. Kain tenun adalah semua jenis kain yang dibuat dengan cara menganyam benang vertikal (lungsi) dengan benang horizontal atau pakan. Daerah-daerah di Indonesia yang terdiri dari
75
bermacam-macam suku masing-masing mempunyai tenun dengan nama-nama yang khas. Selain nama dan motifnya yang berbeda-beda, tenun-tenun itu juga mempunyai fungsi dan nilai simbolis yang bermacam-macam seperti songket dari Palembang, Lurik dari Jawa Tengah, Ulos dari Batak dan sebagainya.
Keterampilan menenun ini sudah ada sejak zaman Neolitikum seperti yang dikatakan Suwati Kartiwa (Kartiwa, 1980:9) dalam bukunya Songket Indonesia bahwa sejak zaman pra sejarah Indonesia telah mengenal tenunan dengan corak desain yang dibuat dengan cara ikat lungsi. Daerah penghasil tenunan ini seperti daerah kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan NTT. Menurut para ahli daerahdaerah tersebut telah memiliki corak tenun yang rumit paling awal. Mereka mempunyai kemampuan membuat alat-alat tenun menciptakan desain dengan mengikat bagian-bagian tertentu dari benang dan mereka mengenal pencelupan warna. Aspek kebudayaan tersebut oleh para ahli diperkirakan dimiliki oleh masyarakat yang hidup pada zaman perunggu dalam zaman pra sejarah sekitar abad ke-8 sampai ke-9 SM (Kartiwa, 1980:9).
Bukti lain yang menunjukkan bahwa tenun telah dikenal sejak zaman dahulu adalah adanya penggalian arkelogis, yaitu pada abad ke-8 dan ke-9 disebutkan adanya orang-orang yang memperdagangkan kisi, benang mencelup dengan warna biru dan merah, menjual kapur, yang banyak dipergunakan dalam campuran warna pembuatan kain. Informasi dari temuan tersebut merupakan bukti bahwa menenun merupakan aktivitas yang mempunyai nilai sosial ekonomis yang tinggi. Sebab selain untuk menambah penghasilan kain tenun juga dipergunakan sebagai persembahan kepada yang dihormati.
Teknologi pembuatan kain tenun tersebut bukan murni berasal dari Nusantara ini tetapi berasal dari luar, sebab pada saat itu Nusantara ini merupakan persinggahan para pedagang dari Cina, India,dan Arab. Adanya perdagangan tersebut menyebabkan terjadinya interaksi dan tukar menukar barang termasuk kebudayaannya. Di dalam catatan para Musafir Cina, pada tahun 518 SM
76
disebutkan bahwa raja dari bagian utara Sumatera sudah memakai pakaian dari sutera, meskipun kain itu menunjukkan paling tidak pada saat itu di daerah Sumatera telah dikenal adanya kain tenun. Pada zaman Sriwijaya, di Sumatera dan Jawa dikenal adanya kain Patola sutera. Bersamaan dengan itu mulai muncul pula kain tenun yang terbuat dari benang kapas di wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali karena dari ketiga tempat itulah dapat tumbuh subur tanaman kapas yang dapat menghasilkan benang tenun.
Keberadaan Sriwijaya sebagai negara maritim dan pusat perdagangan bandar lada tersebar di Sumatera sudah barang tentu banyak berhubungan dengan pedagangpedagang asing terutama India, Cina, Arab. Hasil tenun dari Sumatera sangat disukai oleh masyarakat Cina karena menggunakan benang kapas yang termasuk langka di Cina. Keadaan itu semakin membuat ramai lalu lintas perdagangan di Nusantara ini. Menurut sejarawan Robyn dan Jhon Maxwell keadaan itu berlangsung sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Saat itu pula Islam mulai masuk, sehingga mempengaruhi motif dan ragam hias tenun.
Majunya perdagangan dan tumbuh suburnya tanaman-tanaman kapas di wilayah Sumatera semakin memacu masyarakat dalam mengadopsi pengetahuan baru dibidang tenun, sehingga tenun sudah membudaya di wilayah Indonesia termasuk Sumatera. Keterampilan menenun tersebut selanjutnya diturunkan dari generasi ke generasi secara informal. Pada zaman dahulu wanita harus bisa menenun karena menenun ini mempunyai efek sosial yang sangat tinggi. Ganjil dan rendah jika seorang gadis tidak dapat bertenun, sebab seorang gadis harus menyiapkan kain hasil tenunnya pada saat pernikahan nanti sehingga seorang gadis yang mahir bertenun akan lebih mudah mendapatkan jodoh. Dalam perkembangannya kerajinan tenun tradisional ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan adat, tetapi telah dimanfaatkan secara ekonomis yaitu dengan memproduksi dan memasarkannya secara luas.
77
Kepandaian bertenun songket yang dimiliki warga Ki Gede Ing Suro ini juga di peroleh secara turun-temurun. Berdasarkan dalam buku sejarah Perjuangan Sri Sultan Mahmoed Baderedin ke II diperkirakan tenun songket masuk ke wilayah Ki Gede Ing Suro di abad ke 18 pada masa kerajaan Palembang. Pada abad ke18 telah terjadi akulturasi budaya Cina, India, dan Arab melalui lintasan perdagangan di aliran air sungai Musi yang terletak ditengah-tengah kota Palembang pada saat ini. Hal ini juga yang mempengaruhi perubahan seni ragam hias yang terdapat dalam songket Palembang, seni ukir kayu (Lak), logam, kuningan, rotan, Bambu, besi, hingga arsitektur rumah adat Limas Palembang.
3.3.2 Fungsi dan Makna Songket Palembang Kerajinan songket Palembang secara terbatas dimulai sejak masa kesultanan Kerajaan Melayu Palembang. Di masa itu songket Palembang merupakan hasil karya seni yang tidak bisa dimiliki oleh masyarakat umum, namun hanya dimiliki dan dikenakan khusus wanita golongan Priyayi berarti turunan raja-raja atau kaum ninggrat. Dengan berakhirnya masa Kesultanan Palembang, maka para masyarakat maupun pengrajin jarang memproduksi songket untuk para bangsawan kerajaan. Di saat sekarang songket hanya digunakan untuk kegiatankegiatan tertentu saja seperti upacara kelahiran, kelahiran, khitanan (cukuran), dan kematian. Serta saat sekarang kain songket dapat dikenakan oleh pria dan wanita dewasa yang telah menikah atau menjelang menikah.
78
Gambar III.4 Kain songket Palembang yang dipakai sebagai sarung dan selendang. Upacara adat pengantin pria Rejang diantara keluarga. (sumber: Indonesia Indah 2, 1995:110)
Fungsi songket secara tradisional, antara lain sebagai kain panjang, sarung dodot, selendang, ikat kepala (tanjak), dan kemben. Kain panjang ialah kain yang berbentuk empat persegi panjang yang dililitkan ke pingang. Panjangnya hingga pergelangan kaki dengan lebar beragam antara 83 cm sampai 87 cm, sedangkan panjangnya antara 170 cm sampai 218 cm. Kain ini dipakai oleh pria dan wanita, biasanya dianggap resmi daripada sarung.
Sarung adalah kain yang dijahitkan antara sisi-sisi terpendeknya, lebar hampir sama dengan kain panjang, panjangnya hanya mencapai 170 cm sampai 200 cm. sarung inilah yang merupakan khas pakaian orang Melayu Palembang. Dalam pemakaian bagi kaum laki-laki dipakai untuk pelengkap setelah menggunakan celano Blabas.
Pada umumnya kain panjang ataupun sarung berisikan tiga unsur dasar, yaitu badan, tepi sisi atas dan bawah, serta kepala. Badan merupakan bagian yang paling lebar dari kain, memiliki luas bidang tiga perempat panjang sarung.
79
Kemudian kepala yang ada pada dasarnya berupa alur bidang, menyela ragam hias utama sarung, bagian tepi atas dan bawah terdapat satu pertiga corak ragam hias dari panjang dan lebar kain panjang ataupun sarung.
Gambar III.5 Kain songket Palembang digunakan sebagai sarung sebatas lutut kaki. (Sumber: Indonesia indah 2, 1995:109)
Makin tinggi mutu sehelai kain songket Palembang, biasanya makin lebar pucuk rebung/kepala, pinggiran songket tersebut kaya akan ragam hias, dan bagian badan/kembang tengah semakin dipenuhi ragam hias, sehingga tampilan permukaan kain songket dipenuhi ragam hias emas yang beraneka ragam jenisnya. Ukuran selendang songket Palembang yaitu panjangnya antara 197 cm sampai 262 cm. lebar selendang antara 40 cm sampai 95 cm. Pemakaian selendang biasanya diletakan pada bahu sebelah kiri atau diselempangkan ke bagian kanan, hal ini disesuaikan dengan cara pemakaiannya zaman kerajaan Kesultanan Melayu Palembang.
Selain dipakai untuk kain sarung maupun selendang, songket Palembang dapat juga diterapkan tanjak atau disebut tutup kepala (kopiah) yang terbuat dari kain 80
songket yang dililitkan sedemikian rupa sehingga membentuk bulatan yang ujungnya melancip seperti bentuk segitiga. Tanjak tersebut dibuat dari selembar kain songket yang berbentuk segi empat yang keempat sisinya sama panjang (bujur sangkar). Kain tanjak biasanya berukuran panjang 91 cm dan lebar 91 cm. Ikat Kepudang atau tanjak biasanya digunakan untuk ikat kepala oleh kaum lakilaki pada waktu acara adat istiadat Palembang.
Gambar III.6 Tanjak songket atau kopiah yang digunakan oleh pria dewasa di daerah Palembang.(sumber, dok: 2007)
Kelengkapan dalam pakaian adat Palembang, seperti “Tanjak” atau “Ikat Kepudang” yaitu ikat kepala ini terbuat dari kain tenun songket dan Limar. Pada kain tanjak biasa terdapat dua macam bagian yaitu kembang tengah dan kembang pinggir. Kembang tengah disebut dengan Limar Antik yang berbentuk ragam hias sayap burung garuda dan kembang pinggir merupakan penggabungan antara beberapa jenis ragam hias,seperti bungo tawur Melati, kembang Puncak, tretes, dan hiasan pinggir. Warna merah anggur yang digunakan pada Tanjak dalam upacara adat istiadat Palembang. Baju yang digunakan dinamakan Teluk Belango yang terbuat dari kain katun ataupun satin. Pada bagian pinggang dilengkapi dengan keris dan sarung songket beserta ikat pinggang kuningan yang terbuat dari logam.
81
3.3.3 Nama Ragam Hias & Lay Out songket Palembang Ragam hias songket Palembang berbentuk stilir dari bentuk flora, fauna, dan geometrik sebagaimana ragam hias songket yang terdapat di Indonesia pada umumnya, namun dilihat dari bentuk ragam hias dan corak pewarnaannya songket Palembang memiliki perbedaan dibandingkan dengan songket daerah lain. Keunikan seni songket Palembang justru terletak pada keanekaragaman jenis bentuk ragam hias dan pewarnaan yang khas, yaitu bentuk ragam hias yang berangkai satu dengan yang lainnya. Dalam selembar kain songket Palembang memiliki bermacam-macam corak dan warna sehingga terlihat unik, indah, dan terkesan mewah. Corak ragam hias Palembang kebanyakan tumbuh-tumbuhan terutama yang berbentuk bunga-bungan. Jika dilihat secara sesakma tenunan songket Palembang memliki 35 macam corak ragam hias yaitu: a. Songket Lepus: songket yang seluruh permukaan kain dipenuhi oleh ragam hias tertentu dengan mengunakan benang emas sebagai ikat pakan tambahan. -
Lepus Kalem (songket yang hampir seluruh permukaan ditutupi benang emas dengan komposisi warna yang sejuk seperti biru, hijau, dan putih).
-
Lepus Berakam Bintang (songket yang dipenuhi ragam hias bintang yang beraneka macam jenis seperti bintang kecil, sedang, dan besar).
-
Lepus Bintang Mawar Jatuh (songket yang dipenuhi ragam hias bintang dan kelopak bunga mawar).
-
Lepus Bintang Cukitan (songket yang dipenuhi ragam hias bintang dikomposisikan ceplok (atau ragam hias bediri sendiri).
-
Lepus Bintang (songket yang dipenuhi ragam hias bintang).
-
Lepus Mawar Jepang (mawar mendapat pengaruh dari Jepang pada ragam hias tenun lepus Mawar).
-
Lepus Nago Besaung (Nago Besaung pengaruh dari Cina yang artinya ular naga yang sedang bertemu dengan ular naga yang sejenisnya).
b. Songket Bungo: diartikan sebagai songket kembang -
Bungo Cino (Kembang Cina)
-
Bungo Inten (Kembang simbol dari cahaya batu intan)
82
-
Bungo Inten Tempoleng.
-
Bungo Jatuh (kembang gugur)
-
Bungo Mawar Jepang Berkandang (kembang mawar Jepang tertutup)
-
Bungo Pacar (kembang pacar)
-
Bungo Pacik (Kembang Pacik, ragam hias ini mendapat pengaruh dari Arab)
-
Bungo Tabur (kembang yang berserakan)
-
Bungo Tanjung Rumpak (kembang tanjung yang patah)
-
Bungo Jengli
-
Bungo Kapal Sanggat (kembang kapal yang kandas/tenggalam)
-
Bungo Singep Bungo Pacar
c. Songket Motif Lain (campuran): -
Limar Tapak Kucing (Ikat pakan tambahan bewarna pelangi berbentuk ragam hias telapak kaki kucing).
-
Limar Kembang (Ikat pakan tambahan bewarna pelangi berbentuk ragam hias kembang).
-
Pulir Kembang (Ragam hias biji kembang)
-
Pulir Siku Rakam (Ragam hias biji kembang berantai)
-
Tetes Mider (Ragam hias pinggiran kain songket atau disebut ragam hias Border).
-
Rumpak (Ragam hias bersinambung)
-
Bubur Talam
-
Jando Berais (Ragam hias wanita yang ini menikah lagi)
-
Nampan Perak (Ragam hias berupa simbol dari salah satu bagian dari peralatan upacara adat pernikahan Palembang)
-
Nago Besaung (Ragam hias yang dipengaruhi oleh budaya Cina yang berasal dari kata ular naga)
-
Cek Sina (Ragam hias yang dibuat oleh wanita Palembang yang telah menikah)
-
Cantik Manis (Ragam hias dari simbol seorang gadis Palembang)
83
-
Emas Jantung (Ragam hias dari emas murni)
-
Tiga Negeri (Ragam hias yang memiliki tiga jenis corak dalam satu garis siku-siku)
-
Bintang Rante (Ragam hias bintang berantai)
Dalam songket Palembang terdapat istilah cukit satu, cukit dua, cukit tiga, cukit empat dan cukit enam. Penggunaan istilah cukit adalah untuk menyebut jumlah pakan tambahan untuk satu kali penyukitan motif. Umpamanya cukit empat, itu berarti dalam satu kali penyukitan motif dilakukan empat kali anyaman pakan tambahan baru dilanjutkan dengan cukitan untuk tahap berikutnya. Dalam selembar kain hanya terdapat satu cukit saja. Cukit satu adalah tenunan paling halus, karena corak dibentuk dengan tingkatan satu-satu benang pakan tambahan, dan cukit enam adalah paling kasar dan motifnya besar-besar. Yang disebut dengan cukit adalah teropong dalam ATBM gedokan untuk menghantarkan benang pakan emas diantara benang lungsi. Dalam masyarakat perajin tenun songket Palembang istilah cukit adalah sebagai patokan tingkat kehalusan sebuah tenunan songket, semakin kecil jumlah cukitannya semakin halus kain tersebut dan semakin rumit pengerjaannya. Dengan tingkatan jenis cukit juga terjadi tingkatan harga, semakin halus semakin mahal harganya.
Gambar III.7 Struktur motif songket Palembang dengan menggunakan cukit dua dan cukit empat. (Suwati Kartiwa, 2006)
84
Istilah cukit berkaitan dengan struktur anyaman songket Palembang. Sampai saat ini istilah ini tetap dipergunakan tanpa perubahan dan merupakan ciri khas songket Palembang. Tingkat keteraturan songket Palembang yang tinggi ditentukan oleh keteraturan penggunaan jenis cukit dalam tenunan sehingga siapapun yang membuat songket Palembang terjadi kesamaan struktur bentuk motifnya. Sehingga motif songket asal Palembang terlihat sama dengan keteraturan dan kerumitan yang cukup tinggi.
Ciri ragam hias tenun songket tradisional atau tenunan antik dari Palembang terletak pada motif yang tersusun secara teratur dan selalu dipakai pada setiap tenunan yaitu dalam motif kain panjang ataupun sarung songket, terdapat motif pinggiran yang terdiri dari beberapa susunan motif yang berlainan bentuk yaitu motif ombak-ombak, apit, rumpak, apit, pucuk rebung kecil. Motif tumpal atau kepala sarung terdapat beberapa motif yang tersusun yaitu motif kembang tengah, ombak-ombak, apit, patah beras, apit, rumpak, apit, patah beras, apit, pucuk rebung besar, tawur, pucuk rebung besar, dan seterusnya dimulai dari motif apit sampai kembali kembang tengah. Motif badan kain atau sarung disebut dengan motif kembang tengah (bungo tengah). Apabila tidak terdapat diantara bagian motif dari pinggiran kain, motif dari kepala kain, dan motif badan kain, maka tenunan tersebut bukanlah tenunan songket Palembang, mungkin tenunan daerah lainnya di Sumatera Selatan yang memproduksi songket Palembang.
Gambar III.8 Motif Ombak-ombak
85
Gambar III.9 Motif apit
Gambar III.10 Motif patah beras
Gambar III.11 Motif Umpak
Gambar III.12 Motif tawur
Gambar III.13 Motif kuku (pinggiran pucuk rebung kecil)
Gambar III.14 Motif Pucuk rebung (Tumpal)
86
Gambar III.15
Motif pinggiran, ciri tenun songket Palembang yang terletak pada tepi sisi atas dan sisi bawah kain panjang atau sarung songket Palembang.
Gambar III.16 Motif kepala kain sewet (sarung) songket Palembang yang disebut tumpal pucuk rebung.
87
Gambar III.17
Salah satu contoh dari motif badan kain sewet (sarung) Palembang yang disebut Lepus berakam.
Ciri motif dari selendang songket Palembang sebagian besar menyerupai dengan motif pada kain panjang (sewet) yang telah diuraikan pada gambar diatas. Namun perbedaan antara motif kain panjang dengan selendang songket terletak pada komposisi letak bentuk dari motif tersebut. Selendang songket memiliki beberapa bentuk motif yaitu motif pinggiran selendang, yang mana motifnya sama dengan kain panjang tetapi motif pingggiran selendang terletak pada sisi atas, dan bawah serta sisi kanan dan kiri yang berbentuk empat persegi panjang. Corak yang tersusun berdasarkan urutan jenis motifnya pada pinggiran selendang yaitu motif apit, ombak-ombak, apit, patah beras, apit, umpak, apit, patah beras, apit, dan pucuk rebung kecil. Motif tumpal pucuk rebung terletak pada kedua ujung kain bagian kanan dan kiri kain selendang. Motif tumpal pada selendang memiliki beberapa jenis motif berdasarkan susunan bentuk yang teratur yaitu motif tawur, pucuk rebung besar, apit, patah beras, apit, umpak, apit, patah beras, apit, dan ombak-ombak. Motif bungo tengah yang disebut dengan kembang tengah, letaknya berada ditengah antara kedua ujung tumpal pucuk rebung besar. Apabila dari salah satu bagian motif diatas tidak lengkap susunan motifnya, berarti selendang songket tersebut bukan ciri khas dari daerah Palembang.
88
Setelah diamati secara langsung songket Palembang mempunyai pola bentuk struktur motif yang tersusun, hal ini dapat dilihat pada lay out / bloking ornamen. Motif-motif tersebut dalam bidang tenun songket dengan tiga bidang kain yaitu kepala kain, badan kain, dan pinggir/tepi kain. Lay out atau bloking ornamen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar III.18 Bloking ornamen pada bidang kain sarung
Gambar III.19 Bloking ornamen pada bidang selendang Keterangan gambar: Ombak-ombak Patah Beras Umpak
Kepala kain / Tumpal Corak pinggir / tepi kain / Tretes Badan kain / Kembang tengah
Tumpal Bungo tengah Tawur
89
Bagian kepala kain merupakan bagian utama pada kain sarung, selendang, ataupun selempang. Besarnya bagian kepala kain pada tenunan songket lebih kurang seperampat bagian dari panjang kain. Pada bagian kepala kain motifnya dibuat lebih besar supaya menonjol dari motif lainnya.
Bagian badan kain adalah tiga per empat diluar kepala kain, kecuali pinggir kain yang dibedakan oleh susunan motifnya. Motif pada badan kain merupakan motif pengulangan dari beberapa jenis motif yang disusun sedemikian rupa. Sedangkan yang dimaksud dengan tepi / pinggir kain adalah bagian tepi sepanjang badan kain yang motifnya segaja dibedakan dengan motif badan kain. Sedangkan motif badan kain diatur dengan variasi.
Letak kepala kain pada tenunan dibedakan oleh fungsinya. Songket kain sarung kepala kain terletak pada bagian dua per empat dari bentangan kain. Tujuannya supaya sambungan kain ketika dipakai dapat disembunyikan dibelakang kepala kain. Pada songket kain sarung, motif pinggir terletak pada bagian tepi atas, bawah, kanan, dan tepi kiri sarung saja. Sedangkan selendang kepala kain terletak pada kedua ujung selendang.
3.3.4 Warna Songket Palembang Abad 18 songket Palembang lebih dominan bewarna merah anggur yang mencerminkan dari simbol wanita yang anggun nan cantik, sebab pada masa Kesultanan Palembang wanita golongan bangsawaan (priyayi) selalu mengenakan kain songket berwarna merah dan berwarna keemasan. Songket hanya dapat kenakan oleh wanita yang telah menikah namun pada masa itu pria tidak boleh mengenakan kain songket sebagai pakaian kesultanan ataupun sebagai pelengkap pakaian adat Palembang. Kain yang digunakan oleh pria dinamakan kain Gebeng yang bewarna coklat atau kehitam-hitaman. Warna kain tradisional Palembang saat itu sangat terbatas karena pewarnaan kain songket dibuat dengan proses alamiah dan sederhana yang selalu bergantung pada jenis tumbuh-tumbuhan yang hidup di lingkungan geografis daerah Palembang.
90
Menurut masyarakat Palembang kain tenun songket yang asli dihiasi dengan benang emas murni 14 karat. Jadi jika dasar kain sutera telah lapuk maka benang emas tersebut bisa ditarik dan dilepaskan kemudian dipindahkan pada dasar kain dari benang sutera yang baru. Songket yang menggunakan benang emas asli tersebut disebut songket Emas jantung atau Cinde dengan dasar kain bewarna merah dihiasi benang emas, benang sutera, dan benang kapas dengan tumpal pucuk rebung.
Kain songket ini juga dibedakan antara songket dengan desain benang emas yang penuh disebut dengan songket Lepus dan desain benang emas tersebar disebut songket Tawur yang berarti bertabur atau berserak. Perbedaan tersebut penting karena motif songket yang dipakai seseorang melambangkan kebesaran dan keagungan.
Berdasarkan warna dan motif kain songket bisa dibedakan status sosial pemakainya. Seperti songket dengan warna hijau, merah, dan kuning, biasanya dipakai oleh seorang janda. Kalau mereka menggunakan warna cerah melambangkan bahwa mereka ingin kawin lagi. Pada songket Jando Berais atau songket Janda Pengantin, kedua ujung kain diberi desain bunga tabur, sedangkan di bidang tengah warna hijau polos.
Hijau
merah anggur
kuning
Gambar III.20 Skema warna klasik songket Palembang
91
orange
biru muda
pink
biru dongker
Unggu
hitam
Gambar III.21 Skema warna-warna cerah kreasi songket Palembang
Gambar III.22 Salah satu contoh songket Jando Berais atau Janda Pengantin
Sejalan dengan kemajuan zaman dan teknologi mulai berkembang maka warna kain songket semakin beranekaragam jenis serta ornamen songket ikut juga berkembang namun tidak sampai mehilangkan ciri khas daerah Palembang, bisa dikatakan bahwa kain tenun songket sudah dapat mengikuti selerah konsumen yang bervariatif. Perkembangan yang terjadi dalam kain tradisional tidak terlepas akibat dampak akulturasi budaya sehingga selalu terjadi perubahan dan pergeseran secara bertahap-tahap sehingga munculnya kreasi baru. Hal ini selalu 92
berangkat dari sejarah tradisional masa lampau yang tidak pernah putus karena kemajuan zaman.
Pada perkembangannya pemilihan motif songket tidak lagi tergantung pada kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan telah disesuaikan dengan fungsinya. Jadi setiap orang boleh memakai motif songket apapun menurut seleranya masing-masing. Kain songket ini juga tidak hanya monopoli kaum wanita saja tetapi pada perkembangannya kemudian kaum laki-laki juga menggunakan bahan dari songket seperti tanjak (ikat kepala), kopiah, dan sarung.
93