1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang. Notaris sebagai pejabat umum dipandang sebagai pejabat publik yang menjalankan profesinya dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN).
Lembaga notaris masuk ke Indonesia pada abad ke17
seiring dengan kehadiran VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dalam lintas perdagangan yang dilakukan dengan akta Notariil yang di perkenalkan oleh para penjajah Belanda. Akta yang dibuat oleh notaris adalah berupa akta otentik yang pada hakikatnya
memuat
kebenaran
formil
sesuai
dengan
apa
yang
diberitahukan para pihak kepada Notaris. Oleh sebab itu notaris memerlukan perlindungan hukum dalam menjalankan jabatannya selaku pejabat umum. Notaris sebagai pejabat umum mempunyai kewajiban menerapkan apa yang termuat dalam akta Notaris bahwa akta yang dibuat dari padanya sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak. Notaris harus membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta berikut menjelaskan isi akta dan perundang-undangan yang termuat pada akta tersebut agar dapat dipahami oleh para pihak secara seksama.
2
Notaris sebagai pejabat negara yang berwenang membuat akta sedikit banyak berpengaruh pada hak dan kewajiban para pihak yang menghadap kepadanya, legalisasi dari notaris diperlukan untuk membuktikan akan adanya suatu perbuatan serta hak dan kewajiban tertentu. Disamping itu UUJN menegaskan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Kewenangan notaris menurut Pasal 15 UUJN adalah membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu notaris dipandang sebagai wakil Negara dalam ranah hukum keperdataan untuk membuat ala t bukti otentik yang sempurna bagi masyarakat. Kehadiran notaris sebagai pejabat publik adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan perlunya suatu alat bukti tertulis atas setiap perikatan yang mereka lakukan sehari- hari, agar tercipta kepastian hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dalam hal notaris sebagai pejabat publik yang memberikan pelayanan hukum bagi masyarakat, pemerintah mengeluarkan aturan yang disebut undang-undang Nomor 2 Tahun 2014
3
sebagai perubahan dari undang- undang Nomor 30 Tahun 2004, Negara ketetapan yang diharuskan oleh perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan kepada pejabat lain atau orang
yang
ditetapkan
oleh
Undang-undang.
Jabatan
Notaris
sesungguhnya menjadi bagian penting dari Negara Indonesia yang menganut prinsip sebagai Negara hukum, artinya Negara menjamin kepastian adanya hukum, ketertiban dan perlindungan hukum, melalui alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materiil (judicial review) terhadap Pasal 66 ayat (1) UUJN yang diajukan Sdr. Kant Kamal. Amar Keputusan Mahkamah Konstitusi pada intinya membatalkan frasa “Dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah“ dalam pasal yang diuji. Dengan demikian pemeriksaan proses hukum yang melibatkan Notaris tidak memerlukan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) lagi, dan frasa tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 1 Keputusan tersebut tentu saja membuat notaris pada umumnya merasa tidak nyaman karena biasanya para notaris apabila menghadapi suatu
1
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X 2013.
4
permasalahan yang berkaitan dengan proses peradilan pidana polisi tidak bisa serta merta menga mbil dokumen dalam penyimpanan notaris dan atau memanggil notaris untuk hadir dala m pemeriksaan yang bersentuhan dengan dokumen-dokumen atau protokol notaris yang dibuatnya tanpa persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD). Aturan tersebut dianggap melanggar prinsip Equality Before The Law atau persamaan di depan hukum (Pasal 28 UUD 1945) 2 . Pada intinya pasal tersebut menekankan adanya persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Keberadaan
MPD
dengan
kewenangannya
terhadap
perlindungan Notaris dianggap dapat menimbulkan penundaan proses peradilan dan keadilan. Notaris selama ini berada dalam paradigma yang agung, dianggap sebagai golongan mulia yang harus menjunjung tinggi kehormatan dan kepercayaan, sehingga ada pandangan bahwa Notaris adalah sebagai kelompok elit yang merupakan komunitas ilmiah yang berada pada standar yang lebih tinggi diantara masyarakat pada umumnya. Notaris dalam melakukan tugas jabatannya mendapat pengawasan, Ketentuan pengawasan notaris mengacu kepada Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan
Terhadap
Notaris,
Mahkamah
Agung
dan
Serta
Keputusan
Menteri
Bersama
Kehakiman
Ketua Nomor
KMA/006/SKB/VII/1987 Tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan
2
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
5
Pembelaan Diri Notaris. Sejak berlakunya undang- undang jabatan notaris pengawasan notaris yang sebelumnya berada pada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri setempat, dialihkan pada Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Majelis Pengawas Daerah. Majelis Pengawas Daerah dibentuk sebagai perpanjangan tangan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tunduk kepada peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004, sebagai badan pengawas yang bertugas memberikan pembinaan dan pengawasan dalam bentuk pengawasan preventif dan pengawasan refresif, hal yang demikian ini adalah dipandang sebagai suatu bentuk perlindungan hukum bagi seorang Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya. Kemudian dengan dihapuskannya frasa “ Dengan Persetujuan Majelis Pengawas Daerah “ pada pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, maka otomatis peraturan menteri tersebut ( Pasal 14 ) ikut batal demi hukum. Saat ini notaris tidak lagi mendapat filter apabila ada panggilan dari penyidik, jaksa, maupu hakim terkait dengan akta yang dibuatnya, artinya Majelis Pengawas Daerah tidak lagi dapat memberikan pembinaan dalam bentuk refresif atau sesudah adanya kejadian. Dalam kaitannya dengan tugas Kepolisian Republik Indonesia sebagai penyidik, maka pada tahun 2006 telah di bentuk Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia bersama Ikatan Notaris Indonesia
6
(INI) 3 No.Pol : B/1056/V/2006 dan Nomor 01/MOU/PP-INI-/V/2006 tentang pembinaan peningkatan profesionalisme dibidang penegakan hukum, tanggal 9 mei 2006 dalam kesepakatan tersebut menyebutkan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan penyelidik sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 berupa pemanggilan, pemeriksaan, penyitaan dan tindakan la in menurut hukum yang sesuai Pasal 7 ayat 1 huruf j KUHAP,4 dapat juga dilakukan kepada Notaris-PPAT baik sebagai saksi maupun tersangka, terutama dalam kaitan suatu tindakan pidana dalam pembuatan akta Notaris-PPAT sesuai dengan ketentuan Pasal 66 undang-undang jabatan notaris, kemudian pada Pasal 2 ayat (2) menyebutkan juga Pemanggilan Notaris-PPAT dilakukan setelah penyidik memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas yang merupakan suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan kewenangan. Namun perlu kita cermati sebelum adanya undang-undang jabatan notaris Nomor 30 Tahun 2004, yaitu ketentuan Pasal 54 undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 perubahan atas undang-undang nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan umum. Kemudian dicabut oleh Pasal 91 undang-undang jabatan notaris juga tidak ada memuat mengenai ketentuan yang mengatur segala pemeriksaan terkait notaris sebagai pembuat akta harus melalui Majelis Penga was Daerah, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan 3
Lihat Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia bersama Ikatan Notaris Indonesia (INI) No.Pol : B/1056/V/2006 dan Nomor 01/MOU/PP-INI-/V/2006 tentang pembinaan peningkatan profesionalisme dibidang penegakan hukum, 4 Lihat Pasal 7 angka 1 huruf j, Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
7
ketent uan tersebut pada tanggal 28 Mei 2013 maka ia mengembalikan kepada keadaan semula yaitu tidak adanya ijin memeriksa notaris untuk menjadi saksi melalui Majelis Pengawas Daerah . Sebelum berlakunya undang- undang jabatan notaris Nomor 30 Tahun 2004, Notaris di awasi oleh Pengadilan Negeri dibawah naungan Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman, pengawasan tersebut meliputi tempat dan kedudukan, sarana kantor, protokol, penyimpanan minuta akta, jumlah akta, pengiriman dubbel repertorium dan menindak lanjuti kebenaran laporan masyarakat. Dengan mekanisme pengawasan yang bersifat preventif dan represif, artinya pengawasan secara preventif adalah
pengawasan
yang
dilakukan
sebelum
pelaksanaan,
yaitu
pengawasan terhadap segala sesuatu yang masih bersifat rencana, pengawasan yang dilakukan secara represif adalah pengawasan yang dilakukan sesudah pekerjaan atau kegiatan dilaksanakan. Sejak undang- undang jabatan notaris Nomor 30 Tahun 2004 di undangkan pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menunjuk Majelis Pengawas Daerah sebagai pembina dan pengawas terhadap notaris, sehubungan dengan munculnya Keputusan Mahkamah Konstitusi yang pada intinya membatalkan frasa “Dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal yang diuji, dengan demikian pemeriksaan proses hukum yang melibatkan notaris tidak memerlukan persetujuan Majelis Pengawas Daerah lagi, dan frasa tersebut dianggap bertentangan dengan undang-
8
undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka dengan aturan tersebut maka seluruh notaris di Indonesia selaku warga negara yang baik harus tunduk dan patuh kepada peraturan tersebut, dan sejak itu pula notaris dapat dipanggil oleh penyidik untuk diperiksa dan diminta keterangan tanpa harus meminta persetujuan Majelis Pengawas Daerah. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
NOTARIS
UNDANG-UNDANG
PASCA
NOMOR
BERLAKUNYA
2
TAHUN
2014
PASAL
66
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS”. B. Rumusan masalah. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana implementasi perlindungan hukum terhadap profesi jabatan Notaris sebelum dan sesudah berlaku Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X2013? 2. Bagaimana seharusnya Notaris dalam menjalankan profesi jabatannya dapat
melindungi
dirinya
sendiri
setelah
berlakunya
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X2013? C. Tujuan penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
Putusan
9
1. Untuk mengetahui implementasi perlindungan hukum terhadap profesi jabatan Notaris sebelum dan sesudah berlaku Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X2013. 2. Untuk mengetahui bagaimana seharusnya Notaris dalam menjalankan profesi jabatannya dapat melindungi dirinya sendiri setelah berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X2013. D. Manfaat penelitian. 1. Secara Teoritis Sebagai bahan masukan atau kontribusi pemikiran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum khususnya bidang kenotariatan yakni tentang perlindungan hukum terhadap Notaris terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013. 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan informasi kepada Penulis, para notaris, calon notaris, Organisasi Ikatan Notaris Indonesia, dan pihak-pihak yang berkaitan dengan ilmu kenotariatan. E. Keaslian penelitian. Sejauh yang peneliti telusuri, penelitian mengenai pokok permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini belum ada yang meneliti, sebagai pendukungnya ada beberapa penelitian terdahulu yaitu :
10
I. Fransisca Prameisyati NIM : 13875/PS/MK/04, pada Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan judul : “Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Dalam Melaksanakan Kewajiban Rahasia jabatan di Daerah Hukumnya”. -
Rumusan Masalah : 1. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap Notaris dalam melaksanakan kewajiban rahasia jabatannya. 2. Bagaimana tolak ukur dan tata cara dari Majelis Pengawas Daerah kota Yogyakarta dalam memberikan persetujuan kepada penyidik berkaitan dengan pemanggilan Notaris sebagai saksi.
II. Mutia Maihani NIM : 07/26178/PHK/04425
pada Program Pasca
Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan judul : “Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Sebagai Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana”. - Rumusan Masalah : 1.
Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap Notaris sebagai saksi dalam proses peradilan pidana
2. Apa sajakah hambatan yang dihadapi dalam memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris sebagai saksi dalam proses peradilan pidana. Pada prinsipnya walaupun penelitian ini mempunyai kesamaan dengan penelitian tersebut di atas, yakni “Perlindungan Hukum
11
Terhadap Notaris” yang dijadikan objek penelitian, tetapi yang membedakan dengan penelitian tersebut di atas adalah bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara akurat bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris dari Majelis Pengawas Daerah terkait dengan dicabutnya Pasal 66 yang mengatur
tentang
hak
istimewa
Notaris
apabila
Notaris
menghadapi permasalahn hukum dalam menjalankan tugas jabatannya. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini belum pernah dilakukan, oleh karenanya penulis menyatakan penulisan ini adalah asli. Jika terdapat kesaman dalam penelitian ini diharapkan dapat saling melengkapi, sehingga menambah pengetahuan, khususnya di bidang hukum kenotariatan.