BAB III ROHINGYA DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH
A. Sejarah Etnis Muslim Rohingya Satu versi mengatakan bahwa catatan sejarah mengatakan bahwa bangsa Arakan (Rohingya adalah bagian darinya) berbicara dengan dialek Burma dengan pengucapan klasik dengan konsonan R yang dilemahkan ke suara pengucapan Y seperti akhiran ang, ak, dan lain-lain yang dilembutkan menjadi in, ek dan lain-lain. Dengan perjalanan waktu berabad-abad lamanya, dialek penduduk Arakan dimodifikasi dengan tambahan kata-kata yang berasal dari India. Menurut prof. Kei Nemoto dalam salah satu seminar yang diadakan di Jepang sepakat dengan para ahli sejarah Rohingya bahwa komunitas ini sudah mendiami kawasan Arakan sejak abad ke-8 A.D1. Ibukota Arakan pertama adalah Ramawadi yang dibangun oleh suku Kanran dari kawasan Burma bagian atas. Raja pertamanya bernama Kanrazagyi dengan ibukota dekat Kyaukpadaung. Seribu tahun berikutnya, pada abad sebelum Masehi, Chanda Suriya diangkat menjadi raja2 Enam puluh tahun sebelum dinobatkannya raja Chanda. Para pengungsi Burma berusaha menginvasi Arakan. Namun upaya ini mampu digagalkan bangsa Arakan dan mereka justru dapat menduduki Prome dan Tharekhettara. Dengan
1
Aye Chan, 2005. the Development of a Muslim Enclave in Arakan (Rakhine) State of Burma (Myanmar)”, SOAS Bulletin of Burma Research, Vol. 3, NO.2, Autumn, ISSN 1479- 8484. Hal. 396 2 S.W. Cocks M.A, 1919, A Short History of Burma, London : MacMillan and Co., Limited,. Hal 146-147.
1
demikian, sampai kejatuhan raja Chanda pada tahun 976 A.D. tidak ada catatan sejarah penting yang tercatat3 Pada tahun kejatuhan Chanda, kaum Shan dari Burma menginvasi Arakan dan berhasil menduduki kawasan ini selama 18 tahun dengan merampas seluruh kekayaan penduduk termasuk arca-arca Budha yang dimiliki mereka. Setelah itu Anawrahta yang berkuasa di Burma pun menginvasi Arakan demikian juga setelah itu dan seterusnya. Arakan pada tahun 1389 terlibat pertempuran saat perang terjadi antara Burma dan Pegu dengan berpihak kepada Talaings4. Raja Burma Min Khaung menginvasi Arakan pada tahun 1404-1406 yang menyebabkan raja Arakan meminta suaka ke Bengal selama 20 tahun. Saat kekosongan ini, Arakan menjadi medan pertempuran antara Pegu dan Burma. Kedua raja penguasa Pegu dan Burma silih berganti menduduki Arakan, dan Talaings merupakan raja terakhir mereka. Pada tahun 1430, Nazir Shah raja Bengal yang beragama Muslim bergerak mengembalikan Min Saw Mun sebagai raja Arakan dengan mendirikan ibukota baru bernama Myauk-u atau disebut dengan kota Arakan (Myohaung). Ia berkuasa dengan perlindungan dari penguasa Bengal5. Menurut penulis, pada periode ini penting untuk dianalisa sebab pada masa ini pertemuan dan interaksi bangsa yang terjadi di kawasan ini dapat melahirkan perbauran dan arus perpindahan penduduk antara Arakan dan Bengal yang menjadi fase penting akan kehadiran asal muasal etnis Rohingya. Hal itu 3
Ibid. S.W. Cocks, Loc.Cit. 5 Ibid. 4
2
bukan tanpa alasan, sebab wilayah lembah dan pegunungan yang ada sangat subur yang tentu menarik orang untuk bertani dengan baik. Interaksi, akulturasi dan bahkan asimilasi terjadi sehingga antara penduduk asli Arakan dan Bengal yang hampir tidak berjarak hanya dibatasi hutan dan sungai bercampur baur menyatu menjadi ras tersendiri. Realitas ini membuat kita tidak bisa memisahkan antara penduduk Arakan yang beragama Islam dengan Arakan yang beragama Budha. Kondisi seperti ini tidak berhenti disini, ketika pertempuran terus terjadi antara Burma, Arakan dan Pegu, Bengal seringkali menjadi pihak yang dimintai bantuan oleh salah satu dari pihak yang bertikai6. Catatan sejarawan mengatakan bahwa Muslim telah mendiami kawasan Rohang atau Arakan sejak abad ke-15 seperti itu juga terjadi dengan Indonesia, Malaysia dan wilayah sekitar7 dan bahkan ada yang mengatakan komunitas ini telah berada di sana sejak abad ke-7 A.D8.
6
Ibid. Covering Burma and Southeast Asia, dalam http://www.irrawaddy covering Burma and southeast Asia.org/archives/8642 diakses 1 Juni 2015. 8 Learn About Rohingya dalam http://www.rohingya.org/portal/index.php/learn-aboutrohingya.html diakses 1 Juni 2015 7
3
Peta Myanmar
Sumber : www.topik9.com
Menurut catatan sejarah, ada beberapa versi asal muasal bangsa Rohingya di sini. Pertama, ada yang mengatakan bahwa mereka bukanlah keturunan Arab tetapi generasi Muslim Chittagonian yang berimigrasi dari Bengal saat Burma dijajah oleh Inggris9. Kedua, terminologi Rohingya mulai dikenal untuk penamaan sebuah komunitas oleh sebagian kecil kaum intelektual Muslim Bengal yang mendiami bagian tenggara Arakan di awal 1950-an. Mereka adalah keturunan para imigran berasal dari Chittagong Timur Bengal (baca : Bangladesh sekarang) dengan perjanjian Yandabo saat perang Inggris –Burma 1 berakhir (1824-1826)10. Ketiga, dalam skrip Ananda Chandra dikatakan pada tahun 957 AD, terjadi migrasi populasi TibetoMaung Tha Hla, 2009. “Rohingya Hoax, Buddhist Rakhaing Cultural Association”, New York Human Rights Watch, “All you can do is pray”, crimes againts humanity and ethnic cleansing of Rohingya Muslim in Burma‟s Arakan State. Hal. 20-21 10 Aye Chan, Op.Cit. Hal. 396-420 9
4
Burman Theraveda Buddhist ke kawasan Arakan. Dengan mengalahkan balatentara Chandra mereka menguasai Arakan dan orang-orang yang berparas seperti India kembali mendiami wilayah bagian utara Arakan atau balik ke Bengal. Ini merupakan exodus orang berparas India pertama ke Bengal11. Keempat, Rohingya adalah masyarakat mayoritas Muslim dan minoritas Hindu yang secara rasial berasal dari Indo-Semitic. Mereka bukanlah kelompok Arakan (Rakhine) etnis yang berkembang dari gabungan satu suku atau ras tertentu. Mereka adalah percampuran dari Brahmin dari India, Arab, Moghuls, Bengalis, Turks dan Asia Tengah yang mayoritas sebagai pedagang, pejuang dan juru dakwah datang melalui laut dan berdiam di Arakan. Pada zaman Chandra, mereka bercampur baur dengan masyarakat lokal dan melahirkan generasi masyarakat Rohingya12. Lebih dari itu, data modern mengatakan bahwa eksistensi komunitas Rohingya dimulai sejak dekade- 19 ketika pemerintahan colonial Inggris mulai mengimigrasikan orang India dan Bengal kekawasan Arakan sebagai tenaga kerja kasar dengan upah murah13. Terlepas dari apapun data dan informasi yang dapat penulis temukan, kesulitan pembuktian kongkrit perihal asal muasal Muslim Rohingya tetap saja menjadi persoalan tersendiri. Di satu sisi, literatur yang ditulis oleh intelektual Rakhine sudah hampir dapat dipastikan punya subjektifitas yang kental sehingga muara etnis Rohingya adalah imigran dari
Abid Bahar, Burma‟s Rohingya Origin in the Ancient Kingdom of Arakan : Understanding the Arab – Chandra synthesis, Dalam http://www.rohangpress.com/?p=110 diakses 1 Juni 2015 12 Ibid. 13 Ibid. 11
5
kawasan Bangladesh. Di sisi lain, penulis dari intelektual Rohingya sudah dapat dipastikan defensif dengan mengatakan etnis Rohingya adalah bagian integral dari etnis asli Arakan dahulu (Rakhine sekarang ini). Tetapi mungkin kita dapat angkat disini sebuah data dari seorang Francis Buchanan-Hamilton (seorang ahli bedah yang berkontribusi dalam bidang geografi, zoologi dan botani asal Skotlandia yang berkarir di India antara tahun 1803- 1814) berhasil menulis sebuah kajian yang ilmiah tentang kajian sejarah dan asal muasal bahasa etnis di Myanmar yang dapat memperkuat posisi etnisitas kaum Rohingya yang berdasarkan perbahasaan bahwa mereka sudah mendiami kawasan Burma (Myanmar) ini berabad-abad lalu14. Tabel 3.1 : Data Myanmar Negara Perbatasan Ibukota Kemerdekaan
: Myanmar (sebelumnya Burma) : Bangladesh, India, China, Laos dan Thailand : Rangoon (Yango) : 04 Januari 1948 : 60 juta Etnis : Mon 2,4%; Chine 2,2%; Kachine 1,4%;
Penduduk Lainnya 5,8% Agama
: Budha 89%; Kristen 5%; Muslim 4%; Hindu 0,5%
Jumlah
: 1,8 juta jiwa (Rohingya tidak diakui sebagai salah satu
Rohingya
135 etnis resmi oleh undang-undang Kewarganeraan 1982)
Sumber : http://in.reuters.com/article/2013/06/11/myanmar-rohingya
14
Francis Buchanan-Hamilton, 1799. "A Comparative Vocabulary of Some of the Languages Spoken in the Burma Empire". Asiatic Researches (The Asiatic Society) 5. Retrieved 9 July 2012. Hal. 219-240
6
Dalam konteks Arakan, peristiwa yang cukup penting untuk dicatat bahwa ia merupakan wilayah kerajaan independen sebelum diduduki oleh raja Bodawpaya tahun 1784 di mana bencana gempa bumi tahun 1761 dan 1762 dipersepsi sebagai penyebab kejatuhan kerajaan ini15. Arakan dewasa ini sudah berubah nama menjadi Rakhine dengan luas wilayah 36,762 km2 dengan ibukota Sittwe yang berbatasan langsung dengan wilayah Chine di Utara, Magway, Bago dan Ayeyarwady di Timur, Danau Bengal di Barat dan Chittagong Bangladesh di Barat Daya16. Populasi wilayah Rakhine adalah 3,183,330 jiwa dengan komposisi etnis yang heterogen yaitu Rakhine, Chine, Mro, Chakma, Khami, Dainet, Maramagri dan Rohingya. Menurut pendapat pemerintah Myanmar bahwa etnis Rakhine dengan agama Budha merupakan etnis mayoritas di wilayah ini. Tetapi berbagai sumber survey lokal paska kerusuhan etnis 2012 bahwa etnis Rohingya Muslim menempati 40.75% dari populasi Rakhine dan menempati urutan etnis terbesar kedua setelah Rakhine17. Walaupun demikian, penulis kesulitan menelusuri lebih jauh literature-literatur yang tersedia guna membuktikan mana klaim yang benar terkait dengan komposisi demografis Rakhine. Demikian juga halnya kesulitan lain untuk mendapatkan literature terkait perkawinan silang antaretnis yang ada di Arakan kecuali data perbauran demografis seperti yang disinggung di atas.
15
Aye Chan, Op.Cit. Hal. 396 Rakhine State, dalam http: www.myanmars.net/myanmar/rakhine-state.htm diakses 1 Juni 2015 17 Ibid. 16
7
Namun perlu diangkat di sini bahwa secara fisik tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Rohingya dan Rakhine memang berbeda, Rohingya berparas wajah seperti orang-orang Bangladesh sementara etnis Rakhine berperawakan lebih mendekati orang Melayu. Selain itu, komunitas Rohingya beragama Islam dengan kaum wanitanya berpakaian seperti kaum Hawa di Bangladesh sementara komunitas Rakhine beragama Budha dengan kuilkuilnya. Muslim Rohingya di Arakan atau Rakhine dapat dibagi dalam beberapa kelompok etnis berikut : (1) Bengalis Chittago mendiami wilayah Mayu Frontier. (2) Muslim keturunan masyarakat Muslim Arakan dari zaman Mrauk (1430-1784) yang mendiami kawasan MraukU dan Kyauktau. (3) Muslim keturunan pedagang yang mendiami pulau Ramree yang dikenal dengan sebutuan Kaman. (4) Muslim dari wilayah Myedu Burma Pusat, mereka adalah Muslim yang dibawah oleh kaum penjajah Arakan di tahun 178418. Adapun historis akar konflik Etnis Muslim Rohingya dan Etnis Budha Rakhine. Menurut laporan Human Right Wacth yang berjudul“All you can do is pray, crimes againts humanity and ethnic cleansing of Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State”,menerangkan bahwa konflik kontemporer ini dapat ditarik paling tidak berawal dari Perang Dunia Kedua, ketika masyarakat Rohingya tetap loyal pada penguasa kolonial Inggris19. Sementara masyarakat Arakan lain berpihak pada kolonial Jepang. Permusuhan dan pertikaian antar kedua etnis Rohingya dan Rakhine secara historis tidak dapat dengan mudah 18 19
Aye Chan, Op.Cit. Hal. 397 Human Rights Watch, 2013, “All you can do is pray”, crimes againts humanity and ethnic cleansing of Rohingya Muslim in Burma‟s Arakan State. Hal.22
8
dihentikan. Dengan bukti, pertikaian berdarah terus berlanjut hingga kini. Bahkan Zak Rose di situs www.geopoliticalmonitor.com menyebutkan interaksi Rohingya dengan orang asing dan pemerintahan setempat secara historis adalah interaksi kekerasan. Ketika Perang Dunia ke II terjadi Jepang menginvasi Myanmar menguasai negeri dan mengusir kolonialis Inggris. Saat peristiwa ini terjadi komunitas Rohingya ditarget secara brutal oleh kekuatan militer Jepang yang dibantu oleh kelompok etnis Rakhine dan Burma yang menyebabkan eksodus Rohingya dari Arakan. Ketika ada gerakan komunitas Rohingya untuk mendapatkan hak mereka di Arakan, pemerintahan militer terus lakukan pemberangusan terhadap komunitas ini dari tahun 1960-1970an. Kebijakan ini terus berlanjut yang diklaim sebagai kebijakan devide-et-impera (politik pecah belah) dengan target mengeluarkan etnis minoritas dari percaturan politik mainstream. Devide-et-impera adalah politik pecah belah kombinasi strategi politik,militer dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah di taklukan. Hal itu dengan bukti tahun 1980an pemerintah Rangoon mengeluarkan legislasi yang menegaskan status Rohingya sebagai komunitas tidak berkewargaannegara manapun (stateless people). Versi lain mengatakan bahwa konflik tidak berkesudahan ini dapat berujung pada pembersihan etnis atau ethnic cleansing20.
20
Maung Tha Hla, Loc.Cit.
9
Menurut sejarawan Prancis, Dr. Jacques P. Leider yang meriset sejarah Arakan sejak dua dekade silam bahwa akar masalahnya bukan karena sikap rasis kaum Budha di Rakhine tetapi itu lebih pada reaksi emosional mereka yang sangat kuat21. Sebuah emosi reaksional yang berangkat dari kondisi di mana desa-desa di Rakhine banyak didiami oleh Muslim dengan pertumbuhan populasi yang masif. Menurut Jacques, permusuhan ini bukan karena hal lain kecuali ; satu, persoalan perebutan tanah; kedua, pertumbuhan Muslim lebih cepat dari kaum Rakhine; ketiga, xenophobia atau kebencian kaum Budha Rakhine terhadap Muslim. Dengan arus demokratisasi yang mulai menggeliat di Myanmar dewasa ini dan tekanan dunia internasional bagi pemerintahan Rangoon, diharapkan kebijakan anti-Rohingya di Rakhine dapat membaik. Kendati realitasnya belum dirasakan oleh banyak pengamat. Konflik dan
pertikaian
antara
Muslim
dan
Budha
Myanmar
khususnya
Arakan/Rakhine sudah berusia panjang. Secara manusia normal, tidak ada seorangpun yang menginginkan hidup dalam kebencian dan permusuhan tidak berkesudahan. Semua orang ingin hidup damai. Namun ketika sebuah komunitas terus membenci dan memusuhi kaum, ras atau pengikut agama lain secara turun temurun, ada faktor x yang menjadi penyebab. Oleh karena itu, penulis meyakini bahwa ada otak atau pemimpin dalam konflik ini. Tidak mungkin pertikaian ini terjadi tanpa desain. Menurut liputan media, seorang biksu muda bernama Win Rathu, seorang biksu kharismatik dan terpandang di
21
http://www.irrawaddy.org/archives/32652 diakses 1 Juni 2015
10
wilayah Mandalay dan dijuluki “the Fighting Monk” (biksu petarung) sebagai otak konflik berdarah dan pembersihan-etnis terhadap masyarakat Rohingya akhir-akhir ini. Asia Times menstigma agamawan Budha ini dengan sebutan “leader of a growing anti-Muslim movement” (pimpinan gerakan anti-Muslim yang kian tumbuh)22. Pada tanggal 14 September 2003 lalu, ia berbicara di hadapan sekitar tiga ribu biksu memprovokasi mereka untuk punya pandangan yang sama bahwa Muslim adalah maling dan teroris. Wathu adalah orang pertama yang mengklaim bahwa sanksi Amerika terhadap Myanmar bukan karena pemerintahan junta militer, tetapi karena eksistensi teroris Muslim yang ia klaim23. Dalam salah satu statemen Rathu mengatakan : “Kita punya sebuah masalah di Myanmar; kita punya masalah di sini di Mandalay. Masalah itu adalah Islam. Banyak orang Muslim baru di Mandalay dari Pakistan (dan Bangladesh). Orang-orang ini adalah maling dan teroris. Mereka tidak menghormati agama kita dan wanita kita. Kita adalah kaum Budha, dan kita adalah orang pecinta damai, tetapi kita harus melindungi diri kita.
B. Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Imigran Gelap Setelah pembahasan mengenai imigran gelap yang berada di Indonesia, berikut ini akan dibahas kebijakan pemerintah Indonesia atau peraturan perundang-undangan yang terkait erat dengan masalah imigran
Myanmar’s Muslim sideshow (21 Oktober 2003), dalam http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/EJ21Ae01.html diakses 1 Juni 2015 23 Anti-Muslim Monk Wirathu’s Talk On Arakan Conflict dalam http://www.mmediagroup.com/en/archives/7258 diakses 1 Juni 2015 22
11
gelap. Peraturan perundang-undangan Indonesia yang terkait erat dengan masalah imigran gelap adalah Undang-undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian) serta Instrumen HAM dalam UndangUndang Dasar 1945. Sebelum diundangkannya UU keimigrasian, sudah banyak peraturan yang mengatur masalah keimigrasian di Indonesia. Baik yang merupakan peninggalan kolonial Hindia Belanda maupun pemerintah Republik Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Semua peraturan yang ada sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkannya UU Keimigrasian pada 31 Maret 1992 yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 33. UU Keimigrasian tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan imigran gelap. Yang ada adalah definisi mengenai keimigrasian, yaitu hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara Republik Indonesia, sebagaimana tercantum jelas pada pasal 1 angka 1 UU keimigrasian. Sedangkan orang Asing adalah orang bukan Warga Negara Republik Indonesia (Pasal 1 angka 6). Dengan melihat definisi ini, jelas terlihat kaitan antara imigran gelap dengan UU Keimigrasian, karena imigran gelap dalam penulisan ini adalah orang asing yang berada di wilayah Indonesia. Berikut ini adalah pasal-pasal dalam UU Keimigrasian yang berkaitan dengan imigran gelap24. 1. Pasal 3 : Pasal ini menyatakan setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki Surat Perjalanan. Surat perjalanan 24
“ Undang-undang keimigrasian” http://www.imigrasi.go.id/index.php/produk-hukum/undangundang diakses 10 April 2015.
12
adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang memuat identitas pemegangnya dan berlaku untuk melakukan perjalanan antar negara (Pasal 1 angka 3). 2. Pasal 4 Ayat (1) ini menyatakan setiap orang asing dapat memasuki wilayah Indonesia setelah mendapat Izin Masuk. Izin masuk adalah izin yang diterakan pada visa atau Surat Perjalanan orang asing untuk memasuki wilayah Indonesia yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemerikasaan Imigrasi (Pasal 1 angka 8) 3. Pasal 6 ayat (1) : Pasal ini menyatakan setiap orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia harus memiliki Visa. Visa adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia atau di tempat lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang memuat persetujuan bagi orang asing untuk masuk dan melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia (Pasal 1 angka 7). Pengecualian dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) ini diatur dalam pasal 7 UU Keimigrasian. 4. Pasal 8 : Pasal ini menyatakan pejabat imigrasi dapat menolak atau tidak member izin kepada orang asing untuk memasuki wilayah Indonesia apabila orang asing tersebut tidak memiliki Surat Perjalanan yang sah, tidak memiliki Visa, menderita gangguan jiwa atau penyakit menular yang membahayakan kesehatan umum, tidak memiliki izin masuk kembali atau tidak mempunyai izin untuk masuk ke negara lain, atau telah member
13
keterangan yang tidak benar dalam memperoleh Surat Perjalanan dan/atau visa. 5. Pasal 24 ayat (1) dan (2) : Pasal ini menyatakan persyaratan bagi orang asing untuk dapat memasuki wilayah Indonesia, yaitu memiliki Izin Keimigrasian yang terdiri dari Izin Singgah, Izin Kunjungan, Izin Tinggal Terbatas, dan Izin Tinggal Tetap. Definisi keempat jenis izin ini diberikan dalam pasal 25 UU Keimigrasian. Izin singgah adalah izin yang diberikan kepada orang asing yang memerlukan singgah di wilayah Indonesia untuk meneruskan perjalanan ke negara lain. Izin Kunjungan adalah izin yang diberikan kepada orang asing yang berkunjung ke wilayah Indonesia untuk waktu yang singkat dalam rangka tugas pemerintahan, pariwisata, kegiatan sosial budaya, atau usaha. Izin Tinggal Terbatas adalah izin yang diberikan kepada orang asing untuk tinggal di wilayah Indonesia dalam jangka waktu yang terbatas. Izin Tinggal Tetap adalah izin yang diberikan kepada orang asing untuk tinggal menetap di wilayah Indonesia. 6. Pasal 35 : Pasal ini menyatakan Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk orang asing dapat diberikan kepada orang asing yang tidak mempunyai surat perjalanan yang sah dan atas kehendak sendiri keluar dari wilayah Indonesia (sepanjang ia tidak terkena pencegahan), atau dikenai tindakan pengusiran atau deportasi, yaitu tindakan mengeluarkan orang asing dari Indonesia karena keberadaannya tidak dikehendaki, atau dalam keadaan tertentu yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk orang Asing diberikan untuk satu kali
14
perjalanan, di Indonesia diberikan oleh pejabat Imigrasi yang ditunjuk oleh Menteri Kehamikan. Sedangkan diluar negeri diberikan oleh pejabat Imigrasi atau pejabat dinas luar negeri pada kantor perwakilan Republik Indonesia yang ditunjuk oleh Menteri Luar negeri. Pejabat Imigrasi dimaksud adalah Kepala kantor Imigrasi setempat (tempat imigran gelap berada) dengan persetujuan Direktorat Jenderal Imigrasi. Alurnya adalah Kepala Kantor Imigrasi melapor ada imigran gelap ke Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM cq. Kepala Divisi Imigrasi. Kepala Divisi Imigrasi kemudian melapor kepada Direktur Jenderal Imigrasi. Direktur Jenderal Imigrasi kemudian melapor kepada Menteri Kehakiman dan HAM. Jika Menteri Kehakiman dan HAM menyetujuinya, Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk orang Asing pun diterbitkan. 7. Pasal 36 : Pasal ini menyatakan anak-anak yang berumur dibawah 16 tahun dapat diikut seratakan orang tuanya. 8. Pasal 44 : Pasal ini menyatakan setiap orang yang berada di wilayah Indonesia di tempatkan di Karantina Imigrasi apabila berada di wilayah Indonesia tanpa memiliki izin keimigrasian yang sah atau dalam rangka menunggu proses pengusiran atau deportasi keluar wilayah Indonesia. 9. Pasal 53 : Pasal ini menyatakan orang asing yang berada di wilayah Indonesia secara tidak sah atau pernah diusir atau dideportasi dan berada kembali di wilayah Indonesia secara tidak sah, dipidana dalam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00.
15
Dalam
kerangka
UU
Keimigrasian,
pemerintah
Indonesia
menempatkan imigran gelap di Karantina Imigrasi, sesuai dengan ketentuan pasal 44 UU tersebut. Pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap imigran gelap berdasarkan pasal 36 dan untuk memudahkan perjalanan para imigran gelap yang sebagian besar tidak memiliki Surat Perjalanan yang sah, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat perjalanan Laksana Paspor untuk orang Asing yang hanya diberikan untuk satu kali perjalanan, sesuai dengan ketentuan Pasal 35 UU Keimigrasian. Sementara itu, pengaturan dan perlindungan hak asasi manusia juga terdapat pada Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tetapi yang berkaitan dengan Imigran Gelap khususnya pasal 9, 11, 12, 21, 22, 26, 28, 29, 30, 33, 34, 35, 71, dan 72. Pasal 71 dan 72 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia meliputi langkah implementasi yang efektif dala bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan keamanan negara, dan bidang lainnya yang diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional yang telah diratifikasi25.
C. Organisasi Internasional yang menangani Imigran Gelap Penanganan permasalahan imigran gelap tidak hanya menjadi tanggung jawab negara-negara saja, tetapi juga organisasi internasional. 25
Sri Badini Amidjojo, S.H., M.H. , 2004, Perlindungan Hukum terhadap Pengungsi Berdasarkan Konvensi Jenewa 1951, Jakarta : Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI. Hal 37-38.
16
Berikut ini akan dibahas organisasi internasional yang berperan dalam penanganan imigran gelap, yaitu International Organization for Migration (IOM). Selain IOM, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) juga akan dibahas, karena walaupun UNHCR merupakan badan PBB yang mengurusi pengungsi, UNHCR dan IOM selalu bekerja sama dalam melaksanakan perannya masing-masing. a. International Organization for Migration (IOM) a. 1. Sejarah terbentuknya IOM26 Sejarah perjalanan International Organization for Migration atau Organisasi Internasional untuk Migrasi (untuk selanjutnya akan disingkat menjadi IOM) dimulai pada 1951. Pada tahun tersebut dilangsungkan Konferensi Migrasi International di Brussels, Belgia, atas inisiatif dari sang tuan rumah dan Amerika Serikat. Konferensi tersebut melahirkan Provisional Intergovernmental Committee for the Movements of Migrants from Europe (PICMME) atau Komite Antar Pemerintah Sementara untuk pergerakan Migran dari Eropa. PICMME kemudian merubah namanya menjadi Intergovernmental Committee for European Migration (ICEM) atau Komite Antar Pemerintah untuk Migrasi Eropa. Sesuai dengan namanya, ICEM bertujuan dan bertanggung jawab dalam menangani permasalahan migrasi dan pemukiman kembali di negara ketiga (resettlement) dari pada pengungsi dan orang-orang yang tercabut dari akarnya (displaced person). 26
“Sejarah IOM” http://www.iom.int/cms/en/sites/iom/home/about-iom-1/history.html diakses 10 April 2015
17
Pada era 1950-an, ICEM menangani pemrosesan dan emigrasi lebih dari 406.000 orang pengungsi, orang-orang yang tercabut dari akarnya, dan migrant karena alasan ekonomi (economic migrants) dari Eropa ke negara-negara lain. Antara 1956 dan 1957, ICEM memikul tanggung jawab untuk menangani resettlement atas sekitar 180.000 orang pengungsi asal Hungaria menuju Austria dan Yugoslavia. Pada 1960, ICEM telah membantu 1 juta orang migrant secara langsung. Kemudian pada 1964, ICEM memulai program migrasi untuk Pembangunan (Migration for Development Programmes) dengan tujuan merekrut dan menempatkan migran-migran berkualitas tinggi di negaranegara berkembang yang terletak di daratan latin. Pada 1968, ICEM kembali melakukan resettlement assistance bagi pengungsi-pengungsi Yahudi yang berasal dari Uni Soviet. Pada tahun itu juga ICEM membantu UNHCR dalam resettlement 130.000 orang pengungsi yang berasal dari Bangladesh dan Nepal menuju Pakistan. Satu tahun kemudian, pada 1972, ICEM membantu mengevakuasi dan resettlement orang-orang Asia dari Uganda. Pada 1973, sebuah program resettlement khusus telah membantu lebih dari 31.000 orang Chili bermukim di negara ketiga. Dengan demikian ICEM telah membantu 2 juta orang migrant secara langsung. Pada
1974,
ICEM
menjadi
forum
untuk
diskusi-diskusi
internasional dan ajang pertukaran pengalaman antar pemerintah dan organisasi-organisasi lainnya yang bergerak dibidang migrasi. ICEM juga meluncurkan Return of Talent Programme bagi orang-orang yang berasal
18
dari Amerika Latin namun bertempat tinggal diluar negeri. Pada 1975, ICEM berinisiatif untuk me-resettlement pengungsi-pengungsi dan orangorang yang tercabut dari akarnya di Indo-China. Pada 1980, Dewan ICEM mengganti nama organisasi tersebut menjadi Intergovernmental Committee for Migration (ICM) atau Komite Antar Pemerintah untuk Migrasi sebagai bentuk pengakuan terhadap perkembangan perannya yang semakin mengglobal. Hingga saat itu, ICM telah membantu 3 juta orang migran secara langsung.Pada 1983, ICM memperluas jangkauan Program Migrasi untuk pembangunan kepada warga negara-negara Afrika, dan pada 1985, program itu diperluas lagi hingga mencapai Asia. Sebanyak 4 juta orang migrant telah dibantu secara langsung oleh ICM dan hingga 1986, 1 juta orang pengungsi Indo-China telah dibantu sejak 1975, dan pada 1989 ICM kembali berganti nama menjadi International Organization for Migration (IOM) setelah amandemen dan ratifikasi Konstitusi 1953. a. 2. Misi, Tujuan dan Fungsi IOM27 Sebagai suatu organisasi, IOM tentu memiliki misi, tujuan, dan prinsip yang dipegang teguh dalam menjalankan misi guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan tersebut. Prinsip IOM adalah bahwa apabila suatu migrasi dilakukan, migrasi itu harus membawa dampak yang menguntungkan bagi masyarakat dan migran itu sendiri. Karena itu, dalam
27
“Misi IOM” http://www.iom.int/cms/en/sites/iom/home/about-iom-1/mission.html diakses 11 April 2015
19
kapasitasnya sebagai organisasi antar pemerintah, IOM selalu bekerjasama dengan masyarakat internasional dengan cara : 1. Membantu pemerintah menghadapi tantangan operasional dalam manajemen migrasi yang semakin berkembang. 2. Mengusahakan pemahaman yang lebih mendalam atas masalahmasalah migrasi dan yang terkait dengannya. 3. Mendukung perkembangan dibidang sosial dan ekonomi melalui migrasi. 4. Menjunjung tinggi martabat dan kesejahteraan para imigran. Agar misinya dapat terlaksana dengan baik, IOM telah menetapkan tujuan strategis, yaitu menjadi organisasi kelas dunia yang menjadi pemimpin dalam bidang migrasi. Untuk itu IOM mengembangkan pula tujuan umumnya sebagai berikut : 1. Untuk menyediakan keamanan, kepercayaan, dan pelayanan berbiaya efektif terhadap setiap orang yang meminta bantuan migrasi internasional. 2. Untuk menyediakan bantuan migrasi bagi mereka yang terancam keamanannya atau berada dalam keadaan darurat. 3. Untuk menjadi pusat referensi informasi bagi migrasi internasional, regional, maupun internal. 4. Untuk menyediakan kerja sama dan saran (expert advice) bagi pihak pemerintah, antar pemerintah, organisasi-organisasi non pemerintah,
20
dan pihak-pihak lain yang berkecimpung maupun terkait dengan masalah migrasi. 5. Untuk mempromosikan pembangunan sosial dan ekonomi di negara di mana IOM beroperasi melalui perencanaan dan implementasi program-program yang terkait dengan migrasi, termasuk transfer pengetahuan guna pengembangan sumber daya manusia. 6. Untuk menjadi forum dan menyediakan kepemimpinan dalam debat internasional dibidang migrasi. 7. Untuk mengusahakan dan menjalankan program-program yang memfasilitasi kembalinya atau re-integrasinya displaced persons dan migrant lainnya, dengan mengingat kebutuhan dan perhatian bagi komunitas lokal. 8. Untuk membantu pemerintah dan migran menemukan solusi dari masalah-masalah dan penyebab terjadinya migrasi illegal. 9. Untuk bekerja guna di hargainya hak-hak migrant. Selain memiliki prinsip, misi dan tujuan, IOM juga memiliki fungsi, sebagai berikut : 1. Menangani perencanaan dan permintaan akan migrasi oleh wargawarga negara agar memnuhi kebutuhan dan sesuai dengan persyaratan yang ada baik pada negara emigrasi maupun negara tujuan imigrasi. 2. Memindahkan (transfer) sumber daya manusia yang berkualitas untuk mempromosikan kemajuan dibidang ekonomi, sosial, dan budaya dari negara penerima. 21
3. Melaksanakan pemindahan terencana atas pengungsi, displaced persons, dan individu lain yang terpaksa meninggalkan rumahnya. 4. Penyedia bantuan teknis dan memberikan saran-saran. 5. Penyedia forum bagi negara-negara dan pihak lainnnya untuk saling mendiskusikan pengalaman, bertukar pandangan, menemukan caracara, dan mempromosikan kerjasama dan koordinasi dalam masalah migrasi. a. United Nation High Commissioner for Refugees b. 1. Sejarah UNHCR Masalah pengungsi telah lama menjadi perhatian masyarakat Internasional. pada 1917 ketika revolusi Bolshevik pecah di Rusia, sekitar 800.000 orang pengungsi terdampar diseluruh penjuru Eropa28. Mereka terlunta-lunta tanpa makanan, tanpa harta,tanpa tempat berteduh, tanpa fasilitas kesehatan, maupun perlindungan hukum. Berdasarkan Dekrit bertanggal 20 Desember 1921 yang dikeluarkan oleh Dewan Komisariat Rakyat (The Council of Commissioner of People), semua warga Rusia yang berada diluar negaranya dan menolak kembali ke Uni Soviet, dihapus kewarganegaraannya29. Melihat keadaan yang memperihatinkan ini, kepala Palang Merah Rusia (Russian Red Cross), dengan didukung oleh Komite Palang Merah Internasional atau International Committee of the
28 29
Alina Kaczorowska,2003, Public International Law, ed. 2, Old Bailey Press, Hal. 305. Ibid.
22
Red Cross (ICRC), menulis surat pada Liga Bangsa-Bangsa (LBB) meminta bantuan ekonomi dan hukum30. Hal ini ditanggapi oleh LBB dengan membentuk the office of the High Commissioner for Russian Refugees (OHCR) pada 27 Juni 1921 dan Dr. Fridtjof Nansen ditunjuk untuk memimpinnya31. OHCR mengemban tiga
tugas
utama,
yaitu
menyediakan
bantuan
kemanusiaan,
memmfasilitasi, dan mengkoordinasi repatriasi para pengungsi ke Rusia. Perlindungan terhadap pengungsi Rusia ini dengan cepat diperluas menjadi perlindungan bagi kelompok pengungsi lain seperti Assyria, Turki, Armenia, Austria, dan kaum Yahudi Jerman32. Setelah Perang Dunia II jumlah pengungsi, orang-orang tanpa warga negara, dan orangorang yang tercabut dari akarnya meningkat hingga mencapai 21 juta orang33. Untuk mengatasi hal ini, PBB membentuk the International Refugee Organization (IRO) pada 1948 yang memiliki tugas utama untuk merepatriasi para pengungsi, menggantikan the United Nations Relief and Rehabilitation Agency (UNRRA) yang dibentuk pada 194334. Sejak juli 1947 hingga januari 1952, IRO telah membantu proses resettle lebih dari 1 juta orang pengungsi dan membantu 410.000 orang pengungsi internal. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, IRO digantikan oleh kantor komisaris tinggi perserikatan bangsa-bangsa untuk urusan pengungsi atau UNHCR pada tahun 1951. Mukadimah yang disetujui resolusi majelis 30
Ibid. Hal. 305-306 Ibid. 32 Ibid. 33 Ibid. 34 Ibid. 31
23
umum PBB pada Desember 1950 menjabarkan tanggung jawab UNHCR, yang paling penting adalah memberikan perlindungan internasional dan mengupayakan solusi permanen terhadap masalah pengungsi35. b. 2. Tugas UNHCR Adapun tugas-tugas UNHCR sebagai berikut : 1. Mempromosikan pembuatan dan peratifikasian konvensi-konvensi internasional tentang perlindungan terhadap pengungsi, mengawasi pelaksanaan
konvensi-konvensi
tersebut,
dan
mengusulkan
amandemennya. 2. Mempromosikan melalui perjanjian-perjanjian khusus dengan pemerintah setiap ketentuan yang diperkirakan dapat memperbaiki keadaan
pengungsi
dan
mengurangi
jumlah
pemerintah
dan
orang
yang
membutuhkan perlindungan. 3. Membantu
upaya-upaya
swasta
untuk
menggalakkan repatriasi sukarela atau asimilasi dalam komunitaskomunitas di negara baru. 4. Menggalakkan diterima masuknya para pengungsi kedalam wilayah negara, tak terkecuali mereka yang termasuk dalam kategori sangat miskin. 5. Membantu para pengungsi dalam memperoleh izin untuk memindahkan asset mereka.
35
“UNHCR” www.unchr.org, diakses 11 April 2015.
24
6. Memperoleh informasi dari pemerintah-pemerintah tentang jumlah dan keadaan pengungsi di wilayah mereka dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pengungsi. 7. Menjalin hubungan yang erat dengan pemerintah-pemerintah dan organisasi-organisasi antar pemerintah untuk mengatasi masalah pengungsi. 8. Mengadakan hubungan baik dengan organisasi-organisasi swasta. 9. Memberikan fasilitas koordinasi terhadap usaha-usaha organisasi swasta yang memperhatikan kesejahteraan para pengungsi. Dalam mengatasi masalah pengungsi, UNHCR memiliki paling tidak tiga solusi permanen sebagai berikut : 1. Repatriasi atau dikembalikan ke negara asal. Hal ini dimungkinkan apabila keadaan negara asal sudah memungkinkan kembalinya pengungsi dengan rasa aman dan adanya jamina hidup mereka akan aman dari segala bentuk ancaman. Yang paling penting dalam repatriasi adalah bahwa repatriasi harus dilakukan dengan sukarela, lebih baik lagi jika dilakukan atas kemauan para pengungsi itu sendiri. 2. Dimukimkan di negara pemberi suaka pertama. 3. Resttlement atau dimukimkan di negara ketiga. Dalam hal ini tugas UNHCR adalah mengadakan perjanjian dengan pemerintah negara penerima untuk menyediakan pemukiman yang cock dan layak bagi para pengungsi serta mendorong pemerintah negara-negara 25
tersebut untuk melonggarkan peraturan keimigrasian mereka dan apabila dimungkinkan menetapkan prosedur keimigrasian khusus bagi para pengungsi. UNHCR dipimpin oleh seorang Komisaris Tinggi yang dipilih oleh Majelis Umum PBB berdasarkan calon yang diajukan oleh Sekretaris Jenderal dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. Tugas UNHCR dipermudah dengan adanya Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 yang memberikan tuntunan penanganan masalah pengungsi. Hingga saat ini terdapat 142 negara yang meratifikasi Konvensi 1951, 142 negara yang meratifikasi Protokol 1967, 139 negara yang meratifikasi baik Konvensi 1951 maupun protokol 196736.
36
UNHCR, 2004, Global Report 2004 Achievment and Impact, Geneva, Hal. 497
26
27