Masyarakat Jawa Tondano Abad XX (Sejarah Sosial Budaya Kecamatan Tibawa) Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo 2014 ABSTRAK Yuniarti Sugio Rahayu. Nim : 231409064 “ Masyarakat Jawa Tondano Abad XX (Sejarah Sosial Budaya Kecamatan Tibawa)” . Pembimbing I Drs. Joni Apriyanto, M.Hum, Pembimbing II Lukman D. Katili S.Ag, M.Th.I1. Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. Penelitian ini bertujuan untuk dapat mengetahui Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Jawa Tondano di Kecamatan Tibawa, dan mengetahui peran masyarakat Jawa Tondano di Kecamatan Tibawa serta interaksi masyarakat Jawa Tondano dengan Masyarakat pribumi yang ada di Kecamatan Tibawa. Penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian sejarah Sosial pada masyarakat Jawa Tondano di Kecamatan Tibawa. Guna mendapatkan data mengenai masalah diatas , maka di lakukan pengumpulan data sumber (Heuristik) melalui wawancara dengan tokoh masyarakat Jawa Tondano yang ada di kecamatan Tibawa, Tokoh agama dan Tokoh adat Jawa Tondano yang ada di Kecamatan Tibawa. Data yang berhasil di Kumpulkan kemudian di periksa melalui kritik sumber baik eksternal maupun internal agar data yang dikumpulkan dapat di pertanggungjawabkan. Selanjutnya penelitian melakukan interpertasi guna memperkaya analisis dan membuat kesimpulan sehingga data yang telah ada dapat ditulis menjadi karya sejarah (Historiografi). Setelah melalui tahapan tersebut di temukan Masyarakat jawa Tondano yang masuk ke Gorontalo adalah keturunan Kyai Modjo dan pengikutnya yang diasingkan oleh Belanda ke Tondano, Minahasa Sulawesi Utara. Setelah proses kawin mawin dengan penduduk sekitar komunitas Jawa Tondano di Gorontalo telah menyebar ke wilayah lain seperti daerah Molombulahe (Boalemo), Bandungrejo (Paguyaman), salilama (Pohuwato). Berdasarkan hasil penelitian ini, maka di harapkan generasi muda sebagai penerus dan kebanggan bangsa sudah semestinya mengembangkan dan menjaga budaya yang ada di Negara Indonesia. Karena dengan keharmonisan yang telah di bangun di Kecamatan Tibawa melalui proses akultrasi Budaya Jawa Tondano dan budaya Lokal (Gorontalo) agar senantiasa melestarikan nilai luhur bangsa dan budaya agar bisa menjadi sejarah yang penting bagi anak cucu kita nanti. Kata Kunci: Budaya, Agama dan Masyarakat.
1
Yuniarti Sugio Rahayu. Nim : 231409064, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Joni Apriyanto, Lukman D. Katili
Di era reformasi dewasa ini pembicaraan mengenai budaya sebagai wahana pembentukan karakter anak bangsa semakin banyak di angkat dalam berbagai even, seperti seminar, penelitian dan pergelaran seni dan budaya, baik di kalangan akademis, pemerintah maupun organisasi social lainnya. Hal ini sangat beralasan budaya termasuk yang hidup dan berkembang di berbagai polosok tak terkecuali di daerah Gorontalo. Salah satu kolektif masyarakat yang memiliki ciri khas tersendiri dalam mengaktualisasikan budaya yakni masyarakat Jaton yang dewasa ini tersebar di berbagai daerah, seperti Minahasa, Gorontalo dan Ambon. Yang awalnya bermukim di desa Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Jaton merupakan masyarakat Multietnik dan multikultur akibat suatu peristiwa sejarah, yakni perang Diponegoro 18251830 yang berdampak pada pengasingan kolnial Belanda terhadap para pejuang asal Jawa, Aceh, Palembang, Padang melalui Semarang, Batavia-Jakarta sampai di Minahasa.2 Batas-batas kelompok suku bangsa dapat meluas atau menyempit, dengan kata lain bisa menjadi lebih atau kurang eksklusif. Demikian halnya dengan identitas keyakinan agama. Batas-batas sosial (batas sukubangsa dan keyakinan agama) ini bisa meluas atau menyempit merupakan salah satu strategi adaptasi dari sebuah kelompok sukubangsa dalam rangka menjaga dan memelihara eksistensinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. Begitu juga yang terjadi dengan masyarakat Jawa Tondano. Seiring dengan kemajuan yang telah dicapai dalam berbagai bidang, muncul pula kesadaran tentang batas-batas budaya (cultural boundaries). Penulisan latar belakang sejarah perjuangan rakyat di daerah Gorontalo merupakan awal munculnya kesadaran tentang batas-batas budaya masyarakat tersebut dalam era Orde Baru. Identitas sukubangsa mempunyai potensi lebih besar dibanding identitas umur dan jenis kelamin untuk menjadi wadah bagi kekuatan Sejarah karena di dalam proses penggolongannya (menggunakan kebudayaan sebagai atribut) melibatkan emosi dan perasaan yang berakar dalam kehidupan manusia. Begitu juga dengan agama karena agama sebagai sistem keyakinan bagi para penganutnya adalah suatu kebenaran yang mutlak. Identitas sukubangsa ini akan muncul bila berinteraksi dengan orang non-Jaton. Jadi, tidak setiap saat identitas sukubangsa dan keyakinan agama tersebut muncul dalam interaksi sosial, sifatnya situasional. Orang Jaton merupakan minoritas yang unik di Indonesia. Sebagai orang Jawa dan “Islam”, mereka minoritas di daerah itu, tetapi secara nasional mereka adalah mayoritas. Orang Jaton tinggal di sebuah kampung kecil di daerah Gorontalo di Kecamatan tibawa, yang didominasi orang Gorontalo Asli yang Budayanya Berbeda. Warga Kampung Jawa Tondano menjalankan syariat Islam dan tak melepaskan adat Jawa yang mereka peroleh dari nenek moyangnya (Kyai Modjo dan 63 pengikutnya). Orang Jaton mempertahankan kesantriannya, mereka tetap tidak memilih menjadi Islam Reformist (puritan/keras) – yang secara logika mungkin lebih menguntungkan – yang belakangan ini marak di Indonesia. Mereka tetap memilih sebagai santri yang Jawa (tradisional – yang mengedepankan adat Jawanya). Hal inilah yang justru membuat kehadiran atau keberadaan mereka di Kecamatan tibawa tidak dianggap
mengganggu atau mengancam eksistensi mayoritas Gorontalo meskipun berbeda sukubangsa dan Budayanya bahkan perbedaan agamanya dengan mayoritas. Masyarakat jawa tondano sndiri merupakan keturunan Kyai Mojo dan pengikut pangeran Diponegoro yang dibuang pemrintah Belanda di Minahasa tepatnya di Tondano karena di tuduh sebagai pangkal pemberontakan di Jawa Tengah. Mereka di buang di tondano di maksudkan untuk memperbaiki sektor pertanian di daerah Minahasa karena Belanda menyadari bahwa masyaraakat Jawa pada saat itu terampil dalam bidang pertanian. Kedatangan masayarakat Jawa Tondano memberikan warna tersendiri bagi masyarakat Gorontalo khususnya kecamatan Tibawa, tradisi dan budaya yang sebelumnya tidak pernah di lakukan oleh masyarakat Gorontalo dan skarang sudah mulai berkembang dan menjadi daya tarik tersendirin bagi masyarakat Non Jaton untuk ikut meramiakan tradisi tersebut. Padahal dilihat lebih dalam hakekatnya tradisi ini bukan merupakan budaya atau tradisi asli masyarakat Gorontalo tetapi tradisi di bawa oleh masyarakat Jawa Tondano ke Gorontalo. Tradisi yang telah mempersatukan dan mengikat persaudaraan sesama masyarakat Gorontalo secara turun temurun dari dulu sampai sekarang, walaupun berbeda suku dan latar belakang budaya.
METODE PENELITIAN Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci, cara ilmiah berarti kegiatan penelitin itu didasarkan pada cirri-ciri keilmua, Rasional berarti kegiatan penelitian dilakukan dengan masuk akal, Empiris berarti cara yang dilakukan dapat dia amati oleh indra, dan sistematis artinya proses yang di gunakan dalam penelitian ini mengguanakan langkah yang logis.3 Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah. Yaitu menggambarkan peristiwa masa lampau secara sistematis, factual dan akurat berdasarkan data sejarah. Metode itu sendiri berarti suatu cara prosedur atau teknik untuk mencapai suatu tujuan secara efektif dan efisien.4 Sebagaimana halnya prosedur dalam penulisan sejarah pada umumnya, maka penelitian ini menggunakanm metode penelitian sejarah dengan langkah-langkah sebagai berikut: Tahap Heuristik Seubungan dengan jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah maka penulis mencari sumber-sumber yang relevan dengan penelitian ini. Dengan metode sejarah itulah akan di kaji keaslian sumber data sejarah, kebenaran informasi sejarah. Data yang di kumpulkan dalam mendukung hasil penulisan ini adalah data yang benar-benar dipercaya keabsahannya dan bersumber dari berbagai literature ilmiah seperti buku, artikel baik yang berasal dari media cetak maupun internet. Selain sumber diatas maka penulis juga melakukan wawancara dengan pihak 3 4
Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. A. Daliman, 2012. Metode Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Ombak.
BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) wilayah Kerja Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Yang kantornya berpusat di Daerah Gorontalo Jl. Jerk Kelurahan Libuo Kecamatan Dungingi Dengan memakai tahap pengumpulan sumber (heuristic) seorang peneliti sejarah memasuki lapangan (medan) penelitian. Heuristik ialah kegiatan menghimpun sumber-sumber sejarah.5 b. Tahap Kritik Setelah data atau sumber sudah di kumpulkan maka langkah selanjutnya adalah menelaah dan mengkritik sumber-sumber yang ada.Dalam mengkritik ini dipakai dua aspek yaitu aspek eksternal dan internal, aspek internal adalah yang mempersoalkan apakah sumber itu memberikan informasi yang kita perlukan.Sedangkan eksternal dimulai setelah kritik internal memastikan sumber itu atau dokumen yang kita pakai adalah sumber yang benar. Sumber yang dikritik dalam penulisan ini mencakup dua aspek yaitu sumber primer dan sekunder, kemudian untuk menguji keabsahannya dilakukan dua kritik sumber yaitu secara eksternal dan internal Eksternal : yaitu melihat keaslian dari document yang penulis ambil baik dari segi pengarang, sampul buku, tulisan dan gaya bahasanya. Internal yaitu dari mana sumber itu penulis dapatkan ; perpustakaan, arsip daerah maupun Nasional. c. Tahap Interpretasi setelah melaului tahap kritik sumber, kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran fakta sejarah yang di peroleh dalam bentuk penjelasan terhadap fakta tersebut sesubjektif mungkin. Fakta-fakta itu merupakan lambing atau wakil dari pada sesuatu yang pernah ada.Tetapi fakta itu tidak memiliki kenyataan objektif sendiri. Dengan kata lain fakta itu hanya terdapat pada pikiran pengamatan sejarawan. Pemikiran yang subjektif yakni tidak memihak sumber, bebas dari seseorang, sesuatu pertama kali harus menjadi objek Ia harus mempunyai eksistensi yang merdeka.6 Fakta dimaksud adalah fakta yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Fakta itu bisa dijadikan sumber sejrah yang perlu dikaji secara ilmiah menurut metode ilmu sejarah.
d. Tahap Historiografi Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahap akhir dari seuruh rangkaian dari metode penulisan sejarah.Tahap heuristic, kritik sumber, serta interpretasi kemudian di elaborasi sehingga menghasilkan Historiografi. Dimana seorang peneliti mulai menulis sejarah dari datadata yang ada dan telah melalui tahapan sebelumnya. Dalam penulisan sejarah umumnya sangat memperhatikan aspek kronologis afar hasilnya dapat menarik dan sistematik. Penulisan sejarah digunakan secara bersamaan tiga bentuk dasr teknik tulis menulis yaitu deskripsi, narasi dan analisis.7 Penulis sejarah (Historiografi) menjadi sarana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, di uji (Verifikasi) dan interpretasi. Kalau penelitian sejarah bertugas merekonstruksi sejarah masa lampau, maka rekonstruksi itu hanya akan menjadi eksis apabila hasil-hasil pendirian tersebut di tulis. Dengan penjelasan ini dipahami bahwa sesungguhnya dalam menulis sejarah merupakan gabungan dari berbagai teknik penulisan sehingga menghasilkan karya yang menarik sekaligus ilmiah. HASIL PEMBAHASAN Banyak yang tidak mengetahui, di ujung utara pulau sulawesi dimana mayoritas penduduknya beragama non-muslim terdapat Oase terakhir para pejuang-pejuang islam yang diasingkan oleh penjajah karena perjuangan mereka pada Abab ke-18 dalam menegakkan syariat islam dan melawan penindasan oleh penjajah pada masa itu. Mereka berasal dari daerah yang sekarang ini disebut Jawa Tengah,
Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumtera Utara (Aceh). Meskipun total jumlah mereka tidak sebanyak kelompok Kyai Modjo yang telah diasingkan sebelumnya, namun keberadaan mereka di Oase terakhir yang sekarang disebut Kampung Jawa Tondano yang terletak di tengah kota Tandano, kab.Minahasa, Sulawesi Utara telah turut mempengaruhi budaya masyarakat kampung Jawa Tondano dikemudian hari. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat perjuangan para pendahulunya dan tidak ada salahnya para pejuang-pejuang terasing yang mungkin kurang dikenal ini kita kenang sebagai penghormatan terhadap perjuangan mereka dan semoga menjadi suri teladan buat anak cucu kita nantinya agar perjuangan tidak berhenti untuk menegakkan syariat islam dan membangun bangsa ini. Masyarakat adalah sekumpulan manusia, yang dalam kehidupannya melakukan kerjasama secara kolektif, karena saling ketergantungan sosial di antara mereka. Dalam kenyataan di dunia ini, kehidupan kolektif tidak hanya terjadi dalam kelompok manusia saja, tetapi juga banyak jenis makhluk lain bersama individu-individu sejenisnya hidup dalam bentuk gabungan. Melalui ilmu mikrobiologi para ilmuwan dapat mengetahui bahwa protozoa hidup bersama makhluk sel sejenis dalam suatu kolektif dengan ribuan sel. Masing-masing merupakan individu yang berdiri sendiri. Dalam kolektif-kolektif protozoa seperti
jenis Hydractinia, terjadi pembagian kerja antara subkolektifnya. Ada subkolektif yang terdiri dari ratusan sel yang fungsinya mencari makan bagi seluruh kolektif lain. Subkolektif lain yang fungsinya mereproduksi jenis dengan cara membelah diri. Kemudian subkolektif lain memiliki fungsi meneliti keadaan lingkungan melalui kemampuannya membedakan suhu yang terlalu tinggi atau rendah, untuk mendeteksi adanya bahan yang dapat dimakan. Selain itu memindai lingkungan yang cocok untuk reproduksi dan lain-lain. Seperti tersebut di atas, istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmlah maupun dalam bahasa sehari-hari adalah masyarakat. Padanannya dalam bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius, yang berarti "kawan.” Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti "ikut serta, berpartisipasi.” Masyarakat adalah memang sekumpulan manusia yang saling "bergaul,” atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi.” Satu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-warganya dapat saling berinteraksi. Suatu negara modem misalnya, merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi secara intensif. lkatan apa yang membuat suatu kesatuan manusia itu menjadi suatu masyarakat? Yaitu pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan. Pola itu harus bersifat mantap dan kontinu-harus sudah menjadi adat-istiadat yang khas. Dengan demikian suatu asrama pelajar, suatu akademi kedinasan, atau suatu sekolah, tidak dapat kita sebut masyarakat, karena meskipun kesatuan manusia yang terdiri dari murid, guru, pegawai administrasi, serta para karyawan lain itu terikat dan diatur tingkahlakunya oleh berbagai norma dan aturan sekolah dan lain-lain. Namin sistem normanya hanya meliputi beberapa sektor kehidupan yang terbatas saja. Sedangkan sebagai kesatuan manusia, satu asrama, atau sekolah itu hanya bersifat sementara, artinya tidak kontinu. Selain ikatan adat-istiadat khas yang meliputi sektor kehidupan serta suatu kontinuitas dalam waktu, suatu masyarakat manusia harus juga mempunyai ciri lain, yaitu suatu rasa identitas di antara para warga atau anggotanya. Mereka memang merupakan suatu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya. Ciri-ciri memang dimiliki oleh penghuni suatu asrama atau anggota suatu sekolah, tetapi tidak adanya sistem norma yang menyeluruh serta tidak adanya kontinuitas, menyebabkan penghuni suatu asrama atau murid suatu sekolah biasanya tidak disebut masyarakat. Sebaliknya suatu negara, atau suatu kota, maupun desa, misalnya merupakan kesatuan manusia yang memiliki ciri-ciri: (a) interaksi antara warga-warganya, (b) adat-istiadat, (c) norma-norma, (d) hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku warga negara kota atau desa; (e) kontinuitas dalam waktu; dan (f) memiliki rasa identitas kuat yang mengikat semua warga. Itulah sebabnya suatu negara atau desa dapat kita sebut masyarakat dan kita memang sering berbicara tentang masyarakat Indonesia, masyarakat Filipina, masyarakat Belanda, masyarakat Amerika, masyarakat Jakarta, masyarakat Medan, masyarakat Solo masyarakat Balige, masyarakat Desa Ciamis, tau masyarakat desa Trunyan. Dari uraian di atas dapat didefinisikan istilah masyarakat dalam konteks antropologi: masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifiat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa 8 identitas bersama Struktur Masyarakat Jaton dan Kehidupannya
Kehidupan bangsa Belanda sebagai penguasa di pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan, yaitu barat dan timur, kbeudayaan Barat (Belanda) dan kebudayaan timur (Jawa), yang masing-masing di dukung oleh etnis berbeda dan mempunyai struktur social yang berbeda pula, semakin bercampur. Akibat percampuran kebudayaan tersebut makin besar dan mempengaruhi berbagai bidang dan unsure kebudayaan. Karena demikian besarnya pengaruh kebudayaan Eropa tersebut makin besar dan 9 mempengaruhi berbagai bidang dan unsure kebudayaan. Stratifikasi social masyarakat Jawa secara deskriptif sudah banyak di ulas oleh para sarjana, Sartono Kartodirjo lebih menekankan pada analisis tentang struktur status pada masyarakat Jawa selama zaman colonial, yang tentang struktur status pada masyarakat Jawa selama zaman colonial. Sejak abad ke-18 sampai awal abad ke-20 muncul golongan social baru berbagai pendukung kuat 10 kebudayaan campuran (Belanda-Jawa) didaerah jajahan Hindia Belanda. Hal ini disebabkan oleh besarnya pengaruh kebudayaan Belanda Pulau Jawa. Bahasa Sejak akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20, bahasa melayu pasar melayu mulai berbaur dengan bahasa Belanda. Pembauran ini berawal dari bahasa komunikasi yang digunakan oleh keluarga dalam lingkungan “indische landshuizen”, yang selanjutnya di gunakan oleh golongan Indo- Belanda. 11 Bahasa ini kemudian berkembang di Batavia. Bangsa Eropa misalnya, menyederhanakan tata bahasa dan kosakata mereka dengan harapan dapat berkomunikasi dengan penduduk asli. Sebaliknya, penduduk asli juga berusaha untuk mempermudah system bahasanya agar bangsa Eropa (Pendatang) dapat memeahami mereka. Hal ini mengakibatkan kedua belah pihak dapat berkomunikasi, namun secara terpatah-patah. Kehadiran bangsa belanda di Indonesia khususnya di kawasan Jawa TOndano yang dilanjutkan dengan percampuran darah dan budaya, memunculkan sekelompok masyarakat yang berdarah campuran. Mereka juga menggunakan bahasa campuran, yaitu bahasa yang digunakan oleh golongan oleh orangorang Jawa. Anak-anak yang beribu Jawa dan berayah Belanda, biasanya lebih banyak menerima pengaruh budaya dari pihak ibu, hal itu disebabkan karena mereka besar dalam lingkungan orang Jawa, dan sehari-hari mereka mendengar bahasa ibu, yang merupakan bahasa Jawa, serta menyaksikan tingkah laku orang Jawa. Disamping itu, anak-anak tersebut setiap hari juga mendegar bahasa Belanda dari ayahnya, teteapi mereka mngucapkan dengan lafal dan logat Jawa. Sementara itu, sebahagian anak-anak yang ibunya berkebangsaan Eropa atau Indo, merekapun sehari-hari juga mendengar percakapan bahasa Jawa (misalnya dari para pembantu dan masyarakat sekelilingnya), yang kemudian dicampur dengan bahasa Belanda berlafal Jawa. Mata Pencaharian Hidup
Abad ke-18 dan ke-19 merupakan zaman keemasan penjajahan duni (Imperealiseme dan Kolonialisme), demikin pula dengan VOC. VOC mencapai puncak kejayaannya setelah pemerintah Belanda memperkokoh kekuasaannya di Nusantara. Sebelum abad pertengahan abad ke-19, politik Kolonial Belanda berebeda dengan abad-abadsebelumnya yang lebih mengutamakan penaklukan wilayah dari tangan bangsa Pribumi serta merbut perdagangan rempah-rempah dari saingannya, Portugis dan 12 Inggris. Kesenian Dibidang Seni rupa ada tanda-tanda munculnya pemikiran baru.
13
Konflik Kampung Jawa Tondano 3.2.1 Sekilas Penyebab Perang Jawa (1825 - 1830) Pada tahun 1830 dimulailah penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa. 14 untuk yang pertama kalinya pihak Belanda mampu mengeksploitasi dan meguasai seluruh pulau ini,dan tidak ada satupun tantangan yang serius terhadap kekuasaan mereka sampai abad XX. Perang Diponegoro, yang disebut Belanda sebagai perang Jawa ( 1825 - 1830 ) telah menelan korban tewas di pihak tentara Hindia Belanda sebanyak 15000 orang (8000 orang tentara Eropa dan 7000 orang pribumi), sedangkan di pihak pengikut Diponegoro sedikitnya 200.000 orang tewas. Perang ini tidak hanya perang melawan Belanda namun juga perang (sesama) saudara antara orang kraton yang berpihak ke Diponegoro dan yang anti Diponegoro (antek Belanda). Kekuasaan terselubung penjajah di kesultan Jogyakarta. Campur tangan penjajah (Belanda dan Inggris) dalam pemerintahan Kesultanan Jogyakarta tersirat dalam kebijakan dan peraturan Kesultanan yang menguntungkan penjajah. Bahkan sah tidaknya kedudukan seorang sultan harus mendapat persetujuan dari penjajah, dan orang-orang yang tidak mau bekerjasama dengan penjajah disingkirkan. Akibatnya beberapa pangeran yang dipecundangi penjajah merasa sakit hati (salah satunya Pangeran Diponegoro) Intrik dalam suksesi kerajaan. Ketika HB III mangkat pada tahun 1814 putra mahkotanya (Pangeran Jarot – HB.IV) masih berusia 10 tahun, dan untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh wali kesultanan yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi (adik kandung HB III) dan Pangeran Diponegoro. (putra tertua HB III dari selir). Konon Diponegoro pernah ditawari oleh ayahnya (HB III) untuk menggantikannya bila ia mangkat, namun ditolak oleh Diponegoro. Penolakan ini kemungkinan disebabkan Diponegoro menyadari bahwa dirinya sebagai anak dari selir raja tentu nantinya akan menghadapi penolakan dan perlawanan hebat dari permaisuri raja dan putra mahkotanya, sementara pihak Belanda pasti tidak akan mengakuinya karena Diponegoro menolak bekerjasama dengan mereka. Meskipun demikian Ratu Ageng sebagai permaisuri dari mendiang HB III merasa khawatir kalau-kalau
14
Ibid., 182
para wali sultan merebut kursi sultan dari putranya yang masih kecil itu (maklum perebutan kekuasaan sudah sering terjadi dalam kraton). Ratu Ageng melakukan persekongkolan dengan Belanda. Persekongkolan ini membuahkan hasil Belanda mengangkat dan mengakui Pangeran Jarot sebagai Sultan HB IV, dan mengabaikan fungsi wali sultan yang ada. Peristiwa ini menambah kebencian Pangeran Diponegoro Cs kepada Belanda. Kedua faktor tersebut di atas inilah yang melatar belakangi Pangeran Diponegoro memberontak kepada Belanda. Meskipun demikian Diponegoro belum secara terbuka menyatakan perlawanannya kepada Belanda, karena disamping jumlah pangeran-pangeran yang berpihak kepadanya tidak banyak juga ada saling curiga diantara mereka disebabkan terjadi krisis kepemimpinan, dan keadaan ini dapat digunakan oleh Belanda mengadu domba dan memukul perlawanan tersebut. Menyadari hal ini Diponegoro harus membuat suatu perlawanan yang bentuknya bukan perlawanan para pangeran saja tetapi adalah perlawanan rakyat. Bentuk perlawanan ini disadari oleh Diponegoro untuk menghindari tuduhan Belanda bahwa perlawanan ini semata karena keinginan Diponegoro untuk merebut kekuasaan (kelak Belanda tetap saja menuduh demikian). Untuk itu Diponegoro harus menemukan dan berkoalisi dngan suatu kekuatan yang dapat menggerakkan akar rumput (grassroot) agar perjuangannya bersifat meluas dan lama. Eksploitasi sumber daya alam dan manusia. Kolusi pejabat istana dengan penjajah telah melahirkan produk-produk hukum yang sangat merugikan kehidupan masyarakat jawa. Kutipan segala macam pajak dan kewajiban menjual hasil bumi kepada penjajah dengan harga murah telah menyebabkan masyrakat menjadi makin miskin dan melarat. Sebaliknya penjajah menjual mimpi rakyat dalam bentuk perjudian, minuman keras, sabung ayam, pelacuran, serta racun demoralisasi lainnya. Penghancuran karakter (character Assasination) masyarakat Jawa yang umumnya beragama Islam oleh penjajah ini telah menggugah Kiay Modjo dan seluruh keluaganya berjihat melawan penjajah. Berawal dari kekalutan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda atas perlawanan sengit yang dilakukan Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa pada tahun 1825-1830. Namun dengan siasat licik, mereka berhasil menangkap Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya. Mereka pun dibuang ke daerah pengasingan. Salah satu ulama dan pendukung setia Diponegoro adalah Kiai Mualim Muhammad Khalifah atau lebih dikenal dengan nama Kiai Maja. Pada akhir tahun 1829, Kiai Maja beserta 63 pengikutnya tiba di Pelabuhan Bitung, Minahasa, Sulawesi Utara. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kemudian menempatkan mereka di kawasan Ton Sialama Ton Tondano. Dengan peralatan seadanya, Kiai Maja dan pengikutnya membangun kawasan ini menjadi kampung Jawa pertama di Minahasa. Agar bisa bertahan hidup, Kiai Maja memindahkan lokasi permukiman ke kawasan kaki bukit yang dekat dengan sumber mata air. Perhitungan geografis itu dilakukan sebagai cara untuk mendapatkan lokasi permukiman yang lebih layak. Akhirnya kawasan ini menjadi lokasi tempat tinggal terakhir bagi Kiai Maja dan 63 orang pengikutnya. Dan hingga sekarang keturunan para pejuang itu bermukim di kawasan yang disebut Kampung Jawa Tondano (Kampung Jaton). Salah satu keturunannya adalah Achmad Nurhamidin. Ia adalah generasi keempat pengikut Kiai Maja. Adapun nama belakangnya--Nurhamidin--menunjukkan identitas bahwa dirinya keturunan Mbah Nurhamidin. Di Kampung Jaton, setiap warga diikuti nama kakek buyutnya. Sudah hampir 25 tahun Ahmad Nurhamidin menjaga dan merawat kompleks pemakaman Kiai Maja dan para pengikutnya. Karena itu ia tidak hanya hafal nama dan letak makam mereka. Namun Nurhamidin juga masih
mengingat sejarah dan perkembangan Kampung Jaton dari masa ke masa. "Mereka yang datang ke sini pria semua. Setelah di sini mereka sempat menikah dan oleh-olehnya adalah Kampung Jawa Tondano," tutur dia. Pernikahan antara para pengikut Kiai Maja dengan warga setempat membuat komunitas Jaton terus berkembang. Pada tahun-tahun berikutnya, perkampungan ini tidak hanya dihuni para pengikut Kiai Maja dan keluarganya. Akan tetapi juga para pejuang dari daerah lain seperti dari Palembang atau Padang. Kondisi ini menyebabkan proses pernikahan antar keturunan para pejuang dari berbagai daerah pun terjadi. Walau demikian, cerminan budaya yang dominan di perkampungan ini adalah budaya yang dikembangkan oleh para pengikut Kiai Maja. Salawat Hadrah, misalnya. Instrumen musik serta senandungnya merupakan bentuk pengabdian kesenian kepada sang kiai. Namun tarian yang disisipkan di tengah-tengahnya adalah kesenian yang dibawa para leluhur dari daerah lain. Di Kampung Jaton dengan mudah kita mendapati warga yang menggunakan sapi untuk aktivitas sehari-hari. Selain sebagai teman berladang, hewan ini juga jadikan sebagai alat transportasi untuk ke ladang serta membajak sawah. Warga setempat meyakini cara ini adalah berladang khas Jawa, buah warisan dari para leluhur mereka. Kehidupan yang ngejawani dan bersandar syariat Islam membuat warga kampung ini berbeda dengan komunitas masyarakat di sekitarnya. Dulu, warga sekitar menganut paham aliran kepercayaan. Namun lambat laun mereka bisa menerima dan membaur dengan para pengikut Kiai Maja. "Kebudayaankebudayaan yang ada di Jawa seperti ziarah kubur menjelang puasa, peringatan tujuh bulanan, ini tetap kita pertahankan terus di sini," ungkap salah seorang sesepuh Kampung Jaton, Husein Assegaf. Saat ini masyarakat di kawasan itu umumnya juga menganut agama di luar Islam. Meski demikian warga Kampung Jaton tetap mendapatkan tempat dan bebas menjalankan aktivitas keislaman mereka. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan itu terjadi. Pertama, adanya komunikasi perkawinan. Yang kedua, selalu hidup berbaur mulai dari pertanian serta sosial. Dan yang terakhir, daerah Minahasa memiliki badan kerja sama antara umat beragama. Uniknya, perbedaan pendapat di kalangan sesepuh Kampung ini kerap terjadi. Kesenian Salawatan Jawa adalah salah satunya. Kesenian yang menggunakan bahasa Arabini di-lafaz-kan dalam lafaz Jawa. Meski demikian perbedaan prinsip-prinsip itu melahirkan kampung-kampung Jawa Baro. Setidaknya di Gorontalo sudah ada empat kampung jawa. Sehingga dengan sendirinya keturunan pengikut Kiai Maja semakin tersebar ke berbagai tempat dan membangun perkampungan baru. Hingga saat ini warga Kampung Jaton pun tak mempedulikan apakah mereka dianggap sebagai warga pendatang, kelas dua, atau pinggiran. Karena saat ini mereka sudah benar-benar merasa menjadi orang Minahasa. "Dalam keseharian, justru yang menentukan status warga itu adalah prestasi orang Jaton itu sendiri. Dia berhasil di bidangnya," ucap salah satu warga Kampung Jaton, Abdul Karim. Yang pasti, mereka kini hidup dengan damai dengan masyarakat di sekitarnya. Dan perbedaan itu telah menghasilkan kesenian-kesenian baru hasil perpaduan budaya Jawa dan daerah lainnya. Tentu saja, mereka pun tidak akan pernah lupa atas jasa yang telah diberikan oleh leluhurnya.(BOG/Syaiful Halim dan Budi Sukmadianto) Momentum Pemicu Pecah Perang.
Moment yang tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah memerintahkan pejabatpejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuatjalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemilik-nya. Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja. Dalam konteks politik, (seharusnya) kemerdekaan yang dimaksud bukanlah dalam konteks free (kebebasan). Tetapi kemerdekaan yang dimaksud adalah adanya dominasi tertentu hingga mengakibatkan eksploitasi atas diri yang mengakibatkan pada kerusakan pada diri tersebut. Jika penjajahan adalah lawan dari kemerdekaan, maka penjajahan adalah bentuk dominasi satu pihak kepada pihak lain yang hingga terjadinya eksploitasi atas pihak yang didominasi. Artinya, penjajahan itu bukan soal dominasi. Tetapi soal “dominasi yang mengakibatkan eksploitasi”. Inilah definisi penjajahan (isti’mar) yang sahih dan realistis sebagaimana yang dijelaskan oleh Taqiyuddin An-Nabhani. Oleh karena itu dominasi militer, politik, ekonomi, dan budaya terhadap pihak yang dijajah untuk dieksploitasi adalah bentuk penjajahan. Tetapi dominasi atas pihak lain (dalam segala bidang), bukan untuk dieksploitasi tetapi untuk diangkat derajatnya ke arah yang lebih bermartabat dan mulia, tidak bisa disebut dengan penjajahan. Dominasi Portugis terhadap Maluku pada tahun 1511-1526 (selama 15 tahun), disebut dengan penjajahan. Sebab, dalam kurun waktu itu warga kepulauan Nusantara dieksploitasi sumber daya alamnya, dirampas untuk kemudian dijadikan barang dagangan orang-orang Eropa. Sebab, sumber daya alam yang melimpah waktu itu (khususnya rempah-rempah) begitu laris di Eropa. Adanya eksploitasi terhadap warga Nusantara waktu itu ditunjukkan dengan adanya penolakan yang berujung pada perlawanan rakyat terhadap Portugis, seperti yang dilakukan rakyat Minahasa, rakyat Malaka, rakyat Aceh, dan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Khairun dan putranya Sultan Baabullah. Bahkan, Adipati Unus (Sultan Demak) pun turut mengirimkan ekspedisi jihad ke Malaka untuk membantu Malaka melepaskan diri dari penjajahan Portugis. Begitu pula dengan dominasi Spanyol atas Indonesia, juga bisa dikatakan sebagai penjajahan. Sebab, yang terjadi adalah eksploitasi atas sumber daya rakyat di kepulauan Nusantara. Keberadaan mereka pun mendapat perlawanan sengit dari rakyat Minahasa dan Maluku. Sekali lagi, alasannya adalah soal eksploitasi. Lebih buruk lagi, kedua penjajah ini (Portugis dan Spanyol) justru menjadikan Maluku sebagai ajang perebutan daerah koloni (jajahan). Yang paling parah, tentu dominasi Belanda dan jepang atas Indonesia. Kedua bangsa ini tidak dipungkiri telah mendominasi dan mengeksploitasi Indonesia sampai pada taraf yang sangat keji. Bukan hanya sumber daya alam yang dieksploitasi, tetapi juga sumber daya manusianya. Siapa yang bisa mengingkari kenyataan ini? Bahkan dunia pun mengakuinya. Namun, berbeda dengan dominasi kaum muslim Arab atas tanah Syam sesaat setelah wafatnya Rasulullah saw. Dominasi kaum muslim atas wilayah Syam justru adalah dominasi untuk mengangkat derajat mereka (orang-orang Syam) ke arah yang lebih tinggi, mulia, dan terhormat. Sebab, yang dilakukan kaum muslim adalah futuhat (pembebasan), bukan isti’mar (penjajahan). Apa perbedaan antara
futuhat dan isti’mar? Perbedaannya adalah: jika futuhat itu tujuannya adalah ajakan untuk memeluk Islam dan menjadi bagian dari perlindungan Islam, maka isti’mar (penjajahan) tujuannya hanya satu, yaitu eksploitasi atas pihak yang dijajah. Jadi, motif dan tujuannya memang jelas berbeda. Motif dan tujuan yang berbeda tentu saja melahirkan cara yang berbeda pula. Motif dan tujuan yang didasarkan pada keserakahan hawa nafsu manusia seperti dalam ideologi Kapitalisme telah membuat ideologi ini menganut prinsip menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Bagi negara penganut ideologi Kapitalisme, penipuan, kebohongan, sampai pembantaian umat manusia adalah sah-sah saja dalam rangka mencapai tujuannya. Tidaklah mengherankan kalau sejarah Kapitalisme dunia diisi dengan dengan darah dan air mata dari negara yang dijajah. Tidak heran pula, jika isti’mar selalu membuahkan perlawanan rakyat. Hal ini sangat berbeda dengan Islam yang menjalankan perangnya atas dasar petunjuk Allah swt. Ada aktivitas yang harus dilakukan sebelum perang, yakni mengajak mereka terlebih dulu memeluk Islam. Kalau tidak mau, mereka ditawari masuk dalam kekuasaan khilafah (pemerintahan Islam) seraya membayar jizyah, meski pun mereka tetap pada agama mereka. Jadi, dalam Islam, perang merupakan pilihan terakhir. Lagipula perang dalam rangka futuhat bukanlah untuk memerangi rakyat setempat, tetapi adalah untuk menghilangkan penghalang-penghalang fisik, misalnya penguasa zalim mereka yang menghalangi diterimanya Islam oleh rakyat. Sekali lagi, penjajahan bukanlah soal dominasi. Tetapi penjajahan adalah soal eksploitasi. Ini tidak terjadi pada masa dominasi Islam atas negara-negara di dunia. Pada umumnya, rakyat yang negerinya ditaklukkan oleh Islam pun tidak menganggap Islam sebagai penjajah. Sebaliknya, yang terjadi, mereka menyatu dengan pemeluk Islam lainnya dan bahkan menjadi pembela Islam. Tidak pernah didengar rakyat Mesir, Suriah, Libya, atau Bosnia menganggap Islam sebagai penjajah. Bahkan negerinegeri itu dipenuhi dengan pejuang-pejuang Islam yang membela agamanya. Kalau Islam dianggap penjajah, bagaimana mungkin mereka membela dan memperjuangkannya? Berbeda halnya dengan penjajahan negara-negara penjajah imperialis. Hampir sebagian besar rakyatnya menganggap mereka adalah penjajah. Indonesia, sampai kapanpun, akan menganggap Belanda dan Jepang sebagai penjajah. Rakyat Mesir akan tetap menganggap Inggris sebagai penjajah. Italia pun sampai sekarang tetap dianggap penjajah oleh rakyat Libya. Apa yang terjadi di Irak dan Afganistan sekarang adalah bukti yang nyata. Rakyat Irak, meskipun mereka tidak setuju terhadap rezim sebelumnya yang lalim seperti Saddam Husain, bukan berarti mereka menerima Amerika Serikat. Negara super power ini tetap saja dianggap sebagai penjajah. Anggapan ini bukan tanpa alasan, tetapi memang didukung oleh fakta-fakta kekejaman negara itu. Kalaupun ada yang gembira dengan kedatangan penjajah tersebut, jumlah mereka sangat sedikit. Mereka pada umumnya adalah pengkhianat yang hanya menginginkan kesenangan harta dan kekuasaan. Budaya masyarakat kecamatan tibawa Gorontalo pada awalnya Kebudayaan atau adat istiadat,agama,pakaian,dan norma – norma di gorontalo .. tentang agama,masyarakat Gorontalo hampir dapat dikatakan semuanya beragama Islam (99 %). Islam masuk ke daerah gorontalo sekitar abad ke-16. Ada kemungkinan Islam masuk ke Gorontalo sekitar tahun 1400
Masehi (abad XV), jauh sebelum wali songo di Pulau Jawa, yaitu ditandai dengan adanya makam seorang wali yang bernama ‘Ju Panggola’ di Kelurahan Dembe I, Kota Barat, tepatnya di wilayah perbatasan Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo. Pada waktu dulu di wilayah Gorontalo terdapat pemerintahan kerajaan yang bernapaskan Islam. Raja Kerajaan Gorontalo yang memeluk agama Islam adalah Sultan Amai (1550—1585), yang kemudiannya namanya diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama Islam di Provinsi Gorontalo, STAIN Sultan Amai Gorontalo, yang kelak diharapkan menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) di Gorontalo. Tentang seni dan budaya, Gorontalo sebagai salah satu suku yang ada di Pulau Sulawesi memiliki aneka ragam kesenian daerah, baik tari, lagu, alat musik tradisional, adat-istiadat, upacara keagamaan, rumah adat, dan pakaian adat.. Tarian yang cukup terkenal di daerah ini antara lain, Tari Bunga, Tari Polopalo, Tari Danadana, Zamrah, dan Tari Langga. Sedangkan lagu-lagu daerah Gorontalo yang cukup dikenal oleh masyarakat Gorontalo adalah Hulandalo Lipuu (Gorontalo Tempat Kelahiranku), Ambikoko, Mayiledungga (Telah Tiba), Mokarawo (Membuat Kerawang), Tobulalo Lo Limuto (Di Danau Limboto), dan Binde Biluhuta (Sup Jagung). Dan Alat musik tradisional yang dikenal di daerah Gorontalo adalah Polopalo, Bambu, dan Gambus (berasal dari Arab).. Dalam adat-istiadat Gorontalo, setiap warna memiliki makna atau lambang tertentu. Karena itu, dalam upacara pernikahan masyarakat Gorontalo hanya menggunakan empat warna utama, yaitu merah, hijau, kuning emas, dan ungu. Warna merah dalam masyarakat adat Gorontalo bermakna ‘ keberanian dan tanggung jawab; hijau bermakna ‘kesuburan, kesejahteraan, kedamaian, dan kerukunan’; kuning emas bermakna ‘kemuliaan, kesetian, kebesaran, dan kejujuran’; sedangkan warna ungu bermakna ‘keanggunanan dan kewibawaan’. Di seantero dunia terdapat bermacam-macam kepercayaan, mitos, dan legenda, yang tidak terhitung banyaknya. Bagi kaum rasionalis, kepercayaan-kepercayaan orang-orang tua ini seharusnya ikut mati sejalan dengan modernisasi yang merambah seluruh sisi kehidupan manusia. Namun demikiankah yang terjadi? Ternyata tidak. Di dalam tatanan masyarakat gorontalo, kepercayaan-kepercayaan tahayul ini ternyata tetap eksis dan bahkan berkembang dan merasuk ke dalam banyak segi kehidupan masyarakatnya. Kepercayaankepercayaan ini bahkan ikut mewarnai arsitektural kota dan juga gedung-gedung pencakar langit. Sebagai contoh kecil, di berbagai gedung tinggi di China, tidak ada yang namanya lantai 13 dan 14. Menurut kepercayaan mereka, kedua angka tersebut tidak membawa hoki. Di Barat, angka 13 juga dianggap angka sial. Demikian pula di berbagai belahan dunia lainnya. Kalau kita perhatikan nomornomor di dalam lift gedung-gedung tinggi dunia, Anda tidak akan jumpai lantai 13. Biasanya, setelah angka 12 maka langsung ‘loncat’ ke angka 14. Atau dari angka 12 maka 12a dulu baru 14. Fenomena ini terdapat di banyak negara dunia, termasuk Indonesia. Mengapa angka 13 dianggap angka yang membawa kekurang-beruntungan? Sebenarnya, kepecayaan tahayul dan aneka mitos yang ada berasal dari pengetahuan kuno bernama Kabbalah. Kabalah merupakan sebuah ajaran mistis kuno, yang telah dirapalkan oleh Dewan Penyihir tertinggi rezim Fir’aun
yang kemudian diteruskan oleh para penyihir, pesulap, peramal, paranormal, dan sebagainya—terlebih oleh kaum Zionis-Yahudi yang kemudian mengangkatnya menjadi satu gerakan politis—dan sekarang ini, ajaran Kabbalah telah menjadi tren baru di kalangan selebritis dunia. Bangsa Yahudi sejak dahulu merupakan kaum yang secara ketat memelihara Kabbalah. Di Marseilles, Perancis Selatan, bangsa Yahudi ini membukukan ajaran Kabbalah yang sebelumnya hanya diturunkan lewat lisan dan secara sembunyi-sembunyi. Mereka juga dikenal sebagai kaum yang gemar mengutak-atik angka-angka (numerologi), sehingga mereka dikenal pula sebagai sebagai kaum Geometrian. Budaya Jawa Tondano di Minahasa samapai di Gorontalo Di sebelah utara Danau Tondano, atau kurang lebih 35 KM dari Kota Menado, Sulawesi Utara, ada kampung yang sangat erat memiliki keterkaitan dengan masyarakat Jawa, baik secara historis maupun geneologis. Nama administratifnya adalah Desa Kampung Jawa Kecamatan Tondano Utara Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Di desa yang berpenduduk kurang lebih 2215 jiwa itu, hidup masyarakat keturunan Jawa yang bangga mengaku sebagai orang Minahasa. Kampung ini bukan merupakan wilayah transmigrasi seperti yang kita kenal pada saat pemerintah orde baru menggalakkan program itu. Kampung Jaton (singkatan dari Jawa Tondano) itu adalah saksi perjuangan masyarakat Jawa melawan kolonialisme. Lebih tepatnya, Jaton terbentuk dengan latar Perang Jawa 1825-1830 yang dikobarkan salah satunya oleh Pangeran Diponegoro. Seperti yang kita baca dalam sejarah, Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Minahasa. Selain Diponegoro ada juga Kyai Muslim Muhammad Halifah atau Kyai Mojo yang adalah panglima perang pasukan Diponegoro. Selain Kyai Mojo pimpinan pasukan Diponegoro yang juga dibuang ke Sulawesi Utara, antara lain, Sataruno, Joyosuroto, Banteng, Kertosono dan lain-lainnya. Gelombang awal masyarakat Jawa di Jaton tercatat dimulai sekitar tahun 1829, persis ketika Perang Jawa memulai babak akhir. Kampung Jaton itu sendiri berdiri kurang lebih dua tahun setelah kedatangan Kyai Mojo, yaitu tahun 1831. Bersama Kyai Mojo datanglah 63 orang pasukan perang Jawa yang juga dibuang Belanda. Mereka semuanya adalah laki-laki dan menikah dengan wanita asli Minahasa sehingga perpaduan dua etnis inilah yang kemudian menghasilkan keturunan yang memiliki dua darah sekaligus, Jawa dan Minahasa. Di Kampung Jawa Tondano ini terdapat masjid tua (didirikan pada 1854) yang menjadi simbol kekhasan kampung tersebut. Masjid itu sempat beberapa kali direnovasi, yaitu pada tahun 1974, 1981, dan terakhir pada 1994. Masjid itu diberi nama Masjid Al-Falah Kiai Mojo (Pinontoan, 2010). Konon, saat membangun mesjid itu, masyarakat sekitar Jaton seperti Tonsea yang mayoritas beragama Kristen juga turut serta membantu masyarakat Jaton. Saat datang di Minahasa, Kiai Mojo dan balatentaranya juga ikut memperkenalkan pertanian dan bercocok tanam kepada masyarakat Minahasa. Pasca kehadiran Kiai Mojo dan 63 pasukannya, Kampung Jaton menjadi wilayah “buangan” para “pemberontak” dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Aceh pada periode 1845–1900. Selain Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo dari Jawa Tengah ada pahlawan yang juga dibuang ke Jaton, antara lain Pangeran Ronggo Danupoyo (Surakarta, dibuang tahun 1848) dan K.H. Ahmad Rifa’i (Kendal, 1861). Sementara KH. Hasan Maolani dari Lengkong Kuningan Jawa Barat dibuang tanggal 6 Juni 1842 dan meninggal pada tanggal 29 April 1874 di Jaton. Pahlawan dari Banten yang dibuang ke Jaton diantaranya adalah Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid. Mereka semuanya adalah pemimpin
“Geger Cilegon” yang meletus pada 9 Juli 1888 di Cilegon, Banten melawan pemerintah kolonial. Dari luar Jawa, tercatatlah nama Sayid Abdullah Assagaf ulama asal Palembang yang diasingkan tahun 1880. Kemudian pada tahun 1884, Jaton kedatangan Gusti (Pangeran) Perbatasari dari Banjarmasin, Kalimantan serta Tengku Muhammad/Umar dari Aceh pada Tahun 1895. Demikianlah, Jaton kemudian menjelma menjadi sebuah kampung yang unik dengan identitasnya yang hibrid. Budaya masyarakat Jawa seperti lebaran ketupat, masih bisa kita temui di kampung ini. Seni terbangan dengan langgam Jawa, juga masih ada. Meski darah Jawa mengalir, mereka dengan tanpa ragu mengaku sebagai orang Minahasa tulen. Saat ini, masyarakat Jaton tidak hanya berdomisili di Kampung Jaton dan Tondano, tetapi sudah menyebar hingga Bolaang-Mongondow, Gorontalo, Menado dan kota lain di Sulawesi Utara. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi setiap harinya pun adalah bahasa Minahasa. Beberapa orang masyarakat Jaton yang sempat saya temui pada tahun 2008, mengaku sudah merasa menjadi Tou Minahasa dan tidak berniat tinggal di Jawa meski ada kerabatnya di sana. Tipe masyarakat Jaton mengingatkan saya akan ungkapan Claude Levi Strauss dalam Race Et Historie. Strauss mengatakan bahwa tidak akan bermanfaat seseorang yang terus menerus memperdebatkan perbedaan (ras) sementara ia tidak memahami bahwa perbedaan (ras) itu justru menghadirkan satu hal yang positif. Sebagai identitas hibrid, masyarakat Jaton tidak kemudian mengakar pada satu etnis, tetapi juga tidak meleburkan keduanya hingga membentuk identitas baru. Tipe melting pot atau peleburan identitas sepertinya bukan pilihan yang baik bagi mereka. Bahkan, identitas hibrid itu semakin menunjukkan kekayaannya karena Sayid Abdullah Assagaf, yang keturunan Arab itu juga “menyumbangkan” kulturnya dalam masyarakat Jaton. Walhasil, Jaton semakin kaya budaya, yang semakin menunjukkan keunikannya. Di atas semua itu, masyarakat Jaton pun tetap berkomitmen untuk menjaga jati diri Tou Minahasa yang bercirikan baku-baku tolong, baku-baku sayang dan baku-baku bae. Tak hanya itu perwujudan hidup bermasyarakat mereka pegang dengan berpegang pada prinsip yang pernah diperkenalkan Sam Ratulangi, Si Tou Timou Tumou Tou atau manusia hidup untuk menghidupi (sesama) manusia. Unsur Perpaduan Budaya Sebagai Kesimpulan Konteks Nama Masyarakat Jawa-Tondano Unsur elemen Jawa pada rumah tinggal Jaton berada pada unsure proporsional bangunan pada site dimana arah konsentris ruang terbuka berlaku pada rumah tinggal Jaton dikarenakan pada konsep rumah Jawa pada bagian depan selalu terbuka dan bersahabat sehingga kesan terbuka, megah dan berwibawa. Ini berlaku pada rumah Jaton yaitu adanya ruang besar pada bagian depan yang difungsikan sebagai tempat perpaduan Budaya. Eksistensi Kampung Jawa Tondano tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka mengusir penjajah Belanda. Perlawanan yang dikobarkan seluruh rakyat indonesia waktu itu telah menciptakan jiwa patriotisme yang tinggi dalam setiap sanubari orang Indonesia. Perjuangan Pangeran Diponegoro (1825 -1830) di sekitar daerah Ngayogyakarta Hadiningrat dan karesidenan magelang di jawa tengah seketika langsung menarik rasa kebangsaan untuk bersama-sama melawan penjajah. Setiap kampung berlomba mengirimkan pemuda-pemuda terbaik mereka untuk
bergabung dengan pasukan pangeran diponegoro. Selain prajurit, turut bergabung juga para alim ulama beserta para santri mereka termasuk didalamnya Kyai Muslim Muhammad Khalifah yang dikemudian hari menjadi salah satu penasehat pangeran diponegoro. Perlawanan Kyai Muslim Muhammad Khalifah atau yang lebih dikenal dengan Kyai Modjo telah menimbulkan kekhawatiran Belanda. Maka dengan segenap tipu muslihatnya belanda kemudian berhasil menangkap kyai modjo untuk kemudian diasingkan ditempat yang diharapkan bisa mematikan perlawanannya. Untuk itu, dipilihlah tanah Minahasa yang ketika itu masih kental dengan nuansa animismenya. Rombongan para pahlawan itu menginjakkan kaki untuk pertama kali di pulau Sulawesi sekitar tahun 1829. Pantai Kema adalah tempat mereka mendarat jauh dari kampung halamannya ditanah jawa. Mereka ternyata tidak ditempatkan didekat pantai, tetapi lebih jauh masuk ke daratan. Pada akhirnya dipilihlah rawa-rawa serta hutan belantara disekitar danau tondano sebagai tempat pembuangan. Selanjutnya, para pejuang dari seluruh indonesia yang mengobarkan perang terhadap belanda dan berhasil ditangkap diasingkan ke pelosok-pelosok negeri ini termasuk di daerah pembuangan Kyai Modjo dan pengikutnya. Maka berdatanganlah para pahlawan dari tempat-tempat lain selain pulau jawa seperti sumatra dan kalimantan. Kedatangan para pejuang di tanah yang baru ini tidak hanya membawa semangat perjuangan. Tetapi mereka juga membawa nilai-nilai peradaban dan kebudayaan bersamanya. Ditempat yang baru, bukan berarti semuanya menjadi baru. Nilai-nilai budaya dari tanah jawa, sumatra dan kalimantan turut hidup seiring perkembangan kehidupan masyarakat di tanah pembuangan ini. Ketika indonesia merdeka, para pejuang dan anak cucunya ini tidak kembali ke tanah asalnya, tetapi kemudian lebih memilih untuk tinggal ditempat yang sekarang lebih di kenal dengan KAMPUNG JAWA TONDANO (JATON). Perkembangan pariwisata di Indonesia saat ini sangat pesat. Pertumbuhan industri pariwisata semakin mendapatkan dukungan dengan peningkatann sarana transportasi dan akomodasi. Tempat-tempat eksotis meskipun berada jauh dari keramaian saat ini kini semakin mudah dijangkau. Disatu sisi, kini muncul jenis-jenis wisata baru seperti wisata sejarah, wisata budaya, wisata kuliner dan yang semakin berkembang saat ini: desa wisata. Berdasarkan rumusan dari wikipedia, desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Berdasarkan rumusan di atas, maka ada dua komponen penting dari desa wisata yaitu atraksi dan akomodasi. Edward inskeep menyatakan bahwa wisata pedesaan dimana sekelompok wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat. Para wisatawan juga bisa menyaksikan berbagai macam atraksi budaya dari masyarakat di desa tersebut.
Berikut ini, adalah konsep desa wisata sebagaimana digambarkan dalam wikipedia. potensi wisata di kelurahan Kampung jawa tondano bisa dikategorikan menjadi dua yaitu wisata peninggalan sejarah dan wisata budaya. Sampai saat ini, masih ada beberapa peninggalan sejarah yang bisa memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat kampung jawa tondano khususnya dan masyarakat di kota tondano pada umumnya. Tempat-tempat tersebut adalah: Selain wisata sejarah, kampung jaton juga adalah daerah dengan kebudayaan unik di minahasa. Perpaduan kebudayaan jawa dan sumatra bisa ditemui di jaton. Beberapa moment yang berpotensi untuk menjadi event pariwisata adalah: Punggoan. Ditanah jawa, pungguan biasa dikenal dengan istilah nyadran. Yaitu mengunjungi makam para leluhur sebelum pelaksanaan puasa ramadhan. Akan tetapi, penggoan yang dilaksanakan dikampung jawa memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan nyadran di tanah jawa. Yaitu pelaksanaan dzikir gholibah di kompleks makam kyai modjo pada saat menjelang sholat zuhur. Daya tarik punggoan yang sebenarnya adalah pertemuan para anak cucu kyai modjo dan pengikutnya yang datang dari berbagai wilayah di sulawesi utara bahkan dari propinsi yang lain. Ba’do katupat. Pelaksanaan ba’do katupat adalah satu minggu setelah idul fitri. Pada awalnya, pelaksanaan ba’do katupat ini dilaksanakan setelah puasa 7 hari di bulan syawal. Ba’do katupat diawali dengan pertemuan para tokoh masyarakat Kampung jawa pada pagi hari di masjid. Pertemuan itu biasanya membahas tentang kondisi kampung jawa tondano. Setelah itu suasana kemudian menjadi pesta rakyat. Setiap rumah membukakan pintu bagi setiap orang yang datang. Hidangan beraneka rupa disajikann untuk menyambut para tamu. Di masjid, biasanya para pemuda menggelar berbagai pertunjukan budaya seperti pencak silat, hadrah maupun kesenian-kesenian modern yang lain. Meludan (Mauludan). Bulan rabiul awal adalah bulan khusus bagi semua orang muslim sebab dibulan inilah Nabi Muhammad diyakini lahir dan meninggal tepatnya tanggal 12 rabiul awal. Untuk mengenang momen ini, masyarakat kampung jawa biasanya menggelar selawatan sejak memasuki malam tanggal 1 rabiul awal, selawatan digelar semalaman suntuk di masjid sampai mencapai puncaknya pada malam tanggal 12 rabiul awal. Dimalam puncak, selawatan digelar dengan menyajikan berbagai macam hidangan. Para ibu-ibu membawakan ko’wedang (makanan ringan dan minuman) menjelang tengah malam. Adapun orang-orang mampu menyediakan ambeng untuk dibagikan bagi mereka yang masih ada di masjid ketika selatan berakhir. Ambeng merupakan kumpulan dari nasi, serundeng, sayur dan lauk berupa ayam atau engkong (ayam utuh) serta lauk yang lain seperti telur dan ikan asin yang disusun dalam suatu wadah segi empat. Disiang hari perayaan maulud, masyarakat kampung jawa mendendangkan puji-pujian dari kitab berjanji dengan diiringi hadrah di masjid. Mulai anak-anak sampai orang tua berkumpul di masjid sejak pagi hari sampai siang hari. Menjelang siang, puji-pujian diakhiri dengan menyanyikan pujian khusus kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk syair asrokal dan ditutup dengan doa. Setelah pelaksanaan sholat zuhur, acara dilanjutkan dengan menyantap makanan yang telah disediakan keluarga besar Assegaf. Acara mauludan pun berakhir dengan ceramah maulid setelah itu.
Meludan mburi (Dari bahasa jawa yang berarti meludan belakang). Masih dalam rangkaian peringatan maulid, inti meludan mburi adalah melantunkan salawat dalam bentuk syair bahasa Arab namun dalam langgam jawa sehingga lebih dikenal dengan selawat jowo. Sebagaimana malam mauludan tanggal 12 rabiul awal, prosesi meludan mburi juga sama namun yang membedakannya dengan perayaan meludan adalah adanya buket. Buket berupa gunungan aneka macam buah yang disusun dengan sangat rapi sehingga kelihatan nilai seninya. Gunungan ini dibuat oleh kelompok-kelompok masyarakat jaton (biasanya per lingkungan) atau kelompok yang lain. Buket kemudian di arak bersama-sama ke masjid. Setelah waktu tertentu, buket kemudian diperebutkan oleh anak-anak dan orang tua. Prosesi ini hampir mirip dengan adat grebekan di tanah jawa. Melihat potensi wisata yang sangat besar pada masyarakat di kampung jawa tondano, maka sudah selayaknya hal itu dimanfaatkan bagi kemakmuran masyarakat kampung jawa pada khususnya dan masyarakat tondano pada umumnya. Potensi itu tidak akan pernah memiliki arti apa-apa tanpa diolah dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat kampung jawa. Beberapa hal yang menurut penulis harus dilakukan untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi wisata budaya dan sejarah di kampung jawa tondano adalah sebagai berikut: Mempersiapkan segala sarana dan prasarana yang dibutuhkan dengan pengelolaan yang lebih baik. Selama ini, lokasi-lokasi wisata sejarah yang ada belum dikelola secara profesional. Misalnya masjid agung al falah serta kompleks pemakaman kyai modjo. profesionalisasi pengelola mutlak diperlukan seperti aspek manajerial serta pengetahuan tentang nilai-nilai sejarah yang terkandung dalam setiap sisi lokasi wisata. Satu hal yang bisa menjadi obsesi kita semua adalah adanya museum sejarah kampung jawa tondano. Semua hal yang berkaitan dengan nilai-nilai sejarah kampung jawa dapat disimpan dan dikelola dengan lebih baik. Selama ini, benda-benda peninggalan sejarah masih berserakan di masyarakat. Alangkah baiknya jika benda-benda tersebut termasuk foto-foto zaman dulu disimpan secara bersamasama sehingga bisa menjadi bahan koleksi serta bisa dinikmati masyarakat luas. Hal ini tentu saja harus didukung oleh kebesaran hati para pemilik benda tersebut untuk menyerahkan pengelolaan serta perawatannya kepada pihak-pihak yang ditunjuk untuk menjadi pengelola museum. Momen-momen wisata budaya yang ada seperti punggoan, ba’do katupat serta meludan perlu di selenggarakan dengan mempertimbangkan aspek-aspek wisata tanpa meninggalkan nilai-nilai yang telah tertanam sebelumnya. Momen-momen wisata tersebut selalu terjadi setiap tahun. Dengan pengelolaan yang lebih baik, maka secara tidak langsung akan memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat kampung jawa khususnya. Misalnya moment meludan mburi. Jika saja momen tersebut dapat menjadi event wisata, maka otomatis akan mendatangkan lebih banyak orang ke kampung jawa. Adanya kunjungan dari masyarakat luar, dapat dimanfaatkan dengan memperkenalkan budaya dan kuliner ataupun kerajinan dari masyarakat jaton. Hal ini tentu akan memberikan nilai ekonomi tersendiri bagi masyarakat.
Ba’do katupat juga bisa disebut dengan pesta rakyat JATON. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan melalui ba’do katupat ini. Seperti festival seni budaya, festifal kuliner jaton, pagelaran seni tradisional dan lain sebagainya. Mempersiapkan sebuah tempat khusus untuk pertunjukan berbagai macam seni dan budaya kampung jawa seperti hadrah, selawat jowo, dana-dana dan lain sebagainya. Tempat khusus ini terinspirasi dari jawa barat. Dimana disana ada sebuah lokasi dimana selalu dipamerkan serta adanya pertunjukan angklung. Di lokasi tersebut, wisatawan selain dapat menyaksikan pertunjukan angklung juga bisa memainkan musik tersebut. Dengan konsep itu, tentu saja bisa ditiru untuk dibangun di kampung jawa tondano. Di lokasi pertunjukan budaya tersebut, Selain memamerkan budaya khusus masyarakat jaton, juga bisa ditambah dengan musik khas tanah minahasa seperti kolintang ataupun musik bambu. Promosi event wisaya. Semenarik apapun sebuah lokasi wisata, tanpa didukung promosi yang baik tetap saja akan menjadi tempat yang tidak terkenal yang akan bermuara pada kurangnya orang yang akan berkunjung ke tempat tersebut. Selama hampir dua abad, sejak masa pembuangan Kyai Modjo pada 1829 sampai 2011, orang jaton bergaul baik dengan para tetangga dan melakukan asimilasi. Bentuk rumah bergaya Minahasa. Bahkan mereka kawin campur dengan orang Minahasa di Tondano. Hal ini adalah hal yang wajar karena para pengikut Kyai Modjo semuanya pria (63 orang). Seiiring berjalannya waktu, generasi berikutnya kawin campur dengan berbagai sukubangsa lainnya (selain dengan Minahasa) seperti Gorontalo, Minang, Bugis, Arab, Palembang dan berbagai sukubangsa lain yang ada di Indonesia. Keturunan dari kawincampur ini pada perkembangannya juga kawin mengawin dengan suku-sukubangsa lain sehingga generasi saat ini (generasi ke-7) merupakan hasil dari percampuran berbagai sukubangsa. Namun, ada satu hal yang tak berubah, yakni “kejawaan” dan “kesantrian”nya. Dalam lingkungan orang Kristen Minahasa dan lingkungan Indonesia yang mayoritas Jawa dan Islam, mereka tetap mempertahankan santritradisionalnya (Islam yang “kejawaan”/Islam khas jawa). Orang Jaton merupakan minoritas yang unik di Indonesia. Sebagai orang Jawa dan “Islam”, mereka minoritas di daerah itu, tetapi secara nasional mereka adalah mayoritas. Orang Jaton tinggal di sebuah kampung kecil dekat Kota Tondano, Sulawesi Utara, yang didominasi orang Minahasa yang beragama Kristen. Warga Kampung Jawa Tondano menjalankan syariat Islam dan tak melepaskan adat Jawa yang mereka peroleh dari nenek moyangnya (Kyai Modjo dan 63 pengikutnya). Orang Jaton mempertahankan kesantriannya, mereka tetap tidak memilih menjadi Islam Reformist (puritan/keras) – yang secara logika mungkin lebih menguntungkan – yang belakangan ini marak di Indonesia. Mereka tetap memilih sebagai santri yang Jawa (tradisional – yang mengedepankan adat Jawanya). Hal inilah yang justru membuat kehadiran atau keberadaan mereka di Tondano atau Minahasa tidak dianggap mengganggu atau mengancam eksistensi mayoritas Minahasa yang Kristen meskipun berbeda sukubangsa dan keyakinanan agamanya dengan mayoritas. Pada awalnya Belanda mengasingkan Kyai Modjo dan pengikutnya di Tondano (Tonsea lama) adalah dengan tujuan untuk mencegah agar mereka tidak melarikan diri karena kampong Jaton dahulunya adalah daerah rawa-rawa yang dikelilingi oleh hutan belukar dan dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang masih punya kebiasaan memotong kepala sehingga diharapkan mereka (Kyai Modjo dan para pengikutnya) akan punah dengan sendirinya. Selama menunggu “kepunahan” Kyai Modjo dkk, mereka
dimanfaatkan oleh Belanda untuk kepentingan memperkenalkan cara bertani yang lebih baik seperti mengolah sawah atau berladang kepada penduduk setempat. Oleh karena Kyai Modjo dan para pengikutnya berhasil survive sehingga “kelebihan” (pengetahuan bertani dan berladang tsb) justru merupakan nilai tambah mereka atas penduduk setempat yang bisa digunakan sebagai “posisi tawar” dalam berinteraksi dan berhubungan dengan penduduk setempat. Sebelum kedatangan Kyai Modjo beserta pengikutnya dan Diponegoro, penduduk asli di Tondano – Tonsea dalam mengelola tanah masih menggunakan alat-alat yang relatif lebih sederhana dibandingkan dengan peralatan yang dipergunakan orang-orang di pulau Jawa. Setelah kedatangan Kyai Modjo dan Diponegoro berserta para pengikutnya barulah penduduk setempat mengenal alat-alat seperti cangkul (pacol), luku, garu dll serta kerbau dan sapi sebagai penarik alat-alat persawahan tersebut yang sampai sekarang dikenal hampir seluruh pelosok Minahasa, bahkan hingga Gorontalo. Orang Jaton, tidak hanya memperkenalkan peralatan untuk mengelola tanah, tetapi juga memperkenalkan sistem pertanian dan berladang di pulau Jawa. Selain itu, juga memperkenal jenis-jenis tanaman seperti kacang tanah, kedelai, kacang merah dll. Begitu juga dengan jenis-jenis pengolahan makanan seperti kacang goreng, kacang goyang, serabi, nasi jahe, serundeng dll. Dari segi keahlian, orang Jaton selain memperkenalkan juga sebagai profesi seperti pandai besi, pembuat roda pedati/bendi, bajak, tukang jahit pakaian dll. Tukang jahit Jaton saat ini sudah menyebar di mana-mana di seluruh Minahasa seperti Tondano, Tonsea, Air Madidi, Kema, Girian, bitung, Manado, Tomohon, langowan, Amurang, Gorontalo dll. Demikian halnya dengan pandai besi dan tukang pedati. Akhirnya mereka menetap di daerah-daerah tersebut dan membentuk perkampungan Jaton. Saat ini sudah ada 13 perkampungan Jaton, al. kampong Jawa Ombulo (Yosonegoro), Uluhu (Reksonegoro), Bongomas (Kalioso) di Gorontalo; kampong Jawa Ihkwan (Bolaang Mongondow), Tomasobaru (kab. Manado), Pineleng (kab. Minahasa), Minatar di Jailolo Ternate dll. Mereka akhirnya dibutuhkan oleh penduduk setempat karena mempunyai pengetahuan yang tidak dimiliki oleh penduduk setempat. Akhirnya, orang Jaton punya status ekonomi yang cukup tinggi, sebagai pihak yang dibutuhkan jasa dan karyanya. Gaya hidup mereka sangat dinamis, selalu ada kegiatan yang cukup besar dan berani. Oleh karena itu pula, keturunan Kyai Modjo menolak (generasi ke3) ketika hendak dipulangkan ke pulau Jawa oleh Belanda. Mereka merasa sudah “mapan” hidup dan tinggal di Tondano, Minahasa. Apalagi mereka adalah keturunan dari hasil perkawinan Kyai Modjo dan beberapa pengikutnya, yang kawin dengan putri tokoh/pemuka Minahasa di Tondano. Status sosialekonomi yang “mapan’ ini tentu saja belum tentu bisa diperolehnya jika mereka harus kembali ke pulau Jawa (tempat asal kyai Modjo dan Diponegoro), yang mungkin saja struktur sosial di sana sudah berubah – belum tentu mereka masih ditempatkan sebagai keturunan tokoh/pemimpin. Ke-Jawa-an sering mereka tinggalkan sebagai atribut sukubangsa, terutama dalam hubungan dengan orang Minahasa. Dalam berinteraksi dengan orang Minahasa, baik di Tondano mau pun di wilayah lain di Sulawesi Utara, orang Jaton mengedepankan “ ke-Tondano-annya” (meskipun mereka tetap dengan batas-batas sosial atau identitas yang jelas/tegas – yaitu mereka tetap “jaton” yang berbeda dengan Minahasa). Mereka mengakui dan diakui sebagai keturunan orang Minahasa juga. Mereka adalah keturunan kyai Modjo dan ke-63 pengikutnya yang kawin dengan perempuan Minahasa. Dengan demikian, mereka masih bersaudara (hubungan kerabat – baik dari hubungan darah mau pun akibat perkawinan) dengan orang Minahasa.
Dalam pengaktifan identitas kesukubangsaan, mereka mengedepankan adat Jawa. Namun, pengaktifan kejawaan yang dilakukan oleh orang Jaton adalah unik sebab meskipun mengaktifkan identitas kejawaannya, orang Jaton tetap menegaskan bahwa diri mereka berbeda dengan sukubangsa Jawa yang ada di pulau Jawa. Dengan strategi adaptasi seperti ini, orang Jaton justru tidak mempertajam batas-batas sukubangsanya dengan orang Minahasa. Yang terjadi adalah sebaliknya, mereka justru mempertegaskan bahwa Jaton adalah bagian dari orang Minahasa sebab nenek-moyang perempuan mereka adalah perempuan Minahasa. Mereka adalah bersaudara dengan orang Minahasa. Oleh karena itu, ke-Jawa-an orang Jaton tidak membuat orang Minahasa Tondano merasa berhadapan dengan orang Jawa (yang berbeda sukubangsanya dengan Minahasa) sebab Jaton adalah sukubangsa Jawa yang berbeda dengan orang Jawa di pulau Jawa atau Jawa lainnya. Mereka adalah orang Jawa yang Minahasa (Jawa yang Tondano). Secara tertulis (resmi), pada tahun 1919 saat diadakan pemilihan Minahasa Raad, orang Jaton disamping sudah diwajibkan membayar pajak, maka terhitung sejak saat itu masyarakat Jaton diterima sebagai rakyat Minahasa. Hal ini berbeda ketika orang Jaton berinteraksi dengan sukubangsa non-Minahasa. Identitas sukubangsa ‘Jawa” mereka gunakan juga tetapi dengan strategi yang berbeda. Mereka mengaktifkan “keJawa-an” untuk menunjukkan bahwa orang Jaton adalah bagian dari “orang Jawa” yang mayoritas di negeri ini (secara nasional). Namun, mereka tetap membedakan secara tegas dengan sukubangsa Jawa pada umumnya. Mereka adalah keturunan para tokoh/pemimpin Jawa (keturunan Kyai Modjo dan Diponegoro) dan keturunan para tokoh/pemimpin dari sukubangsa lainnya seperti Syaid Syarif Abdullah Assagaf dari Sumatra Barat, Raden Nguren Gusti Perbatasari dari Kalimantan, haji Djaafar dari Banten dan lain-lain. Orang Jaton adalah hasil dari kawin-mawin dari keturunan para tohoh/pemimpin nasional yaitu ketrurunan Kyai Modjo dan keturunan para tokoh/pemimpin dari daerah-daerah lain di Indonesia yang berhasil ditawan oleh Belanda pada waktu itu. Kyai Modjo dan para pengikutnya juga digabung dengan para pemberontak dari daerah lain seperti dari Aceh, Padang, Palembang, Kalimantan, Jawa Barat dll– yang berhasil ditawan oleh Belanda. Sedangkan dalam konteks pengaktifan identitas keyakinan agama, orang Jaton justru menonjolkan identitas keyakinan agamanya terhadap orang-orang non-Minahasa (bukan untuk menunjukkan perbedaan keyakinan agama dengan orang Minahasa yang Kristen). Orang jaton sering mengundang orang-orang dari sukubangsa lain yang Muslim dalam kegiatan agama. Tidak hanya itu, bahkan jika ada orang dari sukubangsa lain yang Islam, yang sedang bertugas (ditugaskan oleh instansi/company tempat mereka bekerja) ke daerah Tondano umumnya mereka akan memilih tinggal di kampung Jaton. Demikian juga dengan pejabat-pejabat pemerintahan jika sedang berkunjung ke Manado atau Sulawesi Utara, pejabat-pejabat muslim ini juga menyempatkan diri untuk berkunjung ke kampung Jaton (biasanya juga nyekar ke makam Kyai Modjo). Apalagi bagi pejabat-pejabat yang merupakan keturunan (putra) Jaton, seperti Fadel Muhammad, Salim Segaf Al Jufri dll (menurut informan, bahkan ada putra Jaton yang menjadi menlu Malaysia). Dalam pengaktifan identitas keyakinan agama ini, lag-lagi strategi orang Jaton berbeda dengan pengaktifan identitas agama yang pada umumnya dilakukan oleh sukubangsa atau masyarakat lain. Meskipun sesama Muslim, mereka lebih menonjolkan ke-santri-annya. Santri adalah Islam. Dengan kesantri-annya bisa untuk memperoleh dukungan sosial dari mereka (sukubangsa lain yang juga Islam) dalam konteks-konteks tertentu. Di lain pihak, dalam konteks hubungan sosial dengan sukubangsa lain
yang Islam, kesantriannya akan mengarahkan situasi sosial dalam interaksi yang terjadi kepada struktur sosial yang lebih besar, yaitu struktur sosial Indonesia (Nasional). Dengan mengaktifkan ke-santri-annya, maka Jaton adalah Islam dan Jawa – yang keduanya (golongan sosial) ini mayoritas di Indonesia, dan yang terpenting adalah penegasan bahwa mereka adalah keturunan para tokoh/pemimpin dari kedua golongan sosial tersebut. Mereka adalah Jaton. Mereka bangga sebagai Jaton. Oleh karena itu, mereka berbeda dengan orang Jawa pada umumnya dan berbeda dengan Islam pada umumnya. Mereka adalah keturunan para tokoh/pemimpin (pahlawan). Oleh karena itu walaupun sukubangsa-sukubangsa lain itu sama-sama beragama Islam tetap tidak sama dengan Jaton. Demikian halnya dengan orang jawa, meskipun samasama Jawa dan Islam, mereka tetap berbeda dengan Jaton. Ke-santri-an orang Jaton berbeda dengan para “santri” Jawa, orang Jaton sangat tradisionalis. Praktek keyakinan keagamaan mereka, seperti upacara peralihan, upacara tahunan, dan upacara penyembuhan/perlindungan, mengandung unsur-unsur heterodoks dan bersifat sinkretis. Upacaraupacara/ritual-ritual ini justru sebagai proses “pemisahan” (mereka berbeda dengan orang non-Jaton) dan/sekaligus sebagai proses “penyatuan” (mereka adalah bersaudara/satu keturunan – sesama orang Jaton) – menanamkan identitas ke-Jaton-an dan transfer pengetahuan budaya Jaton. Proses dan mekanisme pengaktifan identitas kesukubangsaan dan keyakinan agama (sebagai Jaton) dalam sejarah hidup mereka ini sudah berlangsung hampir dua abad, sejak masa pembuangan Kyai Modjo pada 1829 sampai 2011. Ke-santri-an orang Jaton berbeda dengan santri di Jawa, di mana Islam memiliki tiga varian sebagai sistem sosial yang utuh, yang tak ditemukann di lingkungan kampung Jaton. Tak ada yang namanya “abangan” dan “priayi” di kalangan pengikut Kyai Modjo di sana. Oleh karena itu, bagi orang Jaton bahwa “santri” punya arti lain di kampung Jaton. Varian “santri” ini bukan lagi cuma atribut, tapi sudah menjadi identitas sukubangsa Jaton. Oleh karena itu pula, di Minahasa biasanya orang yang beragama Islam akan disebut “orang Jawa” walaupun orang yang dimaksud tidak dari sukubangsa Jawa – karena orang Jaton maka “Jawa” diidentikan dengan “Islam”. Dengan strategi identitas sebagai orang jaton ini pula, secara tidak langsung juga mampu menjaga kesantriannya yang tradisional Jawa (sebagai “santri tradisional”) agar tidak “ditekan” oleh kaum Islam reformist (sama-sama Islam dan secara nasional – baik dari sisi sukubangsa dan agama – mereka adalah mayoritas dan dominan karena sebagai keturunan para tokoh/pemimpin dari yang mayoritas. Dengan kombinasi yang terintegrasi antara identitas sukubangsa dan keyakinan agama – Jaton – mereka berhasil menjaga eksistensinya. Dalam lingkungan orang Kristen di Tondano – Sulawesi Utara dan dalam lingkungan Islam di Indonesia mereka tetap menjadi Islam tradisional yang “santri”. Hal ini menunjukkan dan menjelaskan bagaimana sebuah minoritas berusaha mempertahankan perbedaan sukubangsa yang menguntungkan bagi mereka dengan strategi identitas sebagai Jaton pada situasi-situasi sosial dalam berbagai kesempatan tanpa menimbulkan konflik atau mengganggu eksistensi sukubangsa atau agama lain.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa konflik antar suku bangsa atau antar keyakinan agama bukanlah bersumber dari perbedaan identitas. Dengan kata lain, “perbedaan” suku/bangsa dan keyakinan agama bukanlah pencetus konflik. Dengan cara-cara ini, orang Jaton justru tetap mempertegas/mempertahankan perbedaan identitas suku/bangsa dan keyakinan agamanya (bangga sebagai orang Jaton yang santri-tradisional) dalam “kerjasama” dan “persaingan” dengan suku-suku/bangsa lain – baik dengan yang Muslim mau pun non-Muslim tetapi tidak untuk tujuan “mengalahkan” atau “mengancam eksistensi suku/bangsa lain”. Meskipun sebenarnya berada dalam konteks persaingan/kompetisi atau harus bersaing/berkompetisi dengan orang non-jaton, mereka (Jaton) tetap mampu memanipulasi situasi sosial yang ada untuk tetap berada dalam konteks “kerjasama” (dengan “politik identitas Jaton”nya) sehingga tidak menyebabkan konflik. Arus modernisasi, pada kenyataannya, tidak banyak memberikan pengaruh signifikan bagi masyarakat Kampung Jawa Tondano dalam melestarikan tradisi-tradisi keagamaan mereka. Semua tradisi di Kampung Jawa Tondano ini hingga sekarang masih dilaksanakan secara konsisten oleh warganya. Meskipun, terdapat beberapa perubahan dalam pelaksanaan tradisi tertentu, akan tetapi perubahan tersebut tidak sampai menyentuh ranah substansial. Bagi warga, tidak ada halangan yang menjadi alas an untuk tidak melaksanakan tradisi-tradisi tersebut, meskipun dalam setiap pelaksanaannya hanya dihadiri oleh generasi tua. Karena, mereka telah merasakan manfaat tradisi-tradisi tersebut sebagaimana yang telah dirasakan oleh para pendahulu mereka pada masa-awal keberadaan mereka di tanah asing, Tondano, Minahasa. Karenanya, bagi warga Kampung Jawa, tradisi keagamaan bukan saja menjadi simbol identitas mereka sebagai Muslim, akan tetapi tradisi-tradisi keagamaan tersebut merupakan symbol kerukunan antara warga Kampung sendiri serta dengan warga masyarakat yang berdomisili di sekitar Kampung. Sejarah panjang tradisi keagamaan Kampung Jawa Tondano telah membuktikan bahwa belum pernah terjadi ‘gesekan’ yang berarti, dengan komunitas yang tinggal berdampingan dengan Kampung Jawa, yang ditimbulkan akibat dari melaksanakan berbagai tradisi keagamaan tersebut. Menurut warga Kampung Jawa, tradisi keagamaan mereka merupakan alat pemersatu dalam membina kehidupan yang harmonis dan rukun; bukan saja antar mereka yang heterogenis dalam suku, melainkan juga dengan warga yang berdomisili di sekitar Kampung Jawa yang berlainan agama/keyakinan dengan mereka. Tradisi keagamaan yang ada merupakan kearifan lokal yang ikut memperkuat keharmonisan sosial, sehingga mereka tetap berkomitmen untuk melestarikan berbagai tradisi keagamaan tersebut dan akan mewariskannya kepada generasi berikutnya. Orang Minahasa pun pernah konflik dengan Jaton. Tapi penyebabnya bukanlah ke-lslaman atau ke-Jawa-an mereka. Dahulu, para kerabat dari pihak perempuan hidup menetap di desadesa/kampung-kampung lain karena pengantin perempuan yang kawin dengan laki-laki Jaton akan menetap di perkampungan Jaton. Akibatnya, keturunan dari hasil perkawinan tsb dengan
para kerabat ibunya banyak yang tidak saling kenal (apalagi yang sudah beberapa generasi dibawahnya) karena masing-masing berinteraksi dan berhubungan secara intensif di lingkungan tempat tinggalnya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Belanda melalui politik “adu domba” (devide et empera) antara para kerabat keturunan laki-laki dari Kyai Modjo dengan para kerabat keturunan perempuan Minahasa (Ibu). Permusuhan ini ditanamkan pada generasi muda yang banyak tidak/belum tahu sejarah kawin-campur Kyai Modjo dan pengikutnya dengan perempuan Minahasa. Permusuhan ini memuncak pada peristiwa pergolakan PRRI/Permesta di Minahasa dan berakhir pada saat pergolakan tsb selesai. Oleh karena itu, sesudah peristiwa tsb, mereka mengembangkan prinsip-prinsip kekerabatan “satu kakek/nenek” tidak boleh saling kawin sebab mereka masih kerabat dekat (satu keluarga) meskipun berbeda keyakinan agamanya. Ikatan satu kakek/nenek ini juga membentuk arisan (mapalus – tradisi Minahasa) untuk tetap memelihara hubungan sosial di antara mereka. Saran Dari paparan ini, kita melihat bagaimana warga keturunan Tionghoa di Manado telah berbaur sedemikian lekat dengan warga lokal, sehingga tidak lagi mengidentifikasi diri sebagai Jaton, tetapi menjadi orang Manado. Namun, pada pihak yang sama, mereka juga tidak melupakan tradisi dan tetap menjalankannya. Bahkan, pada masa Orde Baru, era dimana tradisi warga keturunan begitu dikekang. Maka, tak salah rasanya bahwa Jaton di Gorontalo membaur lebih jauh dengan masyarakat lokal daripada tempat-tempat lain di Indonesia. DAFTAR RUJUKAN A. Daliman, 2012. Metode Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Ombak. Abu Ahmadi, 2003 Ilmu sosial Dasar. Jakarta : Rineke Cipta Abdul Syani, 1995. Sosiologi Perubahan Masyarakat. Bandar Lampung PT. Dumisa Pustaka Jaya Basri Amin. 2012. Memori Gorontalo: Teritori, Transisi, dan tradisi Yogyakarta Ombak Djoko Soekiman, 2002. Kebudayaan Indis dari zaman Kompeni sampai revolusi. Jakata Komunitas Bambu Gotschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Penerjemah Nugroho Notosusanto, Jakarta : PT UI Press Hasanudin dan Basri Amin. 2012. Gorontalo Dalam dinamika Sejarah Masa Kolonial. Yogyakarta. : Ombak Helius Sjamsudin, 2007.Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak Kuntowijoyo, 2003.Metodologi Sejarah edisi ke dua.Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya Koentjaraningrat, 1982. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
Koentjaraningrat, 2003.metode-metode penelitian masyarakat Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Kusen, Albert W.S. 2007. Makna Minawanua: Refleksi Atas Perjuangan Orang MinahasaTondano. Dipresentasi dalam Forum Seminar ’Kembalikan Minawanua’ ku, di Tondano, 23 Desember. Mambu, Edy, 1986. Jalannya Perang Tondano. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Minahasa. M.C Riclefs, 1995. Sejarah Indonesia Modern, (Terjemahan Darmono Hardjowidjono). Yogyakarta; Gadjah Mada University Press Sartono Kartodirjo, 2001. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium, Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama