SADRANAN: ADAT BUDAYA MASYARAKAT JAWA Yakub Nasucha Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta Jawa Tengah, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak Adat budaya merupakan kegiatan yang dilakukan secara turun-menurun. Salah satu kegiatan budaya yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah sadranan. Kata sadranan berasal dari kata sadran sebagai kata serapan bahasa Arab al-shuduur. Dalam Al-Quran, surat Al-Adiyat, ayat 10 terdapat kata “al-shuduur” yang berarti di dalam dada. Maksudnya, jiwa yang berada di dalam dada manusia. Bratasiswara (2000:641) mengatakan bahwa sadran berasal dari sraddha yang berarti upacara penghormatan kepada leluhur yang sudah berpulang dan dilakukan setahun sekali pada bulan Ruwah. Dalam kalender Islam, bulan Ruwah dinamakan Syahru Sya’ban. Pembahasan sadranan pada makalah ini berdasarkan hasil penelitian yang berlangsung di Klaten, Jawa Tengah, Indonesia. Sebagian masyarakat Jawa pada bulan Ruwah selalu melaksanakan sadranan sebagai adat budaya yang tidak tertulis. Hal itu sudah berlangsung sejak zaman dahulu secara turun-menurun. Pelaksanaannya telah ditentukan waktunya, mulai 15 s.d. 27 bulan Ruwah. Jika dilaksanakan sebelum tanggal 15 dan sesudah 27 pada bulan Ruwah maka bukan sebagai sadranan. Kegiatan sadranan dipimpin oleh seorang modin atau orang yang dianggap mampu dalam bidang agama Islam. Kegiatannya meliputi tabur bunga dan membersihkan makam. Selanjutnya, berdoa bersama untuk para arwah, membaca AlQuran, dan tahlil di salah satu rumah warga. Peranti makanan yang disajikan bukan merupakan sajen tetapi disebut shodaqoh. Makanan (shodaqoh) tersebut diberikan atau disiapkan oleh warga yang kerabatnya dimakamkan di desa tempat berlangsungnya sadranan. Setelah pembacaan doa dan tahlil selesai, modin menerima uang dari para peserta yang jumlahnya sangat bervariasi. Uang yang diberikan dinamakan wajib. Penyebutan kegiatan sadranan ini disesuaikan dengan tanggal pelaksanaan. Jika dilaksanakan pada tanggal 15 Ruwah disebut limolasan, tanggal 23 disebut telulikuran, tanggal 25 disebut selawenan, dan seterusnya. Kata kunci: Sadranan, Ruwah, Doa. PENDAHULUAN Peringatan tentang kematian oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap sebagai wujud penghormatan. Mereka mempercayai bahwa arwah para leluhur itu masih berhubungan dengan keluarganya. Bratasiswara (2000:535) mengatakan bahwa bentuk hubungan itu berupa kunjungan arwah para leluhur kepada keluarganya pada kesempatan tertentu. Kunjungan arwah para leluhur itu dipercaya sebagai wujud permintaan doa. Maksudnya, agar dirinya didoakan oleh para kerabatnya yang masih hidup. Hal itu diyakini bahwa kehadiran para arwah pada bulan Sya’ban setiap tahunnya. Oleh karena itu, masyarakat Jawa menamakan bulan Sya’ban sebagai bulan Ruwah, yakni hadirnya para arwah leluhur. Maka, untuk menyambut kehadirannya diadakan acara kegiatan selamatan (berdoa bersama agar selamat dunia dan akhirat). Doa keselamatan itu secara khusus disebut sadranan. Kegiatan sadranan diangapnya adat budaya yang penuh ritualitas dan sakral. Maka, dalam pelaksanaanya diperlukan sesajian (Jw: sajen) sebagai peranti sadranan dan berdoa bersama. Bahasa yang digunakan bukan bahasa Indonesia tetapi bahasa Arab dan bahasa Jawa. Sebab, kegiatan sadranan itu dilaksanakan oleh sebagian masyarakat di daerah Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan wilayah bekas kerajaan Islam, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta yang dahulu disebut Kerajaan Mataram. Juga, kedua wilayah tersebut sebagai pusat kebudayaan Jawa dengan bahasa Jawa sebagai barometer yang penuh dengan “unggah-ungguh”. Masyarakat Jawa yang berada di antara kedua wilayah itu memandang bahwa kegiatan sadranan memiliki arti yang sangat penting maka perlu dilaksanakan setiap tahun. Di dalam pelaksanaannya, sadranan sebagai adat budaya dapat membentuk sikap sosial bagi masyarakat tertentu. Azwar (2000:30) mengatakan bahwa sikap sosial terbentuk adanya interaksi sosial yang dialami oleh masing-masing individu. Pendapat senada diungkapkan oleh Krech (dalam Rochmah, 1996:2) bahwa sikap sebagai peristiwa perilaku antarpersona merupakan suatu proses komunikasi. Oleh kareana itu, kegiatan sadranan sebagai sikap sosial yang bernuansa keagamaan merupakan interaksi antaranggota masyarakat yang selalu menekankan kepada sistem komunikasi. Proses komunikasi itu berlangsung sangat harmonis, baik komunikasi secara horizontal (hablu minannas) maupun secara vertikal (hablu minallah). Hubungannya dengan manusia (secara horizontal) adanya silaturrahim di antara warga yang berkumpul, kemudian dalam hubungannya dengan Tuhan (Allah) kegiatan sadranan itu dilaksanakan dengan berdoa bersama untuk para arwah. Waktu pelaksanaan sadranan pun telah ditentukan pada bulan Ruwah yang dimulai tanggal 15 s.d 27. Hal itu merupakan tradisi tetap (Jw: ajeg) yang dapat dianggap sebagai konvensi masyarakat yang tak tertulis. Adat yang berupa sadranan itu diperkirakan sudah berlangsung sejak zaman Kerajaan Mataram dan sampai sekarang kegiatan sadranan masih terjaga dengan baik, khususnya di daerah pedesaan dan pinggiran. Dalam kegiatan sadranan yang menarik untuk dikemukakan adalah tatacara dan peranti upacara dalam pelaksanaannya. Kegiatan sadranan dimungkinkan adanya pengaruh Hindu. Artinya, antara ajaran Islam yang berupa doa-doa dan ajaran Hindu yang selalu menggunakan sesajian dalam peribadatannya menyatu dalam satu kegiatan ritual, seperti sadranan itu. Damono (2001:3) mengatakan bahwa adanya dua hal yang berbeda kemudian menyatu disebabkan oleh adanya organisasi sosial, kebudayaan, dan cara berkehidupan yang sama. Pendapat yang senada dinyatakan oleh Lapidus (1999:739) bahwa Masyarakat Mataram merupakan masyarakat Islam di dalam organisasi aktual yang didasarkan pada sejumlah konsep Hindu dan Jawa. Oleh karenanya, pernyataan itu dapat ditafsirkan bahwa kegiatan sadranan bagi sebagian masyarakat Jawa kemungkinan adanya pengaruh konsep Hindu dan Islam. Kegiatan sadranan yang dilaksanakan setiap bulan Ruwah merupakan peristiwa budaya yang bernuansa ritual. Hal itu berbeda dengan kegiatan “qurban” yang juga dilaksanakan setiap tahun pada bulan Dhulhijjah sebab “qurban” bukan peristiwa budaya tetapi murni syariat Islam. Kegiatan sadranan yang dianggap penting dan merupakan keharusan untuk dilaksanakan bagi masyarakat Klaten, Jawa Tengah masih berlangsung hingga sekarang. Namun, khususnya generasi muda yang sudah terpengaruh modernisasi zaman seolah-olah tidak peduli lagi terhadap kegiatan sadranan. Pemahamannya sangat minim dan informasi tentang sadranan hanya sepotongsepotong. Jadi, dapat dipastikan jika sadranan tidak dilestarikan maka suatu saat kegiatan sadranan akan hilang. Generasi sekarang perlu diberi pemahaman tentang pentingnya tatacara dan peranti kegiatan sadranan dalam budaya masyarakat Jawa. Tatacara yang dimaksud adalah aturan pelaksanaan kegiatan sadranan dan peranti adalah alat atau bahan (makanan) yang digunakan. Masyarakat Jawa yang dimaksud adalah masyarakat yang berdomisili di daerah Klaten, Jawa Tengah. Kegiatan sadranan pada mulanya muncul dari upacara Sraddha Agung yang dilakukan oleh Prabu Hayam Wuruk, seorang Raja Majapahit pada tahun 1362 M untuk menghormati arwah neneknya, Gayatri yang telah berpulang (Bratasiswara, 2000:641). Oleh karena itu, kegiatan sadranan selalu identik dengan penghormatan kepada arwah para leluhur yang telah meninggal dunia. Jadi, sadranan pada hakikatnya adalah mendoakan arwah para leluhur agar memperoleh tempat yang layak di sisi Tuhannya. Wujud penghormatan dalam bentuk doa-doa bagi masyarakat Jawa memiliki makna yang sangat sakral dan nilai spiritual yang sangat penting. Nilai spiritual itu didasarkan kepada sistem nilai yang bersifat agamis dan bernuansa kerohanian. Nilai spiritual yang terkandung di dalam kegiatan sadranan itu memang sesuai dengan kebudayaan Jawa yang menekankan kepada kehalusan jiwa. Menurut Boelaars (dalam Triyono, 1989:31), masyarakat Jawa cenderung suka memelihara keamanan psikis dan mengutamakan nilai hormat, rukun, malu, dan sungkan. Oleh karena itu, sadranan sebagai adat budaya masyarakat Jawa mencerminkan nilai yang bermakna, seperti nilai estetika, logika, dan etika. Pendapat itu diperkuat oleh Asy’arie (1992:113) bahwa aktivitas budaya tidak saja menciptakan nilai terhadap karya budaya, tetapi juga terikat oleh nilai-nilai, baik nilai estetika, logika, maupun etika.
Pelaksanaan kegiatan sadranan waktunya telah ditentukan dan ditetapkan, yaitu pada bulan Ruwah (Sya’ban), beberapa hari sebelum bulan Puasa (Ramadhan) Inti kegiatannya kirim doa atau mendoakan arwah para leluhur. Pelaksanaannya telah ditentukan secara turun-temurun, yaitu dimulai tanggal 15 s.d. 27 Ruwah. Oleh karena itu, setiap bulan Ruwah sebagian masyarakat Jawa, khususnya masyarakat di desa pinggiran kabupaten Klaten secara rutin mengadakan tradisi kegiatan sadranan yang bertujuan untuk menyambut dan menghormati arwah para leluhur yang telah meninggal dunia. Kegiatan sadranan atau “nyadran” memang bukan ajaran Islam tetapi merupakan tradisi ritual atau adat yang memanfaatkan peranti agama, seperti doa-doa dengan lafal bahasa Arab dan bahasa Jawa. Dengan demikian, sadranan hanya sebagai tradisi atau adat masyarakat Jawa sebagai kegiatan ritual dan budaya. Tradisi “kirim doa atau mendoakan” para leluhur sebelum bulan Ramadhan yang berlangsung secara turun-temurun dapat memunculkan budaya yang seolah-olah merupakan kegiatan keagamaan. Namun, pada dasarnya kegiatan itu hanya sebagai tradisi budaya yang telah berlangsung sangat lama. Kirim doa atau mendoakan orang yang sudah meninggal dunia memang merupakan ibadah tetapi jika kegiatannya selalu dibarengi dengan perangkat sesajian maka nilai ibadahnya akan kabur. Di dalam ajaran Islam, doa dilakukan setiap saat dan di tempat-tempat yang layak untuk berkirim doa atau mendoakan kerabat yang telah meninggal dunia, seperti di masjid dan rumah. Oleh karena itu, berdoa tidak harus pada bulan tertentu dan di tempat tertentu. Di dalam pandangan Islam, penanggalan hanya sebagai upaya manusia untuk dapat mengetahui kapan waktu yang mustajab untuk melaksanakan ibadah dan doa-doa yang dipanjatkannya (Salimi, 1998:180). Berdoa di kuburan diperbolehkan tetapi mengharuskan berdoa di kuburan itu yang tidak dibenarkan. Artinya, yang tidak dibenarkan adalah mengharuskan berdoa di kuburan. Jadi, bukan berdoa di kuburannya yang tidak boleh tetapi adanya keharusan itulah yang tidak dibenarkan. Jika sadranan sebagai tradisi budaya yang fokusnya pada doa kepada arwah itu tidak mengotori syar’i maka dapat dijadikan ajang untuk memperkuat akidah. Kegiatan sadranan berbeda-beda tatacara dan pelaksanaannya di setiap desa. Namun, pada umumnya memiliki tujuan yang sama di dalam penghormatan kepada arwah para leluhurnya. Penghormatan kepada arwah para leluhur di dalam masyarakat Jawa disebut pamulen. Tujuan pamulen bagi masyarakat Jawa: (1) memohon kepada Tuhan agar arwah para leluhur yang telah meninggal dunia diampuni segala dosa-dosanya atas kesalahan sewaktu masih hidup di dunia, (2) mendoakan agar para arwah para leluhur diberi tempat yang layak di sisi Tuhan, (3) menanamkan kesadaran kepada orang-orang yang masih hidup bahwa semua orang akan mengalami kematian, dan (4) mengingatkan kepada orang-orang yang masih hidup bahwa untuk menuju ke alam baka diperlukan bekal amalan sebanyak-banyaknya. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengetahui secara hakiki tatacara dan peranti yang digunakan di dalam kegiatan sadranan bagi masyarakat di daerah Klaten, Jawa Tengah. Sedangkan manfaatnya sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga keagamaan tentang pelaksanaan sadranan dan perkembangannya serta tatacara dan penggunaan peranti yang didasarkan pada realitas di lapangan dan wacana bagi para cendikia serta ulama. Juga sebagai acuan bagi peneliti lain yang akan mengadakan penelitian sejenis, masukan bagi masyarakat agar dapat memahami lebih mendalam tentang kegiatan sadranan yang sebenarnya, khususnya tatacara dan peranti yang digunakannya. Selanjutnya, para pemuda Islam agar di dalam langkah dan geraknya selalu dapat beradaptasi dengan lingkungan penyelenggara sadranan. Juga, masukan kepada instansi terkait agar sadranan dijadikan aset budaya bangsa yang dapat dilestarikan. Adapun, lokasinya di daerah Klaten, Jawa Tengah. Model penelitian dengan strateginya yang paling tepat adalah penelitian deskriptif kualitatif. Model penelitian ini mampu menangkap berbagai informasi baru secara kualitatif dengan deskripsi yang lengkap dan penuh makna yang dapat diserap. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya sekedar mengungkapkan jumlah angka-angka dan frekuensi dalam bentuk persentase. Namun, dapat mengungkap secara lebih rinci tentang tatacara dan peranti yang digunakan di dalam kegiatan sdaranan. Data penelitian ini berupa data kualitatif, berupa informasi yang digali dari bermacammacam sumber data, yaitu informan yang terdiri atas tokoh masyarakat dan orang yang mengikuti kegiatan sadranan. Selanjutnya, data tempat yang terdiri atas rumah (dopo) yang selalu dipakai untuk kegiatan sadranan, mushalla, masjid, dan kuburan.
Model penelitian ini berupa penelitian deskriptif kualitatif. Maka, teknik pengumpulan datanya adalah wawancara mendalam, yaitu wawancara dengan para informan. Wawancara mendalam ini bersifat terbuka dan dilakukan tidak dalam suasana formal serta dapat dilakukan berulang-ulang. Teknik wawancara menggunakan teknik bola salju (snow ball), yaitu semakin banyak informan yang diwawancarai maka semakin besar dan lengkap data yang diperoleh. Juga, observasi terhadap tempat yang dijadikan ajang kegiatan sadranan. Proses analisis data menyajikan tiga komponen, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan Miles dan Huberman (dalam Sotopo, 1996:82). Reduksi data merupakan proses seleksi hasil pengumpulan data di lapangan. Kemudian, sajian data merupakan penyusunan data dalam bentuk deskripsi kalimat yang sistematis. Selannjutnya, penarikan simpulan yang menyimpulkan data-data setelah melakukan kegiatan reduksi data dan sajian data. Maka, model analisis yang digunakan adalah model interaktif. Proses interaktif ini dapat dilihat pada waktu data direduksi dan disajikan kemudian ditarik simpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan sadranan merupakan acara ritual yang dilakukan secara bersama-sama, yakni berdoa bersama yang dipimpin oleh modin atau orang yang dituakan (Jw: sesepuh). Doa bersama-sama itu intinya kirim doa kepada para leluhur. Oleh karena itu, sadranan tidak dapat dipisahkan dengan berdoa bersama-sama untuk arwah para leluhur pada waktu tertentu. Istilah leluhur disebut pepunden. Kirim doa kepada pepunden itu mempunyai tujuan memintakan ampunan kepada Allah swt agar dosa-dosanya dapat diampuni. Hal itu dilakukan agar para arwah tidak tersiksa. Sadran sesuai dengan arti secara harfiah berasal dari kata shudur, diserap dari bahasa Arab yang memiliki arti dada, yakni tempat bersemayamnya nafsu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dada manusia adalah organ manusia yang penuh dengan dosa. Maka, dada yang penuh dengan dosa-dosa itu perlu dibersihkan oleh dirinya sendiri dengan doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah swt. Bagi masyarakat Jawa pembersihan lahir dan batin menjelang bulan puasa perlu dilakukan secara menyeluruh. Kegiatan sadranan itu adalah membersihkan dada arwah para leluhur dengan berdoa secara bersama-sama. Jadi, sadranan bisa dimaknai sebagai acara pembersihan dosa-dosa dengan cara berdoa ke hadirat Allah swt yang ditujukan kepada para kerabat atau keluarga yang telah meninggal dunia. Berkenaan dengan berdoa yang dilakukan secara bersama-sama kepada arwah para leluhur maka makna sadranan bagi masyarakat Klaten memiliki makna khusus dan historis yang tidak dapat dipisahkan dengan tradisi dan ritual. Artinya, kegiatan sadranan merupakan tradisi atau adat budaya masyarakat Jawa yang dilaksanakan dengan menggunakan peranti dan tatacara tertentu. Meskipun hanya tradisi budaya tetapi masyarakat diwajibkan untuk selalu menyelenggarakan kegiatan sadranan setiap tahun. Kegiatan sadranan memang memiliki makna yang sangat mendalam tetapi di dalam pelaksanaannya masih kurang meriah dibandingkan dengan pada masa lalu, yakni sekitar tahun 1950-an sampai dengan tahun 1960-an. inti acara sadranan, yakni diawali dengan pembacaan doa dan tahlilan yang dipimpin oleh sesepuh desa yang bisa memimpin doa. Upacara tradisi ritual yang dilakukan selain bulan Ruwah bukan sebagai upacara sadranan. Padahal masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Klaten sering melakukan kegiatan upacara yang bernuansa adat Jawa sebagai kegiatan tradisi, antara lain (1) nyekar, yaitu upacara pemasangan batu kubur pada suatu pusara dengan menaburkan bunga-bunga, (2) rasulan, yaitu upacara untuk keselamatan sebelum acara pernikahan, (3) ruwatan, yaitu upacara pembebasan sukerta dari nasib buruk dan ancaman malapetaka, dan (4) nyandi, yaitu upacara pemasangan batu nisan di pusara leluhur. Penamaan kegiatan sadranan sering diambilkan dari nama tanggal sesuai dengan nama hitungan Jawa. Misalnya, sadranan yang dilakukan pada tanggal 21 bulan Ruwah disebut selikuran, dilaksanakan pada tanggal 22 disebut rolikuran, dilaksanakan pada tanggal 23 disebut telulikuran, dilaksanakan pada tanggal 25 dinamakan selawenan, dan jika dilaksanakan pada tanggal 27 disebut pitulikuran. Sebelum diadakan kegiatan sadranan, masyarakat membersihkan kuburan atau makam keluarganya masing-masing yang disebut bebesik. Di samping itu, juga membetulkan batu nisan (Jw: tetenger) jika ada yang menceng letaknya dan memasang baru jika ada yang telah rusak. Selain itu, kegiatan masyarakat di kuburan menjelang sadranan biasanya berdoa, baik berdoa secara sendirisendiri maupun secara berkelompok. Kegiatan berdoa secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok selalu dilakukan setelah bebesik.
Tempat kegiatan sadranan di setiap desa dapat berbeda-beda tergantung kesepakatan warga. Ada warga yang melaksanakan upacara sadranan di rumah dopo (rumah warga yang besar), di masjid, di mushalla, di jalan menuju makam, di makam, bahkan ada yang di dhanyangan (makam orang yang dianggap sakti yang berada di bawah pohon besar), dan di tempat yang dianggap keramat. Perbedaan tempat dilangsungkannya sadranan bagi masyarakat itu tidak menimbulkan masalah bagi warga. Juga, setiap kelompok di desa dalam pelaksanaannya ternyata tergantung pada jumlah makam yang ada di desa tersebut. Jika sebuah desa memiliki makam dua atau tiga buah makam maka pelaksanaannya pun sejumlah makam yang ada tersebut. Selanjutnya, pelaksanaan kegiatan sadranan pada umumnya pada pagi hari, yakni dimulai pukul 10.00. Cara pemanggilan warga supaya lekas datang ke tempat upacara sangat bervariasi, antara lain dengan pengeras suara di masjid atau dengan alat kentongan dari bambu. Jika, sudah ada tanda panggilan maka warga berduyun-duyun menuju lokasi kegiatan sadranan yang akan dilangsungkan. Setiap keluarga atau warga masyarakat yang menghadiri kegiatan sadranan selalu membawa makanan sebagai salah satu peranti. Namun, sebenarnya makanan yang dibawa oleh warga masyarakat dilakukan atas kehendak sendiri secara sukarela. Artinya, setiap warga boleh membawa makanan dan juga boleh tidak membawanya. Makanan yang dibawa atau dikirimkan oleh warga pada dasarnya merupakan shadaqoh dan bukan sesaji yang serng disebut oleh kebanyakan orang. Peranti kegiatan upacara sadranan ini adalah syarat yang perlu dibawa oleh warga yang menghadirinya. Di dalam kegiatan sadranan itu yang dimaksud dengan peranti upacara sadranan adalah makanan (Jw. jajanan) yang dibawa atau dikirim oleh warga masyarakat. Selanjutnya, peranti yang berupa jajanan itu setelah terkumpul kemudian didoakan oleh modin atau pemimpin upacara sadranan. Selanjutnya, jajanan yang telah didoakan dimakan bersama-sama oleh warga yang mengikutinya bahkan jika tidak habis bisa dibawa pulang. Peranti berupa jajanan atau makanan yang dikirimkan oleh warga itu bermacam-macam jenisnya. Semua jenis makanan itu ditaruh di piring yang telah disiapkan oleh warga yang mengikuti kegiatan sadranan. Jenis makanan yang berupa shadaqoh pada sangat bervariasi dan bermacammacam, ada yang berupa buah-buahan dan ada pula yang berupa makanan. Shadaqoh yang berupa buah-buahan adalah salak, apel, pisang ambon, mangga, jeruk, sawo, manggis, pepaya, semangka, nanas, dan srikaya. Sedangkan yang berupa makanan (jajanan) adalah pisang godog, pisang goreng, bakwan, tape, wajik, jadah (ketan), emping, kacang rebus, kacang goreng, roti basah, ager-ager, rengginang, belut goreng, dodol, ketela godog, dan ketela goreng. Jadi, peranti kegiatan sadranan yang berupa makanan atau jajanan sebenarnya merupakan hidangan untuk para peserta atau warga yang mengikutinya. Namun, peranti itu merupakan kewajiban yang harus dibawa dan dikirimkan oleh warga yang mengikutinya. Jika keluarga yang tidak dapat hadir untuk mengikuti sadranan maka makanan atau jajanan bisa langsung dikirimkan atau dititipkan. Jadi, perantinya harus dikirimkan meskipun keluarga yang memiliki ahli waris yang telah meninggal dunia tidak dapat mengikuti sadranan. Hal itu dianggap oleh warga masyarakat yang memiliki ahli waris bahwa peranti yang berupa jajanan itu merupakan kewajiban yang harus dikirimkan. Selain makanan atau jajanan yang telah disebutkan di muka, makanan yang berupa ambeng pun harus tersedia. Ambeng merupakan wadah berukuran bulat pendek yang berisi nasi, sayur, krupuk, rempeyek, mie goreng, telor, dan trancam. Jenis makanan di dalam ambeng itu harus tersedia sebab itu semua merupakan syarat yang harus dipenuhi. Makna isi ambeng yang berupa nasi, sayur, krupuk, rempeyek, mie goreng, telor, dan trancam tidak dapat dijelaskan. Selain makanan yang berupa ambeng ada juga makanan yang berjenis kenongan. Kenongan adalah makanan yang bentuknya seperti kenong (bentuk bulatan yang terdapat di gamelan atau gong). Maka, makanan yang bulat seperti kenong gamelan disebut kenongan. Juga, peranti upacara sadranan yang lainnya adalah makanan yang berupa tumpeng (bentuk kerucut). Rangkaian prosesi sadranan sebenarnya sangat sederhana, yaitu melakukan bebesik di makam para leluhur, tabur bunga di pusara, kemudian berdoa bersama-sama dan diakhiri dengan acara tahlilan. Acara tahlilan biasanya dilaksanakan selama bulan Ruwah setiap malam Jumat dan dasarnya untuk menyambut sadranan yang akan berlangsung yakni diisi dengan doa-doa yang ditujukan kepada para arwah. Sebelum acara tahlilan, pemimpin sadranan terlebih dahulu memberikan kata sambutan sebagai pengantar dengan bahasa Jawa. Kata pengantar oleh modin atau pemimpin sadranan intinya adalah bersyukur ke hadirat Allah swt, untuk berziarah kubur kepada para leluhur, permintaan ampunan agar arwah mendapat jalan yang terang dan dijauhi dari siksa kubur dan siksa neraka, Allah swt dapat mengabulkan permintaan kita agar para arwah diberikan kenikmatan di alam kubur, permintaan ampunan dan doa itu diawali dengan membaca kalimat thoyibah. permintaan ke hadirat Allah swt agar diberikan kesehatan, keselamatan, dan lancar
rezekinya. Selanjutnya, pemimpin sadranan mengakhiri dengan doa penutup. Selesai berdoa para peserta melemparkan uang (jumlahnya beragam) ke arah pemimpin upacara sadranan sebagai tanda rasa terima kasih warga. Menurut warga masyarakat yang menghadiri sadranan, uang yang diberikan atau dilemparkan ke arah pemimpin sadranan disebut Wajib. KESIMPULAN Kegiatan sadranan artinya upacara penghormatan kepada arwah para leluhur pada bulan Ruwah, sadranan sebagai kegiatan ritual merupakan tradisiatau adat budaya masyarakat Jawa yang memadukan antara budaya Jawa dengan nafas Islam, pelaksanaan sadranan di antara tanggal 15 s.d 27 bulan Ruwah. Hal itu diyakini oleh masyarakat bahwa pada bulan Ruwah, arwah para leluhur mendatangi rumah ahli waris untuk minta dikirimi doa. Tatacara sadranan setiap tahunnya sama, yaitu bebesik (membersihkan makam) para leluhur, tabur bunga di atas pusara makam, berdoa, tahlilan, dan makan bersama. Jadi, inti atau hakikat kegiatan sadranan adalah mendoakan arwah para leluhur atau ahli waris yang telah meninggal dunia. Selanjutnya, peranti upacara sadranan adalah bunga untuk ditabur di pusara makam para leluhur (kembang menyan), jajanan pasar, makanan yang berupa tumpengan dan kenongan.
RUJUKAN Ali, Fachry. 1985. Agama, Islam dan Pembangunan. Yogyakarta: PLP2M. Asy’arie, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran. Yogyakarta:Lembaga Studi Filsafat Islam. Azwar, Saifudin. 2000. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bratasiswara, R. Harmanto. 2000. Bauwarna Adat Tata Cara Jawa. Jakarta: Yayasan Suryasumirat. Damono, Sapardi Djoko. 2001. Manusia dan Kebutuhan Adab (makalah dalam Semiloka Dosen ISD se-Indonesia di Yogyakarta).Jakarta: Dikti. Kompas. 2004. Nyadran untuk Lestarikan Air. Jakarta: Kompas. Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Ummat Islam (edisi terjemahan dari buku asli A History of Islamic Societies oleh Ghufron A. Mas’adi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Markhamah. 2001. Nilai Kemanusiaan (dalam Ilmu Budaya Dasar). Surakarta: Muhammadiyah University Press. Nasucha, Yakub. 2001. Kebudayaan dan Agama (dalam Ilmu Budaya Dasar). Surakarta: Muhammadiyah University Press. Nasucha, Yakub. 2005. Sadranan di Daerah Klaten: Kegiatan Ritual dan Tradisi Budaya Masyarakat Jawa (Penelitian Reguler). Surakarta: LPPM UMS Natsir, M. 1988. Fiqhud Da’wah. Jakarta: Media Dakwah. Ridwan, Edy. 1995. Penjelasan Masalah Tawassul, Hadiah Pahala, Jamuan Kematian, dan Tahlil/Dzikir. Pekalongan: Bahagia Batang. Rochmah, Siti. 1996. Sikap Sosial (judul asli “Social Attitudes” oleh David Krech). Jakarta: Depdikbud. Rofi’i, A. 1982. Islam Menjawab Tantangan Zaman (terjemahan dari Waheeduddin Khan). Surabaya: Bina Ilmu. Salimi, Ibnu. 1998. Pembebasan Diri dari Budaya Syirik (dalam Esensi Ajaran Islam). Surakarta: LSI UMS. Sutopo, Heribertus B. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif: Metodologi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Triyono, Adi. 1989. Memahami Ajaran Keprajuritan dalam Tripama dan Wirawiyata (dalam Widyaparwa Nomor 32). Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. Wahhab, Muhammad bin Abdul. 1996. Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirik. Surabaya: Bina Ilmu. Yitno, Amin. 1998. Dinamika Kebudayaan (makalah Internship Dosen-dosen Ilmu Budaya Dasar seIndonesia). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Zaini, Syahminan. 1984. Mengenal Manusia lewat Al-Qur’an. Surabaya: Bina Ilmu.