26
BAB III KAJIAN PUSTAKA
3.1. Tinjauan Pustaka 3.1.1. Konsep Tentang Motivasi Kerja Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi adalah proses menghasilkan tenaga oleh keperluan diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Seseorang yang mempunyai motivasi bermakna ia telah memperoleh kekuatan untuk mencapai kecemerlangan dan kejayaan dalam kehidupan. Dalam suatu kelompok, motivasi menjadi penggerak kepada kejayaan organisasi. Dalam konsep manajemen, motivasi kerja dianggap sesuatu yang penting, karena dapat menunjang kelancaran pelaksanaan tugas pimpinan. Itulah sebabnya pimpinan harus senantiasa berupaya meningkatkan motivasi bawahannya serta harus memiliki kemampuan di dalam memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan motivasi, terutama memahami kebutuhan yang dimanifestasikan melalui perilaku karyawan di dalam melaksanakan tugasnya. Setiap individu baik karyawan atau atasan di perusahaan manapun memiliki motivasi masing-masing. Robbins (1996) menyatakan bahwa motivasi secara umum bersangkutan dengan upaya ke arah setiap tujuan, terutama tujuan organisasi sebagai cerminan minat tunggal kita dalam perilaku yang berkaitan dengan kerja. Wahjosumidjo (1994) memberikan suatu definisi:
27
“Motivasi adalah suatu proses psikologi yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang untuk bertingkah laku dalam rangka memenuhi kebutuhan yang dirasakan.” Dari beberapa pendapat para ahli tentang motivasi, maka pada dasarnya pengertian motivasi adalah faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan dan mengarahkan perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu. Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu penggerak atau dorongan-dorongan yang terdapat dalam
diri
manusia
yang
dapat
menimbulkan,
mengarahkan,
dan
mengorganisasikan tingkah lakunya. Hal ini terkait dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan rohani Dalam hubungannya dengan lingkungan kerja, McCormick (dalam Mangkunegara, 2002) mengemukakan bahwa motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Teori motivasi dipandang dari sudut psikologi banyak sekali macamnya. Untuk memudahkan mempelajarinya, dari macam-macam teori dikelompokkan berdasarkan pendekatan-pendekatan yang dilakukan para tokoh-tokohnya. Beberapa pendekatan dibagi antara lain pendekatan insting, pendekatan dorongan (drive) dan pendekatan kognitif (Petri 1996). Proses timbulnya perilaku menurut pendekatan-pendekatan di atas dimulai dari adanya kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya internal. Kebutuhan-kebutuhan tadi menimbulkan ketegangan pada
28
organisme dan ketegangan ini menimbulkan suatu energi atau dorongan yang bertujuan untuk mengadakan pemuasan terhadap kebutuhan agar ketegangan yang sedang berlangsung hilang atau berkurang. Pemuasan terhadap kebutuhan ini dapat dihadirkannya objek pemuas yang ada pada dunia eksternal. Salah satu teori motivasi adalah melalui pendekatan dorongan (drive). Istilah drive atau dorongan ini pertama kali dikemukakan oleh Woodworth (dalam Petri, 1996), untuk menjelaskan tentang kumpulan energi yang mendorong organisme dalam melakukan sesuatu dengan cara tertentu. Menurut Woodworth (dalam Petri, 1996) bahwa perilaku selain refleksrefleks tidak bakal terjadi tanpa motivasi yang juga disebutnya dengan istilah drive. Woodworth menyatakan bahwa dorongan (drive) itu diperlukan demi timbulnya suatu perilaku, karena tanpa dorongan tadi, tidak akan ada suatu kekuatan yang mengarah kepada suatu mekanisme timbulnya perilaku. Dorongan diaktifkan oleh kebutuhan (need), dalam arti kebutuhan tadi membangkitkan dorongan dan dorongan ini akhirnya mengaktifkan perilaku. Dorongan membuat persisten perilaku, untuk mengatasi kebutuhan yang menjadi penyebab timbulnya dorongan itu sendiri.
3.1.2. Teori Motivasi As’ad (1998) mengemukakan bahwa motivasi ialah segala sesuatu yang menggerakkan organisme baik itu sumbernya dari faktor internal ataupun eksternal. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi kerja adalah lingkungan tempat kerja antara lain kondisi individu atau rekan kerja, iklim
29
organisasi serta pola manajemen yang berlaku. Sedangkan faktor internal adalah kondisi internal individu seperti sikap, minat dan potensi yang dimiliki. Donal (dalam Komaruddin, 1994) membagi motivasi dalam dua jenis : 1). Motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri seseorang. Motivasi ini sering disebut “motivasi murni” misalnya, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan akan perasaan diterima; 2). Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang datang dari luar diri seseorang. Misalnya, kenaikan pangkat, pujian, hadiah dan sebagainya. Menurut Hunt tentang motivasi (Petri, 1996) dalam As’ad (1998) penyebab timbulnya perilaku adalah dari faktor eksternal dan faktor internal dan semua faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku adalah motivasi. Selanjutnya As’ad (1998) mengemukakan, motivasi yang timbul karena faktor internal disebut dengan motivasi intrinsik. Misalnya individu yang melakukan suatu pekerjaan karena memang menyenangi pekerjaan yang dilakukan sehingga dengan demikian aktivitas dalam pekerjaan tadi dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi individu yang bersangkutan. Motivasi yang timbul karena faktor eksternal disebut motivasi ekstrinsik. Misalnya individu yang melakukan pekerjaan Karena mengharapkan gaji dan upah yang bisa didapat dibalik pekerjaan itu. Individu melakukan tugas-tugasnya bisa karena dorongan untuk mendapatkan sesuatu seperti gaji, pangkat dan insentif-insentif lain yang datangnya dari dunia eksternal dan bisa pula karena yang
bersangkutan
memang
menyukai
pekerjaan
yang
menjadi
tugas
kewajibannya karena sesuai dengan minat dan kemampuan yang dimiliki. Dapat
30
pula justru karena kedua-duanya, yaitu individu termotivasi untuk melakukan suatu pekerjaan karena memang menyenangi pekerjaan tersebut sekaligus bertujuan untuk mendapatkan insentif eksternal dibalik pekerjaan yang dilakukan. Lingkungan
suatu
organisasi/perusahaan
terlihat
kecenderungan
penggunaan motivasi ekstrinsik lebih dominan dari pada motivasi instrinsik. Kondisi itu terutama disebabkan tidak mudah untuk menumbuhkan kesadaran dari dalam diri pekerja, sementara kondisi kerja disekitarnya lebih banyak menggiringnya untuk mendapatkan kepuasan kerja yang hanya dapat dipenuhi dari luar dirinya. Manusia merupakan makhluk yang keinginannya tidak terbatas atau tanpa henti, alat motivasinya adalah kepuasan yang belum terpenuhi serta kebutuhannya berjenjang, artinya jika kebutuhan yang pertama terpenuhi maka kebutuhan tingkat kedua akan menjadi yang pertama, dan berlaku seperti itu. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam masyarakat dan organisasi maka akan semakin tinggi faktor yang dirasakan menjadi kebutuhan orang tersebut.
3.1.2.1. Teori Maslow Adapun hierarki kebutuhan menurut Maslow (dalam Hasibuan, 2001) seperti dalam gambar 3.1 sebagai berikut :
31
Gambar 3.1 Hierarki Kebutuhan Maslow
5. Self actualization
4. Esteem or status
3. Affiliation or acceptence
2. Safety and security
1. Phsycological Sumber : Manajemen SDM Hasibuan, 2001 Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis, dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
3.1.2.2. Teori X dan Y Douglas McGregor mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia. Pada dasarnya, yang satu negatif, yang ditandai sebagai Teori
32
X, dan yang lain positif, ditandai dengan Teori Y. Menurut Teori X, empat asumsi yang dipegang para manajer adalah sebagai berikut : 1.
Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja dan bila dimungkinkan akan mencoba.
2.
Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau diancam hukuman untuk mencapai sasaran.
3.
Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan pengarahan formal bila mungkin
4.
Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang terkait dengan kerja dan akan menunjukkan ambisi yang rendah
Empat Asumsi positif yang lain, yang disebut Teori Y : 1.
Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan istirahat atau bermain.
2.
Orang-orang akan melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka memiliki komitmen pada sasaran.
3.
Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan tanggung jawab.
4. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua orang dan tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen.
3.1.2.3. Teori Herzberg Herzberg dikutip oleh Umar (1999) mengemukakan teori dua faktor atau
33
sering disebut sebagai Herzberg two factor motivation theory. Menurutnya pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi dua faktor utama yang merupakan kebutuhan, yaitu : 1). Maintenance Factor (faktor pemeliharaan atau faktor higinis) Menurut teori ini terdapat serangkaian kondisi ekstrinsik yaitu keadaan pekerjaan yang menyebabkan rasa tidak puas di antara karyawan. Kondisi ini adalah faktor yang membuat orang tidak puas, disebut juga higiene factor, karena faktor tersebut diperlukan untuk mempertahankan tingkat yang paling rendah, yaitu tingkat tidak ada kepastian. Faktor ini berhubungan dengan hakikat pekerja yang ingin memperoleh kebutuhan (ketentraman) badaniah. Kebutuhan ini akan berlangsung terus menerus, karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah dipenuhi. Faktor pemeliharaan ini meliputi balas jasa (gaji dan upah), kondisi kerja, kebijakan serta administrasi perusahaan, kepastian pekerjaan, hubungan antar pribadi (atasan dan bawahan), kualitas supervisi, kestabilan kerja, dan kehidupan pribadi. 2). Motivation Factor (faktor motivasi) Merupakan faktor motivasi yang menyangkut kebutuhan psikologis yang berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan. Kebutuhan ini meliputi serangkaian kondisi intrinsik, kepuasan kerja yang diperoleh dalam pekerjaan akan mendorong motivasi yang kuat, sehingga dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik. Faktor-faktor tersebut meliputi prestasi, pengakuan,
34
pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan, pengembangan potensi individu, ruangan yang nyaman, dan penempatan kerja yang sesuai. Dalam kehidupan organisasi, pemahaman terhadap motivasi bagi setiap pemimpin sangat penting artinya, namun motivasi juga dirasakan sebagai sesuatu yang sulit. Hal ini dikemukakan oleh Wahjosumidjo (1994 : 173) sebagai berikut : a. Motivasi sebagai suatu yang penting (important subject) karena peran pemimpin itu sendiri kaitannya dengan bawahan. Setiap pemimpin tidak boleh tidak harus bekerja bersama-sama dan melalui orang lain atau bawahan, untuk itu diperlukan kemampuan memberikan motivasi kepada bawahan. b. Motivasi sebagai suatu yang sulit (puzzling subject), karena motivasi sendiri tidak bisa diamati dan diukur secara pasti. Dan untuk mengamati dan mengukur motivasi berarti harus mengkaji lebih jauh perilaku bawahan. Disamping itu juga disebabkan adanya teori motivasi yang berbeda satu sama lain. Untuk memahami motivasi pegawai dalam penelitian ini digunakan teori motivasi dua arah yang dikemukakan oleh Herzberg. Adapun pertimbangan peneliti adalah : Pertama, teori yang dikembangkan oleh Herzberg berlaku mikro yaitu untuk karyawan di tempat ia bekerja saja. Sementara teori motivasi Maslow misalnya berlaku makro yaitu untuk manusia pada umumnya. Kedua, teori Herzberg lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dengan performa pekerjaan. Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg tahun 1966 yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Teori
35
Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker and Hall dalam Timpe, 1999 : 13). Berdasarkan hasil penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat dari berbagai Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor (Cushway and Lodge, 1995 : 138). Menurut teori ini ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation. Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masingmasing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Jadi karyawan yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinnya menggunakan kreaktivitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini tidak terutama dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (dalam Siagian, 2002 : 107).
36
Adapun yang merupakan faktor motivasi menurut Herzberg adalah : pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih (achievement), peluang untuk maju (advancement), pengakuan orang lain (ricognition), tanggung jawab (responsible). Sedangkan faktor hygienis terdiri dari : kompensasi, kondisi kerja, status, suvervisi, hubungan antara manusia, dan kebijaksanaan perusahaan. Lebih jelasnya teori dua faktor Herzberg (Herzberg’s Two Factor Theory) yang dikutip oleh Luthans (dalam Sopiah, 2008) sebagai berikut : Tabel 3.1 Herzberg’s Two Factor Theory Hygiene Factor
Motivators
Ekstinsic
Intrinsic
1. Company policy and administration (Kebijaksanaan & administrasi) 2. Supervision technical (Supervisi) 3. Salary (Gaji/Upah) 4. Interpersonal realtion, supervisor (Hubungan antara pribadi) 5. Working contion (Kondisi kerja)
1. Achievement (Keberhasilan pelaksanaan) 2. Recognition (Pengakuan/penghargaan) 3. Work it self (Pekerjaan itu sendiri) 4. Responsibility (Tanggung jawab) 5. Advancement (Pengembangan)
Sumber : Luthans (dalam Sopiah, 2008) Menurut Herzberg faktor hygienis/extrinsic factor tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini
37
dianggap tidak dapat memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial (Cushway & Lodge, 1995 : 139). Sedangkan faktor motivation/intrinsic factor merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah (hygienis) (Leidecker & Hall dalam Timpe, 1999 : 13). Dari teori Herzberg tersebut, uang/gaji tidak dimasukkan sebagai faktor motivasi dan ini mendapat kritikan oleh para ahli. Pekerjaan kerah biru sering kali dilakukan oleh mereka bukan karena faktor intrinsik yang mereka peroleh dari pekerjaan itu, tetapi kerena pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka (Cushway & Lodge, 1995 : 139).
3.1.2.4. Teori Motivasi Berprestasi (Teori McClelland ) David McClelland menjelaskan tentang keinginan seseorang untuk mencapai kinerja yang tinggi. Hasil penelitian tentang motivasi berprestasi menunjukkan pentingnya menetapkan target atau standar keberhasilan. Karyawan dengan ciri-ciri motivasi berprestasi yang tinggi akan memiliki keinginan bekerja yang tinggi. Karyawan lebih mementingkan kepuasan pada saat target telah tercapai dibandingkan imbalan atas kinerja tersebut. Hal ini bukan berarti mereka tidak mengharapkan imbalan, melainkan mereka menyukai tantangan. Ada tiga macam kebutuhan yang dimiliki oleh setiap individu yaitu:
38
Kebutuhan berprestasi (Achievement motivation) yang meliputi tanggung jawab pribadi, kebutuhan untuk mencapai prestasi, umpan balik dan mengambil risiko sedang. Kebutuhan berkuasa (Power motivation) yang meliputi persaingan, mempengaruhi orang lain. Kebutuhan berafiliasi (Affiliation motivation) yang meliputi persahabatan, kerjasama dan perasaan diterima. Dalam lingkungan pekerjaan, ketiga macam kebutuhan tersebut saling berhubungan, karena setiap karyawan memiliki semua kebutuhan tersebut dengan kadar yang berbeda-beda. Seseorang dapat dilatihkan untuk meningkatkan salah satu dari tiga faktor kebutuhan ini. Misalnya untuk meningkatkan kebutuhan berprestasi kerja, maka karyawan dapat dipertajam tingkat kebutuhan berprestasi dengan menurunkan kebutuhan yang lain. McClelland seorang pakar psikologi dari Universitas Harvard di Amerika Serikat mengemukakan bahwa kinerja seseorang dapat dipengaruhi oleh virus mental yang ada pada dirinya. Virus tersebut merupakan kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk mencapai kinerja secara optimal. Ada tiga jenis virus sebagai pendorong kebutuhan yaitu kebutuhan berprestasi, kebutuhan berafiliasi dan kebutuhan berkuasa. Karyawan perlu mengembangkan virus tersebut melalui lingkungan kerja yang efektif untuk meningkatkan kinerja dan mencapai tujuan perusahaan. Motivasi berprestasi merupakan suatu dorongan dengan ciri-ciri seseorang melakukan pekerjaan dengan baik dan kinerja yang tinggi. Kebutuhan akan
39
berprestasi tinggi merupakan suatu dorongan yang timbul pada diri seseorang untuk berupaya mencapai target yang telah ditetapkan, bekerja keras untuk mencapai keberhasilan dan memiliki keinginan untuk mengerjakan sesuatu secara lebih lebih baik dari sebelumnya. Karyawan dengan motivasi berprestasi tinggi sangat menyukai tantangan, berani mengambil risiko, sanggup mengambil alih tanggungjawab, senang bekerja keras. Dorongan ini akan menimbulkan kebutuhan berprestasi karyawan yang membedakan dengan yang lain, karena selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan lebih baik. Berdasarkan pengalaman dan antisipasi dari hasil yang menyenangkan serta jika prestasi sebelumnya dinilai baik, maka karyawan lebih menyukai untuk terlibat dalam perilaku berprestasi. Sebaliknya jika karyawan telah dihukum karena mengalami kegagalan, maka perasaan takut terhadap kegagalan akan berkembang dan menimbulkan dorongan untuk menghindarkan diri dari kegagalan. Ciri-ciri perilaku karyawan yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi menurut McClelland adalah: Menyukai tanggungjawab untuk memecahkan masalah. Cenderung menetapkan target yang sulit dan berani mengambil risiko. Memiliki tujuan yang jelas dan realistik. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh. Lebih mementingkan umpan balik yang nyata tentang hasil prestasinya. Senang dengan tugas yang dilakukan dan selalu ingin menyelesaikan dengan sempurna.
40
Sebaliknya ciri-ciri karyawan yang memiliki motivasi berprestasi rendah adalah: Bersikap apatis dan tidak percaya diri. Tidak memiliki tanggungjawab pribadi dalam bekerja. Bekerja tanpa rencana dan tujuan yang jelas. Ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Setiap tindakan tidak terarah dan menyimpang dari tujuan. Laporan hasil penelitian tentang gaya manajerial dari 16.000 manajer di Amerika Serikat yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, menengah dan rendah menunjukkan sebagai berikut : Manajer dengan motivasi berprestasi yang rendah memiliki karakter pesimis dan tidak percaya dengan kemampuan bawahannya. Sedangkan manajer dengan motivasi berprestasi tinggi sangat optimis dan memandang bawahan baik dan menyenangkan. Motivasi manajer dapat diproyeksikan pada bawahannya. Bagi manajer yang bermotivasi prestasi tinggi selalu memperhatikan aspek-aspek pekerjaan yang harus diselesaikan dan mendiskusikan tugas pekerjaan yang harus dicapai bawahannya, sehingga mereka akan menerima. Manajer yang bermotivasi berprestasi tinggi cenderung menggunakan metode partisipasi terhadap bawahannya, sedangkan manajer dengan motivasi berprestasi sedang dan rendah selalu menghindar dalam interaksi dan komunikasi terbuka. Manajer yang prestasinya tinggi lebih memperhatikan pada manusia dan tugas / produksi, manajer yang prestasinya sedang lebih memperhatikan
41
tugas / produksi, sedangkan manajer yang prestasinya rendah hanya memperhatikan kepentingan pribadi dan tidak menghiraukan bawahannya.
3.1.2.5. Teori Evaluasi Kognitif menurut P.C. Jordan Inti teori ini adalah pandangan yang mengatakan bahwa pengaruh motivasi intrinsik berkurang apabila seorang telah bermotivasi oleh dorongan yang bersifat ekstrinsik. Teori ini mengatakan bahwa apabila faktor-faktor motivasional yang bersifat ekstrinsik kuat, maka motivasi intrinsik melemah. Dicontohkan jika motivasi ekstrinsik seperti penghasilan yang menarik, seseorang karyawan seolaholah kehilangan kendali atas “nasibnya” dan karena itu kepuasan menampilkan kinerja rendah, dengan kata lain motivasi yang bersangkutan telah beralih dari motivasi intrinsik menjadi motivasi ekstrinsik (dalam Siagian, 2002 : 109).
3.1.2.6. Teori ERG Clayton alderfer telah mengerjakan ulang teori kebutuhan hierarki Maslow untuk disandingkan secara lebih dekat dengan riset empiris. Hierarki kebutuhan yang direvisinya itu disebut teori ERG. Menurut Alderfer ada tiga kelompok kebutuhan inti; eksistensi (exixtence), keterhubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth), sehingga disebut teori ERG. Berbeda dengan teori hierarki kebutuhan, teori ERG memperlihatkan bahwa (1) lebih dari satu kebutuhan dapat berjalan pada saat yang sama, dan (2) jika kepuasan pada tingkat lebih tinggi tertahan, maka hasrat untuk memenuhi tingkat kebutuhan lebih rendah meningkat.
42
3.1.2.7. Teori Penetapan Sasaran Sasaran memberi tahu karyawan, apa yang perlu dikerjakan dan berapa banyak upaya yang harus dilakukan. Atau dapat dikatakan bahwa sasaran khusus meningkatkan kinerja; sasaran sulit bila diterima dengan baik, menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada sasaran mudah; dan bahwa umpan balik menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada tidak ada umpan balik.
3.1.2.8. Teori Penguatan ( Reinforcement theory ) Dalam
teori
penguatan,
kita
mempunyai
pendekatan
perilaku
(behavoristik), yang berargumen bahwa penguatanlah yang mengkondisikan perilaku. Para ahli teori penguatan memandang perilaku dibentuk oleh lingkungan. Apa yang mengendalikan perilaku adalah pemerkuat (reinforcers) setiap konsekuensi dengan respon tertentu, meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku itu akan diulang. Teori penguatan mengabaikan keadaan internal dari individu dan memusatkan semata-mata hanya pada apa yang terjadi pada seseorang bila ia mengambil sesuatu tindakan. Dalam bentuknya yang murni, teori penguatan mengabaikan perasaan, sikap, pengharapan dan variabel kognitif lainnya yang dikenal berdampak terhadap perilaku.
3.1.2.9. Teori Hanyut (Flow) Suatu unsur penting dari pengalaman flow adalah bahwa motivasinya itu tidak berkaitan dengan sasaran akhir. Kegiatan yang dilakukan manusia ketika mereka mencapai perasaan yang tidak dibatasi waktu (timelesness) itu berasal dari proses aktivitas itu sendiri dan bukannya untuk mencapai sasaran. Dengan
43
demikian ketika seseorang mengalami perasaan hanyut (flow), dia benar-benar termotivasi secara intrinsik.Pemahaman yang lebih jelas tentang flow sudah ditawarkan dalam model motivasi intrinsik Thomas. Thomas menggambarkan karyawan sebagai orang termotivasi secara intinsik bila dia benar-benar peduli dengan pekerjaannya, mencari cara yang lebih baik untuk melakukannya, dan mendapat kekuatan dan kepuasan dalam melakukannya dengan baik. Imbalan yang didapat dari motivasi intrinsik datang dari kerja itu sendiri dan bukannya dari faktor-faktor eksternal seperti kenaikan gaji atau pujian dari atasan. Model Thomas mengemukakan bahwa motivasi intrinsik dicapai ketika orang mengalami perasaan-perasaan adanya pilihan, kompetensi, penuh arti dan kemajuan.
3.1.2.10. Teori Kesetaraan Dalam teori kesetaraan, individu membandingkan masukan dan keluaran pekerjaan mereka dengan masukan/ keluaran orang lain dan kemudian berespons untuk menghapuskan setiap ketidaksetaraan. Ada empat pembanding yang dapat digunakan yaitu : o
Di dalam diri sendiri : pengalaman karyawan dalam posisi yang berbeda dalam organisasinya yang sekarang ini
o
Di luar diri sendiri: pengalaman karyawan dalam situasi atau posisi di luar organisasinya sekarang ini
o
Di dalam diri orang lain: individu atau kelompok individu lain dalam organisasi karywan itu
o
Di luar diri orang lain: individu atau kelompok individu di luar organisasi karyawan itu.
44
Berdasarkan
teori
kesetaraan,
bila
karyawan
mempersepsikan
ketidaksetaraan, dapat diprediksikan bahwa mereka dapat mengambil salah satu dari enam pilihan berikut : 1. Mengubah masukan (input) mereka (misalnya, tidak mengeluarkan banyak upaya) 2. Mengubah keluaran (output) mereka (misalnya, individu yang dibayar atas dasar banyaknya output dapat menaikkan upah mereka dengan mengahsilkan kuantitas yang lebih tinggi dari unit yang kualitasnya lebih rendah) 3. Mendistorsikan persepsi mengenai diri 4. Mendistorsi persepsi mengenai orang lain 5. Memilih acuan yang berlainan 6. Meninggalkan medan (misalnya, berhenti dari pekerjaan) Secara historis, teori kesetaraan berfokus pada keadilan distributif atau keadilan yang dipahami berdasarkan banyaknya dan alokasi imbalan ke sejumlah individu. Tatapi kesetaraan juga harus mempertimbangkan Kesetaraan proseduralkesetaraan yang dipersepsikan dari proses yang digunakan untuk menentukan distribusi imbalan. Sebagai kesimpulan, teori kesetaraan memperlihatkan bahwa, untuk kebanyakan karyawan, motivasi sangat dipengaruhi oleh imbalan relatif maupun imbalan mutlak.
3.1.2.11. Teori Pengharapan Teori pengharapan beragumen bahwa kekuatan dari kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu bergantung pada kekuatan pengharapan
45
bahwa tindakan itu akan diikuti oleh output tertentu dan tergantung pada daya tarik output itu bagi individu tersebut. Teori ini berfokus pada tiga hubungan, yaitu: 1. Hubungan upaya-kinerja. Probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan mendorong kinerja. 2. Hubungan kinerja-imbalan. Sampai sejauh mana individu itu menyakini bahwa berkinerja pada tingkat tertentu akan mendorong tercapainya output yang diinginkan. 3. Hubungan imbalan-sasaran-pribadi. Sampai sejauh mana imbalan-imbalan organisasi memenuhi sasaran atau kebutuhan pribadi individu serta potensi daya tarik imbalan tersebut bagi individu tersebut. Sebagai ringkasan, kunci untuk teori pengharapan adalah pemahaman sasaran individu dan keterkaitan antara upaya dan kinerja, antara kinerja dan imbalan, dan akhirnya antara imbalan dan dipuaskannya masing-masing sasaran.
3.1.3. Faktor-faktor Motivasi Telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa faktor-faktor motivasi yang digunakan dalam penelitian ini dikutip dari teori dua faktor Herzberg. Faktorfaktor motivasi tersebut akan diuraikan berikut ini : 3.1.3.1. Gaji (Salary) Bagi pegawai, gaji merupakan faktor penting untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarganya. Gaji selain berfungsi memenuhi kebutuhan pokok bagi setiap pegawai juga dimaksudkan untuk menjadi daya dorong bagi pegawai agar dapat bekerja dengan penuh semangat. Menurut Braid (dalam Timpe
46
1999:66) tidak ada satu organisasi pun yang dapat memberikan kekuatan baru kepada tenaga kerjanya atau meningkatkan produktivitas, jika tidak memiliki sistem kompensasi yang realitis dan gaji bila digunakan dengan benar akan memotivasi pegawai. Menurut Braid program kompensasi yang baik mempunyai tiga ciri penting yaitu bersaing, rasional, berdasarkan performa. Stephen et al. (dalam Timpe, 1999 : 63) menyatakan bahwa uang/gaji tidak dapat memotivasi terkecuali pegawai menyadari keterkaitannya dengan performa. Meier (dalam As’ad, 1998 : 92), bahwa pendistribusian gaji didasarkan pada produksi, lamanya kerja, lamanya dinas dan besarnya kebutuhan hidup. Sedangkan menurut Nitisenmito (dalam Gouzali, 1996 : 174) agar karyawan dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik, dalam pemberian kompensasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum b. Dapat mengikat karyawan agat tidak keluar dari perusahaan c. Dapat menimbulkan semangat dan kegairahan kerja d. Selalu ditinjau kembali e. Mencapai sasaran yang diinginkan f. Mengangkat harkat kemanusiaan g. Berpijak pada peraturan yang berlaku.
3.1.3.2. Supervisi Supervisi yang efektif akan membantu peningkatan produktivitas pekerja melalui penyelenggaraan kerja yang baik, pemberian petunjuk-petunjuk yang
47
nyata sesuai standar kerja, dan perlengkapan pembekalan yang memadai serta dukungan-dukungan lainnya . Tanggung jawab utama seorang supervisor adalah mencapai hasil sebaik mungkin dengan mengkoordinasikan sistem kerja pada unit kerjanya secara efektif (Dharma, 2000 : 7). Supervisor mengkoordinasikan sistem kerjanya itu dalam tiga hal penting yaitu : melakukan dengan memberi petunjuk/pengarahan, memantau proses pelaksanaan pekerjaan, dan menilai hasil dari sistem kerja yang diikuti dengan melakukan umpan balik (feed back). Supervisor dalam melaksanakan penilaian kinerja, menurut Harper (dalam Timpe, 1999 : 281) pendekatan pengkajian dan pengembangan kinerja (performance review and development / PR&D) lebih efektif dari sistem penilaian kinerja karena seorang pimpinan tidak hanya memusatkan perhatian pada pengembangan kemampuan, potensi karier, dan keberhasilan profesional setiap karyawan. Pendekatan PR&D mencakup penciptaan sasaran dan standar kinerja, mengkaji kinerja aktual, membandingkan kinerja aktual dengan sasaran yang telah ditentukan,
mengaitkan
imbalan
dengan
kinerja,
membuat
rencana
pengembangan, dan menyepakati sasaran dan standar kinerja masa depan.
3.1.3.3. Kebijakan dan Administrasi Keterpaduan antara pimpinan dan bawahan sebagai suatu keutuhan atau totalitas sistem merupakan faktor yang sangat penting untuk menjamin keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Melalui pendekatan manajemen partisipatif, bawahan tidak lagi dipandang sebagai objek,
48
melainkan sebagai subjek (Soedjadi, 1997:4). Dengan komunikasi dua arah akan terjadi komunikasi antar pribadi sehingga berbagai kebijakan yang diambil dalam organisasi bukan hanya merupakan keinginan dari pimpinan saja tetapi merupakan kesepakatan dari semua anggota organisasi. Para pendukung manajemen partisipatif selalu menegaskan bahwa manajemen partisipatif mempunyai pengaruh positif terhadap karyawan, melalui partisipasi, para karyawan akan mampu mengumpulkan informasi, pengetahuan, kekuatan dan kreaktivitas untuk memecahkan persoalan (Zainun,1995:2).
3.1.3.4. Hubungan Kerja Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh suasana kerja atau hubungan kerja yang harmonis yaitu terciptanya hubungan yang akrab, penuh kekeluargaan dan saling mendukung baik itu hubungan antara sesama pegawai atau antara pegawai dengan atasan. Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu membutuhkan hubungan dengan orang lain, baik itu di tempat kerja maupun di luar lingkungan kerja. Menurut Ranupandojo dan Husnan (1990:187), bahwa manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan persahabatan dan mereka tidak akan bahagia bila ditinggalkan sendirian, untuk itu maka mereka akan melakukan hubungan dengan teman-temannya. Kebutuhan
sosial
secara
teoritis
adalah
kebutuhan
akan
cinta,
persahabatan, perasaan memiliki dan diterima oleh kelompok, keluarga dan organisasi menurut Mengginson (dalam Handoko, 1993 : 258). Menurut
49
Indrawijaya (1998:125), bahwa kelompok yang mempunyai tingkat keeratan yang tinggi cenderung menyebabkan para pekerja lebih puas berada dalam kelompok.
3.1.3.5. Kondisi Kerja Kondisi kerja yang nyaman, aman dan tenang serta didukung oleh peralatan yang memadai tentu akan membuat pegawai betah untuk bekerja. Menurut Sumarni (1995 : 198), bahwa dengan kondisi kerja yang nyaman, karyawan akan merasa aman dan produktif dalam bekerja sehari-hari. Sementara itu menurut Cushway and lodge (1985:319), bahwa lingkungan fisik dimana individu bekerja mempunyai pengaruh pada jam kerja maupun sikap mereka terhadap pekerjaan itu sendiri 30% dari kasus absensi para pekerja ternyata disebabkan oleh sakit yang muncul dari kecemasan neurosis yang berkembang sebagai reaksi kondisi kerja.
3.1.3.6. Pekerjaan itu sendiri Pekerjaan itu sendiri menurut Herzberg merupakan faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma tinggi. Pekerjaan atau tugas yang memberikan perasaan telah mencapai sesuatu, tugas itu cukup menarik, tugas yang memberikan tantangan bagi pegawai, merupakan faktor motivasi, karena keberadaannya sangat menentukan bagi motivasi untuk berforma tinggi. (Leidecker & Hall dalam Timpe, 1999 : 13). Suatu pekerjaan akan disenangi oleh seseorang bila pekerjaan itu sesuai dengan kemampuannya, sehingga dia merasa bangga untuk melakukannya.
50
Pekerjaan yang tidak disenangi kurang dan menantang, biasanya tidak mampu menjadi daya dorong, bahkan pekerjaan tersebut cenderung menjadi rutinitas yang membosankan dan tidak menjadi kebanggaan. (Gouzali, 1996:245).
3.1.3.7. Peluang untuk maju (advance) Peluang untuk maju (advance) merupakan pengembangan potensi diri seseorang karyawan dalam melakukan pekerjaan (Gouzali, 1996:246). Setiap karyawan tentunya menghendaki adanya kemajuan atau perubahan dalam pekerjaannya yang tidak hanya dalam hal jenis pekerjaan yang berbeda atau bervariasi, tetapi juga posisi yang lebih baik. Setiap karyawan menginginkan adanya promosi ke jenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan pengalamannya dalam bekerja. Peluang bagi pengembangan potensi diri akan menjadi motivasi yang kuat bagi pegawai untuk bekerja lebih baik.
3.1.3.8. Pengakuan/penghargaan (Recognition) Seperti dikemukakan oleh Maslow, bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan sense of belonging (rasa ingin dihargai). Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari pemberian kompensasi. (Gouzali, 1996:247). Menurut Simamora (2002), pengakuan merupakan kepuasan yang diperoleh seseorang dari pekerjaan itu sendiri atau dari lingkungan psikologis dan atau fisik dimana orang tersebut bekerja, yang masuk dalam kompensasi non
51
finansial. Seseorang yang memperoleh pengakuan atau penghargaan akan dapat meningkatkan semangat kerjanya. Menurut Soeprihanto (1998:35) : “Kebutuhan akan harga diri/penghormatan lebih bersifat individual atau mencirikan pribadi, ingin dirinya dihargai atau dihormati sesuai dengan kapasitasnya (kedudukannya), sebaliknya setiap pribadi tidak ingin dianggap dirinya lebih rendah dari yang lain. Mungkin secara jabatan lebih rendah tetapi secara manusiawi setiap individu (pria atau wanita) tidak ingin direndahkan. Oleh sebab itu pimpinan yang bijak akan selalu memberikan pengakuan/ penghargaan kepada karyawan yang telah menunjukkan prestasi membanggakan sebagai faktor motivasi yang efektif bagi peningkatan prestasi kerja pegawainya.
3.1.3.9. Keberhasilan (achievement) Setiap orang tentu menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan/tugas yang dilaksanakan. Pencapaian prestasi atau keberhasilan (achievement) dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan untuk melakukan tugas-tugas berikutnya (Gouzali, 1996:246). Dengan demikian prestasi yang dicapai dalam pekerjaan akan menimbulkan sikap positif, yang selalu ingin melakukan pekerjaan dengan penuh tantangan. Sesorang yang memiliki keinginan berprestasi sebagai suatu kebutuhan dapat mendorongnya untuk mencapai sasaran. Menurut David McCleland bahwa tingkat “needs of Achievement” (n-Ach) yang telah menjadi naluri kedua merupakan kunci keberhasilan seseorang (dalam Siswanto, 1989:245). Kebutuhan
52
berprestasi biasanya dikaitkan dengan sikap positif, keberanian mengambil resiko yang diperhitungkan untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan.
3.1.3.10. Tanggung Jawab Menurut Flippo (1994:105), bahwa tanggung jawab adalah merupakan kewajiban seseorang untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang ditugaskan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan pengarahan yang diterima. Setiap orang yang bekerja pada suatu perusahaan/organisasi ingin dipercaya memegang tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar apa yang telah diperolehnya. Tanggung jawab bukan saja atas pekerjaan yang baik, tetapi juga tanggung jawab berupa kepercayaan yang diberikan sebagai orang yang mempunyai potensi. Setiap orang ingin diikutsertakan dan ingin diakui sebagai orang yang mempunyai potensi, dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan siap memikul tanggung jawab yang lebih besar. (Gouzali, 1996:248).
3.1.4. Konsep dan Pengertian Kinerja Dalam pengertian bebas, kinerja/prestasi kerja dapat diartikan sebagai suatu pencapaian hasil kerja sesuai dengan aturan dan standar kerja yang berlaku pada masing-masing organisasi kerja. Simamora (2002) memberi batasan kinerja, kinerja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, performance atau job performance tetapi dalam bahasa
Inggrisnya
sering disingkat
menjadi
performance saja. Kinerja dalam bahasa Indonesia disebut juga prestasi kerja.
53
Kinerja atau prestasi kerja (performance) diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap, keterampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu. Prestasi kerja (performance) diartikan sebagai suatu pencapaian persyaratan pekerjaan tertentu yang akhirnya secara langsung dapat tercermin dari output yang dihasilkan baik kuantitas maupun mutunya. Pengertian di atas menyoroti kinerja berdasarkan hasil yang dicapai seseorang setelah melakukan pekerjaan. Bernardin dan Rusel (dalam Ruky, 2006) memberikan definisi tentang kinerja (performance) sebagai berikut : kinerja/prestasi adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Maier (dalam As'ad, 1998) menyatakan bahwa pada umumnya kinerja diberi batasan sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Berdasarkan hal tersebut As'ad menyatakan bahwa yang dimaksud kinerja adalah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Kast dan Rosenzweig (dalam As'ad, 1998) memberikan konsep umum tentang prestasi adalah : Prestasi = f (kesanggupan, usaha dan kesempatan) Persamaan ini menampilkan faktor atau variabel pokok yang menghasilkan prestasi, mereka adalah masukan (inputs) yang jika digabung, akan menentukan hasil usaha perorangan dan kelompok. Kesanggupan (ability) adalah fungsi dari
54
pengetahuan dan skill manusia dan kemampuan teknologi. Ia memberikan indikasi tentang berbagai kemungkinan prestasi. Usaha (effort) adalah fungsi dari kebutuhan, sasaran, harapan dan imbalan. Besar kemampuan terpendam manusia yang dapat direalisir itu bergantung pada tingkat motivasi individu dan atau kelompok untuk mencurahkan usaha fisik dan mentalnya. Tetapi tak akan ada yang terjadi sebelum manajer memberikan kesempatan (opportunity) kepada kesanggupan dan usaha individu untuk dipakai dengan cara-cara yang bermakna. Prestasi organisasi adalah hasil dari sukses individu dan kelompok dalam mencapai sasaran yang relevan. Prestasi kerja adalah sesuatu yang dikerjakan atau produk atau jasa yang dihasilkan oleh seseorang atau kelompok, bagaimana mutu kerja, ketelitian dan kerapian kerja, penugasan dan bidang kerja, penggunaan dan pemeliharaan peralatan, inisiatif dan kreativitas, disiplin, dan semangat kerja (kejujuran, loyalitas, rasa kesatuan dan tanggung jawab serta hubungan antar pribadi). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prestasi kerja merupakan sejumlah output dari outcomes yang dihasilkan suatu kelompok atau organisasi tertentu baik yang berbentuk materi (kuantitatif) maupun yang berbentuk nonmateri (kualitatif). Pada organisasi atau unit kerja di mana input dapat teridentifikasi secara individu dalam bentuk kuantitas misalnya pabrik jamu, indikator kinerja pekerjaannya dapat diukur dengan mudah, yaitu banyaknya output yang dicapai dalam kurun waktu tertentu. Namun untuk unit kerja kelompok atau tim, kinerja tersebut agak sulit, dalam hubungan ini Simamora (2002) mengemukakan bahwa kinerja dapat dilihat dari indikator sebagai berikut :
55
1) Keputusan terhadap segala aturan yang telah ditetapkan organisasi, 2) Dapat melaksanakan pekerjaan atau tugasnya tanpa kesalahan (atau dengan tingkat kesalahan yang paling rendah), 3) Ketepatan dalam menjalankan tugas Ukuran kinerja secara umum yang kemudian diterjemahkan ke dalam penilaian perilaku secara mendasar meliputi: 1) mutu kerja; 2) kuantitas kerja; 3) pengetahuan tentang pekerjaan; 4) pendapat atau pernyataan yang disampaikan; 5) keputusan yang diambil; 6) perencanaan kerja; 7) daerah organisasi kerja. Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi. Sehubungan dengan itu maka upaya untuk mengadakan penilaian kinerja merupakan hal yang sangat penting. Hasibuan (1999) menjelaskan kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Hasibuan menyatakan bahwa produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input).
3.1.4.1. Penilaian Kinerja Karyawan Pencapaian tujuan organisasi dilakukan oleh seluruh anggota dengan melaksanakan tugas yang sudah ditentukan sebelumnya berdasarkan beban dan volume kerja yang dikelola oleh suatu manajemen. Dalam melaksanakan tugasnya, setiap anggota yang berfungsi sebagai bawahan perlu dinilai hasilnya
56
setelah tenggang waktu tertentu melalui suatu program (Istijanto, 2006). Program/rangkaian usaha ini dapat dikatakan sebagai penilaian terhadap prestasi kerja karyawan. Sementara Bernadin dalam Ruky (2006) menyatakan bahwa penilaian prestasi merupakan catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Menurut Nawawi (2005), pada hakekatnya penilaian prestasi kerja karyawan yang merupakan kegiatan manajemen SDM adalah suatu proses pengamatan (observasi) terhadap pelaksanaan pekerjaan oleh seorang pekerja yang memiliki hak-hak asasi yang dilindungi. Menurut Hasibuan (2001) penilaian prestasi kerja adalah menilai rasio hasil kerja nyata dengan standar kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan setiap karyawan, menetapkan kebijaksanaan mengenai promosi atau balas jasanya. Istijanto (2006) menjabarkan bahwa indikator/tolak ukur/kriteria bawahan dalam melaksanakan pekerjaan terdiri atas beberapa aspek yaitu kualitas kerja, tanggung jawab terhadap pekerjaan, kerja sama dengan rekan kerja, orientasi terhadap pelanggan dan inisiatif karyawan. Menurut McKenzie yang dikutip oleh Tyler (2005) bahwa Penilaian kinerja adalah alat yang sangat kuat untuk membuktikan kinerja karyawan, dan pernyataan tersebut diakui oleh karyawan. Menurut Penelitian terakhir melalui IQ, hanya 13 persen dari karyawan dan manager yang merasakan sistem penilaian kinerja mereka berguna seperti yang dikatakan oleh Tyler (2005) . Pada giliran berikutnya, hasil dari penilaian/pengukuran prestasi kerja
57
karyawan dapat dijadikan informasi yang berharga bagi para manajer, misalnya dapat melihat apakah pekerja mengerjakan tugas yang sudah menjadi tanggung jawabnya, memberikan gambaran tentang kekurangan dan kelebihan pekerja dalam melaksanakan tugasnya, mengetahui keefektifan dan keefisienan kontribusi pekerja terhadap organisasi, dapat dikaitkan dengan pengambilan keputusan dan kebijakan manajer, dan dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan organisasi/ perusahaan seperti pengembangan karir (promosi atau pemindahan), suksesi dan kaderisasi, penyusunan program pengembangan dan pelatihan karyawan, penetapan gaji/upah dan kompensasi tidak langsung, review strategi bisnis dan lain-lain (Nawawi, 2005). Menurut Hasibuan (2001), penetapan penilai yang berkualitas harus berdasarkan syarat-syarat berikut : 1. Jujur, adil, objektif mengetahui pengetahuan yang mendalam tentang unsurunsur yang akan dinilai agar penilaiannya sesuai dengan realitas/fakta yang ada. 2. Hendaknya mendasarkan penilaian atas dasar benar/salah, baik/buruk terhadap unsur-unsur yang dinilai sehingga hasil penilaiannya jujur, adil, dan objektif. 3. Harus mengetahui secara jelas uraian pekerjaan dari setiap karyawan yang dinilai agar hasil penilaiannya dapat dipertangunggjawabkan. 4. Harus mempunyai wewenang formal agar penilai dapat melaksanakan tugas dengan baik.
58
3.1.4.2.
Kegagalan Pengukuran Kinerja Hanya sedikit hal yang harus dilakukan manajer yang lebih beresiko
dibanding kinerja karyawan. Karyawan cenderung terlalu optimis terhadap peringkat dirinya. Atasan dan karyawan tahu peningkatan mereka, kemajuan kariernya, dan kepuasan yang sangat bergantung pada saat penilaian kinerja. Hal ini dapat menyulitkan penilaian kinerja karena adanya sejumlah masalah tekhnis dan dapat menimbulkan keraguan pada seberapa adil proses tersebut secara keseluruhan. 3.1.4.2.1. Masalah potensial dalam penilaian dengan skala peringkat Sebagian besar pengusaha masih menggunakan sekala peringkat jenis grafis untuk menilai kinerja, karena skala ini rentan terhadap masalah; standar yang tidak jelas, efek halo, kecenderungan terpusat, longgar atau ketat, dan bias. standar yang tidak jelas, skala penilaian ini tampak objektif tapi mungkin menghasilkan penilaian yang tidak adil karena ciri dan tingkat jasa tidak jelas. Misalnya, beda penyelia mungkin akan mendefinisikan kinerja “baik”, kinerja “menengah”, akan secara berbeda. Hal yang sama untuk ciri seperti kualitas kerja dan kreatifitas. Ada
beberapa
cara
untuk
menyelesaikan
masalah
ini,
yaitu
mengembangkan dan memasukkan frase deskriptif yang mendefinisikan setiap ciri terdapat formulir untuk menspesifikasikan apa yang dimaksud dengan kualitas kerja “luar biasa”, “superior”, dan “baik”. Hal ini menspesifikasikan hasil dari penilaian yang lebih konsisten dan lebih mudah dijelaskan. Efek halo, didefinisikan sebagai pengaruh dari kesan umum peniai atas
59
peringkat sifat khusus dari orang yang dinilai. Misalnya penyelia sering memberikan peringkat rendah di semua ciri pada karyawan yang tidak bersahabat, daripada hanya untuk ciri berhubungan baik dengan orang lain. Untuk mengurangi masalah ini selain menyadari adanya suatu masalah dapat juga menggunakan BARS (behaviorally anchored rating scales – BARS), skala observasi perilaku (behavioral observation scales – BOS), dan skala perilaku yang diharapkan (behavioral expectation scales – BES).
Bars
membandingkan apa yang dilakukan karyawan terhadap kemungkinan perilaku yang ditunjukkan pada suatu pekerjaan. BOS menghitung jumlah berapa kali perilaku tertentu diperlihatkan. Kecenderungan terpusat, kecenderungan untuk menilai semua karyawan sama seperti menilai mereka semua sama rata-rata. Untuk mengurangi masalah ini selain menyadari adanya suatu masalah dapat juga menggunakan BES (behavioral expectation scales – BES) mengurutkan perilaku pada rangkaian kesatuan untuk mendefinisikan kinerja yang menonjol, rata-rata, dan tidak dapat diterima. Longgar atau ketat, masalah yang terjadi ketika seorang penyelia memiliki kecenderungan untuk menilai semua bawahannya tinggi atau rendah Bias, kecenderungan untuk membuat perbedaan individual seperti usia, ras, dan jenis kelamin yang memengaruhi peringkat penilaian yang diterima oleh karyawan.
60
3.2. Kerangka Pemikiran 3.2.1. Pengaruh Motivasi Intrinsik dengan Kinerja Karyawan Bagian Produksi Spinning PT Primarajuli Sukses Tangerang. Motivasi yang timbul karena faktor internal disebut dengan motivasi intrinsik. Misalnya individu yang melakukan suatu pekerjaan karena memang menyenangi pekerjaan yang dilakukan sehingga dengan demikian aktivitas dalam pekerjaan tadi dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi individu yang bersangkutan. Para karyawan yang memiliki motivasi internal sangat kuat akan cenderung memiliki tingkat kinerja yang tinggi. Motivasi intrinsik, dari aktivitas diri sendiri di dalam diri orang itu secara positif mempengaruhi perilaku, kinerja, dan kesejahteraan menurut Ryan dan Deci (dalam Bateman, 2000).
3.2.2. Pengaruh Motivasi Ekstrinsik dengan Kinerja Karyawan Bagian Produksi Spinning PT Primarajuli Sukses Tangerang. Motivasi yang timbul karena faktor eksternal disebut motivasi ekstrinsik. Misalnya individu yang melakukan pekerjaan Karena mengharapkan gaji dan upah yang bisa didapat dibalik pekerjaan itu. Individu melakukan tugas-tugasnya bisa karena dorongan untuk mendapatkan sesuatu seperti gaji, pangkat dan insentif-insentif lain yang datangnya dari dunia eksternal dan bisa pula karena yang
bersangkutan
memang
menyukai
pekerjaan
yang
menjadi
tugas
kewajibannya karena sesuai dengan minat dan kemampuan yang dimiliki. Dapat pula justru karena kedua-duanya, yaitu individu termotivasi untuk melakukan
61
suatu pekerjaan karena memang menyenangi pekerjaan tersebut sekaligus bertujuan untuk mendapatkan insentif eksternal dibalik pekerjaan yang dilakukan sehingga dapat meningkatkan kinerjanya, dengan demikian hubungan motivasi ekstrinsik akan sangat kuat dengan kinerja karyawan.
3.2.3. Pengaruh Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik secara bersama-sama dengan Kinerja Karyawan Bagian Produksi Spinning PT Primarajuli Sukses Tangerang. Penelitian ini
akan
melihat
faktor-faktor
apa saja
yang dapat
mempengaruhi motivasi kerja karyawan secara internal maupun eksternal serta kinerja kerja karyawan Bagian Produksi Spinning PT Primarajuli
Sukses
Tangerang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik dengan tingkat kinerja. Artinya, para karyawan yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan cenderung memiliki tingkat kinerja yang tinggi. Sebaliknya, mereka yang motivasi berprestasinya rendah kemungkinan akan memperoleh kinerja yang rendah. Motivasi kerja karyawan akan mempengaruhi kinerja kerja karyawan. Kinerja kerja karyawan ini dapat dinilai dari kualitas kerja, tanggung jawab terhadap pekerjaan, kerjasama dengan rekan kerja, dan ketepatan dalam pekerjaan. Dari keempat kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan pada
62
gambar 3.2 dalam bentuk bagan sebagai berikut :
Gambar. 3.2 Bagan kerangka pemikiran MOTIVASI INTRINSIK 1. Prestasi
H1
2. Penghargaan
Kinerja Karyawa n
3. Pekerjaan itu sendiri
1. Kualitas kerja, 4. Tanggung jawab
H3
2. Kuantitas hasil kerja 3. Tanggung jawab terhadap
5. Perkembangan
pekerjaan, 4. Kerjasama
MOTIVASI EKSTRINSIK
dengan
rekan
kerja, 1. Kebijakan perusahaan
5. Kecelakaan kerja
H2 2. Supervisi
6. Ketepatan dalam pekerjaan
3. Gaji/Upah 4. Hubungan kerja 5. Kondisi kerja
Keterangan : X1
: Motivasi Intrinsik
X2
: Motivasi Ekstrinsik
Y
: Kinerja Karyawan
3.3. Hipotesis Sesuai dengan rumusan masalah (identifikasi masalah) yang sudah dijelaskan, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut :
63
1. Motivasi intrinsik mempunyai pengaruh positif signifikan dengan Kinerja Karyawan Bagian Produksi Spinning PT Primarajuli Sukses Tangerang. 2.
Motivasi ekstrinsik mempunyai pengaruh pengaruh positif signifikan dengan Kinerja Karyawan Bagian Produksi Spinning PT Primarajuli Sukses Tangerang.
3.
Motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik secara bersama-sama mempunyai pengaruh positif signifikan dengan Kinerja Karyawan Bagian Produksi Spinning PT Primarajuli Sukses Tangerang.