BAB III REALISASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG KORUPSI A. Penegakan dan Kedudukan Hukum Pidana Dalam Pajak 1. Tujuan Penegakan Hukum Pidana dalam Pajak Adapun tujuan penegakan hukum pidana dalam pajak adalah sebagai berikut: 1. Agar penyempurnaan produk hukum di bidang perpajakan terlaksana lebih efisien. Produk hukum di bidang perpajakan dilakukan jangan sampai memiliki celah yang “mengundang” wajib pajak, aparat pajak, pejabat pajak, pihak lain (pihak ketiga) mempunyai kesempatan untuk melakukan perbuatan yang dilaranng oleh Undang-undang atau melakukan tindak pidana. 2. Agar memperbaiki kualitas sumber daya manusia baik wajib pajak, pejabat pajak maupun aparat pajak. 3. Menyelamatkan perekonomian Perekonomian Negara 4. Meminimalisir terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam hal penentuan pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak. 2. Kedudukan Tindak Pidana Perpajakan Pembagian hukum sesuai civil law system (sistem hukum Romawi/ Eropa Kontinental) memberikan pemisahan yang tegas antara hukum privat dan hukum publik. Hukum privat mengatur sekalian perkara yang berisi hubungan antara sesama warga negara dalam kedudukasn yang sederajat, seperti masalah perkawinan, waris, keluarga, dan perjanjian. Sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umum, seperti hubungan antara
warga negara dengan negara. Hukum publik berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan serta bagaimana negara itu melaksanakan tugasnya. 84 Hukum yang masuk ke dalam bagian hukum privat, misalnya hukum perdata, hukum dagang, hukum perkawinan, dan sebagainya. Hukum yang masuk ke dalam hukum publik, misalnya hukum tata negara, hukum administrasi (hukum tata usaha negara), hukum pidana, dan hukum internasional. Berdasarkan pembagian hukum tersebut, ternyata hukum pajak tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam kandungan hukum administrasi sebagai bagian dari hukum publik. Hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi, yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi. Jika hukum publik mengatur hubungan antara pemerintah (selaku penguasa) dengan rakyatnya, hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah selaku pemungut pajak dengan rakyatnya sebagai Wajib Pajak. 85 Dalam kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan perkembangan dan kebutuhan negara akan pajak, Undang-undang Pajak mengalami perubahan (tax reform). Sebagai konsekuensinya, ternyata tidak disadari hukum pajak telah memisahkan diri dari hukum administrasi. Secara tegas dikatakan, bahwa hukum pajak bukan lagi bagian hukum administrasi, melainkan kedudukannya sama dalam kajian ilmu hukum. Dasar pemisahan hukum pajak dari hukum administrasi dapat ditinjau dari faktor-faktor berikut: 86 a. Sumber hukum pajak berbeda dengan sumber hukum administrasi;
84
Soeparman, Tindak Pidana Dibidang Perpajakan, (Bandung: Citra Aditya Bakti: 1994), hlm. 10. Ibid, hlm. 11 86 Ibid, hlm. 15. 85
b. Objek kajian hukum pajak adalah pajak, sedangkan objek kajian hukum administrasi adalah ketetapan yang bersegi satu yang ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara (administrasi negara); c. Subjek hukum pajak adalah Wajib Pajak, sedangkan subjek hukum admiistrasi adalah pejabat tata usaha negara yang menerbitkan ketetapan yang menimbulkan sengketa; d. Penyelesaian sengketa pajak merupakan kompetensi absolut Pengadilan Pajak, sedangkan penyelesaian sengketa administrasi merupakan kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara; e. Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara peradilan pajak, sedangkan hukum acara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tata usaha adalah hukum acara peradilan tata usaha negara. Sebagai disiplin ilmu hukum yang telah memisahkan diri dengan hukum administrasi, substansi dalam hukum pajak menimbulkan pembidangan yang mencakup hukum pajak ketatanegaraan, hukum pajak administrasi, hukum pajak kepidanaan (tindak pidana pajak), hukum pajak formal (hukum penyelesaian sengketa pajak), dan hukum pajak interasional. 87 Substansi yang terkandung dalam hukum pajak juga menampakkan ciri khasnya sebagai bagian ilmu hukum yang merupakan hukum fungsional, dengan fungsi mengatur pendapatan dan perekonomian negara/ daerah, dan mempunyai instrumen berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam penegakannya. 88 3. Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang yang aturan mengenai perpajakan sebagimana di paparkan diatas, setiap pelaku tindak pidana perpajakan akan diancam sanksi pidana sebagai berikut: 89 87
http://pengertiandaninfo.blogspot.com/2013/02/kedudukan-hukum-pajak.html, diakses pada tanggal 21 April 2013 pukul 04.00 WIB 88 Ibid 89 Op.Cit, hlm. 58.
Ketentuan Pidana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagi berikut :
Pasal 39 tentang Tindak Pidana Kejahatan “( 1 ) Setiap orang yang dengan sengaja : tidak mendaftarkan diri , atau menyalah gunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ; atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; dan menyampaikan surat Pemberitahuan dan atau Keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau, menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ; dan memperlihatkan pembukuan, pencatatan , atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau tidak menyelenggarakan pembukuan, atau pencatatan tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipunggut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi (empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar”. ( 2 ) “Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilipat 2 ( dua ) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 ( satu ) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan”. ( 3 ) “Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPK sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf ( a), atau menyampaikan SP dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huru ( c) dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajip Pajak”. Pasal 41 tentang Sanksi Bagi Pejabat (1) “Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimna dimaksud dalam pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 ( dua puluh lima juta rupiah)”. (2) “Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebgaimana dimaksud dalam pasal 34 , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 ( lima juta rupiah )”. Pasal 41A tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga. “Setiap orang yang menurut pasal 35 undang – undang ini wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling banyak Rp.25.000.000,00 ( dua puluh lima juta rupiah )”. Pasal 41B tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga. “Setiap orang yang dengan sengaja menhalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan , dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 ( tujuh puluh lima juta rupiah )”. Pasal 43 A (1) “Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan isnformasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukannya penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan”. (2) “Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana dibidang perpajakan yang menyangkut petugas Direktorat Jendral Pajak, Menteri keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan”. (3) “Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi”.
Dari semua ketentuan peraturan itu dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana adalah tindak pidana : 90 a. yang dilakukan oleh wajib pajak b. yang dilakukan oleh pejabat pajak ( fiskus ) c. yang dilakukan oleh pihak ketiga, yang bukan wajib pajak dan bukan pejabat pajak. Sedangakan untuk materi yang diancam dengan sanksi pidana adalah : 91 a. Dengan sengaja memasukkan surat pemberitahuan yang tidak benar, atau memberikan data-data yang tidak benar , palsu atau dipalsukan. b. Memperlihatkan atau menyerahkan pembukuan atau dokumen yang tidak benar, palsu atau dipalsukan. c. Tidak memberikan / menolak memberikan keterangan yang diperlukan oleh Kantor Inspeksi Pajak untuk menetapkan pajak.
90 91
Bambang Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), hlm. 115 Ibid
d. Tidak memperlihatkan pembukuan, dokkumen, dan catatan lain kepada pejabat pajak. e. tidak memberikan kesempatan kepada pejabat pajak untuk melakukan pemeriksaan setempat f. tidak menyampaikan surat pemberitahuan. g. tidaak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan NPWP / NPPKP tanpa hak dan h. tidak menyetorkan pajak yang telah dipunggut. B. Realisasi Undang-Undang Perpajakan Diakaitkan dengan Undang-Undang Korupsi Melihat begitu besarnya peranan penerimaan pajak bagi negara maka undang – undang tentang perpajakan beberapa kali mengalami perubahan untuk menyesuaikan perkembangan dalam bidang perpajakan sehingga tindak pidana di bidang perpajakan bisa di dikurangi / antisipasi . Aturan – aturan secara umum mengacu pula pada aturan – aturan yang lebih umum baik pada Undang – Undang Hukum Pidana maupun Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 92 Dalam penjelasan pasal 38 UU No. 6 tahun 1983 Jo.UU No.9 tahun 1997 Jo. UU No.16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan disebutkan : Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, sepanjang menyangkut administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana “. Penjelasan pasal 38 di atas secara jelas mengatur tentang dasar hukum tindak pidana di bidang perpajakan. Namun dalam praktek baik jaksa maupun hakim lebih cenderung menerapkan ketentuan undang – undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap kasus-kasus yang berkaitan tindak pidana perpajakan . Hal ini diungkapkan
92
Sarwirini, Kejahatan Dibidang Perpajakan, Jural Yustika Volime II No. 1 Juli 1999, Surabaya
oleh pakar hukum pidana Unair DR.Sarwarini,SH,MS ( 1999 : 9 ) : Keadaan ini terjadi , baik sebelum maupun sesudah diterapkannya undang – undang perpajakan yang baru. Keadaan tersebut dapat ditolerir jika terjadi sebelum diterapkannya undang undang perpajakan yang lama, tapi sesungguhnya , sangat memalukan, jika dipakai sesudah penerapan undang – 93
undang perpajakan baru”.dimana menyalahi azas lex specialist derogat generali. Dalam menjerat pelaku tindak pidana perpajakan hakim dan jaksa cuma mengacu
pada pasal 14 UU No. 31 tahun 1999 : setiap orang yang melanggar ketentuan undang – undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang – undang ini. Pasal 43 B UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih bersifat umum itu sehingga perlu di terapkan peraturan – peraturan yang bersifat khusus yaitu UU No. 6 tahun 1983 Jo. UU No. 9 tahun 1997 Jo. UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan . Dalam proses persidangan tampak bahwa, selain majelis hakim belum pernah menyidangkan kasus perpajakan , hakim maupun jaksa kurang memahami segi teknis ketentuan formal dan materiil yang berkaitan dengan system perpajakan yang baru, hal ini dapat kita lihat dari kasus penggelapan pajak yang
divonis penjara 26 tahun karena
menyelewengkan dana pajak PT Semen Tonasa . Kedua orang itu yakni Iwan Zulkarnain ( 34 ) dihikum 16 tahun dengan hukuman denda Rp. 100 juta subsider enam bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti kepada negara Rp. 27 Milyar subsider dua tahun penjara dan Asriadi divonis 10 tahun dengan denda Rp. 100 Juta subsider tiga bulan kurungan dan membayar uang pengganti kepada negara Rp. 13 milliar subsider satu tahun penjara oleh Majelis Hakim PN Makassar, Selasa 28 Oktober 2003. Vonis tersebut lebih
93
Ibid
ringan dari tuntutan tim Jaksa Penuntut ( JPU ) Muh.Zainal Arif,SH yang menuntut Iwan Zulkarnaen dengan hukuman 20 tahun penjara, sedangkan Asriadi 15 tahun penjara. 94 Dalam amar putusannya, majelis hakim menyebutkan bahwa terhukum Iwan Zulkarnain terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 13 Jo. Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat 1 Jo. Ke 1 jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP . Terhukum melakukan pertemuan dengan terdakwa Asriadi – berkas perkaranya terpisah- yang juga mantan pegawai Kantor Pajak Wilayah XV Sulawesi Selatan. Sedangakn Asriadi terbukti melanggar pasal 2 ayat 1 Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 Jo.UU No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 pasal 64 ayat 1 KUHP tentang Tindak Pidana Korupsi. 95 Seharusnya hakim dalam memvonis kasus di atas di samping mengacu pada Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menerapakan Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan khususnya pasal 39 ( 1 ) huruf g yang berbunyi : “ setiap orang yang dengan sengaja : tidak menyetorkan pajak yang telah di punggut atau di potong,sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.” 96 Dari kasus penggelapan pajak ini saja baik jaksa maupun hakim sama sekali tidak memasukkan pasal-pasal yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur secara khusus kasus perpajakan ( specialist ). 97 C. Faktor-Faktor terjadinya Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan Adapun beberapa sebab terjadinya korupsi di Indonesia adalah: 98 94
Ibid Ibid 96 Ibid 97 Ibid 95
1. Kondisi sosial ekonomi Kondisi sosial ekonomi ini yang rawan sehingga orang melakukan korupsi dengan motif mempertahankan hidupnya, akan tetapi kian lama motif ini bergeser menjadi motif ingin memperoleh kemewahan hidupnya. 2. Kelemahan mekanisme dan organisasi dan tidak terlaksananya fungsi pengawasan secara wajar. 3. Berupa penegakan hukum yang tidak konsisten, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, langakanya lingkungan yang anti korup, rendahnya pendapatan penyelenggara negara, kemiskinan dan keserakahan, budaya memberi upeti, imbalan atau hadiah, konsekuensi bila ditangkap lebih rendah dari pada keuntungan korupsi. 4. Faktor budaya atau kebiasaan, dimana pejabat negara tiap-tiap orang melakukan korupsi sudah menjadi hal yang biasa dan cenderung dilakukan terus-menerus. 5. Kurangnya sanksi yang keras terhadap pelaku tindak pidana korupsi. 6. Lemahnya pengawasan terhadap penyelenggara negara. 7. Gagalnya pendidikan agama dan etika. Dengan demikian, faktor penyebab korupsi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan pelaku korupsi sebagai pemegang amanat berupa jabatan dan wewenang yang diembannya. Sedangkan faktor eksternal berupa sistem pemerintahan dan kepemimpinan serta pengawasan yang tidak seimbang sehingga bisa membuka peluang terjadinya korupsi. 99 1. Kondisi yang Mendukung Munculnya Korupsi Untuk memberantas tindak pidana korupsi harus diketemukan sabab atau faktor-faktor dan menghapuskannya, dengan demikian tindak pidana korupsi itu tidak akan di berantas
98
99
Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag., Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakrta: Amzah, 2012), hlm. 36-37.
Ibid, hlm. 37.
atau berkurang kecuali kalau kita dapat menemukan sebabnya. Kemudian sebab itu dihapuskan atau dikurangi dengan terciptanya kesejahteaan suatu bangsa maka harus ada kepastian hukum untuk menjadikan pemerintah yang bersih dan sehat dari korupsi, sehingga seluruh rakyat indonesia dapat menikmati arti dari pada penegakan hukum dan kinerja dari para penegak hukum itu sendiri yang kompeten di bidangnya. Dan tentunya untuk menghilangkan kebiasaan buruk yang menyangkut dengn hal-hal korupsi sangat tidak mudah, kerena perbuatan korupsi tersebut sudah sangat membudaya dan mengakar di berbagai lembaga pemerintah, birokrat-birokrat bahkan oknum golongan pejabat tingkat atas, menengah, bawah, hingga sampai masyarakat umum yang sangat memprihatinkan krena terkena dampaknya korupsi. Adapun kondisi yang mendukung munculnya korupsi sebagai berikut: 100 1. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah 2. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari penadaan politik yang normal 3. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar 4. Lingkungan tertutup yang memenyngkan diri sendiri 5. Lemahnyaktertiban umum 6. Lemahnya profesi hukum 7. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa 8. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil 2. Akibat Dari Korupsi Akibat dari korupsi adalah sebagai berikut: 101 1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah
100 101
Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 55. Ibid, hlm. 57
Apabila pejabat pemerintah melakukan korupsi mengakibatkan kurangnya keperayaan terhadap pemerintah tersebut. Di samping itu, negara lain juag lebih mempercayai negara yang pejabatanya lebihb dari korupsi, baik kerja sama dibidang politik, ekonomi maupun dibidang lainnya. Hal ini aakn mengakibatkan pembangunan disegla bidang akan terhambat khususnya pembangunan ekonomi serta mengganggu stabiltas perekonomian negara dan stabilitas politik. 2. Menyusutnya pendapatan negara Penerimaan negara untuk pembangunan didapatkan dari 2 (dua) sektor, yaitu dari pungutan bea dan penerimaan pajak. Pendapatan negara dapt berkurang apabila tidak diselamatkan dari penggelapan dan penyelewenagn oknum pejabat pemerintah pada sektor-sektor penerimaan negara tersebut. 3. Rapuhnya keamanan dan ketahanan negara Keamanan dan ketahanan negara akan menjadi rapuh apabila pejabat pemerintah mudah disuap karena kekuatan asing yang hendak memaksakan ideologi atau pengaruhnya terhadap bangsa indonesia aka menggunakan penyuapan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan cita-citanya. Pengaruh korupsi juga dapat mengakibatkan berkurangnya loyalitas masyarakat terhadap negara. 4. Perusakan mental pribadi Seseorang yang sering melakukan penyelewenga dan penyalahgunaan wewenang mentalnya akan menjadi rusak. Hal ini mengakibatkan segala sesuatu dihitung dengan materi dan akan melupakan segala yang menjadi tugasnya serta hanya melakukan tindakan ataupun perbuatan yang bertujuan untuk menguntungkan dirinya ataupun orang lain yang dekat dengan dirinya.
Yang lebih berbahaya lagi, jika tindakan korupsi ini ditiru atau dicontoh oleh generasi muda Indonesia. Apabila hal tersebut terjadi maka cita-cita bangsa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur semakin sulit untuk dicapai. 5. Hukum tidak lagi dihormati Negara Indonesia merupakan negara hukum dimana segala sesuatu harus didasarkan pada hukum. Tangung jawab dalam hal ini bukan hanya terletak pada penegak hukum saja namun juga pada seluruh warga negara Indonesia. Cita-cita untuk menggapai tertib hukum tidak akan terwujud apabila para penegak hukum melakukan tindakan korupsi sehingga hukum tidak dapat ditegakkan, ditaati, serta tidak diindahkan oleh masyarakat. 3. Sanksi Terhadap Tindak Pidana Korupsi Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (termasuk pasal-pasal perubahan sebagimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), menyebutkan bahwa: 102
Pasal 2 ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Ayat (2): “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dijatuhkan”. Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
102
Ibid, hlm. 73-81
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Pasal 5 ayat (1) Dipidana dengan pidana penjara paing singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun da atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : a. memberi atau menjajikan sesuatu kepada pegawai negari atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut perbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pewagai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatanya. Pas”al 6 ayat (1) “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang”: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menajdi advokat untuk mengahdiri sidang pengadilan dengan meksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapatyang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Pasal 11 “Dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling banyak 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus liam puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya”. Pasal 12 “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling banyak 20 (tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”: a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau idak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; c. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara malwan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Pasal 12 ayat (2) “Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tahun) dan pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.
BAB IV PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 28 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI HUKUM KASUS GAYUS HALOMOAN P TAMBUNAN NO. 1198 K/Pid.Sus/2011)
A.
Kasus Posisi Berdasarkan putusan yang tergolong dalam bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang N0. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 22 jo. Pasal 28 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yaitu pada putusan kasasi atas nama Gayus Halomoan Partahanan Tambunan No. 1198 K/Pid.Sus/2011 yang mana memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 06/PID/TPK/2011/PT.DKI yang mana memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1195/Pid.B/ 2010/PN.JKT.Sel dengan putusan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dengan denda sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Berikut penulis akan memaparkan kasus posisi atas nama Gayus Halomoan Partahanan Tambunan.
1.
Kasus Posisi Pada tanggal 13 Oktober 2005, berdasarkan surat perintah Kepala Kantor Wilayah DPJ Jawa Bagian Timur, dilakukanlah pemeriksaan pajak di PT. Surya Alama Tunggal, dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak (WP) pajak tahun pajak 2004. Pada tanggal 21 Desember 2006, maka surat hasil pemeriksaan disampaikan kepada Direktur Utama PT. SAT, surat yang dimaksud pada intinya memberitahukan rincian pajak kurang bayar dan diberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk memberikan tanggapan secara tertulis disertai data, bukti dan dokumen pendukung paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat.
Pada tanggal 22 Desember 2006, Direktur PT. SAT, meyampaikan surat tanggapan kepada Kepala Kantor Wilayah DPJ Jawa Timur II, pada pokoknya menyampaiakan menyatakan dengan sebernar-benarnya menyetujui seluruh hasil pemeriksaan yang berisi rincian pajak yang masih kurang bayar senilai RP.609.211.071, Pada tanggal 26 Desember dibuat berita acara persetujuan hasil pemeriksaan , selanjutnya pada tanggal 5 Januari 2007 Kepala KPP Sidoarjo menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang (SKPKB) PPN kepada PT. SAT sebesar Rp.429.200.000,- dengan jatuh tempo 4 Fberuari 2007 dan Surat Tagihan Pajak PPN sebesar Rp.58.000.000,- dengan jatuh tempo 4 februari 2007. Menidaklanjutin SKPKB PPN, PT. SAT menyelesaikan kewajibannya selaku wajib pajak yaitu membayar pajak kurang bayar sebesar Rp.487.200.000, Pada tanggal 11 Januari 2007 PT. SAT mengajukan permohonan keberatan melalui surat yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Sidoarjo Timur, alasan keberatannya adalah adanya kesalahan pemeriksa dalam menerapkan peraturan perpajakan sehubungan dengan subjek pajak pasal 16 D Ketentuan Umum Perpajakan. Selanjutnya pada tanggal 15 Maret 2007 PT. SAT mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Keberatan dan Banding Kantor Pusat Ditjen Pajak melalui surat yang pada pokoknya adalah memberikan tambahan penjelasan, diantaranya menyampaikan bahwa aktiva tersebut dibeli tahun 1994 kemudian dijual tahun 2004, disebutkan pula untuk mesin yang mendapat fasilitas pembebasan, PPN-nya telah dibayar, yaitu sejumlah Rp.190.000.000, Pada tanggal 4 April Direktur Keberatan dan Banding memberikan disposisi yang ditunjukan kepada Kasubdit Pengurangan dan Keberatan dengan perintah
“selesaikan”, selanjutnya oleh kasubdit lembar disposisi tersebut diteruskan kepada Kasi Pengurangan dan Keberatan IV, dengan petunjuk “teliti dan proses sesuai ketentua”, lalu surat dan lembar disposisi diteruskan kepada GAYUS HALOMOAN PARTAHANAN TAMBUNAN, dengan perintah “untuk diteliti formal dan buat resume awal” dan diparaf tanggal 12 April 2007 Sesuai surat tugas yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Kanwil DJP Banten, pada pokoknya berisi: Merujuk surat Direktur Keberatan dan Banding tanggal 6 Juli 2007 tentang Permintaan Penjelasan Hasil Pemeriksaan an. PT.SAT maka menugaskan kepada Aprianto, S., SE untuk memberikan memberikan penjelasan atas koreksi-koreksi dalam laporan pemeriksaan pajak sehubungan permohonan keberatan pajak PT. SAT, pada hari Jumat tanggal 13 Juli 2007 jam 08.30 WIB bertemu dengan Maruli P. Manurung/Humala S.L Napitupulu/Gayus HP Tambunan (selanjutnya disebut Terdakwa) Bahwa kemudian keberatan dari wajib pajak diteliti oleh Terdakwa, lalu memanggil pemeriksa dan wajib pajak untuk didengar keterangannya, juga meminta data-data dari permohonan keberatan tersebut. Keberatan PT. SAT ini diperkuat dengan data yang menurut Terdakwa sangat relevan, maka Terdakwa mengusulkan untuk menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak. Berkaitan
dengan
ususlan
Terdakwa
ini
ternyata
Terdakwa
telah
menyalahgunakan kewenangannya yang seharusnya Terdakwa melakukan penelitian secara tepat, cermat, dan menyeluruh, namun tidak dilakukan, karena apabila penelitian dilakukan dengan sebenarnya maka seharusnya Terdakwa tidak mengusulkan untuk
menyetujui keberatan wajib pajak
PT.SAT dan menyatakan hasil pemeriksaan Kanwil Pajak Jawa Timur sudah benar, sehingga perbuatan terdakwa yang mengusulkan menerima keberatan wajib pajak telah menyalahgunakan kewenangan karena bertentangan dengan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak tentang petunjuk pelaksaan ketentuan pasal 16, 26, dan 36 KUP, pada angka II butir 3.1. Pada tanggal 22 Oktober 2007 Dirjen Pajak Darmin Nasution menerbitkan Surat Keputusan (SK) tentang Keberatan Wajib Pajak Atas SKPKB PPN Masa Pajak Januari-Desember 2004 yang menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak dan tentang pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Akibat dikabulkannya permohonan keberatan yang diajukan PT.SAT oleh Dirjen Pajak, maka kekurangan pajak beserta sanksi dan Surat Tagihan Pajak (SPT)
yang telah dibayarkan oleh PT. SAT sejumlah Rp.487.200.000,-
(empat ratus delapan puluh tujuh dua ratus juta rupiah) harus dikembalikan oleh Negara disertai imbalan bunga berdasarkan Pasal 27 A ayat (1) UndangUndang No. 16 Tahun 2000 masing-masing sebesar Rp.52.200.000,-
,
Rp.22.272.000,- , Rp.9.280.000,- sehingga jumlah seluruh yang dikembalikan Negara kepada PT. SAT adalah sebesar Rp.570.952.000,- (lima ratus tujuh puluh juta sembilan ratus lima puluh dua rupiah). Pada tanggal 24 Maret 2009 Terdakwa mendapat informasi 10 rekening di Bank Panin diblokir dan sebulan kemudian juga mendapat informasi 11 rekeningnya di Bank BCA diblokir. Terdapat 10 Rekening terdakwa di Bank Panin yang terdiri dari 8 deposito dan 2 tabungan, dimana 7 rekening deposito dalam mata uang rupiah dan 1 deposito dalam mata uang US$, begitu juga dengan tabungan yakni 1 dalam mata uang rupiah dan satu dalam mata uang US$. Jumalah tabunagn dan deposito dalam mata uang rupiah sebesar
Rp.20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah) dan dalam mata uang US$ sebesar US$ 400.000 (empat ratus ribu dolar US), sehingga jumlah seluruhnya sekitar Rp.24.000.000.000,- (dua puluh empat milyar rupiah). Sedangkan tabungan di Bank BCA keseluruhannya berjumlah Rp.4.400.000.000,- (empat milyar empat ratus juta rupiah). Perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan terdakwa lainnya mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp.570.952.000,- (lima ratus tujuh puluh juta sembilan ratus lima puluh dua ribu rupiah) atau sekitar jumlah tersebut sebagaimana dalam Laporan hasil perhitungan kerugian keuangan Negara atas kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penanganan keberatan PT. Surya Alam Tunggal Sidoarjo. Setelah mengetahui sejumlah rekening miliknya telah diblokir, terdakwa menunjuk Peber Silalahi dan teman-temannya apabila diperiksa sebagai saksi di Bareskrim. Dalam Tim Lawyer terdakwa tercantum nama Haposan Hutagalung. Terdakwa kemudian melakukan pertemuan di Hotel Sultan yang dihadiri oleh Terdakwa, Peber Silalahi, James Purba, Lambertus dan Haposan Hutagalung, terdakwa lalu dikenalkan dengan lambertus. Pertemuan ini membicarakan masalah Penyidikan terdakwa di Bareskrim dan mengenai uang Terdakwa sejumlah Rp.28.000.000.000,- (dua puluh delapan milyar rupiah) yang telah diblokir. Kemudian Haposan menelepon Andi Kosasih dan meminta Andi Kosasih datang ke Hotel Sultan. Setelah Andi Kosasih datang ke Hotel Sultan, kemudian Haposan meminta kepada Andi Kosasih bisa membantu untuk
menjadi pihak yang mengakui atau mengklaim uang Terdakwa yang diblokir sebagai miliknya karena status Terdakwa sebagai PNS, Andi Kosasi bersedia. Kemudian untuk melengkapi data terkait kesediaan Andi Kosasih mengklaim uang Terdakwa atas namanya, dibuatlah suatu perjanjian antara Terdakwa dengn Andi Kosasih tentang proyek pengadaan lahan untuk pembuatan Ruko di daerah wilayah Jakarta Utara. Tanggal dalam perjanjian tersebut tanggal 28 Mei 2008, tapi sebenarnya perjanjian tersebut ditandatanganu tanggal 1 September 2009, yang hadir waktu itu Terdakwa, Andi Kosasih, Lambertus, Peber, James, dan Haposan. Terdakwa juga membuat 6 lembar kuitansi yang keseluruhannya berjumlah US$ 2.810.000 setara dengan Rp.28.000.000.000 (dua puluh delapan milyar rupiah). Pada tanggal 1 September 2009 dengan didampingi Peber Silalahi, Terdakwa diperiksa oleh Arafat yakni penyidik di kantor Bareskrim, pemeriksaan akan tetapi hanya kurang lebih 1 jam karena setelah Haposan datang, Haposan meminta Arafat untuk menghentikan pemeriksaan dan akad dilanjutkan di Hotel. Pemeriksaan lanjutan di Hotel Mahattan pada malam harinya sepengetahuan dan seizing Pambudi Pamungkas sebagai Kepala Unit III Pajak, Asuransi dan Money Laundring Direktorat Ekonomi Khusus Bareskrim Polri. Pemeriksaan yang pertama ini tentang identitas Terdakwa (waktu itu sebagai Tersangka) dan tentang rekening Terdakwa yang di blokir di Bank Panin dan Bank BCA. Kemudian diadakan lagi pemeriksaan kedua di Hotel Manhattan, waktu tiu pemeriksaan menyinggung tentang perjanjian antara Terdakwa dengan Andi Kosasih dan uang Rp.28.000.000.000 (dua puluh delapan milyar rupiah). Arafat pun melakukan pemeriksaan kepada Andi Kosasih sebagai
saksi di Hotel Kartika Chandra, pada waktu itu Sri Sumartini yang membuat tanda teriam fotocopy perjanjian kerjasama dan 6 lembar kuitansi bukti penerimaan uang dari Andi Kosasih. Permeriksaan ketiga terhadap Terdakwa dilaksanakan dikantor Bareskrim pada tanggal 1 Oktober 2009 diperiksa oleh Mardiyani.Pemeriksaan ini menitik beratkanpada asal usul uang Terdakwa sejumlah Rp.28.000.000.000,(dua puluh delapan milyar rupiah) yang diakui terdakwa milik Andi Kosasih dan ada direkening Terdakwa karena ada perjanjian kerjasama antara Andi Kosasih dan Terdakwa. Pada waktu bersaan Arafat melakukan pemeriksaan terhadap Andi Kosasih tentang perjanjian kerjasama pengadaan tanah untuk Ruko di Jakarta Utara dan tentang uang Andi Kosasih sejumlah Rp.28.000.000.000,- (dua puluh delapan milyar rupiah) yang berada direkening gayus. Kemudian dilakukan juga pemeriksaan tambahan terhadap Sri Sumartini di Bareskrim. Pemeriksaan Tambahan ini tentang aliran uang dari PT. Megah Jaya Citra Garmindo sebesar Rp.370.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh juta rupiah) dan dari Roberto Santonius sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) ke rekening Terdawa di Bank BCA Bintaro. Pada tanggal 10 September 2009 Kejaksaan Agung dengan surat perintah atau P-16 menunjuk Cirus Sinaga, Fadil Regan, Eka Kurnia Sukma Sari, dan Ika Syafitry Salim sebagai Jaksa Peneliti. Setelah berkas dilimpahkan dari penyidik ke Kejaksaan, kemudia pada tanggal 21 Oktober 2009 dikembalikan oleh jaksa peneliti (P-18-P-19) dengan petunjuk:
-
Agar Penyidik melakukan pemblokiran terhadap rekening BCA milik Tersangka (sekarang Terdakwa) dengan nilai uang Rp.370.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh juta rupiah) dan melakukan penyitaan serta dijadikan barang bukti dalam perkara ini.
-
Agar dicari alat bukti lain yang mendukung pembuktian bahwa uang tersebut berasal dari tindak pidana asal (predicate crime).
-
Agar diuraikan dalam BAP keterangan saksi dan Tersangka kapan dan dimana uang sneilai Rp.370.000.000,- (tiga ratus tujuh pupuh juta) diterima.
Berkas perkara dilimpahkan pada tanggal 7 Oktober 2009, terdakwa disangka melakukukan tindak pidana money laundry dan korupsi. Pada tanggal 15 Oktober 2009 Arafat, Sri Sumartini dan Haposan Hutagalung bertemu dengan Cirus Sinaga dan Fadel Regan. Pertemuan di Hotel Crystal itu pun Arafat Enanie membahas membahas gambaran perkara Terdakwa dan ditanggapi oleh Cirus Sinaga kalau perkara korupsi tidak bisa jatuh ke pidum bisanya lari ke pidsus. Terdakwa pada waktu itu disangkakan telah melakukan tindak pidana sbeagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindal Pidana Pencucian Uang. Setelah berkas perkara dilimpahkan kemudian pada tanggal 21 Oktober 2009 dikembalikan oleh Jaksa Peneliti (P-18 dan P-19) dengan petujuk agar penyidik melakukan pemblokiran terhadap rekening BCA milik Tersangka (sekarang Terdakwa) dengan nilai uang RP.370.000.000,- dan melakukan
pernyitaan serta dijadikan barang bukti dalam perkara ini. Lalu untuk melaksanakan petunjuk dari Jaksa Peneliti dalam P-19, Arafat dan Sri SUmartini lalu melakukan penyitaan terhadap uang sebnayak RP.25.000.000,(dua puluh lima juta rupiah) dan Rp.370.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh juta rupiah) yang terdapat pada rekening BCA milih Terdakwa. Saksi-saksi dari Bank BCA yakni Hendarto Putra Jaya dan Indah Imawati di persidangan menerangkan penyitaan yang dilakukan oleh Arafat Enanie dan Sri Sumartini terhadap rekening BCA atas nama Terdakwa, dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2009, sementara Petunjuk Penuntut Umum dalam P-19 tanggal 21 Oktober 2009, maka penyitaan yang dilakukan oleh Arafat Enanie dan Sri Sumartini sebelum ada petunjuk dari Jaksa Peneliti dalam P-19. Selanjutnya berkas perkara tersebut dilimpahkan kembali pada tanggal 22 Oktober 2009, setelah pertemuan di Hotel Crystal, dan ada penambahan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, yang semula tidak pernah disangkakan kepada Terdakwa. Penambahan Pasal 372 KUHP ini, saksi Sri Sumartini di persidangan menerangkan berdasarkan perintah lisan melalui Telepon yang disampaiakn oleh Fadil Regan supaya perkara cepat P-21. Meskipun saksi Fadil Regan dipersidangan menyatakan tidak pernah telepon saksi Sri Sumartini untuk menambahkan Pasal 372 KUHP, namun demikian pada waktu Arafat Enanie sebagai penyidik melimpahkan berkas perkara Terdakwa ke bagian Pidana Umum Kejaksaan Agung dengan penambahan Pasal 372 dan Cirus Sinaga serta Fadil Regan ditunjuk sebagai Jaksa Peneliti, Cirus SInaga dan Fadil Regan mengetahui adanya penyimpangan dalam pelimpahan berkas perkara tersebut diam saja dan langsung mempelajarinya dan pada tanggal 23
Oktiber 2009 berkas perkara dinyatakan lengkap dan diterbitkan P-21 oleh Jaksa Peneliti. Muchtadi Asnun selaku Ketua Majelis Hakim dalam perkara Terdakwa memerintahkan kepada Ikat selaku Panitera Pengganti yang menyidangkan perkara Terdakwa di Pengadilan Negeri Tangerang untuk memberikan nomor Handphone (HP) Muchtadi Asnun kepada Terdakwa. Setelah Terdakwa mendapatkan nomor HP tersebut, Terdakwa lalu menghubungi Muchtadin Asnun dan melakukan pertemuan dirumah Muchtadin Asnun pada tanggal 10 Maret 2009 sekitar pukul 18.30. Terdakwa diatar kerumah Muchtadi Asnun oleh Ikat atas perintah Muchtadi Asnun. Dalam pertemuan itu Muchtadi Asnun menyampaikan agar Terdakwa memperhatikan para hakim, dan Terdakwa langsung mengerti maksud Muchtadi Asnun dan menawarkan uang sebesar US$ 20.000 (dua puluh ribu US Dolar), dimana US$ 10.000,- (sepuluh ribu US Dolar) untuk Muchtadi Asnun selaku Ketua Majelis Hakim, dan masing-masing US$ 5000 (lima ribu US Dolar) untuk Hakim Anggota. Pada saat Terdakwa menawarkan uang sejumlah tersebut diatas, Muchtadi Asnun tidak menganggukan kepala dan diam, Terdakwa pun menafsiran kalau Muchtadi Asnun menerima. Pada tanggal 11 Maret 2010 sore, Muchtadi Asnun SMS Terdakwa mengatakan “khusus kopi saya ditambah 100 persen ya pak”, Terdakwa tidak mengetahui kopi apa, tapi ditafsirkan Terdakwa Muchtadi Asnun minta jatahnya ditambah US$ 10.000 (sepuluh ribu US Dolar), lalu Terdakwa menjawab “iya pak”. Selanjutnya malam harinya Muchtadi Asnun sms Terdakwa minta uangnya diserahkan sebelum jam 10 pagi, Terdakwa menyetujuinya. Keesokan harinya pada tanggal 12 Maret 2010 sekitar jam
05.57 WIB, Muchtadi Asnun kembali SMS Terdakwa dengan mengatakan “maaf pak, anak saya minta dibeliin Honda Jazz, tolong kopinya ditambah 10.000 kg lagi, nanti permintaan bapak saya penuhi semua” yang dijawab Terdakwa “iya pak”. Kemudian Terdakwa sebelum jam 10.00 WIB pergi kerumah Muchtadi Asnun dengan diantar oleh Ikat. Sesampainya di ruah Muchtadi Asnun, pada saat Terdakwa ingin menyerahkan uang sejumlah US$ 40.000 (empat puluh ribu US Dolar) kepada Muchtadi Asnun, karena sadar perbuatannya tidak benar maka Muchtadi Asnun tidak jadi mengambil uang tersebut sehingga mencegah Terdakwa memberikannya. 2.
Dakwaan Penuntut
Umum
mengajukan
Gayus
Halomoan
Partahanan
Tambunan
kepersidangan dengan dakwaan yang disusun secara kumulatif subsidairitas sebagai berikut: Kesatu •
Primer
: melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasak 18 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP; •
Subsidier
: melanggar Pasal 30 jo. Pasal 18 Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP;
Kedua •
Primair
: melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengsn Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP
•
Subsidiair
: melanggar Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Ketiga Melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Keempat Melanggar Pasal 22 jo Pasal 28 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
3.
Tuntutan Jaksa Pada persidangan tanggal 22 Desember 2010 Jaksa Penuntut Umum menuntut agar
terdakwa dijatuhi hukuman yanag amarnya berbunyi sebagai berikut: Menyatakan Terdakwa Gayus Halomoan Partahanan Tambunan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam: - Pasal 3 jo 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan, - Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan
- Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan - Pasal 22 jo Pasal 28 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 20 (dua puluh tahun ) dengan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah Terdakwa tetap ditahan Rutan; Menjatuhkan pidana denda kepada Terdakwa sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan; Menyatakan barang bukti sebagaimana dalam daftar barang bukti : `1. 1 (satu) lembar foto copy SK Keberatan No : KEP-75/PJ.07/2007, tanggal 22 Oktober 2007; 2. 6 (enam) lembar foto copy Laporan Penelitian No : LAP-656/PJ.071/2007 tanggal 9 Agustus 2007; 3. 1(satu) lembar foto copy Surat Keputusan Pengurangan No : KEP758/PJ.07/2007, tanggal 22 Oktober 2007; 4. 4 (empat) lembar foto copy laporan Penelitian No : Lap-657/PJ.071/2007 tanggal 9 Agustus 2007; 5. 10 (sepuluh) lembar foto copy Akte Perjanjian Ikatan Jual Beli Nomor : 1, tanggal 7 Januari 2004;
6. 3 (tiga) lembar foto copy Daftar Peminjam Catatan dan Dokumen tanggal 28 Mei 2007; 7. 27 (dua puluh tujuh) lembar foto copy Buku Besar Hutang BRI, Hutang Brike, Uang Muka Penjualan dan lain-lain; 8. 9 (sembilan) lembar foto copy Register Kas Harian; 9.
13
(tiga
belas)
lembar
bukti
foto
copy
Surat
WP.
No
:
Sek.403/Pjk.SAT/VIII/2007, Tanggal 15 Agustus 2007; 10. 14 (empat belas) lembar foto copy Akta Notaris Nomor : 160, tanggal 31 Desember 2007 11. dan seterusnya bukti terlampir.
4.
Putusan Hakim Majelis Hakim dalam perkara ini memperhatikan Pasal-Pasal dari UndangUndang sebagaimana disebutkan diatas, maka Majelis Hakim dalam Persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Memutuskan: Menyatakan Gayus Halomoan Partahanan Tambunan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kesatu subsidiair dan kedua primair dan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan ketiga serta member keterangan yang tidak benar tentang harta benda yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan keempat. Menjatuhkan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani dikurangikan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
Menetapkan terdakwa tetap ditahan Menetapkan barang bukti 1-97 dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan sebagai bukti dalam perkara Manuli P Manurung dan Humala Napitupulu dan barang bukti 98-121 dimusnakah serta barang bukti 122-123 dikembalikan kepada Gayus Halomoan Partahanan Tambunan.
Pengadilan Tinggi Negeri Menguatkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
No.
1195/Pid.B/2010/PN. Jkt.Sel tanggal 19 Januari 2011 yang dimintakan banding, dengan perbaikan pada amar putusan selengkapnya berbunyi sebagai berikut; Menyatakan Gayus Halomoan Partahanan Tambunan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kesatu subsidiair dan kedua primair dan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan ketiga serta member keterangan yang tidak benar tentang harta benda yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan keempat. Menjatuhkan Pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun, dan denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabial denda tersbeut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani dikurangikan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan Menetapkan barang bukti 1-97 dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan sebagai bukti dalam perkara Manuli P Manurung dan Humala
Napitupulu dan barang bukti 98-121 dimusnakah serta barang bukti 122-123 dikembalikan kepada Gayus Halomoan Partahanan Tambunan. Membebankan biaya perkara pada kedua tingkat peradialn kepada terdakwa, yang ditingkat banding sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). Putusan Mahkamah Agung Mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Membatalkan
Putusan
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
Selatan
Nomor
06/PID/TPKI/2011/PT. DKI tanggal 29 April 2011 yang telah memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.1195/Pid.B/2010/PN. Jkt Sel/ tanggal 19 Januari 2011 Menyatakan Terdakwa Gayus Halomoan Partahanan Tambunan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Korupsi Yang DIlakukan Secara Bersama – Sama” sebagaimana dakwaan Kesatu Primair, Kedua Primair, Ketiga dan Keempat. Menghukum Terdakwa karena itu dengan pidana penjara 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp.500.000.000. (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menetapkan barang bukti 1-97 dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan sebagai bukti dalam perkara Manuli P Manurung dan Humala Napitupulu dan barang bukti 98-121 dimusnakah serta barang bukti 122-123 dikembalikan kepada Gayus Halomoan Partahanan Tambunan.
B. Analisis Kasus Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perpajakan Yang Masuk Kedalam Perbuatan Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus Pidana Gayus Halomoan Partahanan Tambunan No. 1198 K/Pid.Sus/2011
Aturan hukum mengenai tindak pidana mempunyai struktur yang berbeda dengan aturan mengenai bagaimana reaksi terhadap mereka yang melanggarnya tersebut. Artinya, penegakan-penegakan terhadap kewajiban-kewajiban tersebut memerlukan suatu program aplikasi yang dinamakan sistem pertanggungjawaban pidana. 103 Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana bukan merupakan standar perilaku yang wajib ditaati masyarakat, tetapi regulasi mengenai bagaimana memperlakukan mereka yang melanggar kewajiban tersebut, dalam hubungan ini kesalahan merupakan faktor penentu bagi pertanggungjawaban pidana. Ada tidaknya kesalahan, terutama penting bagi penegak hukum untuk
menentukan
apakah
seseorang
yang
melakukan
tindak
pidana
dapat
dipertangungjawabkan dan karenanya patut dipidana. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan
tindak
pidana.
Moeljatno
menyatakan,
“orang
tidak
mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana”. 104 Dengan demikian pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Beccaria mengatakan, hanya undang-undanglah yang boleh menentukan perbuatan mana sajakah yang dapat dipidana, sanksi-sanksi apakah dan atas perbuatan-perbuatan mana pula dapat dijatuhkan, dan bagaimanakah tepatnya peradilan pidana harus terjadi. ”Every
103
Gary Minda, Post Modern Legal Movement; Law and Jurisprudence at Century End dalam Chairul Huda, ibid, hlm. 20. 104 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987. hlm. 115.
crime and every penalty shall be embodied in a statute enacted by legislature”. 105 Dalam konteks ini dapat dikatakan, ada tidaknya tindak pidana ditentukan oleh peraturan perundangundangan. Hukum pidana Indonesia, sebagaimana hukum pidana negara-negara civil law system lainnya, merupakan hukum pidana yang berpangkal tolak dari peraturan perundangundangan. Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana memuat azas yang tercangkup dalam suatu rumusan yakni nullum delictum nulla poenasine praevia lege poenali yang berarti tiada delik, atau tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu. 106 Dimana tidak seorangpun dapat dihukum kecuali berdasarkan suatu ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada telebih dahulu daripada perbuatannya. 107 Pada kasus Gayu Halomoan Partahanan Tambunan, Undang-Undang telah mengatur mengenai tindak pidana korupsi yang diejawantakan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindal Pidana Korupsi. Menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undangundang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman. Seseorang mendapat hukuman bergantung pada dua hal, yang pertama harus ada suatu kelakukan yang bertentangan dengan hukum (anasir objektif) dan seorang pembuat kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu yang bertanggung jawab atasnya (anasir subjektif). Yang perlu dalam pertiwa pidana adalah suatu kelakuan manusia yang bertentangan dengan hukum (anasir melawan hukum), dan oleh sebab itu dapat dijatuhkan hukuman. Apabila ada yang menghapuskan anasir melawan hukum itu, maka kelakuan manusia yang bersangkutan, biarpun mamuat semua anasir-anasir yang disinggung oleh ketentuan pidana yang 105
Chairul Huda, Op.Cit., hlm. 21. Utrecht, Ibid. hlm. 193. 107 Lamintang, Op.Cit., hlm. 145. 106
bersangkutan, bukanlah suatu peristiwa pidana. Disamping kelakuan yang melawan hukum itu harus ada juga seorang yang bertanggungjawab atas kelakuannya (anasir kesalahan), dalam arti kata “bertangung jawab”. Apabila ada alasan yang mengahapuskan anasir kesalahan itu, maka pembuat tidak dihukum, karena hanya seorang yang bersalah dapat dihukum. Azas: tiada hukum tanpa kesalahan. 108 Setiap tindak pidana yang terdapat didalam KUHP itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur objektif adalah unsurunsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan dan unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di kedalamnya segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. 109 Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 110 a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); b. Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; c. Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat misalnya dalam kejahatankejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedachte raad) seperti dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasaan takut (vress) seperti yang terdapat dalam Pasal 308 KUHP;
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 108
Ibid. hlm. 259-260 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 193. 110 Ibid, hlm. 193-194 109
111
a. Perbuatan (baik tindakan maupun kelalaian); b. Sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid); c. Kualitas dari si pelaku; d. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Unsur melawan hukum
Vrij, van Bemmelen, dan A. Mulder telah membuat
pembedaan antara apa yang disebut “bestanddelen van het delict” dengan apa yang disebut “elementen van het delict.” 112 Apabila diringkas, maka akan diperoleh hal-hal sebagai berikut: Bestanddelen atau bagian-bagian dari delik itu: 113 a. terdapat di dalam rumusan dari delik; b. oleh penuntut umum harus dicantumkan dalam surat dakwaan; c. harus dibuktikan di depan persidangan; d. apabila satu atau lebih tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus membebaskan terdakwa (vrijspraak). Elementen atau elemen-elemen dari delik itu: 114 a. tidak terdapat di dalam rumusan dari delik; b. terdiri dari “toerekenbaarheid van het feit”, “toerekeningsvatbaarheid van de dader”, “verwijbaarheid van het feit”, “wederrechtelijkheid”; c. harus dianggap juga disyaratkan di dalam setiap rumusan delik; 111
Ibid Dalam kuliah professor Mr. SATOCHID KARTANEGARA, bestanddelen dan elementen menggunakan perkataan “unsur”. Dimana element atau unsur itu didalam pengertian yang luas< yang meliputi semua bestanddelen dari tindak pidana dan semua persyaratan-persyaratan lainnya untuk membuat seseorang itu menjadi dapat dihukum. Bestanddelen van het delict oleh prof van BEMMELEN diatas diartikan sebagai bagian-bagian yang terdapat didalam rumusan delik. Sedangkan yang dimaksud dengan elementen van het delict adalah ketentuan-ketentuan yang tidak terdapat di dalam rumusan delik melainkan di dalam Buku 1 KUHP atau dapat dijumpai sebagai asasasas hukum yang bersifat umum yang dipandang sebagai asas-asas yang juga harus diperhatikan oleh hakim yang terdiri dari berbagai elemen, Lamintang, op.cit, hlm. 198. 113 Ibid., hlm. 199. 114 Ibid. 112
d. oleh penuntut umum tidak perlu dicantumkan di dalam surat tuduhan dan dengan sendirinya juga tidak perlu dibuktikan di persidangan; e. apabila terdapat keraguan-keraguan mengenai salah satu elemen, maka hakim harus membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Pada kasus ini, untuk menentukan hukuman pidana pada Terdakwa maka haruslah unsur-unsur dari suatu tindak pidana itu terpenuhi. Dalam kasus ini Terdakwa melakukan tindak pidana “korupsi yang dilakukan secara bersama-sama”
yang telah melanggar
ketentuan pidana Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP yang unsurunsurnya sebagai berikut: 1. Setiap orang; 2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; 4. Yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; 5. Sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan. Dimana pada unsur kesatu (1) ini ditujukan kepada pelaku delik sebagai subjek hukum. Pengertian orang adalah siapa saja pelaku tindak pidana yang kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya tersebut. Kata “setia orang” adalah orang perorangan atau termasuk korporasi dan sepadan dengan kata “barang siapa” yang biasa tercantum dalam suatu perumusan delik, yakni menunjuk kepada siapa saja orang perseorangan atau suatu badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiabn yang
melakukan atau telah didakwa melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila pengertian tersebut dihubungkan dengan Surat Dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dalam perkara ini, dimana berdasarkan Surat Dakwaannya Penuntut Umum telah mengajukan seorang laki-laki bernama Gayus Halomoan Partahanan Tambunan sebagai Terdakwa di persidangan, dalam keadaan sehat jasmani maupun rohaninya, dan telah mengakui serta membenarkan identitas-identitas selengkapnya sebagaimana diuraikan dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum tersebut, maka yang dimaksud dengan “setiap orang” disini adalah Terdakwa Gayus Halomoan Partahanan Tambunan sebagai “orang perseorangan”, maka unsur kesatu (1) setiap orang telah terpenuhi. Pada unsur kedua (2) yakni “Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”, Terdakwa selaku pelaksana pada Direktorat Keberatan dan Banding di Direktorat Jendral Pajak, melakukan penelitian terhadap permohonan keberatan yang diajukan oleh PT. SAT dimana hasil dari penelitian tersebut Terdakwa mengusulkan untuk menerima permohonan keberatan wajib pajak dan meninjau kembali SKPKB PPN Pasal 16D tanggal 5 Januari 2007 atas nama PT. SAT sehingga pajak yang masih harus dibayar tidak ada serta mengusulkan menerima permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas STP PPN tanggal 9 Mei 2006 sehingga administrasi tidak ada. Kedudukan Terdakwa selaku pegawai negeri sipil pada Direktorat Jendral Pajak, khususnya sebagai pelaksana pada Direktorat Banding dan Keberatan, artinya Terdakwa tahu dengan mengusulkan menerima permohonan keberatan wajib pajak dan meninjau kembali SKPKB PPN Pasal 16D tanggal 5 Januari 2007 atas nama PT SAT sehingga pajak yang masih harus dibayar tidak ada dan mengusulkan untuk menerima permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas STP PPN tanggal 9 Mei 2006, maka kekurangan pajak beserta sanksi administrasi dan Surat Tagihan Pajak (STP) yang telah dibayar oleh PT. SAT
sejumlah Rp.487.200.000,- harus dikembalikan oleh Negara juga disertai imbalan bunga. Akibat dikabulkannya permohonan tersebut oleh Dirjen Pajak, maka kekurangan pajak beserta sanksi dan Surat Tagihan Pajak (STP) yang telah dibayarkan oleh PT. SAT sejumlah Rp.487.200.000 harus dikembalikan oleh Negara disertai imbalan bunga berdasarkan pasal 27 A ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan , sehingga keseluruhnya berjumlah Rp.570.952.000,- (lima ratus tujuh puluh juta sembilan ratus lima puluh dua ribu rupiah) dikembalikan oleh Negara kepada PT. SAT yang artinya PT. SAT sebagai suatu koorporasi memperoleh keuntungan sebesar tersebut diatas, maka unsur kedua (2) telah terpenuhi. Pada unsur ketiga (3) yakni “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”, Terdakwa selaku pelaksana pada Direktorat Keberatan dan Banding Dirjen Pajak menerima surat tugas untuk melakukan penelitian terhadap premohonan keberatan yang diajukan oleh PT. SAT, dimana didalam surat tugas selain nama terdakwa juga tertulis nama Maryanto Jabatan kasubdit pengurangan (kemudian diganti dengan Jhony Marihot Tobing), Maruli Pandapotan Manurung jabatan kasi pengurangan dan keberatan, Humala Napitupulu jabatan penelaah keberatan. Terdakwa sendiri selaku pelaksana bertugas melakukan penelitian dari tingkat awal baik itu formal materil sampai tingkat laporan dan menuangkannya dalam konsep laporan penelitian keberatan. Setelah Terdakwa meneliti, kemudia memanggil pemeriksa dan wajib pajak untuk didengar keterangannya, juga minta dan memeriksa data-data dari permohon keberatan yakni PT. SAT, Terdakwa berpendapat data-data serta alasan keberatan yang diajukan sangat relevan, sehingga menurut Terdakwa alasan wajib pajak sangat beralasan dan Pasal 16D Undang-Undang No. 11 Tahun 1994 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Terdakwa pun mengusulkan untuk menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak dan menuangkannya dalam konsep laporan penelitian keberatan dan laporan penelitian pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi PT. SAT. Kemudia Terdakwa serahkan secara berjenjang kepada Humala Napitupulu jabatan penelaah keberatan, Maruli Pandapotan Manurung jabatan kasi pengurangan dan keberatan dan Jhony Marihot Tobing jabatan kasudbit pengurangan dan keberatan, Bambang Heru selaku Direktur Keberatan Banding Direktorat Jendral Pajak dan konsep laporan penelitian tersebut ditandatangani oleh mereka. Konsep laporan penelitian keberatan dan laporan penelitian pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi PT. SAT tersebut kemudia diteruskan ke Dirjen Pajak Damin Nasution dan kemudian dikeluarkannya surat keputusan tentang keberatan wajib pajak atas SKPKB PPN masa Januari – Desember 2004 yang menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak . Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16D Undang-Undang No. 11 Tahun 1994 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (selanjutnya disebut Undang-Undang No 11 Tahun 1994) dan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994 Pasal 34 serta Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No. SE-68/PJ/1993 tanggal 22 Desember 1993 yang berisi: “keputusan atas keberatan harus diambil berdasarkan pertimbangan yang diteliti, tepat dan cermat serta bersifat menyeluruh, baik mengenai penilaian terhadap syarat-syarat pengajuan keberatan, kebenaran materi dan penentuan dasar pengenaan pajak serta penerapan ketentuan perundang-undangan yang berkenaan.” dan juga mendengar pendapat ahli Untung Sukardji yang menerangkangkan bahwa “terhadap aktiva yang pada waktu diperoleh tidak membayar PPN karena penyimpangan yang seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar, maka harus ditagih, kemudian ketika menjual aktiva tersebut sesuai ketentuan Pasal 16D Undang-Undang No. 11 Tahun 1994 harus dikenakan pajak pertambahan nilai.” Berdasarkan uaraian pertimbangan tersebut diatas, Terdakwa telah tidak teliti, tepat dan cermat mengenai kebenaran terhadap materi pengenaan pajak serta penerapan ketentuan
perundang-undangan
yang
berkenaan,
sehingga
Terdakwa
telah
menyalahgunakan
kewenangan yang ada padanya karena jabatan sebagai pelaksana dalam melakukan penelitian terhadap keberatan yang diajukan oleh PT. SAT, artinya unsur ketiga (3) telah terpenuhi. Unsur keempat (4) yakni “yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” yang mana dalam ketentuan pasal ini kata “dapat” kalimat “merugikan keuangan atau perekonomian Negara” menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Kata “merugikan” disini adalah menjadi rugi atau berkurang, sehingga yang dimaksud dengan “merugikan keuangan atau perekonomian Negara” adalah menjadi ruginya atau berkurangannya perekonomian Negara. Pengertian “keuangan Negara” sebagaimana penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindal Pidana Korupsi adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya: a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertangungjawaban pejabat lembaga Negara, baik tingkat pusat maupun di daerah; b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertangungjawaban Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. maka berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan, akibat dikabulkannya permohonan keberatan PT. SAT oleh Dirjen Pajak tersebut, KPPN Kabupaten Sidoarjo telah membayar kembali kepada PT. SAT kelebihan pembayaran pajak beserta imbalan bunga yang keseluruhannya berjumlah Rp.570.952.000,- (lima ratus tujuh puluh juta sembilan ratus lima
puluh dua ribu rupiah), sehingga telah merugikan Negara sebesar tersebut diatas. Dengan demikian maka unsur keempat (4) ini telah terpenuhi. Unsur kelima (5) dari pasal ini adalah “sebagai orang yang melakukan, meyuruh melakukan, atau turut serta melakukan” bersifat alternatif, maka apabila salah satu sub unsur telah terpenuhi, maka telah cukup untuk menyatakan unsur itu dipenuhi. Pengertian yang dimaksud dengan “orang yang melakukan” adalah seseorang yang melakukan semua unsur atau elemen dari peristiwa pidana secara sendirian. Pengertian “orang yang turut melakukan” diartikan sebagai “bersama-sama melakukan” dimana sedikitnya harus ada dua orang yang semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melelakukan unsur elemen dari peristiwa pidana itu, bukan hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong. Jika dikaitkan dengan perkara ini, Terdakwa selaku pelaksana pada Direktotat Keberatan dan Banding di Direktorat Jendral Pajak, telah melakukan penelitian dengan tidak teliti, cermat dan secara menyeluruh, dimana hasil dari penelitian ini berbentuk konsep laporan penelitian keberatan dan laporan penelitian pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Konsep laporan penelitian ini kemudian Terdakwa serahkan secara berjenjang dalam hal ini kepada Humala Napitupulu jabatan penelaah keberatan, Maruli Pandapotan Manurung jabatan kasi pengurangan dan keberatan dan Jhony Marihot Tobing jabatan kasudbit pengurangan dan keberatan, Bambang Heru selaku Direktur Keberatan Banding Direktorat Jendral dan disetujui serta ditanda tangani oleh Humala Napitupulu jabatan penelaah keberatan, Maruli Pandapotan Manurung jabatan kasi pengurangan dan keberatan dan Jhony Marihot Tobing jabatan kasudbit pengurangan dan keberatan, Bambang Heru selaku Direktur Keberatan Banding Direktorat Jendral. Akibat dari disetujuinya
konsep
laporan
penelitian
tersebut,
Negara
telah
dirugikan
sekitar
Rp.570.952.000,- (lima ratus tujuh puluh juta sembilan ratus lima puluh dua ribu rupiah).
Dalam perbuatan penyertaan setiap orang yang dianggap turut melakukan tidak perlu memenuhi semua unsur tindak pidana tetapi cukup dengan adanya kesatuan dan persamaan niat untuk mewujudkan tindak pidana beserta akibat yang dikehendakinya, maka Terdakwa dalam melakukan perbuatan menguntungkan orang lain dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan Negara telah memenuhi unsur “bersama-sama melakukan” dalam pengertian sebagai “orang yang turut serta melakukan. Terpenuhinya unsur-unsur dalam dakwaan kesatu subsidiair telah terpenuhi, maka Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu subsidiair. Selanjutnya Terdakwa juga didakwa dengan dakwaan kedua yang disusun secara subsidiaritas, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan dakwaan kedua primair melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telahd diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, yang unsurunsurnya adalah sebagai berikut: 1. Setiap orang 2. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara 3. Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya 4. Sebagai orang yang melakuakn, menyuruh melakuakn atau turut serta melakukan. Unsur kesatu (1) dalam pasal ini adalah “setiap orang”, dimana unsur ini sama dengan unsur kesatu dalam dakwaan kesatu subsidiair diatas, oleh karena unsur kesatu dalam
dakwaan pertama subsidiair telah terpenuhi maka unsur kesatu dalam dakwaan ini pun telah terpenuhi pula. Unsur kedua (2) dalam pasal ini adalah “Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara”, unsur ini berkaitan dengan Pasal 2 UndangUndang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Kolusi, Korupsi, Nepotisme (selanjutnya disebut Undang-Undang No. 28 Tahun 1999), yang mana penyelenggaraan Negara meliputi: 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri ; 4. Gubernur ; 5. Hakim; 6. Perjabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku; 7. Pejabat
lain
yang
memiliki
fungsi
strategis
dalam
kaitannya
dengan
penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian Penyelenggaraan Negara yang diuraikan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 disebut secara alternatif, sehingga apabila salah satu telah terpenuhi maka pengertian penyelenggaraan Negara telah terpenuhi pula. Fakta-fakta hukum di persidangan dalam perkara ini Arafat Enanie adalah Anggota Polri yang bertugas sebagai penyidik pada Bareskrim Polri dengan demikian Arafat enanie adalah Penyelenggara Negara 115, dimana pada saat oemeriksaan di depan penyidik member keterangan pada sekitar bulan September – Oktober 2009 di patkiran Hotel Ambara dirinya
115
Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999
telah menerima uang pecahan US$ 100 (seratus US Dolar) sebanyak 25 lembar dan uang pecahan US$ 100 (seratus US Dolar) sebanyak 35 lembar dari Haposan Hutagalung, yang mana uang yang diberika Haposan Hutagalung kepada Arafat Enanie adalah atas permintaan Terdakwa. Meskipun jumlah yang diberikan oleh Haposan Hutagalung atas permintaan Terdakwa kepada saksi Arafat Enanie berbeda antara keterangan saksi Haposan Hutagalung dengan saksi Arafat Enanie, yang penting adalah Haposan Hutagalung telah memberikan sejumlah uang kepada Penyidik Bareskrim Polri, Arafat Enanie yang berdasarkan pengertian penyelenggaraan Negara yang diuraikan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 termasuk “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” sesuai dnegan penjelasan Pasal 2 angka 7 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999. Unsur kedua (2) dalam pasal ini dengan begitu terpenuhi. Unsur ketiga (3) dalam pasal ini yaitu “Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”, Terdakwa menerangkan di persidangan setelah mendapat pemberitahuan dari Bank Panin 10 rekeningnya diblokir, Terdakwa shock kemudian Terdakwa mencari Lawyer dan menunjuk Feber Silalahi dan kawan-kawan termasuk Haposan Hutagalung sebagai Penasihat Hukumnya. Dalam hal ini lalu Terdakwa sering melakukan konseling dengan Haposan Hutagalung selaku pengacara, Terdakwa meminta bantuan agar tidak ditahan, Terdakwa juga memohon agar tidak disita rumahnya di Kelapa Gading dan Tabungan di Bank Mandiri. Keinginan Terdakwa ini lalu disampaikan Haposan Hutagalung kepada Arafat Enanie selaku Penyidik dan di jawab akan dilaporkan kepada pimpinannya, Haposan Hutagalungpun menyuruh Terdakwa memberikan uang kepada penyidik. Pada tanggal 15 Oktober 2009 Arafat, Sri Sumartini dan Haposan Hutagalung bertemu dengan Cirus Sinaga dan Fadil Regan di Hotel Crystal, pada waktu itu Haposan
Hutagalung mengenalkan Arafat dan Sri Sumartini kepada Cirus Sinaga dan Fadil Regan. Pertemuan di Hotel Crystal itu pun Arafat Enanie membahas membahas gambaran perkara Terdakwa dan ditanggapi oleh Cirus Sinaga kalau perkara korupsi tidak bisa jatuh ke pidum bisanya lari ke pidsus. Terdakwa pada waktu itu disangkakan telah melakukan tindak pidana sbeagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindal Pidana Pencucian Uang. Setelah berkas perkara dilimpahkan kemudian pada tanggal 21 Oktober 2009 dikembalikan oleh Jaksa Peneliti (P-18 dan P-19) dengan petujuk agar penyidik melakukan pemblokiran terhadap rekening BCA milik Tersangka (sekarang Terdakwa) dengan nilai uang RP.370.000.000,- dan melakukan pernyitaan serta dijadikan barang bukti dalam perkara ini. Lalu untuk melaksanakan petunjuk dari Jaksa Peneliti dalam P-19, Arafat dan Sri SUmartini lalu melakukan penyitaan terhadap uang sebnayak RP.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan Rp.370.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh juta rupiah) yang terdapat pada rekening BCA milih Terdakwa. Saksi-saksi dari Bank BCA yakni Hendarto Putra Jaya dan Indah Imawati di persidangan menerangkan penyitaan yang dilakukan oleh Arafat Enanie dan Sri Sumartini terhadap rekening BCA atas nama Terdakwa, dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2009, sementara Petunjuk Penuntut Umum dalam P-19 tanggal 21 Oktober 2009, maka penyitaan yang dilakukan oleh Arafat Enanie dan Sri Sumartini sebelum ada petunjuk dari Jaksa Peneliti dalam P-19. Selanjutnya berkas perkara tersebut dilimpahkan kembali pada tanggal 22 Oktober 2009, setelah pertemuan di Hotel Crystal, dan ada penambahan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, yang semula tidak pernah disangkakan kepada Terdakwa. Penambahan Pasal 372 KUHP ini, saksi Sri Sumartini di persidangan menerangkan berdasarkan perintah lisan
melalui Telepon yang disampaiakn oleh Fadil Regan supaya perkara cepat P-21. Meskipun saksi Fadil Regan dipersidangan menyatakan tidak pernah telepon saksi Sri Sumartini untuk menambahkan Pasal 372 KUHP, namun demikian pada waktu Arafat Enanie sebagai penyidik melimpahkan berkas perkara Terdakwa ke bagian Pidana Umum Kejaksaan Agung dengan penambahan Pasal 372 dan Cirus Sinaga serta Fadil Regan ditunjuk sebagai Jaksa Peneliti, Cirus SInaga dan Fadil Regan mengetahui adanya penyimpangan dalam pelimpahan berkas perkara tersebut diam saja dan langsung mempelajarinya dan pada tanggal 23 Oktiber 2009 berkas perkara dinyatakan lengkap dan diterbitkan P-21 oleh Jaksa Peneliti. Fakta-fakta hukum di persidangan selama proses pemeriksaan Terdakwa tidak ditahan, rumah dan tabungan Terdakwa di Bank Mandiri juga tidak disita, Arafat dan Sri Sumartini melakukan pemeriksaan terhadap Terdakwa sebagai Tersangka di Hotel Manhattan atas biaya dari kantor Haposan Hutagalung yang adalah Penasihat Hukum Terdakwa. Berdasarkan uraian di atas maksud Terdakwa bukan hanya terbatas agar tidak ditahan, rumah dan tabungan Terdakwa di Bank Mandiri juga tidak disita, tetapi lebih dari itu antara lain saksi Arafat Enanie juga telah melakuakn pemeriksaan Terdakwa sebagai Tersnagka di Hotel atas biaya dari Haposan Hutagalung sebagai Penasihat Hukum Terdakwa, penyitaan terhadap rekening Terdakwa di Bank BCA sebelum ada P-19 dan jumlah uang tidak Rp.395.000.000,(tiga ratus sembilan puluh lima juta rupiah) seperti dalam berita acara penyitaan tetapi hanya sejumlah Rp.16.591.635,- (enam belas juta lima ratus sembilan puluh satu enam ratus tiga puluh lima rupiah). Dengan demikian maka maksud Terdakwa supaya pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya telah terpenuhi sehingga unsur ketigas (3) telah terpenuhi pula.
Unsur Keempat (4) pada pasal ini yakni “Sebagai orang yang melakuakn, menyuruh melakuakn atau turut serta melakukan” bersifat alternatif, maka apabila salah satu sub unsur telah terpenuhi, maka telah cukup untuk menyatakan unsur itu dipenuhi. Yang dimaksud dengan “orang yang melakukan”adalah seseorang yang melakuakn semua unsure atau elemen dari peristiwa pidana secara sendirian. Pengertian “orang yang menyuruh melakukan” adalah adanya dua orang atau lebih, yaitu yang menyuruh dan yang disuruh, namun yang disuruh itu tetap dipandnag dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri perbuatan pidana kecuali dalam hal yang diatur Undang-Undang. Dan “orang yang turut melakuakn” diartikan sebagai “bersama-bersama melakuakn” dimana sedikitnya harus ada dua orang yang semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan unsure atau elemen dari peristiwa pidana itu, bukan hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong. Berkaitan dengan kasus ini dan uraian di atas, telah ternyata atas permintaan Terdakwa, Haposan Hutagalung telah memberikan sejumlah uang kepada Arafat Enanie. Dalam perbuatan penyertaan setiap orang yang dianggap turut melakukan tidak perlu memenuhi semua unsur tindak pidana tetapi cukup dengan adanya kesatuan dan persamaan niat untuk mewujudkan tindak pidana beserta akibat yang dikehendakinya, maka Terdakwa dalam melakukan perbuatan menguntungkan orang lain dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan Negara telah memenuhi unsur “bersama-sama melakukan” dalam pengertian sebagai “orang yang turut serta melakukan”. Dengan demikian maka unsur kelima (5) telah terpenuhi. Oleh karena semua unsur dalam dakwaan kedua primair telah terpenuhi, maka Terdakwa telah terbukti secarah sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kedua primair melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Selanjutnya Terdakwa juga didakwa dengan dakwaan ketiga melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Setiap orang 2. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim 3. Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili Unsur kesatu (1) yakni “setiap orang”, dimana setiap orang dalam dakwaan ketiga ini sama dengan unsure ke 1 dalam dakwaan kesatu subsidiair dan telah terpenuhi, maka unsur kesatu dalam pasal ini telah terpenuhi. Unsur kedua (2) yakni “memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim” dimana Muchtadi Asnun selaku Ketua Majelis Hakim dalam perkara Terdakwa memerintahkan kepada Ikat selaku Panitera Pengganti yang menyidangkan perkara Terdakwa di Pengadilan Negeri Tangerang untuk memberikan nomor Handphone (HP) Muchtadi Asnun kepada Terdakwa. Setelah Terdakwa mendapatkan nomor HP tersebut, Terdakwa lalu menghubungi Muchtadin Asnun dan melakukan pertemuan dirumah Muchtadin Asnun pada tanggal 10 Maret 2009 sekitar pukul 18.30. Terdakwa diatar kerumah Muchtadi Asnun oleh Ikat atas perintah Muchtadi Asnun. Dalam pertemuan itu Muchtadi Asnun menyampaikan agar Terdakwa memperhatikan para hakim, dan Terdakwa langsung mengerti maksud Muchtadi Asnun dan menawarkan uang sebesar US$ 20.000 (dua puluh ribu US Dolar), dimana US$ 10.000,- (sepuluh ribu US Dolar) untuk Muchtadi Asnun selaku Ketua Majelis Hakim, dan masing-masing US$ 5000 (lima ribu US Dolar) untuk Hakim Anggota. Pada saat Terdakwa
menawarkan uang sejumlah tersebut diatas, Muchtadi Asnun tidak menganggukan kepala dan diam, Terdakwa pun menafsiran kalau Muchtadi Asnun menerima. Pada tanggal 11 Maret 2010 sore, Muchtadi Asnun SMS Terdakwa mengatakan “khusus kopi saya ditambah 100 persen ya pak”, Terdakwa tidak mengetahui kopi apa, tapi ditafsirkan Terdakwa Muchtadi Asnun minta jatahnya ditambah US$ 10.000 (sepuluh ribu US Dolar), lalu Terdakwa menjawab “iya pak”. Selanjutnya malam harinya Muchtadi Asnun sms Terdakwa minta uangnya diserahkan sebelum jam 10 pagi, Terdakwa menyetujuinya. Keesokan harinya pada tanggal 12 Maret 2010 sekitar jam 05.57 WIB, Muchtadi Asnun kembali SMS Terdakwa dengan mengatakan “maaf pak, anak saya minta dibeliin Honda Jazz, tolong kopinya ditambah 10.000 kg lagi, nanti permintaan bapak saya penuhi semua” yang dijawab Terdakwa “iya pak”. Kemudian Terdakwa sebelum jam 10.00 WIB pergi kerumah Muchtadi Asnun dengan diantar oleh Ikat. Sesampainya di ruah Muchtadi Asnun, pada saat Terdakwa ingin menyerahkan uang sejumlah US$ 40.000 (empat puluh ribu US Dolar) kepada Muchtadi Asnun, karena sadar perbuatannya tidak benar maka Muchtadi Asnun tidak jadi mengambil uang tersebut sehingga mencegah Terdakwa memberikannya. Terlepas dari apakah Terdakwa jadi memberikan atau Tidak dan Saksi Muchtadi Asnun sebagai Ketua Majelis Hakimn atau Tidak, Terdakwa telah menjanjikan akan memberikan US$ 40.000 (empat puluh ribu US Dolar) kepada Muchtadi Asnun untuk selanjutnya ada yang diberikan kepada Hakim Anggota masing-masing sejumlah US$ 5.000 (lima ribu US Dolar) dan saksi Muchtad Asnun mengetahui serta menyetujui hal tersebut. Maka unsur kedua (2) dalam pasal ini telah terpenuhi. Unsur terakhir dalam pasal ini yakni unsur ketiga (3) “dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili”, bahwa berdasarkan uraian pada unsure kedua (2), meskipun Terdakwa dan saksi Muchtadi Asnun menyatakan tidak ada pembicaraan
lain selain apa yang telah diuraikan dalam uraian
pertimbangan diatas, namun demikian dengan SMS yang dikirim Muchtadi Asnun yang menyatakan “maaf pak, anak saya minta dibeliin Honda Jazz, tolong kopinya ditambah 10.000 kg lagi, nanti permintaan bapak saya penuhi semua” yang dijawab Terdakwa “iya pak”, dengan begitu ada permintaan tertentu yang diharapkan oleh Terdakwa dari Muchtadi Asnun. Bahwa dengan demikian Terdakwa menjanjikan akan memberikan uang sejumlah US$ 30.000 kepada Muchtadi Asnun dan US$ 10.000 melalui Muchtadi Asnun untuk diberikan kepada Hakim-Hakim Anggota, dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang sedang diadili oleh Muchtadi Asnun sebagai Ketua Majelis Hakim serta Bambang Widyatmoko dan Haran Tarigan sebagai Hakim – Hakim Anggota, dengan demikian maka unsur ketiga (3) telah dipenuhi. Oleh karena semua unusr dalam dakwaan ketiga melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 telah terpenuhi, maka Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan ketiga. Terakhir Majelis Hakim mempertimbangkan dakwaan keempat melanggar Pasal 22 jo Pasal 28 Undang-Undang N0. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang No. 20 Tahun 2001 yang unsur – unsurnya sebagai berikut : 1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Tidak memberi keterangan atau member keterangan yang tidak benar untuk kepentingan penyidikan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau koorporasi 4. Yang diketahui dan atau diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oelh tersangka.
Unsur kesatu (1) “setiap orang”, dimana setiap orang dalam dakwaan kesatu ini sama dengan unsure ke 1 dalam dakwaan kesatu subsidiair dan telah terpenuhi, maka unsur kesatu dalam pasal ini telah terpenuhi. Unsur kedua (2) “dengan sengaja” adalah akibat dari perbuatan itu dikehendaki atau dengan kata lain akibat itu menjadi maksud dan tujuan dari perbuatan yang dilakukan. Terdakwa dalam hal ini menerangkan di persidangan setelah mendapat pemberitahuan dari Bank Panin bahwa 10 rekeningnya diblokir, Terdakwa shock, kemudian Terkdawa mencari Lawyer sebagai penasehat hukumnnya dan mendampingi Terdakwa apabila diperiksa di Bareskrim sebagai saksi. Lalu Terdakwa juga mengadakan pertemuan di Hotel Sultan sebagaimana diuraikan pada kasus posisi, dan Terdakwa pun bersama dengan Andi Kosasih menandatangani perjanjian kerja sama yang mana meskipun Terdaka tahu isi dari perjanjian kerja sama itu tidak benar, karena kerjasama itu tidak ada (fiktif), selanjutnya Terdakwapun membuat kuitansi pemberian uang dari Andi Kosasih yang disesuaikan dengan isi perjanjian kerjasama fiktif tersebut. Dengan ditandanganinya perjanjian fiktif dan membuat serta menandatangani kuitansi tersebut makan uang Terdakwa yang diblokir di Bank Panin dan Bank BCA dibuka blokirnya oleh penyidik atas permohonan Andi Kosasih yang berdasarkan perjanjian kerjasama tersebut sebagai pemilik uang. Maka berdasarkan uaraian pertimbangan tersebut di atas ternyata Terdakwa tahu dan menyadari akibat perbuatan yang dilakukannya serta menghendaki akibat tersebut, sehingga unsur kedua dengan sengaja telah terpenuhi. Unsur ketiga (3) dalam Pasal ini yakni “tidak memberi keterangan atau member keterangan yang tidak benar untuk kepentingan penyidikan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau koorporasi” . Berdsarkan fakta hukum dipersidangan bahwa Terdakwa diperiksa oleh Arafat sebagai Penyidik pada Bareskrim Polri untuk kedua kalinya di Hottal Manhatta, Terdakwa mengakui
adanya perjanjian kerjasama antara dirinya dan Andi Kosasih dalam rangka proyek pengadaan ruko di Jakarta Utara, untuk itu terdakwa telah menerima uang titipan Andi kosasih sejumlah US$ 2.810.000 (dua juta delapan ratus sepuluh ribu US Dolar) atau setara kira - kira Rp.28.000.000.000,- (dua puluh delapan milyar rupiah). Perjanjian kerjasama yang dimaksud diatas di dalam persidangan telah terbukti bahwa perjanjian tersebut adalah tidak ada (fiktif) sesuai dengan keterangan Andi Kosasih dan keterangan Terdakwa sendiri. Dalam persidangan terungakap bahwa menurut penyidik rekening Terdakwa di Bank BCA telah diblokir, saksi Wanisabu dari Kepala biro Hallo BCA memberikan keternagan di Persidangan sebagai berikut: 1. Pada tanggal 2 Desember 2008 Terdakwa membuka sekaligus 8 rekening deposito dalam mata uang US$ (US Dolar) yang masing-maisng deposito senilai US$ 50.000 (lima puluh ribu rupiah), sehingga sekuruhnya berjumlah US$ 400.000 (empat ratus ribu US Dolar). 2. Pada tanggal 9 Februari 2009 kedelapan deposito tersebut telah dicairkan. 3. Pada tanggal 24 April 2009 BCA menerima surat permintaan blokir atas nama kedelapan rekening tersebut dari Bareskrim Polri. 4. Menanggapi surat permintaan tersebut, Bank BCA dengan surat tanggal 1 Juni 2009 telah memberitahukan kepada Bareskrim Polri bahwa kedelapan rekening tersebut tidak dapat diblokir karena telah ditutup pada tanggal 9 Februari 2009. 5. Pada tanggal 26 November 2009 Bank BCA menerima surat dari Bareskrim Polri yakni permohonan pembukaan pemblokiran kedelapan rekening atas nama Terdakwa, yang mana tidak pernah diblokir dan sudah ditutup. Dengan demikian maka 8 (delapan) rekening atas nama terdakwa di Bank BCA, tidak pernah terjadi pemblokiran.
Bahwa berdasarkan pertimbangn tersbeut di atas, teryata Terdakwa telah memberikan keterangannya yang tidak benar untuk kepentingan penyidikan tentang seluruh harta bendanya dalam hal ini uang Terdakwa sejumlah sekitar Rp.28.000.000.000,- (dua puluh delapan milyar rupiah) di Bank Panin dan Bank BCA, dengan demikian maka unsure ketiga (3) telah terpenuhi. Unsur keempat (4) dalam Pasal ini yakni “ yank diketahui dan atau diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Tersangka”. Sehubungan dengan uraian unsur kedua dan ketiga diatas, Terdakwa di persidangan menerangkang memperoleh uang sejumlah sekita Rp.28.000.000.000,- (dua puluh delapan milyar rupiah) tersebut dari melakukan 3 (tiga) buah pekerjaan yang diperoleh dari Alif Kuncoro, yakni: -
Terdakwa diminta untuk mengeluarkan surat ketetapan pajak PT. Kaltim Prima Coal untuk tahun 2000, 2001, 2002, 2003 dan 2005 dimana hasil pemeriksaannya telah selesai dan telah terbit pemberitahuan hasil pemeriksaan dari Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak yang berdasarkan peraturan harusnya terbit 1 (satu) minggu setelah terbit pemberitahuan namun ditahan namun ditahan oleh kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak yang di Gambir selama 1 (satu) Tahun, untuk itu terdakwa mendapat imbalan US$ 500.000 (lima ratus ribu US Dolar) setara kira – kira Rp.5.000.000.000 (lima milyar rupiah).
-
Terdakwa melakkan persiapan dalam rangka siding banding PT. Bumi Resourses tahun pajak 2005, persiapan itu antara lain membuatkan surat banding, membuat surart bantahan termasuk pertemuan – pertemuan dalam rangka pihak Bumi Resourses maju disidang banding, latihan tanya – jawab, bukan supaya menang namun untuk supaya siap banding, untuk
itu Terdakwa mendapat imbalan US$ 1.000.000 (satu juta US Dolar) atau setara kira – kira Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah). -
Dalam rangka program pemerintah dalam Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang KUP yang baru yaitu sunset policy dimana wajib pajakn jika melakukan pembetulan SPT tahunan PPH badan tahun pajak 2007 ke bawah pembetulan SPT tahunan dengan kurang bayar maka dihapus sanksi adminitrasinya. PT. Kaltim Prima coal sebagai wajib pajak yang baik ingin berpartisipasi dalam sunset policy dua perusahaan yaitu PT. Kaltim Prima Coal dan Arutmin membuat SPT pembetulan dalam rangka sunset policy tahun pajak 2006 dan 2007. Terdakwa dimintai tolong oleh Arif Kuncoro untuk melakukan review apakah sunset policy yang dilakkan wajib pajak sudah sesuia dan sudah benar. Terdakwa review dan terdakwa sampaikan pada Arif Koncoro bahwa sudah benar dan sudah sesuia dengan peraturan yang ada, untuk itu Terdakwa menerima imbalan sebesar US$ 2.000.000 atau setara dengan Rp.20.000.000.00,- (dua puluh milyar rupiah)
Berdasarkan uraian diatas, terlepas dari benar tidaknya Terdakwa menerima uang sejumlah Rp.28.000.000.000,- (dua puluh delapan milyar rupiah) dari tiga pekerjaan tersebut, apabila dihubungkan dengan pekerjaan Terdakwa sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka apabila Terdakwa memiliki uang sejumlah Rp.28.000.000.000,- (dua puluh delapan milyar rupiah) pada rekeningnnya, patut diduga Terdakwa berhubungan dengan Tindal Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa. Disamping itu pula dengan Terdakwa mengakui adanya perjanjian kerja sama yang sebenarnya tidak ada (fiktif) antara Terdakwa, maka Terdakwa sebenarnya berniat akan menyembunyikan sumber perolehan uang tersebut karena dapat mempersulit Terdakwa untuk mempertangungjawabkannya.
Dengan demikian berdasarkan pertimbangan di atas Terdakwa tidak memberikan keterangan
yang
sebenarnya
tentang
sumber
perolehan
uang
sejumlah
sekita
RP.28.000.000.000,- (dua puluh delapan milyar rupiah) kepada penyidik karena Terdakwa tahu atau menduga uang tersebut mempunyai hubungan dengan Tindal Pidana Korupsi yang dilakukan Terdakwa, maka unsure keempat (4) telah terpenuhi. Oleh karena semua unsure dalam dakwaan keempat telah terpenuhi, maka Terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan keempat melanggar Pasal 22 jo Pasal 28 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang No. 20 Tahun 2001. Setelah
membaca
perimbangan
Hakim
diatas,
penulis
berpendapat
dalam
mengsingkronkan fakta – fakta hukum dengan unsur – unsur tindak pidana dalam setiap pasal yang didakwakan sudahlah tepat.
Dimana suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana apabila mengandung unsur melawan hukum atau sifat tercelanya perbuatan tersebut. Dalam hal ini ada dua pandangan, yaitu unsur melawan hukum sebagai unsur konstitutif (constitutief element) tiap tindak pidana dan unsur melawan hukum bukanlah sebagai unsur tindak pidana apabila unsur melawan hukum tidak disinggung secara tegas dalam ketentuan pidana yang bersangkutan. 116 Pendapat mengenai apakah unsur melawan hukum harus dicantumkan atau tidak dalam setiap rumusan delik berhubungan erat dengan ajaran tentang sifat melawan hukum formil dan materil. Sifat melawan hukum formil adalah unsur melawan hukum positif tertulis sedangkan sifat melawan hukum materiil mengatakan bahwa anasir melawan hukum tidak 116
Zevenbergen, Van Hammel, dan Simons berpendapat bahwa anasir-anasir melawan hukum itu sebagai unsur-unsur konstitutif tiap tindak pidana. Pendapat ini ditentang oleh HazewinkelSuringa dan Pompe yang berpendapat bahwa unsur melawan hukum hanya merupakan unsur mutlak suatu tindak pidana jika Undang-Undang menyebutkannya dengan tegas sebagai unsur tindak pidana tersebut. Oleh Hazewinkel-Suringa, ditegaskan apabila tidak disebut dengan tegas, maka unsur melawan hukum hanya suatu tanda adanya tindak pidana. Bahwa pendapat yang melihat unsur melawan hukum sebagai unsur konstitutif tidak sesuai dengan sifat dan corak hukum pidana Belanda dan Indonesia. Pendapat ini mendapat tentangan hebat dari Schepper dan de Waard, Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah, op.cit, hlm. 260-267;
hanya melawan hukum yang tertulis, tetapi juga juga sebagai suatu anasir yang melawan hukum tidak tertulis atau sifat tercelanya perbuatan benar-benar dirasakan oleh masyarakat. 117
Menurut Moeljatno, karena peraturan hukum pidana sudah dimuat dalam KUHP dan berbagai undang-undang, maka pandangan terhadap sifat melawan hukum materiil, hanya mempunyai arti mengecualikan perbuatan yang meskipun masuk rumusan delik akan tetapi bukan merupakan tindak pidana (fungsi negatif dari sifat melawan hukum). 118 Karena itu pula ajaran-ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang (hukum tidak tertulis). 119 Paham melawan hukum materiil yang berfungsi negatif
diikuti
oleh
Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia
dalam
putusannya
No.42K/Kr/1965113 120. Berbicara mengenai sanksi pidana, penulisn mencoba menguraikan pendapat penulis bahwasannya sanksi pidana erat kaitannya dengan pertangungjawaban pidana. Dimana Setiap sistem hukum modern seyogianya, dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. 121 Dalam menentukan perbuatan yang dapat dipidana terdapat dua pandangan, yaitu pandangan
117
Simons, Zevenbergen dan beberapa pengarang lainnya tidak dapat menerima ajaran melawan hukum materiil dalam hukum pidana, bagi mereka “hukum” itu “Undang-Undang” yakni hukum tertulis. Sedangkan van Hattum dan Pompe mengatakan bahwa melawan hukum itu yaitu melawan hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Keberatan utama untuk ajaran melawan hukum materiil ini adalah mengurangi kepastian hukum, hakim diberi kesempatan untuk bertindak sewenang-wenang, Utrecht, ibid. 118 Moeljatno, op.cit, hlm. 133. 119 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hlm. 25. 120 Dalam pertimbangan hukumnya, antara lain Mahkamah Agung mengatakan: “bahwa pada umumnya suatu tindak pidana itu dapat hilang sifatnya sebagai perbuatan yang “melawan hukum”, kecuali berdasarkan ketentuan Undang-Undang, juga berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum.” P.A.F. Lamintang, op.cit, hlm. 358. 121 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana, Tanpa Kesalahan menuju Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 65.
monistis 122 dan dualistis 123. Penganut Pandangan monistis tentang strafbaarfeit berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik, meliputi: 1. Kemampuan bertanggungjawab; 2. Kesalahan dalam arti luas; sengaja dan/atau kealpaan; 3. Tidak ada alasan pemaaf Sedangkan teori dualistis memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Berpangkal tolak dari pandangan bahwa, unsur pembentuk tindak pidana hanyalah perbuatan. 124Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian, dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana. Sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan
tindak
pidana
tersebut
menjadi
bagian
dari
persoalan
lain,
yaitu
pertanggungjawaban pidana. 125 Robinson mengatakan, “actus reus-mens rea distinction in general way as the distinction between the functions of defining prohibit conduct and defining the conditions under which a defendant is to be blameworthy and therefore liable for enganging is such prohibit conduct.” 126 Dengan demikian, aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Dengan adanya aturan
122
Aliran monistis dipengaruhi oleh aliran klasik yang semata-mata menitikberatkan pada perbuatan. Inti dari pandangan monistis perbuatan yang memenuhi isi Undang-Undang, dan pidana dimaksudkan sebagai sanksi dalam hukum pidana. Kesan dari pandangan ini seakan-akan orang yang telah melakukan perbuatan, dalam hal ini tindak pidana harus dipidana. Pandangan ini menyatukan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana dari orang yang melakukan tindakan. 123 Aliran dualistis dipengaruhi oleh aliran neoklasik. Pandangan ini memisahkan tindak pidana disatu pihak dengan pertanggungjawaban pidana di pihak lain, adanya pemisahan ini mengandung konsekuensi bahwa untuk mempidana seseorang tidak cukup kalau orang tersebut hanya telah melakukan tindak pidana saja melainkan masih dibutuhkan satu syarat lagi yaitu apakah orang tersebut terbukti kesalahannya (menyangkut pertanggungjawaban pidana); memgandung akses kesalahan. Oleh karena itu pandangan ini menyatakan bahwa pidana mengacu pada orang tanpa melupakan perbuatannya, yang dianut saat ini dan yang akan datang. 124 Moeljatno, Op.Cit., hlm.10 125 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan menuju Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2008.hlm.15. 126 Paul H. Robinson, “Should the Criminal Law Abandon the Actus Reus- Mens Rea Distinctiion”, dalam Stephen Shute, John Gardner dan Jeremy Horder,ed. Action and Value in Criminal Law, Clarendon Press, Oxford, 1993, hlm.93.
mengenai tindak pidana dapat dijenali perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman pidana yang dilekatkan padanya. 127 Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi pidana. Penentu apakah seseorang patut dicela karena perbuatannya, di mana wujud celaan tersebut adalah pemidanaan. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga keseimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan penentuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya. Dengan demikian aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut. 128 Berdasarkan uraian tersebut diatas, pertangungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan. Untuk memberikan arti tentang kesalahan, yang merupakan syarat untuk menjatuhkan pidana, dijumpai beberapa pendapat antara lain: 129 1. Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian “Social-Ethisch” dan mengatakan antara lain: sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana, berupa keadaan psychisch dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti bahwa berdasarkan psychisch (jiwa) itu perbuatannya dicelakan kepada si pembuat.
127
Chairul Huda, Op.cit. hlm. 16-17. Ibid. 129 Sudarto, Hukum dan perkembangan masyarakat, Sinar baru, Bandung, 1983, hlm.86. 128
2. Van Hamel mengatakan bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psychologis, peehubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum. 130 3. Moeljatno mengatakan 131 kesalahan adalah unsur, bahkan syarat mutlak bagi adanya pertanggungjawaban yang berupa pengenaan pidana. Karena itu bagi masyarakat Indonesia berlaku asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” (Geen straf zonder shuld) atau dalam bahasa latinnya: “Actus non facit reum nisi mens sit rea”. Adapun buktinya bahwa asas ini berlaku bagi kita adalah andaikata seseorang dihukum tanpa mempunyai kesalahan, nsicaya hal itu akan kita rasakan sebagai hal yang tidak adil da semestinya dihukum. Utrecht pun mengemukakan hubungan antara 2 anasir peristiwa pidana yaitu melawan hukum (wederrechtelijk) dan kesalahan (Schuld). Dimana keduanya mempunyai hubungan yang erat sekali, yakni tidak mungkinlah adanya kesalahan tanpa melawan hukum, karena apabila kelakuan yang bersangkutan tidak melawan hukum maka menurut hukum pidana positif kelakuan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. 132 Sudarto mengemukakan pula pengertian kesalahan psychologis (batin) antar si pembuat dan perbuatannya. Disamping itu ada unsur lain ialah penilaian keadaan jiwa si pembuat, ialah kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. 133 Alasan penghapusan pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin maupun yurisprudensi. Dalam
bahasa
Belanda
alasan
penghapus
pidana
disebut
dengan
istilah
strafuitsluitingsgrond. 134 Alasan Penghapusan pidana diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan, -tetapi tidak dibuktikan-oleh terdakwa) yang kalau dipenuhi
130
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Banudng, 1991, hlm.58; Utrech,Op.Cit.hlm.285-286. 131 Moeljatno, Op.Cit, hlm.149; Utrech,Ibid.hlm.286. 132 Utrech,Ibid.hlm.287-290. 133 Sudarto, Op.Cit., hlm. 90-91. 134 Utrecht, Op.Cit., hlm. 343.
menyebabkan –meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhitidak dapat dijatuhkan pidana. 135 Dalam ilmu hukum pidana alasan penghapus pidana dibedakan dalam:
136
1. Alasan penghapus pidana umum. Alasan Penghapus pidana umum adalah alasan penghapus pidana yang berlaku umum untuk setiap tindak pidana dan disebut dalam pasal 44, 48 – 51 KUHP. 2. Alasan penghapusan pidana khusus. Alasan penghapusan pidana khusus adalah alasan penghapusan pidana yang berlaku hanya untuk tindak pidana tertentu. Misalnya pasal 122, 221 ayat (2), 261, 310, dan 367 ayat (1) KUHP. Selain alasan penghapusan pidana yang diatur dalam KUHP ada juga alasan penghapus pidana yang terdapat diluar KUHP, yaitu: 137 1. Hak mendidik dari orang tua; 2. Izin dari orang yang dirugikan; 3. Hak jabatan dari dokter (gigi); 4. Mewakili urusan orang lain; 5. Tidak adanya melawan hukum materil; 6. Tidak adanya kesalahan sama sekali; 7. Alasan penghapus pidana putative. Alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) yaitu alasan menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan. Alasan pembenar ini berkaitan dengan tindak pidana, yaitu menghapuskan tindak pidana. Sedangkan alasan pemaaf (Schulduitsluitingsgronden) 135
Alasan-alasan Penghapusan Pidana Dalam Hukum Pidana Positif dan Hubungannya dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung, penelitian Sigid Suseno, Universitas Padjadjaran, 1995, hlm. 5. 136 Sudarto, Op.Cit., hlm. 138., Utrecht, Op.Cit., hlm. 344-345. 137 Penelitian Sigid Suseno, Op.,Cit., hlm.6.
berkaitan dengan pertanggungjawaban pelakunya (toerekeningsvatbaarheid), dimana kelakuan
yang
bersangkutan
tetap
suatu
peristiwa
pidana
tetapi
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepada pembuat. 138 Jenis-jenis alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pembenar, yang terdapat dalam KUHP adalah: 1. Keadaan darurat atau noodtoestand. Keadaan darurat menurut sebagian pakar hukum pidana merupakan alasan pembenar dan menurut sebagian lagi merupakan alasan pemaaf. Keadaan darurat merupakan bagian dari daya paksa relative. Oleh karena itu diaturnya dalam pasal 48 KUHP, yang menyatakan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Dalam keadaan darurat pelaku melakukan tindak pidana karena terdorong oleh suatu paksaan dari luar. 139 Paksaan tersebut menyebabkan pelaku dihadapkan pada 3 tipe keadaan darurat, yaitu: a. Perbenturan antara 2 kepentingan hukum; b. Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum; c. Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum. 2. Pembelaan terpaksa atau noodweer Pembelaan terpaksa diatur dalam pasal 49 ayat 1 KUHP, yang isinya menyatakan: “Barang Siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.”
138 139
Utrecht, Op.Cit., hlm.346. Ibid, hlm.355.
Dalam pembelaan terpaksa perbuatan pelaku memenuhi rumusan suatu tindak pidana, namun karena syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut dianggap tidak melawan hukum. 3. Melaksanakan ketentuan undang-undang. Alasan pembenar ini diatur dalam pasal 50 KUHP yang isinya menyatakan: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketententuan undangundang, tidak dipidana. Seseorang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang walaupun memenuhi rumusan tindak pidana dianggap tidak melawan hukum dan oleh karenanya tidak dipidana. 4. Menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang. Hal ini diatur dalam pasal 51 ayat 1 KUHP yang isinya menyatakan: “Barang siapa melakukan perbuatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang, tidak dipidana.” Orang dapat melaksanakan undnag-undang oleh dirinya sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Jika seseorang melaksanakan perintah ini, maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum. 140 Jenis-jenis alasan penghapusan pidana yang termasuk alasan pemaaf, yang terdapat dalam KUHP adalah: 1. Tidak mampu bertanggung jawab. Tidak mampu bertanggung jawab diatur dalam pasal 44 KUHP, yang menyatakan: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggung karena penyakit, tidak dipidana.”
140
Sudarto, Op.Cit., hlm.153.
Dalam Memorie van Teolichting yang dimaksud tidak mampu bertanggung jawab ialah: 141 a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan undang-undang. b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya. Menurut pasal 44 KUHP orang yang termasuk tidak mampu bertanggung jawab adalah orang yang jiwanya cacat. 2. Daya Paksa atau Overmacht Daya paksa ini merupakan daya paksa relative (vis compulsive). Sama dengan keadaan darurat daya paksa juga diatur dalam pasal 48 KUHP. KUHP tidak menjelaskan pengertian daya paksa. Dalam daya paksa orang berada dalam posisi terjepit. Sifat dari daya paksa datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat. 142 Dalam daya paksa perbuatannya tetap merupakan tindak pidana namun ada alasan yang menghapuskan kesalahan pelakunya. 3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau Noodweer exces. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas merupakan pembelaan terpaksa juga. Namun karena serangan tersebut menimbulkan goncangan jiwa yang hebat maka pembelaan tersebut menjadi berlebih. Hal ini diatur dalam pasal 49 ayat (2) KUHP. Yang menyatakan: “pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.” 4. Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah. 141 142
Ibid, hlm.95 Ibid, hlm.10.
Alasan pemaaf ini diatur dalam pasal 51 ayat 2 KUHP yang menyatakan: “perintah jabatan yang tanpa wenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam ligkungan pekerjaannya.” Menurut pasal ini melaksanakan perintah jabatan yang tidak wenang dapat merupakan alasan pemaaf bila orang yang melaksanakan perintah mempunyai itikad baik dan berada dalam lingkungan pekerjaannya. Alasan penghapus pidana tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum dan keadilan. Hal ini mengingat bahwa peraturan hukum pidana merupakan peraturan yang berisi kaidah-kaidah yang berlaku umum bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan suatu tindak pidana. Tanpa adanya alasan penghapusan pidana pada Gayus Halomoan Partahanan Tambunan , dan telah memenuhi rumusan suatu tindka pidana maka dapat dijatuhkan pidana.
BAB V PENUTUP Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut: A. KESIMPULAN 1. Adapun hubungan antara tindak pidana perpajakan dengan tindak pidana korupsi sehingga Undang-Undang tipikor dapat diterapkan pada tindak pidana perpajakan yaitu dalam UndangUndang tindak pidana perpajakan terdapat suatu delik “yang dapat merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara” delik tersebut juga terdapat pada Undang-Undang Tipikor, sehingga Undang-Undang Tipikor dapat diterapkan dalam memberantas pelaku tindak pidana perpajakan. a. Hubungan tindak pidana perpajakan dan tindak pidana korupsi juga dapat dikaitkian memalui asas pidana Concurcus Idealis dan, concurcus berlanjut dan concurcus realis, perbuatan perbarenganm dimana jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari 1 aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu. 2. Penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana perpajakan telah sesuai dengan Undang-
Undangmenjatuhkan hukuman pokok dan hukuman tambahan, agar memberikan efek jera pada para pelaku. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di bidang perpajakan, dalam hal ini yakni Gayus dimana pada setiap rumusan pasal yang di dakwakan kepadanya telah memenuhi unsure-unsur dalam pasal tersebut, serta tidak adanya alas an pemaaf dan
pembenar dalam dirinya, maka pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersamasama dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan aturan yang ada. a. Faktor-faktor penyebab timbulnya tindak pidana korupsi dibidang perpajakan terdiri atas 7 aspek antara lain aspek individu, aspek ekonomi, aspek budaya, aspek agama, seperti adanya sifat tamak, moral dan iman yang kurang kuat mengahadapi godaan, pengahsilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, dan aspek sosial yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat dimana individu berada, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat juga ikut berperan aktif. b. Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis terhadap kasus tindak pidana perpajakan dimana juga termasuk kedalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Gayus Halomoan Partahanan Tambuanan selaki Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jendral Pajak dimana dia bertugas sebagai pelaksana maka penulis dapat menyimpulkan bahwa tindak pidana yang terjadi dibidang perpajakan dapat dikenakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jika tindak pidana perpajakan tersebut menyebabkan kerugian negara atau perekonomian negara baik secara langsun maupun tidak langsung. Dan semua unsurunsur didalam Pasal Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi telah terpenuhi. B. SARAN 1. Pajak merupakan salah satu sumber penghasilan pendapatan negara, maka pengelolaan pajak harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar terciptanya cita-cita negara untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. 2. Perlunya mengoptimalkan peran masyarakat sebagai subjek pajak, bahwa masalah pajak adalah masalah bersama, sehingga upaya pemenuhan pajak menjadi menjadi tanggung
jawab bersama. Tercapai tidaknya sistem Self Assement dalam pembayaran pajak sangat tergantung dari bentuk kesadaran diri masyarakat, juga didukung oleh pemerintah sebagai fiskus yang diwujudkan dibentuk dalam pelayanan publik. 3. Kebiijakan untuk menerapkan sanksi yang berat dalam Undang-Undang perpajakan. Perlu penerapan sanksi yang tegas terhadap pelaku tindak pidana dibidang perpajakan. Misalnya diterapkannya delik korupsi terhadap pelaku pelanggaran dibidang perpajakan, degan catatan negara telah nyata dirugikan secara ekonomi, serta penjatuhan hukuman pidana haruslah dijatuhkan tanpa adanya pilih kasih dan diskriminatif. 4. Perlunya diupayakan peningkatan kualitas aparat penegak hukum baik hakim, polisi, jaksa, maupun pengacara sehingga memilki profesionalitas
rangka menangani tindak
pidana korupsi dibidang perpajakan, terutama yang berkaitan dengan tugas-tugas aparat penegak hukum baik yang ada dalam bidang pemeriksaan, penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan dipengadilan. 5. Mengupayakan pemerintah dan pembuat Undang-Undang meliki kerangka pemikiran dalam kebijakan hukum pidana untuk menanggulangi tindak pidana dibidang perpajakan.