BENTUK DAN PERUBAHAN FUNGSI PENDHAPA DALAM BUDAYA MASYARAKAT JAWA Tri Prasetyo Utomo Bani Sudardi Pendhapa dalam makalah ini lebih ditekankan pada bentuk dan perubahan fungsinya. Pendhapa pada umumnya berbentuk Rumah Joglo, dan merupakan rumah yang hanya dimiliki oleh orangorang terpandang. Rumah Joglo berbentuk bujur sangkar dan bertiang empat sebagai tiang utama yang sering disebut Saka Guru. Keempat tiang tersebut menopang atap yang menjulang tinggi di bagian tengahnya yang disebut atap Brunjung. Pendhapa pada mulanya berfungsi sebagai tempat berkumpul, bermusyawarah dan berinteraksi sosial antar warga masyarakat yang tidak saling mengenal. Dalam arsitektur Jawa, Pendhapa disebut Rumah Depan dan berfungsi sebagai ruang tamu. Namun demikian, dalam perkembangannya Pendhapa juga dapat difungsikan sebagai ruang komersial. Hal ini terkait dengan perkembangan budaya dan pola hidup masyarakat, khususnya yang ada di Surakarta. Key word: Pendhapa, Bentuk dan Fungsi.
I. RUMAH DALAM MASYARAKAT JAWA Kebudayaan Jawa yang hidup di kota Surakarta merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di lingkungan Kraton. Peradaban ini mempunyai sejarah kesusasteraan yang telah ada sejak empat abad yang lalu, dan memiliki kesenian yang maju berupa tari-tarian dan seni suara Kraton, serta yang ditandai olah suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkretistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Budha, dan Islam. Hal ini terutama terjadi di kota Kraton Surakarta, di mana berkembang berpuluh-puluh gerakan keagamaan yang kontemporer, yang disebut gerakan kebatinan. Daerah istana-istana Jawa ini disebut Negarigung (Koentjaraningrat, 1984 : 25). Pandangan hidup orang Jawa tidak terlepas dengan peran Raja dan kekuasaan dalam Keraton. Mengingat kedudukan Keraton sebagai pusat jagad raya, maka pengaturan bangunan di dalam Keraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menyelaraskan kehidupan warga komunitas Keraton dengan jagad raya itu. Kedudukan Raja tidak terlepas dari otoritas kekuasaan yang dimiliki, kaitannya pula dengan konsep spiritual yang diduga akibat pengaruh kultur India (Darsiti, 1989: 3). Budaya tradisional tidak lagi menjadi lambang status sosial, siapa saja yang mampu mangangkat dirinya secara ekonomi, sosial, dan intelektual dapat menjadi bagian dari budaya tinggi. Terdapat pula pola baru dalam
profesionalisme dalam kesenian tradisional. Pola magang dalam pewarisan artistik digantikan dengan lembaga-lembaga kesenian. Formalisme budaya kraton yang lama digantikan oleh formalisme plural dari lembaga-lembaga kesenian (Kuntowijoyo, 1987: 29). Masyarakat Jawa bukanlah merupakan sekumpulan manusia yang menghubungkan individu yang satu dengan yang lainnya serta indisidu yang satu dengan masyarakat, namun merupakan satu kesatuan yang terikat antara yang satu dengan yang lainnya oleh norma-norma hidup berdasarkan tradisi maupun religi.Hal ini merupakan landasan masyarakat yang bersifat gotong royong. Sistem hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam hukum adatnya. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah hidup kekeluargaan. Suatu hidup kekeluargaan dapat mewujudkan kehidupan bersama dalam masyarakat yang paling kecil yang disebut masyarakat desa. Beberapa ratus desa yang secara geografis tergabung dalam suatu wilayah, seperti Yogyakarta dan Surakarta, ternyata masing-masing memiliki norma hidup bermasyarakat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, masyarakat yang hidup di daerah-daerah tersebut merupakan masyarakat kekeluargaan yang disebut masyarakat daerah (Budiono Herusatoto, 1991: 42). Arsitektur Rumah Jawa ditentukan oleh budaya dan sikap hidup manusia Jawa. Oleh karena itu dalam perwujudannya, Rumah Jawa merupakan rumah yang merefleksikan kesejahteraan dunia dan akhirat. Pada prinsipnya, Rumah Jawa adalah rumah yang mengacu pada lingkungan hidup, lingkungan religius, lingkungan keluarga dan lingkungan sosial-budayanya. Hal ini disebabkan karena Rumah Jawa beranjak dari konsep tradisi yang ada yaitu bahwa manusia merupakan salah satu elemen dari alam lingkungannya, sehingga manusia harus bersatu dengan Tuhannya. Manusia tidak dapat terlepas dari alam, manusia harus bersatu dengan alam, dan manusia juga harus bersatu dengan Tuhannya. Dengan demikian, tujuan hidup manusia adalah mengikuti alam, menyempurnakan alam dan menjaga alam untuk kesejahteraan dunia dan akhirat. Rumah Jawa terdiri dari berbagai macam bentuk fisik arsitektural, antara lain:
Joglo, Tajug, Limasan, Kampung dan Panggang-Pe. Rumah Joglo merupakan salah satu dari beberapa bentuk Rumah Jawa. Rumah Joglo memiliki bentuk yang berbeda dan
merupakan bentuk paling sempurna di antara bentuk Rumah Jawa lainnya. Dibandingkan dengan wilayah Jawa lainnya, bentuk Rumah Joglo yang berkembang di wilayah Yogyakarta dan Surakarta memiliki karakter yang spesifik. Ditinjau dari segi bentuk dan struktur bangunannya, Rumah Joglo merupakan bangunan yang memiliki konsep bernilai tinggi. Pada sebagian besar masyarakat Jawa, Rumah Joglo difungsikan sebagai bangunan Pendapa. Bentuk fisik Rumah Joglo sebagai bangunan Pendapa, di samping memperhatikan pada nilai-nilai estetika, juga terikat oleh nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat Jawa, seperti sistem tata ruang yang selalu mengacu pada aspek non-fisik yaitu adat istiadat dan kepercayaan yang mereka anut. Oleh karena itu, Rumah Joglo sebagai bangunan Pendapa dapat menyatu dengan lingkungan alam maupun budaya masyarakatnya. Keunikan-keunikan selalu muncul pada bangunan Rumah Joglo, seperti halnya bentuk simetris yang melambangkan keseimbangan dan ke-formal-an, atap menjulang tinggi yang malambangkan sifat karismatik dan wibawa, memiliki empat Saka Guru yang melambangkan kekuatan atau kekokohan dan kekuasaan, memiliki tampak muka-samping-belakang yang berbeda melambangkan sikap yang kurang terbuka serta bangunan menghadap ke selatan yang melambangkan kerakyatan (pengayom bagi rakyat kecil).Kebanyakan bangunan tradisional, mempunyai bagan-bagan penataan yang seringkali berdasarkan atas hal-hal yang suci atau keramat, karena religi dan ritual menjadi pusatnya. Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat tradisional adalah religius (Rapoport, 1979 dalam Wondoamiseno, 1991 : 7). Demikian pula, rumah-rumah tradisional Indonesia tidak dapat lepas dari nilainilai kekeramatan dan juga seringkali mempunyai nilai sebagai perlambang atau simbol. Sebagai contoh: Rumah Jawa, lambang kekeramatan berpusat di sentong tengah (krobongan/pasren/petanen), penghormatan ditujukan kepada Dewi Sri sebagai lambang pelindung kesuburan atau pengantin yang akan meneruskan generasi manusia. Dewi Sri dilambangkan sebagai benih padi yang akan ditanam kembali. Sedangkan patung Loro Blonyo pada umumnya ditempatkan di depan Krobongan.Dari perlambang ini diharapkan, penghuninya akan mendapatkan rasa tenteram dan bahagia di dalam rumahnya. Dengan demikian maka rasa tenteram dan bahagia di dalam rumah
menjadi salah satu latar belakang tujuan hidup orang Jawa. Selain itu bentuk rumah yang simetris menggambarkan keseimbangan atau keselarasan yang ingin dicapai di dalam kehidupan (Dakung, 1982 dalam Wondoamiseno, 1991 : 7). Pada masyarakat Jawa, konsep tata ruang dalam Arsitektur Rumah Jawa terdiri dari beberapa susunan ruang. Selain Griya Ageng/ Dalem, sebagai tempat tinggal keluarga, terdapat pula ruang depan yang disebut Pandhapa yang berfungsi sebagai ruang penerima tamu. Ruang yang berfungsi sebagai ruang keluarga disebut Griya
Ageng/ Dalem atau Omah mBuri (rumah belakang), sedangkan ruang yang digunakan sebagai ruang tamu disebut Pendhapa atau Omah Ngarep (rumah depan). Di antara rumah belakang dan rumah depan terdapat ruang penghubung yang disebut Pringgitan. Kata Pringgitan
berasal dari kata ringgit yang berarti wayang. Pringgitan
pada
umumnya berfungsi sebagai ruang tempat mengadakan pementasan wayang. Penonton
Wayang secara langsung berada di ruang Pendhapayang umumnya terdiri dari kaum laki-laki. Sedangkan bayangan Wayang dapat dilihat dari ruang Dalem yang biasanya dilakukan oleh kaum perempuan. II. BENTUK PENDHAPA
Pendhapa pada umumnya berbentuk Rumah Joglo, dan merupakan rumah yang hanya dimiliki oleh orang-orang terpandang. Rumah Joglo berbentuk bujur sangkar dan bertiang empat sebagai tiang utama yang sering disebut Saka Guru. Keempat tiang tersebut menopang atap yang menjulang tinggi di bagian tengahnya yang disebut atap
Brunjung. Kemiringan atapnya lebih tajam dibanding dengan atap limasan. Pada perkembangannya, pendhapa berbentuk rumah Joglo sudah mengalami banyak perubahan, sehingga
memiliki bentuk yang beragam. Berikut ini adalah
beberapa bentuk pendhapa rumah Joglo :
Gb. Rumah Joglo Hageng
Gb. Rumah Joglo Mangkurat
Pendhapa rumah ’Joglo’ merupakan bangunan Rumah Tradisonal Jawa yang memiliki bentuk paling kompleks. Pada dasarnya Pendhapa rumah ’Joglo’ berdenah segi empat dan hanya bertiang empat yang disebut ’saka Guru’. Jadi hanya merupakan bentuk tengahnya saja dari bentuk Rumah ’Joglo’ yang berkembang hingga sekarang. Perkembangan selanjutnya terjadi penambahan-penambahan pada bagian-bagian sisinya sehingga sehingga tiang-tiangnya bertambah sesuai dengan kebutuhan.
Pendhapa rumah ’Joglo’ merupakan bentuk Rumah tradisional Jawa yang memiliki sarat-sarat paling ideal untuk digunakan sebagai ruang pertemuan. Ditinjau dari struktur bangunannya, Rumah ’Joglo’ juga memiliki struktur lebih lengkap dibandingkan dengan bentuk Rumah Tradisional Jawa lainnya. Rumah ’Joglo’ memiliki bentuk yang sangat fleksible, karena jika ingin memperluas ruang dapat dilakukan hanya dengan menambah ’Emper’ di sekelilingnya, sehingga tiang-tiang dan struktur bangunannya menjadi bertambah lengkap. Rumah ’Joglo’ merupakan bangunan yang memiliki denah ruang yang luas. Rumah
’Joglo’ biasa digunakan sebagai ’Pendapa’ yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan tempat bermusyawarah. Jadi Rumah ’Joglo’ hanya merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam bentuk Rumah Tradisional Jawa. Rumah ’Joglo’ memiliki atap yang menjulang tinggi pada bagian tengahnya yang disebut sebagai atap Brunjung’.
Atap ini pada bagian bawahnya ditopang oleh empat tiang yang disebut ’Saka Guru’. Atap ’Brunjung’ pada Rumah ’Joglo’ memiliki bentuk yang sama pada dua sisi yang saling berhadapan, namun pada sisi depan-belakang memiliki bentuk yang berbeda dengan sisi kanan-kiri. Pada sisi depan-belakang atap tersebut berbentuk trapesium, sedangkan sisi kanan-kiri berbentuk segitiga dengan bagian atas yang meruncing. Atap
’Brunjung’ pada Rumah ’Joglo’ memiliki bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan atap ’Brunjung’ pada Rumah ’Limasan’ maupun Rumah ’Tajug’. Pada Rumah ’Joglo’ bentuk atap ’Brunjung’ lebih tinggi dan memiliki kemiringan atap yang lebih tajam jika dibandingkan dengan atap ’Brunjung’ pada Rumah ’Limasan’. Sedangkan atap
’Brunjung’ pada Rumah ’Tajug’ memiliki empat sisi yang berbentuk sama yaitu segitiga yang meruncing bagian atasnya dan memiliki sudut kemiringan yang sama dengan atap
’Brunjung’ pada Rumah ’Joglo’.
Arah Tampak dan Atap Rumah ’Joglo’ (Sumber: Josep Prijotomo,1995: 25-26).
Selain atap ’Brunjung’, bentuk atap ’Joglo’ memiliki beberapa lapis atap sudut kemiringannya berbeda antara bentuk yang satu sama lainnya. Pada lapis kedua di bawah atap ’Brunjung’ disebut atap ’Penanggap’ dengan sudut kemiringan atapnya
yang lebih landai dari sudut kemiringan atap ’Brunjung’. Pada lapis ketiga dan keempat masing-masing disebut atap ’Penitih’ dan ’Peningrat’. Kedua bentuk atap yang terakhir ini memiliki kemiringan atap yang semakin landai jika dibandingkan dengan kemiringan atap ’Penanggap’ maupun atap ’Brunjung’. Bentuk atap Rumah ’Joglo’ memiliki beberapa tipe berdasarkan bentuk dan jumlah lapisan atapnya, di antaranya bentuk atap berlapis dua, berlapis tiga maupun berlapis empat. Semakin banyak lapisan pada bentuk atapnya, semakin lengkap dan sempurna bentuk Rumah ’Joglo’ tersebut. Tipe Rumah ’Joglo’ yang memiliki bentuk atap berlapis empat merupakan Rumah ’Joglo’ dengan tipe paling sempurna, seperti Rumah ’Joglo Sinom Apitan’ dan Rumah ’Joglo
Hageng’. Sebagai contoh adalah ’Pendapa Agung’ Pura Mangkunegaran Surakarta yang merupakan tipe Rumah ’Joglo Hageng’.
Tampak Depan dan Samping’Pendapa Agung’ Pura Mangkunegaran Surakarta.
Tampak Depan dan Samping ’Pendhapa Dalem Suryohamijayan’ Surakarta.
III.
PERUBAHAN FUNGSI PENDHAPA
Bangunan Pendhapa berbentuk denah segi empat dan memiliki tiang-tiang utama pada bagian tengah ruangan. Dalam perkembangannya, Pendhapa mengalami pelebaran dengan melakukan penambahan tiang-tiang penunjang pada bagian tepinya sesuai dengan kebutuhan ruang. Di samping itu, perluasan Pendhapa juga dilakukan dengan cara
melebarkan ke arah empat sisinya sehingga membentuk selasar yang disebut
Emper. Oleh karena itu, Pendhapa bisa difungsikan sebagai ruang pertemuan atau ruang tempat bermusyawarah antar warga masyarakat yang ada di sekitarnya. Dalam perkembangan budaya masyarakatnya, Pendhapa juga banyak difungsikan sebagai ruang komersial.
Pendhapa adalah rumah depan yang gunanya untuk menerima tamu, istirahat atau keperluan lain, tetapi tidak merupakan tempat tinggal (tidur keluarga). Pada umumnya, Pendhapa selalu terbuka artinya tidak diberi dinding pembatas ruang. Rumah depan atau Pendhapa harus dengan ukuran panjang pemidangan blandar
pengerat, jumlah bilangannya dikurangi kelipatan 5 (lima) bersissa 2 (dua). Misalnya, panjang blandar 17 kaki, dikurangi 3 x 5 = 2 kaki; pemidangan pengerat 12 kaki dikurangi 2 x 5 = 2 kaki. Semua bilangan yang dikurangi kelipatan 5 (lima) bersisa 2 (dua) disebut 12 kaki disebut rumah jatuh sebutan Kitri. Rumah depan atau Pendhapa harus berukuran jatuh Kitri (Hamzuri: 81). Pendhapa merupakan pancaran nilai budaya
suku bangsa Jawa. Hal ini nampak jelas dalam perwujudan fisiknya, seperti bentuk, struktur dan ragam hiasnya. Bentuk fisik Pendhapa, di samping memperhatikan pada nilai-nilai estetik, juga terikat oleh nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat Jawa. Sistem spasial selalu mengacu pada aspek non-fisik yaitu adat istiadat dan kepercayaan yang mereka anut. Oleh karena itu, Pendhapa dapat menyatu dengan lingkungan alam maupun budaya masyarakatnya. Keunikan-keunikan selalu muncul pada Pendhapa, misalnya: bentuk bangunan simetris, bentuk atap Joglo maupun
Limasan, memiliki tiang-tiang utama, memiliki tampak muka dan samping yang berbeda serta menghadap ke selatan. Pendhapa merupakan bangunan dalam Arsitektur Jawa yang terletak pada bagian depan. Bangunan Pendhapa berdekatan dengan Pringgitan dan Griya Ageng (Dalem). Fungsi Pendhapa adalah sebagai ruang tamu, ruang berinteraksi dengan orang lain, serta tempat berkumpul dan bermusyawarah. Bentuk dan setting bangunan Pendhapa memiliki makna yang melambangkan tentang kerukunan antara penghuni dengan masyarakat di sekitarnya. Kebudayaan Jawa yang hidup di kota Surakarta merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di lingkungan Kraton. Peradaban ini mempunyai sejarah kesusasteraan yang telah ada sejak empat abad yang lalu, dan memiliki kesenian yang maju berupa tari-tarian dan seni suara Kraton, serta yang ditandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkretistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Budha, dan Islam. Hal ini terutama terjadi di kota Surakarta, yang berkembang menjadi berpuluh-puluh gerakan keagamaan yang kontemporer, yang disebut gerakan kebatinan. Daerah istana-istana Jawa ini disebut Negarigung (Koentjaraningrat, 1984 : 25). Berdasarkan fakta sejarah, kebudayaan Jawa dahulu berpusat pada kerajaan Mataram sebelum pecah menjadi Kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta.
Mengingat bahwa di Jawa Tengah dahulu kala merupakan pusat
kebudayaan yaitu kraton, maka Surakarta dalam pembahasan selanjutnya dianggap mewakili Jawa Tengah. Hal ini didasarkan pada pemikiran kraton sebagai pusat kebudayaan bagi masyarakat sekelilingnya. Kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah sekelilingnya, pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan kraton. Pandangan hidup orang Jawa tidak terlepas dari peran Raja dan kekuasaan
dalam Kraton. Mengingat kedudukan Kraton sebagai pusat jagad raya, maka pengaturan bangunan di dalam Kraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menyelaraskan kehidupan warga komunitas Kraton dengan jagad raya itu. Kedudukan Raja tidak terlepas dari otoritas kekuasaan yang dimilikinya, berkaitan pula dengan konsep spiritual yang diduga ada akibat pengaruh kultur India (Darsiti, 1989: 3). Budaya tradisional tidak lagi menjadi lambang status sosial, siapa saja yang mampu mangangkat dirinya secara ekonomi, sosial, dan intelektual dapat menjadi bagian dari budaya luhur. Terdapat pula pola baru dalam profesionalitas kesenian tradisional. Pola magang dalam pewarisan artistik digantikan dengan lembaga-lembaga kesenian. Formalisme budaya kraton yang lama digantikan oleh formalisme plural dari lembagalembaga kesenian (Kuntowijoyo, 1987: 29). Kehidupan manusia dalam lingkungan budaya Jawa, pada dasarnya dinyatakan dengan berlandaskan pada empat areal atau lingkup keyakinan, yaitu kepercayaan, ikatan
sosial,
ekspresi
pribadi
(kepribadian)
dan
permasalahan
atau
makna.
Keempatnya akan mempengaruhi pola pemikiran, perbuatan dan karyanya. Dalam hal karya, di dalamnya berlaku pula keberadaan lingkungan buatan atau tempat tinggal atau karya arsitektur sebagai bagian dari kehidupan budaya (Arya Ronald, 2005 : 3). Permukiman dalam konsep urban Jawa merupakan perluasan dari Dalem kraton hingga kawasan Negari Agung. Ada beberapa terminologi yang digunakan untuk menyebut tempat tinggal. Konsep Dalem berarti suatu teritori tempat dunia keluarga bermula. Secara fisik yang disebut hunian atau tempat tinggal orang Jawa dalam terminologi
Dalem itu adalah di dalam pagar tempat rumah itu didirikan. Kata Omah sendiri dekat dengan pengertian Humah dalam bahasa Jawa Kuno berarti lantai yang ditinggali. Ini berarti bahwa di dalam budaya Jawa, konsep rumah itu tidak merujuk semata-mata pada fisik bangunannya, tetapi di dalam wilayah seseorang dan keluarganya itu tinggal. Hal yang tidak permanen pada rumah mungkin erat kaitannya dengan pemikiran tempat tinggal sebagai sebuah kampung halaman, bukan bangunan. Keterikatan sosial yang memberikannya rasa aman dan teritorialitas halaman yang diakui oleh masyarakat sebagai Dalem-nya merupakan struktur utama konsep hunian itu (A. Bagus P. Wiryomartono, 1995: 60).
Pada masyarakat Jawa, susunan rumah dalam suatu keluarga terdiri dari beberapa rumah. Selain rumah khusus untuk tempat tinggal (tidur) keluarga, ada rumah tersendiri sebagai Pendhapa untuk audiensi atau menerima tamu. Rumah untuk tempat tidur keluarga (Dalem) disebut rumah belakang, sedangkan Pendhapa disebut rumah depan. Di antara rumah belakang dan rumah depan terdapat rumah penghubung yang disebut Peringgitan yang berasal dari kata Ringgit atau Anggit artinya wayang. Rumah biasanya untuk mengadakan pertunjukkan wayang, sedangkan para penonton duduk di Pendhapa atau rumah depan. Rumah adalah salah satu hasil kebudayaan. Perkembangan kebudayaan masa lalu sangat bersifat Kraton sentris, sehingga rumah di dalam lingkungan tempat tinggal atau lingkungan (kraton) keluarga tidak lepas dari ketentuan kraton. Yang dimaksud ketentuan kraton bukanlah berarti bentuk dan susunan rumah pada lingkungan keluarga orang kebanyakan harus meniru bentuk dan susunan kraton, bahkan sebaliknya, justru ada larangan meniru susunan rumah tertentu (Serat Kawruh Kalang, Pethikan Griya Jawi: 79). Struktur bangunan rumah Jawa merupakan susunan ruang yang mencerminkan satu bangunan khas seperti: Pendhapa, Peringgitan, Dalem, Pawon, Gandhok, dan Gadri. Relasi antar susunan ini merupakan susunan ruang/ bangunan yang proses perwujudannya sangat dipengaruhi oleh mitologi dan kosmologi Jawa (Suhardi, 2004: 28). Wujud Rumah Jawa merupakan manifestasi dari pandangan hidup (kepercayaan, pengetahuan, etika dan estetika) orang Jawa. Hal ini sebagai jabaran dari konsep hubungan antara manusia Jawa dengan alam sekitarnya. Pada dasarnya Arsitektur Jawa terdiri dari lima macam bentuk dan dari pandangan depan masing-masing memiliki bentuk simetris. Konsep bangunan Pendhapa lebih banyak meletakkan acuannya pada alam, lingkungan, manusia, budaya serta kosmologi yang mereka anut. Sedangkan salah satu faktor yang sangat penting dalam rancangan bangunan Pendhapa adalah skala dan ukuran bangunannya. Satuan ukuran yang digunakan dalam bangunan Pendhapa dalam Arsitektur Jawa berbeda dengan bangunan Pendhapa yang berkembang pada masa kini. Bangunann Pendhapa dalam Arsitektur Jawa menggunakan satuan ukuran yang bersumber dari anggota tubuh manusia Jawa, seperti asta (lengan tangan), pecak (kaki), tebah (selebar telapak tangan), kilan (jarak
antara ujung ibu jari dengan jari kelingking pada saat telapak tangan direntangkan) dan lain sebagainya. Penggunaan skala manusia seperti ini dapat menghasilkan karya rancangan bangunan yang lebih wajar dan sesuai dengan kebutuhan fisik kehidupan sehari-hari masyarakat penghuninya. Satuan dalam bangunan Pendhapa lebih mengacu pada lingkungan alam dan manusia. Pada rancangan bangunan Pendhapa, nampak adanya kematangan rancangan dalam memadukan antara unsur-unsur budaya dengan unsur-unsur estetik. Unsur-unsur yang dimaksud merupakan penyatuan antara unsur transendental dengan kepercayaan dalam konteks kosmologi. Dengan demikian tidak terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan konsep-konsep kepercayaan, seperti pada tampak bangunan, arah/orientasi bangunan, bentuk bangunan, sistem tata ruang serta struktur dan konstruksi bangunannya. Dilihat dari tampilan tampak depan maupun tampak samping bangunan, terlihat bahwa Bangunan Jawa itu menunjukkan kesetangkupan (symmetry) pada masing-masing
perujudannya. Sementara itu, bila
Bangunan Jawa dilihat dari depan, dapatlah dikenali adanya bagian kiwa (kiri) dan bagian tengen (kanan). Bagian kiwa adalah bagian bangunan yang berada di samping kiri arah hadap penghuni, demikian pula halnya dengan bagian tengen (kanan). Kedua bagian ini tak berbeda dari yang sering dikenal dengan sebutan tampak samping bangunan, seperti halnya dengan bagian ngajeng (depan) dan bagian wingking (belakang) yang memiliki unsur-unsur konstruksi yang sama. Dengan kata lain, bagian
ngajeng-wingking bangunan, banyak berhubungan dengan arah pamanjang dari Bangunan Jawa; sedangkan bagian kiwa-tengen berhubungan dengan arah panyelak. (Josef Prijotomo, 1995: 25). Pada masa sekarang nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat semakin beragam dan terbuka (open society). Pada masyarakat demikian, beragamnya nilai-nilai yang berkembang disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari anggota masyarakatnya yang semakin beragam pula. Nilai-nilai masyarakat yang beragam ini memberikan peluang pada berubahnya nilai-nilai budaya Jawa. Demikian juga fungsi dan nilai
Pendhapa yang berkembang pada masyarakat beragam dan terbuka seperti ini, besar kemungkinan akan mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu,
berdasarkan perkembangan kebutuhan masyarakat pada masa sekarang, terjadi pula perubahan fungsi dan nilai Pendhapa dalam Arsitektur Jawa. IV.KESIMPULAN Berdasarkan pada uraian tentang bentuk dan perubahan fungsi pndhapa, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
Masyarakat Jawa di Surakarta merupakan masyarakat Jawa yang memiliki Pandangan hidup yang tidak terlepas dengan peran Raja dan kekuasaan dalam Keraton
Pendhapa yang berkembang di Surakarta, sebagian besar memiliki Karakteristik bentuk Rumah Joglo. Bentuk Rumah Joglo bujur sangkar dan memiliki empat tiang utama yang disebut Saka Guru. Keempat tiang tersebut menopang atap yang menjulang tinggi pada bagian tengahnya, dan atap tersebut dinamakan atap Brunjung.
Pendhapa
dalam
Rumah
Jawa
berfungsi
sebagai
tempat
berkumpul,
bermusyawarah dan berinteraksi sosial antar warga masyarakat. Sedangkan dalam perkembangannya, fungsi Pendhapa bergeser menjadi ruang publik yang bersifat komersial. DAFTAR PUSTAKA Budihardjo, Eko, 1997,” Arsitek dan Arsitektur Indonesia: Menyongsong Masa Depan”, ANDI, Yogyakarta. Budhisantoso,S, 1984, “Identitas Budaya dalam Karya Arsitektur”, Simposium arsitektur, Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, “Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Tengah”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah, Semarang. Hamzuri, “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta.
Ismunandar, 1987,” Jogo: Arsitektur Rumah Tradisional Jawa”, Dahara Prize, Semarang. Kayam, Umar, 1980,” Arsitektur dan Keseimbangan”, Seminar Arsitektur, Bandung. Koentjaraningrat,1984,” Kebudayaan Jawa”, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta. Mulder, Niels, 1996, “Pribadi Masyarakat Jawa”, Pustaka sinar Harapan, Jakarta. Prijotomo, Josef, 1995, “Petungan: Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa”, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Rapoport, A, 1990,” Domestic Architecture and Use of Space”, Cambridge: Cambridge University Press. Ronald, Arya, 1990, “Ciri-ciri Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa”, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. _______, 1985, “Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Tengah”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.